DISERTASI
Oleh:
YACKOB ASTOR
NIM: 35110004
Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika
Oleh:
Yackob Astor
NIM: 35110004
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah laut seluas 3.374.668 km2
yang lebih luas dari wilayah darat yang hanya 1.922.570 km2, 13.466 pulau dan
garis pantai sepanjang 99.093 km (Badan Informasi Geospasial, 2013)
menjadikan Indonesia memiliki sumber daya alam laut yang lebih banyak
dibandingkan dengan sumber daya alam di darat. Kondisi potensi sumber daya
laut ini dipandang sebagai peluang Indonesia sebagai negara berkembang untuk
membangun keunggulan di bidang pesisir dan kelautan. Namun selama 70 tahun
bangsa ini merdeka, sektor kelautan ternyata belum dapat menunjukkan sebagai
sektor yang dapat diunggulkan oleh bangsa dan diandalkan oleh rakyat Indonesia.
Permasalahan yang timbul di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
multikultural tidak terlepas dari konflik penyelenggaraan pengelolaan pesisir dan
laut antar sektor, antara pusat dan daerah, antar pemerintah daerah, dan antar
pemangku kepentingan. Penyelenggaraan pengelolaan kelautan melalui definisi
kadaster kelautan telah ada di negara-negara maju non-kepulauan seperti
Australia, Kanada, dan Amerika, sedangkan Indonesia belum memiliki definisi
kadaster kelautan dan model penyelenggaraan kadaster kelautan yang sesuai
dengan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara
kepulauan. Maka perlu dibangun pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia dibangun melalui 4 (empat)
tahap, yaitu: Melakukan kajian definisi-definisi kadaster kelautan dari negara-
negara non-kepulauan; Membangun definisi kadaster kelautan untuk Indonesia
sebagai negara kepulauan; Mengimplementasikan definisi kadaster kelautan yang
telah dirumuskan ke dalam wilayah studi penelitian; Membangun model pola
penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan.
i
Produk penelitian ini diperoleh: Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia (tahap perencanaan, tahap pemanfaatan dan tahap pengawasan) sebagai
acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan di
laut; Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai wujud kedaulatan ilmu,
pengetahuan dan teknologi dalam merumuskan definisi kadaster kelautan yang
sesuai dengan karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan; Peta batas laut
wilayah kabupaten/kota sebagai dasar rumusan penyelesaian permasalahan batas
laut wilayah di perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur; Diagram konsep
pengelolaan sumber daya kelautan terpadu sebagai dasar rumusan penyelesaian
permasalahan pengelolaan sumber daya kelautan antar sektor, antara pusat dan
daerah, antar pemerintah daerah, dan antar pemangku kepentingan; Peta Kadaster
Kelautan Indonesia sebagai acuan dasar pengurusan dan penerbitan Izin Lokasi
dan Izin Pengelolaan di wilayah pesisir dan laut Indonesia.
Kata kunci: karakteristik NKRI, negara kepulauan, definisi kadaster kelautan.
ii
ABSTRACT
by:
Yackob Astor
NIM: 35110004
The Indonesian archipelagic state has a marine area 3.374.668 km2 which is wider
than the land area 1.922.570 km2, 13.466 islands and a coastline of 99.093 km
(Geospatial Information Agency, 2013) makes Indonesia has natural resources of
the marine more than the natural resources on land. Potential conditions of marine
resources is seen as an opportunity for Indonesia as a developing country to build
excellences in the field of coastal and marine. But during the 70 years of this
nation's independence, the maritime sector is not yet able to be showned as a
sector that can be seeded by the nation and relied upon by the people of Indonesia.
Problem arising in the Indonesian as an archipelagic state can not be rid of coastal
and marine implementation conflict among sectors, between central and local
government, among local governments, and between stakeholders. The
management of marine through the definition of marine cadastre has been existed
in coastal state such as Australia, Canada and America, while Indonesia does not
have a definition and models organization of marine cadastre accordance with the
characteristics of Indonesian as an archipelagic state. Then it is necessary
building patterns of marine cadastre organization in Indonesia in perspective
Indonesian archipelagic state.
Organization pattern of marine cadastre in Indonesia built through four stages:
The study of marine cadastre definitions from coastal state; Building marine
cadastre definition for Indonesian as an archipelagic state; Implementation of
marine cadastre which has been formulated in to study location; Building an
organization model of marine cadastre in Indonesian as an archipelagic state.
The products are: organization pattern model of marine cadastre (planning,
actuating, controlling) used as a reference for a government policy formulation in
organizing ocean government; Definition of marine cadastre for Indonesia as an
realize of the sovereignity sciences, knowledge and technology in formulating
marine cadastre definition accordance with the characteristics of Indonesian as an
archipelagic state; Marine Boundary Map can be used as a formulation for
problem solution marine boundaries that happen in Madura Strait East Java
Province; Diagram of integrated marine management concept can be used as a
iii
formulation for problem solution marine resources among sectors, between central
and local government, among local governments, and Stakeholders that happen in
Madura Strait East Java Province; Marine Cadastre Map as the basis for clearance
and publishing the location permit and management permit in Indonesian coastal
and marine areas.
iv
POLA PENYELENGGARAAN KADASTER KELAUTAN
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF INDONESIA SEBAGAI
NEGARA KEPULAUAN
Oleh:
Yackob Astor
NIM: 35110004
Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui
Tim Pembimbing
Ketua
Anggota Anggota
v
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI
vi
Dipersembahkan kepada:
Orang tua tercinta, Drs.H Amsar Ibrahim, MM dan Hj. Tita Setiati (Almh)
Istri tercinta Yuri Plurita, SE, dan juga putra-putri tercinta Sekar Paringi Yackob,
Sela Abrite Yackob dan Surya Kencana Yackob
(WR Supratman)
vii
KATA PENGANTAR
Penulis sangat berterima kasih kepada Prof. Widyo Nugroho SULASDI sebagai
ketua Tim Pembimbing atas segala pengetahuan, ilmu, pengarahan,
pengembangan, saran, kesabaran dan nasehat selama penulis menjalani program
studi doktor.
Penulis juga berterima kasih kepada Dr.Ir. S.Hendriatiningsih, MS dan Dr.Ir. Dwi
Wisayantono, MT sebagai anggota Tim Pembimbing atas semua saran, koreksi
dan kesabaran selama proses penelitian disertasi.
Terima kasih disampaikan pula kepada Dr.Ir. Eka Djunarsjah, MT, Dr.Ir. Irawan
Soemarto, M.Sc dan Dr.Budi Sulistiyo, M.Sc sebagai Tim Reviewer dan Tim
Penguji.
Terima kasih pula kepada Dr.Ir. Dewi Kania Sari, MT yang telah berkenan
merekomendasi penulis untuk melanjutkan program doktor. Dr.Ir. Martinus Agus
Sugiyanto, MT yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan program
doktor. Dr. Idad Saeful Haq yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk
diskusi filosofis. Irlan Fardhani, ST., MT., dan Zainul Hidayah, S.Pi, M.App.Sc.
yang telah membantu penulis dalam proses akuisisi data penelitian.
Abraham Pilar, ST., Giovany, ST., Ibunda Djuminah Lestari, Intan Noviar Dewi,
Khairul Rizal, Keluarga besar di Cirebon dan Bandung, rekan kerja di Universitas
Swadaya Gunung Jati (Unswagati) Cirebon dan Politeknik Negeri Bandung
(Polban).
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK.................................................................................................... I
ABSTRACT................................................................................................. iii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI................................................ vi
KATA PENGANTAR.................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ Ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI.................................................... xiv
DAFTAR TABEL........................................................................................ xix
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG............................................... xxii
Bab I Pendahuluan................................................................................ 1
I.1 Latar Belakang.................................................................... 1
I.2 Perumusan Masalah............................................................ 9
I.3 Tujuan Penelitian................................................................ 9
I.4 Kemanfaatan Penelitian...................................................... 10
I.5 Asumsi................................................................................. 10
I.6 Hipotesis Kerja.................................................................... 10
I.7 Alur Pikir Penelitian............................................................ 10
I.8 Sistematika Penulisan Disertasi.......................................... 12
ix
II.5.4 Sistem Administrasi Pertanahan di Indonesia..................... 41
II.6 Definisi Kadaster (FIG 1995)............................................. 44
II.7 Definisi Kadaster (FIG 1995) ditempatkan dalam
Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan................ 46
II.8 Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan......... 48
II.9 Keterkaitan Kadaster Kelautan dengan UNCLOS 1982,
Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan.......................... 52
II.9.1 Marine Cadastre di dalam konteks Negara Kesatuan dan
Negara Federal............................................................. 53
II.9.2 Marine Cadastre di dalam konteks Negara Kepulauan
dan Negara Pantai......................................................... 55
II.10 Marine Cadastre di negara non-kepulauan........................ 56
II.10.1 Australia........................................................................ 56
II.10.2 Kanada......................................................................... 62
II.10.3 Amerika....................................................................... 66
II.11 Karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai Negara Kepulauan................................................. 70
II.12 Persoalan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan di
Indonesia sebagai Negara Kepulauan................................ 74
II.13 Teori Konflik..................................................................... 83
II.14 Asas dan Tujuan Penyelenggaraan Kelautan Indonesia
ditempatkan pada UU RI No.32 Tahun 2014 tentang
Kelautan dan UU RI No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial.......................................................................... 89
II.15 Teori Sistem...................................................................... 96
II.16 Teori Optimisasi.................................................................. 98
II.17 Konsep Networked Government dan Legislative
Government......................................................................... 101
II.18 Ilmu Kebijakan (Policy Sciences)....................................... 103
x
III.5.1 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Australia,
Kanada dan Amerika Dalam Perspektif Indonesia sebagai
Negara Kepulauan.............................................................. 127
III.5.2 Membangun Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
sebagai Negara Kepulauan................................................. 150
III.5.3 Implementasi Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
sebagai Negara Kepulauan.................................................. 172
III.5.4 Pemodelan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan untuk
Indonesia sebagai Negara Kepulauan................................. 182
III.5.4.1 Tahap Perencanaan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan... 184
III.5.4.2 Tahap Pemanfaatan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.. 191
III.5.4.3 Tahap Pengawasan/Pengendalian Penyelenggaraan
Kadaster Kelautan............................................................... 197
Bab IV Hasil dan Analisis............................................................... 199
IV.1 Hasil.................................................................................... 199
IV.1.1 Menginterpretasi Sistem..................................................... 199
IV.1.2 Menganalisis Perilaku......................................................... 200
IV.1.3 Mengelola, Mengoperasi atau Mengkontrol Sistem........... 201
IV.1.4 Mendesain Metode untuk Meningkatkan atau
Memodifikasi Sistem.......................................................... 207
IV.1.4.1 Tahap Perencanaan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.. 207
IV.1.4.2 Tahap Pemanfaatan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.. 208
IV.1.4.3 Tahap Pengawasan/Pengendalian Penyelenggaraan
Kadaster Kelautan............................................................... 209
IV.1.4.4 Operasional Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.............. 213
IV.1.4.5 Continous Improvement Hasil Penelitian terhadap
Penelitian Sebelumnya........................................................ 220
IV.1.5 Mentest Hipotesis/Menguji Sistem Tentang Suatu Sistem
Atau Memprediksi Responsnya Dalam Berbagai Variasi
Keadaan.............................................................................. 222
IV.2 Analisis................................................................................ 223
IV.2.1 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Policy Sciences................................ 223
IV.2.2 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Permasalahan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Kelautan di Indonesia sebagai Negara
Kepulauan........................................................................... 224
xi
IV.2.2.1 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Permasalahan Batas Laut Wilayah.. 224
IV.2.2.2 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Permasalahan Peraturan
Perundangan yang bertampalan terkait Pengelolaan
Wiayah Pesisir dan Laut...................................................... 237
IV.2.2.3 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Persoalan Pemanfaatan Laut Adat... 238
IV.2.3 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
ditempatkan di dalam One Map Policy............................... 244
IV.2.4 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
terhadap Aspek Penyelenggaraan Tata Ruang Laut............ 245
IV.2.5 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
Menggunakan Asas-asas pada Undang-Undang
Kelautan.............................................................................. 254
IV.2.6 Analisis Tata Kelola dan Kelembagaan Kadaster
Kelautan di Indonesia..................................................... 259
Bab V Kesimpulan dan Saran........................................................ 263
V.1 Kesimpulan......................................................................... 263
V.2 Saran.................................................................................... 264
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 266
LAMPIRAN................................................................................................. 275
RIWAYAT HIDUP...................................................................................... 277
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran B Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Timur 276
xiii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI
Gambar II.11 Peta zona pemanfaatan laut di Great Barrier Reef Marine
Park Australia..................................................................... 61
xiv
Gambar II.19 Peta batas pengelolaan laut antara negara bagian Rhode
Island dan pemerintah federal Amerika.............................. 70
Gambar III.1 Diagram urutan antara fenomena, pola, model dan sistem. 106
Gambar III.8 Peta Persebaran Kerja Minyak dan Gas Bumi di Provinsi
Jawa Timur.......................................................................... 113
Gambar III.11 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Pesisir Provinsi Jawa
Timur................................................................................... 116
xv
Gambar III.14 Diagam kedudukan kadaster kelautan ditempatkan di
dalam perspektif pemerintahan di laut............................... 124
Gambar III.25 Peta lokasi terputusnya saluran kabel bawah laut PLN
Jawa–Madura akibat tersangkut jangkar kapal................... 179
Gambar III.26 Peta lokasi konflik pemanfaatan ruang laut antara nelayan
Kabupaten Sampang dan PT. Santos di Blok Wortel Selat
Madura................................................................................ 181
Gambar III.27 Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala 1:50.000... 186
Gambar III.28 Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) Skala 1:50.000...... 187
Gambar III.30 Lembar (C3) Peta RZWP3K Provinsi Jawa Timur Tahun
2010-2030....................................................................... 190
xvi
Gambar III.31 Diagram subjek kadaster kelautan, objek kadaster
kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.1 Tahun
2014 serta pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan
sumber daya pesisir dan laut.............................................. 195
Gambar IV.1 Peta batas laut wilayah Provinsi Jawa Timur dan
kabupaten/kota yang mengelilingi perairan Selat Madura.. 202
xvii
Gambar IV.13 Visualisasi perbedaaan batas wilayah laut provinsi dan
kabupaten/kota di Selat Madura Provinsi Jawa Timur....... 225
Gambar IV.14 Peta lokasi Pulau Galang dan visualisasi penarikan garis
batas laut wilayah Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya.. 226
Gambar IV.15 Peta lokasi Blok Maleo masuk ke dalam batas laut
wilayah Kabupaten Sumenep.............................................. 227
Gambar IV.16 Peta lokasi eksplorasi minyak dan gas PT. Santos masuk
kedalam batas laut wilayah Kabupaten Sampang............... 228
Gambar IV.19 Foto batas petuanan laut berdasarkan garis imajiner dan
tanda batas buatan............................................................... 242
xviii
DAFTAR TABEL
xix
Tabel II.18 Sistem Referensi Geospasial yang digunakan oleh Sektor
Perikanan, Pertambangan, Perhubungan dan Otonomi 88
Daerah....................................................................................
Tabel III.1 Luas Perairan Jawa Timur..................................................... 108
xx
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster
Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Laut di Selat Madura Provinsi Jawa Timur........ 233
xxi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
AL Angkatan Laut 86
AS Amerika Serikat 40
xxii
CZMA Coastal Zone Management Act 69
xxiii
Keppres Keputusan presiden 78
NT Northern Territory 31
xxiv
OCS Outer Continental Shelf 140
PN Perikanan Negara 77
PP Peraturan Pemerintah 43
PT Perseroan Terbatas 76
QLD Queensland 31
RI Republik Indonesia 2
SA South Australia 31
xxv
SDA Sumber Daya Alam 77
TAS Tasmania 31
United Nations Convention on the Law of the
UNCLOS 52
Sea
U.S DOC United States Departemen of Communication 6
UU Undang-undang 2
VIC Victoria 31
WA Westren Australia 31
xxvi
LAMBANG Nama Pemakaian
pertama kali
pada halaman
C Fungsi Kendala 98
V Variabel 98
Z Fungsi Tujuan 98
xxvii
Bab I Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki potensi fisik dan geografis sumber
daya alam yang jauh lebih baik daripada negara-negara lain. Sebagai negara yang
beriklim tropis, Indonesia merupakan negara yang sangat subur, dipenuhi oleh
berbagai spesies unik dan varietas tumbuhan yang beraneka ragam. Letak
Indonesia yang berada di jalur cincin api Pasifik menyebabkan Indonesia kaya
akan mineral logam seperti emas, perak, tembaga dan nikel, batubara, minyak
serta energi panas bumi yang sangat besar.
1
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945
Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang. Pasal 25 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah
dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Kedua pasal
di atas menegaskan bahwa tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota memiliki batas-
batas beserta hak yang harus ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Implementasi dari undang-undang ini ternyata belum dapat diwujudkan oleh tiap-
tiap provinsi dan kabupaten/kota yang terletak di wilayah pesisir dan laut
Indonesia. Implikasi dari batas laut yang belum ditetapkan adalah terjadi tumpang
tindih klaim (overlapping claim) wilayah laut yang akan memicu konflik sengketa
batas wilayah laut antara pusat dan daerah (provinsi, kabupaten/kota), maupun
antar pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), seperti persoalan batas laut
2
antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Provinsi Jawa Tengah,
penentuan batas laut Kabupaten Pasuruan dengan Kabupaten Bangkalan atau
masalah Blok Maleo yang diperebutkan pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan
pemerintah daerah Kabupaten Sumenep terkait bagi hasil eksplorasi migas yang
berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran di wilayah pesisir dan laut.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
berbasis pada sistem otonomi daerah ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi
karena jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia berjumlah 497
kabupaten/kota, 324 kabupaten/kota memiliki wilayah pesisir (Kemendagri,
2010). Setiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan
lainnya sehingga berbeda pula cara untuk mengelola wilayah pesisir tersebut
(Kusumastanto, 2006). Oleh karena itu kebijakan dan instrumen kelembagaan
yang dirumuskan pun tidak akan sama. Hal ini akan berpengaruh dalam
penyediaan data, informasi dan kebijakan mengenai pengelolaan wilayah pesisir
dan laut di masing-masing daerah akan berbeda.
Selain dikelola oleh daerah, sumber daya laut nasional dikelola pula secara
sektoral. Informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi dalam penelitian ini
menyatakan bahwa terdapat sekitar 12 kementerian yang terlibat dalam
pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia, yakni: Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, Kementerian Budaya dan
Pariwisata, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian
3
Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian
Pertanian, Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Kementerian Pekerjaan
Umum. Jika masing-masing kementerian/sektor tersebut memiliki sistem dan
kebijakan yang berdiri sendiri (tidak terintegrasi), cara pandang dan tujuan
pengelolaan yang berbeda serta tidak terarah (dikelola tanpa perencanaan bersama
yang jelas) maka akan menyebabkan batas-batas kegiatan pengelolaan dan
pemanfaatan ruang laut yang saling tumpang tindih, misalnya ruang laut untuk
budidaya ikan tumpang tindih dengan alur pelayaran sehingga menyebabkan
terganggunya hasil pendapatan budidaya ikan, atau ruang laut untuk penangkapan
ikan tumpang tindih dengan ruang laut untuk latihan perang TNI Angkatan Laut
sehingga terganggu pendapatan nelayan dalam memperoleh ikan. Belum adanya
kepastian batas-batas kegiatan di wilayah laut akan menyebabkan kegiatan
perekonomian kelautan seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
bioteknologi, pariwisata bahari, transportasi laut, konservasi, eksplorasi dan
eksploitasi akan terganggu.
Persoalan yang terjadi adalah adanya eksklusifitas wilayah ulayat laut yang batas-
batasnya ditentukan berdasarkan peraturan adat yang berlaku di wilayah tersebut.
Sebagai contoh di Pulau Haruku (Desa Haruku) Provinsi Maluku, batas-batas
ulayat laut antar desa ditentukan berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari batas
darat lurus ke arah laut, sedangkan untuk menentukan batas ulayat laut desa
dengan laut milik umum (public property) atau laut milik bersama (common
property) adalah garis imajiner yang berada antara laut dangkal dan laut dalam
(Hammar, 2009). Garis imajiner yang ditetapkan secara adat dengan metode
4
sederhana dan tidak memiliki informasi berupa titik-titik koordinat sehingga
batas-batas tersebut bersifat relatif, dapat berubah dan sulit direkonstruksi.
Implikasi penetapan batas laut dapat menimbulkan konflik batas ulayat antar desa
adat, konflik batas ulayat laut desa dengan pihak luar, maupun konflik batas
ulayat laut dengan batas kewenangan laut daerah. Persoalan adat dan kearifan
lokal tidak dapat dihindari karena adat dan kearifan lokal merupakan bagian dari
sistem kebudayaan di Indonesia.
5
Management System yang pada saat itu digunakan untuk mengatur kegiatan oil
and gas sector, fisheries, aquaculture, shipping, conservation, marine heritage,
cable and pipelines, coastal zone. Konsep kadaster kelautan di Australia sudah
diterapkan dibeberapa negara bagian seperti di Queensland dan Victoria.
6
Perkembangan penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara
kepulauan dibagi menjadi 2 (dua) periode yakni:
7
satu karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan. Definisi kadaster kelautan
dari Tamtomo (2006) lebih bersifat umum. Kedua definisi kadaster kelautan di
atas belum mengeksplisitkan secara tegas karakteristik Indonesia sebagai negara
kepulauan dan tentunya belum ditempatkan di dalam UU RI No. 32 Tahun 2014
tentang Kelautan.
8
Kelautan Indonesia dan Kebijakan Pembangunan Kelautan. Pemerintahan di laut
digunakan untuk mengatasi urusan pemerintahan konkuren-pilihan tersebut.
Pemerintahan di laut di dalam penelitian ini didefinisikan sebagai segala kegiatan
badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif
dalam usaha mencapai tujuan negara yakni mewujudkan kedaulatan di laut.
9
I.4 Kemanfaatan Penelitian
I.5 Asumsi
Hipotesis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahwa Undang Undang
Kelautan dapat digunakan untuk membangun model pola penyelenggaraan
kadasater kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara
kepulauan.
10
Gambar I.1 Skema alur pikir penelitian
11
I.8 Sistematika Penulisan Disertasi
Penelitian disertasi ini disusun menjadi 5 (lima) bab pokok bahasan, yakni:
Bab I Pendahuluan
Bab kedua berisi penelitian kadaster kelautan yang pernah dilakukan di Indonesia
maupun dari luar Indonesia, kebaharuan penelitian dan kedudukan penelitian,
serta keterkaitan teori-teori yang digunakan di dalam penelitian disertasi ini.
Bab ketiga berisi deskripsi wilayah studi penelitian, pendekatan penelitian dan
metodologi penelitian yang digunakan untuk membangun pola penyelenggaraan
kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan. Metodologi penelitian
menggunakan pendekatan sistem manufaktur yang terdiri dari masukan (input)-
proses (process)-luaran (output). Terdiri dari 4 (empat) tahap dalam membangun
pola penyelenggaraan kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara
kepulauan yakni: (1) melakukan kajian definisi-definisi kadaster kelautan dari
negara-negara non-kepulauan, (2) membangun definisi kadaster kelautan untuk
Indonesia sebagai negara kepulauan, (3) mengimplementasikan definisi kadaster
kelautan yang telah dirumuskan ke dalam wilayah studi penelitian, (4)
membangun model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai
negara kepulauan.
12
ilmu, pengetahuan dan teknologi dalam merumuskan definisi kadaster kelautan
yang sesuai dengan karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan; (3) Peta batas
laut wilayah kabupaten/kota sebagai dasar rumusan penyelesaian permasalahan
batas laut wilayah di perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur; (4) Diagram
konsep pengelolaan sumber daya kelautan terpadu sebagai dasar rumusan
penyelesaian permasalahan pengelolaan sumber daya kelautan antar sektor, antara
pusat dan daerah, antar pemerintah daerah, dan antar pemangku kepentingan; (5)
Peta Kadaster Kelautan Indonesia sebagai acuan dasar pengurusan dan penerbitan
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan di wilayah pesisir dan laut Indonesia.
Bab ini juga menjelaskan analisis dari hasil penelitian, yaitu: (1) Analisis Definisi
Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam Policy Sciences, (2)
Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam
Persoalan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan di Indonesia sebagai Negara
Kepulauan, (3) Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
ditempatkan di dalam One Map Policy, (4) Analisis Model Pola Penyelenggaraan
Kadaster Kelautan terhadap Aspek Penyelenggaraan Tata Ruang Laut, (5)
Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan Menggunakan Asas-
asas pada Undang Undang Kelautan, (6) Analisis Tata Kelola dan Kelembagaan
Kadaster Kelautan di Indonesia
Pada bab terakhir ini disampaikan kesimpulan yang dirangkum berdasarkan hasil
kajian dan analisis. Hal-hal yang masih dapat dikembangkan dan ditindaklanjuti
dari penelitian ini disampaikan melalui sub-bab saran.
13
Bab II Studi Kepustakaan
14
Tabel II.1 Penelitian Sejenis di Negara Lain (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek Metode Variabel
dan Peneliti
4 2004 Defining a Konsep Kualitatif Prinsip Kadaster,
Marine Cadastre: Kadaster Hukum Laut,
Legal and Kelautan Stakeholder,
Institutional di Kegiatan di laut
Aspects Australia Batas-batas Laut,
(Binns, A.) Right, Restriction,
Responsibility,
Infrastuktur Data
Spasial
5 2010 Towards a Konsep Kualitatif Kadaster, Batas
Marine Cadastre Penataan dan Studi Laut Wilayah,
in Israel Laut di Kasus Coastal Zone
(Srebo, H., Israel Management,
Fabrikant, I., dan Hidrografi,
Marom, O.) Sistem Informasi
Geografis
6 2010 The Importance Konsep Kualitatif Land property,
of Marine Penataan Kadaster,
Cadastre for Laut di Coastal, Sea,
Turkey Turki Kegiatan di laut,
(Sesli, F.A., dan Peraturan
Uslu, G.) perundangan,
Definisi Kadaser
Kelautan di
Australia dan
Kanada
7 2010 Issues with Konsep Kualitatif Coastline area,
Building a Penataan legal and
Marine Cadastre Laut di institutional,
System in South Korea marine
Korea Selatan environment,
(Lee, H.S. dan Konsep Kadaster
Shin, D.) Kelautan di
Australia
8 2013 Implementation of Penataan Kualitatif Kadaster, Coastal
Marine Cadastre Laut di dan Studi zonemanagement,
in Israel Laut Kasus Coordinat Based
(Srebo, H.) Meditera- Cadastre (CBC),
nia Spatial Data
Infrastructure
(SDI)
15
Penelitian-penelitian pada Tabel II.1 memiliki kesamaan objek penelitian yakni
membahas mengenai konsep dan penataan laut. Delapan penelitian menunjukkan
sebagian besar kadaster kelautan merupakan sebuah konsep yang akan dibangun
untuk diimplementasikan di negara masing-masing. Penelitian yang dilakukan
oleh Haim Srebo, Itzhak Fabrikant, dan Orit Marom pada tahun 2010 di Israel,
Faik Ahmet Sesli dan Gul Uslu tahun 2010 di Turki, serta Hyun sook, Lee dan
Dong hyun shin tahun 2010 di Korea Selatan membahas mengenai pentingnya
membangun konsep kadaster kelautan. Artinya konsep kadaster kelautan pada saat
itu belum dibangun di negara-negara tersebut.
