Anda di halaman 1dari 20

KADASTER DAN HUKUM LAUT

Disusun Oleh:
Elogia Livingstone B
26050117120009
Oseanografi A

Dosen Pengampu:
Ir. Hariyadi, MT

NIP.19560515 199103 1 001

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan luas wilayah perairan yang sangat

luas dibandingkan dengan luas wilayah daratan. Indonesia sendiri memiliki luas wilayah

perairan seluas 6,4 juta meter persegi dan luas wilayah daratan yakni 1,9 juta meter persegi

atau senilai dengan 70% dari total luas wilayah Indonesia. Perairan Indonesia menyimpan

sumberdaya yang tak sedikit pula menunggu untuk dimanfaatkan dengan maksimal. Luasnya

periaran yang ada diIndonesia membuat sebagian besar wilayah pesisir dipengauhi oleh

Faktor oseanografi dengan dampak dinamika dan perubahan yang paling signifikan.

Laut tidak hanya berfungsi untuk pelayaran (permukaan perairan), akan tetapi juga

memiliki nilai potensi sumber daya yang besar, baik yang terdapat di kolom perairan (ikan)

maupun di dasar perairan (minyak dan gas bumi). Di masa lalu, dengan penguasaan teknologi

yang terbatas, permukaan laut hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran. Sekarang,

dengan berkembangnya teknologi, laut sudah dimanfaatkan hingga dasar perairannya. Oleh

karenanya, hukum laut berkembang pesat sesuai dengan perkembangan zaman.

Dewasa ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka pengembangan

ekonomi nasional telah menempatkan wilayah ini pada posisi yang sangat strategis.

Kebutuhan sumber daya pesisir dan laut dalam negeri meningkat sejalan dengan

meningkatnya laju pertumbuhan penduduk sehingga mengakibatkan tekanan terhadap ruang

pesisir semakin besar. Berbagai pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat yang

memanfaatkan kawasan pesisir seperti sumberdaya perikanan, lokasi resort, wisata,

pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut, industri dan reklamasi kota pantai serta pangkalan

militer.

Kawasan konservasi merupakan luasan wilayah yang dapat menjadi pendukung dan

menyokong ekonomi warga yang ada di sekitar wilayah tersebut. Manfaat dari wilayah
konsevasi antara lain akan ada apa bila di Kelola dengan baik. Pengelolaan konservasi itu

sendiri mengaccu pada luasan wilayah yang telah di tentukan terlebih dahulu pada suatu

petak petak wilayah pada lingkungan pesisisr dan lautan. Penentuan wilayah konservasi yang

strategis merupakan dasar yang krusial dan terdapat hukum serta aturan aturan yang mengikat

di dalam nya dan berhubungan dengan berbagai macam sector mulai dari lingkungan,

penelitian, edukasi, serta pengembangan ekonomi pada tingkat daerah hingga provinsi.
II. KADASTER DAN HUKUM LAUT
II.1 Kadaster dan Kadaster Laut
Kadaster atau dikenal dalam Bahasa Inggris Cadastre padaumumnya merupakan
dasar dari bidang pertanahan (Parcel based) dan informasi yang terbaru (up-to-date)
perekaman Right (Hak), Restriction (Pembatasan) dan Responsibility (Tanggungjawab).
Kadaster biasanya juga termasuk membahas mengenai bagian tanah secara deskripsi
geometris yang terhubung dengan data yang tercatat mengenai keadaan alam daerah
tersebut, kepemilikan dan pengelolaan dari area tersebut, dan terkadang terhubung pada
harga tanah atau daerah tersebut dengan kenaikannya.

