Disusun Oleh:
Elogia Livingstone B
26050117120009
Oseanografi A
Dosen Pengampu:
Ir. Hariyadi, MT
DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan luas wilayah perairan yang sangat
luas dibandingkan dengan luas wilayah daratan. Indonesia sendiri memiliki luas wilayah
perairan seluas 6,4 juta meter persegi dan luas wilayah daratan yakni 1,9 juta meter persegi
atau senilai dengan 70% dari total luas wilayah Indonesia. Perairan Indonesia menyimpan
sumberdaya yang tak sedikit pula menunggu untuk dimanfaatkan dengan maksimal. Luasnya
periaran yang ada diIndonesia membuat sebagian besar wilayah pesisir dipengauhi oleh
Faktor oseanografi dengan dampak dinamika dan perubahan yang paling signifikan.
Laut tidak hanya berfungsi untuk pelayaran (permukaan perairan), akan tetapi juga
memiliki nilai potensi sumber daya yang besar, baik yang terdapat di kolom perairan (ikan)
maupun di dasar perairan (minyak dan gas bumi). Di masa lalu, dengan penguasaan teknologi
yang terbatas, permukaan laut hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran. Sekarang,
dengan berkembangnya teknologi, laut sudah dimanfaatkan hingga dasar perairannya. Oleh
Dewasa ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka pengembangan
ekonomi nasional telah menempatkan wilayah ini pada posisi yang sangat strategis.
Kebutuhan sumber daya pesisir dan laut dalam negeri meningkat sejalan dengan
pesisir semakin besar. Berbagai pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat yang
pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut, industri dan reklamasi kota pantai serta pangkalan
militer.
Kawasan konservasi merupakan luasan wilayah yang dapat menjadi pendukung dan
menyokong ekonomi warga yang ada di sekitar wilayah tersebut. Manfaat dari wilayah
konsevasi antara lain akan ada apa bila di Kelola dengan baik. Pengelolaan konservasi itu
sendiri mengaccu pada luasan wilayah yang telah di tentukan terlebih dahulu pada suatu
petak petak wilayah pada lingkungan pesisisr dan lautan. Penentuan wilayah konservasi yang
strategis merupakan dasar yang krusial dan terdapat hukum serta aturan aturan yang mengikat
di dalam nya dan berhubungan dengan berbagai macam sector mulai dari lingkungan,
penelitian, edukasi, serta pengembangan ekonomi pada tingkat daerah hingga provinsi.
II. KADASTER DAN HUKUM LAUT
II.1 Kadaster dan Kadaster Laut
Kadaster atau dikenal dalam Bahasa Inggris Cadastre padaumumnya merupakan
dasar dari bidang pertanahan (Parcel based) dan informasi yang terbaru (up-to-date)
perekaman Right (Hak), Restriction (Pembatasan) dan Responsibility (Tanggungjawab).
Kadaster biasanya juga termasuk membahas mengenai bagian tanah secara deskripsi
geometris yang terhubung dengan data yang tercatat mengenai keadaan alam daerah
tersebut, kepemilikan dan pengelolaan dari area tersebut, dan terkadang terhubung pada
harga tanah atau daerah tersebut dengan kenaikannya.
Tiga unsur utama kadaster untuk pertanahan dapat didekati dalam wujud (bentuk
fisik) berupa Sertifikat Tanah. Sertifikat tanah sangat berbeda dengan kepemilikan benda
bergerak. Sertifikat tanah merupakan arsip hidup, arsip yang tidak akan/ pernah
dimusnahkan seperti arsip lainnya, artinya selalu dipelihara dengan baik walaupun terjadi
perubahan pada subjeknya (pemilik tanah), perubahan jenis haknya, maupun perubahan
pengenaan kewajiban penatagunaan tanahnya. Sertifikat tanah sesungguhnya lebih
berfungsi sebagai alat kendali bagi manajemen Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah (P4T) hingga terkondisikan rasa keadilan dalam pemilikan dan
penguasaan tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Secara garis besar, kadaster kelautan berkaitan dengan bagaimana suatu negara,
khususnya Indonesia sebagai negara kepulauan dalam mengelola dan mengatur
administrasi sumber daya laut. Kondisi inilah yang menyebabkan konsep-konsep kadaster
kelautan dari negara-negara benua (nonkepulauan) seperti Amerika, Kanada, dan Australia
tidak bisa diterapkan seutuhnya di 11 wilayah perairan laut Indonesia. Konsep kadaster
kelautan untuk negara Indonesia harus mengadopsi pada kebutuhan negara kepulauan,
dalam konteks terkait dengan Hukum Laut Internasional UNCLOS’82, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, perundangan lain yang mengatur hak
pengelolaan yang terdapat di laut, yakni Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta hukum laut adat merupakan
bagian dari sistem kebudayaan di Indonesia.
