Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Umum

Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan
semestinya ditinjau sebagai bagian dari system angkutan/transportasi secara
keseluruhan. Suatu system transportasi direncanakan untuk mengangkut/
memindahkan manusia dan/atau barang dengan menggunakan berbagai alat (moda)
transportasi.
Moda jalan merupakan jenis moda yang penting, mengingat sifatnya yang secara
umum dapat melayani penggunaannya secara “door-to-door”, yaitu dapat melayani
dari tempat asal ke tempat tujuan yang umumnya berada di darat. Sementara itu,
angkutan lainnya umumnya bergerak antara terminal ke terminal.
Kelengkapan jaringan transportasi seringkali dapat dijadikan tolok ukur tingkat
kemajuan suatu wilayah, yang paling jelas adalah bahwa semakin baik jaringan
transportasi di suatu wilayah semakin tinggi nilai lahan di wilayah
tersebut.Pembangunan jaringan transportasi harus direncanakan secara baik dan
salah satu aspek dalam merencanakan pembangunan jaringan transportasi adalah
aspek rekayasa, khususnya rekayasa jalan.

1.2 Dasar Hukum

Dasar hukum pembangunan jalan adalah UU No. 13 Tahun 1980 tentang jalan, UU
ini terdiri atas 10 Bab dan 24 Pasal dan UU ini diuraikan lebih rinci dalam PP No.26
Tahun 1985. Selain itu juga terdapat UU Lalu Lintas dan Angkutan jalan No. 14
Tahun 1992 , UU dan Peraturan Pemerintah tersebut dijabarkan lagi dalam
Keputusan Menteri (Kepmen) yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan dan
Menteri Pekerjaan Umum.

1.2.1 Klasifikasi Jalan sesuai UU No. 13 Tahun 1980 dan PP No. 26 Tahun 1985
a. Pengelompokan berdasarkan Sistem Jaringan :
1. Sistem Jaringan Jalan Primer
2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
b. Pengelompokan berdasarkan Peranan :
1. Jalan Arteri
2. Jalan Kolektor
3. Jalan Lokal
Tabel 1.1 : Hubungan antar Hirarki Kota dengan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem
Jaringan Jalan Primer

1
Kota Jenjang I Jenjang II Jenjang III Persil
Jenjang I Arteri Arteri - Lokal
Jenjang II Arteri Kolektor Kolektor Lokal
Jenjang III - Kolektor Lokal Lokal
Persil Lokal Lokal Lokal Lokal
c. Pengelompokan berdasarkan Wewenang Pembinaan :
1. Jalan Nasional
2. Jalan Propinsi
3. Jalan Kabupaten
4. Jalan Kota
5. Jalan Desa
6. Jalan Khusus

1.2.2 Klasifikasi Jalan sesuai Rancangan UU Tahun 2000


a. Pengelompokan Jalan menurut Sistem :
1. Siatem Jaringan Jalan Primer
2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
b. Pengelompokan Jalan menurut Fungsi :
1. Jalan Arteri
2. Jalan Kolektor
3. Jalan Lokal
4. Jalan Lingkungan
c. Pengelompokan Jalan menurut Status :
1. Jalan Nasional
2. Jalan Propinsi
3. Jalan Kabupaten
4. Jalan Kota
5. Jalan Desa
6. Jalan Khusus
d. Pengelompokan Jalan menurut Kelas Jalan (Pasal 8) :
1. Fungsi Jalan
2. Kemampuan menerima muatan rencana sumbu terberat, baik konfigurasi rencana
sumbu kendaraan atau sesuai dengan ketentuan teknologi alat transportasi

1.2.3 Pembagian wewenang sesuai UU No. 13 Tahun 1980 dan PP No. 26 Tahun 1985
Wewenang yang dimaksud meliputi wewenang kegiatan pembinaan jalan dan
kegiatan pengadaan. Kegiatan pembinaan jalan meliputi penyusunan rencana umum
jangka panjang dan menengah, penyusunan program, pengadaan dan pemeliharaan.

2
Kegiatan Pengadaan meliputi perencanaan teknik, pembangunan, penerimaan,
penyerahan dan pengambilalihan.

Tabel 1.2 : Pembagian Wewenang sesuai UU No. 13/1980 dan PP No. 26/1985
No. Deskripsi Kegiatan Yang Berwenang
1 Penyusunan rencana umum jangka Pemerintah
panjang jaringan jalan primer
2 Penyusunan rencana umum jangka Pemerintah Daerah, atau dilimpahkan
panjang jaringan jalan sekunder kepada Pejabat atau Instansi di Pusat atau
di Daerah
3 Penyusunan rencana umum jangka Pemerintah Daerah / Badan Hukum /
panjang jalan Khusus Perorangan atau dilimpahkan kepada
Pejabat atau Instansi di Pusat / di Daerah
4 Penyusunan rencana jangka Pemerintah
menengah dan program perwujudan
jalan arteri. Kolektor dan jalan local
pada jaringan jalan primer
5 Penyusunan rencana jangka Pemerintah Daerah, atau dilimpahkan
menengah dan program perwujudan kepada Pejabat atau Instansi di Pusat atau
jalan arteri. Kolektor dan jalan local di Daerah
pada jaringan jalan sekunder
6 Penyusunan rencana jangka Pemerintah Daerah / Badan Hukum /
menengah dan program perwujudan Perorangan atau dilimpahkan kepada
jalan khusus Pejabat atau Instansi di Pusat / di Daerah
7 Perencanaan teknik dan pembangunan Pemerintah Daerah / Badan Hukum /
serta pemeliharaan jalan arteri, jalan Pejabat atau Instansi di Pusat atau di
kolektor dan jalan local pada jaringan Daerah
jalan primer
8 Perencanaan teknik dan pembangunan Pemerintah Daerah / Pejabat atau Instansi
serta pemeliharaan jalan arteri, jalan di Pusat atau di Daerah
kolektor dan jalan local pada jaringan
jalan sekunder
9 Perencanaan teknik dan pembangunan Pejabat atau Instansi di Pusat atau di
serta pemeliharaan jalan khusus Daerah / Badan Hukum / Perorangan
10 Penerimaan, Penyerahan dan Pemerintah
pengambilalihan jalan arteri, jalan
kolektor dan jalan local pada jaringan
jalan primer
11 Penerimaan, Penyerahan dan Pemerintah Daerah
pengambilalihan jalan arteri, jalan
kolektor dan jalan local pada jaringan
jalan sekunder

1.2.4 Pembagian wewenang sesuai RUU Tahun 2000 dan PP No. 25 Tahun 2000
Wewenang sesuai RUU Tahun 2000 tenteng jalan dapat dilihat pada table 1.3 berikut :
Tabel 1.3 : Pembagian Wewenang sesuai RUU Tahun 2000
No. Deskripsi Kegiatan Yang Berwenang
1 Perumusan kebijakan perencanaan, Pemerintah
termasuk penetapan ruas-ruas jalan

3
dalam system jaringan jalan primer dan
arteri sekunder
2 Penyelenggaraan jalan nasional Pemerintah
3 Penyusunan peraturan perundang- Pemerintah
undangan jalan
4 Pengawasan fungsi, manfaat dan tertib Pemerintah
penyelenggaraan jalan
5 Penyelenggaraan jalan nasional yang Pemerintah, tetapi dapat ditugas-
mencakup tugas pembangunan pembantuankan kepada pemerintah
Daerah
6 Penyelenggaraan jalan nasional yang Pemerintah, tetapi didesentralisasikan
mencakup pemberian izin, kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
rekomendasi dan dispensasi
pemanfaatan Daerah Milik jalan
7 Penyelenggaraan jalan Propinsi Pemerintah Propinsi
8 Perumusan kebijakan perencanaan, Pemerintah Propinsi
termasuk penetapan ruas-ruas jalan
kolektor dan local sekunder
9 Penyelenggaraan jalan Kabupate/Kota Pemerintah Kabupaten/Kota
10 Penyelenggaraan jalan Desa Pemerintah Desa
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Pemerintah
Daerah, kewenangan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kewenangan Pemerintah
 Penetapan persyaratan untuk penentuan status,kelas dan fungsi jalan
 Pengaturan dan penetapan status jalan nasional
b. Kewenangan Propinsi
 Penyusunan dan penetapan jaringan transportasi jalan propinsi
 Perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan jalan propinsi
c. Kewenangan Kabupaten/Kota
 Penyusunan dan penetapan jaringan transportasi jalan Kabupaten/Kota
 Pengawasan dan pengendalian perwujudan jaringan transportasi jalan
Kabupaten/Kota
 Penetapan Kelas jalan Kabupaten/Kota
 Penyusunan perencanaan dan pembangunan transportasi kota (dalam Wilayah
Kabupaten/Kota).

1.2.5 Persyaratan Jalan yang sesuai dengan peranannya (PP No. 26 Tahun 1985)
1. Jalan Arteri Primer
 Kecepatan rencana minimum 60 km/jam
 Lebar badan jalan minimum 8 meter
 Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata
 Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas
local dan kegiatan local
 Jalan masuk dibatasi secara efisien (jarak akses langsung tidak boleh < 500 meter)

4
 Persimpangan dengan jalan lain dilakukan pengaturan tertentu sehingga tidak
mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan
 Tidak terputus walaupun memasuki kota
 Persyaratan teknis jalan masuk ditetapkan oleh Menteri
2. Jalan Kolektor Primer
 Kecepatan rencana minimum 40 km/jam
 Lebar badan jalan minimum 7 meter
 Kapasitas sama dengan atau lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata
 Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi kecepatan rencana
dan kapasitas jalan (jalan antar jalan masuk tidak boleh < 400 meter)
 Tidak terputus walaupun masuk kota
3. Jalan Lokal Primer
 Kecepatan rencana minimum 20 km/jam
 Lebar badan jalan minimum 8 meter
 Tidak terputus walaupun melalui desa
4. Jalan Arteri Sekunder
 Kecepatan rencana minimum 20 km/jam
 Lebar badan jalan minimum 8 meter
 Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata
 Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat
 Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi kecepatan rencana
dan kapasitas jalan (jalan antar jalan masuk tidak boleh < 250 meter)
 Persimpangan dgn pengaturan tertentu, tidak mengurangi kecepatan & kapasitas
jalan
5. Jalan Kolektor Sekunder
 Kecepatan rencana minimum 20 km/jam
 Lebar badan jalan minimum 7 meter
 Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi kecepatan rencana
dan kapasitas jalan (jalan antar jalan masuk tidak boleh < 200 meter)
6. Jalan Lokal Sekunder
 Kecepatan rencana minimum 10 km/jam
 Lebar badan jalan minimum 5 meter
 Persyaratan teknik diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih
 Lebar badan jalan tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih,
minimal 3,5 meter.

5
1.2.6 Pembagian Kelas Jalan (PP No. 43 Tahun 1993)
1. Jalan Kelas I
Jalan Arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor muatan dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 10000 mm, dan muatan sumbu
terberat yang diijinkan lebih besar dari 10 ton
2. Jalan Kelas II
Jalan Arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor muatan dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18000 mm, dan muatan sumbu
terberat yang diijinkan 10 ton
3. Jalan Kelas IIIA
Jalan Kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor muatan dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18000 mm, dan muatan
sumbu terberat yang diijinkan 8 ton
4. Jalan Kelas IIIB
Jalan Kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor muatan dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 12000 mm, dan muatan
sumbu terberat yang diijinkan 8 ton
5. Jalan Kelas IIIC
Jalan Kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor muatan dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 9000 mm, dan muatan
sumbu terberat yang diijinkan 8 ton

1.2.7 Perubahan Status Jalan


Perubahan Status jalan tergantung dari :
1. Peningkatan Status
2. Penurunan Status

Adapun tuntutan pembangunan jalan dapat bertujuan untuk :


1. Meningkatkan peranan jaringan jalan
2. meningkatkan keluasan dan kualitas pelayanan jaringan jalan
3. Menetapkan struktur peranan jalan dgn mengurangi pembauran fungsi sejauh
mungkin
4. Meningkatkan pemanfaatan jaringan jalan yang ada setinggi-tingginya
5. Meningkatkan kontribusi masyarakat dalam usaha pembinaan jaringan jalan
6. Meningkatkan pengaturan pembinaan dan pengawasan dalam setiap pelaksanaan
tugas pembinaan jaringan jalan.