Tiga unsur utama kadaster untuk pertanahan dapat didekati dalam wujud (bentuk
fisik) berupa Sertifikat Tanah. Sertifikat tanah sangat berbeda dengan kepemilikan benda
bergerak. Sertifikat tanah merupakan arsip hidup, arsip yang tidak akan/ pernah
dimusnahkan seperti arsip lainnya, artinya selalu dipelihara dengan baik walaupun terjadi
perubahan pada subjeknya (pemilik tanah), perubahan jenis haknya, maupun perubahan
pengenaan kewajiban penatagunaan tanahnya. Sertifikat tanah sesungguhnya lebih
berfungsi sebagai alat kendali bagi manajemen Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah (P4T) hingga terkondisikan rasa keadilan dalam pemilikan dan
penguasaan tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Dalam mentransformasikan kadaster pertanahan ke wilayah laut sering disebut


dengan Kadaster Kelautan. (Marine Cadastre). Kadaster kelautan dalam pengertian
sederhana dapat dikatakan sebagai penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut.
Secara umum, kadaster kelautan bertujuan untuk mengadministrasi ruang laut dan
sumberdaya laut, termasuk semua kepentingan, hak-hak, batasan dan tanggungjawab
yang ada di wilayah laut. Konsep Kadaster Kelautan sudah banyak digunakan oleh
beberapa negara benua (nonkepulauan) seperti Kanada, Australia dan Amerika.

Di Australia Kadaster Kkelautan didefinisikan sebagai alat dalam memanajemen


batas spasial yang menjelaskan, memvisualisasikan, dan mewujudkan secara hukum
batas yang telah ditentukan dan hak terkait, dan tanggung jawab atau kewajiban terhadap
lingkungan laut. nsibilities in the marine environment. Kadaster kelautan di Australia
digunakan untuk mewujudkan Australia’s Marine Management System, yang mengatur
kegiatan: Oil and Gas Sector, Fisheries, Aquaculture, Shipping, Conservation, Marine
Heritage, Cables and Pipelines, Coastal Zone. Konsep kadaster kelautan di Australia
sudah diterapkan di beberapa negara bagian, seperti di Queensland dan Victoria.

Gambar 1. Konsep Kadaster Kelautan


II.2 Kadaster Laut di Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah laut ¾ dari
wilayah Indonesia, Indonesia juga memiliki konsep kadaster kelautan meskipun tergolong
kedalam konsep baru dan belum lama dikenal. Ditambah dengan selama ini pembangunan
di Indonesia lebih diprioritaskan di wilayah darat. Di Indonesia sendiri, laut Indonesia
dibagi atau dipartisi menjadi persil-persil laut yang digunakan untuk kegiatan
perekayasaan seperti kegiatan pertambangan.
Gambar 2. Blok-blok penambangan minyak dasar laut (blok ambalat) di wilayah
perbatasan anatara Kalimantan Timur dan Sirawak, Malaysia

Gambar 3. Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau


(Sumber: )

Kadaster kelautan untuk Indonesia dibangun menggunakan kerangka sintesis unsur-


unsur definisi kadaster kelautan dari Australia, Kanada dan Amerika, ditambah unsur-
unsur karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan, dan pendekatan teori sistem. Secara
keilmuan penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu dan
teknologi kelautan melalui definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai instrumen
untuk membangun pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia dalam perspektif
Indonesia sebagai negara kepulauan. Kadaster kelautan untuk Indonesia adalah
operasional sistem kompleks dan dinamik dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir
dan laut dalam lingkup penetapan batas laut wilayah (restriction), batas kewenangan
(right/ izin dan responsibility), yang membentuk keterpaduan antara wilayah administrasi
skala nasional, skala provinsi, dan skala kabupaten/kota dengan memperhatikan
keberadaan masyarakat adat, serta keharmonisan dan sinergi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia dirumuskan dalam bentuk
kata kerja (bukan sebagai kata benda seperti beberapa negara lain) sebagai tindakan aktif/
operasional untuk Penyelenggaraan Kelautan Indonesia pada UU RI No.32 Tahun 2014
tentang Kelautan.

Secara garis besar, kadaster kelautan berkaitan dengan bagaimana suatu negara,
khususnya Indonesia sebagai negara kepulauan dalam mengelola dan mengatur
administrasi sumber daya laut. Kondisi inilah yang menyebabkan konsep-konsep kadaster
kelautan dari negara-negara benua (nonkepulauan) seperti Amerika, Kanada, dan Australia
tidak bisa diterapkan seutuhnya di 11 wilayah perairan laut Indonesia. Konsep kadaster
kelautan untuk negara Indonesia harus mengadopsi pada kebutuhan negara kepulauan,
dalam konteks terkait dengan Hukum Laut Internasional UNCLOS’82, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, perundangan lain yang mengatur hak
pengelolaan yang terdapat di laut, yakni Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta hukum laut adat merupakan
bagian dari sistem kebudayaan di Indonesia.