Hukum laut merupakan salah satu cabang dari hukum internasional. Secara hukum,
laut merupakan keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh
permukaan bumi. Dimana laut dimanfaatkan secagai jalur perdagangan dan sebagai
sumber kehidupan bagi manusia dan selain itu pula laut sendiri berperan penting bagi
manusia sebagai jalan rayayang dapat menghubungkan seluruh negeri. Terdapat beberapa
ahli mengemukakan definisi mengenai hukum laut, yaitu :
1. Menurut Albert W. Koers, hukum laut adalah sekumpulan atau serangkaian peraturan
yang menyangkut tentang laut.
2. Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, hukum laut adalah segala peraturan hukum yang ada
hubungannya dengan laut.
3. Mr. W. L. P. A Molengraaff, Mr. H. F. A Vollmar dan Mr. F. G Scheltema, hukum
laut adalah peraturan-peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pelayaran
kapal di laut dan keistimewaan mengenai pengangkutan orang atau barang dengan
kapal alut.
Selain itu terdapat hukum laut internasional, dimana hukum ini mengatur kegunaan
rangkap dari luat, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai
sumber tenaga. Hukum laut internasional juga mengatur kompetisi antara negara-negara
dalam mencari dan menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara
negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Hukum laut diperlukan dalam mengatur kebijakan kebijakan dan pengelolaan perairan
laut terutama di Indonesia. Menurut Mauna (2000), hukum laut yang dulunya bersifat
unidimensional sekarang telah berubah menjadi pluridimensional yang sekaligus
merombak filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu. Prodjodikoro (1991),
menambahkan bahwa hukum laut oleh pakar-pakar di masa lalu hanya diartikan yang
terkait dengan aturan pelayaran kapal di laut, khususnya pengangkutan orang atau barang
dengan kapal laut. Artinya, hukum laut hanya ditinjau dari segi hukum perdata (privaat
recht). Padahal, hukum laut juga mengatur wilayah hukum publik (publiek recht).
Terbentuknya suatu hukum kebiasaan didasari oleh praktik yang sama, dilakukan
secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikuti oleh banyak negara
(Mauna, 2000). Hal ini sesuai dengan pernyataan para pakar hukum internasional, bahwa
ada unsur yang harus dipenuhi agar kebiasaan internasional dipandang sebagai hukum
kebiasaan internasional, yaitu (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003; dan Parthiana, 1990):
1. Perilaku itu harus merupakan praktik atau perilaku yang secara umum telah
dilakukkan atau dipraktikkan oleh negara-negara.
2. Perilaku yang telah dipraktikkan secara umum tersebut, oleh negaranegara atau
masyarakat internasional, telah diterima atau ditaati sebagai perilaku yang memiliki
nilai sebagai hukum.
Sementara itu, secara utuh Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional
Permanen menyebutkan bahwa sumber hukum internasional terdiri atas:
1. Perjanjian internasional, adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut, maka untuk dapat disebutkan sebagai perjanjian
internasional, perjanjian tersebut harus dilakukan oleh subjek hukum internasional
yang menjadi anggota masyarakat internasional. Adapun subjek hukum
internasional, yaitu: Negara, Tahta Suci (vatikan), Palang Merah Internasional,
Organisasi Internasional,
2. Kebiasaan-kebiasaan internasional. Pasal 38 ayat (1) sub b yang menyebutkan
bahwa international custom, as evidence of a general practice accepted as law.
Artinya, hukum kebiasan internasional adalah kebiasaan internasional yang
merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.
3. Prinsip hukum umum, adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa
yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation).
Kusumaatmadja dan Agoes (2003) menambahkan bahwa yang 1.4 Legalitas Hukum
Kelautan dan Perikanan dimaksud dengan asas hukum ialah asas hukum yang
mendasari sistem hukum modern. Adapun yang dimaksud sistem hukum modern
ialah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara
barat yang sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi.
4. Sumber hukum tambahan, adalah keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
terkemuka di dunia. Namun, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
tersebut tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum
(Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).
5. Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dan lembaga internasional.
Sumber hukum ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan lembaga dan organisasi
internasional dalam 50 tahun belakangan ini yang telah mengakibatkan timbulnya
berbagai keputusan baik dari badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari
lembaga atau organisasi internasional (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).