1.3 Pentahapan Pembangunan Jalan


Tahapan pembangunan jalan yang biasa dilakukan di Indonesia sebagai berikut :

6
 Tahap Perencanaan (Planning)
 Tahap Studi Kelayakan (Feasibility Study)
 Tahap Perancangan Detail (Detail Design)
 Tahap Konstruksi (Construction)
 Tahap Pemeliharaan (Maintenance)

BAB II
PENENTUAN LOKASI (ROUTE LOCATION)

2.1 Umum
Penentuan Lokasi jalan adalah penentuan koridor terbaik antara dua titik yang harus
dihubungkan dengan juga mempertimbangkan lokasi-lokasi yang harus

7
dihindari.Koridor dapat didefenisikan sebagai bidang memanjang yang
menghubungkan dua titik. Sedangkan Trase adalah seri dari garis-garis lurus yang
merupakan rencana sumbu jalan. Dalam penentuan lokasi jalan, terdapat dua tahap
kegiatan sebagai berikut :
 Tahap pertama adalah studi penyuluhan untuk menentukan berbagai koridor yang
memenuhi persyaratan
 Tahap kedua adalah meliputi satu tinjauan yang lebih mendalam dari alternatif-
alternatif koridor yang telah didenifisikan pada tahap sebelumnya. Hasil dari
tahapan ini merupakan suatu rancangan pendahuluan dalam koridor terbaik.

2.2 Jenis-jenis Survei Jalan


Pada prinsipnya, agar perencanaan yang dilakukan dapat diimplementasikan secara
efektif dan efisien, perencanaan tersebut harus didasarkan kepada kondisi di
lapangan, selain juga memperhitungkan faktor-faktor perencanaan lainnya.
2.2.1 Peta
Semua peta mempunyai panah arah Utara dan Grid untu x dan Y. Skala dan legenda
harus tercantum. Untuk keperluan perencanaan dan desain jalan, biasanya
digunakan peta topografis (peta rupa bumi/peta kontur) dengan garis-garis kontur).
Pada tahap perencanaan maupun perancangan dibutuhkan peta dengan berbagai
skala. Untuk studi penyuluhan biasanya dipergunakan peta berskala 1 : 5000 atau 1 :
10.000. Setelah terpilih koridor terbaik, dibuat suatu peta dari koridor tersebut dgn
skala 1 : 1000 atau 1 : 2000.Peta ini digolongkan sebagai peta jalur (strip) karena
bentuknya berupa jalur. Lebar dari jalur yang dipetakan umumnya meliputi wilayah
selebar 50 -100 m
2.2.2 Survei Pengukuran
Secara umum pengukuran (surveying) dapat dibedakan menjadi :
1. Geodetic Surveying, untuk menentukan besar dan bentuk bumi
2. Plane Surveying, untuk daerah terbatas dengan anggapan bahwa permukaan bumi
adalah datar dengan tidak membuat koreksi untuk kelengkungan permukaan bumi
3. Topographic Surveying, hanya mengukur dan memetakan bentuk fisik bumi
4. Cadastral Surveying, mendefinisikan,memetakan dan mencatat batas-batas tanah
5. Engineering Surveying,pengukuran untuk perencanaan dan pelaksanaan dari
pekerjaan-pekerjaan engineering.
Khusus untuk pembangunan jalan, pekerjaan survey yang perlu dilakukan adalah :
 Survey penyuluhan (Reconnaissance Survey)
 Survey pendahuluan (Preliminari Survey)
 Survey Lokasi (Location Survey)
 Survey Konstruksi

8
2.3 Faktor-faktor yang menentukan Pemilihan Lokasi Jalan (Route Location)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi koridor jalan
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Pengaruh medan/Topografi
b. Perpotongan dengan sungai
c. Daerah lahan kritis
d. Daerah aliran sungai
e. Material konstruksi jalan
f. Galian dan Timbunan
g. Pembebasan tanah
h. Lingkungan
i. Sosial

BAB III
KRITERIA PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

3.1 Umum
Dalam perancangan jalan, bentuk geometric jalan harus ditetapkan sedemikian rupa
sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal
kepada lalu lintas sesuai fungsinya.
a. Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat tiga tujuan utama yaitu :
b. Menjamin suatu perancangan yang ekonomis

9
c. Memberikan suatu keseragaman geometric jalan sehubungan dgn jenis medan
(terrain).
Aspek-aspek yang mempengaruhi penggunaan jalan oleh kendaraan antara lain :
a. Karakteristik lalu lintas
b. Kontrol hubung (access control)
c. Medan (terrain)
d. Masa Pelayanan jalan, performance dan kapasitas
e. Perilaku pengendara dan kinerja kendaran

3.2 Standar Desain (Design Standard)


Standar perancangan geometric jalan yang ada (dan pernah berlaku) di Indonesia :
 Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, No. 13/1970, Direktorat Eksplorasi,
Survey & perencanaan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen PU.
 Spesifikasi Standar untuk perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan
Akhir), Sub Direktorat perencanaan Teknis Jalan, Bipran Bina Marga, Departemen
pekerjaan umum, Desember 1990
 Standar perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina
Marga, Departemen Pekerjaan Umum, Maret 1992
 Tatacara Perencanaan Geometrik Jalan antar Kota, No. 038/T/BM/1997,
Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, September 1997

3.3 Kritetia Perancangan (Design Criteria)


Kriteria desain adalah standar desain yang mempersempit hanya untuk jalan yang
akan dirancang. Secara konsep jalan yang efektif dan efisien adalah yang dirancang
untuk dapat melayani penggunanya secara optimum

3.3.1 Karakteristik Pengguna Jalan


Karakteristik pengguna jalan yang biasanya mempengaruhi kinerjanya dalam system
jalan diantaranya adalah :
 Penglihatan (Vision)
 Waktu Reaksi (Reaction Time)
 Kemampuan untuk mendeteksi warna (Ability to Detect Different Colours)
 Pendengaran (Hearing)
 Perasaan (Feel and Touch)
 Tinggi Mata Pengemudi (Driver Eye Height)
 Kecepatan berjalan (Walking Speed)

10
 Tinggi pejalan kaki (Pedestrian Height)
 Usia (Age)
 Lebar untuk pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya (Pedestrian and other
Road user Width)
 Jarak kebebasan antara Dua Pengguna Jalan (Lateral Placement of Vehicles)

3.3.2 Karakteristik Kendaraan


Karakteristik kendaraan untuk keperluan perancangan jalan dapat dikelompokkan
menjadi :
1. Karakteristik Statis
Termasuk di dalamnya adalah dimensi, berat & kemampuan manuver kendaraan
2. Karakteristik Kinematis
Menyangkut kemampuan kendaraan melakukan percepatan dan perlambatan
3. Karakteristik Dinamis
Menyangkut karakteristik kendaraan selama bergerak, diantaranya adalah
tahanan udara (air resistance), tahanan tanjakan (Grade resistance), tahanan
gerak (rolling resistance), tahanan menikung (curve resistance), tenaga yang
tersedia/dibutuhkan (power requirement) dan pengereman (braking)
3.3.3 Klasifikasi Jalan
Perbedaan klasifikasi yang menurut standar desain dalam kota sebagai berikut :
- Dalam standar desain jalan perkotaan, klasifikasi jalan dibedakan menurut tipe
(ditentukan oleh jenis pengaturan jalan masuk/jalan akses) dan kelas (ditentukan
oleh fungsi jalan)
- Sedangkan dalam standar desain jalan antar kota, klasifikasi jalan dibedakan
menurut kelas (ditentukan oleh fungsi jalan) dan jenis medan.

3.3.4 Lalu Lintas


Lalu lintas merupakan pembebanan yang harus dapat dipikul oleh konstruksi jalan.
Besarnya arus lalu lintas yang melewati suatu jalan tidaklah konstan tetapi
berfluktuasi sesuai dengan pola kegiatan pemakai jalan.
Hal-hal yang berimplikasi kepada karakteristik lalu lintas antara lain :
a. Volume Jam Perencanaan (VJP)
b. Kecepatan
c. Hubungan kecepatan dan volume (Speed-Flow Relationship)

3.3.5 Kapasitas Jalan


Kapasitas jalan adalah volume maksimum kendaraan dimana lalu lintas masih lewat
sepanjang jalan tersebut pada keadaan tertentu.

11
Berbagai konsep yang berbeda digunakan untuk menyatakan kapasitas jalan oleh
kendaraan bermotor yang akan, atau harus, ditampung oleh ruas atau persimpangan
jalan. Kapasitas jalan ini bergantung pada kondisi yang ada, termasuk :
- Fisik jalan (sprti : lebar, jmlah & tipe persimpangan, alinyemen,
permukaan jalan)
- Komposisi lalu lintas dan kemampuan kendaraan (seperti : proporsi
berbagai tipe kendaraan dan kemampuan penampilannya)
- Kondisi lingkungan dan operasi (yaitu : cuaca, tingkat aktifitas pejalan
kaki)

3.3.6 Jarak Pandangan


Jarak pandangan adalah panjang jalan yang terlihat oleh seorang pengemudi, kea
rah depan. Panjang jarak pandangan tergantung dari kecepatan rencana yang
digunakan.
a. Jarak Pandangan Henti
Jarak Pandangan Henti (Jh) adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan
kendaraan bila ada suatu halangan di tengah jalan. Jarak ini terdiri atas dua
elemen jarak, yaitu :
1. Jarak tanggap/sadar (Jht), yaitu jarak yang ditempuh oleh kendaraan
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia sadar untuk harus
berhenti, sampai saat pengemudi menginjak rem.
2. Jarak pengereman (Jhr) yaitu jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan
berhenti.

b. Jarak Pandangan Menyiap


Jarak pandangan mendahului/menyiap (Jd) adalah jarak pandangan yang cukup
mendahului suatu kendaraan lain yang bergerak dalam arah yang sama pada
jalan dua jalur.
c. Jarak Pandangan Malam
Jarak pandangan malam adalah jarak pandangan henti yang terlihat dimalam hari
karena diterangi lampu sorot mobil itu sendiri. Asumsi yang digunakan ialah
bahwa sinar lampu tersebut tingginya 60 cm dan bersudut 1” ke atas. Jarak
pandangan malam merupakan factor yang penting pada lengkung vertical cekung

12
BAB IV
ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

4.1 Alinemen Horisontal


4.1.1 Umum
Alinemen horizontal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada bidang yang horizontal
(denah). Alinemen terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung
Kontrol atau ketentuan umum yang biasa dijadikan sebagai acuan perencanaan
geometric jalan, khusus alinemen horizontal adalah sebagai berikut :
a. Alinemen sebaiknya sependek dan selangsung mungkin tapi serasi dengan
keadaan topography (mengikuti Countours yang ada) namun juga jangan terlalu
berkelok-kelok trasenya (∑ tikungan diusahakan seminimal mungkin)