II.3 Hukum Laut


II.3.1 Pengertian Hukum Laut

Hukum laut merupakan salah satu cabang dari hukum internasional. Secara hukum,
laut merupakan keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh
permukaan bumi. Dimana laut dimanfaatkan secagai jalur perdagangan dan sebagai
sumber kehidupan bagi manusia dan selain itu pula laut sendiri berperan penting bagi
manusia sebagai jalan rayayang dapat menghubungkan seluruh negeri. Terdapat beberapa
ahli mengemukakan definisi mengenai hukum laut, yaitu :
1. Menurut Albert W. Koers, hukum laut adalah sekumpulan atau serangkaian peraturan
yang menyangkut tentang laut.

2. Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, hukum laut adalah segala peraturan hukum yang ada
hubungannya dengan laut.
3. Mr. W. L. P. A Molengraaff, Mr. H. F. A Vollmar dan Mr. F. G Scheltema, hukum
laut adalah peraturan-peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pelayaran
kapal di laut dan keistimewaan mengenai pengangkutan orang atau barang dengan
kapal alut.

Selain itu terdapat hukum laut internasional, dimana hukum ini mengatur kegunaan
rangkap dari luat, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai
sumber tenaga. Hukum laut internasional juga mengatur kompetisi antara negara-negara
dalam mencari dan menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara
negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Hukum laut diperlukan dalam mengatur kebijakan kebijakan dan pengelolaan perairan
laut terutama di Indonesia. Menurut Mauna (2000), hukum laut yang dulunya bersifat
unidimensional sekarang telah berubah menjadi pluridimensional yang sekaligus
merombak filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu. Prodjodikoro (1991),
menambahkan bahwa hukum laut oleh pakar-pakar di masa lalu hanya diartikan yang
terkait dengan aturan pelayaran kapal di laut, khususnya pengangkutan orang atau barang
dengan kapal laut. Artinya, hukum laut hanya ditinjau dari segi hukum perdata (privaat
recht). Padahal, hukum laut juga mengatur wilayah hukum publik (publiek recht).

II.3.2 Sumber Hukum Laut

Ketentuanketentuan mengenai hukum laut sebelum tahun 1958 didasarkan atas


hukum kebiasaan (Mauna, 2000). Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu
sumber hukum yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional
Permanen. Istilah kebiasaan (custom) dan adat istiadat (usage) sering digunakan secara
bergantian. Namun demikian, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan teknis yang
sangat tegas, adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului adanya kebiasaan.

Terbentuknya suatu hukum kebiasaan didasari oleh praktik yang sama, dilakukan
secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikuti oleh banyak negara
(Mauna, 2000). Hal ini sesuai dengan pernyataan para pakar hukum internasional, bahwa
ada unsur yang harus dipenuhi agar kebiasaan internasional dipandang sebagai hukum
kebiasaan internasional, yaitu (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003; dan Parthiana, 1990):