Berbeda dengan negara Israel, Turki dan Korea Selatan, konsep kadaster kelautan
di negara Australia dan Kanada sudah mulai dibangun. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Sam Ng‟Ang‟A, Sue Nichols, Michael
Sutherlan dan Sara Cockburn dari Kanada, dan penelitian yang dilakukan oleh
Andrew Binns dari Australia yang sudah mulai memperkenalkan definisi kadaster
kelautan. Konsep kadaster kelautan dari Australia dan Kanada banyak dijadikan
referensi oleh berbagai pihak dan peneliti dari negara-negara lain untuk menata
pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di negaranya masing-masing.
16
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
2 2004 Pengelolaan Perbandingan Kualitatif, Kadaster,
Wilayah Laut sistem Studi UUPA,
Secara Terpadu pengelolaan Komparasi Pengelolaan,
dalam Perspektif wilayah laut Wilayah Laut,
Hukum di Indonesia Marine
(Chomariyah) dan Jepang Cadastre,
Kepastian
Hukum,
Kegiatan
Pengelolaan
Perikanan di
Jepang
3 2004 Model Membangun Kualitatif, Sistem,
Pengelolaan aplikasi Studi Sumber Daya
Wilayah Pesisir sistem kasus Wilayah
Kabupaten informasi Pesisir,
Berbasis Digital wilayah Informasi
(Studi kasus: pesisir Spasial,
Kabupaten kabupaten Otonomi
Cilacap Jawa Daerah
Tengah) (Kabupaten)
(Dartoyo)
4 2004 Relationship of Korelasi Kualitatif Marine
Marine Cadastre marine Cadastre,
and Marine spatial Marine Spatial
Spatial Planning planning dan Planning,
in Indonesia marine Coastal Zone
(Widodo) cadastre Management
17
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
6 2004 Sebuah Pemikiran Konsep Kualitatif Penataan
Kadaster Laut penataan Ruang,
sebagai Langkah wilayah laut Ekosistem
Menuju Penataan Indonesia Laut, Nilai
Wilayah Laut Ekonomi dan
(Sulistiyo, B.) Lingkungan
Laut, Sosial
Budaya
Masyarakat
Pesisir dan
Pulau,
Administrasi
Laut
7 2005 Riset Kadaster Penentuan Analytic Sumber Daya
Laut Selat zonasi Hierarchy Laut,
Madura pemanfaatan Process Kegiatan-
(Pusat Riset di laut (AHP) dan kegiatan
Wilayah Laut dan Studi pemanfaatan di
Sumberdaya Non Kasus laut, Kadaster
Hayati, Badan Laut, Peraturan
Riset Kelautan Perundangan,
dan Perikanan) Kelembagaan
8 2006 Analisis Penataan dan Kualitatif, Pengelolaan
Kebijakan pemanfaatan Kuantitatif Sumberdaya
Pemanfaatan ruang pesisir , Total Pesisir dan
Ruang Pesisir dan dan laut Economic Laut, Analisis
Laut dalam Value Kebijakan
Kerangka (TEV), dan Publik (Aspek
“Marine Studi Legal dan
Cadastre” (Studi Kasus Kelembagaan),
Kasus di Wilayah Kadaster
Pulau Bintan, Kelautan,
Kabupaten Aspek
Kepulauan Riau) Ekonomi
(Tamtomo, J.P.) Sumber Daya
dan
Lingkungan
9 2006 Pemanfaatan Posisi dan Kualitatif Kadaster,
Survai dan batas-batas Kadaster laut,
Pemetaan Laut kegiatan di Aspek Legal,
untuk laut Institusional,
Menyongsong Suvei dan
Kadaster Laut Pemetaan Laut
(Yuwono)
18
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
10 2006 Kajian Pembuatan Kualitatif Kadaster,
Kemungkinan batas-batas dan Studi Kadaster Laut,
Penerapan fisik area Kasus Pertanian Laut,
Kadaster Laut pertanian di Batas area
untuk Pertanian laut pertanian laut
Laut di Indonesia
(Studi Kasus:
Pulau Seribu)
(Haryono dan
Narni)
19
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
14 2009 Optimisasi Strategi Kualitatif, Kegiatan
Spasial Ratio pengelolaan Kuantitatif pemanfaatan
Lahan dalam sumber daya Optimisasi sumber daya
Pengelolaan wilayah Spasial, laut, Rasio
Sumber Daya pesisir dan Studi lahan,
Wilayah Pesisir Kasus Geodemogra-
secara fik, Asosiasi
Berkelanjutan geografikal,
(Wilayah Studi: Pembangunan
Pesisir Selat berkelanjutan
Madura-Jawa
Timur)
(Wisayantono,
D.)
15 2012 An Institutional Pengelolaan Kualitatif Marine
Analysis of laut secara dan Studi Cadastre,
Customary adat Kasus Penyelenggara
Marine Tenure in -an Laut Adat,
Maluku: Towards Aspek Hukum
Implementation dan Aspek
Marine Cadastre Kelembagaan
in Indonesia Kadaster
(Hernandi, A., Kelautan,
Abdulharis, R., Otonomi
Hendriatiningsih, Daerah
S. dan Mei Ling)
16 2014 Exploring the Konsep Kualitatif Marine
Possibility of sistem Information
Developing informasi System, Legal
Multipurpose kelautan yang Aspects,
Marine Cadastre terintegrasi Technical
in Indonesia Aspects,
(Hernandi, A., Institution
Abdulharis, R., Aspects.
Hendriatiningsih,
S. dan Saptari,
A.Y.)
20
Tabel II.2 menunjukkan sebagian besar penelitian di Indonesia masih dalam tahap
memperkenalkan konsep (sebuah pemikiran), tujuan dan manfaat kadaster
kelautan secara umum, yaitu pada penelitian Rais tahun 2003, Widodo tahun
2004, Tamtomo tahun 2004, Sulistiyo tahun 2004, Yuwono tahun 2006, dan
Haryono tahun 2006.
21
Tabel II.3 Perbandingan Penelitian Kadaster Kelautan di Selat Madura antara
BRKP dan Disertasi (lanjutan)
Pada tahun 2007 Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menyelenggarakan
kegiatan sejenis di wilayah studi yang berbeda, yaitu di Teluk Bungus, merupakan
suatu kawasan perairan laut yang berada di Kota Padang, Provinsi Sumatera
Barat. Hasil penelitian merupakan zonasi pemanfaatan ruang laut berdasarkan
kaidah kadaster kelautan yang digunakan untuk membantu masyarakat dalam
22
mengelola tatanan wilayah secara lebih terkendali dan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan di
wilayah laut yang bersangkutan.
Penelitian kadaster kelautan yang dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan
Perikanan (BRKP) di lokasi Selat Madura Provinsi Jawa Timur pada tahun 2005
dan di Teluk Bungus Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2007 lebih berorientasi
pada kegiatan Pengelolaan Ruang Laut (Tata Ruang Laut). Kedua penelitian di
atas menggunakan pendekatan konsep dan definisi kadaster kelautan dari
Australia dalam upaya menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil (RZWP3K).
Penelitian lainnya yang bersifat case study adalah penelitian disertasi yang
dilakukan oleh Johanes P Tamtomo pada tahun 2006 yaitu membahas
implementasi kadaster kelautan yakni dengan membuat model analisis kebijakan
publik dalam kerangka kadaster kelautan yang ditinjau dari aspek legal dan
kelembagaan, serta dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Wilayah
studi dilakukan di Wilayah Bintan Kabupaten Kepulauan Riau.
Pada tahun 2008, Rizqi Abdulharis, Eka Djunarsjah dan Andri Hernandri
melakukan penelitian dengan judul Stakeholder Analysis on Implementation of
Marine Cadastre in Indonesia. Penelitian ini membahas mengenai stakeholders
kadaster kelautan di Indonesia yang berhubungan dengan implementasi UU RI
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dari aspek teknis dan aspek
hukum.
23
Pada tahun 2012, Andri Hernandi, Rizqi Abdulharis, S.Hendriatiningsih, Marisa
Mei Ling mempublikasikan satu makalah dengan judul An Institutional Analysis
of Customary Marine Tenure in Maluku: Towards Implementation Marine
Cadastre in Indonesia. Penelitian tersebut membahas mengenai kelembagaan
penguasaan laut adat di Maluku terkait dengan kemungkinan penyelenggaraan
kadaster kelautan di Indonesia. Penelitian ini banyak memberikan gambaran
mengenai kondisi dan permasalahan di wilayah pesisir dan laut di Indonesia
bagian timur yang banyak ditemui eksistensi pemanfaatan laut secara adat.
Terdapat 3 (tiga) hal yang diajukan sebagai unsur kebaharuan penelitian ini, yaitu:
24
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Djunarsjah (2014) yaitu
mengenai 11 hal penting yang terkait dengan kadaster kelautan adalah:
25
1. Sebagai operasional konsep/sistem untuk menjalankan Penyelenggaraan
Kelautan Indonesia pada Pasal 4(2) UU RI No.32 Tahun 2014 tentang
Kelautan.
2. Sebagai acuan dalam penerbitan Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan di wilayah
pesisir dan laut pada UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
3. Sebagai operasional konsep penentuan batas-batas laut wilayah di dalam
pengelolaan laut berbasis otonomi daerah pada UU RI No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
26
II.4 Hak Kepemilikan Tanah
Hak Milik merupakan dasar dari hak-hak lainnya, merupakan hukum yang kuat
dan sangat dilindungi oleh negara, salah satu jenis hak milik adalah hak
menguasai tanah. Hak menguasai tanah dalam konsep Anglo Saxon adalah semua
tanah adalah milik raja. Hak milik perorangan (berarti freeman, yaitu kepala
rumah tangga atau seseorang dari golongan bangsawan atau angkatan bersenjata)
hanya dapat mempunyai tanah atas kewenangan raja, oleh karena itu pemilik
tanah secara periodik wajib membayar upeti atau memberi jasa-jasa lain kepada
raja sebagai pemilik tanah secara mutlak.
Freehold, yakni penguasaan atas tanah secara penuh dalam jangka waktu
penguasaan tanahnya tidak ditetapkan/ tidak terbatas, termasuk hak untuk
mengalihkan tanah tersebut melalui pewarisan. Dahulu, tanah freehold
diperoleh dari raja kepada seseorang untuk jasa-jasa dibidang kemiliteran
(tenure in chilvalry) dan jasa-jasa non militer. Dengan statuta of tenure pada
tahun 1960, tenure in chilvalry dihapuskan, sehingga semua freehold tenure
merupakan tenure in non-chilvalry.
Leasehold adalah bentuk penguasaan atas tanah dimana satu pihak membeli
hak untuk menempati tanah atau bangunan untuk jangka waktu tertentu.
Leasehold merupakan kepemilikan hak sementara untuk memegang tanah
atau bangunan dimana penyewa memiliki hak atas properti dari pemilik.
Meskipun penyewa tidak memegang hak atas tanah, umumnya prasarana
dan sarana dianggap milik pribadi.
Seluruh tanah beserta hak atas tanah yang ada harus dicatat di dalam suatu daftar
publik melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah dengan menggunakan sistem
yang ada pada saat itu, yaitu pendaftaran akta. Hingga saat ini sebagian besar
negara-negara persemakmuran (commonwealth) masih menggunakan sistem ini.
27
II.4.1 Sistem Pendaftaran Akta
Salah satu tanggung jawab negara yang menggunakan sistem pendaftaran akta
adalah negara harus selalu memperbaharui arsip-arsip dan dokumen yang
berkaitan dengan hak kepemilikan tanah seseorang, menyusun daftar nama-nama
orang yang melakukan transaksi jual beli tanah, dan juga mencatat karakteristik
transaksi jual beli tanah yang dipengaruhi oleh letak geografis suatu tanah.
Perbuatan yang dilakukan terhadap dokumen kepemilikan tanah tersebut disebut
pencatatan (recording) bukan pendaftaran (registration), meskipun kantor
pemerintah yang melakukan kegiatan tersebut dinamakan Kantor Pendaftaran.
Dalam akta ditulis pencatatan transaksi jual beli tanah antara dua pihak dan
memberikan bukti bahwa transaksi tersebut telah terjadi. Namun, akta itu sendiri
tidak membuktikan keabsahan dari pemindahan hak yang telah dilakukan.
Sebelum transaksi penjualan tanah dilakukan, maka seseorang yang bermaksud
untuk membeli tanah yang bersangkutan bertanggungjawab untuk menelusuri dan
mencari tahu apakah penjual yang menjual tanah tersebut benar mempunyai hak
kepemilikan atas tanah itu melalui penelitian terhadap dokumen-dokumen hasil
transaksi terdahulu.
28
Persoalan mulai muncul ketika populasi penduduk di negara tersebut semakin
bertambah. Penambahan tingkat kepadatan populasi berbanding lurus dengan
penambahan lebih banyak bagian-bagian bidang tanah tertentu dan peningkatkan
transaksi jual beli perumahan yang dibutuhkan penduduk saat itu, mencerminkan
banyaknya catatan atau riwayat kepemilikan tanah yang telah terjadi dalam suatu
sistem pendaftaran akta. Dengan banyaknya permintaan penelusuran riwayat
tanah dalam sistem pendaftaran akta itu, diperlukan perhatian yang sangat serius
disini. Selain itu, pembeli dikenakan biaya yang besar dan juga pajak yang besar
dalam penelusuran riwayat tersebut, sehingga beberapa negara memutuskan untuk
tidak menggunakan sistem pendaftaran akta dan beralih menggunakan sistem
pendaftaran hak.
Pada bulan Juli tahun 1858, Robert Richard Torrens menciptakan sistem baru
yang lebih sederhana dan memungkinkan orang memperoleh keterangan dengan
cara yang mudah, tanpa harus mengadakan title search (title search dinilai sangat
memakan waktu, biaya dan diperlukan bantuan ahli) pada akta-akta yang ada.
Torrens pernah menjabat sebagai registrar general of deeds di Adelaide (Australia
selatan) pada tahun 1853 dalam kedudukannya sebagai pejabat tertinggi
pendaftaraan menciptakan sistem registration of titles yang kemudian dikenal
dengan Sistem Torrens.
Sistem Torrens berlaku prinsip hak kepemilikan atas tanah yang tidak dapat
diganggu gugat (indefeasible title), yang tidak memerlukan penelusuran akan
jejak (latar belakang) dari akta yang telah diterbitkan. Setiap bidang tanah diberi
catatan terpisah dalam pendaftarannya dan diidentifikasikan oleh surat keterangan
mengenai rencana pendaftarannya. Catatan tersebut mencatat mengenai letak dan
batas-batas tanah, nama pemilik tanah yang bersangkutan, dan segala macam hak-
hak yang membebani tanah tersebut yang dapat mempengaruhi hak atas tanah
tersebut. Negara menjamin hak dan biasanya didukung dengan adanya
kompensasi kepada pemilik tanah apabila kepemilikan hak atas tanah hilang
karena kelalaian pada negara yang bersangkutan.
29
II.5 Sistem Administrasi Pertanahan di Australia, Kanada, Amerika dan
Indonesia
Luas daratan Australia adalah 7.617.930 km² berada di atas Lempeng Indo-
Australia. Dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dipisahkan
dari Asia oleh Laut Arafura dan Laut Timor (Gambar II.2). Australia memiliki
garis pantai sepanjang 34.218 km (belum termasuk pulau-pulau di lepas pantai
benua) dan pengakuan perluasan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 8.148.250 km²
(http://indonesia.embassy.gov.au).
30
1. Federal. Pemerintah Federal (atau persemakmuran) merupakan pemerintah
nasional Australia. Pemerintah ini menerapkan hukum yang dibuat oleh
Parlemen Persemakmuran. Pemerintah Federal memiliki semua kekuasaan
yang terkait dengan urusan luar negeri, perdagangan internasional dan
antar negara bagian, mata uang, imigrasi, pertahanan, telekomunikasi,
pelayanan sosial, penerbangan, bea cukai dan karantina.
2. Negara Bagian dan Teritori. Terdiri dari 6 (enam) negara bagian/ states:
New South Wales (NSW), Queensland (QLD), Victoria (VIC), South
Australia (SA), Westren Australia (WA), Tasmania (TAS) dan 2 (dua)
teritorial/territories: Australian Capital Territory (ACT) dan Northern
Territory (NT). Negara Bagian dan Teritori bertanggung jawab dalam hal
pembuatan kebijakan, pendidikan, persediaan air, rumah sakit, kesehatan
masyarakat, jalur kereta api, jalan raya, kepolisian, pelabuhan, pertanian,
administrasi pertanahan, kesejahtaraan sosial, perumahan umum dan
peraturan bisnis.
31
Tabel II.4 Komposisi Kepemilikan Tanah di Australia (Cooray, 1995)
Berdasarkan Tabel II.4 di atas, 72% dari luas lahan dimiliki dan dikontrol oleh
pemerintah. Tidak sekedar memiliki tanah, pemerintah aktif dalam pembelian,
penyitaan dan penjualan tanah dan juga menuntut hak untuk merencanakan,
mengendalikan dan mengelola penggunaannya.
Dengan hanya 15% hak milik pribadi atas tanah dan hampir 0% milik pribadi atas
mineral (kandungan di dalam tanah), dapat dikatakan bahwa kebebasan pribadi,
golongan dan perusahaan atas kepemilikan tanah di Australia sangatlah kecil. Tanah
yang dapat dimiliki hanyalah permukaan bumi saja, sedangkan bahan mineral
yang ada dibawahnya dalam bumi adalah milik Crown (Negara), selanjutnya
negaralah yang akan memberikan bahan mineral tersebut kepada pemilik tanah.
32
tersebut. Tidak seperti tanah freehold yang dimiliki oleh perorangan atau
kelompok, tanah freehold Aborigin tidak dikelola oleh Lands Department.
Berdasarkan Tabel II.5 diperoleh informasi bahwa hanya 18% lahan di Australia
yang digunakan secara intensif. Sepertiga benua hampir tidak terpakai yang
dimanfaatkan untuk rekreasi dan pelestarian. Tabel II.6 juga menunjukkan bahwa
produktivitas lahan berbanding lurus dengan tingkat kepemilikan pribadi.
Pemerintah juga terlibat dalam rekonstruksi pedesaan dan pemukiman,
penggabungan sewa, pelestarian dan pengembangan lahan, konservasi alam dan
kehutanan, perlindungan padang rumput, irigasi dan reklamasi, pembangunan dan
pengoperasian proyek wisata, pusat kebudayaan, kawasan industri, stasiun
penelitian, perumahan, rumah potong hewan, taman teknologi, museum,
pelabuhan dan air dan irigasi proyek.
Seluruh hak atas tanah di Australia harus tercatat dan tercantum di dalam daftar
umum/public registered melalui proses pemeriksaan yang teliti atas subyek dan
obyek tanah tersebut. Seseorang yang namanya tercatat di daftar umum adalah
yang berhak memiliki tanah itu. Informasi yang disajikan pada daftar umum
dijamin oleh negara (insurance). Jika terjadi kesalahan di dalam pencatatan maka
negara akan bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi atas kerugian
yang terjadi.
33
Tabel II.6 Peruntukan Tanah di Australia (Cooray, 1995)
Kanada merupakan negara federasi yang terdiri dari 10 (sepuluh) provinsi dan
3 (tiga) teritori (Gambar II.3) dengan sistem desentralisasi dan pemerintahan
berbentuk monarki konstitusional. Luas negara Kanada 9.970.610 km2 dengan
panjang garis pantai 243.792 km dan 52.455 pulau
(http://www.canadainternational.gc.ca).
34
Gambar II.3 Peta wilayah administrasi Kanada (www.canada.ca)
Meskipun kerajaan memiliki semua tanah di negeri ini, pengelolaan Crown Land
dibagi berdasarkan kewenangan pemerintah federal dan provinsi. Sekitar 89% dari
luas daratan Kanada (8.886.356 km²) adalah Crown Land, yang dikelola
oleh pemerintah federal (41%), provinsi (48%) dan 11% sisanya dimiliki pribadi
atau perusahaan (bukan kepemilikan mutlak, hanya izin mengadakan penguasaan
tanah dari Crown). Sebagian besar Crown Land dimanfaatkan sebagai taman
nasional, hutan belantara, dan sumber daya alam lainnya, wilayah pertahanan
negara, disewa untuk eksplorasi mineral, serta dapat disewa oleh individu yang
ingin membangun rumah atau hotel.
35
Hak milik telah memainkan peran sentral dalam evolusi masyarakat Kanada.
1. Pada tahun 1690, Crown memberikan kewenangan kepemilikan tanah dari
pemerintahan Kanada ke perusahaan swasta, contohnya adalah: Hudson’s Bay
Company (HBC) yang memiliki monopoli hukum dan ekonomi pada semua
tanah di Rupert’s Land territory, Columbia District dan North-Western
Territory (sekarang British Columbia, Yukon, Northwest Territories dan
Nunavut) membuatnya menjadi salah satu pemilik tanah swasta terbesar
dalam sejarah dunia.
2. Akhirnya pada tahun 1871 pemerintah Kanada melalui Dominion Lands Act
mengakuisisi tanah milik HBC yang selanjutnya digunakan untuk
pembangunan rel kereta api, sisanya dijual untuk sarana pendidikan,
pemukiman dan pertanian.
6. Hak milik juga diakui di tahun 1960, Canada Bill of Rights yang
menegaskan hak individu untuk menikmati harta dan hak untuk tidak dicabut
darinya kecuali dengan proses hukum.
7. Pada tahun 1968, Pierre Trudeau (Menteri Kehakiman pada saat itu)
mengusulkan untuk mencantumkan hak milik menjadi bagian dari piagam
konstitusi yang akan memberikan perlindungan konstitusional terhadap hak-
hak tertentu, termasuk "kenikmatan properti."
36
8. Pada tahun 1980 Pemerintah federal kembali menyusun jaminan hak milik
untuk Konferensi Pertama Ministers (First Ministers’ Conference) yang
berisi bahwa: Setiap orang berhak untuk menggunakan dan menikmati
properti, baik secara individu maupun dalam hubungan dengan orang lain,
dan hak untuk tidak dicabut darinya kecuali sesuai dengan hukum dan
kompensasi yang wajar.
37
Tabel. II.7 Sistem Kadaster Pertanahan di Kanada (www.canada.ca)
Provinsi Sistem Kadaster Pertanahan
Alberta Pendaftaran Hak
British Columbia Pendaftaran Hak
Manitoba Pendaftaran Hak
New Brunswick Dalam proses konversi dari Pendaftaran Akta ke Pendaftaran Hak
Newfoundland Pendaftaran Akta
Northwest Territories Pendaftaran Hak
Nova Scotia Dalam proses konversi dari Pendaftaran Akta ke Pendaftaran Hak
Nunavut Pendaftaran Hak
Ontario Dalam proses konversi dari Pendaftaran Akta ke Pendaftaran Hak
Prince Edward Island Pendaftaran Akta
Quebec Civil Code, Buku Tanah dan Peta Kadaster (Parcelized System)
Saskatchewan Pendaftaran Hak
Yukon Pendaftaran Hak
Luas wilayah daratan utama Amerika Serikat adalah 7.663.941 km² ditambah
dengan luas Alaska yang dipisahkan dari daratan utama Amerika Serikat memiliki
luas wilayah 1.717.856 km² dan Hawaii dengan luas wilayah 28.311 km² yang
berlokasi di tengah-tengah Samudera Pasifik di sebelah barat daya Amerika Utara
sehingga luas wilayah daratan secara keseluruhan adalah 9.522.055 km².
38
Sedangkan luas wilayah laut Amerika adalah 304.621 km² dengan panjang garis
pantai 19.924 km ( http://indonesian.jakarta.usembassy.gov).
Di dalam sistem federal Amerika Serikat, warga negara biasanya tunduk pada tiga
tingkat pemerintahan, yaitu tingkat federal, negara bagian, dan pemerintah daerah.
Pemerintah negara bagian memiliki struktur politik yang kurang lebih sama
dengan pemerintah federal. Sedangkan tugas pemerintah daerah biasanya dibagi
antara pemerintah county (setingkat kabupaten) dan munisipal.
39
Namun, negara juga memiliki hak untuk mengambil kepemilikan pribadi
bersumber dari despotic power (kekuasaan mutlak negara) dan eminent
domain power (kekuasaan negara untuk mengambil hak kepemilikan) untuk
kegunaan publik (public use). Ketentuan ini tercantum di dalam konstitusi yang
hekatnya membatasi kekuasaan negara dan melindungi hak-hak individu.
Pemerintah memberikan kompensasi yang adil bagi korban pengambilan hak oleh
negara, sesuai dengan amandemen Kelima Konstitusi AS (Fifth Amendment to the
U.S. Constitution) yang disahkan pada tahun 1791, menetapkan bahwa tidak ada
orang yang akan kehilangan hidup, kebebasan atau properti tanpa proses hukum,
dan tidak akan milik pribadi diambil untuk kepentingan umum tanpa kompensasi
yang adil. Pada tahun 1868, amandemen keempat belas Konstitusi AS yang
disahkan pada tahun 1868 juga menyatakan bahwa negara tidak akan mencabut
setiap orang hidup, kebebasan atau properti, tanpa proses hukum. Dengan
demikian, di Amerika Serikat hak milik telah mendapat perlindungan
konstitusional.
Terminologi public use yang tercantum di dalam konstitusi yang digunakan pada
abad ke-18 dan abad ke-19, kini terjadi pergeseran pengertian dimana public use
menjadi public benefit (manfaat umum/publik). Pergeseran pengertian ini pada
tahap implementasinya menimbulkan banyak persoalan terkait pengalihan hak
kepemilikan bagi perusahaan privat untuk bangunan komersial dengan dalih akan
menguntungkan atau memberi manfaat untuk publik.
40
paling utama dalam sistemnya adalah hak yang dimiliki oleh seseorang untuk
membuktikan gugatan dari manapun bahwa tanah tersebut adalah milik pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam sistem ini, bukti kepemilikan hak adalah
sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran tanah.