13
b. Jari-jari tikungan yang digunakan diusahakan lebih besar dari jari-jari
minimum (batas standar)
c. Alinemen sebaiknya konsisten, jangan memberikan perubahan yang tiba-tiba
(misalnya tikungan tajam diakhir bagian lurus)
d. Perencanaan Alinemen Horisontal sebaiknya dikoordinasikan dengan
Alinemen Vertikal (Untuk menghindarkan penampilan yang ‘buruk’)
4.1.2 Dasar-dasar Perencanaan Alinemen Horisontal
Yang menjadi dasar perencanaan Alinemen horizontal adalah sebagai berikut :
1. Hubungan antara kecepatan (V), jari-jari tikungan R, kemiringan
melintang/superelevasi (e) dan gaya gesek samping antara ban dan permukaan
jalan (f), didapat dari hukum mekanika F = m.a (Hukum Newton II)
2. Gaya sentrifugal yang terjadi saat kendaraan bergerak ditikungan.
3. Dalam hal ini terdapat 3 keadaan seimbang, yaitu :
- Stadium I
Gaya sentrifugal diimbangi gesekan ban Vs perkerasan
- Stadium II
Gaya sentrifugal diimbangi hanya dengan kemiringan melintang jalan
- Stadium III
Gaya sentrifugal diimbangi dengan Gaya Gesek & kemiringan melintang jalan
Penentuan nilai (e) maks didasarkan pada :
- Kondisi iklim: Frekuensi hujan
- Kondisi terrain/topografi : datar, bukit atau gunung
- Kondisi daerah : Urban atau rural
- Kondisi lalu lintas berkecepatan rendah
4.1.3 Nilai-nilai Batas Perencanaan Alinemen Horisontal
Untuk panjang bagian lurus, dengan pertimbangan factor keselamatan, dan
kelelahan pengemudi maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus (terutama
jalan antar kota) ditempuh tidak lebih dari 2,5 sesuai dengan kecepatan rencana.
Lengkung peralihan (Ls) adalah lengkung yang disisipkan diantara bagian lurus dan
bagian lengkung yang berjari-jari tetap. Fungsinya adalah untuk mengantisipasi
perubahan alinemen jalan dan bentuk lurus (R yang tak berhingga) sampai pada
bentuk lengkung dengan R tetap sedemikian rupa sehingga gaya sentrifugal yang
bekerja dapat berubah secaraberangsur.
4.1.4 Perencanaan dan Perhitungan Tikungan
Dalam perancangan tikungan, dapat digunakan tiga criteria utama sebagai dasar dan
kontrol perancangan. Ketiga criteria tersebut adalah panjang Tangens (T) yang
tersedia, panjang offset (E) dan jari-jari tikungan (R).
Ada 3 Jenis tikungan yang umum di gunakan dalam perancangan geometric jalan :

14
a. Tikungan lingkaran penuh (Full-circle)
b. Tikungan Spiral-lingkaran (Spiral-circle-Spiral)
c. Tikungan Spiral (Spiral-Spiral)
4.1.5 Tikungan Balik dan Gabungan
Tikungan gabungan adalah dua atau lebih tikungan yang bersebelahan yang dapat
dibedakan menjadi tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih
tikungan dengan arah putar yang sama dan tikungan gabungan balik arah, yaitu
gabungan dua tikungan dengan arah putar yang berbeda.
4.1.6 Stasioning
Titik penting hasil perancangan sumbu jalan perlu dibuat tanda berupa patok-patok
dengan nomor kode referensi tertentu. Penomoran ini disebut stationing dimana
angka yang tercantum menunjukkan jarak atau lokasi titik tersebut terhadap titik
acuan.

4.2 Alinemen Vertikal


Alinemen Vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang vertical yang
melalui sumbu jalan tersebut. Alinemen vertical terdiri atas bagian landai vertical dan
bagian lengkung vertical. Ditinjau dari titik awal perencanaan, alinemen vertical dapat
berupa tanjakan (Landai positif), turunan (Landai negative), dan datar (Landai Nol).

4.2.1 Kontrol dan Batasan Perencaan


Landai Maksimum adalah landai vertical maksimum dimana truk dengan muatan
penuh masih mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari
setengah kecepatan awal tanpa penurunan gigi atau pindah ke gigi rendah

4.2.2 Persamaan Lengkung Vertikal


Lengkung vertical mengikuti persamaan parabola sederhana.
Untuk parabola :
d²Y = r (konstan) dengan integrasi didapat : dY = rX + C
dX² dX
untuk X = 0, dY = g, dan untuk X = L, dY = g2
dX dX
g1 = 0 + C, g2 = rL + C, atau r = (g2 – g1) sehingga,
L
dY = (g2 – g1)X + g1 dan dengan integrasi lagi didapat,
dX L
Y = (g2 – g1) X² + g1X + C’ (C” = 0 untuk X = 0 dan Y = 0)
L 2

15
Nilai e (vertical offset) atau Ev adalah untuk x = ½ L, Yaitu :
Ev = e ( A )L = 1 AL
8 8
4.2.3 Penentuan Panjang Lengkung Vertikal
Panjang lengkung vertical didasarkan kepada kecepatan rencana, jarak
pandang(khususnya jarak pandang henti), dan perbedaan aljabar kemiringan. Untuk
bentuk lengkung cembung didasarkan keamanan, kenyamanan, drainase dan
estetika dengan mempertimbangkan jarak pandang yang dapat dicapai.
4.2.4 Lajur pendakian
Ketentuan dalam menyediakan lajur pendakian adalah sebagai berikut :
 Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan dengan kelandaian besar,
menerus dan volume lalu lintas yang relative padat (VLHR>15000 smp/hari
dengan presentasi kendaraan berat/truk>15%
 Penempatan lajur pendakian, terutama pada jalan arteri atau kolektor
 Lebar lajur pendakian sama dengan lajur rencana

4.3 Koordinasi Perencanaan Alinyemen Horisontal dan Vertikal


Panduan untuk koordinasi alinemen horizontal dan vertical adalah sebagai berikut :
- Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertical dan secara
ideal alinemen horizontal sedikit lebih panjang dan melingkupi alinemen vertical
- Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertical cekung atau pada
bagian atas lengkung vertical cembung harus dihindari
- Lengkung vertical cembung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindari
- Dua atau lebih lengkung vertical dalam satu lengkung horizontal harus dihindari
- Tikungan tajam diantara dua bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindari

4.4 Potongan Melintang Jalan


CL adalah sumbu jalan, yaitu yang mula-mula ditentukan dalam perancangan
geometric jalan. Jalur lalu lintas adalah tempat kendaraan bergerak, jalur lalu lintas
terdiri atas satu atau lebih lajur yang lebar idealnya menurut klasifikasi jalan adalah
seperti pada tabel berikut :
Tabel 4.5 : Lebar Lajur Ideal Jalan Antar Kota
Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m)
Arteri I 3.75
II, IIIA 3.50
Kolektor IIIA, IIIB 3.00
Lokal IIIC 3.00

16
Bahu jalan adalah jalur diluar jalur lalu lintas. Salah satu fungsi bahu jalan adalah
untuk menampung kendaraan yang terpaksa berhenti atau mogok sehingga tidak
mengganggu lalu lintas, bahu jalan bias digunakan untuk menyimpan material
sebelum jalur jalan diperbaiki adanya bahu jalan akan memberi perasaan luas
kepada pengemudi sehingga jalur dapat dimanfaatkan sebaiknya.
Daerah manfaat jalan adalah lebar minimum daerah yang dibutuhkan untuk
konstruksi jalan, batasnya adalah tepi-tepi luar dari selokan samping atau samping
ambang pengaman bila dalam galian atau timbunan.
Daerah milik jalan adalah daerah yang dibebaskan untuk keperluan jalan, batasnya
adalah sampai kepada batas kepemilikan lahan (untuk jalan perkotaan).

BAB V
DRAINASE JALAN

Umum
Drainase adalah bangunan pelengkap jalan yang dibangun untuk menanggulangi
kelebihan air yang terjadi, baik air permukaan maupun air bawah tanah.

Hidrologi
Analisa Hidrologi merupakan langka yang paling penting untuk merencanakan
drainase. Data Hidrologi mencakup antara lain luas daerah drainase, besar dan
frekunsinya dari banjir rencana serta tinggi muka airnya. Siklus banjir adalah suatu
besaran banjir yang terjadi pada periode tertentu

Drainase Permukaan Jalan


Kemiringan Melintang (Cross Slope)
a. Kemiringan Melintang Permukaan JAlan
b. Kemiringan Melintang Bahu
c. Kemiringan Melintang Trotoar
Kemiringan Memanjang
Kemiringan Memanjang tidak hanya berpengaruh besar terhadap waktu konsentrasi
(yang menentukan besarnya nilai intensitas hujan) juga mempengaruhi persentase

17
besarnya aliran air (Inflow) yang dapat dialirkan melelui bak penangkap air
permukaan (Catch Basin) Yang kemudian dialirkan ke seluruh drainase.

Selokan Samping
Selokan samping merupakan konstruksi drainase yang sangat baik, Fungsi utamanya
adalah menampung air hujan yang jatuh diatas permukaan jalan, untuk dialirkan
pergi. Jenis saluran samping menurut bentuk penampang melintangnya dapat
dikelompokkan menjadi :
- Penampang Parabolis
- Penampang Trapesium
- Penampang Segitiga
- Penampang 4 Persegi Panjang

Bak Penampung Air Permukaan (Catch Basin)


Sepanjang kereb ditempatkan lubang-lubang pemasukan (Inlet) pada jarak-jarak
pendek tertentu, untuk memasukan air permukaan kedalam pipa riool pembuang air
hujan dibawah badan jalan. Inlet semacam ini dinamakan cacth basin (bak
penangkap air permukaan).
Pipa Samping, Pipa Riool Pembuangan Air Hujan (Storm Drain) dan Lubang
Pemeriksaan (Manhole)
Pipa samping adalah pipa yang menghubungkan catch basin dengan pipa riool air
hujan di bawah badan jalan dan terbuat dari beton bertulang dengan diameter dalam
minimal 15 cm. Lubang pemeriksaan (Manhole) memiliki 2 tujuan utama yaitu untuk
memungkinkan pembersihan dan pemeriksaan pipa-pipa riool dan sebagai kotak
penghubung dengan pipa-pipa cabang.

Drainase Melintang
Definisi Gorong-gorong
Bangunan drainase melintang umumnya adalah gorong-gorong (Culvert) atau
jembatan kecil, untuk bentang antara kepala jembatan ≤ 6 meter. Bila panjang
bentang > 6 meter, dibuat jembatan (jembatan biasa/panjang). PErbedaan utama
antara gorong-gorong dan jembatan adalah bahwa umumnya gorong-gorong berada
di bawah timbunan (tanggul) dan sekitar keliling luarnya dilindungi oleh bahan
bangunan yang diperlukan.
Jenis Gorong-gorong
a. Jenis Lingkaran/Pipa

18
b. Jenis Plat (Slab)
c. Jenis Kotak (Box)
d. Jenis Busur (Arch)
e. Jenis Portal

Pengaliran Air dari Bawah Permukaan Jalan


Pondasi jalan bias direncanakan kedap air atau tembus air, bila direncanakan kedap
air yaitu tanpa rongga-rongga kosong (Soil Cement) maka pondasi jalan tidak perlu
diberi drainase. Bila direncanakan tembus air maka harus diberi drainase dan ini
yang biasa ditemui dalam praktek. Pondasi yang tembus air harus dilanjutkan ke
samping sampai ke selokan samping dan arah lapisan pondasi harus mirng ke
selokan samping agar drainase dapat berlangsung baik.