II.3.3 Macam Hukum Laut
Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the
Law of the Sea - UNCLOS I) yang menghasilkan 4(empat) Konvensi yaitu : Konvensi
tentang laut territorial dan jalur tambahan, Konvensi tentang laut lepas, Konvensi tentang
landas kontinen, Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di
laut lepas.
United Nations Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982 membagi 8 zona
pengaturan yang berlaku di laut yaitu sebagai berikut :
Diatur dalam Bab II Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut : (1) Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan
perairan pedalamannya dan dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan
kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang
dinamakan laut territorial, (2) Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut
teritorial serta dasa laut dan tanah dibawahnya dan (3) Kedaulatan atas laut territorial
dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum
internasional lainnya. Terdapat juga di dalam Pasal 3 yang berbunyi : Setiap Negara
berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12
mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini. Selain
itu terdapat dalam Pasal 5 mengenai garis pangkal terhadap laut teritorial, yang
berbunyi : Kecuali jika ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal biasa untuk
mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana
terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh Negara pantai tersebut. Untuk
cara penarikan garis pangkal lurus dilakukan berdasarkan kepentingan ekonomi yang
dibuktikan dengan praktik negara yang telah berlansung lama. Penarikan garis
pangkal lurus dibatasi dengan tidak boleh memotong laut teritorial negara lain.
2. Zona Tambahan (contiguous zone)
Konsep zona tambahan diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 terdapat
dalam Pasal 33 yang berbunyi : (1) Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut
teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, Negara pantai dapat melaksanakan
pengawasan yang diperlukan untuk: a) mencegah pelanggaran peraturan
perundangundangan bea cukai, fisikal, imigrasi atau saniter di dalam wlayah atau laut
teritorialnya, b) menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di
atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya. (2) Zona tambahan tidak
dapat melebihi lebih dari 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur.
3. Zona Ekonomi Ekslusif (exclusive economic zone)
Konvensi Hukum Laut 1982 telah mengatur secara lengkap tentang zona
ekonomi eksklusif yang mempunyai sifat sui generis atau specific legal regime,
seperti yang terdapat dalam Pasal 55-75. Pasal 55 Konvensi berbunyi sebagai berikut:
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdamping dengan laut
territorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini
berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-
kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.
Negara pantai memiliki hak-hak terhadap zona ekonomi ekslusif, yaitu :
c. Yuridiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi dan banguan,
riset ilmiah kelautan, perlindungan dan penjagaan lingkungan maritim.
Dalam Pasal 57 berbunyi Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut
dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur.
4. Landasan Kontinen (continental shelf)
Landasan kontinen terdapat dalam Pasal 76 ayat 1 dan ayat 2, yang meliputi
sebagai berikut :
a. Dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke pinggiran
tepi kontinen; atau
b. Dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal di
mana laut teritorial diukur;
c. Landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di mana
laut teritorial diukur; atau
d. Tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian laut lepas
adalah semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut territorial
atau perairan pedalaman suatu negara dan perairan kepulauan dalam Negara
kepulauan. Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa laut lepas adalah
terbuka bagi semua Negara baik Negara pantai (costal States) maupun Negara tidak
berpantai (land-locked States). Semua Negara mempunyai kebebasan di laut lepas,
yaitu kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan, kebebasan memasang kabel dan
pipa bawah laut, kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lainnya sesuai
dengan hukum internasional, kebebasan penangkapan ikan dan kebebasan riset ilmiah
kelautan.
Kawasan adalah dasar laut di luar zona ekonomi eksklusif dan daerah dasar
laut di luar batas termasuk bagian dari landas kontinen suatu negara pantai.Pasal 136
Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa kawasan dan kekayaankekayaannya
merupakan warisan bersama umat manusia. Hal ini di perjelas dengan Pasal 137
Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu :
a. Tidak satu Negarapun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak-
hak berdaulatnya atas bagian manapun dari kawasan atau kekayaankekayaannya,
demikian pula tidak satu Negara atau badan hukum atau peroranganpun boleh
mengambil tindakan pemilikan terhadap bagian kawasann manapun. Tidak
satupun tuntutan atau penyelenggaraan kedaulatan atau hak-hak berdaulat
ataupun tindakan pemilikan yang demikian akan diakui.
Adapun Indonesia yang ikut serta dalam konvensi UNCLOS III dimana menghasilkan
pengaturan Zona Laut Internasional sebagai berikut :
A. Laut Teritorial
Laut Teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak
melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki
kedaulatan penuh di perairan kedalaman. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di
atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Negara Pantai
meskipun mempunyai kedaulatan di laut teritorial ini, namun masih
dimungkinkan negara-negara lain menikmati hak lintas damai, yaitu hak setiap
negara untuk melewati Laut Teritorial.
