Anda di halaman 1dari 302

POLA PENYELENGGARAAN KADASTER KELAUTAN

DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF INDONESIA SEBAGAI


NEGARA KEPULAUAN

(Wilayah Studi: Selat Madura Provinsi Jawa Timur)

DISERTASI

Karya tulis sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh:

YACKOB ASTOR
NIM: 35110004
Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2016
ABSTRAK

POLA PENYELENGGARAAN KADASTER KELAUTAN


DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF INDONESIA SEBAGAI
NEGARA KEPULAUAN

(Wilayah Studi: Selat Madura Provinsi Jawa Timur)

Oleh:
Yackob Astor
NIM: 35110004

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah laut seluas 3.374.668 km2
yang lebih luas dari wilayah darat yang hanya 1.922.570 km2, 13.466 pulau dan
garis pantai sepanjang 99.093 km (Badan Informasi Geospasial, 2013)
menjadikan Indonesia memiliki sumber daya alam laut yang lebih banyak
dibandingkan dengan sumber daya alam di darat. Kondisi potensi sumber daya
laut ini dipandang sebagai peluang Indonesia sebagai negara berkembang untuk
membangun keunggulan di bidang pesisir dan kelautan. Namun selama 70 tahun
bangsa ini merdeka, sektor kelautan ternyata belum dapat menunjukkan sebagai
sektor yang dapat diunggulkan oleh bangsa dan diandalkan oleh rakyat Indonesia.
Permasalahan yang timbul di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
multikultural tidak terlepas dari konflik penyelenggaraan pengelolaan pesisir dan
laut antar sektor, antara pusat dan daerah, antar pemerintah daerah, dan antar
pemangku kepentingan. Penyelenggaraan pengelolaan kelautan melalui definisi
kadaster kelautan telah ada di negara-negara maju non-kepulauan seperti
Australia, Kanada, dan Amerika, sedangkan Indonesia belum memiliki definisi
kadaster kelautan dan model penyelenggaraan kadaster kelautan yang sesuai
dengan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara
kepulauan. Maka perlu dibangun pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia dibangun melalui 4 (empat)
tahap, yaitu: Melakukan kajian definisi-definisi kadaster kelautan dari negara-
negara non-kepulauan; Membangun definisi kadaster kelautan untuk Indonesia
sebagai negara kepulauan; Mengimplementasikan definisi kadaster kelautan yang
telah dirumuskan ke dalam wilayah studi penelitian; Membangun model pola
penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan.

i
Produk penelitian ini diperoleh: Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia (tahap perencanaan, tahap pemanfaatan dan tahap pengawasan) sebagai
acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan di
laut; Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai wujud kedaulatan ilmu,
pengetahuan dan teknologi dalam merumuskan definisi kadaster kelautan yang
sesuai dengan karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan; Peta batas laut
wilayah kabupaten/kota sebagai dasar rumusan penyelesaian permasalahan batas
laut wilayah di perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur; Diagram konsep
pengelolaan sumber daya kelautan terpadu sebagai dasar rumusan penyelesaian
permasalahan pengelolaan sumber daya kelautan antar sektor, antara pusat dan
daerah, antar pemerintah daerah, dan antar pemangku kepentingan; Peta Kadaster
Kelautan Indonesia sebagai acuan dasar pengurusan dan penerbitan Izin Lokasi
dan Izin Pengelolaan di wilayah pesisir dan laut Indonesia.
Kata kunci: karakteristik NKRI, negara kepulauan, definisi kadaster kelautan.

ii
ABSTRACT

THE ORGANIZATION PATTERN OF INDONESIAN MARINE


CADASTRE IN INDONESIAN PERSPECTIVE AS AN
ARCHIPELAGIC STATE
(Study Location: Madura Strait East Java Province)

by:
Yackob Astor
NIM: 35110004
The Indonesian archipelagic state has a marine area 3.374.668 km2 which is wider
than the land area 1.922.570 km2, 13.466 islands and a coastline of 99.093 km
(Geospatial Information Agency, 2013) makes Indonesia has natural resources of
the marine more than the natural resources on land. Potential conditions of marine
resources is seen as an opportunity for Indonesia as a developing country to build
excellences in the field of coastal and marine. But during the 70 years of this
nation's independence, the maritime sector is not yet able to be showned as a
sector that can be seeded by the nation and relied upon by the people of Indonesia.
Problem arising in the Indonesian as an archipelagic state can not be rid of coastal
and marine implementation conflict among sectors, between central and local
government, among local governments, and between stakeholders. The
management of marine through the definition of marine cadastre has been existed
in coastal state such as Australia, Canada and America, while Indonesia does not
have a definition and models organization of marine cadastre accordance with the
characteristics of Indonesian as an archipelagic state. Then it is necessary
building patterns of marine cadastre organization in Indonesia in perspective
Indonesian archipelagic state.
Organization pattern of marine cadastre in Indonesia built through four stages:
The study of marine cadastre definitions from coastal state; Building marine
cadastre definition for Indonesian as an archipelagic state; Implementation of
marine cadastre which has been formulated in to study location; Building an
organization model of marine cadastre in Indonesian as an archipelagic state.
The products are: organization pattern model of marine cadastre (planning,
actuating, controlling) used as a reference for a government policy formulation in
organizing ocean government; Definition of marine cadastre for Indonesia as an
realize of the sovereignity sciences, knowledge and technology in formulating
marine cadastre definition accordance with the characteristics of Indonesian as an
archipelagic state; Marine Boundary Map can be used as a formulation for
problem solution marine boundaries that happen in Madura Strait East Java
Province; Diagram of integrated marine management concept can be used as a

iii
formulation for problem solution marine resources among sectors, between central
and local government, among local governments, and Stakeholders that happen in
Madura Strait East Java Province; Marine Cadastre Map as the basis for clearance
and publishing the location permit and management permit in Indonesian coastal
and marine areas.

Keywords: NKRI characteristic, archipelagic state, marine cadastre definition

iv
POLA PENYELENGGARAAN KADASTER KELAUTAN
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF INDONESIA SEBAGAI
NEGARA KEPULAUAN

(Wilayah Studi: Selat Madura Provinsi Jawa Timur)

Oleh:

Yackob Astor
NIM: 35110004
Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika
Institut Teknologi Bandung

Menyetujui
Tim Pembimbing

Tanggal Januari 2016

Ketua

Prof.Dr.Ir. Widyo Nugroho SULASDI

Anggota Anggota

Dr.Ir. S.Hendriatiningsih, MS Dr.Ir. Dwi Wisayantono, MT

v
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI

Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan


Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa
hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di
Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus
disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin


Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

vi
Dipersembahkan kepada:

Orang tua tercinta, Drs.H Amsar Ibrahim, MM dan Hj. Tita Setiati (Almh)

Istri tercinta Yuri Plurita, SE, dan juga putra-putri tercinta Sekar Paringi Yackob,
Sela Abrite Yackob dan Surya Kencana Yackob

(WR Supratman)

vii
KATA PENGANTAR

Penulis sangat berterima kasih kepada Prof. Widyo Nugroho SULASDI sebagai
ketua Tim Pembimbing atas segala pengetahuan, ilmu, pengarahan,
pengembangan, saran, kesabaran dan nasehat selama penulis menjalani program
studi doktor.

Penulis juga berterima kasih kepada Dr.Ir. S.Hendriatiningsih, MS dan Dr.Ir. Dwi
Wisayantono, MT sebagai anggota Tim Pembimbing atas semua saran, koreksi
dan kesabaran selama proses penelitian disertasi.

Terima kasih disampaikan pula kepada Dr.Ir. Eka Djunarsjah, MT, Dr.Ir. Irawan
Soemarto, M.Sc dan Dr.Budi Sulistiyo, M.Sc sebagai Tim Reviewer dan Tim
Penguji.

Terima kasih disampaikan kepada Dr.rer.nat. Poerbandono, ST.,MM sebagai


Ketua Program Studi Magister dan Doktor Teknik Geodesi dan Geomatika. Dr.
Agung Budi Harto sebagai dosen wali mahasiswa program doktor angkatan 2010.
Dr. Kosasih Prijatna yang telah memberikan materi di program briding.

Terima kasih pula kepada Dr.Ir. Dewi Kania Sari, MT yang telah berkenan
merekomendasi penulis untuk melanjutkan program doktor. Dr.Ir. Martinus Agus
Sugiyanto, MT yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan program
doktor. Dr. Idad Saeful Haq yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk
diskusi filosofis. Irlan Fardhani, ST., MT., dan Zainul Hidayah, S.Pi, M.App.Sc.
yang telah membantu penulis dalam proses akuisisi data penelitian.

Abraham Pilar, ST., Giovany, ST., Ibunda Djuminah Lestari, Intan Noviar Dewi,
Khairul Rizal, Keluarga besar di Cirebon dan Bandung, rekan kerja di Universitas
Swadaya Gunung Jati (Unswagati) Cirebon dan Politeknik Negeri Bandung
(Polban).

viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK.................................................................................................... I
ABSTRACT................................................................................................. iii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI................................................ vi
KATA PENGANTAR.................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ Ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI.................................................... xiv
DAFTAR TABEL........................................................................................ xix
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG............................................... xxii
Bab I Pendahuluan................................................................................ 1
I.1 Latar Belakang.................................................................... 1
I.2 Perumusan Masalah............................................................ 9
I.3 Tujuan Penelitian................................................................ 9
I.4 Kemanfaatan Penelitian...................................................... 10
I.5 Asumsi................................................................................. 10
I.6 Hipotesis Kerja.................................................................... 10
I.7 Alur Pikir Penelitian............................................................ 10
I.8 Sistematika Penulisan Disertasi.......................................... 12

Bab II Studi Kepustakaan............................................................... 14


II.1 Penelitian Kadaster Kelautan di Negara-negara lain dan
Negara Indonesia................................................................. 14
II.2 Kebaharuan Penelitian........................................................ 24
II.3 Kedudukan Penelitian......................................................... 24
II.4 Hak Kepemilikan Tanah..................................................... 27
II.4.1 Sistem Pendaftaran Akta..................................................... 28
II.4.2 Sistem Pendaftaran Hak...................................................... 29
II.5 Sistem Administrasi Pertanahan di Australia, Kanada,
Amerika dan Indonesia....................................................... 30
II.5.1 Sistem Administrasi Pertanahan di Australia...................... 30
II.5.2 Sistem Administrasi Pertanahan di Kanada........................ 34
II.5.3 Sistem Administrasi Pertanahan di Amerika...................... 38

ix
II.5.4 Sistem Administrasi Pertanahan di Indonesia..................... 41
II.6 Definisi Kadaster (FIG 1995)............................................. 44
II.7 Definisi Kadaster (FIG 1995) ditempatkan dalam
Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan................ 46
II.8 Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan......... 48
II.9 Keterkaitan Kadaster Kelautan dengan UNCLOS 1982,
Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan.......................... 52
II.9.1 Marine Cadastre di dalam konteks Negara Kesatuan dan
Negara Federal............................................................. 53
II.9.2 Marine Cadastre di dalam konteks Negara Kepulauan
dan Negara Pantai......................................................... 55
II.10 Marine Cadastre di negara non-kepulauan........................ 56
II.10.1 Australia........................................................................ 56
II.10.2 Kanada......................................................................... 62
II.10.3 Amerika....................................................................... 66
II.11 Karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai Negara Kepulauan................................................. 70
II.12 Persoalan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan di
Indonesia sebagai Negara Kepulauan................................ 74
II.13 Teori Konflik..................................................................... 83
II.14 Asas dan Tujuan Penyelenggaraan Kelautan Indonesia
ditempatkan pada UU RI No.32 Tahun 2014 tentang
Kelautan dan UU RI No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial.......................................................................... 89
II.15 Teori Sistem...................................................................... 96
II.16 Teori Optimisasi.................................................................. 98
II.17 Konsep Networked Government dan Legislative
Government......................................................................... 101
II.18 Ilmu Kebijakan (Policy Sciences)....................................... 103

Bab III Metodologi Penelitian......................................................... 105


III.1 Arti dan Fungsi Definisi di dalam Penelitian..................... 105
III.2 Keterkaitan antara Fenomena, Pola, Model dan Sistem.... 106
III.3 Deskripsi Wilayah Studi..................................................... 107
III.4 Kadaster Kelautan ditempatkan di dalam Kebijakan
Pemerintah........................................................................... 118
III.5 Pelaksanaan Penelitian........................................................ 124

x
III.5.1 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Australia,
Kanada dan Amerika Dalam Perspektif Indonesia sebagai
Negara Kepulauan.............................................................. 127
III.5.2 Membangun Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
sebagai Negara Kepulauan................................................. 150
III.5.3 Implementasi Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
sebagai Negara Kepulauan.................................................. 172
III.5.4 Pemodelan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan untuk
Indonesia sebagai Negara Kepulauan................................. 182
III.5.4.1 Tahap Perencanaan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan... 184
III.5.4.2 Tahap Pemanfaatan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.. 191
III.5.4.3 Tahap Pengawasan/Pengendalian Penyelenggaraan
Kadaster Kelautan............................................................... 197
Bab IV Hasil dan Analisis............................................................... 199
IV.1 Hasil.................................................................................... 199
IV.1.1 Menginterpretasi Sistem..................................................... 199
IV.1.2 Menganalisis Perilaku......................................................... 200
IV.1.3 Mengelola, Mengoperasi atau Mengkontrol Sistem........... 201
IV.1.4 Mendesain Metode untuk Meningkatkan atau
Memodifikasi Sistem.......................................................... 207
IV.1.4.1 Tahap Perencanaan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.. 207
IV.1.4.2 Tahap Pemanfaatan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.. 208
IV.1.4.3 Tahap Pengawasan/Pengendalian Penyelenggaraan
Kadaster Kelautan............................................................... 209
IV.1.4.4 Operasional Penyelenggaraan Kadaster Kelautan.............. 213
IV.1.4.5 Continous Improvement Hasil Penelitian terhadap
Penelitian Sebelumnya........................................................ 220
IV.1.5 Mentest Hipotesis/Menguji Sistem Tentang Suatu Sistem
Atau Memprediksi Responsnya Dalam Berbagai Variasi
Keadaan.............................................................................. 222
IV.2 Analisis................................................................................ 223
IV.2.1 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Policy Sciences................................ 223
IV.2.2 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Permasalahan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Kelautan di Indonesia sebagai Negara
Kepulauan........................................................................... 224

xi
IV.2.2.1 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Permasalahan Batas Laut Wilayah.. 224
IV.2.2.2 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Permasalahan Peraturan
Perundangan yang bertampalan terkait Pengelolaan
Wiayah Pesisir dan Laut...................................................... 237
IV.2.2.3 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia
ditempatkan di dalam Persoalan Pemanfaatan Laut Adat... 238
IV.2.3 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
ditempatkan di dalam One Map Policy............................... 244
IV.2.4 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
terhadap Aspek Penyelenggaraan Tata Ruang Laut............ 245
IV.2.5 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
Menggunakan Asas-asas pada Undang-Undang
Kelautan.............................................................................. 254
IV.2.6 Analisis Tata Kelola dan Kelembagaan Kadaster
Kelautan di Indonesia..................................................... 259
Bab V Kesimpulan dan Saran........................................................ 263
V.1 Kesimpulan......................................................................... 263
V.2 Saran.................................................................................... 264
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 266
LAMPIRAN................................................................................................. 275
RIWAYAT HIDUP...................................................................................... 277

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Peta Eksisting Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Timur.......... 275

Lampiran B Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Timur 276

Lampiran C Peta Batas Laut Wilayah di Selat Madura Provinsi Jawa


Timur..................................................................................... 262

Lampiran D Peta Kadaster Kelautan Indonesia........................................ 249

xiii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI

Gambar I.1 Skema alur pikir penelitian................................................. 11

Gambar II.1 Skema kedudukan penelitian............................................... 26

Gambar II.2 Peta wilayah administrasi Australia.................................... 30

Gambar II.3 Peta wilayah administrasi Kanada...................................... 35

Gambar II.4 Peta wilayah administrasi Amerika Serikat........................ 39

Gambar II.5 Visualisasi konsep kadaster menurut FIG 1995.................. 44

Gambar II.6 Peta batas wilayah NKRI.................................................... 47

Gambar II.7 Diagram keterkaitan kadaster kelautan dengan UNCLOS


1982, bentuk negara dan sistem pemerintahan................... 52

Gambar II.8 Ilustrasi visual konsep marine cadastre Australia.............. 57

Gambar II.9 Tampilan sistem informasi spasial kelautan di Australia.... 59

Gambar II.10 Profil batas kewenangan pemanfaatan laut wilayah di


yurisdiksi laut Ausralia..................................................... 60

Gambar II.11 Peta zona pemanfaatan laut di Great Barrier Reef Marine
Park Australia..................................................................... 61

Gambar II.12 Ilustrasi visual konsep kadaster kelautan di Kanada........... 63

Gambar II.13 Tampilan sistem aplikasi COINAtlantic marine cadastre


di Kanada............................................................................ 64

Gambar II.14 Profil batas kewenangan pemanfaatan laut wilayah di


yurisdiksi laut Kanada......................................................... 65

Gambar II.15 Tampilan sistem aplikasi Ocean Planning Information


System.................................................................................. 66

Gambar II.16 Peta marine cadastre di Florida Sanctuary......................... 67

Gambar II.17 Tampilan sistem aplikasi multipurpose marine cadastre


di Amerika........................................................................... 68

Gambar II.18 Profil batas kewenangan pemanfaatan laut wilayah di


yurisdiksi laut Amerika....................................................... 69

xiv
Gambar II.19 Peta batas pengelolaan laut antara negara bagian Rhode
Island dan pemerintah federal Amerika.............................. 70

Gambar II.20 Visualisasi kegiatan pemanfaatan laut secara sektoral


menggunakan sistem referensi geospasial yang berbeda.... 88

Gambar II.21 Visualisasi transformasi sistem koordinat sektoral ke


sistem koordinat nasional.................................................... 91

Gambar II.22 Visualisasi keterpaduan kegiatan pemanfaatan wilayah


pesisir dan laut menggunakan sistem koordinat nasional
pada UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial........................................................................... 92

Gambar II.23 Diagram urutan optimisasi menggunakan pendekatan


sistem................................................................................... 99

Gambar III.1 Diagram urutan antara fenomena, pola, model dan sistem. 106

Gambar III.2 Peta administrasi Provinsi Jawa Timur.............................. 108

Gambar III.3 Peta batimetri Selat Madura............................................... 109

Gambar III.4 Peta letak kabupaten/ kota yang mengelilingi Selat


Madura Provinsi Jawa Timur.............................................. 109

Gambar III.5 Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau


Kecil Provinsi Jawa Timur 2010-2030............................... 111

Gambar III.6 Peta pemanfaatan ruang Selat Madura................................ 112

Gambar III.7 Foto latihan Gabungan (Latgab) TNI di Pantai Banongan,


Situbondo............................................................................ 113

Gambar III.8 Peta Persebaran Kerja Minyak dan Gas Bumi di Provinsi
Jawa Timur.......................................................................... 113

Gambar III.9 Peta Rute Pelayaran Domestik dari/ke Surabaya................ 114

Gambar III.10 Foto pemanfaatan ruang laut untuk perikanan di sekitar


Pulau Galang oleh masyarakat tradisional.......................... 114

Gambar III.11 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Pesisir Provinsi Jawa
Timur................................................................................... 116

Gambar III.12 Peta permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di


Selat Madura....................................................................... 117

Gambar III.13 Visualisasi komponen makna kedaulatan di laut menurut


UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan....................... 122

xv
Gambar III.14 Diagam kedudukan kadaster kelautan ditempatkan di
dalam perspektif pemerintahan di laut............................... 124

Gambar III.15 Diagram metodologi penelitian berbasis sistem (input-


process-output).................................................................... 125

Gambar III.16 Diagram prosedur analisis definisi-definisi kadaster


kelautan............................................................................... 128

Gambar III.17 Visualisasi diagram struktur definisi kadastre kelautan ke-


1 dari Australia tahun 1999................................................. 132

Gambar III.18 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-


2 dari Kanada tahun 2000.................................................. 132

Gambar III.19 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-


3 dari Amerika tahun 2002.................................................. 133

Gambar III.20 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-


4 dari Amerika tahun 2004.................................................. 133

Gambar III.21 Diagram proses membangun definisi kadaster kelautan


dalam perspektif NKRI sebagai negara kepulauan............. 151
Diagram alir membangun unsur-unsur pembentuk definisi
Gambar III.22
kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara
kepulauan............................................................................ 168

Gambar III.23 Diagram prosedur implementasi definisi kadaster


kelautan............................................................................... 173

Gambar III.24 Foto nelayan menyandera kapal keruk pasir di Selat


Madura-Oktober 2012......................................................... 178

Gambar III.25 Peta lokasi terputusnya saluran kabel bawah laut PLN
Jawa–Madura akibat tersangkut jangkar kapal................... 179
Gambar III.26 Peta lokasi konflik pemanfaatan ruang laut antara nelayan
Kabupaten Sampang dan PT. Santos di Blok Wortel Selat
Madura................................................................................ 181

Gambar III.27 Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala 1:50.000... 186

Gambar III.28 Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) Skala 1:50.000...... 187

Gambar III.29 Peta Laut Dishidros TNI AL.............................................. 187

Gambar III.30 Lembar (C3) Peta RZWP3K Provinsi Jawa Timur Tahun
2010-2030....................................................................... 190

xvi
Gambar III.31 Diagram subjek kadaster kelautan, objek kadaster
kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.1 Tahun
2014 serta pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan
sumber daya pesisir dan laut.............................................. 195

Gambar III.32 Diagram subjek kadaster kelautan, objek kadaster


kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.32 Tahun
2014 serta pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan
sumber daya pesisir dan laut.............................................. 196

Gambar IV.1 Peta batas laut wilayah Provinsi Jawa Timur dan
kabupaten/kota yang mengelilingi perairan Selat Madura.. 202

Gambar IV.2 Diagram konsep sistem pengelolaan sumber daya


kelautan terpadu.................................................................. 204

Gambar IV.3 Peta Kadaster Kelautan Indonesia di permukaan laut,


kolom laut dan dasar laut.................................................... 206

Gambar IV.4 Diagram alir tahap perencanaan penyelenggaraan


kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara
kepulauan............................................................................ 208

Gambar IV.5 Diagram alir tahap pemanfaatan penyelenggaraan


kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan.. 209

Gambar IV.6 Diagram alir tahap pengawasan/pengendalian


penyelenggaraan kadaster kelautan menggunakan
pendekatan lingkungan laut................................................. 210

Gambar IV.7 Skema pengawasan/pengendalian penyelenggaraan


kadaster kelautan menggunakan pendekatan keamanan
laut....................................................................................... 211

Gambar IV.8 Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di


Indonesia............................................................................. 212

Gambar IV.9 Diagram operasional kadaster kelautan terhadap


kedudukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat adat................................................................... 218

Gambar IV.10 Contoh diagram operasional kadaster kelautan untuk


untuk kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan......... 219

Gambar IV.11 Peta rasio nelayan-panjang pantai dan pendapatan


nelayan............................................................................... 221

Gambar IV.12 Peta batas laut wilayah digunakan sebagai pengembangan


model optimisasi rasio lahan perikanan tangkap pada
ekosistem perairan laut Selat Madura................................. 221

xvii
Gambar IV.13 Visualisasi perbedaaan batas wilayah laut provinsi dan
kabupaten/kota di Selat Madura Provinsi Jawa Timur....... 225

Gambar IV.14 Peta lokasi Pulau Galang dan visualisasi penarikan garis
batas laut wilayah Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya.. 226

Gambar IV.15 Peta lokasi Blok Maleo masuk ke dalam batas laut
wilayah Kabupaten Sumenep.............................................. 227

Gambar IV.16 Peta lokasi eksplorasi minyak dan gas PT. Santos masuk
kedalam batas laut wilayah Kabupaten Sampang............... 228

Gambar IV.17 Peta wilayah administrasi Provinsi Maluku........................ 239

Gambar IV.18 Peta lokasi implementasi sasi di perairan laut kepulauan


Provinsi Maluku.................................................................. 240

Gambar IV.19 Foto batas petuanan laut berdasarkan garis imajiner dan
tanda batas buatan............................................................... 242

Gambar IV.20 Diagram korelasi Subjek kadaster kelautan, objek


kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.1
Tahun 2014 serta pola, ruang dan waktu kegiatan
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.......................... 247

Gambar IV.21 Diagram Korelasi Subjek kadaster kelautan, objek


kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.32
Tahun 2014 serta pola, ruang dan waktu kegiatan
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut......................... 251

Gambar IV.22 Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan


ditempatkan di dalam asas Undang-Undang Kelautan....... 255

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Penelitian Kadaster Kelautan di Negara lain......................... 14

Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia............................ 16

Tabel II.3 Perbandingan Penelitian Kadaster Kelautan di Selat


Madura antara BRKP dan Disertasi...................................... 21

Tabel II.4 Komposisi Kepemilikan Tanah di Australia......................... 32

Tabel II.5 Distribusi Kepemilikan Tanah Aborigin di Australia........... 33

Tabel II.6 Peruntukan Tanah di Australia.............................................. 34

Tabel II.7 Sistem Kadaster Pertanahan di Kanada................................. 38

Tabel II.8 Unsur-unsur Pembentuk Definisi Kadaster FIG 1995........... 45

Tabel II.9 Perbedaan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster


Kelautan................................................................................. 48

Tabel II.10 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster


Kelautan di Australia............................................................. 49

Tabel II.11 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster


Kelautan di Kanada............................................................... 50

Tabel II.12 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster


Kelautan di Amerika.............................................................. 51
Tabel II.13 Perbandingan Bentuk Negara, Sistem Pemerintahan,
Bentuk Pemerintahan, Karakteristik dan Sistem Kadaster
Pertanahan di Australia, Kanada, Amerika dan Indonesia.... 53

Tabel II.14 Perbandingan Konsep Marine Cadastre di dalam Konteks


Negara Kesatuan dan Negara Federal................................... 54

Tabel II.15 Perbandingan Konsep Marine Cadastre di dalam Konteks


Negara Kepulauan dan Negara Pantai................................... 55

Tabel II.16 Daftar Penggunaan Wilayah Tanah dan Laut Adat di


Australia................................................................................ 62

Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut............................ 75

xix
Tabel II.18 Sistem Referensi Geospasial yang digunakan oleh Sektor
Perikanan, Pertambangan, Perhubungan dan Otonomi 88
Daerah....................................................................................
Tabel III.1 Luas Perairan Jawa Timur..................................................... 108

Tabel III.2 Struktur UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan........... 120

Tabel III.3 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan Berdasarkan


Unsur-unsur Pembentuk Definisi......................................... 129

Tabel III.4 Identifikasi dan Inventarisasi Unsur-unsur Utama dari


Definisi-definisi Kadaster Kelautan...................................... 134

Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan


terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di
Indonesia sebagai Negara Kepulauan.................................... 137

Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster


Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam
Perspektif Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan
Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan....................... 142

Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia


terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan ... 153

Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada


terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan .... 157

Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika


terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan..... 162

Tabel III.10 Hasil Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di


Australia, Kanada dan Amerika terhadap Karakteristik
NKRI sebagai Negara Kepulauan......................................... 166

Tabel III.11 Sistem Referensi Geospasial yang digunakan pada Peta


LPI, Peta LLN dan Peta Laut Dishidros................................ 185

Tabel III.12 Inventarisasi Kegiatan dan Pemanfaatan Sumber Daya


Wilayah Pesisir dan Laut di dalam UU RI No.1 Tahun
2014 sebagai Objek Kadaster Kelautan di Indonesia............ 193

Tabel III.13 Inventarisasi Pemanfaatan dan Pengusahaan Sumber Daya


Kelautan di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 sebagai
Objek Kadaster Kelautan di Indonesia................................. 194

Tabel IV.1 Operasional Kadaster Kelautan terhadap Kewenangan


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam
Pengelolaan Sumber Daya Kelautan..................................... 214

xx
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster
Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Laut di Selat Madura Provinsi Jawa Timur........ 233

Tabel IV.3 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Kegiatan


Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Pesisir dan Perairan
Pulau-pulau Kecil.................................................................. 248

Tabel IV.4 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Pemanfaatan


Pulau-pulau Kecil dan Perairan disekitarnya........................ 248

Tabel IV.5 Korelasi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Perairan


Pesisir dan Perairan Pulau-pulau Kecil yang Wajib
Memiliki Izin Pengelolaan dengan Pola, Ruang dan Waktu
Kegiatan................................................................................. 249

Tabel IV.6 Korelasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan


disekitarnya dengan Pola, Ruang dan Waktu Kegiatan......... 250

Tabel IV.7 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Pemanfaatan


Sumber Daya Kelautan.......................................................... 252

Tabel IV.8 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Pengusahaan


Sumber Daya Kelautan.......................................................... 252

Tabel IV.9 Korelasi Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dengan Pola,


Ruang dan Waktu Kegiatan................................................... 253

Tabel IV.10 Korelasi Pengusahaan Sumber Daya Kelautan dengan Pola,


Ruang dan Waktu Kegiatan................................................... 253

xxi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian


pertama kali
pada halaman

ACT Australian Capital Territory 31

AL Angkatan Laut 86

AMSIS Australian Marine Spatial Information System 59

APBS Alur Pelayaran Barat Surabaya 179

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 203

ARC The Australian Research Council 56

ASDI Australia Spatial Data Infrastructure 57

AS Amerika Serikat 40

AHP Analytic Hierarchy Process 21

Bakamla Badan Keamanan Laut 86

Bakorkamla Badan Koordinasi Keamanan Laut 86

Bakosurtanal Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan 108


Nasional

BIG Badan Informasi Geospasial 108

BPS Badan Pusat Statistik 4

BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan 239


Pembangunan

BRKP Badan Riset Kelautan dan Perikanan 21

CGDI Canadian Geospastial Data Infrastructure 62

COINAtlantic The Coastal and Ocean Information Network 64


for Atlantic Canada

CSC The Coastal Services Centre 66

CSR Corporate Social Responsibility 228

xxii
CZMA Coastal Zone Management Act 69

DBH Dana Bagi Hasil 175

Dephut Departemen Kehutanan 86

DGN Datum Geodesi Nasional 88

Dishidros Dinas Hidro Oseanografi 185

DKP Departemen Kelautan dan Perikanan 85

DPR Dewan Perwakilan Rakyat 178

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 175

ESDM Energi Sumber Daya Mineral 126

FGDC Federal Geographic Data Committee’s 68

FIG International Federation of Surveyors 44

GBRMP Great Barrier Reef Marin Park 59

GDA Geocentric Datum of Australia 140

GIS Geographic Information System 67

HBC Hudson’s Bay Company 36

HP3 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir 87

Hubla Perhubungan laut 179

IGD Informasi Geospasial Dasar 184

IHCS Indonesian Human Rights Committe for 178


Social Justice

Inpres Instruksi presiden 78

IUP Izin Usaha Pertambangan 178

IUPK Izin Usaha Pertambangan Khusus 178

JATAM Jaringan Advokasi Tambang 178

Kemenko Kementerian koordinator 261

Kepmen Keputusan menteri 80

xxiii
Keppres Keputusan presiden 78

KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan 107

KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi 72


Daerah

LAT Lowest Astronomical Tide 140

LNT Lowest Normal Tide 140

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat 178

LLN Lingkungan Laut Nasional 92

LLWLT Lower Low Water Large Tide 140

LPI Lingkungan Pantai Indonesia 92

LWM Low Water Mark 140

LWS Low Water Spring 88

MA Mahkamah Agung 176

MBWG Marine Boundary Working Group 68

MGDI Marine Geospatial Data Infrastructure 62

MLLW Mean Lower Low Water 140

MLWS Mean Low Water Spring 88

MMS Mineral Management Service 68

MPA Marine Protected Areas 68

MSL Mean Sea Level 88

NAD North American Datum 140

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia 2

NOAA National Oceanic and Atmospheric 6


Administration

NSW New South Wales 31

NT Northern Territory 31

xxiv
OCS Outer Continental Shelf 140

OPIS Ocean Planning Information System 66

ORF On Shore Receiving Facility 180

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa 36

Pelindo Pelabuhan Indonesia 114

Permen Peraturan menteri 78

Perpres Peraturan presiden 78

Perum Perusahaan umum 76

Persero Perusahaan perseroan 76

PLN Perusahaan Listrik Negara 179

PN Perikanan Negara 77

PP Peraturan Pemerintah 43

PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil 86

PT Perseroan Terbatas 76

QLD Queensland 31

RAPWP3K Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir 189


dan Pulau-pulau Kecil

RBI Peta Rupa Bumi Indonesia 188

RI Republik Indonesia 2

RPWP3K Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan 189


Pulau-pulau Kecil

RSWP3K Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau- 214


pulau Kecil

RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah 214

RZWP3K Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- 23


pulau Kecil

SA South Australia 31

xxv
SDA Sumber Daya Alam 77

SDI Spatial Data Infrastructure 15

SIKPI Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan 219

SIPI Surat Izin Penangkapan Ikan 219

SIUP Surat Izin Usaha Perikanan 219

SRGI Sistem Referensi Geospasial Indonesia 185

TEV Total Economic Value 18

TNI Tentara Nasional Indonesia 4

TAS Tasmania 31
United Nations Convention on the Law of the
UNCLOS 52
Sea
U.S DOC United States Departemen of Communication 6

UTM Universal Transverse Mercator 88

UU Undang-undang 2

UUD Undang Undang Dasar 2

UUPA Undang-Undang Pokok Agraria 17

VIC Victoria 31

WA Westren Australia 31

Walhi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 178

WGS World Geodetic System 88

ZEE Zona Ekonomi Eksklusif 1

xxvi
LAMBANG Nama Pemakaian
pertama kali
pada halaman

C Fungsi Kendala 98

V Variabel 98

Z Fungsi Tujuan 98

xxvii
Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki potensi fisik dan geografis sumber
daya alam yang jauh lebih baik daripada negara-negara lain. Sebagai negara yang
beriklim tropis, Indonesia merupakan negara yang sangat subur, dipenuhi oleh
berbagai spesies unik dan varietas tumbuhan yang beraneka ragam. Letak
Indonesia yang berada di jalur cincin api Pasifik menyebabkan Indonesia kaya
akan mineral logam seperti emas, perak, tembaga dan nikel, batubara, minyak
serta energi panas bumi yang sangat besar.

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memiliki wilayah laut


seluas 3.374.668 km2 yang lebih luas dari wilayah darat yang hanya 1.922.570
km2, 13.466 pulau dan garis pantai sepanjang 99.093 km (Badan Informasi
Geospasial, 2013) menjadikan Indonesia memiliki sumber daya alam laut yang
lebih banyak dibandingkan dengan sumber daya alam di darat. Kondisi potensi
sumber daya laut ini dipandang sebagai peluang Indonesia sebagai negara
berkembang untuk membangun keunggulan berbasiskan sumber daya pesisir dan
laut.

Beberapa permasalahan yang timbul sebagai negara kepulauan tentunya tidak


terlepas dari konflik atau masalah yang timbul baik dari dalam negeri sendiri
maupun dari luar, misalnya dengan negara-negara tetangga yang terkait dengan
batas wilayah. Saat ini penetapan batas wilayah laut Indonesia dengan 10
(sepuluh) negara tetangga masih banyak yang belum tuntas. Sementara dengan
negara-negara tetangga lainnya penetapannya sebatas landas kontinen dan
sebagian batas-batas laut teritorial serta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kondisi
semacam ini sering menimbulkan konflik wilayah laut antara Indonesia dengan
negara-negara tetangga. Konflik yang terjadi akan menimbulkan ketidakstabilan
dan mengganggu pembangunan perekonomian di wilayah tersebut.