1. Perilaku itu harus merupakan praktik atau perilaku yang secara umum telah
dilakukkan atau dipraktikkan oleh negara-negara.
2. Perilaku yang telah dipraktikkan secara umum tersebut, oleh negaranegara atau
masyarakat internasional, telah diterima atau ditaati sebagai perilaku yang memiliki
nilai sebagai hukum.
Sementara itu, secara utuh Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional
Permanen menyebutkan bahwa sumber hukum internasional terdiri atas:
1. Perjanjian internasional, adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut, maka untuk dapat disebutkan sebagai perjanjian
internasional, perjanjian tersebut harus dilakukan oleh subjek hukum internasional
yang menjadi anggota masyarakat internasional. Adapun subjek hukum
internasional, yaitu: Negara, Tahta Suci (vatikan), Palang Merah Internasional,
Organisasi Internasional,
2. Kebiasaan-kebiasaan internasional. Pasal 38 ayat (1) sub b yang menyebutkan
bahwa international custom, as evidence of a general practice accepted as law.
Artinya, hukum kebiasan internasional adalah kebiasaan internasional yang
merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.
3. Prinsip hukum umum, adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa
yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation).
Kusumaatmadja dan Agoes (2003) menambahkan bahwa yang 1.4 Legalitas Hukum
Kelautan dan Perikanan  dimaksud dengan asas hukum ialah asas hukum yang
mendasari sistem hukum modern. Adapun yang dimaksud sistem hukum modern
ialah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara
barat yang sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi.
4. Sumber hukum tambahan, adalah keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
terkemuka di dunia. Namun, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
tersebut tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum
(Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).
5. Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dan lembaga internasional.
Sumber hukum ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan lembaga dan organisasi
internasional dalam 50 tahun belakangan ini yang telah mengakibatkan timbulnya
berbagai keputusan baik dari badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari
lembaga atau organisasi internasional (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).
II.3.3 Macam Hukum Laut

Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the
Law of the Sea - UNCLOS I) yang menghasilkan 4(empat) Konvensi yaitu : Konvensi
tentang laut territorial dan jalur tambahan, Konvensi tentang laut lepas, Konvensi tentang
landas kontinen, Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di
laut lepas.

Negara Indonesia merupakan negara pantai. 3 Sebagai implementasi keikutsertaan


Indonesia dalam Konvensi I Hukum Laut Jenewa 1958, Pemerintah Indonesia pada saat
itu mengundangkan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia. Berdasarkan Perpu tersebut wilayah perairan Indonesia mencakup laut
territorial Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia6. Akan tetapi dengan
disahkannya Konvensi PBB yang salah satu substansinya mengatur rezim baru dalam
hukum laut yaitu tentang Negara Kepulauan (Bab IV Konvensi), dan Indonesai telah
mengesahkan Konvensi tersebut dengan UU No. 17 Tahun 1985 maka Negara Indonesia
berubah statusnya menjadi Negara Kepulauan.

United Nations Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982 membagi 8 zona
pengaturan yang berlaku di laut yaitu sebagai berikut :

1. Perairan Pedalaman (internal waters)


Pasal 8 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa Perairan pedalaman
adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan
pedalaman negara tersebut. Pada perairan pedalaman ini, negara pantai memiliki
kedaulatan penuh atasnya. Kedaulatan tersebut sama derajatnya dengan kedaulatan
negara atas daratan. Pada prinsipnya negara-negara lain tidak dapat mengadakan atau
menikmati hak lintas (damai) di perairan ini. Namun, jika perairan pedalaman ini
terbentuk karena adanya penarikan garis pangkal lurus, maka hak lintas damai di
perairan tersebut dapat dinikmati oleh negara-negara lain.

2. Perairan Kepulauan (archipelagic waters)


Negara kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih kepulauan (archipelagos) dapat mencakup pulau-pulau lain. Konvensi Hukum
Laut 1982 memberikan hak bagi Negara kepulauan untuk menarik garis pangkal
kepulauan sebagaimana diatur oleh Pasal 47, yaitu Negara kepulauan dapat menarik
garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau
terluar termasuk pulau-pulau utama dengan perbandingan Negara kepulauan tersebut
adalah antara laut dan daratan dengan satu berbanding satu dan sembilan berbanding
satu (1:1 dan 9:1). Panjang garis pangkal tersebut tidak boleh melebihi 100 mil laut
kecuali 3 % dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan
dapat melebihi panjang tersebut sampai maksimum 125 mil laut. Penarikan garis
pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum, dan juga
tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut (low-tide elevations). Negara kepulauan
tidak boleh menarik garis pangkal itu yang memotong laut territorial, atau zona
ekonomi eksklusif Negara lain.
Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan Negara kepulauan untuk
menghormati hak-hak dan kepentingan sah dari Negara tetangganya.Penetapan garis
pangkal ini harus dicantumkan dalam peta Negara tersebut dengan daftar koordinat
geografis yang secara jelas merinci datum geodatiknya. Dalam pasal 49 bahwa status
hukum perairan kepulauan, udara di atasnya, dan dasar laut di bawahnya, yaitu
Negara kepulauan berdaulat penuh atas perairan kepulauannya tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai dan kedaulatan penuh tersebut meliputi ruang
udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan yang
terkandung didalamnya. Negara kepulauan harus menetapkan alur laut kepulauan
(archipelagis sea lanes) dan lintas damai bagi pelayaran internasional.