Pembentukan zona-zona maritim tersebut bergantung pada pertimbangan-
pertimbangan yang berbeda, akan tetapi, alasan pembenar adanya perluasan
kedaulatan negara di luar batas daratnya selalu sama, yaitu:
1. Keamanan negara memerlukan (mengharuskan) pemilikan secara eksekutif
atas pantainya, dengan demikian dapat dilakukan tindakan perlindungan.
2. Untuk tujuan mengefektifkan perdagangan, fiskal, dan kepentingan politik,
setiap negara harus mampu mengawasi semua kapal yang masuk,
meninggalkan, atau sedang berhenti di perairan teritorialnya.
3. Pemanfaatan dan perolehan secara eksklusif atas hasil-hasil dari laut dan
perairan teritorial diperlukan untuk eksistensi dan kesejahteraan bangsa yang
bersangkutan
B. Zona Tambahan
Zona Tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan
tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal, selanjutnya diatur lebih lanjut
dalam ketentuan Pasal 33 UNCLOS III, yaitu: Dalam suatu Zona Tambahan,
Negara Pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk:
a. mencegah pelanggaran hukum dan peraturan perundang-undangan bea cukai,
fiskal, imigrasi, kesehatan di dalam wilayah atau di Laut Teritorialnya.
b. menghukum pelanggaran atas hukum dan peraturan perundangundangan
yang dilakukan di dalam wilayah teritorialnya atau Laut Teritorial.
C. Selat
Status hukum selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional adalah
tetap sama dengan status kedaulatan atas perairan selat, ruang udara diatasnya,
dasar laut dan tanah di bawahnya. Selat yang dipergunakan untuk pelayaran
internasional, yaitu semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas lewat
“transit passage” yang tidak bisa dihambat apabila memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan. Negara Selat mempunyai hak untuk menyediakan alur laut dan
menentukan jalur pemisah lalu lintas bagi navigasi di selat tersebut guna
meningkatkan keselamatan lintas kapal. Negara Selat berhak untuk membuat
peraturan perundang-undangan menegenai “lintas lewat” melalui selat
D. Perairan Kepulauan
Masyarakat internasional telah mengakui bahwa ada bagian laut yang karena
keadaannya yang khusus disebut sebagai perairan kepulauan. Perairan Kepulauan
ini ada di bawah kedaulatan negara kepulauan yang bersangkutan. Kedaulatan
tersebut meluas sampai di ruang udara di atas perairan kepulauan, pada dasar laut
perairan kepulauan dan tanah di bawahnya. Negara Kepulauan dibebani
kewajiban untuk menghormati perjanjian-perjanjian dengan negara- negara lain
yang telah ada, ditempatkan oleh negara lain melalui perairannya. Negara
Kepulauan harus memperkenankan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel
semacam dengan pemberitahuan yang semestinya mengenai lokasi dan maksud
untuk memperbaiki atau menggantinya. Pengaturan mengenai Perairan
Kepulauan sesuai dengan yang terdapat di wilayah Laut Teritorial, yaitu kapal
semua negara mempunyai hak lintas damai “innocent passage”.
E. Zona Ekonomi Eksklusif
Ketentuan mengenai Zona Ekonomi Ekskusif (ZEE) dimuat dalam ketentuan
Pasal 55 UNCLOS III, yaitu suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam bab ini
berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta
kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuanketentuan yang relevan
konvensi ini.
Dari rumusan ketentuan Pasal 55 UNCLOS III, kiranya dapat dirinci unsur-
unsur pengertian Zona Ekonomi Eksklusif antara lain:
1. Zona Ekonomi Eksklusif itu adalah bagian laut yang terletak di luar Laut
Teritorial.
2. Keberadaan Zona Ekonomi Eksklusif di luar laut teritorial tidak diselingi
oleh bagian laut lain tetapi langsung berdampingan dengan Laut Teritorial itu
sendiri.
3. Bahwa Zona Ekonomi Eksklusif itu diatur oleh rezim hukum khusus (sui
generis) yang dituangkan dalam Bab V, yaitu bab yang mengatur Zona
Ekonomi Eksklusif.
4. Bahwa disebut rezim khusus oleh karena pada Zona Ekonomi Ekslusif oleh
UNCLOS III hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan sekaligus juga diakui
adanya hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain.
F. Landas Kontinen
Landasan kontinen terdapat dalam Pasal 76 ayat 1 dan ayat 2, yang meliputi
sebagai berikut :
a. Dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke
pinggiran tepi kontinen; atau
b. Dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis
pangkal di mana laut teritorial diukur;
c. Landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di
mana laut teritorial diukur; atau
d. Tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.