1
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945
Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang. Pasal 25 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah
dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Kedua pasal
di atas menegaskan bahwa tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota memiliki batas-
batas beserta hak yang harus ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Untuk penetapan hak diatur dalam UU RI No.27 Tahun 2007 diamandemen UU


RI No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sedangkan untuk penetapan batas-batas daerah secara normatif diatur dalam UU
RI No.22 Tahun 1999 diamandemen UU RI No.32 Tahun 2004 kemudian
diamandemen lagi oleh UU RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan diterbitkan Undang Undang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat


memberikan kewenangan atau otoritas kepada daerah tidak hanya sebatas urusan
pemerintahan semata, akan tetapi diberikan pula dalam hal pemanfaatan dan
pengelolaan kekayaan sumberdaya yang dimiliki, termasuk sumberdaya kelautan.
UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti oleh UU RI
No.32 Tahun 2004, dimana undang-undang tersebut semakin mempertegas dan
memperluas lingkup kewenangan daerah di dalam mengelola sumber daya
kelautan. Wilayah laut di Indonesia dikelola oleh beberapa pemerintah daerah
yang memiliki batas kewenangan wilayah laut daerah paling jauh 12 mil laut dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi,
dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

Implementasi dari undang-undang ini ternyata belum dapat diwujudkan oleh tiap-
tiap provinsi dan kabupaten/kota yang terletak di wilayah pesisir dan laut
Indonesia. Implikasi dari batas laut yang belum ditetapkan adalah terjadi tumpang
tindih klaim (overlapping claim) wilayah laut yang akan memicu konflik sengketa
batas wilayah laut antara pusat dan daerah (provinsi, kabupaten/kota), maupun
antar pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), seperti persoalan batas laut

2
antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Provinsi Jawa Tengah,
penentuan batas laut Kabupaten Pasuruan dengan Kabupaten Bangkalan atau
masalah Blok Maleo yang diperebutkan pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan
pemerintah daerah Kabupaten Sumenep terkait bagi hasil eksplorasi migas yang
berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran di wilayah pesisir dan laut.

Pada tahun 2014 UU RI No.32 Tahun 2004 diamandemen oleh UU RI No.23


Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Terjadi perubahan yang sangat
signifikan mengenai fungsi batas wilayah laut daerah kabupaten/kota yang semula
berfungsi sebagai batas acuan penyelenggaraan kewenangan, kini hanya sebagai
batas acuan bagi hasil sumber daya kelautan dimana kewenangan bidang kelautan
sejauh 12 mil laut berada pada daerah provinsi. Hingga saat ini penentuan dan
penegasan batas laut wilayah secara operasional masih diatur di dalam
Permendagri No.76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
amandemen dari Permendagri No.1 Tahun 2006.

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
berbasis pada sistem otonomi daerah ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi
karena jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia berjumlah 497
kabupaten/kota, 324 kabupaten/kota memiliki wilayah pesisir (Kemendagri,
2010). Setiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan
lainnya sehingga berbeda pula cara untuk mengelola wilayah pesisir tersebut
(Kusumastanto, 2006). Oleh karena itu kebijakan dan instrumen kelembagaan
yang dirumuskan pun tidak akan sama. Hal ini akan berpengaruh dalam
penyediaan data, informasi dan kebijakan mengenai pengelolaan wilayah pesisir
dan laut di masing-masing daerah akan berbeda.

Selain dikelola oleh daerah, sumber daya laut nasional dikelola pula secara
sektoral. Informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi dalam penelitian ini
menyatakan bahwa terdapat sekitar 12 kementerian yang terlibat dalam
pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia, yakni: Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, Kementerian Budaya dan
Pariwisata, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian

3
Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian
Pertanian, Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Kementerian Pekerjaan
Umum. Jika masing-masing kementerian/sektor tersebut memiliki sistem dan
kebijakan yang berdiri sendiri (tidak terintegrasi), cara pandang dan tujuan
pengelolaan yang berbeda serta tidak terarah (dikelola tanpa perencanaan bersama
yang jelas) maka akan menyebabkan batas-batas kegiatan pengelolaan dan
pemanfaatan ruang laut yang saling tumpang tindih, misalnya ruang laut untuk
budidaya ikan tumpang tindih dengan alur pelayaran sehingga menyebabkan
terganggunya hasil pendapatan budidaya ikan, atau ruang laut untuk penangkapan
ikan tumpang tindih dengan ruang laut untuk latihan perang TNI Angkatan Laut
sehingga terganggu pendapatan nelayan dalam memperoleh ikan. Belum adanya
kepastian batas-batas kegiatan di wilayah laut akan menyebabkan kegiatan
perekonomian kelautan seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
bioteknologi, pariwisata bahari, transportasi laut, konservasi, eksplorasi dan
eksploitasi akan terganggu.

Dari aspek kebudayaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai


negara kepulauan memiliki etnik multikultural. Terdapat sekitar 10.640 desa
(lebih dari 14%) dari jumlah desa di Indonesia (69.249 desa, BPS 2012)
merupakan desa pesisir dengan luas 35.949.021,30ha atau 19% dari luas
keseluruhan desa-desa di Indonesia. Sekitar 92% desa pesisir di wilayah timur
Indonesia adalah desa adat yang mempraktikkan pengelolaan sumber daya alam
berbasis budaya lokal (Grand Design Pembangunan Desa, 2009) dimana
penyelenggaraan pengelolaan laut di wilayah Indonesia bagian timur lebih sering
dihadapkan pada eksistensi pengelolaan laut secara adat (ulayat laut).

Persoalan yang terjadi adalah adanya eksklusifitas wilayah ulayat laut yang batas-
batasnya ditentukan berdasarkan peraturan adat yang berlaku di wilayah tersebut.
Sebagai contoh di Pulau Haruku (Desa Haruku) Provinsi Maluku, batas-batas
ulayat laut antar desa ditentukan berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari batas
darat lurus ke arah laut, sedangkan untuk menentukan batas ulayat laut desa
dengan laut milik umum (public property) atau laut milik bersama (common
property) adalah garis imajiner yang berada antara laut dangkal dan laut dalam
(Hammar, 2009). Garis imajiner yang ditetapkan secara adat dengan metode

4
sederhana dan tidak memiliki informasi berupa titik-titik koordinat sehingga
batas-batas tersebut bersifat relatif, dapat berubah dan sulit direkonstruksi.
Implikasi penetapan batas laut dapat menimbulkan konflik batas ulayat antar desa
adat, konflik batas ulayat laut desa dengan pihak luar, maupun konflik batas
ulayat laut dengan batas kewenangan laut daerah. Persoalan adat dan kearifan
lokal tidak dapat dihindari karena adat dan kearifan lokal merupakan bagian dari
sistem kebudayaan di Indonesia.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pengelolaan pesisir dan laut


di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem otonomi daerah, sistem sektoral
maupun sistem adat. Kondisi ini merupakan salah satu implikasi Indonesia
sebagai negara kepulauan. Diterbitkannya UU RI No.32 Tahun 2014 tentang
Kelautan merupakan langkah maju dalam pengelolaan sumber daya kelautan yang
selama ini dikelola berdasarkan undang-undang sektoral maupun peraturan
daerah. Undang-undang Kelautan ini membahas mengenai Penyelenggaraan
Kelautan Indonesia yang meliputi: a) Wilayah Laut, b) Pembangunan Kelautan, c)
Pengelolaan Kelautan, d) Pengembangan Kelautan, e) Pengelolaan ruang laut dan
pelindungan lingkungan laut, f) Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan
Keselamatan di Laut, dan g) Tata Kelola dan Kelembagaan.

Langkah awal yang digunakan di dalam penelitian ini dalam membahas


penyelenggaraan kelautan di Indonesia, adalah dengan melakukan perbandingan
penyelenggaraan kelautan melalui definisi kadaster kelautan yang ada di negara-
negara maju non-kepulauan seperti Australia, Kanada, dan Amerika.

Di Australia pada tahun 1999, Hoogsteden, Robertson, dan Benwell merumuskan


definisi marine cadastre sebagai berikut: marine cadastre is a system to enable
the boundaries of maritime rights and interests to be recorded, spatially managed
and physically defined in relationship to the boundaries of other neighbouring or
underlying rights and interests. Kemudian pada tahun 2004 Andrew Binns
merumuskan definisi marine cadastre is a spatial boundary management tool
which describes, visualises and realises legally defined boundaries and associated
rights, restrictions and responsibilities in the marine environment. Kadaster
kelautan di Australia digunakan untuk mewujudkan Australia’s Marine

5
Management System yang pada saat itu digunakan untuk mengatur kegiatan oil
and gas sector, fisheries, aquaculture, shipping, conservation, marine heritage,
cable and pipelines, coastal zone. Konsep kadaster kelautan di Australia sudah
diterapkan dibeberapa negara bagian seperti di Queensland dan Victoria.

Di Kanada pada tahun 2000 menyelenggarakan kegiatan Good Governance of


Canada’s Oceans untuk menyelesaikan masalah batas sebagai langkah awal
mewujudkan pengelolaan laut yang efektif dan adil. Marine cadastre
didefinisikan oleh Nichols, Monahan dan Sutherland sebagai berikut: a marine
cadastre is a marine information system, encompassing both the nature anda
spatial extent of the interests and property rights, with respect to ownership and
various rights and responsibilities in the marine jurisdiction.

Tahun 2002 United States Departemen of Communication (U.S DOC)-National


Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) merumuskan definisi marine
cadastre sebagai berikut: The U.S Marine Cadastre is an information system,
encompassing both nature and spatial extent of interests in property, value and
use of marine areas. Marine or maritime boundaries share a common element
with their land-based counterparts in that, in order to map a boundary, one must
adequately interpret the relevant law and its spatial context. Marine boundaries
are delimited, not demarcated, and generally there is no physical evidence of the
boundary.

Definisi-definisi kadaster kelautan dari negara-negara pantai non-kepulauan


(coastal state) bersifat internasional/global dan sudah diakui serta dijadikan
referensi oleh beberapa negara di dunia. Bagaimana definisi kadaster kelautan
untuk negara-negara kepulauan (archipelagic state)? Berdasarkan hasil studi
pustaka yang sudah dilakukan, bahwa Selandia Baru (New Zealand) sebagai
negara kepulauan pun masih menggunakan definisi kadaster kelautan dari
Australia sebagai negara non-kepulauan yang dirumuskan oleh Hoogsteden,
Robertson, dan Benwell pada tahun 1999.

Berdasarkan penjelasan tersebut, kadaster kelautan di luar negeri sudah dijalankan


melalui definisi kadaster kelautan yang dibangun oleh negara-negara non-
kepulauan (Australia, Kanada dan Amerika).

6
Perkembangan penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara
kepulauan dibagi menjadi 2 (dua) periode yakni:

1. Sebelum diberlakukan UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan

Konsep kadaster kelautan di Indonesia masih merupakan konsep baru, karena


selama ini pembangunan di Indonesia sebagian besar diprioritaskan di wilayah
darat, sedangkan negara kepulauan Indonesia memiliki wilayah laut yang lebih
luas dari wilayah darat. Kondisi ini dibuktikan bahwa sejak Indonesia merdeka
hingga sebelum diterbitkan UU RI No.32 Tahun 2014, Indonesia belum memiliki
undang-undang khusus kelautan. Penyelenggaraan pengelolaan sumber daya
kelautan pada saat itu hanya mengacu pada UUD RI Tahun 1945 Pasal 33 (3):
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; dan UU RI
No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
UU RI No.27 Tahun 2007 sama sekali tidak membahas konsep pembangunan
kelautan nasional.

Penelitian-penelitian di Indonesia yang berkaitan dengan kadaster kelautan,


sebagian besar mengadopsi definisi kadaster kelautan dari Australia, Kanada dan
Amerika. Hanya sebagian kecil penelitian yang mengeluarkan statement/definisi
kadaster kelautan, yakni penelitian yang dilakukan oleh Rais tahun 2002 yang
mendefinisikan Kadaster Kelautan adalah penerapan prinsip-prinsip kadaster di
wilayah laut, yaitu mencatat penggunaan ruang laut oleh aktifitas masyarakat dan
pemerintah, ruang laut yang dilindungi, dikonservasi, taman nasional, taman
suaka margasatwa, dan sebagainya, dan penggunaan ruang laut oleh komunitas
adat.

Tamtomo tahun 2006 mendefinisikan kadaster kelautan adalah sistem


penyelenggaraan administrasi publik yang mengelola dokumen legal dan
administratif, baik yang bersifat spasial maupun tekstual, mengenai kepentingan
berupa hak, kewajiban dan batasannya, termasuk catatan mengenai nilai, pajak,
serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang ada dan berkaitan dengan
penguasaan dan pemanfaatan ruang perairan pesisir dan laut. Definisi kadaster
kelautan dari Rais (2002) sudah memasukkan unsur komunitas adat sebagai salah

7
satu karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan. Definisi kadaster kelautan
dari Tamtomo (2006) lebih bersifat umum. Kedua definisi kadaster kelautan di
atas belum mengeksplisitkan secara tegas karakteristik Indonesia sebagai negara
kepulauan dan tentunya belum ditempatkan di dalam UU RI No. 32 Tahun 2014
tentang Kelautan.

2. Setelah diberlakukan UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan

UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan diundangkan pada bulan Oktober


tahun 2014 setelah diundangkan UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai amandemen UU RI No.27 Tahun
2007, dan UU RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
amandemen UU RI No.32 Tahun 2004.

UU RI No. 32 Tahun 2014 merupakan undang-undang pertama yang membahas


mengenai penyelenggaraan kelautan Indonesia. Undang-Undang Kelautan ini
menutupi kelemahan UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, dan UU RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kendala di UU RI No. 1 Tahun 2014 adalah tetap tidak memunculkan konsep
pembangunan kelautan nasional. Undang-undang ini membahas mengenai
perubahan pasal-pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan mulai
memberlakukan Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan untuk kegiatan pemanfaatan
sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.

Kendala di UU RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah urusan


kelautan termasuk pada urusan pemerintahan konkuren-pilihan yaitu urusan
pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota yang wajib diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi
yang dimiliki daerah. Namun undang-undang ini tidak membahas mengenai
konsep pembangunan kelautan untuk pemerintah daerah, sehingga daerah-daerah
yang memiliki wilayah pesisir (324 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota di
Indonesia memiliki wilayah pesisir) mengalami kesulitan untuk
menyelenggarakan kewajiban ini.
UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan sesungguhnya membahas mengenai
konsep Pemerintahan di Laut (Ocean Government) melalui Penyelenggaraan

8
Kelautan Indonesia dan Kebijakan Pembangunan Kelautan. Pemerintahan di laut
digunakan untuk mengatasi urusan pemerintahan konkuren-pilihan tersebut.
Pemerintahan di laut di dalam penelitian ini didefinisikan sebagai segala kegiatan
badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif
dalam usaha mencapai tujuan negara yakni mewujudkan kedaulatan di laut.

Kadaster kelautan merupakan bagian dari pemerintahan di laut, yakni sebagai


sistem untuk menjalankan pemerintahan di laut dalam menentukan batas-batas di
laut, hak/izin, dan kewajiban terkait kegiatan-kegiatan pengelolaan di laut sebagai
salah satu bentuk pelaksanaan UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU RI No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Oleh
karena itu diperlukan penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai
negara kepulauan.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka perumusan masalah di dalam


penelitian ini adalah bagaimana pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia sebagai negara kepulauan yang ditempatkan dalam kebijakan
pemerintah?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah membangun model pola penyelenggaraan kadaster


kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan yang
ditempatkan dalam kebijakan pemerintah untuk mewujudkan asas-asas di dalam
Undang-Undang Kelautan, yakni keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan,
kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan,
desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan.

9
I.4 Kemanfaatan Penelitian

Kemanfaatan penelitian dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek, yaitu:

1. Aspek Keilmuan, yakni memberikan kontribusi sebagai bentuk kedaulatan


ilmu, pengetahuan dan teknologi dalam merumuskan definisi kadaster
kelautan yang sesuai dengan karakteristik Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai Negara Kepulauan ditempatkan di dalam perspektif ilmu
kebijakan (policy sciences) dalam mewujudkan pemerintahan di laut (ocean
government).

2. Aspek kerekayasaan, yakni memberikan kontribusi terhadap kegiatan-


kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan berbasis asas keberlanjutan,
konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran
serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan.

I.5 Asumsi

Terdapat 3 (tiga) asumsi yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu:

1. Objek materi yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di laut dalam rentang


waktu yang relatif lama diasumsikan tetap.
2. Kegiatan-kegiatan di laut yang telah ada tidak dihilangkan (berlaku dalam
waktu yang lama).
3. Unsur-unsur kementerian terkait perundangan yang digunakan di dalam
penelitian diasumsikan tidak mengalami perubahan (yudicial review).

I.6 Hipotesis Kerja

Hipotesis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahwa Undang Undang
Kelautan dapat digunakan untuk membangun model pola penyelenggaraan
kadasater kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara
kepulauan.

I.7 Alur Pikir Penelitian

Latar belakang penelitian di atas ditransformasikan ke dalam bentuk skematik


ditunjukkan pada Gambar I.1.

10
Gambar I.1 Skema alur pikir penelitian
11
I.8 Sistematika Penulisan Disertasi

Penelitian disertasi ini disusun menjadi 5 (lima) bab pokok bahasan, yakni:

Bab I Pendahuluan

Bab pertama berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan


penelitian, kemanfaatan penelitian, asumsi penelitian, hipotesis kerja yang
digunakan, alur pikir penelitian dan sistematika penulisan naskah disertasi.

Bab II Studi Kepustakaan

Bab kedua berisi penelitian kadaster kelautan yang pernah dilakukan di Indonesia
maupun dari luar Indonesia, kebaharuan penelitian dan kedudukan penelitian,
serta keterkaitan teori-teori yang digunakan di dalam penelitian disertasi ini.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ketiga berisi deskripsi wilayah studi penelitian, pendekatan penelitian dan
metodologi penelitian yang digunakan untuk membangun pola penyelenggaraan
kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan. Metodologi penelitian
menggunakan pendekatan sistem manufaktur yang terdiri dari masukan (input)-
proses (process)-luaran (output). Terdiri dari 4 (empat) tahap dalam membangun
pola penyelenggaraan kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara
kepulauan yakni: (1) melakukan kajian definisi-definisi kadaster kelautan dari
negara-negara non-kepulauan, (2) membangun definisi kadaster kelautan untuk
Indonesia sebagai negara kepulauan, (3) mengimplementasikan definisi kadaster
kelautan yang telah dirumuskan ke dalam wilayah studi penelitian, (4)
membangun model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai
negara kepulauan.

Bab IV Hasil dan Analisis

Bab keempat berisi hasil-hasil penelitian berdasarkan tahapan penelitian yang


dilakukan, diperoleh: (1) Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia (tahap perencanaan, tahap pemanfaatan dan tahap pengawasan) sebagai
acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan di
laut; (2) Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai wujud kedaulatan

12
ilmu, pengetahuan dan teknologi dalam merumuskan definisi kadaster kelautan
yang sesuai dengan karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan; (3) Peta batas
laut wilayah kabupaten/kota sebagai dasar rumusan penyelesaian permasalahan
batas laut wilayah di perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur; (4) Diagram
konsep pengelolaan sumber daya kelautan terpadu sebagai dasar rumusan
penyelesaian permasalahan pengelolaan sumber daya kelautan antar sektor, antara
pusat dan daerah, antar pemerintah daerah, dan antar pemangku kepentingan; (5)
Peta Kadaster Kelautan Indonesia sebagai acuan dasar pengurusan dan penerbitan
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan di wilayah pesisir dan laut Indonesia.

Bab ini juga menjelaskan analisis dari hasil penelitian, yaitu: (1) Analisis Definisi
Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam Policy Sciences, (2)
Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam
Persoalan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan di Indonesia sebagai Negara
Kepulauan, (3) Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan
ditempatkan di dalam One Map Policy, (4) Analisis Model Pola Penyelenggaraan
Kadaster Kelautan terhadap Aspek Penyelenggaraan Tata Ruang Laut, (5)
Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan Menggunakan Asas-
asas pada Undang Undang Kelautan, (6) Analisis Tata Kelola dan Kelembagaan
Kadaster Kelautan di Indonesia

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab terakhir ini disampaikan kesimpulan yang dirangkum berdasarkan hasil
kajian dan analisis. Hal-hal yang masih dapat dikembangkan dan ditindaklanjuti
dari penelitian ini disampaikan melalui sub-bab saran.

13
Bab II Studi Kepustakaan

Bab ini berisi mengenai penelitian-penelitian terkait konsep dan implementasi


kadaster kelautan di negara-negara lain maupun negara Indonesia, serta beberapa
konsep dan teori yang digunakan di dalam penelitian ini.

II.1 Penelitian Kadaster Kelautan di Negara-negara lain dan Negara


Indonesia di negara lain

Beberapa penelitian kadaster kelautan di luar negara Indonesia adalah sebagai


berikut:
Tabel II.1 Penelitian Kadaster Kelautan di Negara Lain

No Tahun Judul Penelitian Obyek Metode Variabel


dan Peneliti yang
diteliti
1 2001 Towards a Konsep Kualitatif Pemerintah,
Multidimensional Penataan Lingkungan Laut,
Marine Cadastre Laut di Kegiatan di laut,
in Support of Kanada Teknologi
Good Ocean Pemetaan Laut,
Governance Infrastruktur Data
(Ng‟ang‟a, S., Spasial
Nichols, S.,
Sutherland, M.
dan Cockburn, S)
2 2003 Issues in The Penataan Kualitatif Batas-batas Laut
Development of a Laut di dan Studi Wilayah,
Marine Cadastre Queens- Kasus Stakeholder,
(Fraser, R., Todd, land dan Infrastuktur Data
P., dan Philip) Victoria, Spasial, Right,
Australia Restriction,
Responsibility
3 2003 Ocean Konsep Kualitatif Pemerintah,
Governance and dan dan Studi Hukum Laut,
The Marine Penataan Kasus Stakeholder
Cadastre: The Laut di Kegiatan di laut,
Netherlands Laut Utara Batas-batas Laut,
North Sea Belanda Sistem Informasi
(Barry, M.,
Elema, I., dan
Molen, P.)

14
Tabel II.1 Penelitian Sejenis di Negara Lain (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek Metode Variabel
dan Peneliti
4 2004 Defining a Konsep Kualitatif Prinsip Kadaster,
Marine Cadastre: Kadaster Hukum Laut,
Legal and Kelautan Stakeholder,
Institutional di Kegiatan di laut
Aspects Australia Batas-batas Laut,
(Binns, A.) Right, Restriction,
Responsibility,
Infrastuktur Data
Spasial
5 2010 Towards a Konsep Kualitatif Kadaster, Batas
Marine Cadastre Penataan dan Studi Laut Wilayah,
in Israel Laut di Kasus Coastal Zone
(Srebo, H., Israel Management,
Fabrikant, I., dan Hidrografi,
Marom, O.) Sistem Informasi
Geografis
6 2010 The Importance Konsep Kualitatif Land property,
of Marine Penataan Kadaster,
Cadastre for Laut di Coastal, Sea,
Turkey Turki Kegiatan di laut,
(Sesli, F.A., dan Peraturan
Uslu, G.) perundangan,
Definisi Kadaser
Kelautan di
Australia dan
Kanada
7 2010 Issues with Konsep Kualitatif Coastline area,
Building a Penataan legal and
Marine Cadastre Laut di institutional,
System in South Korea marine
Korea Selatan environment,
(Lee, H.S. dan Konsep Kadaster
Shin, D.) Kelautan di
Australia
8 2013 Implementation of Penataan Kualitatif Kadaster, Coastal
Marine Cadastre Laut di dan Studi zonemanagement,
in Israel Laut Kasus Coordinat Based
(Srebo, H.) Meditera- Cadastre (CBC),
nia Spatial Data
Infrastructure
(SDI)

15
Penelitian-penelitian pada Tabel II.1 memiliki kesamaan objek penelitian yakni
membahas mengenai konsep dan penataan laut. Delapan penelitian menunjukkan
sebagian besar kadaster kelautan merupakan sebuah konsep yang akan dibangun
untuk diimplementasikan di negara masing-masing. Penelitian yang dilakukan
oleh Haim Srebo, Itzhak Fabrikant, dan Orit Marom pada tahun 2010 di Israel,
Faik Ahmet Sesli dan Gul Uslu tahun 2010 di Turki, serta Hyun sook, Lee dan
Dong hyun shin tahun 2010 di Korea Selatan membahas mengenai pentingnya
membangun konsep kadaster kelautan. Artinya konsep kadaster kelautan pada saat
itu belum dibangun di negara-negara tersebut.

Berbeda dengan negara Israel, Turki dan Korea Selatan, konsep kadaster kelautan
di negara Australia dan Kanada sudah mulai dibangun. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Sam Ng‟Ang‟A, Sue Nichols, Michael
Sutherlan dan Sara Cockburn dari Kanada, dan penelitian yang dilakukan oleh
Andrew Binns dari Australia yang sudah mulai memperkenalkan definisi kadaster
kelautan. Konsep kadaster kelautan dari Australia dan Kanada banyak dijadikan
referensi oleh berbagai pihak dan peneliti dari negara-negara lain untuk menata
pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di negaranya masing-masing.

Beberapa penelitian kadaster kelautan di Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia

No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel


dan Peneliti diteliti
1 2003 Marine Cadastre Konsep Kualitatif Penataan
di Indonesia. penataan Ruang,
Suatu Konsep ruang laut Kadaster,
Penataan Ruang Persil Laut,
Wilayah Laut Kadaster Laut,
(Rais, J.) Batas-batas di
laut, Kegiatan-
kegiatan di laut

16
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
2 2004 Pengelolaan Perbandingan Kualitatif, Kadaster,
Wilayah Laut sistem Studi UUPA,
Secara Terpadu pengelolaan Komparasi Pengelolaan,
dalam Perspektif wilayah laut Wilayah Laut,
Hukum di Indonesia Marine
(Chomariyah) dan Jepang Cadastre,
Kepastian
Hukum,
Kegiatan
Pengelolaan
Perikanan di
Jepang
3 2004 Model Membangun Kualitatif, Sistem,
Pengelolaan aplikasi Studi Sumber Daya
Wilayah Pesisir sistem kasus Wilayah
Kabupaten informasi Pesisir,
Berbasis Digital wilayah Informasi
(Studi kasus: pesisir Spasial,
Kabupaten kabupaten Otonomi
Cilacap Jawa Daerah
Tengah) (Kabupaten)
(Dartoyo)
4 2004 Relationship of Korelasi Kualitatif Marine
Marine Cadastre marine Cadastre,
and Marine spatial Marine Spatial
Spatial Planning planning dan Planning,
in Indonesia marine Coastal Zone
(Widodo) cadastre Management

5 2004 The Needs for Membangun Kualitatif Marine


Building Concept model konsep Cadastre,
and Authorizing sistem Coastal Zone
Implementation of pengelolaan Management,
Marine Cadastre laut di Coastal and
in Indonesia Indonesia Marine
(Tamtomo, J.P.) Resource
Management,
Land and
Ocean Policy

17
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
6 2004 Sebuah Pemikiran Konsep Kualitatif Penataan
Kadaster Laut penataan Ruang,
sebagai Langkah wilayah laut Ekosistem
Menuju Penataan Indonesia Laut, Nilai
Wilayah Laut Ekonomi dan
(Sulistiyo, B.) Lingkungan
Laut, Sosial
Budaya
Masyarakat
Pesisir dan
Pulau,
Administrasi
Laut
7 2005 Riset Kadaster Penentuan Analytic Sumber Daya
Laut Selat zonasi Hierarchy Laut,
Madura pemanfaatan Process Kegiatan-
(Pusat Riset di laut (AHP) dan kegiatan
Wilayah Laut dan Studi pemanfaatan di
Sumberdaya Non Kasus laut, Kadaster
Hayati, Badan Laut, Peraturan
Riset Kelautan Perundangan,
dan Perikanan) Kelembagaan
8 2006 Analisis Penataan dan Kualitatif, Pengelolaan
Kebijakan pemanfaatan Kuantitatif Sumberdaya
Pemanfaatan ruang pesisir , Total Pesisir dan
Ruang Pesisir dan dan laut Economic Laut, Analisis
Laut dalam Value Kebijakan
Kerangka (TEV), dan Publik (Aspek
“Marine Studi Legal dan
Cadastre” (Studi Kasus Kelembagaan),
Kasus di Wilayah Kadaster
Pulau Bintan, Kelautan,
Kabupaten Aspek
Kepulauan Riau) Ekonomi
(Tamtomo, J.P.) Sumber Daya
dan
Lingkungan
9 2006 Pemanfaatan Posisi dan Kualitatif Kadaster,
Survai dan batas-batas Kadaster laut,
Pemetaan Laut kegiatan di Aspek Legal,
untuk laut Institusional,
Menyongsong Suvei dan
Kadaster Laut Pemetaan Laut
(Yuwono)

18
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
10 2006 Kajian Pembuatan Kualitatif Kadaster,
Kemungkinan batas-batas dan Studi Kadaster Laut,
Penerapan fisik area Kasus Pertanian Laut,
Kadaster Laut pertanian di Batas area
untuk Pertanian laut pertanian laut
Laut di Indonesia
(Studi Kasus:
Pulau Seribu)
(Haryono dan
Narni)

11 2007 Kajian Kadaster Penentuan Analisis Sumber Daya


Laut Teluk zonasi spasial Laut,
Bungus pemanfaatan dan Studi Kegiatan-
(Pusat Riset di laut Kasus kegiatan
Wilayah Laut dan pemanfaatan di
Sumberdaya Non laut, Kadaster
Hayati, Badan Laut, Peraturan
Riset Kelautan Perundangan,
dan Perikanan) Kelembagaan
12 2008 The Study on the Konsep Kualitatif Kadaster,
Technical and kadaster Kadaster
Legal Aspect of kelautan di Kelautan,
Marine Cadastre Indonesia Aspek Hukum
in Indonesia dan Aspek
Toward Natural Teknis
Resources Kadaster
Preservation and Kelautan,
Sustainable Pembangunan
Development Berkelanjutan,
(Abdulharis, R., Otonomi
Djunarsjah, E. Daerah
dan Hernandi, A.)
13 2008 Stakeholder Aspek Kualitatif Marine
Analysis on kelembagaan Cadastre,
Implementation of penyelenggar Kegiatan-
Marine Cadastre aan kadaster kegiatan
in Indonesia kelautan di pemanfaatan di
(Abdulharis, R., Indonesia laut, Institusi-
Djunarsjah dan institusi
Hernandi, A.) penyelenggara
kadaster
kelautan

19
Tabel II.2 Penelitian Kadaster Kelautan di Indonesia (lanjutan)
No Tahun Judul Penelitian Obyek yang Metode Variabel
dan Peneliti diteliti
14 2009 Optimisasi Strategi Kualitatif, Kegiatan
Spasial Ratio pengelolaan Kuantitatif pemanfaatan
Lahan dalam sumber daya Optimisasi sumber daya
Pengelolaan wilayah Spasial, laut, Rasio
Sumber Daya pesisir dan Studi lahan,
Wilayah Pesisir Kasus Geodemogra-
secara fik, Asosiasi
Berkelanjutan geografikal,
(Wilayah Studi: Pembangunan
Pesisir Selat berkelanjutan
Madura-Jawa
Timur)
(Wisayantono,
D.)
15 2012 An Institutional Pengelolaan Kualitatif Marine
Analysis of laut secara dan Studi Cadastre,
Customary adat Kasus Penyelenggara
Marine Tenure in -an Laut Adat,
Maluku: Towards Aspek Hukum
Implementation dan Aspek
Marine Cadastre Kelembagaan
in Indonesia Kadaster
(Hernandi, A., Kelautan,
Abdulharis, R., Otonomi
Hendriatiningsih, Daerah
S. dan Mei Ling)
16 2014 Exploring the Konsep Kualitatif Marine
Possibility of sistem Information
Developing informasi System, Legal
Multipurpose kelautan yang Aspects,
Marine Cadastre terintegrasi Technical
in Indonesia Aspects,
(Hernandi, A., Institution
Abdulharis, R., Aspects.
Hendriatiningsih,
S. dan Saptari,
A.Y.)

20
Tabel II.2 menunjukkan sebagian besar penelitian di Indonesia masih dalam tahap
memperkenalkan konsep (sebuah pemikiran), tujuan dan manfaat kadaster
kelautan secara umum, yaitu pada penelitian Rais tahun 2003, Widodo tahun
2004, Tamtomo tahun 2004, Sulistiyo tahun 2004, Yuwono tahun 2006, dan
Haryono tahun 2006.

Beberapa penelitian kadaster kelautan yang lebih bersifat implementasi (case


study), adalah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) pada
tahun 2005 melakukan Riset Kadaster Laut di Selat Madura Provinsi Jawa Timur.
Perbandingan penelitian yang telah dilakukan oleh BRKP dengan penelitian
disertasi ini ditunjukkan pada Tabel II.13 dibawah ini.

Tabel II.3 Perbandingan Penelitian Kadaster Kelautan di Selat Madura antara


BRKP dan Disertasi

Kadaster Kelautan di Selat Madura Provinsi Jawa Timur


Unsur-unsur di
dalam Badan Riset Kelautan dan
Disertasi ini
penelitian Perikanan (BRKP) tahun
2005
Apa yang Menyusun suatu zonasi Membangun pola
diteliti pengelolaan wilayah pesisir penyelenggaraan kadaster
dan laut serta analisis spasial kelautan di Indonesia dalam
pemanfaatan laut. perspektif Indonesia sebagai
negara kepulauan.
Bagaimana 1. Menganalisis prioritas 1. Mengevaluasi definisi-
cara meneliti pemanfaatan laut secara definisi kadaster kelautan
kuantitatif dengan metode yang ada di dunia
AHP (Analytical internasional, yakni definisi
Hierarchy Process), kadaster kelautan dari
sebagai masukkan bagi Australia, Kanada dan
peta rencana pemanfaatan Amerika.
wilayah laut.
2. Merumuskan definisi
2. Mengkaji status regulasi kadaster kelautan untuk
yang berhubungan dengan Indonesia menggunakan
kegiatan pemanfaatan laut sintesis definisi-definisi
Selat Madura secara kadaster kelautan yang ada
deskriptif-kualitatif. ditempatkan di dalam
karakteristik NKRI sebagai
negara kepulauan.

21
Tabel II.3 Perbandingan Penelitian Kadaster Kelautan di Selat Madura antara
BRKP dan Disertasi (lanjutan)

3. Menggabungkan faktor- 3. Mengimplementasikan


faktor biotik, abiotik, definisi kadaster kelautan
sosial-kelembagaan, serta ke dalam wilayah studi
regulatif sebagai untuk menyelesaikan
masukkan terhadap peta permasalahan pengelolaan
prioritas pemanfaatan, sumber daya kelautan antar
secara deskriptif. sektor maupun antar
daerah.
4. Mengoperasionalkan
kadaster kelautan di
Indonesia sebagai negara
kepulauan menggunakan
konsep networked
government.
Hasil Zonasi beberapa kegiatan Definisi kadaster kelautan
pemanfaatan laut di Selat untuk Indonesia dan pola
penelitian
Madura. Penelitian ini tidak penyelenggaraan kadaster
membahas unsur batas kelautan untuk Indonesia
pengelolaan laut daerah sebagai negara kepulauan
(provinsi dan mulai tahap perencanaan,
kota/kabupaten) yang pemanfaatan dan
mengelilingi Selat Madura. pengawasan/pengendalian.
Kemanfaatan Membantu masyarakat Kadaster kelautan sebagai
penelitian dalam mengelola tatanan operasional sistem untuk
wilayah secara lebih membangun pengelolaan
terkendali dan dapat sumber daya kelautan terpadu
menjadi bahan antar sektor, pemerintah
pertimbangan bagi daerah dan masyarakat adat di
pemerintah daerah dalam dalam mewujudkan
merencanakan Pembangunan Kelautan
pembangunan di wilayah Indonesia.
laut yang bersangkutan.