1. Laut Teritorial ( territorial waters)

Diatur dalam Bab II Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut : (1) Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan
perairan pedalamannya dan dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan
kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang
dinamakan laut territorial, (2) Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut
teritorial serta dasa laut dan tanah dibawahnya dan (3) Kedaulatan atas laut territorial
dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum
internasional lainnya. Terdapat juga di dalam Pasal 3 yang berbunyi : Setiap Negara
berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12
mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini. Selain
itu terdapat dalam Pasal 5 mengenai garis pangkal terhadap laut teritorial, yang
berbunyi : Kecuali jika ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal biasa untuk
mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana
terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh Negara pantai tersebut. Untuk
cara penarikan garis pangkal lurus dilakukan berdasarkan kepentingan ekonomi yang
dibuktikan dengan praktik negara yang telah berlansung lama. Penarikan garis
pangkal lurus dibatasi dengan tidak boleh memotong laut teritorial negara lain.
2. Zona Tambahan (contiguous zone)

Konsep zona tambahan diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 terdapat
dalam Pasal 33 yang berbunyi : (1) Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut
teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, Negara pantai dapat melaksanakan
pengawasan yang diperlukan untuk: a) mencegah pelanggaran peraturan
perundangundangan bea cukai, fisikal, imigrasi atau saniter di dalam wlayah atau laut
teritorialnya, b) menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di
atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya. (2) Zona tambahan tidak
dapat melebihi lebih dari 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur.
3. Zona Ekonomi Ekslusif (exclusive economic zone)

Konvensi Hukum Laut 1982 telah mengatur secara lengkap tentang zona
ekonomi eksklusif yang mempunyai sifat sui generis atau specific legal regime,
seperti yang terdapat dalam Pasal 55-75. Pasal 55 Konvensi berbunyi sebagai berikut:
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdamping dengan laut
territorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini
berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-
kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.
Negara pantai memiliki hak-hak terhadap zona ekonomi ekslusif, yaitu :

a. Hak berdaulat = untuk mengadakan ekslporasi dan eksploitasi, konservasi dan


pengurusan dari sumber kekayaan alam hayati atau non hayati dari perairan, dasar
laut dan tanah di bawahnya.

b. Hak berdaulat atas kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi seperti produksi


energi dari air dan angin.

c. Yuridiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi dan banguan,
riset ilmiah kelautan, perlindungan dan penjagaan lingkungan maritim.
Dalam Pasal 57 berbunyi Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut
dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur.
4. Landasan Kontinen (continental shelf)

Landasan kontinen terdapat dalam Pasal 76 ayat 1 dan ayat 2, yang meliputi
sebagai berikut :

a. Dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke pinggiran
tepi kontinen; atau

b. Dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal di
mana laut teritorial diukur;

c. Landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di mana
laut teritorial diukur; atau

d. Tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.

5. Laut Lepas (higs seas)

Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian laut lepas
adalah semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut territorial
atau perairan pedalaman suatu negara dan perairan kepulauan dalam Negara
kepulauan. Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa laut lepas adalah
terbuka bagi semua Negara baik Negara pantai (costal States) maupun Negara tidak
berpantai (land-locked States). Semua Negara mempunyai kebebasan di laut lepas,
yaitu kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan, kebebasan memasang kabel dan
pipa bawah laut, kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lainnya sesuai
dengan hukum internasional, kebebasan penangkapan ikan dan kebebasan riset ilmiah
kelautan.