Erosi
Erosi oleh air terutama terjadi karena jatuhnya butir-butir hujan keatas tanah,
khususnya didaerah tropis dimana curah hujannya cukup besar. Cara
Penanggulangan erosi antara lain : membuat saluran penangkal sepanjang tepi atas
tebing untuk menangkal aliran permukaan agar tidak mengikis tebing, membuat
tebing galian bertangga.

Erosi pada tebing timbunan terjadi karena air dari permukaan jalan mengalir lewat
bahu melalui tebing timbunan. Ini dapat ditanggulangi dengan membuat selokan
samping untuk menampung air dengan permukaan jalan dan menyalurkannya pada
tempat-tempat tertentu melalui konstruksi saluran, menuruni tebing. Tebing timbunan
dapat juga dibuat bertangga untuk mematahkan kecepatan dari air yang menuruni
tebing.

Drainase Alamiah
Sebelum daerah dibangun, air hujan sudah dialirkan melalui suatu pola drainase
alamiah. Pada waktu membangun jalan maka drainase dari jalan harus disesuaikan
dengan drainase alamiah ini sehingga pola pengaliran tidak sampai berubah. Aliran
yang besar diseberangi dengan jembatan, aliran yang kecil dengan gorong-gorong,
aliran permukaan ditampung dalam selokan samping dan aliran selokan samping
dibawa ke aliran alamiah.

19
BAB VI
GALIAN TIMBUNAN

Umum
Pada konstruksi jalan, volume galian dan timbunan (dalam pekerjaan tanah)
merupakan salah satu factor penting. Jumlah galian dan timbunan akan menentukan
harga pekerjaan pembangunan jalan secara keseluruhan. Sehingga pekerjaan galian
dan timbunan harus dilaksanakan seoptimal mungkin.

Pekerjaan
Pekerjaan galian-timbunan tanah meliputi :
a. Perhitungan di kantor galian dan timbunan pada jalur-jalur yang direncanakan
b. Pekerjaan di lapangan dengan mengambil cross-sections sepanjang as jalan
c. Pekerjaan di kantor berdasarkan hasil dari sub b, dengan menghitung volume
yang lebih tepat daripada sub a (economical grading schedule)
d. Pekerjaan lapangan dengan memasang patok-patok untuk menentukan
hitungan-hitungan pembayaran tahap-tahap biaya
e. Hitungan-hitungan terakhir dari semua pekerjaan
Tanah yang diperhitungkan diklasifikasikan sebagai berikut :
 Tanah biasa; yang terdiri dari tanah biasa, yang dicampur dngan batu-
batu sedikit
 Berbatu-batu ; batu yang bias dilepaskan dengan pahat batu dan
linggis
 Cadas ; yang hanya bias dilepaskan dengan bor dan bahan peledak

Mass Diagram
Suatu “mass diagram” berupa suatu lengkungan yang menunjukkan penjumlahan
aljabar dari volume galian dan timbunan, mulai dari satu station tertentu sampai
station berikutnya.

Pemindahan atau Haul dan Overhaul


Dengan membuat mass diagram dapat kita lihat pemindahan tanah dengan overhaul,
bias menguntungkan atau tidak. Makin mendekati lengkunagan pada garis absis atau
makin banyak lengkungan berpotongan dengan absis, makin kecil overhaul-volume-
station. Dengan membuat mass diagram untuk beberapa alternative route, bias kita
bandingkan dan memilih yang paling ekonomis.

20
BAB VII
DASAR-DASAR PERENCANAAN SIMPANG

7.1 Umum
Persimpangan adalah lokasi/daerah dimana dua atau lebih jalan, bergabung atau
berpotongan/bersilangan. Menurut jenisnya simpang dapat dibedakan menjadi :
 Simpang sebidang (At Grade)
 Simpang Tidak Sebidang/simpang susun (Grade Separated), dengan jenis :
 Simpang susun dengan ramp
 Tanpa ramp (Fly over)

7.2 Simpang Sebidang


Sesuai dengan kondisi lalu lintasnya, dimana terdapat pertemuan jalan dengan arah
pergerakan yang berbeda, maka simpang sebidang merupakan lokasi yang potensial
untuk menjadi :
- Titik pusat konflik lalu lintas yang bertemu
- Penyebab kemacetan/congestion, akibat perubahan kapasitas
- Tempat sering terjadi kecelakaan
- Konsentrasi para penyebrang jalan/pedestrian
Konflik lalu lintas yang terjadi dipersimpangan dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
1. Memencar (diverging)
2. Merapat (merging)
3. Menyilang (crossing)
4. Menjalin (weaving)
7.2.1 Prinsip Perancangan Simpang Sebidang
Tujuan utama perancangan simpang adalah sebagai berikut :
a. Mengurangi jumlah titik konflik
b. Mengurangi daerah konflik
c. Memprioritaskan bergerakan pada jalan utama/ mayor (jalan yang memiliki
fungsi/kelas lebih tinggi)
d. Mengontrol kecepatan
e. Menyediakan daerah perlindungan (refuge area)
f. Menyediakan tempat untuk peralatan control lalu lintas
g. Menyediakan dimensi/kapasitas yang sesuai

21
7.2.2 Faktor Perencanaan
Faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan simpang adalah :
 Lokasi serta Topografi; di perkotaan atau luar kota, tipe jalan
 Lalu lintas; Volume, komposisi, jenis kendaraan, arus-arus belok, kapasitas,
kecepatan, keamanan (jarak pandangan, kebiasaan pengemudi, efek kejutan dan
jejak natural kendaraan)
 Ekonomi; biaya pembebasan tanah/luas area yang dibutuhkan, biaya
pemasangan alat-alat pengontrol
7.2.3 Elemen Perencanaan
Elemen perencanaan untuk persimpangan sebidang adalah termasuk :
 Jari-jari minimum (R min) belokan (termasuk pulau-pulau)
 Lebar-lebar dibelokan
 Jarak-jarak pandang dan kebasan samping
 Penyediaan Lajur-lajur tambahan
 Superelevasi
 Penyediaan pulau dank anal, tempat masuk dan keluar
 Bentu-bentuk median
 Drainase, perambuan, marka dan perlengkapan jalan lainnya
Untuk itu diperlukan data dasar sebagai berikut :
a. Data lalu lintas
b. Kondisi Lingkungan

7.3 Simpang Tak Sebidang


Fungsi dari pembangunan simpang tak sebidang adalah :
 Memperbesar kapasitas, keamanan dan kenyamanan
 Tuntutan topografi/lokasi & volume lalu lintas & sudut-sudut pertemuan
 Pengontrolan jalan-jalan masuk (untuk jalan Told an Free way)
Namun di lain sisi hambatan pembangunan simpang tak sebidang diantaranya :
 Biaya mahal karena memerlukan struktur yang cukup rumit
 Pola operasi bias membingungkan pengendara baru
 Standar perencanaan yang tinggi (tepi bias dikurangi karena keadaan topografi)
7.3.1 Jenis-jenis Simpang Tak Sebidang
Jenis-jenis/tipe simpang tak sebidang diantaranya adalah :
 Tipe T (Trumpet) atau Y, untuk simpang susun 3 kaki/lengan
 Tipe Diamond, untuk simpang susun 4 kaki/lengan & arus major dan minor
 Tipe Clover Leaf atau semanggi

22
 Tipe Directional atau langsung
 Kombinasi, merupakan penggabungan dari bentuk-bentuk dasar diatas
7.3.2 Bagian-bagian Simpang Susun
Yang dimaksud dengan bagian-bagian simpang susun disini ialah khusus mengenai
jalur-jalur lalu lintas yang terdapat pada suatu simpang susun. Dalam suatu simpang
susun yang lengkap terdapat jalur-jalur lalu lintas sebagai berikut :
1. Jalur utama (main Lane)
2. Jalur Kolektor/Distributor
3. Jalur Penghubung (Ramp)
4. Jalur Perlambatan/Percepatan
5. Jalur Penampung (Frontage Road)
7.3.3 Macam-macam Jalur Penghubung (Ramp)
Ramp atau jalur penghubung merupakan suatu komponen penting pada suatu
simpang susun. Sesuai dengan kegunaannya terdapat 3 macam Ramp yaitu :
a. Direct (Hubungan langsung)
b. Semi Direct (Hubungan setengah langsung)
c. Inderect (Hubungan tak langsung)
7.3.4 Ketentuan Umum Perancangan Simpang Tak Sebidang
Dalam pembahasan simpang susun ini, terdapat beberapa hal-hal khusus yang perlu
diperhatikan dan meliputi ;
 Jenis-jenis Ramp (Direct, Indirect, Loop)
 Jalur-jalur tambahan yang terdiri dari lajur percepatan dan perlambatan
 Tempat keluar masuk simpang susun
 Penggunaan sumbu acuan perancangan antara Centre line utama dengan Base
line di ramp
 Standar Geometrik yang digunakan
 Landai ramp, 6 – 8% untuk Lajur percepatan & perlambatan
 Ruang bebas berkaitan dengan t minimum jembatan antara 4.5 – 5.0 m
 Konsistensi bentuk simpang susun & jarak antara simpang susun min. 2-3 km
 Pembangunan bias dilakukan secara bertahap, sesuai dengan batasan yang ada
 Keseimbangan jalur dijalan & disimpang susun yang harus mengikuti ketentuan
7.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perencanaan
Dalam merencanakan suatu simpang susun terdapat 5 faktor umum yang harus
diperhatikan ialah :
a. Faktor lalu lintas dan pengoperasiannya
b. Kondisi lapangan
c. Tipe jalan dan fasilitas persimpangan serta keamanannya

23
d. Tahapan pembangunan
e. Faktor Ekonomi

7.4 Tahap Perencanaan Intersection dan Interchange


Tahapan perencanaan simpang secara umum adalah :
- Dapatkan & analisis data lalu lintas untuk mendapatkan VJP untuk semua
pergerakan termasuk tingkat pertumbuhannya (i)
- Dapatkan data-data Fisik lokasi, peta situasi dan rencana pengembangan wilayah
- Dapatkan data-data tentang type jalan, rencana pengembangan dan lain-lain
- Siapkan sketsa-sketsa permulaan tentang bentuk-bentuk yang mungkin
- Pilih 2 atau lebih alternative yang mungkin
- Siapkan preliminary Design untuk alternative yang terpilih& rancangan Alinyemen
- Evaluasi Hasil design terhadap aspek-aspek teknis (kapasitas/volume, pola
operasi, Pengelolaan lalu lintas selama konstruksi, kemungkinan pembangunan
bertahap)
- Hitung keperluan biaya (struktur, pembebasan tanah)
- Hitung B.O.K dan keuntungan yang diperoleh pengemudi
- Siapkan Final Design, Spesifikasi & perkiraan-perkiraan volume dan biaya.

BAB VIII
PERLENGKAPAN JALAN (ROAD FURNITURE)

8.1 Rambu

24
Yang dimaksud dengan rambu adalah rambu lalu lintas (traffic sign) yaitu tanda atau
perlengkapan yang dipasang di sisi atau di atas jalan, yang berupa papan petunjuk,
patok & penghalang, berguna untuk mengatur lalu lintas agar berjalan lancer & aman.
Bentuk rambu dapat berupa lingkaran, segi delapan, segi tiga & 4 persegi panjang.
Biasanya rambu menggunakan cat khusus yang sifatnya memantulkan cahaya.
Rambu Larangan
Rambu perintah
Rambu Peringatan
Rambu Petunjuk/Informasi

8.2 Marka
Marka adalah tanda (berupa symbol atau tulisan) yang dipasang pada permukaan
perkerasan jalan berguna untuk mengatur lalu lintas agar berjalan lancer dan aman.
Menurut bentuknya, marka dapat dikelompokkan menjadi (berdasarkan Produk
Standar untuk jalan perkotaan, Ditjen Bina Marga, Dept PU, 1987)
Marka Garis Terputus (Dotted Line)
Marka Garis Penuh
Zebra Cross
Chevron
Marka Pulau
Marka Dilarang Parkir
Marka Tanda Pengarah Jalur
Marka Huruf dan Angka
Marka Simbol

8.3 Kereb
Kereb merupakan bagian dari perlengkapan jalan yang berfungsi utama untuk
meninggikan permukaan. Biasanya dipasang diluar jalur gerak jalan (traveled way),
disisi pulau atau trotoar dan terbuat dari beton.