Pada tahun 2007 Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menyelenggarakan
kegiatan sejenis di wilayah studi yang berbeda, yaitu di Teluk Bungus, merupakan
suatu kawasan perairan laut yang berada di Kota Padang, Provinsi Sumatera
Barat. Hasil penelitian merupakan zonasi pemanfaatan ruang laut berdasarkan
kaidah kadaster kelautan yang digunakan untuk membantu masyarakat dalam

22
mengelola tatanan wilayah secara lebih terkendali dan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan di
wilayah laut yang bersangkutan.

Penelitian kadaster kelautan yang dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan
Perikanan (BRKP) di lokasi Selat Madura Provinsi Jawa Timur pada tahun 2005
dan di Teluk Bungus Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2007 lebih berorientasi
pada kegiatan Pengelolaan Ruang Laut (Tata Ruang Laut). Kedua penelitian di
atas menggunakan pendekatan konsep dan definisi kadaster kelautan dari
Australia dalam upaya menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil (RZWP3K).

Penelitian lainnya yang bersifat case study adalah penelitian disertasi yang
dilakukan oleh Johanes P Tamtomo pada tahun 2006 yaitu membahas
implementasi kadaster kelautan yakni dengan membuat model analisis kebijakan
publik dalam kerangka kadaster kelautan yang ditinjau dari aspek legal dan
kelembagaan, serta dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Wilayah
studi dilakukan di Wilayah Bintan Kabupaten Kepulauan Riau.

Pada tahun 2008, Rizqi Abdulharis, Eka Djunarsjah dan Andri Hernandri
melakukan penelitian dengan judul Stakeholder Analysis on Implementation of
Marine Cadastre in Indonesia. Penelitian ini membahas mengenai stakeholders
kadaster kelautan di Indonesia yang berhubungan dengan implementasi UU RI
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dari aspek teknis dan aspek
hukum.

Pada tahun 2009, Dwi Wisayantono melakukan penelitian disertasi mengenai


pengembangan metode optimisasi spasial. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah
pesisir Selat Madura Provinsi Jawa Timur. Walaupun tidak membahas mengenai
kadaster kelautan, penelitian ini banyak memberikan gambaran mengenai kondisi
dan permasalahan di wilayah pesisir dan laut di Indonesia bagian barat yang
banyak melibatkan sektor perikanan, perhubungan, pertambangan, pertahanan dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Penelitian tersebut memberikan informasi
yang digunakan sebagai pendekatan dalam menentukan wilayah studi penelitian
ini.

23
Pada tahun 2012, Andri Hernandi, Rizqi Abdulharis, S.Hendriatiningsih, Marisa
Mei Ling mempublikasikan satu makalah dengan judul An Institutional Analysis
of Customary Marine Tenure in Maluku: Towards Implementation Marine
Cadastre in Indonesia. Penelitian tersebut membahas mengenai kelembagaan
penguasaan laut adat di Maluku terkait dengan kemungkinan penyelenggaraan
kadaster kelautan di Indonesia. Penelitian ini banyak memberikan gambaran
mengenai kondisi dan permasalahan di wilayah pesisir dan laut di Indonesia
bagian timur yang banyak ditemui eksistensi pemanfaatan laut secara adat.

II.2 Kebaharuan Penelitian

Terdapat 3 (tiga) hal yang diajukan sebagai unsur kebaharuan penelitian ini, yaitu:

1. Kebaharuan dalam pengembangan konsep kadaster kelautan untuk negara


kepulauan.

2. Kebaharuan dalam menetapkan definisi kadaster kelautan berdasarkan


kerakteristik wilayah pesisir dan laut Indonesia sebagai negara kepulauan
menggunakan pendekatan komparasi definisi-definisi kadaster kelautan yang
telah ada.

3. Kebaharuan dalam membangun pola penyelenggaraan kadaster kelautan di


Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagi negara kepulauan menggunakan
pendekatan ilmu kebijakan (policy sciences).

II.3 Kedudukan Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa pada


umumnya penelitian-penelitian tersebut masih dalam tahap merumuskan,
membangun dan mengembangkan konsep kadaster kelautan. Penelitian ini berdiri
di atas penelitian-penelitian sebelumnya baik yang dilakukan di negara-negara
non-kepulauan maupun di Indonesia sebagai pendekatan dalam membangun pola
penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia
sebagai negara kepulauan. Di dalam penelitian ini kadaster kelautan ditempatkan
di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

24
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Djunarsjah (2014) yaitu
mengenai 11 hal penting yang terkait dengan kadaster kelautan adalah:

1. Peran dan ruang lingkup


2. Penggunaan laut
3. Pengelolaan (wilayah pesisir dan laut terpadu)
4. Legislasi
5. Objek dan subjek
6. Pengelolaan batas
7. Perhatian publik (termasuk hukum adat)
8. Infrastuktur data spasial kelautan (marine spatial data infrastructure)
9. Data akses, sharing, standarisasi
10. Peta dasar
11. Pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan kapasitas (human
resource development and capacity building)

Pembahasan di dalam penelitian ini mencakup 8 (delapan) dari 11 (sebelas)


ketentuan. Unsur Infrastuktur data spasial kelautan; Data akses, sharing,
standarisasi; dan Pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan
kapasitas tidak dibahas secara mendetail pada penelitian ini.

Kedudukan penelitian ini pada roadmap penelitian Kelompok Pusat


Pengembangan Wilayah Pesisir dan Kelautan adalah merupakan continous
improvement dari penelitian disertasi Wisayantono tahun 2009 yang berjudul
Optimisasi Spasial Ratio Lahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir
secara Berkelanjutan (Wilayah Studi: Pesisir Selat Madura-Jawa Timur). Kondisi
dan permasalahan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut di Selat
Madura banyak melibatkan beberapa sektor/kementerian dan pemerintahan daerah
seperti yang diuraikan di dalam penelitian tersebut akan diselesaikan di dalam
disertasi ini dengan menggunakan konsep kadaster kelautan untuk Indonesia
sebagai negara kepulauan.

Kedudukan penelitian ini ditempatkan di dalam peraturan perundangan Republik


Indonesia adalah:

25
1. Sebagai operasional konsep/sistem untuk menjalankan Penyelenggaraan
Kelautan Indonesia pada Pasal 4(2) UU RI No.32 Tahun 2014 tentang
Kelautan.
2. Sebagai acuan dalam penerbitan Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan di wilayah
pesisir dan laut pada UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
3. Sebagai operasional konsep penentuan batas-batas laut wilayah di dalam
pengelolaan laut berbasis otonomi daerah pada UU RI No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.

UU RI No.32 Tahun 2014 Sistem untuk menjalankan


tentang Kelautan. Penyelenggaraan Kelautan
Indonesia.

UU RI No. 23 Tahun 2014 Penentuan batas-batas laut


tentang Pemerintahan Daerah wilayah di dalam pengelolaan
laut berbasis otonomi daerah.

UU RI No.1 Tahun 2014 Acuan dalam penerbitan Izin


tentang Pengelolaan Wilayah Lokasi dan Izin Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di wilayah pesisir dan laut.

Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan di Indonesia


dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan
(Wilayah studi: Selat Madura Provinsi Jawa Timur)

Kondisi dan permasalahan Menyelesaikan permasalahan


pemanfaatan sumber daya wilayah pemanfaatan sumber daya
pesisir dan laut secara sektoral dan wilayah pesisir dan laut
daerah di Selat Madura. secara sektoral dan daerah di
Selat Madura.
Disertasi Wisayantono, 2009:
Optimisasi Spasial Ratio Lahan
dalam Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir secara
Berkelanjutan (Wilayah Studi:
Pesisir Selat Madura-Jawa Timur)

Gambar II.1 Skema kedudukan penelitian

26
II.4 Hak Kepemilikan Tanah

Hak Milik merupakan dasar dari hak-hak lainnya, merupakan hukum yang kuat
dan sangat dilindungi oleh negara, salah satu jenis hak milik adalah hak
menguasai tanah. Hak menguasai tanah dalam konsep Anglo Saxon adalah semua
tanah adalah milik raja. Hak milik perorangan (berarti freeman, yaitu kepala
rumah tangga atau seseorang dari golongan bangsawan atau angkatan bersenjata)
hanya dapat mempunyai tanah atas kewenangan raja, oleh karena itu pemilik
tanah secara periodik wajib membayar upeti atau memberi jasa-jasa lain kepada
raja sebagai pemilik tanah secara mutlak.

Di negara-negara yang tidak lagi merupakan kerajaan tetapi masih menganut


konsep feodal (seperti Australia dan Kanada), maka hak kepemilikan atas tanah
yang tertinggi ada pada negara sebagai pengganti kedudukan raja. Walaupun
tanah tidak mungkin dimiliki rakyat, negara memberikan kebijakan terkait hak-
hak penguasaan tanah terdiri dari:

 Freehold, yakni penguasaan atas tanah secara penuh dalam jangka waktu
penguasaan tanahnya tidak ditetapkan/ tidak terbatas, termasuk hak untuk
mengalihkan tanah tersebut melalui pewarisan. Dahulu, tanah freehold
diperoleh dari raja kepada seseorang untuk jasa-jasa dibidang kemiliteran
(tenure in chilvalry) dan jasa-jasa non militer. Dengan statuta of tenure pada
tahun 1960, tenure in chilvalry dihapuskan, sehingga semua freehold tenure
merupakan tenure in non-chilvalry.

 Leasehold adalah bentuk penguasaan atas tanah dimana satu pihak membeli
hak untuk menempati tanah atau bangunan untuk jangka waktu tertentu.
Leasehold merupakan kepemilikan hak sementara untuk memegang tanah
atau bangunan dimana penyewa memiliki hak atas properti dari pemilik.
Meskipun penyewa tidak memegang hak atas tanah, umumnya prasarana
dan sarana dianggap milik pribadi.

Seluruh tanah beserta hak atas tanah yang ada harus dicatat di dalam suatu daftar
publik melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah dengan menggunakan sistem
yang ada pada saat itu, yaitu pendaftaran akta. Hingga saat ini sebagian besar
negara-negara persemakmuran (commonwealth) masih menggunakan sistem ini.

27
II.4.1 Sistem Pendaftaran Akta

Salah satu tanggung jawab negara yang menggunakan sistem pendaftaran akta
adalah negara harus selalu memperbaharui arsip-arsip dan dokumen yang
berkaitan dengan hak kepemilikan tanah seseorang, menyusun daftar nama-nama
orang yang melakukan transaksi jual beli tanah, dan juga mencatat karakteristik
transaksi jual beli tanah yang dipengaruhi oleh letak geografis suatu tanah.
Perbuatan yang dilakukan terhadap dokumen kepemilikan tanah tersebut disebut
pencatatan (recording) bukan pendaftaran (registration), meskipun kantor
pemerintah yang melakukan kegiatan tersebut dinamakan Kantor Pendaftaran.

Dalam akta ditulis pencatatan transaksi jual beli tanah antara dua pihak dan
memberikan bukti bahwa transaksi tersebut telah terjadi. Namun, akta itu sendiri
tidak membuktikan keabsahan dari pemindahan hak yang telah dilakukan.
Sebelum transaksi penjualan tanah dilakukan, maka seseorang yang bermaksud
untuk membeli tanah yang bersangkutan bertanggungjawab untuk menelusuri dan
mencari tahu apakah penjual yang menjual tanah tersebut benar mempunyai hak
kepemilikan atas tanah itu melalui penelitian terhadap dokumen-dokumen hasil
transaksi terdahulu.

Penelitian yang dilakukan juga harus mengidentifikasikan transaksi lainnya yang


dicatat di Kantor Pendaftaran Akta, seperti ada tidaknya hipotek, hak gadai,
kekuasaan seseorang, ataupun dokumen potensial lainnya yang membebani tanah
yang bersangkutan sehingga dapat mempengaruhi status tanah tersebut. Penelitian
tersebut harus dilakukan berkali-kali setiap kali terjadinya transaksi dalam suatu
waktu tertentu yang mempengaruhi ketelitian dalam hasil yang diperoleh, untuk
meyakinkan orang yang akan memperoleh tanah bahwa penjual merupakan orang
yang berhak atas tanah yang bersangkutan. Di samping itu, penelitian juga
membantu untuk mengidentifikasikan segala kejahatan yang terkandung dalam
transaksi-transaksi sebelumnya. Dalam sistem ini, penelusuran dari hak-hak atas
tanah yang terdapat sebelumnya (title search) dilakukan oleh ahli hukum
profesional di bidang pertanahan dan hasil penelitian tersebut dijamin oleh
perusahaan asuransi yang menangani masalah hak atas tanah.

28
Persoalan mulai muncul ketika populasi penduduk di negara tersebut semakin
bertambah. Penambahan tingkat kepadatan populasi berbanding lurus dengan
penambahan lebih banyak bagian-bagian bidang tanah tertentu dan peningkatkan
transaksi jual beli perumahan yang dibutuhkan penduduk saat itu, mencerminkan
banyaknya catatan atau riwayat kepemilikan tanah yang telah terjadi dalam suatu
sistem pendaftaran akta. Dengan banyaknya permintaan penelusuran riwayat
tanah dalam sistem pendaftaran akta itu, diperlukan perhatian yang sangat serius
disini. Selain itu, pembeli dikenakan biaya yang besar dan juga pajak yang besar
dalam penelusuran riwayat tersebut, sehingga beberapa negara memutuskan untuk
tidak menggunakan sistem pendaftaran akta dan beralih menggunakan sistem
pendaftaran hak.

II.4.2 Sistem Pendaftaran Hak (Torrens System)

Pada bulan Juli tahun 1858, Robert Richard Torrens menciptakan sistem baru
yang lebih sederhana dan memungkinkan orang memperoleh keterangan dengan
cara yang mudah, tanpa harus mengadakan title search (title search dinilai sangat
memakan waktu, biaya dan diperlukan bantuan ahli) pada akta-akta yang ada.
Torrens pernah menjabat sebagai registrar general of deeds di Adelaide (Australia
selatan) pada tahun 1853 dalam kedudukannya sebagai pejabat tertinggi
pendaftaraan menciptakan sistem registration of titles yang kemudian dikenal
dengan Sistem Torrens.

Sistem Torrens berlaku prinsip hak kepemilikan atas tanah yang tidak dapat
diganggu gugat (indefeasible title), yang tidak memerlukan penelusuran akan
jejak (latar belakang) dari akta yang telah diterbitkan. Setiap bidang tanah diberi
catatan terpisah dalam pendaftarannya dan diidentifikasikan oleh surat keterangan
mengenai rencana pendaftarannya. Catatan tersebut mencatat mengenai letak dan
batas-batas tanah, nama pemilik tanah yang bersangkutan, dan segala macam hak-
hak yang membebani tanah tersebut yang dapat mempengaruhi hak atas tanah
tersebut. Negara menjamin hak dan biasanya didukung dengan adanya
kompensasi kepada pemilik tanah apabila kepemilikan hak atas tanah hilang
karena kelalaian pada negara yang bersangkutan.

29
II.5 Sistem Administrasi Pertanahan di Australia, Kanada, Amerika dan
Indonesia

II.5.1 Sistem Administrasi Pertanahan di Australia

Luas daratan Australia adalah 7.617.930 km² berada di atas Lempeng Indo-
Australia. Dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dipisahkan
dari Asia oleh Laut Arafura dan Laut Timor (Gambar II.2). Australia memiliki
garis pantai sepanjang 34.218 km (belum termasuk pulau-pulau di lepas pantai
benua) dan pengakuan perluasan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 8.148.250 km²
(http://indonesia.embassy.gov.au).

Gambar II.2 Peta wilayah administrasi Australia (www.ga.gov.au)

Australia adalah negara monarki konstitusional dengan pembagian


kekuasaan federatif. Pemerintah Australia menganut sistem
parlementer dengan Ratu Elizabeth II sebagai kepala pemerintahan yang secara
konstitusi diwakili oleh gubernur jenderal/prime ministre pada level federal dan
para gubernur untuk tiap negara bagian (state) dan teritorial yang memiliki
parlemen dan kedaulatan sendiri-sendiri.

Terdapat tiga tingkat pemerintahan di Australia. Setiap tingkat mempunyai


tanggung jawab yang berbeda dan menyediakan layanan yang berbeda pula.

30
1. Federal. Pemerintah Federal (atau persemakmuran) merupakan pemerintah
nasional Australia. Pemerintah ini menerapkan hukum yang dibuat oleh
Parlemen Persemakmuran. Pemerintah Federal memiliki semua kekuasaan
yang terkait dengan urusan luar negeri, perdagangan internasional dan
antar negara bagian, mata uang, imigrasi, pertahanan, telekomunikasi,
pelayanan sosial, penerbangan, bea cukai dan karantina.

2. Negara Bagian dan Teritori. Terdiri dari 6 (enam) negara bagian/ states:
New South Wales (NSW), Queensland (QLD), Victoria (VIC), South
Australia (SA), Westren Australia (WA), Tasmania (TAS) dan 2 (dua)
teritorial/territories: Australian Capital Territory (ACT) dan Northern
Territory (NT). Negara Bagian dan Teritori bertanggung jawab dalam hal
pembuatan kebijakan, pendidikan, persediaan air, rumah sakit, kesehatan
masyarakat, jalur kereta api, jalan raya, kepolisian, pelabuhan, pertanian,
administrasi pertanahan, kesejahtaraan sosial, perumahan umum dan
peraturan bisnis.

3. Lokal. Pemerintah lokal dapat berbentuk kota. Mereka bertanggung jawab


untuk perencanaan kota, persetujuan bangunan, jalan lokal, parkir,
perpustakaan umum, toilet umum, air dan selokan, pembuangan sampah,
hewan peliharaan dan fasilitas umum. Pajak lokal (disebut sebagai tarif
iuran layanan), dipungut dari para pemilik rumah berdasarkan nilai rumah
mereka. Pajak ini digunakan untuk membayar berbagai layanan yang
disediakan. Pemerintah lokal juga memungut biaya parkir.

Di Australia, tanah publik dianggap milik Ratu (Crown). Pemerintah mewakili


kedudukan ratu memiliki 72% dari tanah di Australia, Aborigin 13% dan 15%
pribadi. Pemerintah merupakan tuan tanah terbesar di Australia, jumlah tersebut
sudah termasuk lahan untuk kepentingan alam konservasi dan berbagai keperluan
pemerintah lainnya seperti bandara, pertahanan dan utilitas umum, lahan kosong,
serta tanah-tanah yang disewakan oleh pemerintah ke individu, golongan dan
perusahaan.

31
Tabel II.4 Komposisi Kepemilikan Tanah di Australia (Cooray, 1995)

Berdasarkan Tabel II.4 di atas, 72% dari luas lahan dimiliki dan dikontrol oleh
pemerintah. Tidak sekedar memiliki tanah, pemerintah aktif dalam pembelian,
penyitaan dan penjualan tanah dan juga menuntut hak untuk merencanakan,
mengendalikan dan mengelola penggunaannya.

Dengan hanya 15% hak milik pribadi atas tanah dan hampir 0% milik pribadi atas
mineral (kandungan di dalam tanah), dapat dikatakan bahwa kebebasan pribadi,
golongan dan perusahaan atas kepemilikan tanah di Australia sangatlah kecil. Tanah
yang dapat dimiliki hanyalah permukaan bumi saja, sedangkan bahan mineral
yang ada dibawahnya dalam bumi adalah milik Crown (Negara), selanjutnya
negaralah yang akan memberikan bahan mineral tersebut kepada pemilik tanah.

Suku Aborigin Australia memiliki kira-kira 13% tanah Australia, tersebar di


berbagai negara bagian sebagaimana tampak dalam Tabel II.4. Perjuangan hak
kepemilikan atas tanah oleh suku Aborigin dimulai pada tahun 1974. Namun
untuk menetapkannya mengalami kesulitan berkaitan dengan hukum-hukum
Australia dan Inggris (Anglo Saxon) yang telah lama diterapkan di Australia.
Suku Aborigin harus dapat membuktikan bahwa mereka adalah suatu kelompok
yang pernah hidup di tempat itu dan memiliki tanggung jawab terhadap tanah

32
tersebut. Tidak seperti tanah freehold yang dimiliki oleh perorangan atau
kelompok, tanah freehold Aborigin tidak dikelola oleh Lands Department.

Tabel II.5 Distribusi Kepemilikan Tanah Aborigin di Australia (Cooray, 1995)


Milik Aborigin
Negara
Total (ribu km2) (ribu km2)
Bagian
QLD 1.727,2 42,2
NSW 801,6 1,5
VIC 227,6 Tidak Ada
SA 984,0 189,6
WA 2.525,5 325,5
NT 1.346,2 558
TAS 67,8 Tidak Ada
ACT 2,4 Tidak Ada
Jumlah 7.682,3 1.092,5

Berdasarkan Tabel II.5 diperoleh informasi bahwa hanya 18% lahan di Australia
yang digunakan secara intensif. Sepertiga benua hampir tidak terpakai yang
dimanfaatkan untuk rekreasi dan pelestarian. Tabel II.6 juga menunjukkan bahwa
produktivitas lahan berbanding lurus dengan tingkat kepemilikan pribadi.
Pemerintah juga terlibat dalam rekonstruksi pedesaan dan pemukiman,
penggabungan sewa, pelestarian dan pengembangan lahan, konservasi alam dan
kehutanan, perlindungan padang rumput, irigasi dan reklamasi, pembangunan dan
pengoperasian proyek wisata, pusat kebudayaan, kawasan industri, stasiun
penelitian, perumahan, rumah potong hewan, taman teknologi, museum,
pelabuhan dan air dan irigasi proyek.

Seluruh hak atas tanah di Australia harus tercatat dan tercantum di dalam daftar
umum/public registered melalui proses pemeriksaan yang teliti atas subyek dan
obyek tanah tersebut. Seseorang yang namanya tercatat di daftar umum adalah
yang berhak memiliki tanah itu. Informasi yang disajikan pada daftar umum
dijamin oleh negara (insurance). Jika terjadi kesalahan di dalam pencatatan maka
negara akan bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi atas kerugian
yang terjadi.

33
Tabel II.6 Peruntukan Tanah di Australia (Cooray, 1995)

II.5.2 Sistem Administrasi Pertanahan di Kanada

Kanada merupakan negara federasi yang terdiri dari 10 (sepuluh) provinsi dan
3 (tiga) teritori (Gambar II.3) dengan sistem desentralisasi dan pemerintahan
berbentuk monarki konstitusional. Luas negara Kanada 9.970.610 km2 dengan
panjang garis pantai 243.792 km dan 52.455 pulau
(http://www.canadainternational.gc.ca).

Provinsi-provinsi di Kanada memiliki tingkat otonomi besar yang diberikan dari


pemerintahan federal, sedangkan teritorial memiliki kekuasaan politik yang lebih
kecil daripada provinsi. Provinsi bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
urusan sosial, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Tiap provinsi memiliki
gubernur yang diangkat atas rekomendasi Perdana Menteri Kanada (mewakili ratu
dan gubernur jenderal), sedangkan di teritorial tidak memiliki gubernur.

34
Gambar II.3 Peta wilayah administrasi Kanada (www.canada.ca)

Berdasarkan kesamaan bentuk pemerintahan dengan negara Australia, maka


kepemilikan tanah di Kanada juga dipegang oleh pemerintah atas nama kerajaan
(disebut Crown Land), hal ini telah berlaku sejak Inggris mengakuisisi Kanada
bagian Timur dari Prancis melalui Perjanjian Paris pada tahun 1763. Namun,
pihak berwenang Inggris dan Kanada mengakui bahwa masyarakat adat sudah ada
di tanah memiliki klaim sebelumnya. Hal ini berbeda dengan situasi di Australia
dimana benua itu dinyatakan Terra nullius atau lahan kosong dan disita dari
masyarakat Aborigin tanpa kompensasi.

Meskipun kerajaan memiliki semua tanah di negeri ini, pengelolaan Crown Land
dibagi berdasarkan kewenangan pemerintah federal dan provinsi. Sekitar 89% dari
luas daratan Kanada (8.886.356 km²) adalah Crown Land, yang dikelola
oleh pemerintah federal (41%), provinsi (48%) dan 11% sisanya dimiliki pribadi
atau perusahaan (bukan kepemilikan mutlak, hanya izin mengadakan penguasaan
tanah dari Crown). Sebagian besar Crown Land dimanfaatkan sebagai taman
nasional, hutan belantara, dan sumber daya alam lainnya, wilayah pertahanan
negara, disewa untuk eksplorasi mineral, serta dapat disewa oleh individu yang
ingin membangun rumah atau hotel.

35
Hak milik telah memainkan peran sentral dalam evolusi masyarakat Kanada.
1. Pada tahun 1690, Crown memberikan kewenangan kepemilikan tanah dari
pemerintahan Kanada ke perusahaan swasta, contohnya adalah: Hudson’s Bay
Company (HBC) yang memiliki monopoli hukum dan ekonomi pada semua
tanah di Rupert’s Land territory, Columbia District dan North-Western
Territory (sekarang British Columbia, Yukon, Northwest Territories dan
Nunavut) membuatnya menjadi salah satu pemilik tanah swasta terbesar
dalam sejarah dunia.

2. Akhirnya pada tahun 1871 pemerintah Kanada melalui Dominion Lands Act
mengakuisisi tanah milik HBC yang selanjutnya digunakan untuk
pembangunan rel kereta api, sisanya dijual untuk sarana pendidikan,
pemukiman dan pertanian.

3. Dominion Lands Act 1871 mendefinisikan hak kepemilikan tanah adalah


penguasaan tanah dan semua lapisan tanah, termasuk mineral, minyak atau
gas alam yang berada di bawah tanah.

4. Kemudian sekitar tahun 1900, Dominion Lands Act 1871 diamandemen


bahwa hak kepemilikan tanah tidak termasuk lapisan tanah di
dalamnya. Diimplementasikan di Provinsi Alberta dalam memproduksi
minyak bumi, yakni 81% hak mineral bawah permukaan dimiliki oleh Crown
provinsi, sisanya 19% dimiliki oleh Crown federal, individu, atau perusahaan.

5. Pada tahun 1948, Kanada menandatangani Deklarasi Universal PBB tentang


Hak Asasi Manusia, Pasal 17 yang berbunyi: (1) Setiap orang memiliki hak
untuk memiliki properti sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain.
(2) Tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang dirampas miliknya.

6. Hak milik juga diakui di tahun 1960, Canada Bill of Rights yang
menegaskan hak individu untuk menikmati harta dan hak untuk tidak dicabut
darinya kecuali dengan proses hukum.

7. Pada tahun 1968, Pierre Trudeau (Menteri Kehakiman pada saat itu)
mengusulkan untuk mencantumkan hak milik menjadi bagian dari piagam
konstitusi yang akan memberikan perlindungan konstitusional terhadap hak-
hak tertentu, termasuk "kenikmatan properti."

36
8. Pada tahun 1980 Pemerintah federal kembali menyusun jaminan hak milik
untuk Konferensi Pertama Ministers (First Ministers’ Conference) yang
berisi bahwa: Setiap orang berhak untuk menggunakan dan menikmati
properti, baik secara individu maupun dalam hubungan dengan orang lain,
dan hak untuk tidak dicabut darinya kecuali sesuai dengan hukum dan
kompensasi yang wajar.

9. Kemudian September 1991, pemerintah federal mengusulkan bahwa The


Canadian Charter of Rights and Freedoms diamandemen untuk menjamin
hak milik (property rights).

Kanada mengikuti jejak sejumlah negara demokrasi lainnya, termasuk Amerika


Serikat, Jerman Barat, Italia dan Finlandia. Dimasukkannya perlindungan hak
milik dalam Piagam Kanada berarti bahwa pemerintah tidak bisa mengabaikan
hak milik (termasuk hak masyarakat asli atas tanah, hak pengembalian tanah yang
hilang, hak penangkapan ikan dan berburu) ini kecuali bisa membenarkan
tindakannya dan memenuhi tanggung jawab yang diatur dalam The Canadian
Charter of Rights and Freedom. Berdasarkan keputusan pengadilan di Kanada
bahwa pemerintah maupun pengusaha wajib berkonsultasi dengan masyarakat
asli sebelum melakukan aktivitas di daerah tradisional mereka.

Sistem kadaster pertanahan di Kanada memiliki kesamaaan unsur dengan sistem


kadaster pertanahan di Australia yakni terbangun atas unsur manajemen Crown
Land (tanah yang dimiliki oleh kerajaan). Pada Tabel II.7 memperlihatkan bahwa
sama hanya dengan negara-negara bagian di Australia, sebagian besar provinsi di
Kanada menganut sistem pendaftaran hak (Torrens System). Perbedaan sistem
kadaster yang digunakan di masing-masing provinsi ini dipengaruhi oleh faktor
kesejarahan pada saat itu dan kewenangan gubernur di setiap provinsi.

37
Tabel. II.7 Sistem Kadaster Pertanahan di Kanada (www.canada.ca)
Provinsi Sistem Kadaster Pertanahan
Alberta Pendaftaran Hak
British Columbia Pendaftaran Hak
Manitoba Pendaftaran Hak
New Brunswick Dalam proses konversi dari Pendaftaran Akta ke Pendaftaran Hak
Newfoundland Pendaftaran Akta
Northwest Territories Pendaftaran Hak
Nova Scotia Dalam proses konversi dari Pendaftaran Akta ke Pendaftaran Hak
Nunavut Pendaftaran Hak
Ontario Dalam proses konversi dari Pendaftaran Akta ke Pendaftaran Hak
Prince Edward Island Pendaftaran Akta
Quebec Civil Code, Buku Tanah dan Peta Kadaster (Parcelized System)
Saskatchewan Pendaftaran Hak
Yukon Pendaftaran Hak

II.5.3 Sistem Administrasi Pertanahan di Amerika Serikat

Amerika Serikat merupakan sebuah negara republik konstitusional federal yang


terdiri dari 50 negara bagian dan sebuah distrik (Gambar II.4). Hampir
keseluruhan negara-negara bagian ini berlokasi di daratan utama Amerika Serikat,
kecuali Alaska dan Hawaii. Dua wilayah lainnya yang dianggap sebagai bagian
integral dari Amerika Serikat adalah Distrik Columbia, tempat
berlokasinya distrik federal ibu kota Washington D.C. dan Atol Palmyra, sebuah
wilayah tak berpenghuni di Samudera Pasifik. Amerika Serikat juga memiliki
lima wilayah seberang laut, yaitu: Puerto Riko dan Kepulauan Virgin Amerika
Serikat di Karibia; serta Samoa Amerika, Guam, dan Kepulauan Mariana Utara di
Samudera Pasifik.

Luas wilayah daratan utama Amerika Serikat adalah 7.663.941 km² ditambah
dengan luas Alaska yang dipisahkan dari daratan utama Amerika Serikat memiliki
luas wilayah 1.717.856 km² dan Hawaii dengan luas wilayah 28.311 km² yang
berlokasi di tengah-tengah Samudera Pasifik di sebelah barat daya Amerika Utara
sehingga luas wilayah daratan secara keseluruhan adalah 9.522.055 km².

38
Sedangkan luas wilayah laut Amerika adalah 304.621 km² dengan panjang garis
pantai 19.924 km ( http://indonesian.jakarta.usembassy.gov).

Di dalam sistem federal Amerika Serikat, warga negara biasanya tunduk pada tiga
tingkat pemerintahan, yaitu tingkat federal, negara bagian, dan pemerintah daerah.
Pemerintah negara bagian memiliki struktur politik yang kurang lebih sama
dengan pemerintah federal. Sedangkan tugas pemerintah daerah biasanya dibagi
antara pemerintah county (setingkat kabupaten) dan munisipal.

Gambar II.4 Peta wilayah administrasi Amerika Serikat


(https://greatpersie.wordpress.com).

Berbeda dengan Australia dan Kanada, di Amerika tidak terdapat kepemilikan


Crown Land. Sistem kepemilikan tanah di Amerika Serikat menganut Azas
Perlekatan Mutlak atau dikenal dengan istilah Ownership States, yakni pemilikan
tanah meliputi juga pemilikan bahan-bahan galian yang ada dalam tubuh bumi di
bawahnya. Pemilik tanah berhak menjual bahan-bahan galian miliknya itu untuk
ditambang pihak lain, tanpa harus melepaskan hak atas tanahnya, termasuk
adanya hak atas ruang udara diatas tanah miliknya (air rights). Pemilikan tanah
yang meliputi juga pemilikan ruang diatasnya dan tubuh bumi di bawahnya tanpa
batas itu didasarkan pada adagium latin kuno: “Cuius est solum euis usque ad
coelum et ad inferos”, yang artinya barang siapa yang memiliki tanah, dia juga
memiliki segala apa yang ada diatasnya sampai langit ketujuh dan segala apa yang
ada didalamnya.

39
Namun, negara juga memiliki hak untuk mengambil kepemilikan pribadi
bersumber dari despotic power (kekuasaan mutlak negara) dan eminent
domain power (kekuasaan negara untuk mengambil hak kepemilikan) untuk
kegunaan publik (public use). Ketentuan ini tercantum di dalam konstitusi yang
hekatnya membatasi kekuasaan negara dan melindungi hak-hak individu.
Pemerintah memberikan kompensasi yang adil bagi korban pengambilan hak oleh
negara, sesuai dengan amandemen Kelima Konstitusi AS (Fifth Amendment to the
U.S. Constitution) yang disahkan pada tahun 1791, menetapkan bahwa tidak ada
orang yang akan kehilangan hidup, kebebasan atau properti tanpa proses hukum,
dan tidak akan milik pribadi diambil untuk kepentingan umum tanpa kompensasi
yang adil. Pada tahun 1868, amandemen keempat belas Konstitusi AS yang
disahkan pada tahun 1868 juga menyatakan bahwa negara tidak akan mencabut
setiap orang hidup, kebebasan atau properti, tanpa proses hukum. Dengan
demikian, di Amerika Serikat hak milik telah mendapat perlindungan
konstitusional.

Terminologi public use yang tercantum di dalam konstitusi yang digunakan pada
abad ke-18 dan abad ke-19, kini terjadi pergeseran pengertian dimana public use
menjadi public benefit (manfaat umum/publik). Pergeseran pengertian ini pada
tahap implementasinya menimbulkan banyak persoalan terkait pengalihan hak
kepemilikan bagi perusahaan privat untuk bangunan komersial dengan dalih akan
menguntungkan atau memberi manfaat untuk publik.

Negara-negara bagian Amerika Serikat tidak semua menganut sistem pendaftaran


tanah yang sama, hampir sebagian besar menganut sistem Pendaftaran Akta.
Hanya 11 negara bagian yakni: Iowa, Minnesota, Massachusetts, Colorado,
Hawaii, New York, North Carolina, Ohio, Washington, Illinois (Cook County),
dan Georgia menggunakan sistem pendaftaran hak (Torrens System). Pertama kali
sistem pendaftaran tanah yang menganut sistem Torrens ini diberlakukan secara
resmi di Massachusetts yang beribukota di Boston pada tahun 1891. Hingga
akhirnya Undang-Undang mengenai sistem pendaftaran tanah mulai efektif
diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1898. Sejak pengenalan sistem Torrens
sebagai sistem pendaftaran tanah, sistem tersebut berhasil diberlakukan di negara-
negara bagian seperti California, Minnesota, Massachusetts, dan Ohio. Hal yang

40
paling utama dalam sistemnya adalah hak yang dimiliki oleh seseorang untuk
membuktikan gugatan dari manapun bahwa tanah tersebut adalah milik pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam sistem ini, bukti kepemilikan hak adalah
sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran tanah.

Berikut beberapa perbedaan sistem Torrens yang berlaku di negara bagian ini
dengan sistem pendaftaran akta yang berlaku di hampir kebanyakan negara bagian
Amerika Serikat, yaitu:

1) Dalam sistem pendaftaran akta, pembeli yang beritikad baik menanggung


resiko akan hilangnya kepemilikan hak atas tanah jika suatu saat ada
orang yang mengajukan klaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
Sedangkan pada sistem Torrens, pemilik sertifikat hak atas tanah dapat
mengalahkan segala macam gugatan yang timbul secara langsung
meskipun masih pada tahap awal gugatan tersebut.