6. Kawasan Dasar Laut Internasional (international sea-bed area)

Kawasan adalah dasar laut di luar zona ekonomi eksklusif dan daerah dasar
laut di luar batas termasuk bagian dari landas kontinen suatu negara pantai.Pasal 136
Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa kawasan dan kekayaankekayaannya
merupakan warisan bersama umat manusia. Hal ini di perjelas dengan Pasal 137
Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu :

a. Tidak satu Negarapun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak-
hak berdaulatnya atas bagian manapun dari kawasan atau kekayaankekayaannya,
demikian pula tidak satu Negara atau badan hukum atau peroranganpun boleh
mengambil tindakan pemilikan terhadap bagian kawasann manapun. Tidak
satupun tuntutan atau penyelenggaraan kedaulatan atau hak-hak berdaulat
ataupun tindakan pemilikan yang demikian akan diakui.

b. Segala hal terhadap kekayaan-kekayaan di kawasan ada pada umat manusia


sebagai suatu keseluruhan, yang atas nama siapa otorita bertindak. Kekayaan-
kekayaan ini tidak tunduk pada pengalihan hak. Namun, demikian mineral-
mineral yang dihasilkan dari kawasan hanya dapat dialihkan sesuai dengan
ketentuan Bab ini dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan, dan
prosedurprosedur otorita.

c. Tidak satu Negara, badan hukum atau peroranganpun boleh menuntut,


memperoleh atau melaksanakan hakhak yang bertalian dengan mineral-mineral
yang dihasilkan dari kawasan, kecuali apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bab ini. Apabila tidak demikian, maka tidak satupun tuntutan, perolehan atau
pelaksanaan hak-hak demikian akan diakui

Adapun Indonesia yang ikut serta dalam konvensi UNCLOS III dimana menghasilkan
pengaturan Zona Laut Internasional sebagai berikut :

A. Laut Teritorial
Laut Teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak
melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki
kedaulatan penuh di perairan kedalaman. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di
atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Negara Pantai
meskipun mempunyai kedaulatan di laut teritorial ini, namun masih
dimungkinkan negara-negara lain menikmati hak lintas damai, yaitu hak setiap
negara untuk melewati Laut Teritorial.
Pembentukan zona-zona maritim tersebut bergantung pada pertimbangan-
pertimbangan yang berbeda, akan tetapi, alasan pembenar adanya perluasan
kedaulatan negara di luar batas daratnya selalu sama, yaitu:
1. Keamanan negara memerlukan (mengharuskan) pemilikan secara eksekutif
atas pantainya, dengan demikian dapat dilakukan tindakan perlindungan.
2. Untuk tujuan mengefektifkan perdagangan, fiskal, dan kepentingan politik,
setiap negara harus mampu mengawasi semua kapal yang masuk,
meninggalkan, atau sedang berhenti di perairan teritorialnya.
3. Pemanfaatan dan perolehan secara eksklusif atas hasil-hasil dari laut dan
perairan teritorial diperlukan untuk eksistensi dan kesejahteraan bangsa yang
bersangkutan
B. Zona Tambahan
Zona Tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan
tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal, selanjutnya diatur lebih lanjut
dalam ketentuan Pasal 33 UNCLOS III, yaitu: Dalam suatu Zona Tambahan,
Negara Pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk:
a. mencegah pelanggaran hukum dan peraturan perundang-undangan bea cukai,