Berikut beberapa perbedaan sistem Torrens yang berlaku di negara bagian ini
dengan sistem pendaftaran akta yang berlaku di hampir kebanyakan negara bagian
Amerika Serikat, yaitu:
41
sebagian besar mengatur tentang tanah di permukaan saja. Dengan adanya UUPA
maka negara diberi wewenang untuk mengatur dan menyediakan peruntukan,
persediaan, penggunaan, pemeliharaan tanah, serta menentukan hukum dan
perbuatan hukum antara orang-orang yang berhubungan dengan tanah.
Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 bahwa bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengakuan
konstitusional terhadap negara akan hak menguasai atas bumi (tanah) ini penting
mengingat tanah telah diakui sebagai salah satu sumber daya alam yang memiliki
nilai ekonomis, disamping memiliki nilai sosial politik dan hankam yang tinggi.
42
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UU RI No. 5 Tahun 1960),
kepemilikan tanah di Indonesia pada prinsipnya menganut Asas Pemisahan
Horizontal, artinya bahwa tanah yang dapat dikuasai dan dimiliki (oleh
perorangan maupun kelompok) hanyalah sebatas pada permukaan bumi saja (kulit
bumi) beserta ruang yang ada diatasnya setinggi sewajarnya dalam rangka
penggunaan tanah tersebut. Sedangkan benda-benda lain yang ada di atas tanah,
dan segala kandungan mineral dan lain-lain yang ada di bawahnya, tunduk pada
ketentuan hukum yang lain (tidak menyatu dengan tanah).
Berbeda dengan Australia dan Kanada yang menganut Sistem Torrens dengan
sistem publikasi positif, dimana semua tanah adalah milik raja (pemerintah).
Rakyat hanya bisa memakai tanah milik raja, oleh raja diberi kepastian hak secara
mutlak dan perlindungan hukum oleh pemerintah, sertifikat yang dihasilkan tidak
dapat lagi digugat dan dibatalkan oleh keputusan hakim. Jika ada yang dirugikan
karena pendaftaran suatu hak atas nama orang lain, maka negara akan
memberikan kompensasi atas kesalahan tersebut.
43
II. 6 Definisi Kadaster (FIG 1995)
44
Berdasarkan definisi kadaster FIG 1995, maka kadaster merupakan model
fungsional (F) dari:
No Unsur Keterangan
45
Dari unsur-unsur pembentuk definisi pada Tabel II.8, berbicara mengenai kadaster
maka tidak akan pernah terlepas dari unsur right, restriction dan reponsibility
(3R). Banyak referensi menyatakan bahwa ketiga unsur ini merupakan unsur
utama dari kadaster yang saling terkait, dan jika ditempatkan dalam urgensi
pertanahan maka dapat dibuat pernyataan bahwa right akan diberikan berdasarkan
penggunaan tanah sesuai dengan batas yang diukur dan ditetapkan. Restriction
merupakan batas kewenangan hak atau batas hubungan kepemilikan antara orang
dan tanah, dapat diartikan bahwa hak tidak berlaku di luar batas yang dimiliki.
Sedangkan responsibility akan selalu mengikuti right dan restriction.
2. Kadaster (menurut FIG 1995) berbasis pada land parcel, oleh karena itu
definisi di atas disebut juga sebagai Kadaster Pertanahan (Land Cadastre).
Jika definisi kadaster dari FIG (1995) ditempatkan di wilayah Indonesia yang
mempunyai laut demikian luas maka hanya 1,9 juta km² sumber daya alam
merupakan objek kadaster, artinya hanya tanah-tanah di darat saja yang dapat
diukur, dipetakan dan diberikan right, restriction dan responsibility.
46
Gambar II.6 Peta batas wilayah NKRI (www.big.go.id)
)
Gambar II.6 memperlihatkan bahwa luas wilayah darat hanya sepertiga dari luas
wilayah laut, bukan berarti pelaksanaan kegiatan kadaster pertanahan di Indonesia
lebih mudah dan cepat diselesaikan. Penyelenggaraan kadaster pertanahan di
Indonesia terkait dengan kegiatan pengambilan data dan informasi pertanahan
menjadi sangat kompleks mengingat tanah air Indonesia terdiri dari wilayah laut
demikian luas dan tersebar pulau-pulau yang demikian banyak. Kondisi ini akan
mempengaruhi kecepatan proses pencatatan data dan informasi pertanahan yang
disebabkan oleh tingginya biaya transportasi serta lamanya waktu yang diperlukan
untuk pelaksanaan pengukuran dan pembuatan sertifikat tanah.
47
Kondisi di atas adalah persoalan implementasi definisi kadaster (FIG 1995) terkait
pengelolaan sumber daya alam (tanah) di wilayah darat Indonesia sebagai negara
kepulauan. Bagaimana dengan implementasi definisi kadaster (FIG 1995) terkait
pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut Indonesia seluas 3.374.668 km2 ?
Dalam hal ini Indonesia harus belajar kepada negara-negara maju seperti
Australia, Kanada dan Amerika bagaimana mengelola dan mengatasi masalah di
laut melalui definisi kadaster kelautan (marine cadastre) yang ada di ketiga
negara non-kepulauan tersebut. Kadaster kelautan dalam pengertian sederhana
dapat dikatakan sebagai penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut (Rais,
2002). Secara umum kadaster kelautan bertujuan untuk mengadministrasi ruang
laut dan sumberdaya laut termasuk semua kepentingan, hak (right), batasan
(restriction) dan tanggung jawab (responsibility) yang ada di wilayah laut.
48
Selanjutnya perbandingan konsep kadaster pertanahan dan kadaster kelautan di
negara Australia, Kanada dan Amerika ditunjukkan pada Tabel II.10, Tabel II.11
dan Tabel II.12.
4 Terkait dengan tanah adat, benua Sama halnya dengan di darat, suku
Australia dahulu dinyatakan terra Aborigin harus dapat membuktikan
nullius (lahan kosong) dan disita bahwa mereka adalah kelompok yang
dari masyarakat Aborigin tanpa pernah hidup di tempat itu dan
kompensasi. Suku Aborigin harus memiliki tanggung jawab terhadap laut
dapat membuktikan bahwa tersebut.
mereka pernah hidup di tempat itu
dan memiliki tanggung jawab
terhadap tanah tersebut.
49
Tabel II.11 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan di
Kanada
50
Tabel II.12 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan di
Amerika
51
II.9 Keterkaitan Kadaster Kelautan dengan UNCLOS 1982, Bentuk Negara
dan Sistem Pemerintahan
Secara garis besar kadaster kelautan berkaitan dengan bagaimana suatu negara
dalam mengelola dan mengatur administrasi sumber daya laut, dipengaruhi oleh
faktor eksternal yaitu kedudukan dan kedaulatan negara tersebut di dalam hukum
laut internasional (UNCLOS 1982) maupun faktor internal yakni bentuk negara,
sistem pemerintahan dan bentuk pemerintahan yang dianut oleh negara tersebut
(Gambar II.7).
52
Tabel II.13 Perbandingan Bentuk Negara, Sistem Pemerintahan, Bentuk
Pemerintahan, Karakteristik dan Sistem Kadaster Pertanahan di Australia,
Kanada, Amerika dan Indonesia
53
Tabel II.14 Perbandingan Konsep Marine Cadastre di dalam Konteks Negara
Kesatuan dan Negara Federal
54
Tabel II.14 Perbandingan Konsep Marine Cadastre di dalam Konteks Negara
Kesatuan dan Negara Federal (lanjutan)
Negara Federal Negara
Kesatuan
(Disentralisasi)
5. Pemerintah federal, state, shared Pemerintah
Responsibility responsibility antara pemerintah federal pusat,
dan state. pemerintah
daerah, shared
responsibility
antara
pemerintah
pusat dan
daerah.
Kedaulatan suatu negara atas perairannya sangat penting untuk mengetahui sejauh
mana hak dan kewajiban yang dimilikinya, serta mekanisme yang dapat
diterapkan untuk penegakan hukum (berkaitan dengan kewenangan). Suatu negara
pantai (coastal state) memiliki kedaulatan atas wilayah laut yang berbeda negara
kepulauan (archipelagic state), hal ini diatur oleh UNCLOS 1982 Pasal 49 (Tabel
II.15).
Tabel II.15 Perbedaan Kedaulatan Wilayah Laut Negara Kepulauan dan Non-
Kepulauan (Negara Pantai)
55
Marine cadastre di dalam konteks negara pantai digunakan sebagai sistem untuk
pengelolaan laut termasuk dasar laut, tanah di bawah laut dan sumber daya laut
yang terkandung di dalamnya, dari Territorial Sea Baseline ke arah laut menuju
laut teritorial. Sedangkan marine cadastre di dalam konteks negara kepulauan
dipandang sebagai sistem untuk pengelolaan batas laut wilayah yang lebih
kompleks yakni batas laut wilayah yang saling berhadapan maupun bersebelahan,
pengelolaan laut di perairan sekitar, antara dan yang menghubungkan pulau-pulau
(terlepas dari luas dan dimensi yang berbeda) yang dianggap sebagai satu
kesatuan dan merupakan bagian dari perairan internal negara (perairan pedalaman,
perairan kepulauan, dan laut teritorial).
II.10.1 Australia
56
Gambar II.8 Ilustrasi visual konsep marine cadastre Australia (Binns, 2004).
57
memberikan dasar terwujudnya integrasi lingkungan laut dan darat untuk
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan di seluruh wilayah hukum
Australia.
Binns merumuskan definisi marine cadastre dengan penjelasan yang lebih rinci,
yakni dengan menggunakan kalimat “Marine cadastre is a spatial boundary
management tool”. Berbeda dengan definisi yang ada sebelumnya menggunakan
kalimat Marine cadastre is a system (Robertson, 1999) atau A marine cadastre is
a marine information system (Nichols, 2000) atau Marine Cadastre is an
information system (NOAA, 2002). Tujuan dan unsur-unsur kadaster kelautan
dalam definisi tersebut juga dinyatakan secara jelas, yakni describes, visualises
and realises legally defined boundaries and associated rights, restrictions and
responsibilities in the marine environtment.
58
Sebagai pengembangan konsep kadaster kelautan yang sudah ada, pada tahun
2010 Geoscinece Australia, badan-badan pemerintah dan swasta membangun
Australian Marine Spatial Information System (AMSIS) yang dapat memberikan
informasi mengenai laut Australia secara holistik dan terpadu (Gambar II.9).
Melalui AMSIS, setiap pengguna dapat mengakses kekayaan data kelautan
termasuk batas-batas yurisdiksi, kegiatan pertambangan, kegiatan transportasi
laut, perikanan dan kegiatan laut lainnya.
59
Laut Federal
Laut State
GBRMP merupakan salah satu taman laut terbesar di dunia yang melidungi
karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya (Gambar II.11). GBRMP terletak
di dalam wilayah laut negara bagian Queensland sampai dengan wilayah laut
federal. Untuk menghindari konflik kewenangan pengelolaan, maka dibangun
kesepakatan untuk menggabungkan tanggung jawab Pemerintah Negara Bagian
Queensland dan pemerintah federal untuk pengelolaan. Perizinan dan regulasi
kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dikendalikan Pemerintah Negara bagian
Queensland, sedangkan kegiatan industri wisata bahari dan hubungan dengan
negara lain diawasi oleh pemerintah federal.
60
Gambar II.11 Peta zona pemanfaatan laut di Great Barrier Reef Marine Park-
Australia (www.gbrmpa.gov.au)
61
Konflik yang ditimbulkan dari penggunaan wilayah adat oleh swasta atau
pemerintah negara bagian (state) maupun pemerintah federal dapat diminimalkan
dengan kesepakatan berupa perjanjian penggunaan tanah adat (Indigenous Land
Use Agreements).
Tabel II.16 Daftar Penggunaan Wilayah Tanah dan Laut Adat di Australia
sampai dengan 31 Maret 2013 (Geospatial Services,2013)
II.10.2 Kanada
62
Konsep kadaster kelautan 3 (tiga) dimensi pada Gambar II.12 digunakan untuk
merepresentasikan semua hak dan kepentingan yang terjadi di laut, sehingga
memudahkan untuk menentukan hak dan kepentingan yang ada di permukaan air
(water surface), kolom air (water column), lapisan tanah (subsoil of the bed).
Termasuk informasi yang berhubungan dengan hukum, pajak, lingkungan dan
lainnya. Informasi tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan hukum-
hukum, peraturan-peraturan, kewajiban dari para stakeholder.
63
selanjutnya dilakukan evaluasi dan visualisasi dari masing-masing batas,
kemudian batas-batas tersebut dijadikan sebagai kerangka konseptual untuk
pengelolaan laut di Kanada.
Pada tahun yang sama (2000), Nichols, Monahan dan Sutherland merumuskan
definisi kadaster kelautan sebagai berikut: A marine cadastre is a marine
information system, encompasisng both the nature and spatial extent of the
interests and property rights, with respect to ownership and various rights and
responsibilities in the marine jurisdiction. Definisi ini memiliki pemahaman yang
sedikit bervariasi dari kegiatan Good Governance of Canada’s Oceans yang
menitikberatkan pada masalah batas (boundary). Nichols dkk memperkenalkan
konsep hak (right) dan kewajiban (responsibility) dalam wilayah hukum laut.
Definisi marine cadastre ini banyak dijadikan referensi di beberapa negara.
Sebuah langkah maju dalam pengembangan kadaster kelautan, pada tahun 2008
The Coastal and Ocean Information Network for Atlantic Canada (COINAtlantic)
membangun sistem aplikasi kadaster kelautan, menggunakan St. Margaret‟s Bay
sebagai wilayah studi seperti pada Gambar II.13 di bawah ini.
64
Gambar II.14 menunjukkan bahwa di dalam laut terirorial Kanada (0-12 mil laut)
terdapat kewenangan laut provinsi dan federal yang batas-batasnya tidak
ditentukan berdasarkan jarak (mil laut) seperti halnya di Australia (laut state 0-
3mil laut) atau di Indonesia (laut provinsi 12 mil laut, kota/kabupaten 1/3 dari 12
mil laut). Bahkan beberapa provinsi, seperti Provinsi British Columbia memiliki
kewenangan pengelolaan laut yang berbeda dibandingkan dengan provinsi
lainnya, yakni dengan memunculkan batas kewenangan laut untuk local
government (yang terdiri dari municipal dan regional) yang tidak ditentukan
berdasarkan jarak (mil laut).
65
Permasalahan batas laut: yurisdiksi, administrasi dan pengelolaan yang tidak
jelas.
Pengaturan pengelolaan bersama antara pemerintah negara bagian dan
federal.
Tidak ada satu institusi (badan) yang mengelola hak-hak lepas pantai dan
batas.
Hak masyarakat adat (penduduk asli).
II.10.3 Amerika
The Coastal Services Centre (CSC) of the National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA), telah melakukan penelitian pembangunan sistem
informasi kelautan yang komprehensif sejak pertengahan tahun 1990. Penelitian
ini didasarkan pada studi percontohan yang meliputi negara bagian Florida,
Georgia, North Carolina dan South Carolina dan telah menghasilkan Ocean
Planning Information System (OPIS). OPIS merupakan aplikasi yang
menguraikan dunia nyata dimana konsep kadaster sudah diterapkan dan
digunakan untuk perencanaan laut terpadu (Gambar II.15). Sistem ini
menyediakan kemudahan untuk mengakses data dan informasi kelautan sebagai
pendekatan dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut terpadu.
66
Pada tahun 2002, United States Departemen of Communication (U.S DOC)-
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) merumuskan definisi
kadaster kelautan sebagai berikut: “The U.S Marine Cadastre is an information
system, encompassing both nature and spatial extenet of interensts in property,
value and use of marine areas. Marine or maritime boundaries share a common
element with their land-based counterparts inthat, in order to map a boundary,
one must adequately interpret the relevan law and its spatial context. Marine
boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical
evidence of the boundary.”
Definisi di atas diterapkan dalam salah satu contoh peta marine cadastre pada
Gambar II.16 di bawah ini.
67
Pada tahun 2010, Federal Geographic Data Committee’s (FGDC) Marine
Boundary Working Group (MBWG) mengembangkan kadaster kelautan berbasis
web. Informasi yang ditampilakan antara lain: Jurisdictional Boundaries and
Limits, Federal Georegulations, Navigation and Marine Infrastructure, Proposed
Energy Projects, Geology and Seafloor Data, Marine Habitat and Biodiversity,
Base Maps. Sistem ini menerapkan prinsip-prinsip kadaster untuk perencanaan
laut terpadu dengan menyediakan akses yang mudah dan menyeluruh terkait data
dan informasi kelautan sebagai pendekatan terpadu dalam pengelolaan sumber
daya wilayah pesisir dan laut.
68
Gambar II.18 Profil batas kewenangan pemanfaatan laut wilayah di yurisdiksi
laut Amerika (www.noaa.gov).
Konflik batas kewenangan laut sering terjadi di zona terirorial Amerika (0-12 mil
laut) yang di dalamnya terdapat kewenangan laut state (0-3mil laut) kecuali Texas
dan Teluk Florida (0-9 mil laut). Semua perairan laut di luar 3 mil laut (atau 9 mil
laut) adalah perairan federal dan negara bagian tidak memiliki yurisdiksi di
perairan federal. Kondisi ini seringkali menimbulkan benturan kewenangan
pengelolaan laut antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal.
69
Gambar II.19 Peta batas pengelolaan laut antara negara bagian Rhode Island dan
pemerintah federal Amerika (www.noaa.gov).
Konflik pemanfaatan laut antara pemerintah negara bagian atau federal atau pihak
swasta dengan hak laut adat dapat diselesaikan berdasarkan keputusan mahkamah
konstitusi, dimana seringkali hukum adat harus mengalah jika dihadapkan dengan
kegiatan pemanfaan laut untuk kepentingan negara. Tidak terdapat eksklusivitas
wilayah laut adat di Amerika.
70
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain. Indonesia menuangkan Konsepsi Negara Kepulauan dalam amandemen ke-2
UUD RI 1945 Bab IXA tentang wilayah negara. Pada Pasal 25 E berbunyi Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara
dengan wilayah-wilayah yang batas-batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang.
Definisi negara kepulauan di atas masih berorientasi pada wilayah darat yakni
dengan menitikberatkan pada kata pulau. Di dalam penelitian ini dilakukan
pendefinisian kembali mengenai negara kepulauan, yakni Negara Kepulauan
adalah negara yang mempunyai laut demikian luas, pada laut tersebut tersebarlah
pulau-pulau yang demikian banyak. Hakekat sebagai Negara Kepulauan adalah
suatu kesatuan utuh wilayah (ruang darat, ruang laut, ruang udara) yang batas-
batasnya ditentukan oleh laut, dimana rasio wilayah laut lebih besar dari rasio
wilayah darat dan di dalamnya terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau.
Penyebutan Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan masih harus
ditambahkan dengan bercirikan nusantara, yaitu sesuai dengan apa yang ditulis
dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 25. Bercirikan Nusantara atau yang
lazim disebut Wawasan Nusantara yakni Kepulauan Nusantara sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (SULASDI,
2010).
1. Kedaulatan
71
2. Tata Ruang Geografik
Indonesia memiliki wilayah laut 3.374.668 km2 yang lebih luas dari
wilayah darat yang hanya 1.922.570 km2, 13.466 pulau dan garis pantai
sepanjang 99.093 km (Badan Informasi Geospasial, 2013). Berkaitan
dengan hal ini, jika ditempatkan dalam perspektif tata ruang geografik,
wilayah negara kepulauan Republik Indonesia terdiri dari wilayah pesisir,
lautan, terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau.
3. Kepemerintahan
72
4. Kebangsaan yang Multikultural
6. Rawan Bencana
73
Model Fungsional Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan=F(Kedaulatan,
Tata Ruang Geografik, Kepemerintahan, Multikultural, Keanekaragaman Hayati,
Rawan Bencana, Pertahanan Keamanan).
74
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut
Undang-Undang Republik Indonesia
No Nomor Perihal
1 UU RI No.16 Tahun 2006 Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan
2 UU RI No.6 Tahun 1996 Perairan Indonesia
3 UU RI No.16 Tahun 1992 Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
4 UU RI No.9 Tahun 1985 Perikanan
UU RI No.31 Tahun 2004
UU RI No.45 Tahun 2009
5 UU RI No.17 Tahun 1985 Pengesahan UNCLOS
6 UU RI No.1 Tahun 1983 Pengesahan Perjanjian antara RI-Malaysia
tentang Rejim Hukum Negara Nusantara
dan Hak-hak Malaysia di Laut Teritorial dan
Perairan Nusantara serta Ruang Udara diatas
Laut Teritorial, Perairan Nusantara dan
Wilayah RI yang terletak diantara Mayalsia
Timur dan Barat
7 UU RI No.5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
8 UU RI No.11 Tahun 1974 Pengairan
9 UU RI No 1 Tahun 1973 Landas Kontinen Indonesia
10 UU RI No. 16 Tahun 1964 Bagi Hasil Perikanan
11 UU RI No. 3 Tahun 2002 Pertahanan Negara
12 PerUU RI No.16 Tahun Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi
2006 Pengadilan Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 Ayat (5) UU
No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan
13 UU RI No.5 Tahun 2009 Perubahan UU No.31 Tahun 2004 tentang
Perikanan
14 UU RI No.27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
UU RI No.1 Tahun 2014 Pulau Kecil
15 UU RI No.4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara
16 UU RI No.17 Tahun 2008 Pelayaran
17 UU RI No.43 Tahun 2008 Wilayah Negara
18 UU RI No.22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah
UU RI No.32 Tahun 2004
UU RI No.23 Tahun 2014
19 UU RI No.10 Tahun 2009 Kepariwisataan
20 UU RI No.32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
21 UU RI No.11 Tahun 2010 Cagar Budaya
22 UU RI No.4 Tahun 2011 Informasi Geospasial
23 UU RI No.32 Tahun 2014 Kelautan
75
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
Peraturan Pemerintah
No Nomor Perihal
1 PP No.20 Tahun 2006 Irigasi
2 PP No.24 Tahun 2006 Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan
3 PP No.36 Tahun 2002 Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam
melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan
Indonesia
4 PP No.37 Tahun 2002 Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara
Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan
yang ditetapkan
5 PP No.38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
6 PP No.54 Tahun 2002 Usaha Perikanan
7 PP No.58 Tahun 2002 Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan
Perikanan di Bidang Jasa Riset Kelautan dan
Perikanan.
8 PP No.142 Tahun Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
2000 yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan
Perikanan.
9 PP No.7 Tahun 2000 Kepelautan.
10 PP No.23 Tahun 2000 Perusahaan Umun (Perum) Prasarana Perikanan
Samudra
11 PP No.141 Tahun Perubahan Kedua atas PP No.15 Tahun 1990
2000 tentang Usaha Perikanan.
12 PP No.19 Tahun 1999 Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan
Laut
13 PP No.82 Tahun 1999 Angkutan di Perairan.
14 PP No.21 Tahun 1998 Pembubaran Perusahaan Umum (Perum)
Perikanan Maluku, Penggabungan Perusahaan
Perseroan (Persero) PT.Perikani, PT.Tirta Raya
Mina dan PT.Perikanan Samodra Besar ke dalam
Modal Saham PT.Usaha Mina.
15 PP No.61 Tahun 1998 Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna.
16 PP No.1 Tahun 1995 Penambahan Peyertaan Modal Negara Republik
Indonesia ke dalam Modal Perum Prasarana
Perikanan Samudera.
17 PP No.64 Tahun 1993 Perubahan atas PP No.15 Tahun 1990 tentang
Usaha Perikanan.
18 PP No.2 Tahun 1990 Perum Prasarana Perikanan Samudera.
19 PP No.15 Tahun 1990 Usaha Perikanan
20 PP No.39 Tahun 1990 Pengalihan Bentuk Perum Perikanan Maluku
menjadi Persero.
76
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
21 PP No.40 Tahun 1990 Pengalihan Bentuk Perusahaan Perikanan
Negara (PN Perkani) Sulawesi Utara/Tengah
menjadi Persero.
77
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
2 Perpres No.78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-pulau Terluar.
3 Keppres No.33 Tahun 2002 Pengendalian dan Pengawasan
Pengusahaan Pasir Laut.
4 Keppres No.1 Tahun 2001 Pencabutan Keppres No.31 Tahun 1987
tentang Pengesahan Agreement for the
Establishment of the Intergovernmental
Organization for Marketing Information
and Technical Advisory Services for
Fishery Products in the Asia Oacific
Region (Infofish).
5 Keppres No.126 Tahun 2000 Perubahan atas Keppres No.27 Tahun
1993tentang Pendirian Sekolah Tinggi
Perikanan.
6 Keppres No.145 Tahun 1999 Perubahan sebutan Menteri Eksplorasi
Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut
dan Perikanan.
7 Keppres No.178 Tahun 1999 Pengesahan Agreement Relating to the
Implementation of Part XI of the
UNCLOS 1982.
8 Keppres No.77 Tahun 1996 Dewan Kelautan Nasional
9 Keppres No.27 Tahun 1993 Pendirian Sekolah Tinggi Perikanan
10 Keppres No.23 Tahun 1982 Pengembangan Budidaya Laut di
Perairan Indonesia
11 Perpres No.12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola Perbatasan
12 Keppres No.21 Tahun 2007 Dewan Kelautan Indonesia
13 Perpres No.81 Tahun 2005 Badan Koordinasi Keamanan Laut.
14 Perpres No.178 Tahun 2014 Badan Keamanan Laut
Instruksi Presiden
No Nomor Perihal
1 Inpres No.2 Tahun 2002 Pengendalian Penambangan Pasir Laut
2 Inpres No.16 Tahun 2005 Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan
Pariwisata
78
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
4 Per.13/Men/2005 Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan.
5 Per.14/Men/2005 Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
6 Per.15/Men/2005 Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
yang Bukan untuk Tujuan Komersial.
7 Per.18/Men/2005 Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan.
8 Kep.17/Men/2005 Penetapan Lambang Departemen Kelautan dan
Perikanan.
9 Kep.18/Men/2011 Pedoman Umum Minapolitan
10 Kep.32/Men/2010 Penetapan Kawasan Minapolitan
11 Kep.39/Men/2011 Perubahan Penetapan Kawasan Minapolitan
12 Kep.45/Men/2011 Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
13 Per.1/Men/2009 Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
14 Per.2/Men/2009 Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
15 Per.8/Men/2011 Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia.
16 Per.3/Men/2009 Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di
Laut Lepas.
17 Per.3/Men/2010 Tata Cara Penetapan Status perlindungan Jenis Ikan.
18 Per.4/Men/2010 Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan.
19 Per.5/Men/2009 Skala Usaha di Bidang Pembudidayaan Ikan.
20 Per.7/Men/2010 Surat Laik Operasi Kapal Perikanan
21 Per.8/Men/2009 Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
22 Per.11/Men/2009 Penggunaan Pukat Ikat.
23 Per.4/Men/2011 Usaha Perikanan Tangkap.
24 Per.14/Men/2009 Mitra Bahari.
25 Per.15/Men/2009 Jenis Ikan dan Wilayah Penebaran Kembali Serta
Penangkapan Ikan Berbasis Budidaya.