2) Pada sistem Torrens, pemilik tanah mempertahankan tanahnya


sedangkan penggugat dapat mengajukan kompensasi uang. Sedangkan
pendaftaran akta berlaku sebaliknya, penggugat mendapatkan tanahnya
sedangkan pemilik tanah diberikan kompensasi uang.

II.5.4 Sistem Administrasi Pertanahan di Indonesia

Sejarah penyelenggaraan keagrariaan di Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan


Belanda. Pada tahun 1870 pemerintah Belanda membuat Agrarische Wet
(Undang-Undang Pokok Agraria) yang menyebabkan tanah di Indonesia boleh
dimiliki oleh 3 (tiga) golongan, yakni: Eigendom (kepemilikan oleh Pemerintah
Belanda), Domein (Kepemilikan oleh warga negara Belanda atau asing), dan
Tanah Bumiputra (kepemilikan oleh rakyat Indonesia). Arti agraria di dalam
Agrarische Wet identik dengan tanah, terkait hubungan dengan persawahan,
perladangan dan pertanian (Rais, 2003).

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1960 diterbitkanlah Undang-Undang


Pokok Agraria (UU RI No.5 Tahun 1960). Arti agraria di dalam UUPA sangat
luas, yakni: “meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Walaupun agraria memiliki arti yang luas, UUPA

41
sebagian besar mengatur tentang tanah di permukaan saja. Dengan adanya UUPA
maka negara diberi wewenang untuk mengatur dan menyediakan peruntukan,
persediaan, penggunaan, pemeliharaan tanah, serta menentukan hukum dan
perbuatan hukum antara orang-orang yang berhubungan dengan tanah.
Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 bahwa bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengakuan
konstitusional terhadap negara akan hak menguasai atas bumi (tanah) ini penting
mengingat tanah telah diakui sebagai salah satu sumber daya alam yang memiliki
nilai ekonomis, disamping memiliki nilai sosial politik dan hankam yang tinggi.

Di Indonesia pencatatan data dan informasi bidang tanah diselenggarakan melalui


kegiatan pendafataran tanah. Pasal 19 (1) UUPA menyatakan bahwa untuk
menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
peraturan pemerintah. Pasal 19 (2) pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini
meliputi:

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.


b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah sebelum diundangkan UUPA dikenal dengan istilah


Kadaster, mengacu pada istilah di dunia internasional yakni Cadastre. Istilah
Kadaster telah ada di Indonesia diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada tahun 1823 dengan dibentuknya Kadasterale Dienst (Jawatan Kadastral) dan
pada masa penjajahan Jepang dinamakan Jawatan Pendaftaran Tanah yang
bernaung di bawah Departemen Kehakiman, kemudian beralih ke Kementerian
Dalam Negeri setelah Proklamasi Kemerdekaan, dan pada tahun 1955 beralih ke
Kementerian Agraria, pada tahun 1966 berubah menjadi Direktorat Jenderal
Agraria dari Departemen Dalam Negeri, kemudian menjadi lembaga pemerintah
non-departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional.

42
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UU RI No. 5 Tahun 1960),
kepemilikan tanah di Indonesia pada prinsipnya menganut Asas Pemisahan
Horizontal, artinya bahwa tanah yang dapat dikuasai dan dimiliki (oleh
perorangan maupun kelompok) hanyalah sebatas pada permukaan bumi saja (kulit
bumi) beserta ruang yang ada diatasnya setinggi sewajarnya dalam rangka
penggunaan tanah tersebut. Sedangkan benda-benda lain yang ada di atas tanah,
dan segala kandungan mineral dan lain-lain yang ada di bawahnya, tunduk pada
ketentuan hukum yang lain (tidak menyatu dengan tanah).

Di dalam sistem pendaftaran tanah, Indonesia seperti halnya Australia dan


beberapa negara bagian di Kanada dan Amerika menganut sistem pendaftaran hak
(Torrens System). Namun Sistem Torrens yang berlaku di Indonesia berbeda
dengan Sistem Torrens yang berlaku di negara lain. Di Indonesia menurut
ketentuan UUPA dan PP No.24 Tahun 1997 menyatakan bahwa status sertifikat
tanah sebagai produk akhir pendaftaran tanah merupakan alat bukti yang kuat
(bukan mutlak). Hal ini dapat diartikan bahwa data fisik dan data yuridis yang
tercantum di dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima
(oleh hakim) sebagai data yang benar selama tidak ada alat bukti yang
menyatakan sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak menganut sistem
publikasi positif murni (yaitu orang yang terdaftar adalah pemegang hak yang sah
menurut hukum) maupun sistem publikasi negatif murni (yaitu orang yang
terdaftar belum tentu pemegang hak yang sah). Indonesia menganut sistem
publikasi negatif yang bertendensi positif.

Berbeda dengan Australia dan Kanada yang menganut Sistem Torrens dengan
sistem publikasi positif, dimana semua tanah adalah milik raja (pemerintah).
Rakyat hanya bisa memakai tanah milik raja, oleh raja diberi kepastian hak secara
mutlak dan perlindungan hukum oleh pemerintah, sertifikat yang dihasilkan tidak
dapat lagi digugat dan dibatalkan oleh keputusan hakim. Jika ada yang dirugikan
karena pendaftaran suatu hak atas nama orang lain, maka negara akan
memberikan kompensasi atas kesalahan tersebut.

43
II. 6 Definisi Kadaster (FIG 1995)

Cadastre secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu katastikhon


bermakna daftar publik yang memperlihatkan rincian kepemilikan dan nilai suatu
tanah yang pada awalnya dibuat untuk keperluan perpajakan. Sejarah mencatat
bahwa negara Prancis disebut sebagai The Mother country of the cadastre,
mengingat kadaster sudah diterapkan sejak zaman Napoleon 1 (1807) untuk
keperluan pajak. Pada tahun 1995 International Federation of Surveyors (FIG)
merumuskan definisi kadaster sebagai berikut: A Cadastre is normally a parcel
based, and up-to-date land information system containing a record of interests in
land (e.g. rights, restrictions and responsibilities). It usually includes a geometric
description of land parcels linked to other records describing the nature of the
interests, the ownership or control of those interests, and often the value of the
parcel and its improvements. It may be established for fiscal purposes (e.g.
valuation and equitable taxation), legal purposes (conveyancing), to assist in the
management of land and land use (e.g. for planning and other administrative
purposes), and enables sustainable development and environmental protection.
Selanjutnya konsep kadaster menurut FIG (1995) ditunjukkan pada Gambar II.5.

Gambar II.5 Visualisasi konsep kadaster menurut FIG 1995 (www.fig.net)

44
Berdasarkan definisi kadaster FIG 1995, maka kadaster merupakan model
fungsional (F) dari:

Cadastre= F(land parcel, land information system, up to date, record, rights,


restrictions, responsibilities, geometric description, nature of the interests,
ownership, value, purpose)

Tabel II.8 Unsur-unsur Pembentuk Definisi Kadaster FIG 1995

No Unsur Keterangan

1 Land parcel Satuan objek kadaster pertanahan

2 Land information Merupakan tahap pengembangan kadaster


system pertanahan
3 Record Kegiatan pencatatan objek dan subjek
kadaster
4 Up to date Pembaharuan (perubahan, pengurangan dan
penambahan) objek dan subjek kadaster
5 Right Terdiri dari private ownership, use rights,
leases rights, dan hak lainnya.
6 Restriction Batas/ pembatasan hak
7 Responsibility Jenis tanggungjawab: state, private, shared
public and private
8 Geometric Objek kadaster diukur dan dipetakan,
description dilengkapi keterangan geodetic control,
coordinated ground surveys, land area,
historical records, dll.
9 Nature of the Jenis kepentingan: state, private, shared
interests public and private
10 Ownership Merupakan hak tertinggi di dalam kadaster
pertanahan
11 Value Nilai tanah sangat dipengaruhi oleh unsur
lokasi (urban dan rural ; centralised dan
decentralised)
12 Purpose Kadaster digunakan untuk: supporting
taxation, conveyancing, land distribution,
atau multipurpose land management
activities

45
Dari unsur-unsur pembentuk definisi pada Tabel II.8, berbicara mengenai kadaster
maka tidak akan pernah terlepas dari unsur right, restriction dan reponsibility
(3R). Banyak referensi menyatakan bahwa ketiga unsur ini merupakan unsur
utama dari kadaster yang saling terkait, dan jika ditempatkan dalam urgensi
pertanahan maka dapat dibuat pernyataan bahwa right akan diberikan berdasarkan
penggunaan tanah sesuai dengan batas yang diukur dan ditetapkan. Restriction
merupakan batas kewenangan hak atau batas hubungan kepemilikan antara orang
dan tanah, dapat diartikan bahwa hak tidak berlaku di luar batas yang dimiliki.
Sedangkan responsibility akan selalu mengikuti right dan restriction.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Definisi Kadaster dari FIG (1995) ditempatkan di dalam pengembangan


sains dan teknologi, tidak ditempatkan di dalam kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu definisi kadaster dari FIG (1995) bersifat universal (dapat
diimplementasikan oleh semua negara).

2. Kadaster (menurut FIG 1995) berbasis pada land parcel, oleh karena itu
definisi di atas disebut juga sebagai Kadaster Pertanahan (Land Cadastre).

3. Jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, maka definisi kadaster FIG


1995 merupakan konsep kadaster modern yang menitikberatkan pada
pengembangan konsep 3R, salah satunya dengan Land Information
System.

II.7 Definisi Kadaster (FIG 1995) ditempatkan di Indonesia sebagai Negara


Kepulauan

Jika definisi kadaster dari FIG (1995) ditempatkan di wilayah Indonesia yang
mempunyai laut demikian luas maka hanya 1,9 juta km² sumber daya alam
merupakan objek kadaster, artinya hanya tanah-tanah di darat saja yang dapat
diukur, dipetakan dan diberikan right, restriction dan responsibility.

46
Gambar II.6 Peta batas wilayah NKRI (www.big.go.id)
)
Gambar II.6 memperlihatkan bahwa luas wilayah darat hanya sepertiga dari luas
wilayah laut, bukan berarti pelaksanaan kegiatan kadaster pertanahan di Indonesia
lebih mudah dan cepat diselesaikan. Penyelenggaraan kadaster pertanahan di
Indonesia terkait dengan kegiatan pengambilan data dan informasi pertanahan
menjadi sangat kompleks mengingat tanah air Indonesia terdiri dari wilayah laut
demikian luas dan tersebar pulau-pulau yang demikian banyak. Kondisi ini akan
mempengaruhi kecepatan proses pencatatan data dan informasi pertanahan yang
disebabkan oleh tingginya biaya transportasi serta lamanya waktu yang diperlukan
untuk pelaksanaan pengukuran dan pembuatan sertifikat tanah.

Belum lagi dikaitkan dengan persoalan pertanahan ditempatkan dalam perspektif


aspek rawan bencana. Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia memiliki tingkat
pelapukan yang tinggi sehingga dapat menyebabkan bencana tanah longsor. Posisi
geografis Indonesia yang terletak di jalur cincin api menjadikan Indonesia sebagai
negara yang rawan terjadi bencana letusan gunung berapi dan gempa bumi,
ditambah lagi dengan bencana tsunami dan abrasi. Dampak dari bencana yang
terjadi adalah hilangnya kepemilikan seseorang atas tanah dan bangunan. Perlu
dilakukan kegiatan rekonstruksi batas-batas bidang tanah dan pencatatan ulang
data pertanahan.

47
Kondisi di atas adalah persoalan implementasi definisi kadaster (FIG 1995) terkait
pengelolaan sumber daya alam (tanah) di wilayah darat Indonesia sebagai negara
kepulauan. Bagaimana dengan implementasi definisi kadaster (FIG 1995) terkait
pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut Indonesia seluas 3.374.668 km2 ?
Dalam hal ini Indonesia harus belajar kepada negara-negara maju seperti
Australia, Kanada dan Amerika bagaimana mengelola dan mengatasi masalah di
laut melalui definisi kadaster kelautan (marine cadastre) yang ada di ketiga
negara non-kepulauan tersebut. Kadaster kelautan dalam pengertian sederhana
dapat dikatakan sebagai penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut (Rais,
2002). Secara umum kadaster kelautan bertujuan untuk mengadministrasi ruang
laut dan sumberdaya laut termasuk semua kepentingan, hak (right), batasan
(restriction) dan tanggung jawab (responsibility) yang ada di wilayah laut.

II.8 Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan

Perbedaan mendasar kadaster pertanahan dengan kadaster kelautan dapat dilihat


pada Tabel II.9 di bawah ini:

Tabel II.9 Perbedaan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan

No Kadaster Pertanahan Kadaster Kelautan

1 Tanah bersifat private property Laut bersifat common property


resources, adanya kepemilikan resources dan open access.
(Hak Milik) atas bidang tanah. Tidak ada kepemilikan (Hak
Milik) di laut, yang ada
hanyalah izin pemanfaatan/
pengelolaan.

2 Objek kadaster meliputi tanah Ruang laut terdiri dari


permukaan (2 dimensi) maupun di permukaan laut, kolom air dan
atas atau di bawah tanah (3 dasar laut (3 dimensi).
dimensi)

3 Tanah bersifat relatif statis (jika Laut bersifat dinamis


gelombang seismik = nol) (dipengaruhi oleh faktor
astronomis dan non-astronomis)

48
Selanjutnya perbandingan konsep kadaster pertanahan dan kadaster kelautan di
negara Australia, Kanada dan Amerika ditunjukkan pada Tabel II.10, Tabel II.11
dan Tabel II.12.

Tabel II.10 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan di


Australia

No Kadaster Pertanahan Kadaster Kelautan

1 Tanah publik dianggap milik Laut dikelola berdasarkan batas


kerajaan (crown). Pemerintah kewenangan laut federal (3-12 mil) dan
mewakili crown memiliki 72% negara bagian/state (0-3mil laut).
tanah di Australia. Aborigin 13%
dan 15% pribadi (Cooray, 1995).

2 Tanah yang dapat dimiliki Pemanfaatan laut dilakukan di


hanyalah permukaan bumi saja, permukaan, kolom, dan dasar laut
sedangkan mineral yang ada (termasuk mineral yang ada dibawah
dibawahnya adalah milik crown. laut). Pembagian hasil pemanfaatan
Pembagian hasil mineral diatur diatur oleh kebijakan pemerintah
oleh negara. federal, state dan pihak ketiga.

3 Tanah dapat dimiliki pribadi atau Laut dikelola penduduk setempat,


golongan dalam arti bukan pemerintah dan adat. Tidak ada sistem
kepemilikan mutlak, hanya izin freehold, yang ada hanyalah leasehold
penguasaan tanah dari crown oleh negara kepada swasta/ kelompok,
dalam bentuk freehold maupun contoh: oil and gas development right.
leasehold.

4 Terkait dengan tanah adat, benua Sama halnya dengan di darat, suku
Australia dahulu dinyatakan terra Aborigin harus dapat membuktikan
nullius (lahan kosong) dan disita bahwa mereka adalah kelompok yang
dari masyarakat Aborigin tanpa pernah hidup di tempat itu dan
kompensasi. Suku Aborigin harus memiliki tanggung jawab terhadap laut
dapat membuktikan bahwa tersebut.
mereka pernah hidup di tempat itu
dan memiliki tanggung jawab
terhadap tanah tersebut.

5 Menganut sistem pendaftaran hak Kegiatan pemanfaatan laut selama ini


(Torrens System) dilakukan berdasarkan jenis hak dan
kepentingan. Konsep pencatatan/
recorded right, interest, restriction, dan
responsibility di dalam Sistem Torrens
digunakan sebagai pendekatan untuk
merumuskan definisi kadaster kelautan
di Australia.

49
Tabel II.11 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan di
Kanada

Kadaster Pertanahan Kadaster Kelautan

1. Sekitar 89% dari luas daratan Terdapat kewenangan laut provinsi


Kanada adalah crown land yang dan federal yang batas-batasnya
dikelola oleh pemerintah federal tidak ditentukan berdasarkan jarak
41%, provinsi 48%, dan 11% (mil laut). Beberapa provinsi
dimiliki pribadi atau perusahaan (British Columbia) memiliki
(Crown Land The Canadian kewenangan laut yang berbeda
Encyclopedia, 2007). dengan memunculkan kewenangan
laut untuk local government
(municipal dan regional).

2. Dominion Lands Act 1871 Pemanfaatan laut dilakukan di


mendefinisikan hak kepemilikan permukaan air (water surface),
tanah adalah penguasaan tanah kolom air (water column), dan
dan semua lapisan tanah termasuk lapisan tanah (subsoil).
mineral, minyak atau gas alam
yang berada dibawah tanah.
Sekitar tahun 1900 Dominion
Lands Act 1871 diamandemen
bahwa hak kepemilikan tanah
tidak termasuk lapisan tanah di
dalamnya.

3. Tanah dapat dimiliki pribadi atau Laut dikelola penduduk setempat,


golongan dalam arti bukan pemerintah dan adat. Tidak ada
kepemilikan mutlak. Setiap orang sistem freehold, yang berlaku
berhak menggunakan dan hanyalah leasehold oleh negara
menikmati properti. kepada individu maupun kelompok.

4. Berbeda dengan di Australia, Berdasarkan keputusan pengadilan


bahwa Kanada mengakui bahwa pemerintah maupun
masyarakat adat sudah ada dan pengusaha wajib berkonsultasi
memiliki klaim sebelumnya. dengan masyarakat asli sebelum
melakukan aktivitas di daerah
(perairan) tradisional mereka.

5. Sebagian besar provinsi di Belum ada istilah untuk sistem


Kanada menganut sistem pendaftaran hak di laut. Kegiatan
pendaftaran hak (Torrens System). pemanfaatan laut selama ini
dilakukan berdasarkan jenis hak
dan kepentingan.

50
Tabel II.12 Perbandingan Konsep Kadaster Pertanahan dan Kadaster Kelautan di
Amerika

No Kadaster Pertanahan Kadaster Kelautan

1. Berbeda dengan Australia dan Terdapat kewenangan laut state


Kanada, di Amerika tidak terdapat (0-3mil laut, kecuali Texas dan
kepemilikan crown land. T.Florida 0-9mil laut), perairan
federal (semua perairan laut diluar
3 mil atau 9 mil laut).

2. Menganut azas pelekatan mutlak, Pemanfaatan laut dilakukan di air


yakni pemilikan tanah meliputi column, water surface, water
juga pemilikan material di column, seabed, subsurface.
dalamnya, termasuk adanya hak
atas ruang udara di atas tanah
miliknya (air rights).

3. Tanah meliputi ruang diatasnya Laut dapat dikelola (dengan cara


dan tubuh bumi dibawahnya dapat disewa) oleh pribadi atau
dimiliki pribadi atau golongan golongan meliputi ruang diatasnya
dalam arti kepemilikan mutlak. dan tubuh bumi dibawahnya.
Namun negara juga memiliki hak Namun negara juga memiliki hak
untuk mengambil kepemilikan untuk mengambil atau membatasi
pribadi untuk kegunaan publik. ruang pribadi untuk kegunaan
publik.

4. Pemindahan masyarakat adat dari Berdasarkan keputusan


tanah mereka ke reservation mahkamah konstitusi sering kali
untuk bangsa Indian di Amerika hukum adat harus mengalah jika
Serikat. dihadapkan dengan kegiatan
pemanfaatan laut untuk
kepentingan negara.

5. Sebagian besar negara bagian Walaupun sebagian besar negara


menganut sistem pendaftaran bagian menganut sistem
akta. Hanya 11 negara bagian pendaftaran tanah akta, kegiatan
yang menganut Sistem Torrens. pengelolaan laut tetap didasarkan
pada jenis hak dan kepentingan.

51
II.9 Keterkaitan Kadaster Kelautan dengan UNCLOS 1982, Bentuk Negara
dan Sistem Pemerintahan

Secara garis besar kadaster kelautan berkaitan dengan bagaimana suatu negara
dalam mengelola dan mengatur administrasi sumber daya laut, dipengaruhi oleh
faktor eksternal yaitu kedudukan dan kedaulatan negara tersebut di dalam hukum
laut internasional (UNCLOS 1982) maupun faktor internal yakni bentuk negara,
sistem pemerintahan dan bentuk pemerintahan yang dianut oleh negara tersebut
(Gambar II.7).

Kondisi inilah yang menyebabkan konsep-konsep kadaster kelautan dari negara-


negara benua (non-kepulauan) seperti Amerika, Kanada dan Australia tidak bisa
diterapkan seutuhnya di Indonesia sebagai negara kepulauan.

Gambar II.7 Diagram keterkaitan kadaster kelautan dengan UNCLOS 1982,


bentuk negara dan sistem pemerintahan

Berikut perbandingan bentuk negara, sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan,


karakteristik dan sistem kadaster pertanahan di Australia, Kanada, Amerika dan
Indonesia ditunjukkan pada Tabel II.13.

52
Tabel II.13 Perbandingan Bentuk Negara, Sistem Pemerintahan, Bentuk
Pemerintahan, Karakteristik dan Sistem Kadaster Pertanahan di Australia,
Kanada, Amerika dan Indonesia

Australia Kanada Amerika Indonesia

Karakteristik Negara pantai Negara Negara Negara


pantai pantai kepulauan
Bentuk Federasi Federasi Federasi Kesatuan
Negara
Sistem Parlementer Demokrasi Presidensial Presidensial
Kepemerintah Federal
-an
Bentuk Monarki Monarki Republik Republik
Pemerintahan Konstitusional Konstitusio- Federasi
nal
Sistem Pendaftaran Sebagian Sebagian Pendaftaran
Kadaster Hak/ Title besar besar Hak/Title
Pertanahan Registration Pendaftaran Pendaftaran Registration
Hak/ Title Akta/ Deeds
Registration Registration

Informasi pada Tabel II.13 semakin menegaskan bahwa diperlukan definisi


kadaster kelautan dalam perspektif keindonesiaan, yakni sesuai dengan
karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan.

II.9.1 Marine Cadastre di dalam konteks Negara Kesatuan dan Negara


Federal

Marine Cadastre di dalam konteks negara federal diselenggarakan berdasarkan


batas kewenangan laut pemerintah federal dan kewenangan laut negara bagian
(state) yang tidak selalu sama, sangat dipengaruhi oleh konstitusi yang berlaku di
masing-masing negara bagian tersebut. Sedangkan marine cadastre di dalam
konteks negara kesatuan dipandang sebagai satu kesatuan sistem untuk
pengelolaan laut di semua wilayah dengan memperhatikan batas kewenangan laut
pemerintah daerah provinsi (12 mil laut), kota dan kabupaten (1/3 dari laut
wilayah provinsi), penyelenggarannya sangat dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah pusat (Tabel II.14).

53
Tabel II.14 Perbandingan Konsep Marine Cadastre di dalam Konteks Negara
Kesatuan dan Negara Federal

Negara Federal Negara


Kesatuan
(Disentralisasi)
Australia Kanada Amerika Indonesia
1. • Federal • Federal • Federal • Pemerintah
Pelaksanaan • States (6) • Provinsi • States Pusat
Pemerintahan • Territories (10) (50) dan • Provinsi (34)
(2) • Teritori (3) District • Kota (98) dan
• Kotamad- (1) Kabupaten
ya (lokal (403)
atau • Kecamatan
regional). (6.493)
• Kelurahan/
Desa (76.655)
2.  States: 0-3 Tidak  State: 3 • Provinsi:12
Batas mil laut. ditentukan mil laut mil laut.
Pengelolaan  Federal:di- berdasarkan (kecuali • Kabupaten/
Laut luar 3mil jarak (mil Texas Kota:1/3 dari
sd 12 mil laut) dan wilayah laut
Florida provinsi.
9 mil)
 Federal:
diluar 3-
12 mil
laut.
3. • Negara bagian memiliki „‟otonomi • Pemberian
Hak/ asli‟‟. dari
Kewenangan • Masing-masing state memiliki pemerintah
kewenangan yang berbeda, bersifat pusat.
lebih luas dan mandiri. • Pemerintah
daerah
memiliki
kewenangan
relatif sama
dan terbatas.
4. Dipengaruhi oleh kewenangan pemerintah Sangat
Restriction federal dan kewenangan yang berbeda bergantung
dari masing-masing states. pada kebijakan
pemerintah
pusat.

54
Tabel II.14 Perbandingan Konsep Marine Cadastre di dalam Konteks Negara
Kesatuan dan Negara Federal (lanjutan)
Negara Federal Negara
Kesatuan
(Disentralisasi)
5. Pemerintah federal, state, shared Pemerintah
Responsibility responsibility antara pemerintah federal pusat,
dan state. pemerintah
daerah, shared
responsibility
antara
pemerintah
pusat dan
daerah.

II.9.2 Marine Cadastre di dalam konteks Negara Kepulauan dan Negara


Pantai

Kedaulatan suatu negara atas perairannya sangat penting untuk mengetahui sejauh
mana hak dan kewajiban yang dimilikinya, serta mekanisme yang dapat
diterapkan untuk penegakan hukum (berkaitan dengan kewenangan). Suatu negara
pantai (coastal state) memiliki kedaulatan atas wilayah laut yang berbeda negara
kepulauan (archipelagic state), hal ini diatur oleh UNCLOS 1982 Pasal 49 (Tabel
II.15).

Tabel II.15 Perbedaan Kedaulatan Wilayah Laut Negara Kepulauan dan Non-
Kepulauan (Negara Pantai)

Negara Kepulauan (Archipelagic State) Negara Pantai (Coastal State)


Indonesia Australia, Kanada, Amerika
Kedaulatan (Perairan Indonesia): 1. Perairan pedalaman
1. Perairan pedalaman 2. Laut teritorial
2. Perairan kepulauan 3. Ruang udara di atas laut
3. Laut teritorial teritorial
4. Ruang udara di atas laut teritorial 4. Ruang udara di atas
5. Ruang udara di atas perairan kepulauan perairan pedalaman
6. Ruang udara di atas perairan pedalaman 5. Dasar laut
7. Dasar laut 6. Tanah di bawah laut
8. Tanah di bawah laut
Hak Berdaulat: Zona Tambahan, ZEE,
Landas Kontinen
Kepentingan: Laut Bebas

55
Marine cadastre di dalam konteks negara pantai digunakan sebagai sistem untuk
pengelolaan laut termasuk dasar laut, tanah di bawah laut dan sumber daya laut
yang terkandung di dalamnya, dari Territorial Sea Baseline ke arah laut menuju
laut teritorial. Sedangkan marine cadastre di dalam konteks negara kepulauan
dipandang sebagai sistem untuk pengelolaan batas laut wilayah yang lebih
kompleks yakni batas laut wilayah yang saling berhadapan maupun bersebelahan,
pengelolaan laut di perairan sekitar, antara dan yang menghubungkan pulau-pulau
(terlepas dari luas dan dimensi yang berbeda) yang dianggap sebagai satu
kesatuan dan merupakan bagian dari perairan internal negara (perairan pedalaman,
perairan kepulauan, dan laut teritorial).

II.10 Marine Cadastre di negara Non-Kepulauan

II.10.1 Australia

Pada tahun 1999, Hoogsteden, Robertson dan Benwell merumuskan definisi


kadaster kelautan sebagai berikut: Marine cadastre is a system to enable the
boundaries of maritime rights and interests to be recorded, spatially managed and
physically defined in relationship to the boundaries of other neighbouring or
underlying rights and interests.

Definisi di atas memiliki kedekatan dengan definisi kadaster pertanahan, yakni


mengacu pada batas-batas, dalam hal ini adalah batas-batas laut (marine
boundaries). Definisi ini banyak dijadikan referensi oleh negara-negara lain,
termasuk Amerika (sebelum merumuskan sendiri definisi marine cadastre pada
tahun 2002). The Australian Research Council (ARC) Marine Cadastre Project
telah menggunakan definisi marine cadastre sebagai titik awal dalam
pengembangan konsep marine cadastre di Australia.

Pada tahun 2002, Melbourne University Australia membuat konsep diagram


marine cadastre. Konsep tersebut banyak digunakan oleh berbagai pihak dan
peneliti dari berbagai negara sebagai referensi.

56
Gambar II.8 Ilustrasi visual konsep marine cadastre Australia (Binns, 2004).

Gambar II.8 menunjukkan bahwa kadaster kelautan tidak seharusnya


dikembangkan secara terpisah dari lingkungan darat. Sebagian besar aktivitas
terjadi di wilayah pesisir. Wilayah ini menghubungkan wilayah darat dan laut,
merupakan titik akses masyarakat terhadap lingkungan laut dan merupakan
wilayah “tumpahan” seluruh dampak aktivitas di darat yang terbuang atau
mengalir ke laut. Kegiatan-kegiatan seperti: Tourism & Recreation, Marine
Protected Areas, Shipping, Heritage, Cables and Pipelines, Aquaculture Leases,
Mineral and Energy, Native Title, Ocean Waste Disposal harus disiapkan batas-
batas administrasi dan hukum yang mengatur dimana dan kapan kegiatan tersebut
dapat terjadi. Hak (right), batasan (restriction) dan kewajiban (responsibility)
yang pergi bersama dengan batas-batas tersebut juga harus dicatat.

Laut Australia dikelola oleh sejumlah organisasi dan lembaga. Masing-masing


bertanggung jawab untuk pengumpulan, penyusunan dan pemutakhiran data
spasial yang berkaitan dengan kepentingan organisasi atau lembaga. Kondisi ini
menyebabkan data menjadi beragam dan tidak konsisten, menyebabkan para
stakeholder di lingkungan laut kesulitan memilih data yang handal. Dibentuklah
Australia Spatial Data Infrastructure (ASDI) di lingkungan laut untuk
mendukung dan memfasilitasi ketersediaan dan keandalan data spasial. ASDI juga

57
memberikan dasar terwujudnya integrasi lingkungan laut dan darat untuk
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan di seluruh wilayah hukum
Australia.

Kemudian tahun 2004 Andrew Binns merumuskan definisi kadaster kelautan


sebagai berikut: Marine cadastre is a spatial boundary management tool which
describes, visualises and realises legally defined boundaries and associated
rights, restrictions and responsibilities in the marine environment.

Binns merumuskan definisi marine cadastre dengan penjelasan yang lebih rinci,
yakni dengan menggunakan kalimat “Marine cadastre is a spatial boundary
management tool”. Berbeda dengan definisi yang ada sebelumnya menggunakan
kalimat Marine cadastre is a system (Robertson, 1999) atau A marine cadastre is
a marine information system (Nichols, 2000) atau Marine Cadastre is an
information system (NOAA, 2002). Tujuan dan unsur-unsur kadaster kelautan
dalam definisi tersebut juga dinyatakan secara jelas, yakni describes, visualises
and realises legally defined boundaries and associated rights, restrictions and
responsibilities in the marine environtment.

Definisi dari Binns (2004) dijadikan sebagai pengembangan konsep marine


cadastre di Australia. Hasil nyata dari konsep kadaster laut di Australia adalah
kemampuan pengguna dan pemangku kepentingan untuk menjelaskan,
memvisualisasikan dan merealisasikan informasi spasial yang ada di lingkungan
laut. Marine cadastre menggambarkan lokasi dan luasnya hak (right), batasan
(restriction) dan tanggung jawab (responsibility) di lingkungan laut, termasuk
batas-batas pengelolaan dan pedoman perencanaan pesisir dan laut. Lokasi, hak,
batasan dan tanggung jawab tersebut kemudian harus dapat divisualisasikan
melalui pembaruan data spasial secara terus menerus dan akurat. Kemampuan
untuk mendeskripsikan dan memvisualisasikan batas-batas di laut merupakan
pendekatan terpadu dan praktis untuk pengelolaan laut Australia. Konsep kadaster
kelautan di Australia sudah diterapkan di beberapa negara bagian seperti di
Queensland dan Victoria.

58
Sebagai pengembangan konsep kadaster kelautan yang sudah ada, pada tahun
2010 Geoscinece Australia, badan-badan pemerintah dan swasta membangun
Australian Marine Spatial Information System (AMSIS) yang dapat memberikan
informasi mengenai laut Australia secara holistik dan terpadu (Gambar II.9).
Melalui AMSIS, setiap pengguna dapat mengakses kekayaan data kelautan
termasuk batas-batas yurisdiksi, kegiatan pertambangan, kegiatan transportasi
laut, perikanan dan kegiatan laut lainnya.

Gambar II.9 Tampilan sistem informasi spasial kelautan


di Australia (www.ga.gov.au)

Permasalahan utama pengelolaan laut di Australia dalam perspektif unsur-unsur


kadaster adalah permasalahan batas laut. Berdasarkan batas yurisdiksi laut
Australia (Gambar II.10), maka permasalahan yang timbul antara lain masalah
batas kewenangan laut negara bagian/state (0-3 mil laut) dengan laut federal (0-12
mil laut), dan masalah batas-batas kegiatan pengelolaan laut antar sektoral seperti
yang terjadi di wilayah Great Barrier Reef Marin Park (GBRMP).

59
Laut Federal
Laut State

Gambar II.10 Profil batas kewenangan pemanfaatan laut wilayah di yurisdiksi


laut Australia (www.ga.gov.au)

GBRMP merupakan salah satu taman laut terbesar di dunia yang melidungi
karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya (Gambar II.11). GBRMP terletak
di dalam wilayah laut negara bagian Queensland sampai dengan wilayah laut
federal. Untuk menghindari konflik kewenangan pengelolaan, maka dibangun
kesepakatan untuk menggabungkan tanggung jawab Pemerintah Negara Bagian
Queensland dan pemerintah federal untuk pengelolaan. Perizinan dan regulasi
kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dikendalikan Pemerintah Negara bagian
Queensland, sedangkan kegiatan industri wisata bahari dan hubungan dengan
negara lain diawasi oleh pemerintah federal.

60
Gambar II.11 Peta zona pemanfaatan laut di Great Barrier Reef Marine Park-
Australia (www.gbrmpa.gov.au)

Dalam upaya melestarikan GBRMP terkait dengan kegiatan-kegiatan sektoral di


dalamnya, maka diberlakukan kombinasi zonasi, perencanaan pengelolaan dan
izin kegiatan terpadu. Memancing ikan atau makhluk laut lainnya diatur secara
ketat, lalu lintas pelayaran komersil harus tetap berpegang pada rute tertentu untuk
menghindari daerah taman. GBRMP memiliki 4 (empat) sifat pemanfaatan yang
berbeda, yakni: 1). As of right, digunakan untuk perikanan yang dapat terjadi
dalam zona tertentu 2) Permitted uses untuk penelitian dan pariwisata yang dapat
dilakukan di sebagian zona. 3) Controlled access use dan 4) No access zones,
untuk pelestarian dan penelitian yang tidak bisa dilakukan tempat lain.

Mengenai permasalahan pengelolaan laut adat, Australia memiliki National


Native Title Tribunal yang dibentuk di bawah Native Title Act yakni suatu badan
yang yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan persoalan adat maupun
menetapkan hak dan kepentingan adat di tanah dan perairan Australia melalui
keputusan pengadilan federal Australia. Keberadaan wilayah adat di wilayah
daratan dan lautan diakui dan dilindungi oleh pemerintah Australia (Tabel II16).

61
Konflik yang ditimbulkan dari penggunaan wilayah adat oleh swasta atau
pemerintah negara bagian (state) maupun pemerintah federal dapat diminimalkan
dengan kesepakatan berupa perjanjian penggunaan tanah adat (Indigenous Land
Use Agreements).

Tabel II.16 Daftar Penggunaan Wilayah Tanah dan Laut Adat di Australia
sampai dengan 31 Maret 2013 (Geospatial Services,2013)

II.10.2 Kanada

Sebelum tahun 2000, Kanada telah merumuskan konsep Multipurpose Cadastre


yang menghubungkan kadaster hukum dengan kadaster fiskal dengan informasi
spasial lainnya untuk memperoleh informasi spasial yang lebih luas yang
berhubungan dengan Geological and geophysical data, soils, vegetation, wildlife,
hydrology, climate, pollution, health and safety, industry and employment,
transport, water and sewerage, gas, electricity and telephones, emergency
services. Penyelenggaraan multipurpose cadastre ini memerlukan kerjasama dan
integrasi antar isntitusi yang bersangkutan, diwujudkan dengan dibentuknya
Spatial Data Infrastructure (SDI) dan Marine Geospatial Data Infrastructure
(MGDI) sebagai bagian dari Canadian Geospastial Data Infrastructure (CGDI)
yang mengatur kebutuhan untuk hukum, peraturan dan kebijakan, struktur
pemerintahan, pengaturan personil, manajemen data dan organisasi.