8.4 Trotoar
Trotoar adalah jalur pejalan kaki, yang fungainya yaiti agar pejalan kaki tidak
menggunakan badan jalan yang pada gilirannya akan mengganggu kelancaran lalu
lintas serta mempertinggi potensi terjadinya kecelakaan

8.5 Pengaman Tepi

25
Pada segmen jalan (jalan arteri atau kolektor) yang sisi-sisinya dianggap
membahayakan (biasanya berupa jurang) sebaiknya ditempatkan pengaman tepi di
sebelah luar bahu jalan. Menurut Standar (BINKOT, 1990) tinggi pengaman tepi
berkisar antara 70 sampai 75 cm.
Menurut jenis materialnya, pengaman tepi dapat dikelompokkan menjadi :
a. Pengaman Tepi Besi
b. Pengaman Tepi Beton
c. Pengaman Tepi Tanah Timbunan
d. Pengaman Tepi Batu Kali
e. Pengaman Tepi Balok Kayu
8.6 Jembatan
Jembatan adalah bangunan pelengkap jalan dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari jalan. Secara umum jembatan adalah bangunan yang melintasi
aliran air atau jalan untuk menghubungkan dua tempat.
Secara umum konstruksi jembatan terdiri dari :
 Bangunan atas
 Landasan
 Bangunan Bawah
 Pondasi
 Jalan Pendekat (Oprit)
 Bangunan Pengaman
Klasifikasi jembatan berdasarkan sifat pelintasannya :
 Jembatan elevasi tinggi
 Jembatan elevasi rendah
 Ford dan Floodway
Klasifikasi jembatan berdasarkan masa layan adalah :
 Jembatan darurat/sementara seperti Bailey, Acrow Transpanel & jembatan kayu
 Jembatan Semi Permanen
 Jembatan Permanen
Berdasarkan system manajemen jembatan, pembagian jembatan berdasarkan
bangunan atas adalah sebagai berikut :
 Sokongan
 Gantungan
 Komposit
 Balok pelengkung
 Pelengkung, Rangka

26
Klasifikasi berdasarkan bahan, khususnya bahan untuk bangunan atas, secara
sederhana terbagi atas :
 Jembatan Kayu
 Jembatan (rangka) baja
 Jembatan komposit (baja dengan beton)
 Jembatan Beton (baik beton konvensional maupun beton pratekan)

Tabel 8.2 : Jenis dan Spesifikasi Jembatan Standar


Jenis Jembatan Kelas/Tipe Bentang (m) Ukuran Gelagar (mm)
Kayu 4 - 10 310 – 530
5.5 - 19.5 350 – 1250
Pelat 5 - 12 300 – 580
Pelat Beton Berongga A 5-6 310 – 740
B 280 – 710
Beton Bertulang A, B, C 5 - 25 300 – 1550
Beton Pratekan Indonesia A dan B 20 - 45
Kotak Beton (Box) Indonesia
Balok Baja dg Jack Arck Deck
Gelagar/komposit Indonesia A dan B 6 – 20 240 WF 68 – 33 WF 200
Gelagar Baja Indonesia A, B, C 20, 25, 30
Gelagar Baja Jepang A dan B 20, 25, 30
Rangka Baja Callendei-Hamilton B15 41.5 – 59.44
D5 Deck 50, 55, 70
B Deck 30.48 – 39.62
Rangka Baja Australia A, B, C 30 - 60
Rangka Baja Belanda
Rangka Baja Austria (semi permanen)

BAB IX
PERKERASAN JALAN

Perkerasan (Pavement) dapat didefinisikan sebagai lapisan yang relative stabil yang
dibangun di atas tanah asli atau tanah dasar yang berfungsi untuk menahan dan
mendistribusikan beban kendaraan serta sebagai lapisan penutup permukaan.
Secara umum konstruksi jalan terdiri atas :
a. Tanah Dasar, berupa tanah dipadatkan baik dari hasil galian maupun hasil timbunan
b. Lapis Pondasi, yang biasanya terdiri dari lapis pondasi bawah dan lapis pondasi.
c. Lapis Permukaan, lapisan yang kontak langsung dengan beban (roda kendaraan).
Berdasarkan karakteristik menahan dan mendistribusikan beban maka perkerasan terbagi :
1. Perkerasan Lentur (Flexible pavement)
2. Perkerasan Kaku (Rigid pavement)

27
Tabel 9.1: Pebandingan antara perkerasan Lentur dan kaku
No. Item Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku
1 Umur Rencana Umur rencana efektif 5 sampai 10 Umur rencana dapat mencapai 20
(masa Layan) tahun. Perlu beberapa tahap sampai 30 tahun dalam satu kali
pembangunan masa layan seperti konstruksi
perkerasan kaku
2 Lendutan Cenderung untuk melendut Lendutan jarang terjadi
3 Perilaku thd Perkerasan lentur lebih sensitif pada overloading dibandingkan perkerasan
overloading kaku. Sensitivitas ini dikaitkan dengan perilaku terhadap lendutan
4 Kebisingan dan Perkerasan lentur memiliki tingkat kebisingan & vibrasi yang lebih rendah
Vibrasi dibandingkan perkerasan kaku
5 Pantulan Cahaya Perkerasan lentur mempunyai daya pantul terhadap cahaya lebih lemah
dibandingkan perkerasan kaku
6 Bentuk Permukaan perkerasan lentur lebih halus sehingga terasa lebih nyaman
Permukaan untuk berkendaraan
7 Proses Relatif lebih mudah dan cepat. Dengan teknologi bahan aditif untuk
Konstruksi Dengan teknologi campuran waktu beton maka proses pematangan
yang diperlukan dari mulai beton dapat dipercepat antara satu
penghamparan sampai dibuka untuk sampai 2 hari, tetapi beton yang
lalu lintas hanya membutuhkan waktu terlalu cepat matang cenderung
sekitar 2 jam saja. untuk menjadi retak
8 Perawatan Memerlukan perawatan rutin tetapi Tidak perlu perawata rutin, tetapi
relatif lebih mudah perbaikan kerusakan relatif lebih sulit
9 Biaya Konstruksi Dikaitkan dengan proses konstruksi Biaya awal relatif lebih mahal tetapi
dan perawatan maka biaya awal perkerasan lentur relatif tidak memerlukan perawatan
lbh murah tetapi perlu ada perawatan rutin, untuk masa umur yang sama
rutin tahunan atau lima tahunan
10 Karakteristik thd Beban didistribusikan secara Dengan nilai kekakuan yang tinggi
pembebanan berjenjang dan bertahap sampai maka seluruh beban diterima oleh
tanah dasar struktur
11 Karakteristik Material utama adalah agregat,aspal Material utama adalah agregat,semen
material dan filler (jika diperlukan). Sangat dan filler (jika diperlukan). Air dapat
sensitif terhadap air membuat proses pematangan beton

BAB X
KARAKTERISTIK BAHAN PERKERASAN

Material utama pada struktur perkerasan jalan antara lain adalah tanah (soil), agregat, aspal,
semen dan material pengisi (filler) seperti kapur, lempung atau abu terbang (fly ash, sisa
pembakaran batu bara). Kekuatan, daya tahan dan keawetan struktur selain ditentukan oleh
karakteristik material masing-masing, juga oleh interaksi antar material seperti aggregate
interlocking, mortar dan campuran aspal-agregat atau semen-agregat (beton)

10.1 Aspal
Aspal adalah sejenis mineral yang banyak digunakan untuk konstruksi jalan, khusus
perkerasan lentur.
Klasifikasi aspal menurut AASHTO adalah sebagai berikut :
Tabel 10.1: Spesifikasi Aspal Keras

28
Nilai Penetrasi
Berdasarkan Nilai Penetrasi 40-50 60-70 85-100 120-150 200-300
min max min max min max min max min max
Penetras i (25˚C,100gr,5 detik) 40 50 60 70 85 100 120 150 200 300
Titik nyala (Cleveland Open),˚C 232 - 232 - 232 - 218 - 177 -
Daktilitas (25˚C, 5cm per m enit) 100 - 100 - 100 - 100 - 100 -
Kelarutan pada trichloroethele, % 99 - 99 - 99 - 99 - 99 -
Kehilangam berat, % - 0.8 - 0.8 - 1.0 - 1.3 - 1.5
Penetras i s etelah kehilangan berat 58 - 54 - 50 - 46 - 40 -
Daktilitas s etelah kehilangan berat - - 50 - 75 - 100 - 100 -

Nilai Viskositas
Berdasarkan Nilai Viskositas
AC-2.5 AC-5 AC-10 AC-20 AC-30 AC-40
Vis kos itas , 60˚C (140˚F), Pois es 250±50 500±100 1000±200 2000±400 3000±600 4000±800
Vis kos itas , 135˚C (275˚F), Cs ,Min 125 175 250 300 350 400
Penetras i (25˚C, 100gr, 5 detik) 220 140 80 60 50 40
Titik Nyala (˚C) 163 177 219 232 232 232
Kelarutan pada trichloroethene, % 99,0 99,0 99,0 99,0 99,0 99,0
Kehilangan berat, % - 1,0 0.5 0.5 0.5 0.5

10.1.1 Aspal Alam


Aspal alam ditemukan di pulau Buton (Sulawesi Tenggara-Indonesia), Perancis,
Swiss dan Amerika Latin. Menurut kekerasannya aspal alam dapat dibagi, secara
berurutan sebagai Batuan (Rock Asphalt), Plastis (Trinidad Lake Asphalt = TLA), Cair
(Bermuda Lake Asphalt = BLA). Sedangkan menurut tingkat kemurniannya dapat
diurutkan sebagai murni dan hamper murni (bermula Lake Asphalt), tercampur
dengan mineral (Rock Asphalt Pulau Buton, Trinidad, Perancis dan Swiss).

10.1.2 Aspal Buatan


Jenis Aspal ini dibuat dari minyak bumi sehingga dikenal sebagai aspal minyak.
Karena Aspal ini sering keras pada suhu kamar maka sering disebut sebagai aspal
keras, dan karena aspal ini harus dipanaskan terlebih dahulu sebelum digunakan
maka sering juga disebut sebagai Aspal panas.
10.1.3 Aspal Cair
Aspal Cair adalah aspal keras yang diencerkan dengan 10 sampai 20% kerosin,
white spirit, atau gas oil untuk mencapai viscositas tertentu dan memenuhi fraksi
destilasi tertentu.
10.1.4 Aspal Emulsi
Aspal Emulsi adalah aspal yang lebih cair dari pada aspal cair dan mempunyai sifat
dapat menembus pori-pori halus dalam batuan yang tidak dapat dilalui oleh aspal cair
biasa oleh karena sifat pelarut yang membawa aspal dalam emulsi mempunyai daya
tarik terhadap batuan yang lebih baik daripada pelarut dalam aspal cair, terutama
apabila batuan tersebut agak lembab.
10.1.5 Tar

29
Tar adalah sejenis cairan yang diperoleh dari material organis seperti kayu atau batu
bara melalui proses pemijaran atau destilasi dengan suhu tinggi tanpa zat asam.