26 Per.16/Men/2010 Pemberian Kewenangan Penerbitan SIPI dan SIKPI
kepada Gubernur.
27 Per.18/Men/2010 Log Book Penangkapan Ikan.
28 Per.27/Men/2009 Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan.
29 Per.30/Men/2010 Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan
Konservasi Perairan.
79
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
2. Peraturan dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
No Nomor Perihal
1 Per.45/Men/2006 Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur dan
Serbuk Bor pada Kegiatan Pengeboran Minyak
dan Gas Bumi.
2 Per.28/Men/2006 Pedoman dan Tata Cara Pelaksanaan Survei
Umum dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi.
3 Per.27/Men/2006 Pengelolaan dan Pemanfaatan Data yang diperoleh
dari Survei Umum, Eksplorasi dan Eksploitasi
Minyak dan Gas Bumi.
4 Per.26/Men/2006 Penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam Rangka
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.
5 Per.18/Men/2008 Reklamasi dan Penutupan Tambang
6 Per. 5/Men/2007 Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas
Bumi
7 Per.19/Men/2009 Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa.
8 Per.13/Men/2009 Pedoman Penyusunan Rancangan Penetapan
Cekungan Air Tanah.
9 Per.12/Men/2011 Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha
Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah
Pertambangan Mineral dan Batubara.
10 Per.1/Men/2011 Pedoman Teknis Pembongkaran Instalasi Lepas
Pantai Minyak dan Gas Bumi.
11 Kep.1321/Men/2005 Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi
Gas Bumi Nasional.
12 Kep.1565/Men/2008 Izin Usaha Pengangkutan Miyak Bumi dan Gas
Bumi Kepada PT.Pertamina
13 Kep.1568/Men/2008 Izin Usaha Niaga Minyak Bumi dan Gas Bumi
kepada PT.Pertamina
14 Kep.1009/Men/2010 Penetapan Wilayah Penugasan Survei
Pendahuluan Panas Bumi.
15 Kep.1110/Men/2009 Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa
kepada PT.Pertamina.
16 Kep.1128/Men/2004 Kebijakaan Batubara Nasional.
80
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
5 Per.12/Men/2006 Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan
Air Limbah ke Laut.
6 Per.12/Men/2007 Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan
yang tidak memilii Dokumen Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
7 Per.12/Men/2008 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau
Kegiatan Pengelolaan Rumput Laut.
81
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
8. Peraturan dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No Nomor Perihal
1 Per.1/Men/2006 Pedoman Penegasan Batas Daerah
2 Per.76/Men/2012 Pedoman Penegasan Batas Daerah
9. Peraturan dan Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
No Nomor Perihal
1 Per.7/Men/2007 Perubahan Keputusan Menteri Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal
2 Kep.1/Men/2005 Strategi Nasional Pembangunan Daerah
Tertinggal
82
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
3 Peraturan Menteri Pekerjaan Pedoman Perencanaan Tata Ruang
Umum No.40/Prt/M/2007 Reklamasi Pantai
4 Peraturan Menteri Pekerjaan Pedoman Penyusunan Rencana
Umum Republik Indonesia Nomor Pengelolaan Sumber Daya Air
02/Prt/M/2013.
5 Peraturan Menteri Pekerjaan Kriteria Dan Penetapan Wilayah
Umum dan Perumahan Rakyat Sungai
Nomor 04/Prt/M/2015
6 Permen PUPRNo.07/2015 Pengamanan Pantai
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Ada
beberapa pengertian konflik secara umum menurut beberapa ahli. Konflik
merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam keadaan akibat
adanya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau
lebih secara berterusan (Newstrom dan Davis, 1977). Konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain
karena beberapa alasan. Pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua
atau lebih individu yang diekspresikan, diingat dan dialami (Pace dan Faules,
1994). Konflik senantiasa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan
83
yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Stewart, 1993).
1. Subjek konflik, yakni pelaku konflik dapat terdiri antar individu maupun
kelompok.
2. Objek konflik, yakni materi penyebab konflik, dapat berupa benda/ barang
(sumber daya) maupun bukan benda (nilai, status, perilaku, keputusan).
3. Kondisi eksisting.
4. Kondisi yang diinginkan (tujuan yang ingin dicapai).
Konflik dalam sudut pandang ilmu sosial merupakan suatu hasil disfungsional
akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang-
orang, dan kegagalan pemimpin untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi.
Dalam hubungan antar kelompok, konflik terjadi ketika salah satu kelompok
berusaha memaksakan nilai dan kepentingan yang mereka miliki pada kelompok
lain. Ada tiga teori tentang konflik antar kelompok (Stephen, W.G. dan Stephen,
C.W., 1996) yaitu:
84
3. Basic Psychological Need Theory
Dalam teori ini konflik muncul karena terjadi pembohongan atau tidak
terpenuhinya kebutuhan psikis seperti rasa aman, identitas, pengakuan,
dan partisipatif. Konflik yang dilandasi oleh kebutuhan psikis cenderung
bertahan lama hingga kebutuhan tersebut terpenuhi.
85
i. Lembaga yang memiliki kewenangan hanya terbatas pada wilayah
perairan Indonesia atau pada wilayah yang dikelompokkan
statusnya kedaulatan negara, seperti Polri, PPNS Dephub, PPNS
Dephut;
ii. Lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan
Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan Zona Tambahan,
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta Landas Kontinen yang
statusnya hak berdaulat (sovereign rights) yang tentu saja bersifat
spesifk, seperti PPNS DKP, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, dan
PPNS Lingkungan Hidup.
iii. Lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan
Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan hak berdaulat,
seperti TNI AL.
3. Kasus pencemaran: (a) oleh PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat.
Kasus ini menunjukkan ketidaksinergisan antara UU RI No.11 Tahun
1967 tentang Pokok Pertambangan dengan UU RI No.23 Tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup. (b) Kebocoran pipa minyak/gas milik
Pertamina. Kasus ini menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara UU RI
No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan dengan UU RI No.22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi.
86
4. Kasus rencana sodetan Citanduy. Kasus ini menunjukkan tidak adanya
keterkaitan antara UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dengan UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
5. Dicabutnya Pasal 1 angka 18, Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 ayat (4)
dan (5), Pasal 50, 51, 60 ayat (1), Pasal 71 dan 75 atau dengan kata lain
seluruh pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di dalam UU
RI No.27 Tahun 2007 dinyatakan tidak berlaku berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3/PUU-VIII/2010
dikarenakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
87
Tabel II.18 Sistem Referensi Geospasial yang digunakan oleh Sektor Perikanan,
Pertambangan, Perhubungan dan Otonomi Daerah.
N Sektor Sistem Referensi Geospasial
o Sistem Koordinat Sistem Proyeksi Datum
1 Perikanan Geodetik (LBH) UTM DGN 95 (WGS84)
MSL
2 Pertambangan Geodetik (LBH) UTM, Polyeder DGN 95 (WGS84)
Chart Datum (LWS)
3 Perhubungan Geodetik (LBH) UTM DGN 95 (WGS84)
Chart Datum (LWS)
4 Otonomi Geodetik (LBH) UTM DGN 95 (WGS84)
Daerah dan Geosentrik MLWS
(XYZ)
88
wilayah laut yang dapat memicu konflik sengketa batas wilayah laut antar
provinsi, antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antar kabupaten/kota. Berikut
beberapa contoh persoalan batas laut wilayah:
1. Persoalan batas laut antara Provinsi DIY dengan Provinsi Jawa Tengah.
Untuk mengatasi konflik yang terjadi terkait pemanfaatan sumber daya wilayah
pesisir dan laut di Indonesia, di dalam penelitian ini digunakanlah asas dan tujuan
penyelenggaraan kelautan Indonesia yang tercantum pada Pasal 2 UU RI No.32
Tahun 2014 tentang Kelautan.
Untuk mengatasi konflik pemanfaatan wilayah pesisir dan laut yang telah
disampaikan di atas, di dalam penelitian ini penggunaan Asas Keterpaduan,
Kepastian hukum, Peran serta masyarakat, dan Disentralisasi yang tercantum pada
Pasal 2 UU No.32 Tahun 2014 menjadi sangat penting dan lebih utama
dibandingkan dengan asas lainnya yakni Keberlanjutan, Konsistensi, Kemitraan,
Pemerataan, Keterbukaan, Akuntabilitas, Keadilan.
1. Asas Keterpaduan.
89
mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor
pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan
pemerintah daerah, 2) mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem
laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk membantu proses pengambilan putusan dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
90
Pengertian sistem referensi geospasial adalah datum geodesi, sistem
referensi koordinat dan sistem proyeksi. Menggunakan sistem referensi
geospasial yang sama bukan berarti bahwa semua sistem referensi
geospasial yang berbeda harus disatukan. Pasal 34 (a) UU RI No.4 Tahun
2011 menyebutkan bahwa: “sistem proyeksi dan sistem koordinat yang
dengan jelas dan pasti dapat ditransformasikan ke dalam sistem koordinat
standar nasional.” Pasal ini mengandung pengertian bahwa diperbolehkan
dalam hal penggunaan sistem referensi geospasial yang berbeda, dengan
ketentuan bahwa sistem referensi geospasial tersebut dapat
ditransformasikan ke dalam sistem referensi geospasial nasional (Gambar
II.21). Asas Keterpaduan dapat diwujudkan dengan menggunakan sistem
referensi geospasial yang sama untuk beragam kegiatan pemanfaatan di
laut (Gambar II.22).
91
Gambar II.22 Visualisasi keterpaduan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir
dan laut menggunakan sistem koordinat nasional pada UU RI
No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Modifikasi
dari Towards a Marine Cadastre, 2009)
Selain penggunaan sistem referensi geospasial nasional, untuk
mewujudkan keterpaduan perlu diatur standarisasi informasi geospasial
yang mencakup sistem referensi, sistem proyeksi peta, batas wilayah, garis
pantai, skala peta dan sebagainya. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)
dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) dapat digunakan sebagai acuan
beragam kegiatan pemanfaatan laut untuk masing-masing sektor maupun
daerah, dan juga sebagai dasar pembuatan Peta Kadaster Kelautan
Indonesia.
92
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yakni Asas Kepastian
Hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum yang mengatur
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara jelas dan
dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta
keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil.
93
Restriction ditetapkan berdasarkan batas kewenangan laut negara,
provinsi, kota/kabupaten dan batas adat yang diakui pemerintah.
Integrasi antara restriction negara, provinsi, kota/kabupaten dan
adat dapat dilakukan dengan cara memetakan lebih dulu restriction
adat yang ada di daerah untuk kemudian diakui keberadaannya
oleh pemerintah daerah (kota/kabupaten) setempat.
94
pesisir dan laut. Pertanyaannya adalah bagaimana cara masyarakat yang
tinggal dan tersebar di wilayah pesisir dan laut yang demikian banyak itu
dapat berperan serta di dalam penyelenggaraan kelautan Indonesia? hal
inilah yang seharusnya ditambahkan di dalam penjelasan Asas Peran serta
masyarakat di dalam Undang-Undang Kelautan.
4. Asas Desentralisasi.
95
Asas Desentralisasi dapat diwujudkan dengan cara menentukan dan
menetapkan terlebih dahulu batas-batas administrasi daerah otonom
tersebut, termasuk batas kewenangan laut provinsi (12 mil laut) maupun
kota/kabupaten (1/3 dari batas kewenangan laut provinsi). Langkah
selanjutnya adalah merumuskan right dan responsibility masing-masing
daerah berdasarkan batas kewenangan laut daerah yang telah ditetapkan.
Pengelolaan laut bersama antar daerah yang berhadapan maupun
berdampingan dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah daerah dan
kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing daerah otonom.
Pengertian sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas:
pencernaan makanan, pernapasan, dan peredaran darah dalam tubuh; (2) susunan
yang teratur dari pandangan, teori, asas: pemerintahan negara (demokrasi,
totaliter, parlementer); (3) metode: pendidikan (klasikal, individual, dan
sebagainya).
Dengan demikian dari beberapa definisi di atas, maka sistem merupakan suatu
kumpulan objek yang saling berkaitan dan saling bergantungan secara tetap untuk
mencapai tujuan bersama dalam suatu lingkungan yang kompleks.
96
Suatu sistem memiliki karakteristik sebagai berikut:
97
II.16 Teori Optimisasi
Variabel (Vn) adalah nilai komponen data yang berpengaruh pada Fungsi Tujuan
dan nilai-nilai yang berada dalam batas Fungsi Kendala. Hal-hal yang perlu
diperhatikan untuk menetapkan variabel adalah:
98
1. Pendefinisian variabel (variable definition)
Pendefinisian variabel adalah penetapan variabel apa saja yang berkorelasi
dengan pernyataan tujuan. Produk dari pendefinisian variabel adalah
banyaknya variabel yang dilibatkan (n dalam Vn).
INPUT
Jumlah variabel
Sifat variabel
Hubungan antar variabel
PROSES
Metode Optimisasi
OUTPUT
Alternatif-alternatif Hasil:
99
Terdapat 3 (tiga) metode yang digunakan dalam optimisasi, yaitu:
Masalah optimisasi multi kriteria muncul pada saat harus harus mengambil
keputusan pada situasi dimana beberapa tujuan yang seringkali saling
bertentangan, serentak harus dipenuhi secara optimal, dan tetap
mempertimbangkan terbatasnya sumber daya yang ada. Meskipun fungsi
tujuan hanya mempunyai kemungkinan bentuk maksimasi atau minimasi,
keputusan untuk memilih salah satunya bukanlah keputusan yang sederhana.
Tujuan pada suatu kasus/ kegiatan dapat dijadikan batasan pada kasus/kegiatan
yang lain.
3. Hasil terbaik diperoleh mengacu pada pendekatan dan tujuan yang ditetapkan,
contoh:
100
a. The best allocation dari sumber daya laut yang ada sehingga dapat
memperoleh keuntungan maksimal.
b. Pembangunan berkelanjutan untuk menemukan keseimbangan antara
kebutuhan dengan kondisi sumber daya laut itu sendiri.
Jan van Dijk membagi 3 (tiga) tipe network government sebagai berikut:
1. Joined-up government: menghubungkan berbagai tingkat dan lembaga
pemerintah itu sendiri (antara departemen administrasi publik di tingkat
nasional, regional dan lokal) untuk memberikan layanan yang lebih
terintegrasi.
2. Networked government: menghubungkan berbagai tingkat dan instansi
pemerintah dengan pihak ketiga untuk mewujudkan pelayanan publik.
Menghubungkan inti dari pemerintah dan administrasi publik dengan
101
badan semi-publik, perusahaan dan organisasi masyarakat sipil
(outsourcing dan kemitraan publik-swasta yang didanai dan diawasi oleh
departemen pemerintah).
3. Online democratic government: menghubungkan pemerintah dengan
warga negara dan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan organisasi
politik.
Konsep Networked Government bukanlah hal yang baru. Konsep ini sebenarnya
sering dicontohkan ketika pemerintah harus berurusan dengan situasi akut seperti
perang, bencana alam atau isu-isu globalisasi lainnya yang kompleks sehingga
diperlukan upaya intensif untuk bekerjasama dan perlunya koordinasi dalam
penangannya.
Networked Government harus didasarkan pada maksud, tujuan dan stategi yang
jelas dan harus memiliki struktur, proses, dan mekanisme yang tepat. Jaringan
yang baik melibatkan koordinasi, kerjasama, dan konsultasi, tidak kompetisi
internal antara lembaga. Serta diperlukan monitoring, evaluasi dan perbaikan
secara terus-menerus.
Konsep Networked Government dan Legislative Government didalam penelitian
ini digunakan untuk:
102
II.18 Ilmu Kebijakan (Policy Sciences)
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science
(Dror, 1983). Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa
Yunani yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia,
artinya negara. Dalam bahasa Inggris lama (middle english), kata tersebut menjadi
policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi
pemerintah (Dunn,1981).
Ilmu kebijakan (policy sciences) tidak hanya selalu melihat struktur pemerintahan
atau kebiasaan aktor politik yang ada, tetapi juga mengenai sesuatu yang benar-
benar dilakukan oleh pemerintah. Bahwa pandangan ilmu kebijakan mengandung
ciri khas, yakni berorientasi pada persoalan (problem oriented). Fokus pada
persoalan berarti kajiannya harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari
berbagai ide dan tehnik penelitian/multi-metode. Pandangan tersebut selanjutnya
disebut kebijakan publik atau proses pembuatan kebijakan publik (Lasswell,
1970).
103
2. Formulasi kebijakan (formulation): bagaimana mengembangkan pilihan-
pilihan atau alternatf-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut?
Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?
104
Bab III Metodologi Penelitian
Keterkaitan antara ilmu dan definisi adalah bahwa ilmu adalah pengetahun yang
diperoleh dengan cara tertentu, yakni dengan metode ilmiah. Ilmu membutuhkan
bahasa formal sehingga lebih skematis dan jelas, formalisasi itu dilakukan antara
lain melalui definisi. Jadi definisi mempertegas dan meletakkan suatu ilmu pada
posisi lebih kuat. Pola definisi pada semua ilmu tidak sama, tergantung pada
hakikat ilmu yang bersangkutan. Dalam ilmu-ilmu alam definisi dilakukan dengan
metode matematis guna mencapai keabstrakan. Cara ini tidak dapat diterapkan
pada bidang ilmu sosial (Bakry, 1996).
105
Penelitian ini termasuk kedalam ranah penelitian teknologi dan kebijakan
pemerintah. Penelitian dalam bidang teknologi yakni membentuk struktur dan
prosedur untuk menciptakan suatu sistem baru yang pemfungsiannya akan
memungkinkan terealisasinya suatu fenomena yang dikendaki yang hasil
utamanya adalah gejala yang diciptakan. Bentuk gejala yang diciptakan ini dapat
berupa proses, yaitu suatu sistem yang tersusun dari peristiwa-peristiwa yang
memungkinkan terjadinya perubahan. Bentuk lainnya adalah suatu produk, yaitu
hasil objektifikasi informasi teknologi menajadi bahan, perangkat fungsional,
organisasi atau tata kerja, dan sebagainya (Sasmojo, 2004). Penelitian dalam
bidang kebijakan pemerintah yakni berkaitan dengan konsep dan tindakan
pemerintah terkait urusan publik, teritorial, dan kekuasaan lain dalam bentuk
hukum dan perundangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tujuan
negara.
Gambar III.1 Diagram urutan antara fenomena, pola, model dan sistem
106
Kompleksitas permasalahan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di
Indonesia sebagai negara kepulauan di dalam penelitian ini dapat dipahami
melalui pendekatan pola kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan
laut yang diselenggarakan oleh masing-masing sektoral, pemerintah daerah, pihak
swasta dan masyarakat adat itu sendiri. Masing-masing kegiatan pengelolaan yang
ada dibentuk oleh sekelompok pola umum. Dengan memahami bagaimana pola-
pola umum itu bekerja, maka diharapkan dapat menemukan model solusi
permasalahan dan merancang pola yang lebih sesuai dengan karakteristik
lingkungan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
multikultural.
Provinsi Jawa Timur (Gambar III.2) terletak pada 111˚0' hingga 114˚4' Bujur
Timur, dan 7˚12' hingga 8˚48' Lintang Selatan. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur
mencapai 46.428,57km2 berupa daratan dan 119.720 km2 berupa lautan (Tabel
III.1) dengan jumlah pulau 74 pulau terdiri dari 29 kabupaten, 9 (sembilan) kota,
dan 657 kecamatan dengan 8.486 desa/kelurahan. Di sebelah utara, Provinsi Jawa
Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Di sebelah timur berbatasan dengan Selat
Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka, Samudera Indonesia,
sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah (KKP,
2010).
Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi dalam dua bagian besar, yaitu Jawa
Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa
Timur, dan wilayah Kepulauan Madura yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa
Timur. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan
Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah utara
Jawa. Di sebelah timur Madura terdapat gugusan pulau, paling timur adalah
Kepulauan Kangean, dan paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian
selatan terdapat dua pulau kecil, Nusa Barung dan Pulau Sempu (KKP, 2010).
107
Gambar III.2 Peta administrasi Provinsi Jawa Timur (Bakosurtanal, 2003)
Luas perairan Laut Jawa Timur diestimasi berdasarkan Peta Lingkungan Laut
Nasional dari Bakosurtanal/ BIG sheet No. 49 Jawa Timur dan sheet No. 50 Bali,
diperoleh informasi sebagai berikut:
Perairan Selat Madura secara fisiologis bisa digambarkan sebagai perairan yang
berbentuk setengah cawan (setengah cekungan). Dari hasil penelitian Puslitbang
Geologi Kelautan di perairan Selat Madura (1995), kondisi perairan Selat Madura
mempunyai bentuk fisiografi yang landai, dengan dicirikan mulai dari kedalaman
10m, 20m, 30m menerus ke arah timur hingga mencapai kedalaman 90m,
kemudian dilanjutkan ke tepian laut dalam di Laut Bali dengan kedalaman mulai
200m. Selain informasi di atas, informasi kedalaman perairan di Selat Madura
juga dapat dilihat dari Peta Batimetri pada Gambar III.3 di bawah ini.
108
Gambar III.3 Peta batimetri Selat Madura. (p3sdlp.litbang.kkp.go.id)
Gambar III.4 Peta letak kabupaten/kota yang mengelilingi Selat Madura Provinsi
Jawa Timur.
109
Hasil identifikasi dan inventarisasi yang telah dilakukan bahwa hingga saat ini
belum ada peta yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
yang menggambarkan batas-batas wilayah laut daerah provinsi maupun
kabupaten/kota yang bersebelahan maupun berhadapan sesuai dengan
Permendagri No.1 Tahun 2006 diamandemen dengan Permendagri No.76 Tahun
2012 tentang Penegasan Batas Daerah. Sebagai contoh pada Peta Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur 2010-2030 yang
dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Jawa Timur yang dibuat pada Tahun 2010 belum
menggambarkan batas laut wilayah antar daerah yang bersebelahan maupun yang
berhadapan, hingga pada tahun 2012 saat peta tersebut dijadikan sebagai lampiran
Perda Provinsi Jawa Timur No.6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur 2012-2032.
110
Batas darat (Kab/kota)
tergambarkan, sedangkan batas
laut (kab/kota) laut tidak
tergambarkan
Berikut adalah gambar beberapa kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yang diselenggarakan oleh sektor-sektor/ kementerian:
Gambar III.6 Peta pemanfaatan ruang Selat Madura (Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, 2005)
112
Pada Gambar III.6 Peta pemanfaatan ruang Selat Madura dari Badan Riset
Kelautan dan Perikanan tahun 2005 menginfomasikan bahwa tidak semua lokasi
yang ada di perairan Selat Madura dapat dimasuki/dilalui oleh setiap orang/
kegiatan.
Perairan Selat Madura secara rutin digunakan sebagai tempat latihan gabungan
TNI Angkatan Darat, Udara dan Laut (Gambar III.7). Tidak jarang penduduk
setempat terpaksa diungsikan sesaat selama latihan gabungan ini diselenggarakan.
Gambar III.8 Peta persebaran kerja minyak dan gas bumi di Provinsi Jawa
Timur (www.migas.esdm.go.id)
).
.( ) 113
Berdasarkan informasi dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa
Timur tahun 2008 terdapat 30 blok kegiatan pertambangan (Gambar III.8),
termasuk di perairan Selat Madura.
Berdasarkan informasi dari Pelindo III, bahwa terdapat 29 rute alur pelayaran
domestik dari/ ke Tanjung Perak Surabaya yang diselenggarakan oleh 17
perusahaan pelayaran (Gambar III.9). Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan
rute alur pelayaran domestik dari/ke Tanjung Priok Jakarta yakni sebanyak 20 rute
alur pelayaran.
Gambar III.10 Foto pemanfaatan ruang laut untuk perikanan di sekitar Pulau
Galang oleh masyarakat tradisional (Survei, 2014)
114
Pemanfaatan ruang laut untuk perikanan disekitar hutan mangrove seringkali
dilakukan oleh masyarakat tradisional (Gambar III.10). Tidak jarang kegiatan ini
dilakukan tanpa izin dari dinas terkait.
115
Gambar III.11 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Timur (Perda Provinsi Jawa Timur No.6 Tahun 2012)
116
141
Gambar III.12 Peta permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Selat Madura (Sumber Peta: Perda Provinsi Jawa Timur
No 5 Tahun 2012) 142
117
III.4 Kadaster Kelautan ditempatkan di dalam Kebijakan Pemerintah
Definsi kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara
bertindak (KBBI). Kebijakan pemerintah menurut Work (dalam Moran, 2006)
adalah serangkaian tindakan yang memiliki tujuan yang jelas serta konsisten
sebagai respon terhadap masalah-masalah yang dirasakan konstituen,
diformalisikan dengan proses politik tertentu, dan diadopsi, diterapkan, dan
ditegakkan oleh lembaga publik. Di dalam penelitian ini, kebijakan pemerintah
didefinisikan sebagai penetapan dan penerapan hukum serta undang-undang oleh
pemerintah yang diberlakukan secara nasional di daerah tertentu berkaitan dengan
urusan publik/ teritorial dalam pelaksanaan suatu pekerjaan dan cara bertindak.
118
Butir (a), (b), (c) Dasar Pertimbangan UU RI No 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan:
b. bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang
memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang
mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan
merupakan modal dasar pembangunan nasional;
a. Bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
119
Pemerintahan di laut adalah segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi
kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara
yakni mewujudkan kedaulatan di laut. Pemerintahan di laut tidak sekedar
membahas pembangunan infrastruktur di laut. Fungsi pemerintahan di laut lebih
dari itu, yakni bagaimana setiap kabupaten/kota membangun dan menjalankan
peraturan dan perundang-undangan terkait hak dan kewajiban di wilayah lautnya
berdasarkan batas kewenangan laut wilayah (menegakkan kedaulatan), serta
mampu mengatur kegiatan-kegiatan pengelolaan laut di dalamnya (aspek
pembangunan dan pelayanan publik). Kadaster kelautan merupakan bagian dari
pemerintahan di laut, yakni sebagai sistem untuk menjalankan pemerintahan di
laut dalam menentukan batas-batas di laut, hak/izin dan kewajiban terkait
kegiatan-kegiatan pengelolaan di laut.