62
Konsep kadaster kelautan 3 (tiga) dimensi pada Gambar II.12 digunakan untuk
merepresentasikan semua hak dan kepentingan yang terjadi di laut, sehingga
memudahkan untuk menentukan hak dan kepentingan yang ada di permukaan air
(water surface), kolom air (water column), lapisan tanah (subsoil of the bed).
Termasuk informasi yang berhubungan dengan hukum, pajak, lingkungan dan
lainnya. Informasi tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan hukum-
hukum, peraturan-peraturan, kewajiban dari para stakeholder.

Gambar II.12 Ilustrasi visual konsep kadaster kelautan di Kanada (Ng'ang'a,


Nichols, Sutherland, dan Cockburn, 2001)

Tahun 2000 pemerintah Kanada menyelenggarakan sebuah penelitian dengan


judul: Good Governance of Canada’s Ocean: The Use, Value and Potential of
Marine Boundary Data. Fokus penelitian utama adalah untuk mempertimbangkan
isu-isu batas maritim dan batas-batas kegiatan laut. Tujuan kegiatan ini adalah
menyelesaikan masalah batas sebagai langkah awal untuk mewujudkan
pengelolan laut yang efektif dan adil untuk mencapai tujuan di atas diperlukan
pemahaman tentang interaksi dan hubungan spasial antara berbagai jenis batas-
batas di laut seperti: batas-batas kepemilikan swasta dan publik, kota, kabupaten,
provinsi dan batas wilayah yurisdiksi dan administrasi, nasional dan internasional,
wilayah perlindungan lingkungan, batas militer, jalur pipa dan kabel bawah laut,
serta batas kegiatan lainnya. Batas-batas laut yang berhasil diidentifikasi

63
selanjutnya dilakukan evaluasi dan visualisasi dari masing-masing batas,
kemudian batas-batas tersebut dijadikan sebagai kerangka konseptual untuk
pengelolaan laut di Kanada.

Pada tahun yang sama (2000), Nichols, Monahan dan Sutherland merumuskan
definisi kadaster kelautan sebagai berikut: A marine cadastre is a marine
information system, encompasisng both the nature and spatial extent of the
interests and property rights, with respect to ownership and various rights and
responsibilities in the marine jurisdiction. Definisi ini memiliki pemahaman yang
sedikit bervariasi dari kegiatan Good Governance of Canada’s Oceans yang
menitikberatkan pada masalah batas (boundary). Nichols dkk memperkenalkan
konsep hak (right) dan kewajiban (responsibility) dalam wilayah hukum laut.
Definisi marine cadastre ini banyak dijadikan referensi di beberapa negara.

Sebuah langkah maju dalam pengembangan kadaster kelautan, pada tahun 2008
The Coastal and Ocean Information Network for Atlantic Canada (COINAtlantic)
membangun sistem aplikasi kadaster kelautan, menggunakan St. Margaret‟s Bay
sebagai wilayah studi seperti pada Gambar II.13 di bawah ini.

Gambar II.13 Tampilan sistem alpikasi COINAtlantic marine cadastre di Kanada


(http://coinatlantic.ca)

64
Gambar II.14 menunjukkan bahwa di dalam laut terirorial Kanada (0-12 mil laut)
terdapat kewenangan laut provinsi dan federal yang batas-batasnya tidak
ditentukan berdasarkan jarak (mil laut) seperti halnya di Australia (laut state 0-
3mil laut) atau di Indonesia (laut provinsi 12 mil laut, kota/kabupaten 1/3 dari 12
mil laut). Bahkan beberapa provinsi, seperti Provinsi British Columbia memiliki
kewenangan pengelolaan laut yang berbeda dibandingkan dengan provinsi
lainnya, yakni dengan memunculkan batas kewenangan laut untuk local
government (yang terdiri dari municipal dan regional) yang tidak ditentukan
berdasarkan jarak (mil laut).

Gambar II.14 Profil batas kewenangan pemanfaatan laut wilayah di yurisdiksi


laut Kanada (www.dfo-mpo.gc.ca)

Kondisi ini seringkali menimbulkan permasalahan batas kewenangan laut wilayah


di Kanada. Konflik antara pihak swasta dengan hak adat dalam pemanfaatan laut,
terutama kegiatan penangkapan ikan sering terjadi. Walaupun pemanfaatan laut
secara adat tidak memiliki eksklusivitas wilayah, hukum adat tetap diakui dan
dilindungi keberadaannya oleh pemerintah Kanada.

Permasalahan utama pengelolaan laut di Kanada memiliki kesamaan


permasalahan dengan Negara Australia, yakni:

65
 Permasalahan batas laut: yurisdiksi, administrasi dan pengelolaan yang tidak
jelas.
 Pengaturan pengelolaan bersama antara pemerintah negara bagian dan
federal.
 Tidak ada satu institusi (badan) yang mengelola hak-hak lepas pantai dan
batas.
 Hak masyarakat adat (penduduk asli).

II.10.3 Amerika

The Coastal Services Centre (CSC) of the National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA), telah melakukan penelitian pembangunan sistem
informasi kelautan yang komprehensif sejak pertengahan tahun 1990. Penelitian
ini didasarkan pada studi percontohan yang meliputi negara bagian Florida,
Georgia, North Carolina dan South Carolina dan telah menghasilkan Ocean
Planning Information System (OPIS). OPIS merupakan aplikasi yang
menguraikan dunia nyata dimana konsep kadaster sudah diterapkan dan
digunakan untuk perencanaan laut terpadu (Gambar II.15). Sistem ini
menyediakan kemudahan untuk mengakses data dan informasi kelautan sebagai
pendekatan dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut terpadu.

Gambar II.15 Tampilan sistem aplikasi Ocean Planning Information


System (http://marinecadastre.gov)

66
Pada tahun 2002, United States Departemen of Communication (U.S DOC)-
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) merumuskan definisi
kadaster kelautan sebagai berikut: “The U.S Marine Cadastre is an information
system, encompassing both nature and spatial extenet of interensts in property,
value and use of marine areas. Marine or maritime boundaries share a common
element with their land-based counterparts inthat, in order to map a boundary,
one must adequately interpret the relevan law and its spatial context. Marine
boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical
evidence of the boundary.”

Definisi di atas diterapkan dalam salah satu contoh peta marine cadastre pada
Gambar II.16 di bawah ini.

Gambar II.16 Peta marine cadastre di Florida Sanctuary (www.noaa.gov).

Definisi kadaster kelautan di Amerika dirumuskan dalam perspektif yang lebih


luas, sehingga tidak mengkaitkan unsur right, restriction dan responsibility. Lebih
menitikberatkan pada penetapan batas-batas di laut (marine boundaries). Kadaster
kelautan di Amerika sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Geographic
Information System (GIS) berbasis web, berdasarkan otorisasi sumber data yang
mengintegrasikan hukum, data fisik, data ekologi dan budaya.

67
Pada tahun 2010, Federal Geographic Data Committee’s (FGDC) Marine
Boundary Working Group (MBWG) mengembangkan kadaster kelautan berbasis
web. Informasi yang ditampilakan antara lain: Jurisdictional Boundaries and
Limits, Federal Georegulations, Navigation and Marine Infrastructure, Proposed
Energy Projects, Geology and Seafloor Data, Marine Habitat and Biodiversity,
Base Maps. Sistem ini menerapkan prinsip-prinsip kadaster untuk perencanaan
laut terpadu dengan menyediakan akses yang mudah dan menyeluruh terkait data
dan informasi kelautan sebagai pendekatan terpadu dalam pengelolaan sumber
daya wilayah pesisir dan laut.

Konsep kadaster kelautan selanjutnya dikembangkan menjadi multipurpose


marine cadastre oleh NOAA Coastal Services Centre and the Mineral
Management Service (CSC-MMS) yang dapat memberikan informasi mengenai
Alternative Energy, Ocean Planning, Habitat Conservation, Human
Use/Recreation, Marine Protected Areas (MPA), dan Aquaculture, seperti yang
ditampilkan pada Gambar II.17 di bawah ini.

Gambar II.17 Tampilan sistem aplikasi multipurpose marine cadastre di Amerika


(www.noaa.gov).

Permasalahan utama pengelolaan laut di Amerika dalam perspektif unsur-unsur


kadaster adalah permasalahan batas laut. Berdasarkan batas yurisdiksi laut
Amerika pada Gambar II.18, maka permasalahan yang seringkali timbul adalah
konflik batas kewenangan laut negara bagian (state) dengan pemerintah federal.

68
Gambar II.18 Profil batas kewenangan pemanfaatan laut wilayah di yurisdiksi
laut Amerika (www.noaa.gov).

Konflik batas kewenangan laut sering terjadi di zona terirorial Amerika (0-12 mil
laut) yang di dalamnya terdapat kewenangan laut state (0-3mil laut) kecuali Texas
dan Teluk Florida (0-9 mil laut). Semua perairan laut di luar 3 mil laut (atau 9 mil
laut) adalah perairan federal dan negara bagian tidak memiliki yurisdiksi di
perairan federal. Kondisi ini seringkali menimbulkan benturan kewenangan
pengelolaan laut antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal.

NOAA dan lembaga federal lainnya telah menggunakan Coastal Zone


Management Act (CZMA) sebagai sarana untuk mengatasi masalah kewenangan
pengelolaan laut negara bagian dan federal di dalam mengimplementasikan
program-program pengelolaan pesisir dan laut milik negara bagian yang berada di
perairan federal. CZMA memberikan kesempatan kepada negara bagian untuk
dapat memasukkan program rencana pengelolaan pesisir dan laut mereka di
perairan laut federal. Jika disetujui maka pemerintah federal akan memberikan
izin/ lisensi kepada negara bagian tersebut selama melakukan kegiatan di perairan
laut federal. Sebagai contoh pada Gambar II.19 memperlihatkan kegiatan
pengelolaan sumber daya laut untuk pemanfaatan energi alternatif di negara
bagian Rhode Island.

69
Gambar II.19 Peta batas pengelolaan laut antara negara bagian Rhode Island dan
pemerintah federal Amerika (www.noaa.gov).

Konflik pemanfaatan laut antara pemerintah negara bagian atau federal atau pihak
swasta dengan hak laut adat dapat diselesaikan berdasarkan keputusan mahkamah
konstitusi, dimana seringkali hukum adat harus mengalah jika dihadapkan dengan
kegiatan pemanfaan laut untuk kepentingan negara. Tidak terdapat eksklusivitas
wilayah laut adat di Amerika.

II.11 Karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara


Kepulauan

Istilah Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah hasil keputusan Konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional Tahun 1982
(United Nations on the Law of the Sea/ UNCLOS ke-2). Konsep kepulauan
(archipelago) dituangkan dan diatur dalam Pasal 46 (b) yang dijelaskan sebagai
suatu gugusan pulau, temasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain
wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau-
pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,
ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis/kesejarahan dianggap
demikian. Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat 1 UU RI No. 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia disebutkan bahwa Negara Kepulauan adalah negara yang

70
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain. Indonesia menuangkan Konsepsi Negara Kepulauan dalam amandemen ke-2
UUD RI 1945 Bab IXA tentang wilayah negara. Pada Pasal 25 E berbunyi Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara
dengan wilayah-wilayah yang batas-batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang.

Definisi negara kepulauan di atas masih berorientasi pada wilayah darat yakni
dengan menitikberatkan pada kata pulau. Di dalam penelitian ini dilakukan
pendefinisian kembali mengenai negara kepulauan, yakni Negara Kepulauan
adalah negara yang mempunyai laut demikian luas, pada laut tersebut tersebarlah
pulau-pulau yang demikian banyak. Hakekat sebagai Negara Kepulauan adalah
suatu kesatuan utuh wilayah (ruang darat, ruang laut, ruang udara) yang batas-
batasnya ditentukan oleh laut, dimana rasio wilayah laut lebih besar dari rasio
wilayah darat dan di dalamnya terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau.
Penyebutan Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan masih harus
ditambahkan dengan bercirikan nusantara, yaitu sesuai dengan apa yang ditulis
dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 25. Bercirikan Nusantara atau yang
lazim disebut Wawasan Nusantara yakni Kepulauan Nusantara sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (SULASDI,
2010).

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa NKRI sebagai negara kepulauan memiliki


unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kedaulatan

Negara kepulauan mempunyai kedaulatan terhadap seluruh daratan/pulau,


perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial termasuk ruang
udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber daya
alam di dalamnya (Pasal 2 dan 49 (2) UNCLOS 1982). Indonesia
menggabungkan perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorialnya secara bersamaan dalam satu istilah yang disebut sebagai
Perairan Indonesia (UU RI No.6 Tahun 1966 tentang Perairan Indonesia).

71
2. Tata Ruang Geografik

Indonesia memiliki wilayah laut 3.374.668 km2 yang lebih luas dari
wilayah darat yang hanya 1.922.570 km2, 13.466 pulau dan garis pantai
sepanjang 99.093 km (Badan Informasi Geospasial, 2013). Berkaitan
dengan hal ini, jika ditempatkan dalam perspektif tata ruang geografik,
wilayah negara kepulauan Republik Indonesia terdiri dari wilayah pesisir,
lautan, terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau.

3. Kepemerintahan

Pada wilayah negara kepulauan Republik Indonesia terdapat daerah


otonom sebanyak 524 terdiri dari 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota
(KPPOD, 2013), sebanyak 324 kabupaten/kota tersebut memiliki wilayah
pesisir (Kemendagri, 2010). Dengan dikeluarkannya UU RI No.32 Tahun
2004, pemerintah pusat memberikan kewenangan atau otoritas kepada
daerah tidak hanya sebatas urusan pemerintahan semata namun juga dalam
hal pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan sumberdaya yang dimilikinya
termasuk sumberdaya kelautan. Hal ini menegaskan bahwa laut Indonesia
dikelola oleh beberapa pemerintah daerah yang memiliki batas
kewenangan wilayah laut daerah.

UU RI No.27 Tahun 2007 diamandemen UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur secara
spesifik mengenai proses pengelolaan wilayah pesisir mulai dari tahap
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, hingga pengendalian yang
dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Undang-
Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini semakin
mempertegas bahwa model pengelolaan wilayah pesisir dan laut Indonesia
berbasis pada sistem otonomi daerah.

72
4. Kebangsaan yang Multikultural

Di wilayah negara kepulauan Republik Indonesia terdapat sebanyak 1.128


suku bangsa (BPS, 2010) dan 546 bahasa dan sub bahasa (Kemendikbud,
2012). Keberadaan multikultural ini sangat berpengaruh dalam
pemanfaatan sumber daya alam disekitranya, termasuk pemanfaatan
sumber daya laut. Terdapat sebanyak 10.640 desa (lebih dari 14%) dari
jumlah desa di Indonesia yakni 69.249 desa (BPS, 2012) adalah desa
pesisir dengan luas 35.949.021,30 ha atau 19% dari luas keseluruhan desa-
desa di Indonesia. Sekitar 92% desa pesisir di wilayah timur Indonesia
adalah desa adat yang mempraktikkan pengelolaan sumber daya alam
berbasis budaya lokal (Grand Design Pembangunan Desa, 2009).
Penyelenggaraan pemanfaatan laut di wilayah Indonesia bagian timur
lebih sering dihadapkan pada eksistensi pengelolaan laut secara adat
(ulayat laut).

5. Sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayati

Pada wilayah negara kepulauan Republik Indonesia terdapat sumber daya


dapat pulih (ikan dan hewan laut lainnya, hutan bakau, terumbu karang,
padang lamun, rumput laut, bahan-bahan bioaktif), sumber daya tidak
dapat pulih (mineral strategik, mineral vital, mineral industri), sumber
daya ruang wilayah (jasa lingkungan).

6. Rawan Bencana

Wilayah negara kepulauan Republik Indonesia terletak pada pertemuan


tiga lempeng besar bumi: Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, Lempeng
Samudra Hindia-Australia. Dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah
negara kepulauan harus memasukkan aspek rawan bencana.

7. Pertahanan dan Keamanan

Pada wilayah negara kepulauan Republik Indonesia yang dua pertiganya


adalah laut, diperlukan alat negara yang mempu mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

73
Model Fungsional Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan=F(Kedaulatan,
Tata Ruang Geografik, Kepemerintahan, Multikultural, Keanekaragaman Hayati,
Rawan Bencana, Pertahanan Keamanan).

1. Kedaulatan= F(perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial,


ruang udara di atas laut teritorial, ruang udara di atas perairan kepulauan,
ruang udara di atas perairan pedalaman, dasar laut, tanah di bawah laut,
sumber daya alam)

2. Tata Ruang Geografik= F(wilayah darat, wilayah pesisir, wilayah lautan,


pulau-pulau, gugusan pulau-pulau)

3. Kepemerintahan= F(pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,


pemerintah daerah kota, pemerintah daerah kabupaten)

4. Kebangsaan yang Multikultural=F(suku, bahasa, agamabudaya/adat)

5. Sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayati=F(sumber daya dapat


pulih, sumber daya tidak dapat pulih, sumber daya ruang wilayah, letak
geografis)
6. Rawan Bencana=F(letak geografis, jenis bencana, dampak/ resiko,
mitigasi bencana)
7. Pertahanan dan Keamanan=F(wilayah udara, wilayah darat, wilayah laut,
pulau-pulau, batas kedaulatan)

II.12 Persoalan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan di Indonesia


sebagai Negara Kepulauan

Berdasarkan jenis dan jumlah peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh


pemerintah Indonesia dari tahun ke tahun (belum dikaitkan dengan peraturan
pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten) terkait dengan kegiatan pemanfaatan
laut menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan laut Indonesia hingga saat ini
diselenggarakan lintas sektoral oleh beberapa kementerian.

74
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut
Undang-Undang Republik Indonesia
No Nomor Perihal
1 UU RI No.16 Tahun 2006 Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan
2 UU RI No.6 Tahun 1996 Perairan Indonesia
3 UU RI No.16 Tahun 1992 Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
4 UU RI No.9 Tahun 1985 Perikanan
UU RI No.31 Tahun 2004
UU RI No.45 Tahun 2009
5 UU RI No.17 Tahun 1985 Pengesahan UNCLOS
6 UU RI No.1 Tahun 1983 Pengesahan Perjanjian antara RI-Malaysia
tentang Rejim Hukum Negara Nusantara
dan Hak-hak Malaysia di Laut Teritorial dan
Perairan Nusantara serta Ruang Udara diatas
Laut Teritorial, Perairan Nusantara dan
Wilayah RI yang terletak diantara Mayalsia
Timur dan Barat
7 UU RI No.5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
8 UU RI No.11 Tahun 1974 Pengairan
9 UU RI No 1 Tahun 1973 Landas Kontinen Indonesia
10 UU RI No. 16 Tahun 1964 Bagi Hasil Perikanan
11 UU RI No. 3 Tahun 2002 Pertahanan Negara
12 PerUU RI No.16 Tahun Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi
2006 Pengadilan Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 Ayat (5) UU
No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan
13 UU RI No.5 Tahun 2009 Perubahan UU No.31 Tahun 2004 tentang
Perikanan
14 UU RI No.27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
UU RI No.1 Tahun 2014 Pulau Kecil
15 UU RI No.4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara
16 UU RI No.17 Tahun 2008 Pelayaran
17 UU RI No.43 Tahun 2008 Wilayah Negara
18 UU RI No.22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah
UU RI No.32 Tahun 2004
UU RI No.23 Tahun 2014
19 UU RI No.10 Tahun 2009 Kepariwisataan
20 UU RI No.32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
21 UU RI No.11 Tahun 2010 Cagar Budaya
22 UU RI No.4 Tahun 2011 Informasi Geospasial
23 UU RI No.32 Tahun 2014 Kelautan

75
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
Peraturan Pemerintah
No Nomor Perihal
1 PP No.20 Tahun 2006 Irigasi
2 PP No.24 Tahun 2006 Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan
3 PP No.36 Tahun 2002 Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam
melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan
Indonesia
4 PP No.37 Tahun 2002 Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara
Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan
yang ditetapkan
5 PP No.38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
6 PP No.54 Tahun 2002 Usaha Perikanan
7 PP No.58 Tahun 2002 Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan
Perikanan di Bidang Jasa Riset Kelautan dan
Perikanan.
8 PP No.142 Tahun Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
2000 yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan
Perikanan.
9 PP No.7 Tahun 2000 Kepelautan.
10 PP No.23 Tahun 2000 Perusahaan Umun (Perum) Prasarana Perikanan
Samudra
11 PP No.141 Tahun Perubahan Kedua atas PP No.15 Tahun 1990
2000 tentang Usaha Perikanan.
12 PP No.19 Tahun 1999 Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan
Laut
13 PP No.82 Tahun 1999 Angkutan di Perairan.
14 PP No.21 Tahun 1998 Pembubaran Perusahaan Umum (Perum)
Perikanan Maluku, Penggabungan Perusahaan
Perseroan (Persero) PT.Perikani, PT.Tirta Raya
Mina dan PT.Perikanan Samodra Besar ke dalam
Modal Saham PT.Usaha Mina.
15 PP No.61 Tahun 1998 Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna.
16 PP No.1 Tahun 1995 Penambahan Peyertaan Modal Negara Republik
Indonesia ke dalam Modal Perum Prasarana
Perikanan Samudera.
17 PP No.64 Tahun 1993 Perubahan atas PP No.15 Tahun 1990 tentang
Usaha Perikanan.
18 PP No.2 Tahun 1990 Perum Prasarana Perikanan Samudera.
19 PP No.15 Tahun 1990 Usaha Perikanan
20 PP No.39 Tahun 1990 Pengalihan Bentuk Perum Perikanan Maluku
menjadi Persero.

76
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
21 PP No.40 Tahun 1990 Pengalihan Bentuk Perusahaan Perikanan
Negara (PN Perkani) Sulawesi Utara/Tengah
menjadi Persero.

22 PP No.17 Tahun 1988 Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan


Laut.
23 PP No.3 Tahun 1981 Pembubaran Perusahaan Perikanan Negara Riau
dan Penggabungannya ke dalam Persero.
24 PP No.4 Tahun 1981 Pembubaran Perusahaan Perikanan Jawa Timur
dan Perusahaan Perikanan Negara Sulawesi
Selatan/Tenggara dan Penggabungannya
kedalam PT.Perikanan Samodra Besar.
25 PP No.5 Tahun 1981 Pembubaran Perusahaan Perikanan Negara
Kesatuan Jawa Tengah dan Perusahaan Negara
Hasil Laut dan Penggabungannya ke dalam
PT.Tirta Raya Mina.
26 PP No. 37 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia
27 PP No.61 Tahun 2009 Kepelabuhan
28 PP No.22 Tahun 2011 Angkutan di Perairan
29 PP No.5 Tahun 2010 Kenavigasian
30 PP No.21 Tahun 2010 Perlindungan Lingkungan Maritim
31 PP No.7 Tahun 2000 Kepelautan
32 PP No.51 Tahun 2002 Perkapalan
33 PP No.12 Tahun 2000 Pencarian dan Pertolongan
34 PP No.15 Tahun 1984 Pengelolaan SDA Hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
35 PP No.36 Tahun 2002 Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam
Melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan
Indonesia.
36 PP No.37 tahun 2002 Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara
Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan
yangn ditetapkan Presiden Republik Indonesia.
37 PP No.60 Tahun 2007 Konservasi Sumber Daya Ikan.
38 PP No. 68 Tahun 2014 Penataan Wilayah Pertahanan Negara
39 PP No.7 Tahun 2014 Pelaksanaan UU Informasi Geospasial

Peraturan dan Keputusan Presiden


No Nomor Perihal
1 Perpres No.44 Tahun 2005 Pengesahan International Convention on
Maritime Liens and Mortgages
(Konvensi Internasional tentang Piutang
Maritim dan Mortage) 1993.

77
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
2 Perpres No.78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-pulau Terluar.
3 Keppres No.33 Tahun 2002 Pengendalian dan Pengawasan
Pengusahaan Pasir Laut.
4 Keppres No.1 Tahun 2001 Pencabutan Keppres No.31 Tahun 1987
tentang Pengesahan Agreement for the
Establishment of the Intergovernmental
Organization for Marketing Information
and Technical Advisory Services for
Fishery Products in the Asia Oacific
Region (Infofish).
5 Keppres No.126 Tahun 2000 Perubahan atas Keppres No.27 Tahun
1993tentang Pendirian Sekolah Tinggi
Perikanan.
6 Keppres No.145 Tahun 1999 Perubahan sebutan Menteri Eksplorasi
Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut
dan Perikanan.
7 Keppres No.178 Tahun 1999 Pengesahan Agreement Relating to the
Implementation of Part XI of the
UNCLOS 1982.
8 Keppres No.77 Tahun 1996 Dewan Kelautan Nasional
9 Keppres No.27 Tahun 1993 Pendirian Sekolah Tinggi Perikanan
10 Keppres No.23 Tahun 1982 Pengembangan Budidaya Laut di
Perairan Indonesia
11 Perpres No.12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola Perbatasan
12 Keppres No.21 Tahun 2007 Dewan Kelautan Indonesia
13 Perpres No.81 Tahun 2005 Badan Koordinasi Keamanan Laut.
14 Perpres No.178 Tahun 2014 Badan Keamanan Laut

Instruksi Presiden
No Nomor Perihal
1 Inpres No.2 Tahun 2002 Pengendalian Penambangan Pasir Laut
2 Inpres No.16 Tahun 2005 Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan
Pariwisata

1. Peraturan dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan


No Nomor Perihal
1 Per.13/Men/2006 Perubahan Permen No.7/Men/2005 tentang
Organisasi dana Tata Kerja Departemen Kelautan
dan Perikanan.
2 Per.18/Men/2006 Skala Usaha Pengelolaan Hasil Perikanan.
3 Per.12/Men/2005 Pemberian Keringanan kepada Perusahaan Perikanan
Indonesia yang melakukan Usaha Penangkapan Ikan
dengan menggunakan Kapal Penangkap/Pengangkut
Ikan Berukuran Lebih dari 30 Gross Tonnage (GT)
sampai dengan 60 GT.

78
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
4 Per.13/Men/2005 Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan.
5 Per.14/Men/2005 Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
6 Per.15/Men/2005 Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
yang Bukan untuk Tujuan Komersial.
7 Per.18/Men/2005 Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan.
8 Kep.17/Men/2005 Penetapan Lambang Departemen Kelautan dan
Perikanan.
9 Kep.18/Men/2011 Pedoman Umum Minapolitan
10 Kep.32/Men/2010 Penetapan Kawasan Minapolitan
11 Kep.39/Men/2011 Perubahan Penetapan Kawasan Minapolitan
12 Kep.45/Men/2011 Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
13 Per.1/Men/2009 Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
14 Per.2/Men/2009 Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
15 Per.8/Men/2011 Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia.
16 Per.3/Men/2009 Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di
Laut Lepas.
17 Per.3/Men/2010 Tata Cara Penetapan Status perlindungan Jenis Ikan.
18 Per.4/Men/2010 Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan.
19 Per.5/Men/2009 Skala Usaha di Bidang Pembudidayaan Ikan.
20 Per.7/Men/2010 Surat Laik Operasi Kapal Perikanan
21 Per.8/Men/2009 Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
22 Per.11/Men/2009 Penggunaan Pukat Ikat.
23 Per.4/Men/2011 Usaha Perikanan Tangkap.
24 Per.14/Men/2009 Mitra Bahari.
25 Per.15/Men/2009 Jenis Ikan dan Wilayah Penebaran Kembali Serta
Penangkapan Ikan Berbasis Budidaya.
26 Per.16/Men/2010 Pemberian Kewenangan Penerbitan SIPI dan SIKPI
kepada Gubernur.
27 Per.18/Men/2010 Log Book Penangkapan Ikan.
28 Per.27/Men/2009 Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan.
29 Per.30/Men/2010 Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan
Konservasi Perairan.

79
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
2. Peraturan dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
No Nomor Perihal
1 Per.45/Men/2006 Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur dan
Serbuk Bor pada Kegiatan Pengeboran Minyak
dan Gas Bumi.
2 Per.28/Men/2006 Pedoman dan Tata Cara Pelaksanaan Survei
Umum dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi.
3 Per.27/Men/2006 Pengelolaan dan Pemanfaatan Data yang diperoleh
dari Survei Umum, Eksplorasi dan Eksploitasi
Minyak dan Gas Bumi.
4 Per.26/Men/2006 Penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam Rangka
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.
5 Per.18/Men/2008 Reklamasi dan Penutupan Tambang
6 Per. 5/Men/2007 Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas
Bumi
7 Per.19/Men/2009 Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa.
8 Per.13/Men/2009 Pedoman Penyusunan Rancangan Penetapan
Cekungan Air Tanah.
9 Per.12/Men/2011 Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha
Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah
Pertambangan Mineral dan Batubara.
10 Per.1/Men/2011 Pedoman Teknis Pembongkaran Instalasi Lepas
Pantai Minyak dan Gas Bumi.
11 Kep.1321/Men/2005 Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi
Gas Bumi Nasional.
12 Kep.1565/Men/2008 Izin Usaha Pengangkutan Miyak Bumi dan Gas
Bumi Kepada PT.Pertamina
13 Kep.1568/Men/2008 Izin Usaha Niaga Minyak Bumi dan Gas Bumi
kepada PT.Pertamina
14 Kep.1009/Men/2010 Penetapan Wilayah Penugasan Survei
Pendahuluan Panas Bumi.
15 Kep.1110/Men/2009 Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa
kepada PT.Pertamina.
16 Kep.1128/Men/2004 Kebijakaan Batubara Nasional.

3. Peraturan dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup


No Nomor Perihal
1 Kep.201/Men/2004 Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan
Mangrove
2 Per.3/Men/2007 Fasilitas Pengumpulan dan Penyimpanan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun di Pelabuhan.
3 Per.4/Men/2007 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau
Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
4 Per.6/Men/2007 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau
Kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan.

80
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
5 Per.12/Men/2006 Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan
Air Limbah ke Laut.
6 Per.12/Men/2007 Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan
yang tidak memilii Dokumen Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
7 Per.12/Men/2008 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau
Kegiatan Pengelolaan Rumput Laut.

4. Peraturan dan Keputusan Menteri Perhubungan


No Nomor Perihal
1 Per.1/Men/2010 Tata Cara Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar
2 Per.3/Men/2008 Dokumen Identitas Pelaut
3 Per.48/Men/2011 Tata Cara Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan
Kapal Asing untuk kegiatan lain yang tidak
termasuk kegiatan mengnagkut penumpang
dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut
dalam negeri.

5. Peraturan dan Keputusan Menteri Budaya dan Pariwisata


No Nomor Perihal
1 Per.48/Men/2010 Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan
Bawah Air
2 Per.10/Men/2010 Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta
3 Per.89/Men/2010 Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Transportasi
Wisata

6. Peraturan dan Keputusan Menteri Perdagangan


No Nomor Perihal
1 Per.14/Men/2008 Verifikasi atau Penelusuran Teknis terhadap
Ekspor Produk Pertambangan Tertentu
2 Per.19/Men/2007 Perdagangan Bijih Timah antar Pulau
3 Per.36/Men/2011 Pengangkutan Rotan antar Pulau

7. Peraturan dan Keputusan Menteri Perindustrian


No Nomor Perihal
1 Per.41/Men/2008 Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri
2 Kep.117/Men/2003 Penghentian sementara Ekspor Pasir Laut
3 Kep.641/Men/2002 Penetapan Besarnya Harga Patokan Ekspor Pasir
Laut
4 Kep.441/Men/2002 Ketentuan Ekspor Pasir Laut

81
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
8. Peraturan dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No Nomor Perihal
1 Per.1/Men/2006 Pedoman Penegasan Batas Daerah
2 Per.76/Men/2012 Pedoman Penegasan Batas Daerah
9. Peraturan dan Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
No Nomor Perihal
1 Per.7/Men/2007 Perubahan Keputusan Menteri Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal
2 Kep.1/Men/2005 Strategi Nasional Pembangunan Daerah
Tertinggal

10. Peraturan dan Keputusan Menteri Pertanian


No Nomor Perihal
1 Per.24/Men/1963 Pelaksanaan Pembagian Tanah-tahan yang
sudah ditanami dengan Tanaman Keras dan
Tanah-tanah yang sudah diusahakan sebagai
Tambak
2 422/Kpt/LB/720/6/1988 Peraturan Karantina Hewan
3 Permentan Pupuk organik, pupuk hayati, dan
No.70/SR.140/10/2011 pembenah tanah.
11. Peraturan dan Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan
No Nomor Perihal
1 Keputusan Bersama Menteri Pembentukan Badan Koordinasi
Pertahanan dan Keamanan/ Keamanan di Laut dan Komando
Panglima Angkatan Bersenjata, Pelaksana Operasi Bersama
Menteri Perhubungan, Menteri Keamanan di Laut.
Keuangan, Menteri Kehakiman,
dan Jaksa Agung Nomor:
KEP/B/45/XII/1972;
SK/901/M/1972;
KEP.779/MK/III/12/1972;
J.S.8/72/1;KEP-085/J.A/12/1972
2 No.Kep.05/Menko/Polkam/2/2003 Kelompok Kerja Perencanaan
Pembangunan Keamanan dan
Penegakan Hukum di Laut

12. Peraturan dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum


No Nomor Perihal
1 Peraturan Menteri Pekerjaan Tata Cara dan Persyaratan Izin
Umum No.49/ 1990 Penggunaan Air dan atau Sumber
Air
2 Keptutusan Menteri Pekerjaan Tata Cara dan Persyaratan Izin
Umum No.401/KPTS/1996 Penggunaan Air dan atau Sumber
Air untuk Usaha Pertambangan
Umum

82
Tabel II.17 Peraturan Perundangan Pemanfaatan Laut (lanjutan)
No Nomor Perihal
3 Peraturan Menteri Pekerjaan Pedoman Perencanaan Tata Ruang
Umum No.40/Prt/M/2007 Reklamasi Pantai
4 Peraturan Menteri Pekerjaan Pedoman Penyusunan Rencana
Umum Republik Indonesia Nomor Pengelolaan Sumber Daya Air
02/Prt/M/2013.
5 Peraturan Menteri Pekerjaan Kriteria Dan Penetapan Wilayah
Umum dan Perumahan Rakyat Sungai
Nomor 04/Prt/M/2015
6 Permen PUPRNo.07/2015 Pengamanan Pantai

Tabel II.17 menunjukkan setidaknya ada 12 kementerian memiliki peraturan


perundangan yang dijadikan acuan dalam menyelenggarakan kegiatan
pengelolaan laut. Implementasi dari beberapa peraturan perundangan yang ada
seringkali menciptakan suatu kenyataan bahwa sumber daya laut nasional dikelola
secara parsial (berdasarkan sektoral), saling berdiri sendiri (tidak terintegrasi) dan
diselenggarakan tanpa perencanaan bersama. Masing-masing kementerian
mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut dengan maksud,
tujuan, target, rencana dan landasan hukum berbeda ini dapat menumbuhkan
konflik kewenangan pemanfaatan laut antar sektor/kementerian.

II.13 Teori Konflik

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai konflik pemanfaatan sumber daya


wilayah pesisir dan laut yang terjadi di Indonesia. Perlu dipahami definisi konflik
dan teori konflik.

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Ada
beberapa pengertian konflik secara umum menurut beberapa ahli. Konflik
merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam keadaan akibat
adanya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau
lebih secara berterusan (Newstrom dan Davis, 1977). Konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain
karena beberapa alasan. Pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua
atau lebih individu yang diekspresikan, diingat dan dialami (Pace dan Faules,
1994). Konflik senantiasa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan

83
yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Stewart, 1993).