10.2 Pengujian Karakteristik Aspal


10.2.1 Penetrasi Bahan Aspal
Nilai Penetrasi adalah salah satu indicator penting dalam identifikasi dan klasifikasi
aspal. British Standard Institution (BSI) membagi nilai penetrasi dalam 10 tingkatan
dengan rentang nilai 15-450. Sedangkan AASHTO menetapkan nilai penetrasi 40/50
sebagai nilai penetrasi untuk aspal terkeras dan 200/300 untuk aspal terlunak.
10.2.2 Berat Jenis
Berat Jenis Aspal adalah perbandingan antara berat aspal terhadap berat air suling
dengan isi yang sama pada suhu tertentu, yaitu dilakukan dengan cara menggantikan
berat air dengan berat aspal dalam wadah yang sama (yang sudah diketahui
volumenya berdasarkan konversi berat jenis air sama dengan satu).
Macam-macam berat jenis aspal dan kisaran nilainya adalah sebagai berikut :
 Penetration grade aspal dengan berat jenis antara 1.010 (untuk aspal dengan
penetrasi 300) sampai dengan 1.040 (untuk aspal dengan penetrasi 25)
 Aspal yang telah teroksidasi (oxidized aspal) dengan Berat jenis berkisar antara
1.015 samapi dengan 1.035
 Hard grades aspal dengan berat jenis berkisar antara 1.045 sampai dengan 1.065
 Cutback grades aspal dengan berat jenis berkisar antara 0.992 sampai dgn 1.007
10.2.3 Titik Lembek Aspal
Aspal adalah material termoplastik yang secara bertahap mencair, sesuai dengan
pertambahan suhu dan berlaku sebaliknya pada pengurangan suhu. Metode Ring
and Ball yang umumnya diterapkan pada bahan aspal ini, dapat mengukur titik
lembek bahan semi padat sampai padat.

10.2.4 Titik Nyala dan Titik Bakar Aspal


Terdapat dua metode yang umu dipakai untuk menentukan titik nyala dari bahan
aspal. Untuk aspal cair (Cutback) biasanya dilakukan dengan menggunakan alat
Tagliabue Open Cup, sementara untuk bahan aspal dalam bentuk padat biasanya
digunakan alat Cleveland Open Cup. Titik Nyala ditentuakan sebagai suhu terendah
dimana percikan api pertama kali terjadi sedangkan Titik Bakar ditentukan sebagai
suhu dimana benda uji terbakar. Titik nyala dan titik baker aspal perlu diketahui
sebagai indikasi temperature pemanasan maksimim dimana masih dalam batas-
batas aman pengerjaan dan agar karakteristik aspal tidak berubah (rusak) akibat
dipanaskan melebihi temperatus titik bakar.

30
10.2.5 Daktilitas Aspal
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui salah satu sifat mekanik bahan aspal
yaitu seberapa besar bahan ini menahan kekuatan tarik yang diwujudkan dalam
bentuk kemampuannya untuk memenuhi syarat jarak tertentu (dalam pemeriksaan ini
adalah 100 cm) tanpa putus. Apabila bahan aspal tidak putus setelah melewati jarak
100 cm, maka dianggap bahan ini mempunyai kemampuan untuk menahan tarik
yang tinggi.
10.2.6 Kehilangan Berat akibat Pemanasan
Cahaya diketahui mempunyai efek yang merusak aspal. Kerusakan yang ditimbulkan
sering berasal dari sinar matahari, yang mungkin akan merusak molekul aspal,
dibantu oleh factor air dan cairan pelarut lainnya. Kerusakan molekul dengan cara ini
dinamakan fotooksidasi. Nilai penetrasi, titik lembek dan daktilitas sebelum dan
sesudah kehilangan berat umumnya diukur dan dibandingkan. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana penurunan kinerja aspal akibat kehilangan berat.

10.2.7 Kelarutan Aspal


Kelarutan aspal adalah persentase benda uji aspal yang larut pada cairan pelarut,
yaitu trichloroethylene atau 1,1,1 trichloroethane. Pengujian kelarutan yang lain
adalah spot test, secara garis besarnya, aspal dilarutkan pada suatu cairan pelarut.
Cairan pelarut yang dipakai di Indonesia berdasarkan SNI dan standar AASHTO atau
ASTM. Cairan pelarut menurut SNI adalah Karbon Tetra Klorida atau Karbon
Bisulfida sedangkan cairan pelarut menurut standar AASHTO dan ASTM adalah
Trichloroethylene atau 1,1,1 trichloroethane.
10.2.8 Viskositas Aspal
Sifat kekentalan material aspal merupakan salah satu factor penting dalam
pelaksanaan campuran maupun dalam pelaksanaan di lapangan. Misalnya pada
suhu pencampuran tertentu, apabila viskositasnya terlalu tinggi maka akan
menyulitkan dala pencampuran,sebaliknya apabila viskositasnya terlalu rendah maka
aspal menjadi kurang berperan sebagai bahan perekat pada campuran.
10.2.9 Kadar Air dan Fraksi Aspal Cair
Unsur-unsur yang terkandung dalam menentukan kinerja material aspal adalah air
dan fraksi aspal. Kandungan kedua unsure tersebut sangat penting terutama yang
berhubungan karakteristik daya ikat aspal dengan bahan agregat atau bahan lain
dalam pencampuran aspal.

10.3 Agregat

31
Kadar agregat dalam campuran bahan perkerasan konstruksi jalan pada umumnya
berkisar antara 90-95% dari berat total atau berkisar antara 75-95% dar volume total.
Agregat adalah suatu bahan keras dan kaku yang digunakan sebagai bahan
campuran yang berupa butiran atau pecahan yang termasuk didalamnya antara lain :
Pasir, kerikil, agregat pecah, terak dapur tinggi, abu (debu) agregat.
Ada 3 golongan umum batuan yang umumnya digunakan untuk agregat yaitu :
a. Batuan Beku (igneous rock)
b. Batuan Endapan (Sedimentary rock)
c. Batuan Methamorphik
10.3.1 Agregat Buatan
Yang termasuk agregat buatan antara lain kerak kapur yaitu hasil sampingan
pembakaran biji logam. Biasa digunakan untuk penutup geladak jembatan, penutup
atap, sebagai tulangan pada perkerasan aspal.

10.3.2 Sumber Agregat


Agregat untuk bahan perkerasan dapat juga digolongkan sesuai dengan sumbernya
atau menurut cara mempersiapkannya antara lain sebagai berikut :
a. Pit Bank agregat (Pitrun)
b. Agregat sebagai hasil proses tertentu
c. Agregat synthesis/buatan (synthetic or Artificial aggregate)

10.4 Pengujian Karakteristik Agregat


10.4.1 Analisa Saringan
Batu pecah dan batu alam secara teoritis terbagi atas dua grup yakni agregat kasar
dan halus, pemisah dari dua grup ini adalah 5mm di atas ukuran ini disebut kasar dan
dibawahnya adalah agregat halus.
10.4.2 Berat Jenis
 Berat jenis curah (bulk specific gravity) adalah perbandingan antara berat agregat
kering dan berat air suling yang isinya sama dengan isi agregat dalam keadaan
jenuh pada suhu tertentu
 Berat jenis (SSD) atau berat jenis kering permukaan jenuh adalah perbandingan
antara berat agregat kering permukaan jenuh dan berat air suling yang isinya
sama dengan agregat dalam keadaan jenuh pada suhu tertentu.
 Berat jenis semu (apparent specific gravity) adalah perbandingan antara berat
agreagat kering dan berat air suling yang isinya sama dengan isi agregat dalam
keadaan kering pada suhu tertentu

32
 Penyerapan adalah presentase berat air yang dapat diserap pori terhadap berta
agregat kering.
10.4.3 Berat Isi
Pengujian ini umumnya digunakan untuk agregat kasar yang bertujuan untuk
mengetahui perbandingan antara berat dan isi. Metode pengujian berat isi agregat ini
adalah mengukur berat benda uji agregat kering oven dalam suatu silinder logam
dibagi dengan volume silinder logam yang dinyatakan dalam satuan gram per liter.
10.4.4 Pengujian terhadap Tumbukan dan Tekanan
Proses tumbukan dan tekanan adalah proses dasar pada pembuatan agregat di
aggregate Crushing Plant. Biasanya beban tumbukan ini dikombinasikan dengan
beban tekanan (Crushing) baik dalam arah lateral maupun aksial. Beban tumbukan
dan tekanan yang diterima oleh agregat dimulai dari aggregate Crushing Plant.

10.4.5 Pengujian Keausan Agregat


Ada dua aspek yang menguji durabilitas agregat ini yaitu kerusakan mekanis dan
kerusakan diakibatkan reaksi physico-chemical seperti pelapukan. Dalam uji abrasi
ini tipe tes durabilitas yang diambil adalah tipe tes kerusakan mekanis. Tipe tes
kerusakan mekanis ini memiliki berbagai macam tipe, contohnya :
 Aggregate abrasion Value
 Aggregate Attrition Value
 Los Angeles Abrasion Value
 Polished Stone Value
Abrasi adalah proses pengausan atau perusakan dari terjadinya proses pelemahan
agregat akibat beban lalu lintas.
10.4.6 Kepipihan dan Kelonjongan
Pada batuan alam maupun hasil crushing plant terdapat fraksi-fraksi agregat yang
memiliki berbagai macam bentuk. BSI membagi bentuk-bentuk agregat dalam 6
kategori yaitu bulat, tidak beraturan, bersudut, pipih, lonjong, pipih dan lonjong.
Kategori bulat, tidak beraturan dan bersudut dikelompokkan dalam satu kategori yaitu
berdiamensi seragam. Suatu agregat dikatakan pipih, lonjong, pipih dan lonjong atau
berdiamensi seragam ditentukan berdasarkan perbandingan antara diameter
terpendek, terpanjang dan rata-ratanya.

10.4.7 Pelapukan Agregat (Soundness)

33
Istilah Soundness diartikan sebagai kemampuan agregat untuk menahan perubahan
volume yang berlebihan, sebagai akibat dari perubahan lingkungan fisik seperti beku-
cair, perubahan panas.