120
Tabel III.2 Struktur UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (lanjutan)
Bab Perihal Pasal dan Ayat
Bagian Ketiga: Pengusahaan Sumber Daya Kelautan
Paragraf 1: Industri Kelautan 25 (1-4), 26 (1-
3), 27 (1-5)
Paragraf 2: Wisata Bahari 28 (1-4)
Paragraf 3: Perhubungan Laut 29 (1-4), 30 (1-
4), 31
Paragraf 4: Bangunan Laut 32 (1-5), 33
VII Pengembangan Laut
Bagian Kesatu: Umum 34
Bagian Kedua: Pengembangan Sumber Daya 35 (1-3), 36 (1-4)
Manusia
Bagian Ketiga: Riset Ilmu Pengetahuan dan 37 (1-4), 38 (1-
Teknologi 2), 39 (1-2)
Bagian Keempat: Sistem Informasi dan Data 40 (1-4), 41 (1-5)
Kelautan
VIII Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan
Lingkungan Laut
Bagian Kesatu: Pengelolaan Ruang Laut 42 (1-3), 43 (1-
5), 44 (1-2), 45
(1-2), 46, 47 (1-
4), 48, 49.
Bagian Kedua: Pelindungan Lingkungan Laut 50, 51 (1-5), 52
(1-4), 53 (1-4),
54 (1-2), 55 (1-
2), 56 (1-3), 57.
IX Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan 58 (1-3), 59 (1-
Keselamatan di Laut 3), 60, 61, 62, 63
(1-2), 64, 65, 66,
67, 68.
X Tata Kelola dan Kelembagaan Laut 69 (1-4)
XI Peran Serta Masyarakat 70 (1-5)
XII Ketentuan Peralihan 71 (1-2)
XII Ketentuan Penutup 72, 73, 74
121
Delapan komponen tersebut dihubungkan dengan makna kedaulatan di laut adalah
bahwa kedaulatan di laut Indonesia dapat terwujud jika masing-masing komponen
saling terintegrasi. Begitu pula sebaliknya, belum dapat terwujud kedaulatan jika
salah satu komponen tidak berfungsi (Gambar III.13)
a. Wilayah Laut
b. Pembangunan Kelautan,
c. Pengelolaan Kelautan,
d. Pengembangan Kelautan,
e. Pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut,
f. Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut,
g. Tata Kelola dan Kelembagaan.
122
Penyelenggaraan kelautan di Indonesia dikaitkan dengan pemerintahan di laut
adalah bahwa pemerintahan di laut berarti melaksanakan seluruh Pasal 4 (2)
UU RI No 32 Tahun 2014.
123
(UU RI No.32 Tahun 2014 tentang
Kelautan)
124
Gambar III.15 Diagram metodologi penelitian berbasis sistem (input – process – output)
118
125
Metodologi penelitian (Gambar III.15) menggunakan pendekatan sistem
manufaktur yang terdiri dari masukan (input)-proses (process)-keluaran (output),
oleh karena itu ruang lingkup implementasi model sebagai output penelitian
sangat bergantung pada jumlah dan jenis unsur-unsur yang digunakan sebagai
input di dalam penelitian ini.
3. Aspek Keilmuan terdiri dari teori dan konsep yang digunakan di dalam
penelitian ini untuk merumuskan definisi kadaster kelautan di Indonesia
sebagai negara kepulauan, dan membangun pola penyelenggaraan kadaster
kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan.
126
6. Aspek Kebijakan dan Perundangan mengacu pada beberapa hukum dan
perundangan terkait pengelolaan pesisir dan laut, yakni UU RI No. 1 Tahun
2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU RI No.32 Tahun
2014 tentang Kelautan, UU RI No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial, UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Permendagri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Berdasarkan 4 (empat) tahapan penelitian yang dilakukan, maka produk akhir dari
penelitian ini adalah model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia
sebagai negara kepulauan. Model ini terdiri dari struktur dan prosedur
penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
digunakan sebagai sistem operasional penyelenggaraan kelautan Indonesia
(pemerintahan di laut).
127
dan Amerika. Kajian dilakukan berdasarkan unsur-unsur pembentuk definisi
kadaster kelautan. Setelah itu dilakukan identifikasi dan inventarisasi unsur-unsur
utama pembentuk definisi, sehingga diketahui kesamaan unsur-unsur yang ada di
empat definisi kadaster kelautan tersebut. Unsur-unsur yang memiliki kesamaan
tersebut selanjutnya akan ditempatkan di dalam kondisi dan permasalahan
pemanfaatan dan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan.
Prosedur kajian definisi-definisi kadaster kelautan dapat dilihat pada Gambar
III.16.
128
Ada 5 (lima) proses yang dilakukan dalam kajian definisi-definisi kadaster
kelautan dari Australia, Kanada dan Amerika, yaitu:
129
Tabel III.3 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan Berdasarkan Unsur-
unsur Pembentuk Definisi (lanjutan)
130
Tabel III.3 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan Berdasarkan Unsur-
unsur Pembentuk Definisi (lanjutan)
131
Gambar III.17 Visualisasi diagram struktur definisi kadaster kelautan ke-1 dari
Australia tahun 1999
Gambar III.18 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-2 dari
Kanada tahun 2000.
132
Gambar III.19 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-3 dari
Amerika tahun 2002.
Gambar III.20 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-4 dari
Australia tahun 2004.
133
III.5.1.3 Identifikasi dan Inventarisasi Unsur-unsur Utama Pembentuk Definisi
134
Tabel III.4 Identifikasi dan Inventarisasi Unsur-unsur Utama dari Definisi-definisi
Kadaster Kelautan (lanjutan)
Definisi ke-1 Definisi ke-2 Definisi ke-3 Definisi ke-4
(Australia, 1999) (Kanada, 2000) (Amerika, 2002) (Australia, 2004)
9. 9.Wilayah hukum 9.Hukum terkait 9.Hukum (legally)
laut (marine (relevan law)
jurisdiction)
10. 10. 10.Nilai dan 10.Lingkungan laut
penggunaan (marine
wilayah laut environment)
(value and use
of marine
areas)
11. 11. 11.Tanah (land) 11.
135
dibuktikan berdasarkan jumlah sektor-sektor yang terlibat dalam penyelenggaraan
pemanfaatan laut serta beragamnya konflik antar sektor maupun antar daerah,
seperti yang terjadi di Selat Madura Provinsi Jawa Timur.
136
Tabel III.5. Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia
sebagai Negara Kepulauan
Unsur-unsur Definisi kadaster kelautan di negara non-kepulauan NKRI sebagai negara kepulauan
utama dari
definisi-definisi A B C D Wilayah Wilayah
kadaster kelautan Definisi ke-1 Definisi ke-2 Definisi ke-3 Definisi ke-4 bagian bagian Timur
Australia, 1999 Kanada, 2000 Amerika, 2002 Australia, 2004 Barat (Perairan Prov
(Selat Madura) Maluku)
1 2 3 4 5 6 7
1. Right 1.Oil and gas 1.Public access 1.Public access rights. 1.Oil and gas -1A1, 1D1 -1A3, 1D3
develompent rights. 2.Navigation rights. develompent -1A2, 1D2
rights. 2.Navigation rights. 3.Riparian rights. rights. -1A4, 1D4
2.Traditional 3.Riparian rights. 4.Fishing rights. 2.Traditional -1B1, 1C1
fishing rights. 4.Fishing rights. 5.Development rights. fishing rights. -1B2, 1C2
3.Aboriginal 5.Development 6.Mineral rights. 3.Aboriginal rights -1B4, IC4
rights rights. 7.Seabed use rights. 4.Coastal property -1B6, 1C6
4.Coastal 6.Mineral rights. rights -1B7, 1C7
property rights 7.Seabed use rights. (including
(including riparian rights):
riparian rights for public
rights): rights navigation,
for public recreation, and
navigation, access.
recreation, and
access.
137
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia
sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
138
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia
sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
5. Marine 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas yurisdiksi: -5A1a, 5B1a, -5B1b
Boundaries a.Negara a.Negara (Federasi): a.Negara (Federasi): a.Negara 5C1a, 5D1a
(Federasi): Territorial Sea, Territorial Sea, (Federasi): -5B1b
Territorial Sea, Contiguous Zone, Contiguous Zone, Territorial Sea,
Contiguous ZEE, Continental ZEE, Continental Contiguous Zone,
Zone, ZEE, Shelf. Shelf. ZEE, Continental
Continental b.Daerah: provinsi, b.Daerah (state): state Shelf.
Shelf. kabupaten dan kota. seaward (3mil) dan b.Daerah (state):
b.Daerah (state): revenue sharing coastal waters
coastal waters (6mil). (3mil)
(3mil)
2.Batas kegiatan: 2.Batas kegiatan: 2.Batas kegiatan: 2.Batas kegiatan: - 5A2a, 5B2a, -5A2e, 5D2e
a.Marine a.Marine Protected a.Navigation a.Marine Protected 5C2f, 5D2a
Protected Areas Areas. b.Submerged cultural Areas -5A2b, 5D2b
b.Fishing zones b.Defence. resources b.Fishing zones -5A2c, 5D2c
c.Petroleum c.Cable and pipeline c.Undersea cables c.Petroleum -5A2d, 5B2c,
exploration and areas d.Offshore exploration and 5C2c, 5D2d
mining. aquaculture mining. -5B2b, 5C2e
d.Cable and e.National security d.Cable and -5C2a
pipeline areas f.Environmental pipeline areas
e.Native title protection e.Native title
claims claims
6. Geodetic 1. Geodetik dan 1.Sistem koordinat 1.Sistem koordinat 1.Sistem koordinat -6A1, 6B1,
Reference geosentris. geodetik dan geodetik dan geodetik dan 6C1, 6D1
System geosentris. geosentris. geosentris. -6A2, 6B2,
6D2
139
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai
Negara Kepulauan (lanjutan)
2.Sistem proyeksi: 2.Sistem proyeksi: 2.Sistem proyeksi: 2.Sistem proyeksi: -6A3, 6D3
UTM, Map UTM. UTM, Outer UTM, Map grid
grid of 3.Datum Horizontal: Continental Shelf of Australia.
Australia NAD27, NAD83, (OCS) grid system. 3.Datum
3.Datum WGS’84. 3.Datum Horizontal: Horizontal:
Horizontal: 4.Datum vertikal: NAD27, NAD83, GDA’94,
GDA 94, Lower Low Water WGS’84. WGS’84.
WGS’84. Large Tide 4.Datum vertikal: 4.Datum vertikal:
4.Datum vertikal: (LLWLT) dan MLLW. Low Water
Low Water Lowest Normal 5. Cadastral Data Mark
Mark (LWM) Tide (LNT). Content Standard (LWM).Lowest
.Lowest 5.Marine Geospatial for the National Astronomical
Astronomical Data Spatial Data Infra- Tide (LAT).
Tide (LAT). Infrastructure dan stucture:Coastal 5.Australia Spatial
5.Australia Canadian and Marine Habitat DataInfrastruc-
Spatial Data Geospatial Data Classification ture (ASDI)
Infrastructure Infrastructure. Standard.
(ASDI)
7. Use of Marine 1.Permukan air 1.Permukaan air 1.Air column 1.Permukaan air -7A1, 7B1, -7A1, 7B1,
Areas (water surface) (water surface). 2.Water surface (water surface). 7C1, 7D1 7C1, 7D1
2.Kolom air (water 3.Water column 2.Kolom air (water -7B2, 7C3, -7B2, 7C3,
column). 4.Seabed column). 7D2 7D2
3.Dasar laut (seabed) 5.Subsurface 3.Dasar laut -7B3, 7C4, -7B3, 7C4,
(seabed) 7D3 7D3
140
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai
Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7
8. Marine 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS -8A1, 8B1, -8B6, 8A4,
Jurisdiction 2.Federal 2.Federal 2.Federal 2.Federal 8C1, 8D1 8D4
3.State 3.Provinsi 3.State 3.State -8B4
4.Adat 4.Kabupaten/Kota 4.Adat -8B5
5.Adat
9. Institution Banyak institusi Banyak institusi yang Banyak institusi yang Banyak institusi 9A, 9B, 9D
yang mengelola mengelola hak-hak terlibat. yang mengelola
hak-hak lepas lepas pantai dan Penyelenggaraan hak-hak lepas
pantai dan batas. batas. dikoordinasi oleh pantai dan batas.
National Oceanic and
Atmospheric
Administration
(NOAA).
Cara membaca tabel:
Digit ke-1 (angka) diperoleh dari kolom unsur-unsur utama dari definisi-definisi kadaster kelautan.
Digit ke-2 (huruf besar) diperoleh dari kolom definisi kadaster kelautan di negara non-kepulauan.
Digit ke-3 (angka) diperoleh dari kolom unsur-unsur utama dari salah satu definisi kadaster kelautan.
Digit ke-4 (huruf kecil) diperoleh dari kolom unsur-unsur utama dari salah satu definisi kadaster kelautan, merupakan sub-unsur.
Contoh: 5A1a = (5) Marine Boundaries---(A)Definisi ke-3Amerika, 2002---(1).Batas yurisdiksi---(a).Negara (Federasi): Territorial Sea,
Contiguous Zone, ZEE, Continental Shelf.
Hasil kajian Tabel III.5 adalah bahwa beberapa unsur-unsur utama kadaster kelautan di negara Australia, Kanada dan Amerika memiliki
kesamaan unsur-unsur dalam pemanfaatan laut di negara Indonesia sebagai negara kepulauan.
141
III.5.1.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan Ditempatkan di dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Unsur-unsur Definisi kadaster kelautan di negara non-kepulauan NKRI sebagai negara kepulauan
utama dari
definisi-definisi A B C D Problematika Hasil Kajian
kadaster Definisi ke-1 Definisi ke-2 Definisi ke-3 Definisi ke-4 Pengelolaan
kelautan Australia, 1999 Kanada, 2000 Amerika, 2002 Australia, 2004 Laut
1 2 3 4 5 6 7
1.Right 1.Oil and gas 1.Public access 1.Public access 1.Oil and gas Masih sedikit Jenis hak yang
develompent rights. rights. develompent jenis hak di ada di empat
rights. 2.Navigation rights. 2.Navigation rights. laut definisi kadaster
2.Traditional fishing 3.Riparian rights. rights. 2.Traditional berdasarkan kelautan dapat
rights. 4.Fishing rights. 3.Riparian rights. fishing rights. jenis kegiatan dijadikan sebagai
3.Aboriginal rights 5.Development 4.Fishing rights. 3.Aboriginal rights sektoral. masukan untuk
4.Coastal property rights. 5.Development 4.Coastal property merumuskan hak
Terdapat hak
rights (including 6.Mineral rights. rights. rights (including baru di Indonesia.
kepemilikan
riparian rights): 7.Seabed use rights. 6.Mineral rights. riparian rights): laut adat.
rights for public 7.Seabed use rights for public Tidak berlaku
navigation, rights. navigation, eksklusifitas
recreation, and recreation, and wilayah dan hak
access. access. kepemilikan laut
secara adat di
Australia, Kanada
maupun Amerika.
142
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7
2.Restriction Berdasarkan Berdasarkan Federal Berdasarkan Berdasarkan Tumpang Ada kemiripan
Federal Water, Water, Provincial Federal Water Federal Water, tindih konsep dengan
State Water, dan Water, Local dan State Water State Water, dan kewenangan Kanada. Bedanya
memperhatikan Geovernment Water memperhatikan laut negara, adalah penentuan
Native Rights dan memperhatikan Native Rights provinsi, provincial dan
Native Rights. kabupaten/ local government
kota,sektoral water tidak
dan adat berdasarkan jarak
(mil laut)
3.Responsibility Berdasarkan hukum Berdasarkan hukum Berdasarkan Berdasarkan Tumpang Responsibilities
federal, negara federal, provincial, hukum federal hukum federal, tindih dan diberlakukan
bagian (state) dan local government dan dan hukum negara bagian saling berdasarkan
adat. native rights. negara bagian (state) dan adat. bertentangan wilayah
(state). antara administrasi
responsibilities (federal dan
negara, state), tidak
provinsi, dipengaruhi kuat
kabupaten/ oleh perundangan
kota, sektoral sektoral yang ada.
dan adat.
4.Interests 1.Shipping lanes 1.Navigation 1.Alternative 1.Tourism and Tumpang Kepentingan yang
2.Geophysical (shipping) energy. recreation. tindih terdapat diempat
exploration. 2.Fishing. 2.Ocean 2.Marine Protected kepentingan definisi dapat
3.Oil and gas 3.Minerals and planning. Area. (kegiatan) diselenggarakan
extraction energy. 3.Habitat 3.Shipping. pengelolaan di Indonesia
4.Defence 4.Development. conservation. 4.Heritage. laut antar berdasarkan
143
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
144
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
145
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
146
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7
8.Marine 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS Penentuan Indonesia sebagai
Jurisdiction 2.Federal 2.Federal 2.Federal 2.Federal batas laut negara kepulauan
3.State 3.Provinsi 3.State 3.State negara, memiliki
4.Adat 4.Kota 4.Adat provinsi, kewenangan laut
5.Adat kota/kabupaten yang berbeda
yang belum dengan negara
tuntas. non-kepulauan.
9.Institution Banyak institusi Banyak institusi yang Banyak institusi Banyak institusi Banyak Konsep
yang mengelola mengelola hak-hak yang terlibat. yang mengelola institusi yang penyelenggaraan
hak-hak lepas pantai lepas pantai dan Penyelenggaraan hak-hak lepas terlibat. kadaster kelautan
dan batas. batas. dikoordinasi oleh pantai dan batas. Penyelenggara di Amerika dapat
National Oceanic -an pengelola- dijadikan sebagai
and Atmospheric an laut pendekatan solusi
Administration dilakukan penyelenggaraan
(NOAA). berdasarkan pengelolaan laut
peraturan di Indonesia.
perundangan
sektoral yang
tumpang tindih
dan
bertentangan.
147
Hasil Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Australia, Kanada dan
Amerika dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan adalah sebagai
berikut:
148
5. Definisi-definisi kadaster kelautan di Australia, Kanada dan Amerika tidak
dapat langsung digunakan di Indonesia. Secara garis besar kadaster kelautan
berkaitan dengan karakteristik dan konstitusi suatu negara. Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki karakteristik dan konstitusi yang
berbeda dengan negara pantai dalam mengelola dan mengatur administrasi
sumber daya kelautan.
149
III.5.2 Membangun Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia sebagai
Negara Kepulauan
1. Suatu definisi terdiri atas 2 (dua) bagian, yakni: Definiendum, yaitu kata atau
bagian pangkal yang harus dijelaskan, dan Definiens, yaitu uraian tentang arti
dari bagian pangkal. Dalam setiap definiens terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
Genera (genus), dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah jenis, dan
Differentia (difference), dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah sifat
pembeda. Jadi dalam mendefinisikan suatu kata adalah menganalisis jenis
dan sifat pembeda yang dikandungnya.
2. Definisi harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Syarat ini dimaksudkan
membantu orang untuk mengklarifikasi tujuannya sebelum membuat
definsinya atau mengkritik definsi orang lain. Definisi tidak boleh negatif, tapi
harus dirumuskan secara positif.
3. Definisi harus dimengerti oleh orang yang dituju. (i) Definiens tidak boleh
mengandung kata-kata yang tidak dimengerti seperti definiendum, karena
definiens memang dimaksudkan untuk menjelaskan arti definiendum, maka
kata-kata yang digunakan haruslah dimengerti. (ii) definiens tidak boleh
menjadi bagian dari definiendum (definisi sirkuler/ melingkar).
4. Definiens dan definiendum harus ekuivalen (setara), yakni yang satu harus
dapat digunakan mengganti yang lain. Konsekuensinya adalah bahwa definiens
dan definiendum harus bisa dibolak balik atau dipertukarkan. Persyaratan ini
biasanya dibagi menjadi 3 (tiga) syarat: yakni: (1) definiendum tidak boleh
lebih luas dari definiens, (2) definiendum tidak boleh lebih sempit dari
definiens, (3) definiens tidak boleh dinyatakan secara metafor atau dengan
bahasa figuratif.
150
5. Definisi harus merupakan penjelasan arti definiendum, bukan hanya merupakan
statement/ pernyataan tentang apa yang disebutkan dalam definiendum. Syarat
ini merupakan konsekuensi dari apa yang sudah dikatakan di atas yakni definisi
merupakan penjelasan arti kata-kata.
151
Ada 4 (empat) proses yang dilakukan dalam membangun definisi kadaster
kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan dan multikultural, yaitu:
152
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia
terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan
Indonesia Hasil
Kadaster Kelautan di Australia sebagai Transformasi
Negara
Kepulauan
1 2 3 4
1.Marine 1. Perairan Kedaulatan Konsep
Jurisdiction pedalaman (Perairan kadaster
2. Laut teritorial Indonesia): kelautan untuk
3. Dasar laut 1. Perairan Indonesia
4. Tanah di bawah pedalaman harus
laut 2. Perairan memasukkan
kepulauan unsur Perairan
3. Laut teritorial Kepulauan
sebagai
pembeda
Marine
dengan
Jurisdiction:
Australia
Zona Tambahan,
sebagai negara
ZEE, Landas
pantai.
Kontinen.
2.Kewenangan 1.State (0-3mil) 1.Pusat Perbedaan
Pengelolaan 2.Federal (diluar 3- 2.Provinsi (12mil batas
Authority 12 mil laut) laut) kewenangan
3.Kabupaten/ pengelolaan
kota (1/3 dari laut di
batas laut Australia dan
provinsi) Indonesia.
Konsep
kadaster
kelautan di
Indonesia
harus
memasukan
unsur batas
kewenangan
laut daerah
yang
bersebelahan
maupun
berhadapan.
153
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
3.Right 1.Oil and gas Masih sedikit Hak-hak yang
develompent right. jenis hak di laut ada di
2.Traditional fishing berdasarkan Australia dapat
right. jenis kegiatan dijadikan
3.Aboriginal right. sektoral. sebagai
4.Coastal property masukan untuk
right (including merumuskan
riparian right): hak baru di
rights for public Indonesia,
navigation, dengan syarat
recreation, and harus
access. memperhati-
kan batas
kewenangan
laut daerah.
154
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
155
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
8.Marine Berdasarkan: Berdasarkan: Marine
Boundaries Boundaries di
1. Marine 1. Marine
Australia tidak
Jurisdiction Jurisdiction
dapat
negara pantai negara
diterapkan di
2. Kewenangan kepulauan
Indonesia
pemerintah 2. Kewenangan
disebabkan
federal dan state pemerintah
oleh unsur
3. Jenis hak dan provinsi,
kepentingan kabupaten/ kedaulatan
kota. negara
kepulauan,
3. Jenis hak
dan batas
kepentingan kewenangan
4. Batas laut laut provinsi
adat dan
kabupaten/
kota dan batas
laut adat yang
berlaku di
Indonesia.
9.Geodetic 1. Geodetik dan Beragamnya Sistem
Reference geosentris. sistem referensi referensi
System 2.Sistem proyeksi: geodetik yang geodetik di
UTM, Map grid digunakan oleh Australia tidak
of Australia masing-masing dapat
3.Datum Horizontal: sektor. sepenuhnya
GDA 94, Contoh: sektor diterapkan di
WGS’84. perikanan, Indonesia.
4.Datum vertikal: pertambangan, Diperlukan
Low Water Mark perhubungan, dan
penggunaan
(LWM).Lowest otonomi daerah sistem
Astronomical Tide mengacu pada referensi
(LAT). sistem refernsi geospasial
5.Australia Spatial geodetik yang yang sama
Data berbeda. (dapat
Infrastructure ditransformasi
(ASDI) kan ke sistem
referensi
geospasial
nasional).
156
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
10. Institution Banyak institusi Banyak institusi Diperlukan
yang terlibat di yang terlibat. azas
dalam mengelola keterpaduan
batas dan hak-hak Penyelenggaraan untuk
lepas pantai. pengelolaan mengintegrasi-
sumber daya kan kebijakan
kelautan berbagai sektor
dilakukan secara
berdasarkan horizontal,
peraturan vertikal
perundangan maupun antara
sektoral. pemerintah
dan
pemerintah
daerah.
Indonesia Hasil
Kadaster Kelautan di Kanada sebagai Negara Transformasi
Kepulauan
1 2 3 4
1. Marine 1. Perairan Kedaulatan Konsep
Jurisdiction pedalaman (Perairan kadaster
2. Laut teritorial Indonesia): kelautan untuk
3. Dasar laut 1. Perairan Indonesia
4. Tanah di pedalaman harus
bawah laut 2. Perairan memasukkan
kepulauan unsur Perairan
3. Laut teritorial Kepulauan
sebagai
Marine
Jurisdiction: Zona pembeda
Tambahan, ZEE, dengan
Landas Kontinen. Kanada
sebagai negara
pantai.
2. Kewenangan 1. Federal 1.Pusat Perbedaan
Pengelolaan 2. Provinsi 2.Provinsi (12mil kewenangan
(Authority) 3. Teritori laut) pengelolaan
laut di Kanada
157
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
158
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
unsur adat
yang
multikultural.
159
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
7. Responsibility Mengacu pada: Mengacu pada: Responsibility
yang ada di
1.UNCLOS 1982 1. UNCLOS
Kanada tidak
2.Kewenangan 1982.
dapat
pemerintah 2. Kewenangan
diterapkan di
federal pemerintah
Indonesia,
3.Kewenangan pusat
disebabkan
provinsi 3. Kewenangan
oleh unsur
4.Kewenangan provinsi
teritori 4. Kewenangan kedaulatan
5.Kewenangan kabupaten/ negara
kepulauan,
kotamadya kota
(lokal atau 5. Jenis hak dan otonomi
daerah dan
regional) kepentingan
6.Jenis hak dan 6. Hukum adat kewenangan
kepentingan yang diakui. hukum laut
adat yang
berlaku di
Indonesia
160
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
3)Batas laut
adat yang
berlaku di
Indonesia.
9. Geodetic 1.Sistem Beragamnya Sistem
Reference koordinat sistem referensi referensi
System geodetik dan geodetik yang geodetik di
geosentris. digunakan oleh Kanada tidak
2.Sistem masing-masing dapat
proyeksi: sektor. sepenuhnya
UTM. Contoh: sektor diterapkan di
3.Datum perikanan, Indonesia.
Horizontal: pertambangan, Diperlukan
NAD27, perhubungan, dan penggunaan
NAD83, otonomi daerah sistem
WGS’84. mengacu pada referensi
4.Datum vertikal: sistem refernsi geospasial
Lower Low geodetik yang yang sama
Water Large berbeda. (dapat
Tide (LLWLT) ditransformasi-
dan Lowest kan ke sistem
Normal Tide referensi
(LNT). geospasial
5.Marine nasional).
Geospatial
Data
Infrastructure
dan Canadian
Geospatial
Data
Infrastructure.