Dari tiga definisi konflik di atas terdapat kesamaan unsur-unsur yakni:

1. Subjek konflik, yakni pelaku konflik dapat terdiri antar individu maupun
kelompok.
2. Objek konflik, yakni materi penyebab konflik, dapat berupa benda/ barang
(sumber daya) maupun bukan benda (nilai, status, perilaku, keputusan).
3. Kondisi eksisting.
4. Kondisi yang diinginkan (tujuan yang ingin dicapai).

Konflik dalam sudut pandang ilmu sosial merupakan suatu hasil disfungsional
akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang-
orang, dan kegagalan pemimpin untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi.
Dalam hubungan antar kelompok, konflik terjadi ketika salah satu kelompok
berusaha memaksakan nilai dan kepentingan yang mereka miliki pada kelompok
lain. Ada tiga teori tentang konflik antar kelompok (Stephen, W.G. dan Stephen,
C.W., 1996) yaitu:

1. Realistic Group Conflict Theory.


Bahwa konfik didasari oleh kompetisi untuk memperebutkan sumber daya
(tanah, uang, sumber daya alam), atau nilai, kepercayaan dan norma.
Konflik dapat terjadi ketika kemampuan memelihara kesetaraan antar
kelompok timpang, biasanya dipicu oleh ketidakseimbangan antar
kelompok dalam peluang kerja, tingkat ekonomi dan kemakmuran.

2. Relative Depriviation Theory.


Teori ini menekankan pada perbedaan yang tampak diantara kelompok
dan memfokuskan pada persepsi kelompok yang merasa kurang
beruntung. Persepsi merasa tertindas dapat memicu timbulnya konflik,
meskipun persepsi tersebut belum tentu benar. Perasaan tertindas ini
memunculkan kekecewaan sehingga menimbulkan konflik.

84
3. Basic Psychological Need Theory
Dalam teori ini konflik muncul karena terjadi pembohongan atau tidak
terpenuhinya kebutuhan psikis seperti rasa aman, identitas, pengakuan,
dan partisipatif. Konflik yang dilandasi oleh kebutuhan psikis cenderung
bertahan lama hingga kebutuhan tersebut terpenuhi.

Teori konflik jika ditempatkan di dalam perspektif pemanfaatan sumber daya


wilayah pesisir dan laut di Indonesia, maka berkaitan erat dengan
penyelenggaraan tata kelola pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut.
Realistic Group Conflict Theory berkaitan dengan kondisi pengelolaan sumber
daya kelautan di Indonesia oleh 12 kementerian, pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) dan masyarakat adat yang multikultural. Relative Depriviation
Theory dan Basic Psychological Need Theory berkaitan dengan eksistensi
keberadaan masyarakat adat, lokal maupun tradisional, dan hubungannya terhadap
pemerintah pusat maupun daerah.

Konflik yang terjadi antar sektoral/kementerian sebagian besar disebabkan karena


peraturan perundang-undangan terkait pemanfaatan sumber daya kelautan masih
tumpang tindih sehingga berimplikasi pada tugas dan wewenang masing-masing
kementerian dalam menjalankan fungsinya. Berikut contoh peraturan
perundangan sektoral yang tidak terpadu terkait penyelenggaraan pemanfaatan
laut:

1. Pemberian izin pemanfaatan antara Departemen Kelautan dan Perikanan


(DKP) dan Departemen Kehutanan (Dephut) dalam pengelolaan kawasan
konservasi perairan. Dephut mengacu pada UU RI No. 5 tahun 1960
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta
UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara itu DKP
mengacu pada UU RI No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU RI
No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.

2. Setidaknya terdapat 8 (delapan) lembaga penegak hukum yang berwenang


di wilayah laut, dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok
berdasarkan batasan wilayah kewenangannya (Solihin, 2009), yaitu:

85
i. Lembaga yang memiliki kewenangan hanya terbatas pada wilayah
perairan Indonesia atau pada wilayah yang dikelompokkan
statusnya kedaulatan negara, seperti Polri, PPNS Dephub, PPNS
Dephut;
ii. Lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan
Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan Zona Tambahan,
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta Landas Kontinen yang
statusnya hak berdaulat (sovereign rights) yang tentu saja bersifat
spesifk, seperti PPNS DKP, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, dan
PPNS Lingkungan Hidup.
iii. Lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan
Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan hak berdaulat,
seperti TNI AL.

Banyaknya lembaga penegak hukum di wilayah laut, bukan berarti


masalah pelanggaran semakin sedikit dan wilayah laut bebas dari segala
tindakan ilegal. Masih maraknya tindakan pelanggaran hukum tersebut
bukan hanya disebabkan oleh minimnya sarana dan prasarana di antara
lembaga penegak hukum, tetapi masing-masing lembaga tersebut
dihadapkan pada masalah koordinasi dan pengambilan keputusan.
Pembentukan Badan Kemanan Laut (Bakamla) menggantikan fungsi
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang disinggung di
dalam UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan diharapkan dapat
melaksanakan kegiatan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan
wilayah yurisdiksi Indonesia dengan lebih baik.

3. Kasus pencemaran: (a) oleh PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat.
Kasus ini menunjukkan ketidaksinergisan antara UU RI No.11 Tahun
1967 tentang Pokok Pertambangan dengan UU RI No.23 Tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup. (b) Kebocoran pipa minyak/gas milik
Pertamina. Kasus ini menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara UU RI
No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan dengan UU RI No.22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi.

86
4. Kasus rencana sodetan Citanduy. Kasus ini menunjukkan tidak adanya
keterkaitan antara UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dengan UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

5. Dicabutnya Pasal 1 angka 18, Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 ayat (4)
dan (5), Pasal 50, 51, 60 ayat (1), Pasal 71 dan 75 atau dengan kata lain
seluruh pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di dalam UU
RI No.27 Tahun 2007 dinyatakan tidak berlaku berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3/PUU-VIII/2010
dikarenakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dalam


merumuskan peraturan perundangan yang berkaitan dengan kepesisiran dan
kelautan selama ini belum komprehensif.

Secara teknis, kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan berhubungan dengan


lokasi/posisi dan batas-batas dari kegiatan pemanfaatan tersebut. Berbicara
mengenai batas-batas laut (marine boundaries) maka sangat berkaitan dengan
aspek kewilayahan/keruangan/geospasial. Unsur utama dari geospasial adalah
sistem koordinat, sistem proyeksi, datum horizontal dan vertikal serta skala peta.

Berdasarkan hasil identifikasi mengenai sistem referensi geospasial yang


digunakan oleh sektor perikanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan),
pertambangan (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral), perhubungan
(Kementerian Perhubungan) dan otonomi daerah (Kementerian Dalam Negeri)
bahwa kegiatan-kegiatan pemanfaatan laut diselenggarakan berdasarkan sistem
referensi geospasial yang berbeda. Tabel II.18 menunjukkan perbedaan sistem
referensi geospasial, bahwa pemanfaatan laut termasuk penetapan dan penengasan
batas-batas kegiatan diselenggarakan berdasarkan sistem-sistem sektoral (Gambar
II.20). Kondisi ini dapat menimbulkan tumpang tindih batas-batas kegiatan
pemanfaatan laut antar sektor yang dapat memicu terjadinya konflik pemanfaatan
ruang laut.

87
Tabel II.18 Sistem Referensi Geospasial yang digunakan oleh Sektor Perikanan,
Pertambangan, Perhubungan dan Otonomi Daerah.
N Sektor Sistem Referensi Geospasial
o Sistem Koordinat Sistem Proyeksi Datum
1 Perikanan Geodetik (LBH) UTM  DGN 95 (WGS84)
 MSL
2 Pertambangan Geodetik (LBH) UTM, Polyeder  DGN 95 (WGS84)
 Chart Datum (LWS)
3 Perhubungan Geodetik (LBH) UTM  DGN 95 (WGS84)
 Chart Datum (LWS)
4 Otonomi Geodetik (LBH) UTM  DGN 95 (WGS84)
Daerah dan Geosentrik  MLWS
(XYZ)

Gambar II.20 Visualisasi kegiatan pemanfaatan laut secara sektoral menggunakan


sistem referensi geospasial yang berbeda. (Modifikasi dari
Towards a Marine Cadastre, 2009)

Berbeda dengan konflik yang terjadi antar sektor/kementerian yang disebabkan


oleh tumpang tidihnya peraturan perundangan dan penggunaan sistem referensi
geospasial yang berbeda, konflik yang terjadi antar pemerintah daerah provinsi
dan kabupaten/kota lebih banyak disebabkan karena batas kewenangan laut
wilayah provinsi sejauh 12 mil laut dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi
untuk kabupaten/kota berdasarkan UU RI No.32 Tahun 2004 Pasal 18
diamandemen UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah belum
dilaksanakan oleh seluruh provinsi dan kota/kabupaten yang memiliki wilayah
pesisir dan laut. Implikasi belum dilakukan penetapatan dan penegasan batas laut
antar daerah menyebabkan terjadi tumpang tindih klaim (overlapping claim)

88
wilayah laut yang dapat memicu konflik sengketa batas wilayah laut antar
provinsi, antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antar kabupaten/kota. Berikut
beberapa contoh persoalan batas laut wilayah:

1. Persoalan batas laut antara Provinsi DIY dengan Provinsi Jawa Tengah.

2. Masalah Blok Maleo yang diperebutkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur


dan Pemerintah Daerah Sumenep terkait bagi hasil migas.

3. Penentuan batas laut Kabupaten Pasuruan dengan Kabupaten Bangkalan.

Untuk mengatasi konflik yang terjadi terkait pemanfaatan sumber daya wilayah
pesisir dan laut di Indonesia, di dalam penelitian ini digunakanlah asas dan tujuan
penyelenggaraan kelautan Indonesia yang tercantum pada Pasal 2 UU RI No.32
Tahun 2014 tentang Kelautan.

II.14 Asas dan Tujuan Penyelenggaraan Kelautan Indonesia ditempatkan


pada UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan UU RI No. 4
Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

Untuk mengatasi konflik pemanfaatan wilayah pesisir dan laut yang telah
disampaikan di atas, di dalam penelitian ini penggunaan Asas Keterpaduan,
Kepastian hukum, Peran serta masyarakat, dan Disentralisasi yang tercantum pada
Pasal 2 UU No.32 Tahun 2014 menjadi sangat penting dan lebih utama
dibandingkan dengan asas lainnya yakni Keberlanjutan, Konsistensi, Kemitraan,
Pemerataan, Keterbukaan, Akuntabilitas, Keadilan.

1. Asas Keterpaduan.

Asas Keterpaduan di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan


adalah integrasi kebijakan kelautan melalui perencanaan berbagai sektor
pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan
pemerintah daerah. Pengertian Asas Keterpaduan di dalam UU RI No.32
Tahun 2014 memiliki kesamaan arti, bahkan lingkupnya lebih sempit
dibandingkan dengan pengertian Asas Keterpaduan yang tercantum di
dalam UU RI No.27 Tahun 2007 diamandemen oleh UU RI No.1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yakni 1)

89
mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor
pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan
pemerintah daerah, 2) mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem
laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk membantu proses pengambilan putusan dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.

Asas Keterpaduan di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan


seharusnya tidak hanya membahas mengenai kegiatan perencanaan, tetapi
juga harus diikuti oleh tahap kegiatan selanjutnya yaitu pemanfaatan dan
pengendalian/pengawasan. Lingkup dari asas keterpaduan di dalam
Undang-Undang Kelautan ini seharusnya lebih luas dari Undang-Undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, hal ini mengacu pada
definisi Kelautan yang tercantum di dalam UU RI No.32 Tahun 2014,
Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan laut dan/atau kegiatan di
wilayah laut yang meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya, kolom air dan
permukaan laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil.

Di dalam penelitian ini asas keterpaduan ditempatkan di dalam UU RI


No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Asas Keterpaduan di
dalam perspektif UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan informasi geospasial
dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, pemerintah daerah dan setiap
orang, yang harus saling mengisi dan saling memperkuat dalam memenuhi
kebutuhan informasi geospasial, menghindari terjadinya duplikasi, dan
mendorong pemanfaatan informasi geospasial bersama.

Asas Keterpaduan ini diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan


pemanfaatan sumber daya laut secara menyeluruh (holistik) dengan
mempertimbangkan kepentingan stakeholders, baik instansi sektoral,
pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, dunia usaha serta masyarakat.
Asas Keterpaduan selanjutnya dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk
implementasi asas keberlanjutan, konsistensi, kemitraan, dan keterbukaan.

90
Pengertian sistem referensi geospasial adalah datum geodesi, sistem
referensi koordinat dan sistem proyeksi. Menggunakan sistem referensi
geospasial yang sama bukan berarti bahwa semua sistem referensi
geospasial yang berbeda harus disatukan. Pasal 34 (a) UU RI No.4 Tahun
2011 menyebutkan bahwa: “sistem proyeksi dan sistem koordinat yang
dengan jelas dan pasti dapat ditransformasikan ke dalam sistem koordinat
standar nasional.” Pasal ini mengandung pengertian bahwa diperbolehkan
dalam hal penggunaan sistem referensi geospasial yang berbeda, dengan
ketentuan bahwa sistem referensi geospasial tersebut dapat
ditransformasikan ke dalam sistem referensi geospasial nasional (Gambar
II.21). Asas Keterpaduan dapat diwujudkan dengan menggunakan sistem
referensi geospasial yang sama untuk beragam kegiatan pemanfaatan di
laut (Gambar II.22).

Gambar II.21 Visualisasi transformasi sistem koordinat sektoral ke sistem


koordinat nasional (Modifikasi dari Towards a Marine
Cadastre, 2009)

91
Gambar II.22 Visualisasi keterpaduan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir
dan laut menggunakan sistem koordinat nasional pada UU RI
No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Modifikasi
dari Towards a Marine Cadastre, 2009)
Selain penggunaan sistem referensi geospasial nasional, untuk
mewujudkan keterpaduan perlu diatur standarisasi informasi geospasial
yang mencakup sistem referensi, sistem proyeksi peta, batas wilayah, garis
pantai, skala peta dan sebagainya. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)
dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) dapat digunakan sebagai acuan
beragam kegiatan pemanfaatan laut untuk masing-masing sektor maupun
daerah, dan juga sebagai dasar pembuatan Peta Kadaster Kelautan
Indonesia.

2. Asas Kepastian Hukum.

Asas Kepastian Hukum di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 adalah seluruh


pengelolaan dan pemanfaatan kelautan yang didasarkan pada ketentuan
hukum. Asas Kepastian Hukum di dalam undang-undang kelautan ini
memiliki pengertian yang terlalu umum dan sederhana jika dibandingkan
dengan pengertian Asas Kepastian Hukum yang tercantum pada UU RI
No.27 Tahun 2007 diamandemen oleh UU RI No.1 Tahun 2014 tentang

92
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yakni Asas Kepastian
Hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum yang mengatur
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara jelas dan
dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta
keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil.

Asas Kepastian Hukum di dalam Undang-Undang Kelautan seharusnya


mengandung arti dan penjelasan yang lebih kompleks, hal ini mengacu
pada: 1) definisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki
wilayah laut demikian luas dan terdapat pulau-pulau demikian banyak. 2)
Dalam amandemen ke-2 UUD RI 1945 BAB VI tentang Pemerintah
Daerah Pasal 18 (1) menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 18 (1) UUD RI 1945 jika ditempatkan di dalam penyelenggaraan


kelautan Indonesia maka penyelenggaraan kelautan Indonesia bukan hanya
dipengaruhi oleh undang-undang sektorsal saja, tetapi sangat dipengaruhi
juga oleh peraturan perundangan yang ditetapkan di setiap kabupaten/kota
(otonomi daerah).

Di dalam penelitian ini, untuk menjamin kepastian hukum terkait kegiatan


pemanfaatan di laut dapat dilakukan dengan menempatkan unsur-unsur
kadaster (right, restriction dan responsibility) dari darat ke laut. Seluruh
kegiatan pemanfaatan laut akan ditentukan right dan responsibility yang
berlaku sesuai dengan unsur batas (restriction) yang telah ditetapkan.

 Right maupun izin di laut akan diberikan berdasarkan jenis


kegiatan pemanfaatan, letak kegiatan pemanfaatan, ruang laut yang
digunakan, pola kegiatan pemanfaatan, dan waktu (lamanya)
kegiatan pemanfaatan berlangsung.

93
 Restriction ditetapkan berdasarkan batas kewenangan laut negara,
provinsi, kota/kabupaten dan batas adat yang diakui pemerintah.
Integrasi antara restriction negara, provinsi, kota/kabupaten dan
adat dapat dilakukan dengan cara memetakan lebih dulu restriction
adat yang ada di daerah untuk kemudian diakui keberadaannya
oleh pemerintah daerah (kota/kabupaten) setempat.

 Responsibility dilakukan berdasarkan perundangan negara,


peraturan pemerintah daerah, perundangan sektoral, dan tetap
memperhatikan hukum adat yang berlaku.

3. Asas Peran Serta Masyarakat.

Asas Peran serta masyarakat di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 tentang


Kelautan dimaksudkan agar masyarakat mempunyai peran dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian dalam
penyelenggaraan kelautan. Asas Peran serta masyarakat di dalam Undang-
Undang Kelautan ini memiliki pengertian yang terlalu umum dan
sederhana jika dibandingkan dengan pengertian Asas Peran serta
masyarakat yang tercantum pada UU RI No.27 Tahun 2007 diamandemen
oleh UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, yakni, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap
pengawasan dan pengendalian; memiliki informasi yang terbuka untuk
mengetahui kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup
untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; menjamin
adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut;
memanfaatkan sumber daya tersebut secara adil.

Sama halnya dengan Asas Kepastian Hukum di dalam Undang-Undang


Kelautan, Asas Peran serta masyarakat seharusnya mengandung arti dan
penjelasan yang lebih kompleks, hal ini mengacu pada definisi negara
kepulauan yakni memiliki wilayah laut yang demikian luas dan terdapat
pulau-pulau yang demikian banyak. Dari definisi negara kepulauan dapat
dipastikan bahwa di Indonesia banyak masyarakat yang tinggal di wilayah

94
pesisir dan laut. Pertanyaannya adalah bagaimana cara masyarakat yang
tinggal dan tersebar di wilayah pesisir dan laut yang demikian banyak itu
dapat berperan serta di dalam penyelenggaraan kelautan Indonesia? hal
inilah yang seharusnya ditambahkan di dalam penjelasan Asas Peran serta
masyarakat di dalam Undang-Undang Kelautan.

Di dalam penelitian ini, Asas Peran Serta Masyarakat dapat diwujudkan


dengan cara mengidentifikasi dan memetakan kembali seluruh kegiatan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang diselenggarakan secara adat,
lokal maupun tradisonal. Dari pemetaan tersebut akan diperoleh informasi
mengenai batas kegiatan, hak dan kewajiban di dalamnya. Dengan
diberikannya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak yang ada
tersebut diharapkan dapat terselenggaranya pengelolaan sumber daya
pesisir dan laut yang adil, merata dan berkelanjutan.

4. Asas Desentralisasi.

Asas Desentralisasi di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 adalah pelimpahan


sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai
penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Penjelasan Asas
Desentralisasi di dalam Undang-Undang Kelautan memiliki pengertian
yang lebih tegas dan sempit dibandingkan dengan Asas Desentralisasi
yang dimaksud di dalam UU RI No.27 Tahun 2007 diamandemen oleh UU
RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil yakni Asas Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang
pemerintahan dari pemerintah kepada pemerintah daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di bidang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

95
Asas Desentralisasi dapat diwujudkan dengan cara menentukan dan
menetapkan terlebih dahulu batas-batas administrasi daerah otonom
tersebut, termasuk batas kewenangan laut provinsi (12 mil laut) maupun
kota/kabupaten (1/3 dari batas kewenangan laut provinsi). Langkah
selanjutnya adalah merumuskan right dan responsibility masing-masing
daerah berdasarkan batas kewenangan laut daerah yang telah ditetapkan.
Pengelolaan laut bersama antar daerah yang berhadapan maupun
berdampingan dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah daerah dan
kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing daerah otonom.

II.15 Teori Sistem

Pengertian sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas:
pencernaan makanan, pernapasan, dan peredaran darah dalam tubuh; (2) susunan
yang teratur dari pandangan, teori, asas: pemerintahan negara (demokrasi,
totaliter, parlementer); (3) metode: pendidikan (klasikal, individual, dan
sebagainya).

Pengertian sistem menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1. Sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang beroperasi bersama-sama


untuk menyelesaikan suatu sasaran (Davis, 1991).
2. Sistem adalah seperangkat elemen yang membentuk kumpulan atau prosedur/
bagan-bagan pengolahan yang mencari suatu tujuan bagian atau tujuan
bersama dengan mengoperasikan data dan/atau barang pada waktu rujukan
tertentu untuk menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang
(Murdick,1997).
3. Sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen yang memiliki unsur
keterkaitan antara satu dengan lainnya (Indrajit, 2001).

Dengan demikian dari beberapa definisi di atas, maka sistem merupakan suatu
kumpulan objek yang saling berkaitan dan saling bergantungan secara tetap untuk
mencapai tujuan bersama dalam suatu lingkungan yang kompleks.

96
Suatu sistem memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Komponen. Suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling


berinteraksi, dapat berupa suatu subsistem yang mempunyai sifat-sifat dari
sistem untuk menjalankan suatu fungsi tertentu yang mempengaruhi
proses sistem secara keseluruhan.
2. Batasan sistem (boundary) menunjukkan ruang lingkup sistem.
3. Lingkungan luar (environment) sistem adalah apapun diluar batas sistem
yang mempengaruhi operasi sistem.
4. Penghubung (interface) merupakan media penghubung antara satu
subsistem dengan subsistem lainnya. Melalui penghubung ini subsistem
dapat berintegrasi dengan subsistem lainnya membentuk satu kesatuan.
5. Masukan (input) sistem.
6. Pengolahan (process) sistem.
7. Keluaran (output) sistem.
8. Sasaran sistem, digunakan untuk menentukan input apa yang dibutuhkan,
dan output apa yang akan dihasilkan sistem tersebut

Berdasarkan definisi dan karakteristik sistem di atas, teori sistem didalam


penelitian ini digunakan untuk:

1. Mengidentifikasi sistem pengelolaan laut yang digunakan di beberapa


kementerian.

2. Mensinergikan sistem-sistem tersebut (sistem yang telah ada) terkait


pengelolaan wilayah pesisir dan laut menggunakan sistem kompleks dan
sistem dinamis. Sistem kompleks merupakan sistem yang memiliki
banyak tingkatan dan sub-sistem. Sedangkan Sistem dinamis adalah
sistem terbuka, bergerak terus menerus, berubah, memiliki banyak
variasi, dipengaruhi hubungan sebab akibat, adanya umpan balik. Sistem
kompleks dan sistem dinamis digunakan sebagai pendekatan operasional
untuk menyelesaikan masalah pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang
dikelola oleh sistem sektoral (12 kementerian), sistem otonomi daerah
(pemerintah provinsi dan kabupaten/kota), dan sistem pengelolaan laut
secara adat.

97
II.16 Teori Optimisasi

Optimization is the collective process of finding the set conditions required to


achive the best result from a given situation. It follows that the techniques of
optimization must be brought to bear on every task of practical importance
(Beveridge dan Schechter, 1970).

Definisi Optimisasi ditempatkan dalam Perspektif Riset Operasi:

Optimization means a sciene approach to decision making, which determine how


best to design and operate a system, usually under condition requiring the
allocation of source resources (Wayne, 1994).

Definisi Optimisasi ditempatkan dalam Perspektif Pengambilan Keputusan:

Optimisasi adalah menentukan alternatif terbaik dari beberapa alternatif yang


mungkin dilakukan. Inti dari pengambilan keputusan terletak dalam perumusan
berbagai alternatif tindakan dan dalam memilih alternatif yang tepat (Buchari,
1998).

Struktur model optimisasi dibangun oleh 2 (dua) komponen utama (Beveridge,


1970), yakni:

1. Fungsi Tujuan (objective function): Z= F(Vn)


Fungsi Tujuan adalah keinginan hasil (Z) dari proses optimisasi terhadap
variabel (Vn) yang umumnya menggunakan kata “maksimasi” atau
“minimasi”.
2. Fungsi Kendala/ Batas (constraint, atau subject atau restriction function):
C= f(Vn).
Fungsi Kendala adalah pernyataan batasan dari setiap variabel dan
hubungan antar variabel (Vn, Vn+1,.....). Pada beberapa literatur
pernyataan lain fungsi kendala adalah fungsi batas.

Variabel (Vn) adalah nilai komponen data yang berpengaruh pada Fungsi Tujuan
dan nilai-nilai yang berada dalam batas Fungsi Kendala. Hal-hal yang perlu
diperhatikan untuk menetapkan variabel adalah:

98
1. Pendefinisian variabel (variable definition)
Pendefinisian variabel adalah penetapan variabel apa saja yang berkorelasi
dengan pernyataan tujuan. Produk dari pendefinisian variabel adalah
banyaknya variabel yang dilibatkan (n dalam Vn).

2. Hubungan antar variabel (variable relationship)


Hubungan antar variabel digunakan untuk mengetahui sifat hubungan (Vn,
Vn+1,.....). Metode untuk mencari hubungan antar variabel dilakukan
dengan dua cara, yakni: pendekatan model yang sudah ada, dan analisis
korelasi antar variabel.

Dalam pendekatan sistem, optimisasi dapat disederhanakan sebagai rangkaian


masukan (input) - proses (process) - luaran(output), seperti pada Gambar II.23 di
bawah ini.

INPUT

Variabel-variabel sumber daya:

 Jumlah variabel
 Sifat variabel
 Hubungan antar variabel

PROSES

Metode Optimisasi

 Fungsi Tujuan: Z= F(Vn)


 Fungsi Kendala: C= f(Vn)

OUTPUT

Alternatif-alternatif Hasil:

 Pemilihan hasil terbaik

Gambar II.23 Diagram urutan optimisasi menggunakan pendekatan sistem

99
Terdapat 3 (tiga) metode yang digunakan dalam optimisasi, yaitu:

1. Teknik Pemrograman Matematika.


Berguna dalam menentukan nilai maksimum dan minimum dari fungsi
kendala yang telah ditentukan.
2. Teknik Proses Stokastik
Digunakan untuk menganalisis masalah yang memenuhi hukum-hukum
peluang.
3. Metode Statistika.
Digunakan untuk menganalisis data eksperimen dan membangun model
empiris untuk memperoleh representasi paling akurat dari suatu populasi.

Teori optimisasi ditempatkan dalam perspektif konsisi pengelolaan sumber daya


kelautan di Indonesia, adalah sebagai berikut:

1. Kondisi Pengelolaan Sumber Daya Kelautan di Indonesia termasuk pada


Optimisasi Multi Kriteria (lebih dari satu Fungsi Tujuan).

Masalah optimisasi multi kriteria muncul pada saat harus harus mengambil
keputusan pada situasi dimana beberapa tujuan yang seringkali saling
bertentangan, serentak harus dipenuhi secara optimal, dan tetap
mempertimbangkan terbatasnya sumber daya yang ada. Meskipun fungsi
tujuan hanya mempunyai kemungkinan bentuk maksimasi atau minimasi,
keputusan untuk memilih salah satunya bukanlah keputusan yang sederhana.
Tujuan pada suatu kasus/ kegiatan dapat dijadikan batasan pada kasus/kegiatan
yang lain.

2. Muncul konflik kepentingan antar fungsi tujuan sektoral/ kementerian (Z).


Jika Z1 memiliki nilai minimum, belum tentu Z2, Z3, ...Zn juga memiliki nilai
minimum. Konflik kepentingan di atas harus dikompromikan dengan cara
menentukan nilai optimum suatu fungsi tujuan berupa nilai yang dapat diterima
oleh keseluruhan fungsi tujuan. Dari kegiatan kompromi ini akan menghasilkan
beberapa alternatif hasil, selanjutnya dipilih hasil terbaik dari alternatif yang
ada.

3. Hasil terbaik diperoleh mengacu pada pendekatan dan tujuan yang ditetapkan,
contoh:

100
a. The best allocation dari sumber daya laut yang ada sehingga dapat
memperoleh keuntungan maksimal.
b. Pembangunan berkelanjutan untuk menemukan keseimbangan antara
kebutuhan dengan kondisi sumber daya laut itu sendiri.

4. Kelemahan model optimisasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan adalah


asumsi bahwa hubungan variabelnya seringkali dianggap linier. Padahal
sumber daya kelautan sangat bersifat terbuka dan dinamis sehingga
memberikan peluang munculnya variabel destruktif dan fungsi kendala
tambahan yang berpengaruh pada upaya pengelolaan sumber daya tersebut.

II.17 Konsep Networked Government dan Legislative Government

Definisi Networked Government:

Network government consists of new shapes of government based upon an


organization and infrastructure of social and media networks increasingly tied
together by information and communication technology (Dijk, 2008).

Definisi di atas mengandung pengertian bahwa Networked Government


merupakan:

1. Jaringan dari pemerintah berdasarkan organisasi dan infrastruktur yang


terikat bersama oleh teknologi informasi dan komunikasi.
2. Menghubungkan (membangun jaringan berupa sistem) berbagai tingkat
dan lembaga pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih
terintegrasi.

Jan van Dijk membagi 3 (tiga) tipe network government sebagai berikut:
1. Joined-up government: menghubungkan berbagai tingkat dan lembaga
pemerintah itu sendiri (antara departemen administrasi publik di tingkat
nasional, regional dan lokal) untuk memberikan layanan yang lebih
terintegrasi.
2. Networked government: menghubungkan berbagai tingkat dan instansi
pemerintah dengan pihak ketiga untuk mewujudkan pelayanan publik.
Menghubungkan inti dari pemerintah dan administrasi publik dengan

101
badan semi-publik, perusahaan dan organisasi masyarakat sipil
(outsourcing dan kemitraan publik-swasta yang didanai dan diawasi oleh
departemen pemerintah).
3. Online democratic government: menghubungkan pemerintah dengan
warga negara dan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan organisasi
politik.

Konsep Networked Government bukanlah hal yang baru. Konsep ini sebenarnya
sering dicontohkan ketika pemerintah harus berurusan dengan situasi akut seperti
perang, bencana alam atau isu-isu globalisasi lainnya yang kompleks sehingga
diperlukan upaya intensif untuk bekerjasama dan perlunya koordinasi dalam
penangannya.

Pertanyaannya adalah bagaimana Networked Government dapat dilihat dari


perspektif tingkat pemerintahan yang berbeda berkaitan satu sama lain, dan
bagaimana bisa menyelaraskan prioritas antara pemerintah nasional, regional dan
lokal baik melalui kerjasama antara instansi pusat dan daerah, atau membawa
orang bersama-sama dengan menyusun struktur organisasi dalam suatu bentuk
lembaga (Legislative Government).

Networked Government harus didasarkan pada maksud, tujuan dan stategi yang
jelas dan harus memiliki struktur, proses, dan mekanisme yang tepat. Jaringan
yang baik melibatkan koordinasi, kerjasama, dan konsultasi, tidak kompetisi
internal antara lembaga. Serta diperlukan monitoring, evaluasi dan perbaikan
secara terus-menerus.
Konsep Networked Government dan Legislative Government didalam penelitian
ini digunakan untuk:

1. Memadukan kegiatan-kegiatan di beberapa kementerian dalam


pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
2. Mengkaitkan kegiatan pengelolaan laut lintas provinsi dan lintas
kabupaten/kota.
3. Tata kelola dan kelembagaan di dalam penyelenggaraan kelautan
Indonesia.

102
II.18 Ilmu Kebijakan (Policy Sciences)

Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science
(Dror, 1983). Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa
Yunani yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia,
artinya negara. Dalam bahasa Inggris lama (middle english), kata tersebut menjadi
policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi
pemerintah (Dunn,1981).

Ilmu kebijakan (policy sciences) tidak hanya selalu melihat struktur pemerintahan
atau kebiasaan aktor politik yang ada, tetapi juga mengenai sesuatu yang benar-
benar dilakukan oleh pemerintah. Bahwa pandangan ilmu kebijakan mengandung
ciri khas, yakni berorientasi pada persoalan (problem oriented). Fokus pada
persoalan berarti kajiannya harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari
berbagai ide dan tehnik penelitian/multi-metode. Pandangan tersebut selanjutnya
disebut kebijakan publik atau proses pembuatan kebijakan publik (Lasswell,
1970).

Thomas Dye (1992) mendeskripsikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu


yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. Ada dua makna yang bisa diambil dari definisi Thomas Dye tersebut.
Pertama, bahwa kebijakan publik itu hanya bisa dibuat oleh pemerintah, bukan
organisasi swasta. Kedua, bahwa kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal tersebut, pilihan
yang diambil oleh pemerintah merupakan sebuah kesengajaan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. James Anderson mendefinisikan kebijakan publik
sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah,
meskipun kebijakan tersebut dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari
luar.

James Anderson (1979) menetapkan proses pembuatan kebijakan publik sebagai


berikut:

1. Formulasi masalah (problem formulation): apa masalahnya? Apa yang


membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah
tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?

103
2. Formulasi kebijakan (formulation): bagaimana mengembangkan pilihan-
pilihan atau alternatf-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut?
Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

3. Penentuan kebijakan (adoption): bagaimana alternatif ditetapkan?


Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan
melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk
melaksanakan kebjakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?

4. Implementasi (implementation): siapa yang terlibat dalam implementasi


kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

5. Evaluasi (evaluation): bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak


kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi
dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan
perubahan atau pembatalan?

Di dalam penelitian ini, definisi dan pola penyelenggaraan kadaster kelautan


dibangun menggunakan pendekatan ilmu kebijakan (policy sciences) sebagai
suatu konsep terkait urusan publik/teritorial/kekuasaan di wilayah pesisir dan laut
yang menyangkut kepentingan rakyat untuk kesejahteraan rakyat dan tujuan
negara. Kadaster kelautan sebagai acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah
dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumber daya kelautan di
Indonesia.

104
Bab III Metodologi Penelitian

III.1 Arti dan Fungsi Definisi di dalam Penelitian ini

Definisi sangat penting di dalam suatu penelitian. Definisi adalah suatu


pernyataan yang memberikan arti pada sebuah kata atau frase (Solomon, 1985).
Definisi merupakan kalimat yang mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri
utama dari orang, benda, proses atau aktivitas. Peran penting dari definisi adalah
memberikan batasan (arti), rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu
konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau penelitian.

Keterkaitan antara ilmu dan definisi adalah bahwa ilmu adalah pengetahun yang
diperoleh dengan cara tertentu, yakni dengan metode ilmiah. Ilmu membutuhkan
bahasa formal sehingga lebih skematis dan jelas, formalisasi itu dilakukan antara
lain melalui definisi. Jadi definisi mempertegas dan meletakkan suatu ilmu pada
posisi lebih kuat. Pola definisi pada semua ilmu tidak sama, tergantung pada
hakikat ilmu yang bersangkutan. Dalam ilmu-ilmu alam definisi dilakukan dengan
metode matematis guna mencapai keabstrakan. Cara ini tidak dapat diterapkan
pada bidang ilmu sosial (Bakry, 1996).

Pentingnya definisi-definisi kadaster kelautan di dalam penelitian ini yakni


definisi-definisi kadaster kelautan yang ada di negara-negara non-kepulauan
dijadikan sebagai pendekatan di dalam merumuskan definisi kadaster kelautan
untuk Indonesia sebagai negara kepulauan. Mengapa harus mengacu pada definsi-
definisi kadaster kelautan yang ada? Definisi-definisi kadaster kelautan yang ada
bersifat internasional/global dan sudah diakui oleh beberapa negara di dunia
sehingga definisi kadaster kelautan untuk Indonesia dapat ditempatkan di dalam
globalisasi.

Penelitian ini adalah penelitian deduktif, yakni menggunakan pendekatan definisi-


definisi kadaster kelautan yang ada di negara-negara non-kepulauan (dunia
internasional) untuk membangun definisi dan pola penyelenggaraan kadaster
kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan.