fiskal, imigrasi, kesehatan di dalam wilayah atau di Laut Teritorialnya.
b. menghukum pelanggaran atas hukum dan peraturan perundangundangan
yang dilakukan di dalam wilayah teritorialnya atau Laut Teritorial.
C. Selat
Status hukum selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional adalah
tetap sama dengan status kedaulatan atas perairan selat, ruang udara diatasnya,
dasar laut dan tanah di bawahnya. Selat yang dipergunakan untuk pelayaran
internasional, yaitu semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas lewat
“transit passage” yang tidak bisa dihambat apabila memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan. Negara Selat mempunyai hak untuk menyediakan alur laut dan
menentukan jalur pemisah lalu lintas bagi navigasi di selat tersebut guna
meningkatkan keselamatan lintas kapal. Negara Selat berhak untuk membuat
peraturan perundang-undangan menegenai “lintas lewat” melalui selat
D. Perairan Kepulauan
Masyarakat internasional telah mengakui bahwa ada bagian laut yang karena
keadaannya yang khusus disebut sebagai perairan kepulauan. Perairan Kepulauan
ini ada di bawah kedaulatan negara kepulauan yang bersangkutan. Kedaulatan
tersebut meluas sampai di ruang udara di atas perairan kepulauan, pada dasar laut
perairan kepulauan dan tanah di bawahnya. Negara Kepulauan dibebani
kewajiban untuk menghormati perjanjian-perjanjian dengan negara- negara lain
yang telah ada, ditempatkan oleh negara lain melalui perairannya. Negara
Kepulauan harus memperkenankan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel
semacam dengan pemberitahuan yang semestinya mengenai lokasi dan maksud
untuk memperbaiki atau menggantinya. Pengaturan mengenai Perairan
Kepulauan sesuai dengan yang terdapat di wilayah Laut Teritorial, yaitu kapal
semua negara mempunyai hak lintas damai “innocent passage”.
E. Zona Ekonomi Eksklusif
Ketentuan mengenai Zona Ekonomi Ekskusif (ZEE) dimuat dalam ketentuan
Pasal 55 UNCLOS III, yaitu suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam bab ini
berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta
kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuanketentuan yang relevan
konvensi ini.
Dari rumusan ketentuan Pasal 55 UNCLOS III, kiranya dapat dirinci unsur-
unsur pengertian Zona Ekonomi Eksklusif antara lain:
1. Zona Ekonomi Eksklusif itu adalah bagian laut yang terletak di luar Laut
Teritorial.
2. Keberadaan Zona Ekonomi Eksklusif di luar laut teritorial tidak diselingi
oleh bagian laut lain tetapi langsung berdampingan dengan Laut Teritorial itu
sendiri.
3. Bahwa Zona Ekonomi Eksklusif itu diatur oleh rezim hukum khusus (sui
generis) yang dituangkan dalam Bab V, yaitu bab yang mengatur Zona
Ekonomi Eksklusif.
4. Bahwa disebut rezim khusus oleh karena pada Zona Ekonomi Ekslusif oleh
UNCLOS III hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan sekaligus juga diakui
adanya hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain.
F. Landas Kontinen
Landasan kontinen terdapat dalam Pasal 76 ayat 1 dan ayat 2, yang meliputi
sebagai berikut :
a. Dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke
pinggiran tepi kontinen; atau
b. Dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis
pangkal di mana laut teritorial diukur;
c. Landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di
mana laut teritorial diukur; atau
d. Tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.