10. Institution Banyak institusi Banyak institusi Diperlukan
yang terlibat di yang terlibat. asas
dalam mengelola keterpaduan
Penyelenggaraan
batas dan hak-hak untuk
pengelolaan
lepas pantai. mengintegrasi-
sumber daya
kan kebijakan
kelautan
sektoral
dilakukan
maupun antar
berdasarkan
pemerintah
peraturan
daerah.
perundangan
sektoral.
161
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan
Indonesia Hasil
Kadaster Kelautan di Amerika sebagai Negara Transformasi
Kepulauan
1 2 3 4
1. Marine 1.Perairan Kedaulatan Konsep
Jurisdiction pedalaman (Perairan kadaster
2.Laut teritorial Indonesia): kelautan untuk
3.Dasar laut 1. Perairan Indonesia
4.Tanah di bawah pedalaman harus
laut 2. Perairan memasukkan
kepulauan unsur Perairan
3. Laut teritorial Kepulauan
sebagai
Marine
Jurisdiction: Zona pembeda
Tambahan, ZEE, dengan
Landas Kontinen. Amerika
sebagai negara
pantai.
2. Kewenangan 1.State: 0-3mil 1.Pusat Perbedaan
Pengelolaan laut 2.Provinsi (12mil batas
(Authority) (kecuali Texas laut) kewenangan
dan T.Florida 9 3.Kabupaten/Kota pengelolaan
mil laut). (1/3 dari batas laut di
laut provinsi) Amerika dan
Indonesia.
Konsep
2.Federal (diluar
kadaster
3-12 mil laut)
kelautan di
3. Adanya istilah
Indonesia
revenue sharing
harus
(6mil).
memasukan
unsur batas
kewenangan
laut daerah
yang
bersebelahan
maupun
berhadapan.
162
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
163
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
6. Restriction Berdasarkan: Berdasarkan: Restriction di
Amerika tidak
1. UNCLOS 1. UNCLOS
dapat
1982 1982
diterapkan di
2. Kewenangan 2. Kewenangan
Indonesia,
pemerintah pemerintah
disebabkan
federal pusat
oleh unsur
3. Kewenangan 3. Kewenangan
state provinsi kedaulatan
4. Jenis 4. Kewenangan negara
kepulauan,
kepentingan kabupaten/
(type of kota otonomi
daerah dan
interest) 5. Jenis
kepentingan kewenangan
(type of hukum laut
adat yang
interest).
berlaku di
6. Hukum adat
Indonesia.
yang diakui
7. Responsibility Mengacu pada: Mengacu pada: Responsibility
di Amerika
1. UNCLOS 1. UNCLOS
tidak dapat
1982 1982
diterapkan di
2. Kewenangan 2. Kewenangan
Indonesia,
pemerintah pemerintah
disebabkan
federal pusat
oleh unsur
3. Kewenangan 3. Kewenangan
state provinsi kedaulatan
4. Jenis hak dan 4. Kewenangan negara
kepulauan,
kepentingan kabupaten/
kota otonomi
daerah dan
5. Jenis hak dan
kepentingan kewenangan
6. Hukum adat hukum laut
adat di
yang diakui.
Indonesia.
8. Marine Berdasarkan: Berdasarkan: Marine
Boundaries Boundaries di
1. Marine 1. Marine
Amerika tidak
Jurisdiction Jurisdiction
dapat
negara pantai negara
diterapkan di
2. Kewenangan kepulauan
Indonesia,
pemerintah 2. Kewenangan
karena:
federal dan pemerintah
1) Kedaulatan
state provinsi,
negara yang
3. Jenis hak dan kabupaten/
berbeda.
kepentingan. kota.
164
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
165
Tabel III.10 Hasil Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia,
Kanada dan Amerika terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan
166
Tabel III.10 Hasil Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia,
Kanada dan Amerika terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan
(lanjutan)
1 2
9. Geodetic Sistem referensi geodetik di Australia, Kanada dan
Reference Amerika tidak dapat sepenuhnya diterapkan di
System Indonesia.
Diperlukan penggunaan sistem referensi geospasial yang
sama untuk beragam kegiatan pemanfaatan di laut (dapat
ditransformasikan ke sistem referensi geospasial
nasional).
10. Institution Konsep penyelenggaraan kadaster kelautan di Amerika
dapat dijadikan sebagai pendekatan solusi penyelenggaraan
pengelolaan laut di Indonesia.
167
III.5.2.2 Membangun Unsur-unsur Pembentuk Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Gambar III.22 Diagram alir membangun unsur-unsur pembentuk definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan
125
168
Hasil membangun unsur-unsur pembentuk definisi kadaster kelautan untuk
Indonesia sebagai negara kepulauan (Gambar III.22) adalah sebagai berikut:
6. Interests:
a. Pemerintah pusat (sektor-sektor)
b. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
c. Adat
169
III.5.2.3 .Pengembangan Kerangka Definisi Kadaster Kelautan menggunakan
Pendekatan Teori Sistem untuk Menyelesaikan Permasalahan
Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia
Selain bertumpu pada definisi kadaster FIG (1995) dan definisi-definisi kadaster
kelautan yang ada (bersifat internasional/global dan sudah diakui oleh beberapa
negara di dunia), pendekatan teori sistem digunakan untuk menyelesaikan
persoalan pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan di Indonesia sebagai negara
kepulauan, yakni:
170
1. Batas laut wilayah nasional, provinsi, kabupaten/kota belum sepenuhnya
terwujud dan terpadu.
2. Peraturan perundangan sektoral yang bertampalan terkait pengelolaan
wilayah pesisir dan laut.
3. Persoalan pemanfaatan laut secara adat.
Untuk menyelesaikan persoalan di atas, maka teori sistem dapat digunakan untuk:
171
F[teori sistem (sistem kompleks dan dinamis), Rights, Restrictions,
Responsibilities, Kedaulatan dan Marine Jurisdiction, Tata Ruang Geografik,
Kepemerintahan (Pemerintah pusat, Pemerintah daerah provinsi, Pemerintah
daerah kota/kabupaten), Multikultural (adat), Marine boundaries (berdasarkan
jenis kegiatan pemanfaatan laut, batas kewenangan laut daerah provinsi dan
kota/kabupaten, batas kewenangan laut adat), Interests (pemerintah pusat/sektor-
sektor, pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten, adat)].
172
Gambar III.23 Diagram prosedur implementasi definisi kadaster kelautan
Penetapan batas laut wilayah sebenarnya sudah diatur di dalam Pasal 3 UU RI No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa wilayah daerah provinsi
terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Kemudian
Pasal 10 (3) UU RI No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah
kabupaten dan kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah
provinsi.
173
UU RI No.22 Tahun 1999 kemudian diamandemen oleh UU RI No.32 Tahun
2004 semakin menegaskan mengenai batas laut wilayah provinsi dan
kabupaten/kota, disebutkan dalam Pasal 18 (4) bahwa kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan
1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Peraturan
operasional penetapan batas laut wilayah diatur di dalam Permendagri No.1
Tahun 2006 yang kemudian diamandemen Permendagri No. 76 Tahun 2012
tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Posisi Pulau Galang berada di kawasan Pantai Utara Surabaya terletak di antara
daerah Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik. Secara historis keberadaan Pulau
Galang merupakan tanah timbul (tanah oloran) hasil proses endapan lumpur yang
dibawa dari Sungai Lamong yang berlangsung sejak tahun 1960an. Berdasarkan
pengamatan foto udara pada tahun 1981, tanah timbul ini mulai nampak dan mulai
ditumbuhi tanaman bakau. Berdasarkan peta digital yang dikeluarkan oleh
Bakosurtanal pada tahun 1996 Pulau Galang mempunyai luas sekitar 8 ha, dan
pada tahun 2003 mencapai 15 ha.
Kondisi Pulau Galang sampai saat ini tidak berpenduduk dan tidak ada tanda-
tanda kegiatan untuk pertanian/tambak. Pulau ini ditumbuhi mangrove sangat
rapat dan sering disinggahi berbagai jenis burung pantai karena terdapat
banyaknya makanan burung alam. Sedangkan di sekeliling Pulau Galang terdapat
174
berbagai jenis ikan kecil-kecil yang biasa ditangkap dan dimanfaatkan oleh
masyarakat Kelurahan Romokalisasi Kecamatan Benowo Kota Surabaya dan
masyarakat Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik.
Blok Maleo terletak di perairan Pulau Gili Genting sebelah selatan Kabupaten
Sumenep, dengan Produksi gas sekitar 100 juta kaki kubik per hari. Pada tahun
2007 diundangkan Permendagri No. 8 tahun 2007 tentang Provinsi Jawa Timur
sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Sektor Minyak Bumi dan Gas
Bumi, yang mengakibatkan Kabupaten Sumenep tidak bisa menikmati hasil
migas yang sejatinya berada di wilayah perairan Kabupaten
Sumenep. Dampaknya adalah sejak tahun 2007, Dana Bagi Hasil (DBH) dari
Santos Madora Offshore tak pernah masuk ke kas Sumenep. Selama ini PT.
Santos membayarkan DBH ke Pemprov Jawa Timur dengan alasan perairan lepas
pantai Blok Maleo tidak masuk wilayah Kabupaten Sumenep.
DPRD Sumenep saat itu tidak menerima dan mengajukan judicial review ke
Mahkamah Agung (MA), dengan alasan Permendagri No.8 Tahun 2007 sangat
bertentangan UU RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UUD
1945 Pasal 18 Ayat (1) bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan
kewenangan untuk sumber daya di wilayah laut tersebut. Dalam judicial review
ke MA, Kabupaten Sumenep menang dan keputusannya dikeluarkan pada tanggal
18 September 2008, akan tetapi putusan itu baru diterima Pemkab Sumenep pada
bulan Mei 2010.
175
Pada tahun 2012 wakil bupati Kabupaten Sumenep menuntut agar dana bagi hasil
(DBH) dari Santos (Madura Offshore) Pty Ltd masuk ke Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Sumenep. Namun hingga saat ini (Juni 2014) Kabupaten
Sumenep belum mendapatkan haknya sebagai daerah penghasil seperti yang
diamanatkan oleh Putusan MA. Kondisi ini menimbulkan aksi protes dari
mahasiswa dan masyarakat Kabupaten Sumenep, bahkan Bupati Sumenep
mengirimkan surat kepada Presiden RI pada 6 Mei 2014 dengan perihal
Permohonan Implementasi Putusan MA Nomor 19 P/KHUM/2007.
Bulan Oktober tahun 2012, ratusan nelayan dari dari Desa Ambat, Desa Kramat
dan Desa Bandaran di Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur,
mengepung lokasi eksplorasi minyak dan gas (Migas) PT. Santos di perairan
Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang. Aksi para nelayan itu sebagai bentuk
protes kepada PT. Santos karena perusahaan ini tidak pernah memberikan
kompensasi ganti rugi atas dilarangnya mencari ikan di area eksplorasi.
176
1. Konflik Penambangan Pasir di Selat Madura untuk Reklamasi Pelabuhan Teluk
Lamong.
Konflik ini muncul karena telah terjadi penambangan pasir laut di kawasan Selat
Madura pada tahun 2012 dengan kedalaman 12 meter seluas 540 hektar di
sekitar Jembatan Suramadu yang dilakukan PT. Gora Gohana, kontraktor PT.
Pelindo III dalam rangka reklamasi Teluk Lamong dekat Surabaya. Menurut Tim
Advokasi Nelayan Tradisional Selat Madura, yang dilakukan PT. Gora Gahana
telah melanggar:
177
Madura yang mayoritas penduduknya menggantungkan sumber-sumber
kehidupannya di laut (Gambar III.24).
Gambar III.24 Foto nelayan menyandera kapal keruk pasir di Selat Madura
(Foto: Munir, 2012)
Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS) mewakili Tim
Advokasi Nelayan Tradisional Selat Madura yang berasal dari LSM IHCS,
KIARA, Walhi dan JATAM melakukan somasi dan menuntut PT Gora Gahana,
PT. Pelindo III dan Gubernur Provinsi Jawa Timur untuk menghentikan
penambangan, mencabut izin penambangan, dan memenuhi hak-hak nelayan.
Surat itu tertanggal 29 Oktober 2012 dan ditembuskan kepada Presiden, Ketua
DPR, Ketua Komisi IV DPR, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri
Lingkungan. Surat tersebut direspon dengan tuntutan balik oleh PT. Gora Gahana
pada bulan Februari 2013 ditujukan kepada perwakilan warga yang berisi bahwa
termasuk melakukan tindak pidana setiap orang yang merintangi atau menggangu
kegiatan usaha pertambangan dan pemegang IUP atau IUPK yang telah
memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 142 UU RI No 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Konflik sosial di atas adalah dampak dari
kondisi tumpang tindih pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Provinsi Jawa
Timur antara sektor perikanan yang dalam hal ini mengacu pada UU RI No.27
Tahun 2007 dan sektor pertambangan yang mengacu pada UU RI No.4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
178
2. Konflik kabel listrik bawah laut PLN di Alur Pelayaran Barat Surabaya
(APBS)
Gambar III.25 Peta lokasi terputusnya saluran kabel bawah laut PLN Jawa–
Madura akibat tersangkut jangkar kapal.
Pada tahun 2011, Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur (Dishub Jatim)
mendesak PLN terkait keberadaan kabel listrik bawah laut milik PLN yang
melintang di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) untuk dipendam lebih dalam
sesuai aturan seperti halnya pipa gas milik Kodeco Energy Co Ltd. Kabel listrik
bawah laut milik PLN dinilai sangat mengganggu dan membahayakan arus lalu
lintas kapal dari dan ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Beberapa kali jangkar kapal sempat tersangkut kabel PLN dan menyebabkan
padamnya aliran listrik di Madura. Putusnya kabel di dasar laut ini (Gambar
III.25) merupakan peristiwa yang ketujuh kali sejak tahun 1994 hingga 2010 dan
menyebabkan Madura gelap gulita. Oleh Dishub Jatim tindakan PLN ini dianggap
melanggar aturan UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 1 butir 45,
yakni, alur pelayaran harus aman dan selamat untuk dilayari. Selain itu, PLN juga
dianggap telah melanggar izin prinsip dari Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) pada
24 April 1996 yang menyebutkan bahwa kabel harus ditanam 4,5 meter dari
seabed, selanjutnya kabel ditanam 3 meter dari seabed sejauh 2 km.
179
Argumen dari Dishub Jatim ini berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh PT.
PLN yang menyalahkan pemilik kapal jika jangkar kapal menyangkut di kabel
PLN dan jangkar tersebut harus dipotong. PLN Jatim menampik jika penanaman
kabel bawah laut menyalahi prosedur teknis dan menegaskan sudah melakukan
survei secara cermat hingga proses penanaman juga sudah sesuai dengan aspek
teknisnya, terkait adanya pendangkalan dalam kedalaman itu di luar teknis.
180
3. Konflik nelayan Sampang vs PT. Santos (Sampang) Pty.Lyd
Gambar III.26 .Peta lokasi konflik pemanfaatan ruang laut antara nelayan
Kabupaten Sampang dan PT. Santos di sekitar lokasi Blok
Wortel Selat Madura.
Ratusan nelayan dari Desa Camplong dan Tanjung, Kabupaten Sampang, Jawa
Timur, berunjuk rasa di depan kantor bupati, Rabu, 2 November 2011.
Aksi ini berawal dari tindakan PT Santos yang selalu mengusir nelayan yang
melaut dekat lokasi pengeboran Blok Wortel (Gambar III.26). Mereka meminta
pemerintah daerah Sampang menghentikan pengeboran minyak dan gas bumi di
Blok Wortel oleh PT Santos. Nelayan juga menuntut ganti rugi atas rumpon atau
sarang ikan milik nelayan yang rusak akibat aktivitas pengeboran di Blok Wortel.
PT Santos membantah melakukan pengusiran, yang dilakukan hanya mengatur
lalu lintas kapal dan perahu nelayan agar tidak bertabrakan. Soal ganti rugi
rumpon yang hilang terseret kapal PT Santos, belum dapat memberikan kepastian
sehingga memancing emosi nelayan (tempointeraktif.com, 2011).
Definisi masyarakat adat mengacu pada Pasal 1 (33) UU RI No.1 Tahun 2014
adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan
pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya
181
alam, memiliki pranata pemerintaan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah
adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hasil survei identifikasi dan studi literatur diperoleh informasi bahwa tidak
terdapat pemanfaatan laut secara adat di perairan Selat Madura. Perairan Selat
Madura dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dan masyarakat tradisional. Oleh
karena itu unsur masyarakat adat yang terkandung di dalam definisi kadaster
kelautan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan tidak bisa ditempatkan di
wilayah studi dalam penelitian ini.
182
1. UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian
perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan
sebagian pulau-pulau kecil. Sedangkan Izin Pengelolaan adalah izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir
dan perairan pulau-pulau kecil.
183
informasi geospasial, menghindari terjadinya duplikasi, dan mendorong
pemanfaatan informasi geospasial bersama.
184
geospasial nasional yang mencakup sistem referensi, sistem proyeksi peta, batas
wilayah, garis pantai, dan skala peta.
Tabel III.11 Sistem Referensi Geospasial yang digunakan pada Peta LPI, Peta
LLN dan Peta Laut Dishidros TNI-AL
185
Penggunaan sistem referensi geospasial nasional untuk penyelenggaraan kegiatan-
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sudah seharusnya dapat terbangun,
kondisi ini mengacu pada informasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG)
bahwa setiap daerah di Indonesia sudah tercakup Peta LLN maupun Peta LPI
walaupun dengan skala peta yang berbeda. Jika di suatu daerah tersedia Peta LPI
(Gambar III.27) dan Peta LLN (Gambar III.28) maupun Peta Dishidros (Gambar
III.29) maka dapat dipilih peta yang memiliki skala terbesar sebagai peta dasar
untuk perencanaan operasional kadaster kelautan.
Peta LPI dan Peta LLN dapat digunakan sebagai acuan beragam kegiatan
pemanfaatan laut untuk masing-masing sektor maupun daerah, dan juga sebagai
dasar pembuatan informasi geospasial tematik berupa Peta Kadaster Kelautan
Indonesia.
Gambar III.27 Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala 1:50.000 (BIG, 2014)
186
Gambar III.28 Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) Skala 1:50.000 (BIG, 2014)
187
III.5.4.1.2 Penentuan Batas Laut Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
Setelah menetapkan peta dasar yang akan digunakan, tahap selanjutnya adalah
penentuan titik-titik awal untuk penerapan garis dasar normal maupun garis dasar
lurus yang ditarik tegak lurus dari garis pantai tersebut sejauh maksimal 12 mil
laut ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3
(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Untuk pantai
yang berhadapan dengan laut lepas dan/atau perairan kepulauan lebih dari 12 mil
laut dari garis pantai, dapat langsung diukur batas sejauh 12 mil laut. Untuk pantai
yang saling berhadapan dilakukan dengan menggunakan prinsip sama jarak
(equidistance) untuk memperoleh garis tengah (median line) sedangkan untuk
pantai yang saling bersebelahan dilakukan dengan menggunakan prinsip sama
jarak.
188
III.5.4.1.3 Penentuan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP3K) Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota
189
Gambar III.30 merupakan salah satu lembar Peta RZWP3K Provinsi Jawa Timur
dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Jawa Timur.
Gambar III.30 Lembar (C3) Peta RZWP3K Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2030
(KKP, 2010)
190
III.5.4.2 Tahap Pemanfaatan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
Seluruh kegiatan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut harus
mengacu pada Peta Kadaster Kelautan Indonesia dengan tetap memperhatikan
daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana
dan izin yang diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir dan laut dalam penelitian ini harus memperhatikan:
191
ii. Tidak berpindah tempat (menetap).
Kegiatan dilakukan di satu lokasi tertentu dengan tidak bergerak untuk
berpindah ke lokasi lain, contoh: pemasangan rig untuk pengeboran
minyak dan gas bumi, daerah konservasi, dan bangunan laut lain.
Penentuan ruang laut, pola kegiatan, waktu kegiatan dan batas/luas pemanfaatan
sangat bergantung kepada jenis objek dan subjek kadaster kelautan. Untuk
mengetahui subjek kadaster kelautan di Indonesia dapat diperolah berdasarkan
hasil studi literatur dan identifikasi dari peraturan perundangan yang ada terkait
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Hasil identifikasi (bisa dilihat di
Tabel II.17) diperoleh informasi setidaknya terdapat 12 kementerian sebagai
192
subjek kadaster kelautan di Indonesia, jumlah ini belum memasukkan pemerintah
daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan masyarakat adat yang menerapkan
kepemilikan laut adat. Sedangkan untuk menentukan objek kadaster kelautan di
Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan inventarisasi seluruh
kegiatan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya wilayah pesisir dan laut
yang tercantum di UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (Tabel III.12) dan UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan (Tabel III.13).
193
Tabel III.13 Inventarisasi Pemanfaatan dan Pengusahaan Sumber Daya Kelautan
pada UU RI No.32 Tahun 2014 sebagai Objek Kadaster Kelautan di Indonesia
UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Pasal 14 (2) Pemanfaatan Sumber Pasal 14 (3) Pengusahaan Sumber
Daya Kelautan meliputi: Daya Kelautan meliputi:
1. Perikanan Industri kelautan, meliputi (Pasal
25):
a. Industri bioteknologi
b. Industri maritim, meliputi (Pasal
27): galangan kapal, pengadaan
dan pembuatan suku cadang,
peralatan kapal, perawatan kapal.
c. Jasa maritim, meliputi (Pasal 27):
- Pendidikan dan pelatihan
- Pengangkatan benda berharga
asal muatan kapal tenggelam.
- Pengerukan dan pembersihan
alur pelayaran.
- Reklamasi
- Pencarian dan pertolongan
- Remediasi lingkungan
- Jasa konstruksi
- Angkutan sungai, danau,
penyeberangan, dan antar pulau.
2. Energi dan sumber daya mineral Wisata bahari
3. Sumber daya pesisir dan pulau- Perhubungan laut
pulau kecil, meliputi (Pasal 22):
a. Sumber daya hayati: ikan,
terumbu karang, padang lamun,
mangrove, biota laut lain.
b. Sumber daya nonhayati: pasir,
air laut, mineral dasar laut.
c. Sumber daya buatan:
infrastruktur laut terkait dengan
kelautan dan perikanan.
d. Jasa lingkungan: keindahan
alam, permukaan dasar laut
tempat instalasi bawah air yang
terkait dengan kelautan dan
perikanan, serta energi
gelombang laut.
4 Sumber daya nonkonvensional: Bangunan laut, antara lain (Pasal
sumber daya alam yang belum 32): konstruksi reklamasi, prasarana
dimanfaatkan secara optimal. pariwisata kelautan, dan prasarana
perhubungan.
194
Objek kadaster kelautan di Indonesia menggunakan
Subjek kadaster kelautan di Indonesia pendekatan inventarisasi kegiatan dan pemanfaatan
menggunakan pendekatan inventarisasi sumber daya wilayah pesisir dan laut yang tercantum
peraturan perundangan yang ada terkait di UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan Pemanfaatan sumber
dan Pulau-pulau Kecil:
laut: daya wilayah pesisir
Kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan dan laut:
perairan pulau-pulau kecil yang wajib memiliki izin Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan pengelolaan
1.Produksi garam 1. Berpindah tempat
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral 2.Biofarmakologi laut 2. Menetap
3.Bioteknologi laut
3. Kementerian Lingkungan Hidup Ruang laut
4.Pemanfaatan air laut selain energi
4. Kementerian Perhubungan 5.Wisata bahari 1. Permukaan laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata 6.Pemasangan pipa dan kabel bawah laut
6. Kementerian Perdagangan 7.Pengangkatan benda muatan kapal tenggelam 2. Kolom laut
7. Kementerian Perindustrian 3. Dasar laut
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya
8. Kementerian Dalam Negeri
1.Konservasi
9. Kementerian Perencanaan Waktu Kegiatan
2.Pendidikan dan pelatihan
Pembangunan Nasional 3.Penelitian dan pengembangan 1. Kontinyu
10. Kementerian Pertanian 4.Budi daya laut
11. Kementerian Pertahanan dan 2. Periodik
5.Pariwisata
Keamanan 6.Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan
12. Kementerian Pekerjaan Umum secara lestari
7.Pertanian organik
8.Peternakan
9.Pertahanan dan keamanan negara
Gambar III.31 Diagram subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.1 Tahun 2014 serta pola,
ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
195
Subjek kadaster kelautan di Indonesia Objek kadaster kelautan di Indonesia
menggunakan pendekatan inventarisasi menggunakan pendekatan inventarisasi
peraturan perundangan yang ada terkait pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan kelautan yang tercantum di UU RI No.32 Pemanfaatan sumber
laut: Tahun 2014 tentang Kelautan daya wilayah pesisir
dan laut:
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan meliputi Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya 1. Perikanan 1. Berpindah tempat
Mineral 2. Energi dan Sumber Daya Mineral
2. Menetap
3. Kementerian Lingkungan Hidup 3. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
4. Kementerian Perhubungan a. Sumber daya hayati Ruang laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata b. Sumber daya nonhayati 1. Permukaan
6. Kementerian Perdagangan c. Sumber daya buatan
d. Jasa lingkungan 2. Kolom
7. Kementerian Perindustrian
8. Kementerian Dalam Negeri 4. Sumber daya nonkonvensional 3. Dasar laut
9. Kementerian Perencanan Pembangunan 4. Dasar laut
Pengusahaan Sumber Daya Kelautan meliputi Waktu Kegiatan
Nasional
10. Kementerian Pertanian 1. Industri kelautan 1. Kontinyu
11. Kementerian Pertahanan dan Keamanan 2. Wisata bahari 2. Periodik
12. Kementerian Pekerjaan Umum 3. Perhubungan laut
4. Bangunan laut
Gambar III.32 Diagram subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.32 Tahun 2014 serta
pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut
196
Setelah identifikasi subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan
pendekatan UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (Gambar III.31) dan UU RI No.32 Tahun 2014 (Gambar III.32)
serta pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut,
selanjutnya adalah merumuskan prosedur pemanfaatan sumber daya wilayah
pesisir dan laut di dalam operasional kadaster kelautan di Indonesia.
197
Tugas Bakamla dalam Pasal 61 UU RI No.32 Tahun 2014 dapat dikatakan benar
di dalam pengertian dan lingkup yang sempit. Tetapi dapat dikatakan tidak benar
jika ditempatkan dalam lingkup yang lebih luas, artinya adalah tugas Bakamla
tidak sekedar melakukan patroli di laut, tetapi memiliki tugas lain yang lebih
besar terkait kedaulatan negara, antara lain: a) menyusun kebijakan nasional di
bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah
yurisdiksi Indonesia, b) menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia, c)
melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran
hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia, d)
menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait,
e) memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait, f)
memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan
wilayah yurisdiksi Indonesia, g) melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan
nasional (Pasal 62 UU RI No.32 Tahun 2014).