105
Penelitian ini termasuk kedalam ranah penelitian teknologi dan kebijakan
pemerintah. Penelitian dalam bidang teknologi yakni membentuk struktur dan
prosedur untuk menciptakan suatu sistem baru yang pemfungsiannya akan
memungkinkan terealisasinya suatu fenomena yang dikendaki yang hasil
utamanya adalah gejala yang diciptakan. Bentuk gejala yang diciptakan ini dapat
berupa proses, yaitu suatu sistem yang tersusun dari peristiwa-peristiwa yang
memungkinkan terjadinya perubahan. Bentuk lainnya adalah suatu produk, yaitu
hasil objektifikasi informasi teknologi menajadi bahan, perangkat fungsional,
organisasi atau tata kerja, dan sebagainya (Sasmojo, 2004). Penelitian dalam
bidang kebijakan pemerintah yakni berkaitan dengan konsep dan tindakan
pemerintah terkait urusan publik, teritorial, dan kekuasaan lain dalam bentuk
hukum dan perundangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tujuan
negara.

III.2 Keterkaitan antara Fenomena, Pola, Model dan Sistem

Semua fenomena pada hakikatnya dibentuk oleh unsur-unsur yang memiliki


sekumpulan pola yang terbatas maupun tampak tidak terbatas (kompleksitas
tinggi), hal ini sangat dipengaruhi oleh jumlah dan sifat unsur-unsur di dalamnya.
Sebuah pola pada dasarnya adalah susunan teratur dari obyek atau peristiwa dalam
waktu atau ruang. Pola diartikan sebagai gambar, corak, model, sistem, cara kerja,
bentuk (struktur) yang tetap (KBBI). Pola juga diartikan sebagai bentuk atau
model yang bersifat abstrak yang dapat ditunjukkan atau terlihat. Gambar III.1
menunjukkan hubungan antara fenomena, pola, model dan sistem.

Masalah, gejala, segala sesuatu yang dapat


Fenomena
dilihat, dialami dan dirasakan. Terdiri dari
unsur-unsur pembentuk fenomena.

Mengidentifikasi cara kerja dan bentuk dari


Pola
unsur-unsur pembentuk fenomena.

Deskripsi tentang struktur dan pola laku suatu


Model
fenomena ditinjau dari suatu titik pandang tertentu.

Sistem Fenomena yang sudah diketahui strukturnya

Gambar III.1 Diagram urutan antara fenomena, pola, model dan sistem

106
Kompleksitas permasalahan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di
Indonesia sebagai negara kepulauan di dalam penelitian ini dapat dipahami
melalui pendekatan pola kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan
laut yang diselenggarakan oleh masing-masing sektoral, pemerintah daerah, pihak
swasta dan masyarakat adat itu sendiri. Masing-masing kegiatan pengelolaan yang
ada dibentuk oleh sekelompok pola umum. Dengan memahami bagaimana pola-
pola umum itu bekerja, maka diharapkan dapat menemukan model solusi
permasalahan dan merancang pola yang lebih sesuai dengan karakteristik
lingkungan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
multikultural.

III.3 Deskripsi Wilayah Studi

Provinsi Jawa Timur (Gambar III.2) terletak pada 111˚0' hingga 114˚4' Bujur
Timur, dan 7˚12' hingga 8˚48' Lintang Selatan. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur
mencapai 46.428,57km2 berupa daratan dan 119.720 km2 berupa lautan (Tabel
III.1) dengan jumlah pulau 74 pulau terdiri dari 29 kabupaten, 9 (sembilan) kota,
dan 657 kecamatan dengan 8.486 desa/kelurahan. Di sebelah utara, Provinsi Jawa
Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Di sebelah timur berbatasan dengan Selat
Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka, Samudera Indonesia,
sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah (KKP,
2010).

Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi dalam dua bagian besar, yaitu Jawa
Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa
Timur, dan wilayah Kepulauan Madura yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa
Timur. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan
Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah utara
Jawa. Di sebelah timur Madura terdapat gugusan pulau, paling timur adalah
Kepulauan Kangean, dan paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian
selatan terdapat dua pulau kecil, Nusa Barung dan Pulau Sempu (KKP, 2010).

107
Gambar III.2 Peta administrasi Provinsi Jawa Timur (Bakosurtanal, 2003)

Luas perairan Laut Jawa Timur diestimasi berdasarkan Peta Lingkungan Laut
Nasional dari Bakosurtanal/ BIG sheet No. 49 Jawa Timur dan sheet No. 50 Bali,
diperoleh informasi sebagai berikut:

Tabel III.1 Luas Perairan Jawa Timur (KKP, 2010)


No Luas Perairan (km2)
Wilayah Perairan Provinsi Jawa Timur 0-4 mil 4-12 mil 0-12 mil
laut laut laut
1 Laut Jawa (Utara Jawa Timur) 8.376 27.650 36.026
2 Selat Madura 6.622 4.341 10.963
3 Selat Bali 548 802 1.350
4 Samudera Hindia (Selatan Jawa Timur) 5.042 6.494 11.536
Total 20.558 39.287 59.875

Perairan Selat Madura secara fisiologis bisa digambarkan sebagai perairan yang
berbentuk setengah cawan (setengah cekungan). Dari hasil penelitian Puslitbang
Geologi Kelautan di perairan Selat Madura (1995), kondisi perairan Selat Madura
mempunyai bentuk fisiografi yang landai, dengan dicirikan mulai dari kedalaman
10m, 20m, 30m menerus ke arah timur hingga mencapai kedalaman 90m,
kemudian dilanjutkan ke tepian laut dalam di Laut Bali dengan kedalaman mulai
200m. Selain informasi di atas, informasi kedalaman perairan di Selat Madura
juga dapat dilihat dari Peta Batimetri pada Gambar III.3 di bawah ini.

108
Gambar III.3 Peta batimetri Selat Madura. (p3sdlp.litbang.kkp.go.id)

Pada Gambar III.4 menunjukkan bahwa Selat Madura dikelilingi oleh 9


(sembilan) kabupaten, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan,
Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, dan 3 (tiga) kota, yakni
Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo sehingga penetapan batas laut wilayah antar
daerah yang bersebelahan maupun berhadapan menjadi sangat penting.

Gambar III.4 Peta letak kabupaten/kota yang mengelilingi Selat Madura Provinsi
Jawa Timur.

109
Hasil identifikasi dan inventarisasi yang telah dilakukan bahwa hingga saat ini
belum ada peta yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
yang menggambarkan batas-batas wilayah laut daerah provinsi maupun
kabupaten/kota yang bersebelahan maupun berhadapan sesuai dengan
Permendagri No.1 Tahun 2006 diamandemen dengan Permendagri No.76 Tahun
2012 tentang Penegasan Batas Daerah. Sebagai contoh pada Peta Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur 2010-2030 yang
dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Jawa Timur yang dibuat pada Tahun 2010 belum
menggambarkan batas laut wilayah antar daerah yang bersebelahan maupun yang
berhadapan, hingga pada tahun 2012 saat peta tersebut dijadikan sebagai lampiran
Perda Provinsi Jawa Timur No.6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur 2012-2032.

110
Batas darat (Kab/kota)
tergambarkan, sedangkan batas
laut (kab/kota) laut tidak
tergambarkan

Gambar III.5 Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau


91 Kecil Provinsi Jawa Timur 2010-2030 (Sumber Peta: Perda
Provinsi Jatrim No.6 Tahun 2012)
111
Selain dimanfaatkan oleh 9 (sembilan) kabupaten dan 3 (tiga) kota, Selat Madura
juga dimanfaatkan oleh banyak sektor di dalam menyelenggaraan kegiatan
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan hasil studi literatur dan
pengamatan langsung di lapangan, setidaknya terdapat 9 (sembilan) kementerian
yang menyelenggarakan kegiatan pemanfaatan pesisir dan laut di perairan Selat
Madura, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertahanan dan Keamanan,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Budaya dan Pariwisata, dan Kementerian
Pekerjaan Umum. Dari 9 (sembilan) kementerian/sektor tersebut, ada 5 (lima)
sektor yang dominan, yakni: sektor kelautan dan perikanan, sektor pertambangan,
sektor perhubungan laut, sektor lingkungan hidup, dan sektor pertahanan.

Berikut adalah gambar beberapa kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yang diselenggarakan oleh sektor-sektor/ kementerian:

Gambar III.6 Peta pemanfaatan ruang Selat Madura (Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, 2005)

112
Pada Gambar III.6 Peta pemanfaatan ruang Selat Madura dari Badan Riset
Kelautan dan Perikanan tahun 2005 menginfomasikan bahwa tidak semua lokasi
yang ada di perairan Selat Madura dapat dimasuki/dilalui oleh setiap orang/
kegiatan.

Gambar III.7 Foto latihan gabungan (latgab) TNI di Pantai Banongan,


Situbondo.(www.tribunnews.com)

Perairan Selat Madura secara rutin digunakan sebagai tempat latihan gabungan
TNI Angkatan Darat, Udara dan Laut (Gambar III.7). Tidak jarang penduduk
setempat terpaksa diungsikan sesaat selama latihan gabungan ini diselenggarakan.

Gambar III.8 Peta persebaran kerja minyak dan gas bumi di Provinsi Jawa
Timur (www.migas.esdm.go.id)

).
.( ) 113
Berdasarkan informasi dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa
Timur tahun 2008 terdapat 30 blok kegiatan pertambangan (Gambar III.8),
termasuk di perairan Selat Madura.

Gambar III.9 Peta rute pelayaran domestik dari/ke Surabaya


(www.bumn.go.id/pelindo3)

Berdasarkan informasi dari Pelindo III, bahwa terdapat 29 rute alur pelayaran
domestik dari/ ke Tanjung Perak Surabaya yang diselenggarakan oleh 17
perusahaan pelayaran (Gambar III.9). Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan
rute alur pelayaran domestik dari/ke Tanjung Priok Jakarta yakni sebanyak 20 rute
alur pelayaran.

Gambar III.10 Foto pemanfaatan ruang laut untuk perikanan di sekitar Pulau
Galang oleh masyarakat tradisional (Survei, 2014)

114
Pemanfaatan ruang laut untuk perikanan disekitar hutan mangrove seringkali
dilakukan oleh masyarakat tradisional (Gambar III.10). Tidak jarang kegiatan ini
dilakukan tanpa izin dari dinas terkait.

Gambar III.11 menunjukkan kompleksitas pemanfaatan ruang laut antar


sekor/kementerian di Selat Madura Provinsi Jawa Timur. Dari Gambar III.11
mengandung informasi bahwa selain diperlukan kejelasan batas-batas laut wilayah
antar kabupaten/kota yang berhadapan dan bersebelahan, batas-batas laut untuk
kegiatan-kegiatan pemanfaatan pesisir dan laut secara sektoral menjadi sangat
penting untuk ditentukan dan ditetapkan. Belum adanya penetapan batas laut
wilayah antar pemerintah daerah kabupaten/kota seringkali memunculkan konflik
pemanfaatan laut antar daerah. Begitu pula belum ditentukan dengan jelas batas-
batas pemanfaatan pesisir dan laut secara sektoral, menyebabkan sektor-sektor
tersebut seringkali mengalami benturan kepentingan yang dapat menimbulkan
konflik sosial maupun konflik sektoral.

Berikut adalah permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di perairan


Selat madura Jawa Timur, ditunjukkan pada Gambar III.12.

115
Gambar III.11 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Timur (Perda Provinsi Jawa Timur No.6 Tahun 2012)

116
141
Gambar III.12 Peta permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Selat Madura (Sumber Peta: Perda Provinsi Jawa Timur
No 5 Tahun 2012) 142

117
III.4 Kadaster Kelautan ditempatkan di dalam Kebijakan Pemerintah

Definisi pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat


dan menerapkan hukum serta undang-undang di daerah tertentu. Pemerintah
adalah organisasi yang memiliki kekuatan besar di negeri ini, termasuk urusan
publik, teritorial, dan urusan kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan negara.
Pemerintahan mengedepankan gagasan sebagai yang peduli dibuat oleh negara
untuk mengatur kesejahteraan rakyat atau warga dan kepentingan rakyatnya dan
untuk melaksanakan dan melakukan tugas eksekutif, legiskatif dan yudikatif.

Definsi kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara
bertindak (KBBI). Kebijakan pemerintah menurut Work (dalam Moran, 2006)
adalah serangkaian tindakan yang memiliki tujuan yang jelas serta konsisten
sebagai respon terhadap masalah-masalah yang dirasakan konstituen,
diformalisikan dengan proses politik tertentu, dan diadopsi, diterapkan, dan
ditegakkan oleh lembaga publik. Di dalam penelitian ini, kebijakan pemerintah
didefinisikan sebagai penetapan dan penerapan hukum serta undang-undang oleh
pemerintah yang diberlakukan secara nasional di daerah tertentu berkaitan dengan
urusan publik/ teritorial dalam pelaksanaan suatu pekerjaan dan cara bertindak.

Kebijakan pemerintah diwujudkan berupa hukum dan perundang-undangan.


Hukum adalah himpunan peraturan yang bersifat memaksa, berisikan suatu
perintah, larangan atau kebolehan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan undang-undang adalah suatu peraturan hukum yang disusun dan
ditetapkan oleh negara berlaku bagi masyarakat hukum yang bersangkutan.

Mengapa kadaster kelautan perlu ditempatkan kedalam kebijakan pemerintah?


Pertanyaan di atas dapat dijawab menggunakan pendekatan Dasar Pertimbangan
UU RI No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagai berikut:

118
Butir (a), (b), (c) Dasar Pertimbangan UU RI No 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan


memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan rahmat dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia
yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan
umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang
memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang
mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan
merupakan modal dasar pembangunan nasional;

c. bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dilakukan melalui sebuah


kerangka hukum untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi
seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara;

Butir (a) Dasar Pertimbangan UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil:

a. Bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Berdasarkan Dasar Pertimbangan di atas, maka kadaster kelautan ditempatkan di


dalam kebijakan pemerintah karena diperlukan suatu konsep terkait urusan
publik/teritorial/kekuasaan di wilayah pesisir dan laut yang menyangkut
kepentingan rakyat untuk kesejahteraan rakyat dan tujuan negara. Kadaster
kelautan sebagai acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah dalam
mewujudkan Pemerintahan di Laut (Ocean Government).

119
Pemerintahan di laut adalah segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi
kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara
yakni mewujudkan kedaulatan di laut. Pemerintahan di laut tidak sekedar
membahas pembangunan infrastruktur di laut. Fungsi pemerintahan di laut lebih
dari itu, yakni bagaimana setiap kabupaten/kota membangun dan menjalankan
peraturan dan perundang-undangan terkait hak dan kewajiban di wilayah lautnya
berdasarkan batas kewenangan laut wilayah (menegakkan kedaulatan), serta
mampu mengatur kegiatan-kegiatan pengelolaan laut di dalamnya (aspek
pembangunan dan pelayanan publik). Kadaster kelautan merupakan bagian dari
pemerintahan di laut, yakni sebagai sistem untuk menjalankan pemerintahan di
laut dalam menentukan batas-batas di laut, hak/izin dan kewajiban terkait
kegiatan-kegiatan pengelolaan di laut.

Membahas mengenai kegiatan-kegiatan pengelolaan di laut maka kadaster


kelautan harus ditempatkan ke dalam UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
yang diundangkan pada bulan Oktober tahun 2014. Materi Undang-Undang
Kelautan ditunjukkan pada Tabel III.2 di bawah ini.

Tabel III.2 Struktur UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

Bab Perihal Pasal dan Ayat


I Ketentuan Umum 1 (1-14)
II Asas dan Tujuan 2, 3
III Ruang Lingkup 4 (1-2)
IV Wilayah Laut
Bagian Kesatu: Umum 5 (1-3), 6 (1-3)
Bagian Kedua: Wilayah Perairan dan Wilayah 7 (1-4), 8 (1-3),
Yurisdiksi 9 (1-3)
Bagian Ketiga: Laut Lepas dan Kawasan Dasar Laut 10 (1-2), 11 (1-
Internasional 4), 12 (1-2)
V Pembangunan Kelautan 13 (1-4)
VI Pengelolaan Kelautan
Bagian Kesatu: Umum 14 (1-3), 15 (1-5)
Bagian Kedua: Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan
 Paragraf 1: Perikanan 16, 17 (1-2), 18,
19
 Paragraf 2: Energi dan Sumber Daya Mineral 20 (1-2), 21(1-2)
 Paragraf 3: Sumber Daya Pesisir dan Pulau- 22 (1-3)
Pulau Kecil
 Paragraf 4: Sumber Daya Alam Nonkonvensional 23 (1-2), 24 (1-2)

120
Tabel III.2 Struktur UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (lanjutan)
Bab Perihal Pasal dan Ayat
Bagian Ketiga: Pengusahaan Sumber Daya Kelautan
 Paragraf 1: Industri Kelautan 25 (1-4), 26 (1-
3), 27 (1-5)
 Paragraf 2: Wisata Bahari 28 (1-4)
 Paragraf 3: Perhubungan Laut 29 (1-4), 30 (1-
4), 31
 Paragraf 4: Bangunan Laut 32 (1-5), 33
VII Pengembangan Laut
Bagian Kesatu: Umum 34
Bagian Kedua: Pengembangan Sumber Daya 35 (1-3), 36 (1-4)
Manusia
Bagian Ketiga: Riset Ilmu Pengetahuan dan 37 (1-4), 38 (1-
Teknologi 2), 39 (1-2)
Bagian Keempat: Sistem Informasi dan Data 40 (1-4), 41 (1-5)
Kelautan
VIII Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan
Lingkungan Laut
Bagian Kesatu: Pengelolaan Ruang Laut 42 (1-3), 43 (1-
5), 44 (1-2), 45
(1-2), 46, 47 (1-
4), 48, 49.
Bagian Kedua: Pelindungan Lingkungan Laut 50, 51 (1-5), 52
(1-4), 53 (1-4),
54 (1-2), 55 (1-
2), 56 (1-3), 57.
IX Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan 58 (1-3), 59 (1-
Keselamatan di Laut 3), 60, 61, 62, 63
(1-2), 64, 65, 66,
67, 68.
X Tata Kelola dan Kelembagaan Laut 69 (1-4)
XI Peran Serta Masyarakat 70 (1-5)
XII Ketentuan Peralihan 71 (1-2)
XII Ketentuan Penutup 72, 73, 74

Pada Tabel III.2 diketahui bahwa terdapat 8 (delapan) komponen Undang-Undang


Kelautan yakni: Wilayah Laut; Pembangunan Kelautan; Pengelolaan Kelautan;
Pengembangan Laut; Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan Lingkungan Laut;
Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut; Tata Kelola
dan Kelembagaan Laut; dan Peran Serta Masyarakat.

121
Delapan komponen tersebut dihubungkan dengan makna kedaulatan di laut adalah
bahwa kedaulatan di laut Indonesia dapat terwujud jika masing-masing komponen
saling terintegrasi. Begitu pula sebaliknya, belum dapat terwujud kedaulatan jika
salah satu komponen tidak berfungsi (Gambar III.13)

Gambar III.13 Visualisasi komponen makna kedaulatan di laut menurut UU RI


No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Membahas mengenai UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan terdapat 2


(dua) pokok bahasan utama, yaitu:

1. Penyelenggaraan Kelautan Indonesia, tercantum di dalam Pasal 4 (2) UU RI


No.32 Tahun 2014 bahwa Penyelenggaraan Kelautan Indonesia meliputi:

a. Wilayah Laut
b. Pembangunan Kelautan,
c. Pengelolaan Kelautan,
d. Pengembangan Kelautan,
e. Pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut,
f. Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut,
g. Tata Kelola dan Kelembagaan.

122
Penyelenggaraan kelautan di Indonesia dikaitkan dengan pemerintahan di laut
adalah bahwa pemerintahan di laut berarti melaksanakan seluruh Pasal 4 (2)
UU RI No 32 Tahun 2014.

2. Kebijakan Pembangunan Kelautan.


Pasal 13 (1) UU RI No.32 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Pembangunan
Kelautan merupakan bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan
Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional. Pasal 13 (2) UU RI No.32 Tahun 2014 bahwa
Pembangunan Kelautan diselenggarakan melalui perumusan dan pelaksanaan
kebijakan:
a. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
b. Pengembangan Sumber Daya Manusia
c. Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di laut.
d. Tata Kelola dan Kelembagaan.
e. Peningkatan Kesejahteraan.
f. Ekonomi Kelautan
g. Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan Lingkungan Laut
h. Budaya Bahari

Sistem pemerintahan dan manajemen pembangunan yang diterapkan di Indonesia


selama ini masih berbasis pada daratan. Fokus pembangunan di kelautan sejak
tahun 2001 masih diberikan pada sektor perikanan saja, sehingga pembangunan
kelautan secara utuh sebagai penghubung antar pulau dan sumberdaya non-hayati
yang sangat potensial masih sangat tertinggal (Oetomo, 2015).

Konsep Penyelenggaraan Kelautan Indonesia dan Pembangunan Kelautan pada


UU RI No 32 Tahun 2014 dapat dijalankan melalui penyelenggaraan kadaster
kelautan. Kedudukan kadaster kelautan dalam pembangunan kelautan ditunjukkan
pada Gambar III.14.

123
(UU RI No.32 Tahun 2014 tentang
Kelautan)

(Pasal 13 UU RI No.32 Tahun 2014)

Gambar III.14 Diagram kedudukan kadaster kelautan ditempatkan di dalam


perspektif pemerintahan di laut

III.5 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini akan membangun pola penyelenggaraan kadaster kelautan di


Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan. Berikut adalah
metodologi penelitian yang digunakan untuk membangun definisi dan pola
penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai salah satu bentuk
kebijakan kepemerintahan di laut.

Metodologi penelitian (Gambar III.15) menggunakan pendekatan sistem


manufaktur yang terdiri dari masukan (input)-proses (process)-keluaran (output),
oleh karena itu ruang lingkup implementasi model sebagai output penelitian
sangat bergantung pada jumlah dan jenis unsur-unsur yang digunakan sebagai
input di dalam penelitian ini.

124
Gambar III.15 Diagram metodologi penelitian berbasis sistem (input – process – output)
118
125
Metodologi penelitian (Gambar III.15) menggunakan pendekatan sistem
manufaktur yang terdiri dari masukan (input)-proses (process)-keluaran (output),
oleh karena itu ruang lingkup implementasi model sebagai output penelitian
sangat bergantung pada jumlah dan jenis unsur-unsur yang digunakan sebagai
input di dalam penelitian ini.

Masukan (input) penelitian terdiri dari:

1. Definisi-definisi kadaster kelautan dari negara non-kepulauan, yakni Australia


(definisi ke-1 tahun 1999 dan definisi ke-2 tahun 2004), Kanada (2000), dan
Amerika (2002). Kajian konsep dan sistem penyelenggaraan kadaster kelautan
di masing-masing negara diperolah berdasarkan studi literatur.

2. Karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara


kepulauan terdiri dari unsur-unsur NKRI sebagai negara kepulauan yang
digunakan untuk mengkaji definisi-definisi kadaster kelautan dari negara non-
kepulauan, juga sebagai unsur penting di dalam merumuskan definisi kadaster
kelautan untuk Indonesia dan membangun pola kadaster kelautan untuk
Indonesia sebagai negara kepulauan.

3. Aspek Keilmuan terdiri dari teori dan konsep yang digunakan di dalam
penelitian ini untuk merumuskan definisi kadaster kelautan di Indonesia
sebagai negara kepulauan, dan membangun pola penyelenggaraan kadaster
kelautan di Indonesia dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan.

4. Aspek Profil Wilayah Studi mencakup informasi mengenai kondisi eksisting,


potensi dan permasalahan yang terjadi diperoleh berdasarkan survei lapangan,
melakukan wawancara dengan pihak terkait dan studi literatur.

5. Aspek Kegiatan Pengelolaan Pesisir dan Laut mencakup informasi teknis


berupa peta lokasi kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, serta
perundangan secara nasional maupun sektoral terkait penyelenggaraan kegiatan
pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di 4 (empat) kementerian
yakni: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan, diperoleh melalui studi
literatur.

126
6. Aspek Kebijakan dan Perundangan mengacu pada beberapa hukum dan
perundangan terkait pengelolaan pesisir dan laut, yakni UU RI No. 1 Tahun
2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU RI No.32 Tahun
2014 tentang Kelautan, UU RI No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial, UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Permendagri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Proses (process) penelitian dibagi menjadi 4 (empat) tahap kegiatan, yakni:

1. Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Australia, Kanada dan


Amerika dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan
2. Membangun Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia sebagai Negara
Kepulauan
3. Implementasi Definisi Kadaster Kelautan di wilayah studi.
4. Membangun Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan untuk
Indonesia sebagai Negara Kepulauan

Luaran (Output) Penelitian

Berdasarkan 4 (empat) tahapan penelitian yang dilakukan, maka produk akhir dari
penelitian ini adalah model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia
sebagai negara kepulauan. Model ini terdiri dari struktur dan prosedur
penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan yang
digunakan sebagai sistem operasional penyelenggaraan kelautan Indonesia
(pemerintahan di laut).

III.5.1 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Australia, Kanada


dan Amerika Dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan

Mengkaji definisi-definisi kadaster kelautan yang ada di negara non-kepulauan


yakni Australia, Kanada dan Amerika ditempatkan di dalam perspektif Indonesia
sebagai negara kepulauan. Kajian definisi-definisi kadaster kelautan dilakukan
untuk mengetahui apakah definisi-definisi kadaster kelautan yang telah ada di
negara-negara non-kepulauan dapat diimplementasikan di Indonesia sebagai
negara kepulauan. Kajian dilakukan terhadap masing-masing definisi kadaster
kelautan yang ada saat ini, yakni definisi dari Australia (ada dua definisi), Kanada

127
dan Amerika. Kajian dilakukan berdasarkan unsur-unsur pembentuk definisi
kadaster kelautan. Setelah itu dilakukan identifikasi dan inventarisasi unsur-unsur
utama pembentuk definisi, sehingga diketahui kesamaan unsur-unsur yang ada di
empat definisi kadaster kelautan tersebut. Unsur-unsur yang memiliki kesamaan
tersebut selanjutnya akan ditempatkan di dalam kondisi dan permasalahan
pemanfaatan dan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan.
Prosedur kajian definisi-definisi kadaster kelautan dapat dilihat pada Gambar
III.16.

Perumusan definisi kadaster kelautan untuk Indonesia


sebagai negara kepulauan

Gambar III.16 Diagram prosedur kajian definisi-definisi kadaster kelautan

128
Ada 5 (lima) proses yang dilakukan dalam kajian definisi-definisi kadaster
kelautan dari Australia, Kanada dan Amerika, yaitu:

(1) Kajian definisi-definisi kadaster kelautan berdasarkan unsur-unsur


pembentuk definisi.
(2) Visualisasi struktur definisi-definisi kadaster kelautan dari Australia,
Kanada dan Amerika.
(3) Identifikasi dan inventarisasi unsur-unsur utama pembentuk definisi.
(4) Kajian unsur-unsur utama definisi kadaster kelautan terhadap kondisi
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara
kepulauan.
(5) Kajian unsur-unsur utama definisi kadaster kelautan dari negara non-
kepulauan ditempatkan di dalam perspektif permasalahan pemanfaatan
wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan.

III.5.1.1 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan Berdasarkan Unsur-unsur


Pembentuk Definisi

Pada tahap ini menguraikan unsur-unsur pembentuk definsi kadaster kelautan


serta menjelaskan masing-masing definisi kadaster kelautan (Tabel III.3).

Tabel III.3 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan Berdasarkan Unsur-unsur


Pembentuk Definisi

No Negara Definisi Kadaster Unsur-unsur Penjelasan dari


Kelautan Pembentuk Definisi
Definisi
1 2 3 4 5
1 Australia Marine cadastre is 1.System  Kadaster kelautan
a system to enable 2.Boundaries of didefinisikan
the boundaries of Maritim sebagai suatu
maritime rights and 3.Rights sistem.
interests to be 4.Interests
 Definisi ini
recorded, spatially 5.Recorded
mengandung
managed and 6.Spatially
konsep otonomi
physically defined managed
daerah dalam
in relationship to 7.Physically
perspektif
the boundaries of defined
pengelolaan
other neighbouring 8.Relationship the
sumber daya
or underlying boundaries
alam.

129
Tabel III.3 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan Berdasarkan Unsur-
unsur Pembentuk Definisi (lanjutan)

rights and 9.Neighbouring  Definisi ini lebih


interests. 10.Underlying tertuju pada
pencatatan,pen-
(Hoogsteden, definisian,
Robertson dan pengelolaan dan
Benwell, 1999) hubungan antar
batas-batas di
laut.
 Satu-satunya
(dari 4 definisi)
yang tidak
menyebutkan
unsur hukum
laut.
2 Kanada A marine cadastre 1.Marine  Kadaster kelautan
is a marine information didefinisikan
information system, system sebagai sistem
encompassing both 2.Nature informasi
the nature and 3.Spatial extent kelautan.
spatial extent of the 4.interests
 Definisi ini
interests and 5.Property rights
memperkenal-kan
property rights, 6.Ownership
konsep hak
with respect to 7.Various rights
terkait dengan
ownership, various 8.Responsibilities
kepemilikan di
rights and 9.Marine
laut.
responsibilities in Jurisdiction
the marine  Tidak
jurisdiction. mencantumkan
(Nichols, Monahan unsur batas
dan Sutherland, (boundary).
2000).
3 Amerika The U.S. Marine 1.Informarion  Kadaster kelautan
Cadastre is an system didefinisikan
informations 2.Nature sebagai sistem
system, 3.Spatial extent informasi.
encompassing both 4.Interests Definisi ini
nature and spatial 5.Property memiliki sedikit
extent of interests 6.Value kemiripan dengan
in property, value 7.Use marine definisi dari
and use of marine areas Kanada, tetapi
areas. Marine or 8.Marine lebih
maritime boundaries
boundaries share a

130
Tabel III.3 Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan Berdasarkan Unsur-
unsur Pembentuk Definisi (lanjutan)

common element 9.A common menitikberatkan


with their land- element pada penetapan
based counterparts 10. Land batas-batas di laut
in that, in order to 11.Based (marine
map a bounday, counterparts boundaries).
one must 12.Map a
adequately boundary  Mengandung
interpret the 13.Adequately konsep kepastian
relevant law and its interpret hukum untuk
spatial context. 14.Relevant law mengatasi konflik
Marine boundaries 15.Spatial context kegiatan di laut.
are delimited, not 16.Delimited  Sama sekali tidak
demarcated, and 17.Not menyebutkan
generally there is demarcated unsur-unsur
no physical 18.No physical kadaster (rights,
evidence of the evidence restrictions,
boundary. responsibilities)
(NOAA, 2002).
4 Australia Marine cadastre is 1.Spatial  Kadaster kelautan
a spatial boundary boundary tidak lagi disebut
management tool 2.Management sebagai sistem,
which describes, 3.Tool melainkan
visualises and 4.Describes sebagai tool.
realises legally 5.Visualises
 Definisi ini
defined boundaries 6.Realises
mengandung
and associated 7.Legally defined
konsep kegiatan
rights, restrictions 8.Boundaries
lintas sektoral
and responsibilities 9.Associated
dalam perspektif
in marine 10.Rights
nasional.
environment. 11.Restrictions
(Binns, 2004). 12.Responsibilities
13.Marine
environtment

III.5.1.2 Visualisasi Struktur Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Australia,


Kanada dan Amerika

Visualisasi struktur definisi dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur dan korelasi


antar unsur yang terdapat pada masing-masing definisi kadaster kelautan. Berikut
visualisasi struktur definsi kadaster kelautan dari Australia (Gambar III.17 dan
Gambar III.20), Kanada (Gambar III.18) dan Amerika (Gambar III.19).

131
Gambar III.17 Visualisasi diagram struktur definisi kadaster kelautan ke-1 dari
Australia tahun 1999

Gambar III.18 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-2 dari
Kanada tahun 2000.

132
Gambar III.19 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-3 dari
Amerika tahun 2002.

Gambar III.20 Visualisasi diagram stuktur definisi kadaster kelautan ke-4 dari
Australia tahun 2004.
133
III.5.1.3 Identifikasi dan Inventarisasi Unsur-unsur Utama Pembentuk Definisi

Identifikasi dan inventarisasi unsur-unsur kadaster kelautan (Tabel III.4)


dilakukan untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan unsur-unsur utama yang
ada di 4 (empat) definisi kadaster kelautan.

Tabel III.4 Identifikasi dan Inventarisasi Unsur-unsur Utama dari Definisi-definisi


Kadaster Kelautan

Unsur-unsur utama definisi kadaster kelautan


Definisi ke-1 Definisi ke-2 Definisi ke-3 Definisi ke-4
(Australia, 1999) (Kanada, 2000) (Amerika, 2002) (Australia, 2004)
1.Sistem (system) 1.Sistem informasi 1.Sistem 1.Alat manajemen
kelautan (marine informasi (management tool)
information (information
system) system)
2.Batas-batas di laut 2. 2.a.Batas-batas di 2.Batas-batas
(boundaries of laut (marine (boundaries)
maritime): boundaries).
a. Batas laut yang b. Peta batas
bersebelahan (map a
b. Batas laut yang boundary)
mendasari hak c. Tanda batas
atau kepentingan
3.Hak (right) 3.a. Hak Kekayaan 3. 3. Hak (right)
(property
rights)
b. Hak
Kepemilikan
(ownership)
c. Hak lainnya
(various rights)
4. 4.Tanggung jawab 4. 4.Tanggung jawab
(responsibilities) (responsibilities)
5. 5. 5. 5.Pembatasan
(restrictions)
6. Kepentingan 6. Kepentingan 6. Kepentingan 6.
(interests) (interests) (interests)
7.Perekaman 7. 7. 7.a Menjelaskan
(recorded) (describes)
b.Menggambarkan
(visualises)
c.Mewujudkan
(realises)
8.Pengelolaan secara 8.Sifat dan luas 8.Sifat dan luas 8.Batas spasial
spasial dan fisik spasial (nature spasial (nature (spatial boundary)
(spatially managed and spatial extent) and spatial
and physically) extent)

134
Tabel III.4 Identifikasi dan Inventarisasi Unsur-unsur Utama dari Definisi-definisi
Kadaster Kelautan (lanjutan)
Definisi ke-1 Definisi ke-2 Definisi ke-3 Definisi ke-4
(Australia, 1999) (Kanada, 2000) (Amerika, 2002) (Australia, 2004)
9. 9.Wilayah hukum 9.Hukum terkait 9.Hukum (legally)
laut (marine (relevan law)
jurisdiction)
10. 10. 10.Nilai dan 10.Lingkungan laut
penggunaan (marine
wilayah laut environment)
(value and use
of marine
areas)
11. 11. 11.Tanah (land) 11.

Berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi unsur-unsur utama dari 4 (empat)


definisi kadaster kelautan pada Tabel III.4, tahap selanjutnya adalah melakukan
klasifikasi berdasarkan kesamaan unsur-unsur utama tersebut sehingga diperoleh
hasil 9 (sembilan) unsur utama kadaster kelautan sebagai berikut:
1. Hak (right)
2. Pembatasan (restriction)
3. Tanggung jawab (responsibility)
4. Kepentingan (interest)
5. Batas-batas di laut (marine boundaries)
6. Sistem referensi geodetik (geodetic reference system)
7. Penggunaan wilayah laut (use of marine areas)
8. Kewenangan laut (marine jurisdiction)
9. Penyelenggara (institution)

III.5.1.4 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi


Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara
Kepulauan

Unsur-unsur utama kadaster kelautan ditempatkan di dalam kondisi pemanfaatan


wilayah pesisir dan laut di perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur mewakili
wilayah bagian barat Indonesia dan perairan di Provinsi Maluku mewakili wilayah
bagian timur Indonesia (Tabel III.5). Penyelenggaran pemanfaatan wilayah pesisir
dan laut di wilayah bagian barat Indonesia memiliki tingkat kompleksitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian timur, hal ini dapat

135
dibuktikan berdasarkan jumlah sektor-sektor yang terlibat dalam penyelenggaraan
pemanfaatan laut serta beragamnya konflik antar sektor maupun antar daerah,
seperti yang terjadi di Selat Madura Provinsi Jawa Timur.