10.5 Campuran Aspal dan Agregat


10.5.1 Jenis Campuran
Berdasarkan fungsinya campuran pada struktur perkerasan antara lain lapisan
pondasi, lapisan permukaan, lapisan aus dan lapisan penutup. Sedangkan
berdasarkan kemampuan mendistribusi beban dikenal campuran yang memiliki nilai
structural dan campuran yang tidak memiliki nilai structural. Berdasarkan metode
konstruksinya dikenal pula metode segregasi dan metode pracampur, yang terbagi
lagi atas campuran panas (hotmix), campuran hangat (warm mix) dan campuran
pada suhu kamar atau campuran dingin (cold mix).
Beberapa campuran aspal dan agregat yang dikenal antara lain adalah :
a. LAPEN (Lapis Penetrasi Makadam)
Campuran antara agregat dan aspal yang terdiri atas agregat pokok dan agregat
pengunci dengan gradasi terbuka dan seragam dengan aspal dengan cara
disemprotkan diatasnya dan dipadatkan lapis demi lapis. Biasanya digunakan
sebagai lapis pondasi dan lapis permukaan.
b. LATASIR (Lapis Tipis Aspal Pasir)
Campuran yang terdiri dari aspal dan pasir bergradasi menerus yang dicampur pada
suhu minimum 120˚C dan dipadatkan pada suhu min. 98-110˚C. Berfungsi sebagai
lapis penutup, lapisan aus, dan memberi permukaan jalan yang rata dan tidak licin.
c. BURAS (Laburan Aspal)
Campuran yang terdiri dari aspal taburan pasir dengan ukuran mak.3/8” berfungsi
sebagai lapisan penutup yang menjaga permukaan agar tidak berdebu, kedap air,
tidak licin dan mencegah lepasnya butiran halus.
d. BURTU (Laburan Aspal Satu Lapis)
Campuran ini sama dengan BURAS tetapi dengan laburan satu lapisan agregat
bergradasi seragam dengan tebal 20 mm. Berfungsi menjaga agar permukaan tidak
berdebu, mencegah air masuk dan memperbaiki tekstur permukaan.
e. BURDA (Laburan Aspal Dua Lapis)
Pengembangan dari BURTU dimana lapisan aspal ditaburi agregat dan dikerjakan 2
kali secara berurutan dengan tebal mak. 35 mm. Berfungsi membuat permukaan
tidak berdebu, mencegah masuknya air dan memperbaiki tekstur permukaan
perkerasan.
f. LASBUTAG (Lapis Asbuton Campuran Dingin)

34
Campuran yang terdiri atas campuran agregat, asbuton dan bahan peremaja yang
dicampur, diaduk, diperam, dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan dingin
(tanpa pemanasan). Berfungsi sebagai lapis permukaan, lapis aus, melindungi lapis
dibawahnya dari pengaruh cuaca da air, mendukung lalu lintas, dan menyediakan
jalan yang rata serta tidak licin.
g. LATASBUM (Lapis Tipis Asbuton Murni)
Pada campuran ini pencampuran dilakukan pada suhu kamar (Cold mix). Tebal padat
mak. 1 cm, digunakan pada jalan yang telah beraspal yang telah stabil dan rata yang
mulai retak atau mengalami degradasi.
h. LASTON ( Lapis Aspal Beton) atau Asphaltic Concrete, AC
Campuran aspal dengan agregat bergradasi menerus yang dicampur pada suhu
min.115˚C dihampar dan dipadatkan pada suhu min.110˚C. Diguankan sebagai
lapisan permukaan, sebagai leveling (lapisan untuk meratakan permukaan dan
memberi bentuk permukaan yang baik).
i. LASTON ATAS (Lapis Aspal Beton Pondasi Atas)
Campuran ini terdiri dari campuran agregat dan aspal dengan perbandingan tertentu
dan dicampur pada suhu 90-120˚C dan dipadatkan dalam keadaan panas.
j. LASTON BAWAH (Lapis Aspal Beton Pondasi Bawah)
Sama halnya denganLASTON ATAS, tetapi sebagai lapis pondasi bawah. Campuran
ini terdiri dari campuran agregar dan aspal yang dicampur pada suhu min.80-120˚C
dan dipadatkan pada suhu minimum 80˚C.
k. LATASTON (Lapis Tipis Aspal Beton) atau Hot Rolled sheet, HRS
Campuran ini menggunakan agregat bergradasi timbang, aspal dan filler yang
dicampur pada suhu tertentu dan dipadatkan dengan tebal padat antara 2,5cm atau
3cm pada suhu minimum 140˚C
l. Hot Rolled Asphalt, HRA
Campuran ini menggunakan sedikit agregat berukuran sedang (2,36 mm – 10 mm)
dan matriks pasir, mineral halus dan aspal serta sedikit agregat kasar Biasanya
berukuran nominal 14 mm)
m. Stone Mastic Asphalt, SMA
Campuran ini berbeda dengan HRA dari segi mortarnya yang khusus didesain untuk
mengisi rongga antara agregat kasar, sedangkan pada HRA hanya ada sedikit
agregat kasar.
10.5.2 Kinerja campuran aspal dan agregat
Sifat-sifat penting yang harus dimiliki oleh suatu campuran aspal & agregat Yaitu :
a. Stabilitas
Stabilitas dapat didefinisikan sebagai kekuatan campura untuk menahan
deformasi akibat beban lalu lintas.

35
b. Fleksibilitas
Fleksibilitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan campuran untuk menahan
lendutan (defleksi) dan momen tanpa timbul retak.
c. Durabilitas
Durabilitas dapat didefinisikan sebagai ketahan campuran terhadap beban lalu
lintas dan pengaruh cuaca.
d. Workabilitas
Campuran harus mudah untuk dikerjakan yaitu proses pengangkutan dari mixing
Plant, penghampar dan pemadatan.

e. Ekonomis
Campuran harus direncanakan dengan menggunakan jenis dan kombinasi
material yang menghasilkan biaya termurah tetapi memenuhi persyaratan teknis
yang ditetapkan.
10.5.3 Kadar Aspal Optimium
Fungsi aspal dalam campuran adalah sebagai perekat dan pengisi, dengan fungsi ini
maka jumlah aspal dalam campuran harus optimum. Dalam sekala laboratorium
kadar aspal optimum dapat ditentukan melalui metoda Marshall Test. Dengan
menggunakan marshall test sehingga kondisi kadar aspal optimum ditentukan
berdasarkan stabilitas campuran yaitu kadar aspal optimum dalam menahan beban
hingga terjadi kelelehan plastis.
10.5.4 Pengujian Marshall
Peralatan yang digunakan dalam pengujian :
Tiga buah cetakan benda uji
Mesin penumbuk manual atau otomatis
Alat pengeluar benda uji
Alat Marshall
Oven
Bak perendam
Timbangan yang dilengkapi penggantung benda uji
Pengukur suhu dari logam
Perlengkapan lain seperti panic, kompor, sendok pengaduk dan lain-lain.

Tabel 10.3: Tingkat kekentalan (Viskositas) Aspal untuk Aspal Padat dan Aspal Cair

36
Pencampuran Pemadatan
Alat
Aspal Padat Aspal Cair Satuan Aspal Padat Aspal Cair Satuan
Kinematik
170±20 170±20 C.ST 280±30 280±30 C.ST
Viscosimeter
Saybolt Furol DET DET
85±10 85±10 140±15 140±15
Viscometer S.F S.F

Tabel 10.4: Kriteria Perencanaan campuran Aspal Beton (Bina Marga)


Lalu lintas berat Lalu linta s sedang Lalu linta s ringan
Sifat Campuran (2 x 75 Tumbukan) (2 x 50 Tumbukan) (2 x 35 Tumbukan)
Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.
Stabilitas (kg) 550 - 450 - 350 -
Kelelehan (mm) 2,0 4,0 2,0 4,5 2,0 5,0
Stabilitas/Kelelehan (kg/mm) 200 350 200 350 200 350
Rongga dalam campuran (%) 3 5 3 5 3 5
Indeks Perendaman (%) 75 - 75 - 75 -
Persentase Minimum Rongga Dalam Agregat
Ukuran Maksimum Nominal Agregat Persentase Min. Rongga dalam agregat
No. 16 (1,18 mm) 23.5
No. 8 (2,36 mm) 21,0
No. 4 (4,75 mm) 18,0
3/8 " (9,50 mm) 16,0
1/2" (12,50 mm) 15,0
3/4" (19,00 mm) 14,0
1" (25,00 mm) 13,0
1½" (37,50 mm) 12,0
2" (50,00 mm) 11.5
2½" (63,00mm) 11,0

Tabel 10.5: Kriteria Perencanaan campuran Aspal Beton (Asphalt Institute)

37
Lalu lintas berat Lalu linta s sedang Lalu linta s ringan
Sifat Campuran (2 x 75 Tumbukan) (2 x 50 Tumbukan) (2 x 35 Tumbukan)
Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.
Stabilitas (lb) 1800 - 1200 - 750 -
Stabilitas (N) 3336 - 5338 - 8006 -
Kelelehan 0.25 mm (0.01 In) 8 18 8 16 8 14
Rongga dalam campuran (%) 3 5 3 5 3 5
Rongga terisi Aspal (%) 75 - 75 - 75 -
Persentase Minimum Rongga Dalam Agregat
Ukuran Maksimum Nominal VIM VIM Desain VIM Dedain
Agregat 3% 4% 5%
No. 16 (1,18 mm) 21,5 22,5 23,5
No. 8 (2,36 mm) 19 20,0 21
No. 4 (4,75 mm) 16 17,0 18
3/8 " (9,50 mm) 14 15,0 16
1/2" (12,50 mm) 13 14,0 15
3/4" (19,00 mm) 12 13,0 14
1" (25,00 mm) 11 12,0 13
1½" (37,50 mm) 10 11,0 12
2" (50,00 mm) 9,5 10,5 11,5
2½" (63,00mm) 9 10 11

BAB XI
PERANCANGAN PERKERASAN

11.1 Prinsip Perkerasan


Pada saat tanah dibebani, maka beban tersebut akan menyebar ke dalam tanah
dalam bentuk tegangan tanah. Tegangan ini menyebar sedemikian sehingga dapat
menyebabkan lendutan dan akhirnya keruntuhan tanah.
Asumsi penting pada system Multilayered Elastic System :
1. Karakteristik material pada setiap lapisan adalah homogen
2. Setiap lapisan memiliki tebal yang terbatas kecuali lapisan terbawah dan memiliki
tebal tidak berhingga pada arah lateralnya
3. Setiap lapisan merupakan lapisan yang isotropic
4. Geseran samping pada permukaan perkerasan
5. Analisa tegangan dan regangan didasarkan pada nilai modulus elastisitas

11.2 Perkembangan Konstruksi Perkerasan


Perkembangan perencanaan dan konstruksi perkerasan jalan sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan manusia akan kecepatan, kenyamanan, keamanan dan
kemudahan melakukan perjalanan di darat

38
11.3 Perkerasan Kaku
Berdasarkan penggunaan bahan maka perkerasan kaku dapat dibagi atas :
a. Perkerasan kaku dengan lapisan beton sebagai lapis aus
b. Perkerasan Komposit, yaitu perkerasan kaku dengan lapisan beton sebagai lapis
pondasi dan campuran aspal – agregat sebagai lapis permukaan.
11.3.1 Bagian Perkerasan Kaku
Bagian-bagian perkerasan kaku terdiri dari :
 Tanah Dasar
 Lapis Pondasi Bawah
 Lapisan Beton
11.3.2 Komponen Perancangan
Komponen Perancangan terdiri atas :
a. Volume Lalu Lintas Rencana (VLLR)
b. Konfigurasi Sumbu Kendaraan

Ada 3 jenis sumbu yang diperhitungkan dalam perancangan yaitu :


1. Sumbu Tunggal dengan roda tunggal (STRT)
2. Sumbu Tunggal dengan roda ganda (STRG)
3. Sumbu Ganda dengan roda ganda (SGRG)
c. Kekuatan Tanah Dasar
11.4 Perkerasan Lentur
Perencanaan struktur perkerasan lentur lebih banyak didasarkan pada metoda pra
campur. Perkembangan metoda perhitungan dimulai dari teknik coba-coba dan
antisipasi terhadap kondisi alam.
11.4.1 Pendekatan Empiris
A. Metoda AASHO
AASHO menetapkan tebal minimum tiap lapisan yang direncanakan. Untuk lapisan
permukaan, pondasi dan pondasi bawah berturut-turut tebal minimumnya adalah 2,
4, dan 4 inchi.
B. Metoda CBR
Pengujian CBR pada dasarnya adalah pengujian dengan penetrasi. Nilai CBR
dinyatakan dengan persentase yaitu persentasi kekuatan sample terhadap batuan
standar. Rata-rata dari hasil pengujian ini ditetapkan sebagai 100% nilai CBR
11.4.2 Pendekatan Analitis
Prosedur perencanaan dengan pendekatan analitis antar lain sebagai berikut :

39
1) Asumsi awal struktur perkerasan, termasuk tebal masing-masing lapisan
2) Menetapkan karakteristik material tiap lapis perkerasan
3) Menetapkan besar beban, bidang kontak dan jumlah repetisi
4) Analisa tegangan regangan yang terjadi akibat pembebanan
5) Membandingkan regangan yang terjadi (vertical dan Horisontal) terhadap
regangan yang diisyaratkan