198
Bab IV Hasil dan Analisis
IV.1 Hasil
1. Menginterpretasi sistem
2. Menganalisis perilaku
3. Mengelola, mengoperasi atau mengkontrol sistem untuk mencapai hasil
yang diharapkan
4. Mendesain metode untuk meningkatkan atau memodifikasi sistem
5. Mentest hipotesis/menguji sistem tentang suatu sistem atau memprediksi
responsnya dalam berbagai variasi keadaan
199
memperhatikan keberadaan masyarakat adat, serta keharmonisan dan sinergi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
200
4. Implementasi unsur right/izin, restriction, dan responsibility ditempatkan di
dalam permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara sektoral
dapat dilakukan melalui konsep sistem pengelolaan sumber daya wilayah
pesisir dan laut terpadu menggunakan konsep Networked Government.
Peta dasar yang digunakan untuk membuat Peta Batas Laut Wilayah mengacu
pada Undang-Undang Informasi Geospasial adalah Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN). Selain Peta LPI
dan LLN yang disebutkan di dalam UU Informasi Geospasial, Peta Laut dari
Dishidros TNI-AL dapat digunakan sebagai peta dasar jika di suatu daerah
yang belum tersedia Peta LPI dan Peta LLN, atau tersedia Peta Laut terbaru
dengan skala yang lebih besar.
201
Gambar IV.1 Peta batas laut wilayah Provinsi Jawa Timur dan kabupaten/kota yang
mengelilingi perairan Selat Madura
202
Peta batas laut wilayah kabupaten/kota (Gambar IV.1) dibangun
menggunakan:
- Peta dasar: Peta LPI skala 1:250.000,
- Proyeksi: Transverse Mercator,
- Sistem Grid: Grid Geografi dan Grid Universal Transverse Mercator
- Datum Horizontal: Datum Indonesia 1974 (ID 1974)
- Datum Vertikal: Muka Laut di Surabaya Jawa Timur
Pada Gambar IV.1 batas laut wilayah provinsi (12 mil laut) ditunjukkan oleh
warna biru tua, batas laut wilayah kabupaten/kota (1/3 dari batas laut wilayah
provinsi) ditunjukkan oleh warna hijau, sedangkan wilayah laut nasional
ditunjukkan oleh warna biru muda. Batas laut wilayah untuk kabupaten/kota
yang saling bersebelahan maupun saling berhadapan ditentukan
menggunakan prinsip sama jarak (equidistance) mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas
Daerah.
203
Gambar IV.2 Diagram konsep sistem pengelolaan sumber daya kelautan terpadu
204
3. Peta Kadaster Kelautan Indonesia sebagai dasar pembuatan Izin Lokasi dan
Izin Pengelolaan di wilayah pesisir dan laut Indonesia.
Peta dasar yang digunakan untuk membuat Peta Kadaster Kelautan mengacu
pada Undang-Undang Informasi Geospasial adalah Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN). Selain Peta LPI
dan LLN yang disebutkan di dalam UU Informasi Geospasial, Peta Laut dari
Dishidros TNI-AL dapat digunakan sebagai peta dasar jika di suatu daerah
yang belum tersedia Peta LPI dan Peta LLN, atau tersedia Peta Laut terbaru
dengan skala yang lebih besar. Peta kadaster kelautan di dalam penelitian ini
pada dibangun menggunakan:
- Peta dasar: Peta LPI skala 1:250.000,
- Peta tematik: Peta batas laut wilayah kabupaten/kota dan Peta RZWP3K
Provinsi Jawa Timur,
- Proyeksi: Transverse Mercator,
- Sistem Grid: Grid Geografi dan Grid Universal Transverse Mercator
- Datum Horizontal: Datum Indonesia 1974 (ID 1974)
- Datum Vertikal: Muka Laut di Surabaya Jawa Timur
205
Gambar IV.3 Peta Kadaster Kelautan Indonesia di permukaan laut, kolom laut dan
dasar laut
206
Saat ini pemerintah melalui UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial menyelenggarakan Peta LPI pada skala 1:250.00, 1:50.000, 1:25.000
hingga 1:10.000. Untuk Peta LLN diselenggarakan pada peta skala 1:500.000,
1:250.000 dan 1:50.000. Oleh karena itu Peta Kadaster Kelautan yang dirumuskan
di dalam penelitian ini selanjutnya dapat diselenggarakan pada skala 1:50.000,
1:25.000 atau 1:10.000. Kondisi ini harus dipandang sebagai kemajuan di dalam
perkembangan ilmu dan teknologi di bidang pemetaan di Indonesia yang dapat
digunakan sebagai dasar di dalam merumuskan kebijakan pemerintah terkait
dengan pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia.
207
Gambar IV.4 Diagram alir tahap perencanaan penyelenggaraan kadaster kelautan
di Indonesia sebagai negara kepulauan
208
Kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumber
daya wilayah pesisir dan laut
Diberikan kepada:
Pengurusan Orang perseorangan warga negara Indonesia
atau korporasi yang didirikan berdasarkan
Izin Lokasi
hukum Indonesia atau Koperasi yang
dibentuk oleh masyarakat.
Kecuali:
1. Masyarakat Hukum Adat
Peta Kadaster Kelautan 2. Kegiatan penangkapan ikan oleh
Masyarakat Tradisional
Digunakan untuk
menentukan: Informasi yang diperoleh:
Pengurusan Izin
Pengelolaan
209
diberikan setelah melalui uji aman dampak lingkungan dan dipastikan bahwa
proses dan output dari kegiatan tersebut aman terhadap lingkungan laut saat ini
dan masa mendatang. Izin Pengelolaan bersifat periodik dan dapat diperpanjang
kembali dengan ketentuan bahwa perpanjangan kegiatan tersebut tidak merusak
sumber daya laut saat ini dan masa mendatang (Gambar IV.6).
a)
b)
210
Sedangkan dalam pengawasan/pengendalian penyelenggaraan kadaster kelautan
menggunakan pendekatan keamanan laut, Bakamla dapat menggunakan Peta
Kadaster Kelautan sebagai dasar untuk melaksanakan fungsi penjagaan,
pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia (Gambar IV.7). Peta Kadaster
Kelautan Indonesia dapat memberikan informasi mengenai batas laut wilayah,
posisi dan batas kegiatan-kegiatan pemanfaatan laut yang dijadikan sebagai dasar
untuk menerbitkan izin lokasi dan izin pengelolaan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah.
211
a)
b)
213
217
224
Tabel IV.1 Operasional Kadaster Kelautan terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam Pengelolaan
Sumber Daya Kelautan
Unsur Manajemen
Pemerintah Unsur kadaster
Perencanaan Pemanfaatan Pengawasan
1 2 3 4 5
Right 1. Merumuskan RSWP3K, 1. Berhak melakukan 1. Melakukan pengawasan
RZWP3K, RPWP3K, pengelolaan dan terhadap aktivitas
RAPWP3K Nasional. pemanfaatan sumber pemanfaatan/pengelolaan
daya pesisir dan laut di sumber daya pesisir dan laut di
2. Memberikan saran/tanggapan
wilayah laut nasional. wilayah laut nasional.
terhadap usulan RSWP3K,
RZWP3K, RPWP3K, 2. Mengeluarkan Izin 2. Memberikan sanksi
RAPWP3K provinsi. Lokasi dan Izin administratif jika kegiatan
Pengelolaan. pemanfaatan (secara menetap)
tidak memiliki izin lokasi atau
tidak sesuai izin lokasi yang
diberikan.
Pusat Restriction 1. Menentukan batas wilayah laut 1. Membuat peta lokasi 1. Menyelesaikan masalah
wilayah nasional dan provinsi, pemanfaatan/pengelola- sengketa batas laut nasional
ditetepkan oleh Kemendagri. an menggunakan IGD maupun antar provinsi
(Peta LPI dan Peta
2. Peta RTRW Nasional dan Peta
LLN).
RZWP3K dibuat mengguna-
kan IGD (Peta LPI dan LLN). 2. Pemanfaatan lebih dari
12 mil laut.
Responsibility 1. Wajib menyelenggarakan 1. Bagi hasil pemanfaatan 1. Sistem Perlindungan Laut
sistem pencegahan dan sumber daya pesisir dan Nasional
penanggulangan pencemaran laut
dan kerusakan lingkungan.
214
214
Tabel IV.1 Operasional Kadaster Kelautan terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam Pengelolaan
Sumber Daya Kelautan (lanjutan)
1 2 3 4 5
Right 1. Merumuskan RSWP3K, 1. Berhak melakukan 1. Melakukan pengawasan terhadap
RZWP3K, RPWP3K, pengelolaan dan aktivitas pemanfaatan/pengelolaan
RAPWP3K provinsi. pemanfaatan sumber sumber daya pesisir dan laut di
daya pesisir dan laut di wilayah laut provinsi.
2. Memberikan
wilayah laut provinsi.
saran/tanggapan 2. Memberikan sanksi administratif jika
terhadap usulan 2. Mengeluarkan Izin kegiatan pemanfaatan (secara
RSWP3K, RZWP3K, Lokasi dan Izin menetap) tidak memiliki izin lokasi
RPWP3K, RAPWP3K Pengelolaan. atau tidak sesuai izin lokasi yang
kabupaten/kota. diberikan.
Provinsi Restriction 1. Menentukan batas laut 1. Membuat peta lokasi 1. Menyelesaikan masalah sengketa
wilayah provinsi. pemanfaatan/pengelola- batas laut antar kabupaten/kota.
an menggunakan IGD
2. Menetapkan batas laut
(Peta LPI dan Peta
wilayah
LLN).
Kabupaten/Kota.
2. Pemanfaatan sampai
dengan 12 mil laut
215
Tabel IV.1 Operasional Kadaster Kelautan terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam Pengelolaan
Sumber Daya Kelautan (lanjutan)
1 2 3 4 5
Right 1. Merumuskan RSWP3K, 1. Berhak melakukan 1. Melakukan pengawasan
RZWP3K, RPWP3K, pengelolaan dan pemanfaatan terhadap aktivitas
RAPWP3K bersama sumber daya pesisir dan laut di pemanfaatan/ pengelolaan
masyarakat. Kemudian wilayah laut kabupaten/kota. sumber daya pesisir dan laut di
menyampaikan ke wilayah laut kabupaten/kota.
2. Mengeluarkan Izin Lokasi dan
gubernur atau menteri Izin Pengelolaan. Kecuali 2. Memberikan sanksi
untuk diketahui kegiatan di bidang energi dan administratif jika kegiatan
sumber daya mineral berkaitan pemanfaatan (secara menetap)
dengan pengelolaan minyak tidak memiliki izin lokasi atau
dan gas bumi menjadi tidak sesuai izin lokasi yang
kewenangan Pemerintah Pusat. diberikan.
Kabupaten/ Restriction 1. Menentukan batas laut 1. Membuat peta lokasi 1. Menyelesaikan masalah
Kota wilayah Kabupaten/Kota. pemanfaatan/pengelolaan sengketa batas pemanfaatan
Ditetapkan kemudian oleh menggunakan IGD (Peta LPI laut antar sektor yang terjadi di
provinsi. dan Peta LLN). wilayah laut kabupaten/kota
2. Mengajukan batas wilayah 2. Pemanfaatan sampai dengan
laut adat 1/3 dari kewenangan laut
provinsi.
Responsibility 1. Wajib menyelenggarakan 1. Bagi hasil pemanfaatan 1. Sistem Perlindungan Laut
sistem pencegahan dan sumber daya pesisir dan laut. Kabupaten/Kota
penanggulangan
pencemaran dan
kerusakan lingkungan.
216
Tabel IV.1 menunjukkan bahwa kadaster kelautan dapat dioperasionalkan di
dalam kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Tabel tersebut tidak mencantumkan secara keseluruhan dan rinci
mengenai right, restriction dan responsibility yang dimiliki oleh pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, karena hanya mengacu pada 4
(empat) peraturan perundangan normatif, yakni UU RI No. 4 tahun 2011 tentang
Informasi Geospasial, UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
217
Gambar IV.9 Diagram operasional kadaster kelautan terhadap kedudukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat adat.
218
Gambar IV.10 Contoh diagram operasional kadaster kelautan untuk kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan.
219
IV.1.4.5 Continous Improvement Hasil Penelitian terhadap Penelitian
Sebelumnya
220 220
Pada model ini diperoleh informasi berupa peta rasio nelayan-panjang pantai dan
pendapatan nelayan (Gambar IV.11).
Selain Peta Batas Laut Wilayah, rumusan Peta Kadaster Kelautan (Gambar IV.3)
sebagai salah satu produk akhir di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk
mengembangkan model 4 optimisasi yakni dengan cara memasukkan jenis-jenis
objek kadaster kelautan (kegiatan, pemanfaatan, pengusahaan) dan zonasi
pemanfaatan ruang laut di Selat Madura sebagai unsur yang mempengaruhi asas
keadilan dan pemerataan non-kepemilikan (laut) oleh pemerintah daerah.
Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan terdiri dari bentuk (struktur) dan
prosedur (cara kerja) penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai
negara kepulauan yang digunakan sebagai sistem operasional penyelenggaraan
kelautan Indonesia (pemerintahan di laut). Model pola penyelenggaraan kadaster
kelautan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan pemerintah (pusat maupun
daerah provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengelola sumber daya kelautan di
Indonesia.
Oleh karena itu di dalam penelitian ini pengujian sistem dapat dilakukan pada saat
model pola penyelenggaraan kadaster kelautan dijadikan sebagai peraturan daerah
(perda) di wilayah Provinsi Jawa Timur maupun Kabupaten/Kota berkaitan
dengan kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di perairan
Selat Madura Provinsi Jawa Timur.
222
IV.2 Analisis
Terdapat 6 (enam) analisis berkaitan dengan proses yang telah dilakukan dan hasil
yang diperoleh di dalam penelitian ini, yakni:
223
tindakan aktif untuk menyelesaikan masalah pembangunan kelautan di Indonesia.
Oleh karena itu definisi kadaster kelautan di Indonesia harus ditempatkan di
dalam kebijakan pemerintah karena diperlukan suatu konsep terkait urusan
publik/teritorial/kekuasaan di wilayah pesisir dan laut yang menyangkut
kepentingan rakyat untuk kesejahteraan rakyat dan tujuan negara. Kadaster
kelautan sebagai acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah dalam
mewujudkan Pemerintahan di Laut (Ocean Government).
Permasalahan batas laut wilayah di Indonesia adalah bahwa batas laut wilayah
baru dilakukan secara nasional, sedangkan untuk batas laut wilayah provinsi dan
kabupaten/kota belum terwujud dalam satu sistem (belum terpadu). Definisi
kadaster kelautan untuk Indonesia mengandung unsur penetapan batas laut
wilayah (restriction) antara wilayah administrasi skala nasional, skala provinsi,
dan skala kabupaten/kota, sehingga persoalan penetapan batas laut untuk wilayah
yang saling berdampingan maupun berhadapan dapat terselesaikan dan terwujud
keharmonisan dan sinergi antara pusat dan daerah, dan antar pemerintah daerah.
224
Terdapat perbedaan penentuan batas laut wilayah provinsi maupun batas laut
wilayah kabupaten/kota yang tergambar di Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2030 yang dibuat oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Jawa Timur yang dibuat pada tahun 2010 (Gambar IV.2).
Perbedaan ini disebabkan karena pada Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur 2010-2030 penentuan batas laut wilayah
tidak menggunakan satuan unit pengukuran MIL Laut (1 MIL Laut = 1852 meter),
melainkan menggunakan 1 MIL= 1609,344 meter.
Kekeliruan ini terus berlanjut karena pada tahun 2012 peta tersebut dijadikan
sebagai lampiran Perda Provinsi Jawa Timur No.6 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi
Jawa Timur tahun 2012-2032.
225
Selanjutnya Gambar IV.1 Visualisasi penetapan batas laut wilayah provinsi dan
kabupaten/kota yang mengelilingi perairan Selat Madura Jawa Timur dijadikan
pendekatan untuk menyelesaikan persoalan batat laut wilayah yang terjadi di
perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur, antara lain sebagai berikut:
(1) Dokumen formal (treaty based title) dapat menggunakan sertifikat tanah
yang cukup meyakinkan terhadap pulau tersebut.
(3) Menentukan garis batas laut untuk wilayah Kabupaten Gresik dan Kota
Surabaya yang saling bersebelahan mengacu pada Lampiran Permendagri
No. 76 Tahun 2012 menggunakan prinsip sama jarak (equidistance)
ditunjukkan pada Gambar IV.14 di bawah ini.
Gambar IV.14 Peta lokasi Pulau Galang dan visualisasi penarikan garis batas
laut wilayah Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya
226
2. Konflik Migas Blok Maleo antara Pemerintah Kabupaten Sumenep,
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan PT. Santos (Madura Offshore) PtyLtd
Konflik Blok Maleo antara Pemprov Jawa Timur, Pemkab Sumenep dan PT.
Santos (Madura Offshore) Pty Ltd jika ditempatkan di dalam peta batas laut
wilayah provinsi dan kabupaten/kota maka dapat dipastikan Blok Maleo masuk ke
dalam wilayah Kabupaten Sumenep (Gambar IV.15).
Penentuan batas laut wilayah Kabupaten Sumenep dan Provinsi Jawa Timur
mengacu pada Lampiran Permendagri No.76 tahun 2012 menggunakan metode
penarikan garis batas pada pulau kecil yang berjarak kurang dari 2 kali 12 mil laut
namun berada dalam satu provinsi, dan metode penarikan garis batas pada pulau-
pulau kecil yang berada dalam satu provinsi.
Gambar IV.15 Peta lokasi Blok Maleo masuk ke dalam batas laut wilayah
Kabupaten Sumenep
227
3. Ratusan Nelayan Pamekasan Kepung Pengeboran Minyak di Laut
Model solusi penyelesaian konflik ini yakni dengan menentukan garis batas laut
untuk wilayah Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan yang saling
berdampingan mengacu pada Lampiran Permendagri No. 76 Tahun 2012
menggunakan metode sama jarak (equidistance).
Gambar IV.16 Peta lokasi eksplorasi minyak dan gas PT. Santos masuk
kedalam batas laut wilayah Kabupaten Sampang.
Gambar IV.16 menunjukkan bahwa lokasi eksplorasi minyak dan gas PT. Santos
masuk kedalam batas laut wilayah Kabupaten Sampang. Kondisi inilah yang
menyebabkan desa-desa di Kabupaten Sampang mendapatkan kompensasi ganti
rugi atas dilarangnya mencari ikan di area eksplorasi dan selalu mendapatkan
program dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), berbeda dengan desa-
desa disebelah yang berada di Kabupaten Pamekasan.
228
Google earth
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah.
b. Kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antar pemerintah daerah.
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfataan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas,
serta kepentingan strategis nasional.
(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi atau lintas
negara;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah provinsi atau lintas
negara;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
provinsi atau lintas negara;
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh pemerintah pusat; dan/atau
e. Urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan
nasional.
(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota;
229
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah provinsi.
(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
230
(3) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas
bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat.
(4) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas
bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah
kabupaten/kota.
(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil
dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1).
(6) Penentuan daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil
kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil
laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
kurang dari 4 (empat) mil laut, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau
diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.
Pada Pasal 14 dan penjelasannya di atas, maka untuk keperluan perhitungan bagi
hasil kelautan antara kabupaten/kota akan menjadi sulit jika batas laut wilayah
kabupaten/kota tidak ditentukan dan ditetapkan terlebih dahulu. Penulisan batas
wilayah 4 (empat) mil laut untuk keperluan perhitungan bagi hasil kelautan daerah
kabupaten/kota menjadi tidak tepat, sebaiknya menggunakan kalimat 1/3
(sepertiga) dari batas kewenangan laut provinsi. Hal ini digunakan untuk
mengantisipasi batas wilayah kabupaten/kota yang kurang dari 4 mil laut maupun
231
batas laut wilayah provinsi yang kurang dari 12 mil laut, seperti yang dibahas
pada Pasal 27 UU RI No.23 Tahun 2014 dibawah ini.
(3) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
(4) Apabila wilayah laut antar dua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh
empat) mil laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut
dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah
antar dua Daerah provinsi tersebut.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku
terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil adalah nelayan masyarakat
tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan
secara tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat izin usaha dan
bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan
perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.
232
Walaupun pasal-pasal di atas hanya semata-mata untuk keperluan perhitungan
bagi hasil kelautan, namun pasal-pasal ini menegaskan bahwa penentuan dan
penegasan batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/ kota merupakan salah satu
unsur penting yang harus ada di dalam penyelenggaraan kegiatan pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir dan laut. Penerapan prinsip sama jarak di dalam
Pasal 14 dan 27 hingga saat ini masih mengacu pada Permendagri No.76 Tahun
2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
233
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di
Selat Madura Provinsi Jawa Timur
234
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
di Selat Madura Provinsi Jawa Timur (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Kementerian Pemasang Kemen ESDM Belum Sudah Belum Kabel listrik PLN dan Dishub
ESDM -an Kabel Nomor : menerapkan menerapkan menerapkan bawah laut Provinsi Jawa
Listrik 300.K/38/M.P dengan baik. dengan baik. PLN terputus Timur
Bawah E/ 1997 jangkar kapal.
Melanggar UU Pihak terkait
Laut PLN tentang RI No. saling
Keselamatan 17/2008 menyalahkan
Kerja Pipa tentang untuk
Penyalur Pelayaran. melakukan
Minyak dan ganti rugi.
Gas Bumi.
235
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
di Selat Madura Provinsi Jawa Timur (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
4 Kementerian Reklamasi UU RI No.27 Belum Sudah Belum Reklamasi Pemprov Jatim,
Kelautan dan pantai Tahun 2007 menerapkan menerapkan menerapkan pantai merusak Pemkot Surabaya,
Perikanan Teluk tentang dengan baik. dengan baik ekosistem organisasi
Lamong Pengelolaan wilayah pesisir lingkungan dan
Bertentangan
Wilayah dan merubah nelayan
dengan UU RI
Pesisir dan alur hidrologi tradisional.
No.32 Tahun
Pulau-pulau air laut,
2009 tentang
Kecil. menyebabkan
Perlindungan
abrasi dan
dan
banjir rob.
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
236
Dari Tabel IV.2 di atas dapat diperoleh informasi sebagai berikut:
3. Permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor bukan hanya
terjadi karena belum ditetapkannya zona kegiatan-kegiatan pemanfaatan di
wilayah pesisir dan laut. Permasalahan dapat terjadi ketika ada pelanggaran
pemanfaatan atas zona yang telah ditetapkan, disebabkan karena tidak
terbangun koordinasi dan sosialisasi yang baik antar sektoral.
4. Permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor juga dapat
terjadi di luar zona yang telah ditentukan. Fenomena ini seringkali terjadi
karena laut hanya dipandang sebagai ruang, sehingga pengelolaannya hanya
sebatas zona tersebut. Padahal, permasalahan pengelolaan sumber daya
kelautan antar sektor seringkali muncul akibat terganggunya atau tertutupnya
jalur akses satu kegiatan oleh kegiatan sektor lain, sehingga dampak dari satu
jenis kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan dapat mengganggu bahkan
merusak sumber daya kelautan yang lain (hubungan sebab akibat).
237
5. Selain permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor
berdasarkan kegiatan pengelolaan seperti yang dijelaskan di atas, permasalahan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara sektoral juga sangat terkait dengan
peraturan perundangan yang dirumuskan dan dijadikan acuan oleh masing-
masing sektor. Suatu peraturan perundangan yang digunakan seringkali tidak
memiliki kejelasan korelasi dengan peraturan perundangan lain. Oleh karena
itu sangat penting untuk mengetahui status, posisi/kedudukan dan fungsi suatu
peraturan perundangan diantara peraturan perundangan yang lain.
Persoalan adat dan kearifan lokal dalam pemanfaatan laut nasional tidak bisa
dihindari karena adat dan kearifan lokal merupakan bagian dari sistem
kebudayaan di Indonesia. Persoalan pemanfaatan laut adat selama ini terletak pada
berlakunya konsep eksklusivitas (penguasaan) wilayah laut yang secara
tradisional dieksploitasi oleh kelompok-kelompok masyarakat adat setempat, pada
umumnya hanya meliputi wilayah penangkapan (fishing ground). Penetapan
batas-batas eksklusivitas wilayah laut tersebut dilakukan secara adat setempat,
seperti menggunakan batas alam dan garis imajiner yang ditarik dari batas adat
darat lurus memanjang ke arah laut. Batas antara pemanfaatan laut adat dengan
laut milik umum (public property) atau laut milik bersama (commom property)
hanya berupa garis imajiner yang berada antara laut dangkal dan laut dalam
(Hammar, RKR. 2009). Garis imajiner yang ditetapkan secara adat dengan
metode sederhana dan tidak memiliki informasi berupa titik-titik koordinat
menyebabkan batas-batas tersebut bersifat relatif, mudah berubah dan sulit
direkonstruksi.Implikasi penetapan batas laut secara adat seringkali menimbulkan
ketidakjelasan batas-batas dan saling tumpang tindih batas, menyebabkan konflik
antar desa adat maupun konflik antara adat dengan pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
238
lingkup penetapan batas laut (restriction) dan kewenangan (right/izin dan
responsibility) secara adat, sehingga dapat terwujud keharmonisan antara
masyarakat adat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Provinsi Maluku (Gambar IV.17) memiliki luas wilayah laut 527.191 km 2 dan
luas darat 54.185 km2, terdiri dari 559 pulau (BPS Provinsi Maluku, 2011).
Provinsi Maluku sebagai provinsi kepulauan terbesar di Indonesia banyak
ditemukan keberadaan masyarakat adat yang memanfaatkan perairan kepulauan
berbasis budaya lokal.
239
Di Provinsi Maluku praktik pengelolaan perikanan berbasiskan kearifan lokal
telah berlangsung lama dikenal dengan istilah petuanan dan sasi. Petuanan
mengacu pada eksklusifitas wilayah darat (petuanan darat) dan wilayah laut
(petuanan laut), sementara itu konsep sasi berhubungan dengan hak ulayat laut
sebagai suatu pranata yang mengatur sistem eksploitasi atas sumber daya yang
ada di wilayah laut (petuanan laut). Pengertian sasi secara harfiah berarti
larangan, secara umum merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki,
mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu pula (Wahyono, 2000).
Gambar IV.18 Peta lokasi implementasi sasi di perairan laut kepulauan Provinsi
Maluku. (BPKP Provinsi Maluku, 2003)
1. Right
Desa adat memiliki otonomi untuk mengatur harta milik desa adat antara
lain tanah ulayat, hutan dan air. Hak ulayat laut (customary marine tenure)
adalah seperangkat aturan atau sistem pengelolaan wilayah laut dan
sumber daya di dalamnya berdasarkan adat istiadat yang dilakukan oleh
masyarakat pesisir desa. Perangkat aturan hak ulayat ini menyangkut siapa
yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh
240
ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumber daya yang diperbolehkan
yang ada di dalam suatu wilayah laut.