II.4 Studi Kasus


Salah satu studi kasus yang digunakan ialah berasal dari jurnal mengenai peta
kadaster kelautan dalam perspektif UU RI NO. 4 Tahun 2011 Tentang Informasi
Geospasial. Dimana wilayah studi kasusnya di Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat.
Implementasi dari Undang Undang Pemerintahan Daerah ternyata belum dapat
diwujudkan oleh tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota yang terletak di wilayah pesisir
dan laut Indonesia. Kota Cirebon merupakan salah satu kota yang memiliki wilayah
pesisir dan laut. Permasalahan yang terjadi di pesisir dan laut Kota Cirebon akibat tidak
jelasnya pengelolaan pesisir dan pengelolaan laut antar sektor perhubungan laut, sektor
industri, sektor permukiman, dan sektor pariwisata. Kondisi tersebut menimbulkan
konflik pengelolaan ruang di wilayah pesisir dan laut Kota Cirebon, diantaranya konflik
masyarakat dengan sektor pelabuhan, tanah timbul akibat sedimentasi alami maupun
buatan, lokasi kegiatan pemanfaatan pesisir laut yang saling berdampingan. Maka dari itu
perlu konsep kadaster kelautan sebagai sistem dalam pembangunan kelautan.

Dengan adanya kadaster kelautan seharusnya pemerintah Kota Cirebon dapat


meyelenggarakan sistem pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut dengan baik
dalam lingkup penetapan batas laut wilayah laut dan batasan pemanfaatan kegiatan di
laut. Dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana yang belum
memadai, konsep kadaster kelautan belum sepenuhnya terlaksana. Penyelenggaraan
kadaster kelautan dimulai dari pembuatan Peta Kadaster Kelautan Kota Cirebon sebagai
peta tunggal di dalam penyelenggaraan pengelolaan sumber daya kelautan. Peta Kadaster
Kelautan yang dibuat melingkupi permukaan laut, kolom laut, dan dasar laut.
Kewenangan Pemerintah Kota Cirebon dalam mengelola lautnya adalah 1/3 dari 12 mil
laut kewenangan provinsi. Sesuai dengan Peta Lingkungan Pantai Indonesia kedalaman
laut Kota Cirebon berkisar 0 sampai 10 meter.
Maka dari itu dalam membangun Peta Kadaster Kelautan Kota Cirebon akan
membaginya sesuai kedalaman laut Kota Cirebon dan interval kontur yang ada pada Peta
Lingkungan Pantai Indonesia. Tujuan dibangunya Peta Kadaster Kelautan Kota Cirebon
berdasarkan ruang laut dan membaginya sesuai dengan interval kontur adalah agar
kegiatankegiatan yang menggunakan laut sebagai aktivitasnya dapat terpetakan sesuai
ruang laut yang digunakanya sehingga menghindari tumpang tindih klaim antar sektoral.
Peta kadaster kelautan yang dibangun dengan skala 1:50.000 sesuai dengan skala pada
Peta Lingkungan Pantai Indonesia daerah Cirebon. Peta kadaster Kelautan Kota Cirebon
dapat dibangun berdasarkan jenis ruang laut yang berbeda, terdiri dari Peta Kadaster
Kelautan Kota Cirebon Permukaan laut, Peta Kadaster Kelautan Kota Cirebon Kolom
Laut, Peta Kadaster Kelautan Kota Cirebon Dasar Laut. Manfaat dibangunnya Peta
Kadaster Kelautan Cirebon berdasarkan ruang laut dapat memberikan informasi lebih
mengenai batas wilayah laut, posisi, luasan, pola kegiatan, waktu kegiatan, ruang laut
yang digunakan, serta tanggung jawab antar sektor mengenai kegiatan-kegiatan yang
memanfaatkan wilayah laut Kota Cirebon.
III. PENUTUP

Kadaster kelautan adalah operasional sistem kompleks dan dinamik dalam


pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut dalam lingkup penetapan batas laut
wilayah (restriction), batas kewenangan (right/izin dan responsibility), yang membentuk
keterpaduan antara wilayah administrasi skala nasional, skala provinsi dan skala
kabupaten/kota dengan memperhatikan keberadaan masyarakat adat, serta keharmonisan dan
sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hukum laut merupakan salah satu
cabang dari hukum internasional. Secara hukum, laut merupakan keseluruhan air laut yang
berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi. Dimana laut dimanfaatkan secagai
jalur perdagangan dan sebagai sumber kehidupan bagi manusia dan selain itu pula laut sendiri
berperan penting bagi manusia sebagai jalan rayayang dapat menghubungkan seluruh negeri
DAFTAR PUSTAKA
Astor, Y. (2013). Konscp Kadaster Kelautan untuk Negara Kepulauan Indonesia. Jurnal,
Unswagati.

Bandung: Politeknik Negeri Bandung.


Boer, Mauna. 2005. Hukum Internasional. Bandung: Alumni. 308 Hlm.
Dikdik, Mohammad Sodik. 2014. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia.
Bandung: Refika Aditama.
Fahrudin, I. A. Perkembangan Hukum Laut Internasional dan Perundang-Undangan
Indonesia.
Heru, Prijanto. 2007. Hukum Laut Internasional. Malang: Bayumedia Publishing. 17 Hlm.
Huala, Adolf. 1990. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 129 Hlm.
Maulana¹, S., Astor, Y., & Supriyadi, D. Membangun Peta Kadaster Kelautan Dalam
Perspektif Uu Ri No. 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial (Wilayah Studi:
Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat).
Parthiana, I. W. (2005). Landas kontinen dalam hukum laut internasional. Mandar Maju.
Sulasdi, I. W. N., & Hendriatiningsih, I. S. Membangun Definisi Kadaster Kelautan Untuk
Indonesia Sebagai Negara Kepulauan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Geospasial.

Anda mungkin juga menyukai