BAB XII
METODA ANALISA KOMPONEN (MAK)

12.1 Istilah Dalam MAK


1. Jalur Rencana
2. Umur Rencana
3. Indeks Permukaan (IP)
4. Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR)
5. Angka Ekivalen
6. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
7. Lintas EkivalenAkhir (LEA)
8. Lintas Ekivalen Tengah (LET)
9. Lintas Ekivalen Rencana (LER)
10. Tanah Dasar
11. Lapis Pondasi Bawah
12. Lapis Pondasi
13. Lapis Permukaan
14. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)
15. Faktor Regional (FR)
16. Indek tebal Perkerasan (ITP)
Tabel 12.1: Koefisien Distribusi Kendaraan C

40
Kend. Ringan *) Kend. Berat **)
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Jalur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
L < 5,50 m 1 jalur 1,00 1,00 1,00 1,00
5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur 0,60 0,50 0,70 0,50
8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur 0,40 0,40 0,50 0,475
11,25 m ≤ L 15,00 m 4 jalur - 0,30 - 0,45
15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur - 0,25 - 0,425
18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur - 0,20 - 0,40

Daya Dukung Tanah


Karakteristik perkerasan lentur dalam menyalurkan beban kendaraan adalah
sedemikian rupa sehingga tegangan yang disalurkan pada lapisan-lapisan
perkerasan dan tanah dasar yang ada di bawahnya masih mapu dipikul oleh masing-
masing lapisan tersebut sesuai dengan kapasitasnya.
12.2 Faktor Regional
Faktor Regional (FR) merupakan metoda analisa komponen yang memperhitungkan
pengaruh lingkungan. Kendaraan berat yang diperhitungkan dalam menentukan FR
adalah kendaraan dengan total berat lebih besar atau sama dengan 13 ton. Nilai FR
diambil secara kualitatif dengan menggunakan table berikut ini :
Tabel 12.2: Nilai Faktor Regional (FR)
Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
( < 6%) ( 6 - 10%) ( > 10%)
% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30%
Iklim I
0,5 1,0 - 1,5 1,0 1,5 - 2,0 1,5 2,0 - 2,5
< 900 mm/th
Iklim II
1,5 2,0 - 2,5 2,0 2,5 - 3,0 2,5 3,0 - 3,5
> 900 mm/th

12.3 Indeks Permukaan


Tabel 12.3: Nilai Indeks Permukaan Awal (IPo)
Jenis Lapisan Permukaan Ipo Roughness (mm/km)
≥4 ≤ 1000
LA S TON
3,9 -3,5 > 1000
3,9 -3,5 ≤ 2000
LA S B UTA G
3,4 - 3,0 > 2000
3,9 -3,5 ≤ 2000
HRA
3,4 - 3,0 > 2000
BURDA 3,9 -3,5 < 2000
B URTU 3,4 - 3,0 < 2000
3,4 - 3,0 ≤ 3000
LAPEN
2,9 - 2,5 > 3000
LA TA S B UM 2,9 - 2,5
BURAS 2,9 - 2,5
LA TAS IR 2,9 - 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIL ≤ 2,4

Tabel 12.4: Nilai Indeks Permukaan Akhir (IPt)

41
LER = Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan
Rencana Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 - 1,5 1,5 1,5 - 2,0 -
10 - 100 1,5 1,5 - 2,0 2,0 -
100 - 1000 1,5 - 2,0 2,0 2,0 - 2,5 -
> 1000 - 2,0 - 2,5 2,5 2,5

IP = 1,0 : permukaan jalan dalam keadaan rusak berat dan sangat mengganggu lalu lintas kendaraan
IP = 1,5 : kondisi jalan dengan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus)
IP = 2,0 : tingkat pelayanan rendah tetapi jalan masih mantap
IP = 2,5 : umumnya permukaan jalan masih stabil

BAB XIII
PERSYARATAN DAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

13.1 Umum
Secara garis besar, tahapan pekerjaan konstruksi jalan terutama pada perkerasan
lentur adalah mencakup :
 Mobilisasi dan Demobilisasi
 Pekerjaan Persiapan
 Penyiapan Tanah Dasar, Bahu dan Drainase
 Pekerjaan Lapis Pondasi dan Pondasi Bawah
 Pekerjaan Lapis Permukaan (Lapis Penutup dan Perkerasan)
13.2 Mobilisasi dan Demobilisasi
Kegiatan mobilisasi adalah pengadaan alat kerja termasuk alat berat, sedangkan
Demobilisasi adalah pekerjaan kebalikannya sampai kembali pada tempat dimana
semula alat tersebut disimpan. Yang termasuk dalam kegiatan mobilisasi dan
demobilisasi adalah pengadaan tenaga kerja, mulai dari buruh kasar, mandor sampai
manajer pelaksana.
13.3 Pekerjaan Persiapan
Pekerjaan persiapan meliputi pembuatan base camp, pembuatan kantor direksi dan
pembuatan jalan masuk (Access Road) dan sebagainya. Salah satu pekerjaan
persiapan yang penting adalah pemeriksaan Patok.
13.4 Persiapan Tanah Dasar
Persiapan Tanah Dasar mencakup pekerjaan-pekerjaan :
 Pembersihan

42
 Pengelupasan Lapisan Tanah Atas
 Pembongkaran Bangunan
 Penggalian
 Penimbunan
13.5 Pekerjaan Lapis Pondasi dan Lapis Pondasi Bawah
Pada umumnya material lapis pondasi dan pondasi bawah terdiri dari campuran asli
atau buatan antara lain crushed stone, soil aggregate material, crusher-run, crushed-
stone dust, natural sand dan tanah pilihan/timbunan. Contoh untuk konstruksi lapis
pondasi bawah adalah konstruksi telford dengan menggunakan batu belah berukuran
maksimum 20 cm.

13.6 Pekerjaan Lapis Permukaan


Tahapan yang umum digunakan pada pekerjaan Laston adalah :
1. Coating
Pekerjaan pelapisan (coating) ini dilakukan sebelum penghamparan campuran
aspal. Ada 2 jenis pelapisan ini yaitu prime coat dan tack coat
 Prime Coat adalah pelaburan aspal cair pada permukaan pondasi yang belum
beraspal dan merupakan pekerjaan awal sebelum pelapisan berikutnya
 Tack Coat adalah pelaburan aspal pada permukaan perkerasan yang telah
beraspal atau pada permukaan aspal beton yang telah lama umurnya
2. Penghamparan
Hal penting yang harus diperhatikan dalam penghamparan adalah suhu
campuran. Suhu tersebut harus dijaga sedemikian rupa agar pada saat
dipadatkan masih sesuai dengan suhu pemadatan yang disyaratkan. Pemadatan
yang dilakukan di bawah suhu pemadatan yang disyaratkan akan menghasilkan
lapisan mudah terkelupas dan mengalami keriting.
3. Penggilasan (Rolling)
Penggilasan untuk pemadatan biasanya menggunakan wheel steel roller atau
tandem roller atau tyred roller.

43
BAB XIV
PEMELIHARAAN JALAN

14.1 Umum
Pada dasarnya setiap struktur perkerasan jalan akan mengalami proses pengrusakan
secara progresif sejak jalan tersebut pertama kali dibuka untuk lalu lintas.
14.2 Kerusakan Jalan
Kerusakan Jalan dapat dibedakan menjadi :
 Kerusakan Struktural
 Kerusakan Fungsional
Proteksi dan koreksi adalah kegiatan pemeliharaan jalan menurut Bina Marga
 Tujuan kegiatan koreksi adalah mengembalikan nilai kekuatan, tingkat
keamanan, tingkat kenyamanan, kekedapan terhadap air dan kelancaran
pengaliran air.
 Tujuan kegiatan proteksi adalah mempertahankan nilai kekuatan, tingkat
keamanan, tingkat kenyamanan, kekedapan permukaan, kelancaran
pengaliran air.
14.3 Evaluasi Kondisi Perkerasan jalan
14.3.1 Ketidakrataan Permukaan (Roughness)
Ketidakrataan permukaan adalah kondisi permukaan yang berhubungan dengan sifat
fungsional dan structural perkerasan aspal. Pengujian ketidakrataan pada prinsipnya
bertujuan untuk mengetahui tingkat ketidakrataan permukaan, Pada satuan panjang
jalan tertentu.
Alat untuk mengukur ketidakrataan permukaan antara lain :
1. Alat NAASRA
2. Alat Bump Integrator (BI)
3. Alat Laser Profilometer
14.3.2 Lendutan (Deflection)

44
Lendutan adalah respon terhadap gaya vertical yang diaplikasikan pada permukaan
perkerasan aspal. Pada prinsipnya terdapat 2 cara aplikasi gaya tersebut ke
permukaan perkerasan serta respon yang diamati. Kedua pendekatan tersebut yaitu :
1. Rebound Deflection, alat yang digunakan pada pengujian ini adalah
Benkelamaam Beam
2. True Deflection, alat yang digunakan pada pengujian ini adalah alat falling weight
Deflectometer.

14.3.3 Alur dan Retak (Rutting and Cracking)


 Alur adalah perubahan permanent (permanent deformation), sepanjang garis
tapak/jejak roda, akibat dilampauinya tegangan vertical batas tanah dasar. Hal ini
disebabkan oleh kelelehan struktur akibat pengulangan beban di titik yang sama.
 Retak adalah fenomena terlepasnya ikatan antara material perkerasan akibat
dilampauinya tegangan horizontal antara lapis berbitumen dan agregat tanpa
bitumen. Hal ini disebabkan oleh kelelehan struktur akibat pengulangan beban
dan kejadian kelebihan beban (overloading).
14.4 Program Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan
Untuk mengelola suatu jaringan jalan maka pada saat ini telah dikembangkan
berbagai program system manajemen pemeliharaan jalan seperti Integrated Road
Mangement System (IRMS), Urban Road Mangement System (URMS), Highway
Design and Maintenance (HDM) dan lainnya.
14.4.1 Sistem manajemen Jalan Antar Kota
IRMS dapat didefinisikan sebagai suatu system yang kompak (otomatis dan saling
terkait) untuk perencanaan (Planning), pelaksanaan, pemeliharaan serta pembiayaan
jalan sedemikian sehingga diperoleh manfaat yang optimal serta strategi dan prioritas
perencanaan/pelaksanaan yang disusun berdasarkan criteria ekonomi dengan
pertimbangan biaya yang ditanggung oleh pemakai jalan maupun yang diadakan
Bina Marga
14.4.2 Sistem manajemen Jembatan
Tujuan umum Sistem manajemen Jembatan (SMJ) adalah memberikan prosedur
manajemen jembatan untuk menunjang pembangunan di Indonesia dan system
transportasinya dengan suatu jaringan jembatan yang fungsional dan aman dan
untuk membantu dlm mengoptimumkan penggunaan dana untk pekerjaan jembatan.
14.4.3 Sistem Manajemen Jalan dalam Kota
Program URSM merupakan system manajemen jalan yang terkomputerisasi sebagai
alat Bantu bagi Pembina Jalan Kota baik pemerintah pusat maupun Daerah.
Komponen-komponen program URMS terdiri dari 5 modul yaitu :

45
1. Modul Pangkalan Data atau UIIS (Urban Infrastructure Information System)
2. Modul Perencanaan atau RPEPM (Road Performance & Expenditure
Planning Module)
3. Modul Pemrograman atau RWPM (Road Programming Module)
4. Modul Pelaporan Anggaran atau BR (Budget Reporting)
5. Modul Implementasi Konstruksi atau IM (Implementation Monitoring).

46

Anda mungkin juga menyukai