2. Restriction
Pemanfaatan laut secara adat (petuanan laut) mengandung konsep
eksklusivitas wilayah laut yang secara tradisional dieksploitasi oleh
kelompok-kelompok masyarakat adat setempat, pada umumnya hanya
meliputi wilayah penangkapan (fishing ground). Dengan demikian
penetapan batas-batas wilayah petuanan laut sangat penting berkaitan
dengan hak penguasaan dan pemanfaatan suatu sumber daya yang ada di
dalam wilayah tersebut.
241
Garis imajiner
Batas buatan
Gambar IV.19. Foto batas petuanan laut berdasarkan garis imajiner dan
tanda batas buatan (Hernandi, A., Abdulharis,R.,
Hendriatiningsih, S dan Ling, M, 2012).
Konflik batas laut adat antar Desa Tutrean dengan Desa Sather di
Pulau Kei Besar.
Konflik batas laut adat Desa Dian dan Desa Debut perihal izin
kontrak Pulau Oiwa kepada pengusaha mutiara PT. Pear Nusantara
pada tahun 1994.
Konflik antara batas laut adat dengan batas kewenangan laut daerah
sesuai UU RI No.32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.
3. Responsibility
Petuanan laut terdiri dari satuan kekerabatan (fam), sebuah kelompok
pemukim (kampung), sebuah desa (negeri), gabungan beberapa desa
(ratscaap). Sasi bersumber dari kebiasaan adat yang diselenggarakan
secara turun temurun dalam mengelola wilayah laut. Pelaksanaannya
mengacu pada hukum adat sasi yang umumnya tidak tertulis meskipun ada
dibeberapa daerah memiliki peraturan sasi secara tertulis, seperti di Desa
Paperu: Reglemen Sasi Negeri Peperu Tahun 1913-1922, Desa Ema:
242
Reglemen Sasi Negeri Ema Tahun 1863, Desa Siri Sori Serani: Reglemen
Sasi Negeri Siri Sori Serani Tahun 1920, Desa Porto: Reglemen Kewang
Tahun 1870, Haruku: sasi ditulis berdasarkan hasil rapat Saniri Aloosi
Aman Haru Ukui (Saniri Lengkkap Negeri Haruku) pada tanggal 10 Juni
1985, Desa Nolloth, Kei dan Dufa-dufa. (www.kewang-
haruku.org/sasi.html).
Di dalam UUD RI 1945 Pasal 18B (2) menyebutkan bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Oleh karena itu implementasi unsur right, restriction dan responsibility di dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara adat dapat dilakukan dengan cara
mentransformasikan batas-batas laut adat eksisting menjadi batas-batas laut adat
yang diakui oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi), nasional,
maupun hukum laut internasional.
243
IV.2.3 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan ditempatkan
di dalam One Map Policy
Peta Batas Laut Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Peta Kadaster
Kelautan Indonesia sebagai bagian dari Model Pola Penyelenggaraan Kadaster
Kelautan di Indonesia di dalam penelitian ini masih dibangun menggunakan Peta
LPI sebagai peta dasar, dan diperbolehkan menggunakan peta dasar lain (Peta
LLN maupun Peta Laut dari Dishidros) yang tersedia dalam skala yang lebih
besar dan terbaru. Artinya Peta Batas Laut Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota
maupun Peta Kadaster Kelautan Indonesia akan berbeda sesuai jenis peta dasar
yang digunakan. Perbedaan peta dasar ini akan menghasilkan informasi yang
berbeda dan dapat berdampak pada terjadinya tumpang tindih batas laut wilayah,
lokasi, izin, dan kewajiban terkait penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pengelolaan
sumber daya kelautan.
SRGI 2013 merupakan suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan
kompatibel dengan sistem koordinat global, yang secara spesifik menentukan
lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya mencakup seluruh
wilayah NKRI, termasuk bagaimana nilai-nilai koordinat tersebut berubah
terhadap waktu. SRGI 2013 mendefinisikan beberapa hal, yaitu: (1) Sistem
Referensi Koordinat, yang mendefinisikan titik pusat sumbu koordinat, skala dan
244
orientasinya; (2) Kerangka Referensi Koordinat, sebagai realisasi dari sistem
referensi koordinat berupa Jaring Kontrol Geodesi Nasional; (3) Ellipsoid
Referensi yang digunakan; (4) Perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai
akibat dari pengaruh pergerekan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi di
Wilayah Indonesia; (5) Sistem Referensi Tinggi; (6) Garis pantai nasional yang
akurat dan terkini (http://srgi.big.go.id/).
Peta dasar tunggal ini selanjutnya digunakan sebagai acuan pembuatan peta-peta
tematik seperti Peta Rencana Tata Ruang Wilayah, Peta Pendaftaran Tanah, Peta
Jaringan Jalan, Peta Kawasan Hutan, Peta Batas Laut Wilayah Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Peta Kadaster Kelautan Indonesia, Peta Wilayah Tambang, Peta
Rute Pelayaran, dan tematik lainnya.
UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan BAB VIII Pengelolaan Ruang Laut
dan Pelindungan Laut, Bagian Kesatu: Pengelolaan Ruang Laut, terdiri dari Pasal
42 sampai dengan 49 membahas mengenai pengelolaan ruang laut yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Model pola
penyelenggaraan kadaster kelautan di dalam penelitian ini sangat terkait dengan
aspek penyelenggaraan tata ruang laut yakni dalam kegiatan perencanaan dan
pemanfaatan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maupun zonasi
kawasan laut untuk menghasilkan rencana tata ruang laut nasional.
Definisi zona dan zonasi menurut UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah sebagai berikut, zona adalah ruang
yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan
dan telah ditetapkan status hukumnya. Sedangkan zonasi adalah suatu bentuk
rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional
sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis
yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.
245
Fakta yang terjadi di lapangan adalah bahwa tidak sedikit permasalahan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor terjadi di luar zona yang telah
ditentukan. Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan yang dibangun di
dalam penelitian ini merumuskan bahwa perencanaan dan pemanfaatan zonasi
selain harus memperhatikan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber
daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu
kesatuan dalam ekosistem pesisir, harus juga memperhatikan pola kegiatan
pemanfaatan ruang laut (berpindah tempat atau menetap), waktu kegiatan
pemanfaatan ruang laut (kontinyu atau periodik), dan batas pemanfaatan ruang
laut (luasan), termasuk batas-batas laut wilayah pemerintah daerah maupun laut
adat eksisting untuk menghasilkan perencanaan ruang laut yang meliputi tata
ruang laut nasional, perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan
perencanaan zonasi kawasan laut (Pasal 43 UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan).
246
Objek kadaster kelautan di Indonesia menggunakan
Subjek kadaster kelautan di Indonesia pendekatan inventarisasi kegiatan dan pemanfaatan
menggunakan pendekatan inventarisasi sumber daya wilayah pesisir dan laut yang tercantum
peraturan perundangan yang ada terkait di UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan Pemanfaatan sumber
dan Pulau-pulau Kecil:
laut: daya wilayah pesisir
Kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan dan laut:
perairan pulau-pulau kecil yang wajib memiliki izin Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan pengelolaan
1.Produksi garam 1. Berpindah tempat
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral 2.Biofarmakologi laut 2. Menetap
3.Bioteknologi laut
3. Kementerian Lingkungan Hidup Ruang laut
4.Pemanfaatan air laut selain energi
4. Kementerian Perhubungan 5.Wisata bahari 1. Permukaan laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata 6.Pemasangan pipa dan kabel bawah laut
6. Kementerian Perdagangan 7.Pengangkatan benda muatan kapal tenggelam 2. Kolom laut
7. Kementerian Perindustrian 3. Dasar laut
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya
8. Kementerian Dalam Negeri
1.Konservasi
9. Kementerian Perencanaan Waktu Kegiatan
2.Pendidikan dan pelatihan
Pembangunan Nasional 3.Penelitian dan pengembangan 1. Kontinyu
10. Kementerian Pertanian 4.Budi daya laut
11. Kementerian Pertahanan dan 2. Periodik
5.Pariwisata
Keamanan 6.Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan
12. Kementerian Pekerjaan Umum secara lestari
7.Pertanian organik
8.Peternakan
9.Pertahanan dan keamanan negara
Gambar IV.20 Diagram korelasi subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.1 Tahun 2014 serta
pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
247
Dari Gambar IV.20 diperoleh informasi sebagai berikut:
Subyek kadaster kelautan Kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil yang wajib memiliki izin
pengelolaan
1 (KKP) 1,4 (produksi garam, pemanfaatan air laut selain energi)
2 (Kem. ESDM) 6 (pemasangan pipa kabel bawah laut)
3 (KLH) 3 (bioteknologi laut)
4 (Kem. Perhubungan) 7 (pengangkatan benda muatan kapal tenggelam)
5 (Kem. Budpar) 5 (wisata bahari)
7 (Kem. Perindustrian) 2,3 (biofarmakologi laut, bioteknologi laut)
12 (Kem. PU) 6 6 (pemasangan pipa kabel bawah laut)
Gambar IV.20 dan Tabel IV.3 memperlihatkan bahwa terdapat beberapa subjek
kadaster kelautan yang tidak memiliki korelasi langsung dengan kegiatan
pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang
wajib memiliki izin pengelolaan yang disebutkan pada Pasal 19 UU RI No.1
Tahun 2014. Padahal masih banyak jenis kegiatan lain, selain 7 (tujuh) kegiatan di
atas yang yang juga harus memiliki izin pengelolaan di dalam penyelenggaraan
kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti
kegiatan pemanfaatan yang terkait dengan perdagangan, pertanian laut dan
lainnya. Izin pengelolaan seharusnya diberlakukan kepada seluruh kegiatan
pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pantai yang sudah mengantongi
Izin Lokasi. Pembahasan konsep mengenai pemberian Izin Lokasi dan
keterkaitannya dengan Izin Pengelolaan akan dibahas setelah ini.
248
Gambar IV.20 dan Tabel IV.4 juga memperlihatkan bahwa terdapat beberapa
subjek kadaster kelautan yang tidak memiliki korelasi langsung dengan jenis
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya yang disebutkan pada
Pasal 23 UU RI No.1 Tahun 2014. Padahal masih banyak jenis pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya, seperti pemanfaatan untuk
perhubungan, perdagangan, energi baru dan terbarukan. Oleh karena itu Pasal 19
dan Pasal 23 UU RI No.1 Tahun 2014 harus diubah dan memasukkan kegiatan-
kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang
lain serta jenis pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya.
Setelah membahas mengenai korelasi subjek kadaster kelautan dan objek kadaster
kelautan yang diambil menggunakan pendekatan kegiatan-kegiatan pemanfaatan
sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta jenis pemanfaatan pulau-
pulau kecil dan perairan disekitarnya yang tercantum di UU RI No.1 Tahun 2014,
selanjutnya adalah membahas korelasi objek kadaster kelautan terhadap pola,
ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut.
Tabel IV.5 Korelasi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Pesisir dan
Perairan Pulau-pulau Kecil yang Wajib Memiliki Izin Pengelolaan dengan Pola,
Ruang dan Waktu Kegiatan
Kegiatan pemanfaatan sumber daya Pola, ruang dan waktu kegiatan
perairan pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil yang wajib memiliki izin pengelolaan
1 (Produksi garam) 1; 1; 1 (berpindah tempat; permukaan
laut; kontinyu)
2 (Biofarmakologi laut) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu)
3 (Bioteknologi laut) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu)
4 (Pemanfaatan air laut selain energi) 2; 123; 12 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu,
periodik)
5 (Wisata bahari) 2; 123; 2 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; periodik)
6 (Pemasangan pipa dan kabel bawah laut) 2; 3; 1 (menetap; dasar laut; kontinyu)
7 (Pengangkatan benda muatan kapal 1; 3; 2 (berpindah tempat; dasar laut;
tenggelam) periodik)
249
Tabel IV.6 Korelasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan disekitarnya
dengan Pola, Ruang dan Waktu Kegiatan
Pemanfaatan pulau-pulau kecil Pola, ruang dan waktu kegiatan
dan perairan disekitarnya
1 (Konservasi) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut,
dasar laut; kontinyu)
2 (Pendidikan dan pelatihan) 12; 123; 2 (berpindah tempat, menetap;
permukaan laut, kolom laut, dasar laut; periodik)
250
Subjek kadaster kelautan di Indonesia Objek kadaster kelautan di Indonesia
menggunakan pendekatan inventarisasi menggunakan pendekatan inventarisasi
peraturan perundangan yang ada terkait pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan kelautan yang tercantum di UU RI No.32 Pemanfaatan sumber
laut: Tahun 2014 tentang Kelautan daya wilayah pesisir
dan laut:
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan meliputi Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya 1. Perikanan 1. Berpindah tempat
Mineral 2. Energi dan Sumber Daya Mineral
2. Menetap
3. Kementerian Lingkungan Hidup 3. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
4. Kementerian Perhubungan a. Sumber daya hayati Ruang laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata b. Sumber daya nonhayati 1. Permukaan
6. Kementerian Perdagangan c. Sumber daya buatan
2. Kolom
7. Kementerian Perindustrian d. Jasa lingkungan
8. Kementerian Dalam Negeri 4. Sumber daya nonkonvensional 3. Dasar laut
9. Kementerian Perencanan Pembangunan 4. Dasar laut
Waktu Kegiatan
Nasional Pengusahaan Sumber Daya Kelautan meliputi
10. Kementerian Pertanian 1. Industri kelautan 1. Kontinyu
11. Kementerian Pertahanan dan Keamanan 2. Wisata bahari 2. Periodik
12. Kementerian Pekerjaan Umum 3. Perhubungan laut
4. Bangunan laut
Gambar IV.21 Diagram korelasi subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.32 Tahun 2014
serta pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut
251
Dari Gambar IV.21 diperoleh informasi sebagai berikut:
Gambar IV.21 dan Tabel IV.7 memperlihatkan bahwa sebagian besar subjek
kadaster kelautan memiliki korelasi langsung dengan kegiatan pemanfaatan
sumber daya kelautan yang disebutkan pada Pasal 14 UU RI No.32 Tahun 2014.
Bahkan satu subjek kadaster kelautan memiliki korelasi lebih dari satu kegiatan
pemanfaatan sumber daya kelautan, artinya adalah satu kegiatan pengelolaan
sumber daya kelautan dapat dikelola oleh lebih dari satu kementerian.
Berbeda dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan yang dapat dikelola
oleh lebih dari satu kementerian, maka untuk kegiatan pengusahaan sumber daya
kelautan memiliki kecenderungan satu kementerian mengelola satu kegiatan
pengusahaan sumber daya kelautan, seperti yang terlihat di Gambar IV.21 dan
Tabel IV.8 Walaupun begitu, operasional kegiatan pengusahaan sumber daya
kelautan ini merupakan hal yang lebih kompleks karena akan melibatkan banyak
252
pihak terkait seperti pemerintah pusat (beberapa kementerian), pemerintah daerah
provinsi maupun kabupaten/kota, pihak swasta dan masyarakat.
Tabel IV.9 Korelasi Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dengan Pola, Ruang dan
Waktu Kegiatan
Pemanfaatan Sumber Pola, ruang dan waktu kegiatan
Daya Kelautan
1 (Perikanan) 1; 123; 2 (berpindah tempat; permukaan laut, kolom laut,
dasar laut; periodik)
2 (Energi dan sumber daya 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
mineral) laut; kontinyu)
3a (Sumber daya hayati) 12; 123; 12 (berpindah tempat, menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu, periodik)
3b (Sumber daya 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
nonhayati) laut; kontinyu)
3c (Sumber daya buatan) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; kontinyu)
3d (Jasa lingkungan) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; kontinyu)
4 (Sumber daya 2; 123; 12 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
nonkonvensional) laut; kontinyu, periodik)
Tabel IV.10 Korelasi Pengusahaan Sumber Daya Kelautan dengan Pola, Ruang
dan Waktu Kegiatan
Pengusahaan Sumber Pola, ruang dan waktu kegiatan
Daya Kelautan
1(Industri kelautan) 2; 12; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut ; kontinyu)
2 (Wisata bahari) 2; 123; 2 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; periodik)
3 (Perhubungan laut) 12; 123; 12 (berpindah tempat, menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu, periodik)
4 (Bangunan laut) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; kontinyu)
253
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Satu objek kadaster kelautan dapat dikelola oleh lebih dari satu kementerian.
Oleh karena itu konsep networked government yakni dengan menempatkan
kembali kedudukan peraturan-peraturan perundangan terkait penyelenggaraan
kegiatan tersebut sangat diperlukan. Selain itu diperlukan juga perubahan tata
kelola dan kelembagaan laut, yakni harus ada kejelasan tugas dan wewenang di
masing-masing kementerian terkait penyelenggaraan kegiatan pengelolaan
sumber daya kelautan.
2. Selain kegiatan perikanan dan pelayaran, objek kadaster kelautan ternyata lebih
banyak memiliki pola menetap (tidak berpindah tempat) dan waktu kegiatan
yang kontinyu. Oleh karena itu Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan yang diatur di
dalam UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil menggantikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisi (HP3) harus diterapkan
sepenuhnya untuk seluruh objek kadaster kelautan.
254
i. Asas Desentralisasi
k..Asas Keadilan
c. Asas Keterpaduan
*
d. Asas Keterpaduan
*
a. Asas
d. Asas Kepastian Hukum Keberlanjutan
f. Asas
Pemerataan
**
**
g. Asas Peran
Serta
b. Asas Konsistensi Masyarakat j. Asas
Akuntabilitas
e. Asas Kemitraan
Gambar IV.22 Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan ditempatkan di dalam asas Undang undang Kelautan
255
Keterangan dari masing-masing asas pada Gambar IV.22 dijelaskan sebagai
berikut:
256
ketentuan peta tematik tersebut harus dapat diubah ke dalam sistem
koordinat nasional.
257
g. Peran serta masyarakat dimaksudkan agar masyarakat mempunyai peran
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian dalam
penyelenggaraan kelautan.
258
wilayah mengacu pada Permendagri No.76 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah.
Mengacu pada definisi negara kepulauan di dalam penelitian ini bahwa negara
kepulauan adalah negara yang mempunyai laut demikian luas, pada laut tersebut
tersebarlah pulau-pulau yang demikian banyak. Jika definisi negara kepulauan
ditempatkan di dalam perspektif tata kelola dan kelembagaan terkait sumber daya
kelautan, maka diperlukan tata kelola dan kelembagaan yang baik, terintegrasi dan
259
handal dalam pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia yang demikian luas
dan banyak.
Hingga saat ini, berdasarkan hasil identifikasi dari peraturan perundangan yang
ada terkait kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan, maka terdapat 12
kementerian terlibat di dalam pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia.
Jumlah kementerian yang terlibat saat ini menjadi bertambah banyak mengikuti
susunan kabinet pemerintahan saat ini, yakni:
260
Dalam kabinet pemerintahan saat ini terdapat satu kementerian koordinator
(Kemenko) yang baru sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 165
Tahun 2014, yaitu Kementerian Koordinator Kemaritiman. Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman mempunyai tugas menyelenggarakan
koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam
penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman. Pasal 4 Perpres ini
menyebutkan, Kemenko Kemaritiman mengkoordinasikan: a. Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral; b. Kementerian Perhubungan; c. Kementerian
Kelautan dan Perikanan; d. Kementerian Pariwisata; dan e. Instansi lain yang
dianggap perlu. Konsep Networked Government menggunakan pendekatan sistem
yang ada di masing-masing kementerian dapat digunakan oleh Kementerian
Koordinator Kemaritiman untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan
terpadu.
261
meningkatkan standar hidup seluruh masyarakat Amerika dengan menciptakan
infrastruktur di laut yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, daya
saing teknologi, dan pembangunan berkelanjutan.
262
Bab V Kesimpulan dan Saran
V.1 Kesimpulan
263
6. Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia yang
keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan,
pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi,
akuntabilitas, dan keadilan dapat digunakan sebagai operasional sistem untuk
mewujudkan pemerintahan di laut.
V.2 Saran
Saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan proses dan hasil penelitian meliputi
aspek penerapan dan aspek pengembangan sebagai berikut:
264
5. Untuk merumuskan kebijakan Pengembangan Sumber Daya Kelautan;
Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di laut;
Peningkatan Kesejahteraan; Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan
Lingkungan Laut perlu dilakukan estimasi rasio jumlah kapal terhadap luas
wilayah laut Indonesia.
6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait aspek kartografi peta kadaster
kelautan Indonesia yang menampilkan informasi geospasial di permukaan
laut, kolom laut, dan dasar laut.
7. Penentuan garis batas di laut dan bagian laut lainnya (contoh: batas Selat
Madura) harus dimasukkan sebagai obyek di dalam kegiatan toponimi laut
Indonesia dalam upaya mewujudkan Pembangunan Kelautan Indonesia pada
Pasal 13 UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
265
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku (2011): Maluku dalam Angka 2011.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2005): Riset Kadaster Laut Selat Madura.
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Barry, M., Elema, I., dan Molen, P. (2003): Ocean Governance in the Netherlands
North Sea the Netherlands, Proceedings FIG Working Week, Paris,
Perancis.
Binns, A., Rajabifard, A., Collier, P.A dan Williamson, I.(2004): Developing the
Concept of a Marine Cadastre: An Australia Case Study, Departemen of
Geomatics, The University of Melbourne, Australia.
266
Davis, G.B. (1991): Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
Dijk, v.J. (2008): The Perspective of Network Government: The struggle between
hierarchies, markets and networks as modes of governance in
contemporary government, A.Meijer.
Djunarsjah, E. (2008): The Study on the Technical and Legal Aspect of Marine
Cadastre in Indonesia Toward Natural Resources Preservation and
Sustainable Development, LPPM – ITB, Bandung.
Dye, T.(1992): Understanding Public Policy 11th Edition. Prentise Hall Inc.New
Jersey.
Falah (2010): Kajian Aspek Teknik Kadaster Kelautan Tiga Dimensi (Studi
Kasus: Pesisir Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau), Tugas
Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.
Fauzi, A. (2005): Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis, dan Gagasan.
Fraser, R., Todd, P., dan Collier, P. (2003): Issues In The Development Of a
Marine Cadastre, Department of Geomatics, The University of
Melbourne, Australia.
267
Hammar, R.K.R. (2009): Hak Ulayat Laut dalam Perspektif Otonomi Daerah di
Kepulauan Kei dan Papua. Jurnal Mimbar Hukum Vo.21 No.2.
Ives, D., Yan, Y.C. (2004): A Report on Commonwealth Association for Public
Administration and Management/ CAPAM’s 10th Anniversary Biennial
Conference, Singapore.
268
Moran, M. (2006): The Oxford Handbook of Public Policy. New York: Oxford
University Press Inc.
Newstrom, J.W dan Davis, K.E. (1977): Human behavior at work: organizational
behavior, McGraw-Hill New York.
Newstrom, J.W dan Davis, K.E. (2000): Perilaku dalam Organisasi, Edisi
ketujuh, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Puspa, A. (2007): Kajian Peletakan Kabel dan Pipa Bawah Laut dalam
Kaitannya dengan Penerapan Kadaster Kelautan di Indonesia, Tugas
Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.
Sesli, F., dan Uslu, G. (2010): The importance of marine cadastre for Turkey,
African Journal of Agricultural Research Vol. 5(14), pp. 1749-1758.
269
Simatupang, T.M. (1995): Pemodelan Sistem, Penerbit Nindita-Klaten.
Siregar, A.M. (2004): Kajian Produk Hukum Kepesisiran dan Kelautan Dalam
Perspektif Pelaksanaan Sistem Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut
Secara Terpadu, Tesis, Program Magister Studi Pembangunan, ITB.
Sook, H., Lee., dan Shin, D. (2010): Issues with Building a Marine Cadastre
System in South Korea, Proceedings FIG Working Week, Sydney,
Australia.
Steudler, D., Rajbifard, A., dan Williamson, I.P. (2004): Evaluation of Land
Administration Systems, Journal for Land Use Policy, Department of
Geomatics, The University of Melbourne, Victoria 3010, Australia.
Stephen, W.G., dan Stephen, C.W. (1996): The Role of Ignorance in Intergroup
Ralation, N.Miller&M.B Brewer, New York.
Srebo, H., Fabrikant, I., dan Marom, O. (2010): Towards a Marine Cadastre in
Israel, Proceedings FIG Working Week, Sydney, Australia.
Sumaryo (2007): Arti Penting Penetapan dan Pengasan Batas Daerah di laut
Dalam Rangka Pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3),
Jurnal, Teknik Geomatika ITS, Surabaya.
270
Tamtomo, J.P. (2004): The Needs for Building Concept and Authorizing
Implementation of Marine Cadastre in Indonesia, Jurnal, Indonesia.
Tamtomo, J.P. (2006): Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Sudi Kasus di Wilayah Pulau
Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau), Disertasi Program Doktor, IPB.
Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J., dan Rajabifard, A. (2010): Land
Administration for Sustainable Development, Esri.
271
Zaenudin, D. (2008): Kajian Aspek Legal dalam Penerapan Kadaster Kelautan di
Provinsi Maluku, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika,
ITB.
Perda Provinsi Jatim No.5 Tahun 2012 tentang RTRW Provinsi Jawa Timur
Tahun 2011-2031
Perda Provinsi Jatrim No.6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2012-
2032
p3sdlp.litbang.kkp.go.id
http://coinatlantic.ca/
272
http://desabangsa.wordpress.com
http://jdih.esdm.go.id/
http://greatpersie.wordpress.com
http://indonesia.embassy.gov.au
http://indonesian.jakarta.usembassy.gov
http://marinecadastre.gov
http://nasional.kompas.com/read/2012
http://srgi.big.go.id
www.bakosurtanal.go.id
www.balitbangkp.kkp.go.id
www.big.go.id
www.bphmigas.go.id
www.bpkp.go.id/maluku.bpkp
www.bps.go.id
www.bumn.go.id/pelindo3
www.canada.ca
www.canadainternational.gc.ca
www.dfo-mpo.gc.ca
www.dishidros.go.id
www.esdm.go.id
www.fig.net
www.ga.gov.au
273
www.gbrmpa.gov.au
www.googleearth.com
www.jdih.setjen.kemendagri.go.id
www.kewang-haruku.org/sasi.html
www.kppod.org
www.migas.esdm.go.id
www.noaa.gov
www.policysciences.org
www.ppk-kp3k.kkp.go.id
www.santos.com
www.thecanadianencyclopedia.ca
www.tribunnews.com/regional/2014/06/04/ribuan-marinir-serbu-pantai-
banongan-situbondo
www.wikipedia.com
274