Berbeda dengan kondisi dan persoalan di wilayah Indonesia bagian barat,


penyelenggaraan pemanfaatan laut di wilayah Indonesia bagian timur lebih sering
dihadapkan pada eksistensi pengelolaan laut secara adat (ulayat laut). Provinsi
Maluku memiliki luas wilayah laut 527.191 km2 dan luas darat 54.185 km2, terdiri
dari 559 pulau (BPS Provinsi Maluku, 2011). Provinsi Maluku sebagai provinsi
kepulauan terbesar di Indonesia banyak ditemukan keberadaan masyarakat adat
yang memanfaatkan perairan kepulauan berbasis budaya lokal. Di Provinsi
Maluku praktik pengelolaan perikanan berbasiskan kearifan lokal telah
berlangsung lama dikenal dengan istilah petuanan dan sasi.

Selanjutnya melakukan kajian unsur-unsur utama definisi kadaster kelautan dari


negara non-kepulauan ditempatkan di dalam perspektif permasalahan
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan untuk
mengetahui apakah definisi-definisi kadaster kelautan yang ada dapat digunakan
untuk menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumber daya kelautan di
Indonesia (Tabel III.6).

136
Tabel III.5. Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia
sebagai Negara Kepulauan

Unsur-unsur Definisi kadaster kelautan di negara non-kepulauan NKRI sebagai negara kepulauan
utama dari
definisi-definisi A B C D Wilayah Wilayah
kadaster kelautan Definisi ke-1 Definisi ke-2 Definisi ke-3 Definisi ke-4 bagian bagian Timur
Australia, 1999 Kanada, 2000 Amerika, 2002 Australia, 2004 Barat (Perairan Prov
(Selat Madura) Maluku)
1 2 3 4 5 6 7
1. Right 1.Oil and gas 1.Public access 1.Public access rights. 1.Oil and gas -1A1, 1D1 -1A3, 1D3
develompent rights. 2.Navigation rights. develompent -1A2, 1D2
rights. 2.Navigation rights. 3.Riparian rights. rights. -1A4, 1D4
2.Traditional 3.Riparian rights. 4.Fishing rights. 2.Traditional -1B1, 1C1
fishing rights. 4.Fishing rights. 5.Development rights. fishing rights. -1B2, 1C2
3.Aboriginal 5.Development 6.Mineral rights. 3.Aboriginal rights -1B4, IC4
rights rights. 7.Seabed use rights. 4.Coastal property -1B6, 1C6
4.Coastal 6.Mineral rights. rights -1B7, 1C7
property rights 7.Seabed use rights. (including
(including riparian rights):
riparian rights for public
rights): rights navigation,
for public recreation, and
navigation, access.
recreation, and
access.

137
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia
sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

2. Restriction Berdasarkan Berdasarkan Federal Berdasarkan Federal Berdasarkan 2B 2B


Federal Water, Water, Provincial Water dan State Water Federal Water,
State Water, dan Water, Local State Water, dan
memperhatikan Geovernment Water memperhatikan
Native Rights dan memperhatikan Native Rights
Native Rights.

3. Responsibility Berdasarkan Berdasarkan hukum Berdasarkan hukum Berdasarkan 3B 3B


hukum federal, federal, provincial, federal dan hukum hukum federal dan
negara bagian local government dan negara bagian (state). hukum negara
(state) dan adat. native rights. bagian (state).
4. Interests 1.Shipping lanes 1.Navigation 1.Alternative energy. 1.Tourism and -4A1, 4B1, -4D8
2.Geophysical (shipping) 2.Ocean planning. recreation. 4D3
exploration. 2.Fishing. 3.Habitat 2.Marine Protected -4A3, 4B3,
3.Oil and gas 3.Minerals and conservation. Area. 4D7
extraction energy. 4.Human 3.Shipping. -4A4
4.Defence 4.Development. use/recreation 4.Heritage. -4A5, 4B2
5.Fisheries 5.Marine Protected 5.Cable and -4A6, 4C5,
6.Conservation Area pipelines. 4C6, 4D2,
6.Aquaculture 6.Aquaculture 4D6
leases. -4D5
7.Mineral and
energy
8.Native title.
9.Ocean waste
disposal.

138
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia
sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

5. Marine 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas yurisdiksi: -5A1a, 5B1a, -5B1b
Boundaries a.Negara a.Negara (Federasi): a.Negara (Federasi): a.Negara 5C1a, 5D1a
(Federasi): Territorial Sea, Territorial Sea, (Federasi): -5B1b
Territorial Sea, Contiguous Zone, Contiguous Zone, Territorial Sea,
Contiguous ZEE, Continental ZEE, Continental Contiguous Zone,
Zone, ZEE, Shelf. Shelf. ZEE, Continental
Continental b.Daerah: provinsi, b.Daerah (state): state Shelf.
Shelf. kabupaten dan kota. seaward (3mil) dan b.Daerah (state):
b.Daerah (state): revenue sharing coastal waters
coastal waters (6mil). (3mil)
(3mil)

2.Batas kegiatan: 2.Batas kegiatan: 2.Batas kegiatan: 2.Batas kegiatan: - 5A2a, 5B2a, -5A2e, 5D2e
a.Marine a.Marine Protected a.Navigation a.Marine Protected 5C2f, 5D2a
Protected Areas Areas. b.Submerged cultural Areas -5A2b, 5D2b
b.Fishing zones b.Defence. resources b.Fishing zones -5A2c, 5D2c
c.Petroleum c.Cable and pipeline c.Undersea cables c.Petroleum -5A2d, 5B2c,
exploration and areas d.Offshore exploration and 5C2c, 5D2d
mining. aquaculture mining. -5B2b, 5C2e
d.Cable and e.National security d.Cable and -5C2a
pipeline areas f.Environmental pipeline areas
e.Native title protection e.Native title
claims claims
6. Geodetic 1. Geodetik dan 1.Sistem koordinat 1.Sistem koordinat 1.Sistem koordinat -6A1, 6B1,
Reference geosentris. geodetik dan geodetik dan geodetik dan 6C1, 6D1
System geosentris. geosentris. geosentris. -6A2, 6B2,
6D2

139
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai
Negara Kepulauan (lanjutan)

2.Sistem proyeksi: 2.Sistem proyeksi: 2.Sistem proyeksi: 2.Sistem proyeksi: -6A3, 6D3
UTM, Map UTM. UTM, Outer UTM, Map grid
grid of 3.Datum Horizontal: Continental Shelf of Australia.
Australia NAD27, NAD83, (OCS) grid system. 3.Datum
3.Datum WGS’84. 3.Datum Horizontal: Horizontal:
Horizontal: 4.Datum vertikal: NAD27, NAD83, GDA’94,
GDA 94, Lower Low Water WGS’84. WGS’84.
WGS’84. Large Tide 4.Datum vertikal: 4.Datum vertikal:
4.Datum vertikal: (LLWLT) dan MLLW. Low Water
Low Water Lowest Normal 5. Cadastral Data Mark
Mark (LWM) Tide (LNT). Content Standard (LWM).Lowest
.Lowest 5.Marine Geospatial for the National Astronomical
Astronomical Data Spatial Data Infra- Tide (LAT).
Tide (LAT). Infrastructure dan stucture:Coastal 5.Australia Spatial
5.Australia Canadian and Marine Habitat DataInfrastruc-
Spatial Data Geospatial Data Classification ture (ASDI)
Infrastructure Infrastructure. Standard.
(ASDI)
7. Use of Marine 1.Permukan air 1.Permukaan air 1.Air column 1.Permukaan air -7A1, 7B1, -7A1, 7B1,
Areas (water surface) (water surface). 2.Water surface (water surface). 7C1, 7D1 7C1, 7D1
2.Kolom air (water 3.Water column 2.Kolom air (water -7B2, 7C3, -7B2, 7C3,
column). 4.Seabed column). 7D2 7D2
3.Dasar laut (seabed) 5.Subsurface 3.Dasar laut -7B3, 7C4, -7B3, 7C4,
(seabed) 7D3 7D3

140
Tabel III.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan terhadap Kondisi Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai
Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7
8. Marine 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS -8A1, 8B1, -8B6, 8A4,
Jurisdiction 2.Federal 2.Federal 2.Federal 2.Federal 8C1, 8D1 8D4
3.State 3.Provinsi 3.State 3.State -8B4
4.Adat 4.Kabupaten/Kota 4.Adat -8B5
5.Adat

9. Institution Banyak institusi Banyak institusi yang Banyak institusi yang Banyak institusi 9A, 9B, 9D
yang mengelola mengelola hak-hak terlibat. yang mengelola
hak-hak lepas lepas pantai dan Penyelenggaraan hak-hak lepas
pantai dan batas. batas. dikoordinasi oleh pantai dan batas.
National Oceanic and
Atmospheric
Administration
(NOAA).
Cara membaca tabel:
Digit ke-1 (angka) diperoleh dari kolom unsur-unsur utama dari definisi-definisi kadaster kelautan.
Digit ke-2 (huruf besar) diperoleh dari kolom definisi kadaster kelautan di negara non-kepulauan.
Digit ke-3 (angka) diperoleh dari kolom unsur-unsur utama dari salah satu definisi kadaster kelautan.
Digit ke-4 (huruf kecil) diperoleh dari kolom unsur-unsur utama dari salah satu definisi kadaster kelautan, merupakan sub-unsur.
Contoh: 5A1a = (5) Marine Boundaries---(A)Definisi ke-3Amerika, 2002---(1).Batas yurisdiksi---(a).Negara (Federasi): Territorial Sea,
Contiguous Zone, ZEE, Continental Shelf.

Hasil kajian Tabel III.5 adalah bahwa beberapa unsur-unsur utama kadaster kelautan di negara Australia, Kanada dan Amerika memiliki
kesamaan unsur-unsur dalam pemanfaatan laut di negara Indonesia sebagai negara kepulauan.

141
III.5.1.5 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan Ditempatkan di dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan

Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Unsur-unsur Definisi kadaster kelautan di negara non-kepulauan NKRI sebagai negara kepulauan
utama dari
definisi-definisi A B C D Problematika Hasil Kajian
kadaster Definisi ke-1 Definisi ke-2 Definisi ke-3 Definisi ke-4 Pengelolaan
kelautan Australia, 1999 Kanada, 2000 Amerika, 2002 Australia, 2004 Laut
1 2 3 4 5 6 7
1.Right 1.Oil and gas 1.Public access 1.Public access 1.Oil and gas Masih sedikit Jenis hak yang
develompent rights. rights. develompent jenis hak di ada di empat
rights. 2.Navigation rights. 2.Navigation rights. laut definisi kadaster
2.Traditional fishing 3.Riparian rights. rights. 2.Traditional berdasarkan kelautan dapat
rights. 4.Fishing rights. 3.Riparian rights. fishing rights. jenis kegiatan dijadikan sebagai
3.Aboriginal rights 5.Development 4.Fishing rights. 3.Aboriginal rights sektoral. masukan untuk
4.Coastal property rights. 5.Development 4.Coastal property merumuskan hak
Terdapat hak
rights (including 6.Mineral rights. rights. rights (including baru di Indonesia.
kepemilikan
riparian rights): 7.Seabed use rights. 6.Mineral rights. riparian rights): laut adat.
rights for public 7.Seabed use rights for public Tidak berlaku
navigation, rights. navigation, eksklusifitas
recreation, and recreation, and wilayah dan hak
access. access. kepemilikan laut
secara adat di
Australia, Kanada
maupun Amerika.

142
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7
2.Restriction Berdasarkan Berdasarkan Federal Berdasarkan Berdasarkan Tumpang Ada kemiripan
Federal Water, Water, Provincial Federal Water Federal Water, tindih konsep dengan
State Water, dan Water, Local dan State Water State Water, dan kewenangan Kanada. Bedanya
memperhatikan Geovernment Water memperhatikan laut negara, adalah penentuan
Native Rights dan memperhatikan Native Rights provinsi, provincial dan
Native Rights. kabupaten/ local government
kota,sektoral water tidak
dan adat berdasarkan jarak
(mil laut)
3.Responsibility Berdasarkan hukum Berdasarkan hukum Berdasarkan Berdasarkan Tumpang Responsibilities
federal, negara federal, provincial, hukum federal hukum federal, tindih dan diberlakukan
bagian (state) dan local government dan dan hukum negara bagian saling berdasarkan
adat. native rights. negara bagian (state) dan adat. bertentangan wilayah
(state). antara administrasi
responsibilities (federal dan
negara, state), tidak
provinsi, dipengaruhi kuat
kabupaten/ oleh perundangan
kota, sektoral sektoral yang ada.
dan adat.
4.Interests 1.Shipping lanes 1.Navigation 1.Alternative 1.Tourism and Tumpang Kepentingan yang
2.Geophysical (shipping) energy. recreation. tindih terdapat diempat
exploration. 2.Fishing. 2.Ocean 2.Marine Protected kepentingan definisi dapat
3.Oil and gas 3.Minerals and planning. Area. (kegiatan) diselenggarakan
extraction energy. 3.Habitat 3.Shipping. pengelolaan di Indonesia
4.Defence 4.Development. conservation. 4.Heritage. laut antar berdasarkan

143
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

5.Fisheries 4.Human 5.Cable and sektor kewenangan


6.Conservation use/recreation pipelines. negara, provinsi
5.Marine 6.Aquaculture atau
Protected Area leases. kota/kabupaten.
6.Aquaculture 7.Mineral and
energy Native title yang
8.Native title. ada di Australia
9.Ocean waste tidak sama dengan
disposal. hak laut adat di
Indonesia.
5.Marine 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas yurisdiksi: 1.Batas 1.Batas yurisdiksi: Masih banyak Ada kemiripan
Boundaries a.Negara a.Negara (Federasi): yurisdiksi: a.Negara kota/kabupaten konsep penentuan
(Federasi): Territorial Sea, a.Negara (Federasi): yang belum batas kewenangan
Territorial Sea, Contiguous Zone, (Federasi): Territorial Sea, menetapkan laut di Kanada
Contiguous Zone, ZEE, Continental Territorial Sea, Contiguous Zone, dan dengan Indonesia,
ZEE, Continental Shelf. Contiguous ZEE, Continental menegaskan yakni adanya laut
Shelf. b.Daerah : provinsi, Zone, ZEE, Shelf. batas provinsi dan
b.Daerah (state): kabupaten/kota Continental b.Daerah (state): kewenangan kabupaten/kota.
coastal waters Shelf. coastal waters laut daerah.
(3mil) 2.Batas kegiatan: (3mil) Bedanya adalah
a.Marine Protected b.Daerah (state): Begitupula penentuan laut
2.Batas kegiatan: Areas. state seaward 2.Batas kegiatan: dengan batas- provinsi dan
a.Marine Protected b.Defence. (3mil), revenue a.Marine Protected batas kegiatan kabupaten/kota
Areas c.Cable and pipeline sharing (6mil). Areas sektoral di tidak ditentukan
b.Fishing zones areas b.Fishing zones laut. berdasarkan jarak
(mil laut).

144
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

c.Petroleum 2.Batas kegiatan: c.Petroleum Batas-batas


exploration and a.Navigation exploration and kegiatan di laut
mining. b.Submerged mining. yang ada diempat
d.Cable and cultural d.Cable and definisi kadaster
pipeline areas resources pipeline areas kelautan dapat
e.Native title claims c.Undersea e.Native title diterapkan di
cables claims Indonesia dengan
d.Offshore tetap
aquaculture memperhatikan
e.National batas kewenangan
security laut daerah dan
f.Environmental adat.
protection
6.Geodetic 1.Sistem koordinat 1.Sistem koordinat 1.Sistem 1.Sistem koordinat Beragamnya Sistem referensi
Reference geodetik dan geodetik dan koordinat geodetik dan sistem geodetik di
System geosentris. geosentris. geodetik dan geosentris. referensi Australia, Kanada
2.Sistem proyeksi: 2.Sistem proyeksi: geosentris. 2.Sistem proyeksi: geodetik yang dan Amerika tidak
UTM, Map grid UTM. 2.Sistem UTM, Map grid digunakan oleh dapat sepenuhnya
of Australia. 3.Datum Horizontal: proyeksi: of Australia. masing-masing diterapkan di
3.Datum Horizontal: NAD27, NAD83, UTM, Outer sektor Indonesia.
3.Datum
GDA’94, WGS’84. Continental menyebabkan
Horizintal:
WGS’84. Shelf (OCS) informasi
GDA’94,
grid system. geospasial
WGS’84.
yang

145
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

4.Datum vertikal: 4.Datum vertikal: 3.Datum 4.Datum vertikal: dihasilkan


Low Water Mark Lower Low Water Horizontal: Low Water Mark menjadi
(LWM).Lowest Large Tide NAD27, (LWM).Lowest berbeda.
Astronomical (LLWLT) dan NAD83, Astronomical
Tide (LAT). Lowest Normal WGS’84. Tide (LAT).
Tide (LNT). 4.Datum vertikal:
MLLW. 5.Australia Spatial
5.Australia Spatial 5. Cadastral Data DataInfrastruc-
DataInfrastruc- 5.Marine Geospatial Content ture (ASDI)
ture (ASDI) Data Standard for the
Infrastructure dan National
Canadian Spatial Data
Geospatial Data Infrastucture:
Infrastructure. Coastal and
Marine Habitat
Classification
Standard.
7.Use of 1.Permukan air 1.Permukaan air 1.Air column 1.Permukaan air Belum ada Konsep
Marine Areas (water surface) (water surface). 2.Water surface (water surface). ketentuan penggunaan
2.Kolom air (water 3.Water column 2.Kolom air (water kegiatan di wilayah laut pada
column). 4.Seabed column). permukaan, definisi 2,3 dan 4
3.Dasar laut (seabed) 5.Subsurface 3.Dasar laut kolom dan dapat diterapkan
(seabed) dasar laut di Indonesia.

146
Tabel III.6 Kajian Unsur-unsur Utama Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Negara Non-Kepulauan ditempatkan dalam Perspektif
Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7
8.Marine 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS 1.UNCLOS Penentuan Indonesia sebagai
Jurisdiction 2.Federal 2.Federal 2.Federal 2.Federal batas laut negara kepulauan
3.State 3.Provinsi 3.State 3.State negara, memiliki
4.Adat 4.Kota 4.Adat provinsi, kewenangan laut
5.Adat kota/kabupaten yang berbeda
yang belum dengan negara
tuntas. non-kepulauan.
9.Institution Banyak institusi Banyak institusi yang Banyak institusi Banyak institusi Banyak Konsep
yang mengelola mengelola hak-hak yang terlibat. yang mengelola institusi yang penyelenggaraan
hak-hak lepas pantai lepas pantai dan Penyelenggaraan hak-hak lepas terlibat. kadaster kelautan
dan batas. batas. dikoordinasi oleh pantai dan batas. Penyelenggara di Amerika dapat
National Oceanic -an pengelola- dijadikan sebagai
and Atmospheric an laut pendekatan solusi
Administration dilakukan penyelenggaraan
(NOAA). berdasarkan pengelolaan laut
peraturan di Indonesia.
perundangan
sektoral yang
tumpang tindih
dan
bertentangan.

147
Hasil Kajian Definisi-definisi Kadaster Kelautan dari Australia, Kanada dan
Amerika dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan adalah sebagai
berikut:

1. Kadaster kelautan di negara Australia, Kanada dan Amerika sebagai negara


non-kepulauan dibangun berdasarkan batas yurisdiksi laut federal dan
negara bagian (state), serta konstitusi sebagai negara pantai digunakan di
dalam aspek keilmuan untuk pengembangan keilmuan kelautan.

2. Definisi kadaster kelautan dari Australia dibangun berdasarkan batas


yurisdiksi laut yang menetapkan adanya batas kewenangan pemanfaatan
laut negara bagian (3 mil laut) dan laut federal. Dalam perspektif Indonesia
sebagai negara kepulauan, definisi yang dirumuskan oleh Hoogsteden,
Robertson dan Benwell pada tahun 1999 mengandung konsep otonomi
daerah dalam perspektif pengelolaan sumber daya alam. Sedangkan definisi
kadaster kelautan yang dirumuskan oleh Binns pada tahun 2004
mengandung konsep kegiatan lintas sektoral dalam perspektif nasional.

3. Definisi kadaster kelautan dari Kanada dibangun berdasarkan batas


yurisdiksi laut dan sangat dipengaruhi oleh kewenangan pemanfaatan laut
secara federal, provinsi, kabupaten dan kota, walaupun batas kewenangan
tersebut tidak ditetapkan berdasarkan jarak (mil laut). Dalam perspektif
Indonesia sebagai negara kepulauan, definisi ini mengandung konsep
otonomi daerah dalam perspektif pengelolaan sumber daya alam.

4. Definisi kadaster kelautan dari Amerika dibangun berdasarkan batas


yurisdiksi laut yang menetapkan adanya batas kewenangan pemanfaatan
laut federal dan negara bagian (3 mil laut, kecuali Texas dan Teluk Florida 9
mil laut). Dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan, definisi ini
mengandung konsep kepastian hukum untuk mengatasi konflik kegiatan di
laut.

148
5. Definisi-definisi kadaster kelautan di Australia, Kanada dan Amerika tidak
dapat langsung digunakan di Indonesia. Secara garis besar kadaster kelautan
berkaitan dengan karakteristik dan konstitusi suatu negara. Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki karakteristik dan konstitusi yang
berbeda dengan negara pantai dalam mengelola dan mengatur administrasi
sumber daya kelautan.

6. Perbedaan unsur-unsur utama kadaster kelautan di negara Australia, Kanada


dan Amerika terhadap kondisi pemanfaatan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia serta konstitusi negara Indonesia sebagai negara kepulauan
terletak pada unsur wilayah laut, sistem kepemerintahan, undang-undang
dan persoalan laut adat.

7. Pengelolaan kadaster kelautan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia


sebagai negara kepulauan memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pengelolaan kadaster kelautan untuk negara non-
kepulauan.

8. Diperlukan definisi kadaster kelautan yang tepat sesuai karakteristik dan


konstitusi Indonesia sebagai negara kepulauan. Definisi kadaster kelautan di
Indonesia harus memasukan unsur batas kewenangan laut provinsi dan
kabupaten/kota, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
memperhatikan eksistensi hukum laut adat yang diakui oleh pemerintah.

149
III.5.2 Membangun Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia sebagai
Negara Kepulauan

Setelah kajian definisi-definisi kadaster kelautan dari negara non-kepulauan


selesai dilakukan, selanjutnya adalah membangun definisi kadaster kelautan untuk
Indonesia sebagai negara kepulauan. Dalam membuat definisi ada syarat-syarat
atau prosedur yang harus diikuti guna menghindari kesalahan-kesalahan yang
biasa dilakukan. Dibawah ini diuraikan sejumlah syarat dalam membuat definisi
yang baik (Bakry, 1996).

1. Suatu definisi terdiri atas 2 (dua) bagian, yakni: Definiendum, yaitu kata atau
bagian pangkal yang harus dijelaskan, dan Definiens, yaitu uraian tentang arti
dari bagian pangkal. Dalam setiap definiens terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
Genera (genus), dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah jenis, dan
Differentia (difference), dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah sifat
pembeda. Jadi dalam mendefinisikan suatu kata adalah menganalisis jenis
dan sifat pembeda yang dikandungnya.

2. Definisi harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Syarat ini dimaksudkan
membantu orang untuk mengklarifikasi tujuannya sebelum membuat
definsinya atau mengkritik definsi orang lain. Definisi tidak boleh negatif, tapi
harus dirumuskan secara positif.

3. Definisi harus dimengerti oleh orang yang dituju. (i) Definiens tidak boleh
mengandung kata-kata yang tidak dimengerti seperti definiendum, karena
definiens memang dimaksudkan untuk menjelaskan arti definiendum, maka
kata-kata yang digunakan haruslah dimengerti. (ii) definiens tidak boleh
menjadi bagian dari definiendum (definisi sirkuler/ melingkar).

4. Definiens dan definiendum harus ekuivalen (setara), yakni yang satu harus
dapat digunakan mengganti yang lain. Konsekuensinya adalah bahwa definiens
dan definiendum harus bisa dibolak balik atau dipertukarkan. Persyaratan ini
biasanya dibagi menjadi 3 (tiga) syarat: yakni: (1) definiendum tidak boleh
lebih luas dari definiens, (2) definiendum tidak boleh lebih sempit dari
definiens, (3) definiens tidak boleh dinyatakan secara metafor atau dengan
bahasa figuratif.

150
5. Definisi harus merupakan penjelasan arti definiendum, bukan hanya merupakan
statement/ pernyataan tentang apa yang disebutkan dalam definiendum. Syarat
ini merupakan konsekuensi dari apa yang sudah dikatakan di atas yakni definisi
merupakan penjelasan arti kata-kata.

Proses membangun definisi kadaster kelautan dalam perspektif NKRI sebagai


negara kepulauan ditunjukkan pada Gambar III.21.

Gambar III.21 Diagram proses membangun definisi kadaster kelautan dalam


perspektif NKRI sebagai negara kepulauan

151
Ada 4 (empat) proses yang dilakukan dalam membangun definisi kadaster
kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan dan multikultural, yaitu:

(1) Transformasi unsur-unsur kadaster kelautan di Australia, Kanada dan


Amerika terhadap karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan

(2) Membangun unsur-unsur pembentuk definisi kadaster kelautan untuk


Indonesia sebagai negara kepulauan.

(3) Mengembangkan kerangka definisi berdasarkan pendekatan teori sistem


untuk menyelesaikan permasalahan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia

(4) Merumuskan definisi kadaster kelautan dalam perspektif Indonesia sebagai


negara kepulauan

III.5.2.1 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia, Kanada dan


Amerika terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan

Transformasi unsur-unsur kadaster kelautan dari Australia (Tabel III.7), Kanada


(Tabel III.8) dan Amerika (Tabel III.9) sebagai negara non-kepulauan terhadap
kondisi negara Indonesia dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur apa saja dan
sejauh mana unsur-unsur tersebut dapat digunakan di Indonesia sebagai negara
kepulauan dan multikultural. Hasil transformasi unsur-unsur kadaster kelautan
dari ketiga negara kepulauan tersebut ditampilkan di Tabel III.10.

152
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia
terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan

Indonesia Hasil
Kadaster Kelautan di Australia sebagai Transformasi
Negara
Kepulauan
1 2 3 4
1.Marine 1. Perairan Kedaulatan Konsep
Jurisdiction pedalaman (Perairan kadaster
2. Laut teritorial Indonesia): kelautan untuk
3. Dasar laut 1. Perairan Indonesia
4. Tanah di bawah pedalaman harus
laut 2. Perairan memasukkan
kepulauan unsur Perairan
3. Laut teritorial Kepulauan
sebagai
pembeda
Marine
dengan
Jurisdiction:
Australia
Zona Tambahan,
sebagai negara
ZEE, Landas
pantai.
Kontinen.
2.Kewenangan 1.State (0-3mil) 1.Pusat Perbedaan
Pengelolaan 2.Federal (diluar 3- 2.Provinsi (12mil batas
Authority 12 mil laut) laut) kewenangan
3.Kabupaten/ pengelolaan
kota (1/3 dari laut di
batas laut Australia dan
provinsi) Indonesia.

Konsep
kadaster
kelautan di
Indonesia
harus
memasukan
unsur batas
kewenangan
laut daerah
yang
bersebelahan
maupun
berhadapan.

153
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
3.Right 1.Oil and gas Masih sedikit Hak-hak yang
develompent right. jenis hak di laut ada di
2.Traditional fishing berdasarkan Australia dapat
right. jenis kegiatan dijadikan
3.Aboriginal right. sektoral. sebagai
4.Coastal property masukan untuk
right (including merumuskan
riparian right): hak baru di
rights for public Indonesia,
navigation, dengan syarat
recreation, and harus
access. memperhati-
kan batas
kewenangan
laut daerah.

4.Native Right Tidak berlaku Adanya Konsep


eksklusifitas wilayah eksklusifitas kadaster
dan hak kepemilikan wilayah dan hak kelautan untuk
laut secara adat. kepemilikan laut Indonesia
secara adat. harus
memasukkan
unsur
pengelolaan
laut adat.
5.Interest 1.Shipping lanes 1. Pertahanan Interest di
2.Geophysical 2. Perikanan Australia dapat
exploration. 3. Pertambangan diselenggara-
3.Oil and gas 4. Lingkungan kan di
extraction Hidup Indonesia
4.Defence 5. Perhubungan dengan
5.Fisheries Laut memperhati-
6.Conservation: 6. Budaya kan batas
Marine Protected dan kewenangan
Area, Heritage. Pariwisata laut
7.Tourism and 7. Pekerjaan pemerintah
recreation. Umum (tata daerah.
8.Cable and ruang, Konsep
pipelines. infrastruktur) kadaster
9.Aquaculture 8. Otonomi kelautan di
leases. Daerah Indonesia
10.Mineral and 9. Perdagangan harus
energy 10. Perindustrian memasukan
11.Native title unsur

154
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

12.Ocean waste 11. Kesejahteraan Otonomi


disposal. Rakyat Daerah
12. Pembangunan
Nasional

6.Restriction Berdasarkan: Berdasarkan: Restriction


yang ada di
1. UNCLOS 1982 1. UNCLOS
Australia tidak
2. Kewenangan 1982
dapat
pemerintah 2. Kewenangan
diterapkan di
federal pemerintah
Indonesia,
3. Kewenangan pusat
disebabkan
state 3. Kewenangan
oleh unsur
4. Jenis kepentingan provinsi
(type of interest) 4. Kewenangan kedaulatan
kabupaten/ negara
kepulauan,
kota
5. Jenis otonomi
daerah dan
kepentingan
(type of kewenangan
interests). hukum laut
adat yang
6. Hukum adat
berlaku di
yang diakui
Indonesia.

7. Mengacu pada: Mengacu pada: Responsibility


Responsibility yang ada di
1. UNCLOS 1982 1. UNCLOS
Australia tidak
2. Kewenangan 1982
dapat
pemerintah 2. Kewenangan
diterapkan di
federal pemerintah
Indonesia,
3. Kewenangan pusat
disebabkan
state 3. Kewenangan
oleh unsur
4. Jenis hak dan provinsi
kepentingan 4. Kewenangan kedaulatan
kabupaten/ negara
kepulauan,
kota
5. Jenis hak otonomi
daerah dan
dan
kepentingan kewenangan
6. Hukum adat hukum laut
adat yang
yang diakui.
berlaku di
Indonesia.

155
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
8.Marine Berdasarkan: Berdasarkan: Marine
Boundaries Boundaries di
1. Marine 1. Marine
Australia tidak
Jurisdiction Jurisdiction
dapat
negara pantai negara
diterapkan di
2. Kewenangan kepulauan
Indonesia
pemerintah 2. Kewenangan
disebabkan
federal dan state pemerintah
oleh unsur
3. Jenis hak dan provinsi,
kepentingan kabupaten/ kedaulatan
kota. negara
kepulauan,
3. Jenis hak
dan batas
kepentingan kewenangan
4. Batas laut laut provinsi
adat dan
kabupaten/
kota dan batas
laut adat yang
berlaku di
Indonesia.
9.Geodetic 1. Geodetik dan Beragamnya Sistem
Reference geosentris. sistem referensi referensi
System 2.Sistem proyeksi: geodetik yang geodetik di
UTM, Map grid digunakan oleh Australia tidak
of Australia masing-masing dapat
3.Datum Horizontal: sektor. sepenuhnya
GDA 94, Contoh: sektor diterapkan di
WGS’84. perikanan, Indonesia.
4.Datum vertikal: pertambangan, Diperlukan
Low Water Mark perhubungan, dan
penggunaan
(LWM).Lowest otonomi daerah sistem
Astronomical Tide mengacu pada referensi
(LAT). sistem refernsi geospasial
5.Australia Spatial geodetik yang yang sama
Data berbeda. (dapat
Infrastructure ditransformasi
(ASDI) kan ke sistem
referensi
geospasial
nasional).

156
Tabel III.7 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
10. Institution Banyak institusi Banyak institusi Diperlukan
yang terlibat di yang terlibat. azas
dalam mengelola keterpaduan
batas dan hak-hak Penyelenggaraan untuk
lepas pantai. pengelolaan mengintegrasi-
sumber daya kan kebijakan
kelautan berbagai sektor
dilakukan secara
berdasarkan horizontal,
peraturan vertikal
perundangan maupun antara
sektoral. pemerintah
dan
pemerintah
daerah.

Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap


Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan

Indonesia Hasil
Kadaster Kelautan di Kanada sebagai Negara Transformasi
Kepulauan
1 2 3 4
1. Marine 1. Perairan Kedaulatan Konsep
Jurisdiction pedalaman (Perairan kadaster
2. Laut teritorial Indonesia): kelautan untuk
3. Dasar laut 1. Perairan Indonesia
4. Tanah di pedalaman harus
bawah laut 2. Perairan memasukkan
kepulauan unsur Perairan
3. Laut teritorial Kepulauan
sebagai
Marine
Jurisdiction: Zona pembeda
Tambahan, ZEE, dengan
Landas Kontinen. Kanada
sebagai negara
pantai.
2. Kewenangan 1. Federal 1.Pusat Perbedaan
Pengelolaan 2. Provinsi 2.Provinsi (12mil kewenangan
(Authority) 3. Teritori laut) pengelolaan
laut di Kanada

157
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

4. Kotamadya 3.Kabupaten/ dan Indonesia.


(lokal atau kota (1/3 dari
regional). batas wilayah Batas
laut provinsi) kewenangan
pengelolaan
laut di Kanada
tidak
ditentukan
berdasarkan
jarak (mil
laut).
Konsep
kadaster
kelautan di
Indonesia
harus
memasukan
unsur batas
kewenangan
laut daerah
bersebelahan
maupun
berhadapan.
3. Right 1.Public access Masih sedikit Hak-hak yang
right. jenis hak di laut ada di Kanada
2.Navigation berdasarkan jenis dapat dijadikan
right. kegiatan sektoral. sebagai
3.Riparian right. masukan untuk
4.Fishing right. merumuskan
5.Development hak baru di
right. Indonesia,
6.Mineral right. dengan syarat
7.Seabed use harus
right. memperhati-
kan batas
kewenangan
laut daerah.

4. Native Right Tidak berlaku Adanya Konsep


eksklusifitas eksklusifitas kadaster
wilayah dan hak wilayah dan hak kelautan untuk
kepemilikan laut kepemilikan laut Indonesia
secara adat. secara adat. harus
memasukkan

158
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

unsur adat
yang
multikultural.

5. Interest 1.Navigation 1.Pertahanan Interest di


(shipping) 2.Perikanan Kanada dapat
2.Fishing. 3.Pertambangan diselenggara-
3.Minerals and 4.Lingkungan kan di
energy. Hidup Indonesia
4.Development. 5.Perhubungan dengan
5.Marine Laut memperhati-
Protected Areas. 6.Budaya dan kan batas
6.Defence. Pariwisata kewenangan
7.Cable and 7.Pekerjaan laut
pipeline areas Umum (tata pemerintah
ruang, daerah.
infrastruktur) Konsep
8.Otonomi kadaster
Daerah kelautan di
9.Perdagangan Indonesia
10.Perindustrian harus
11.Kesejahteraan memasukan
Rakyat unsur
12.Pembangunan Otonomi
Nasional Daerah.
6. Restriction Berdasarkan: Berdasarkan: Restriction
yang ada di
1. UNCLOS 1. UNCLOS
Kanada tidak
1982 1982
dapat
2. Kewenangan 2. Kewenangan
diterapkan di
pemerintah pemerintah
Indonesia,
federal pusat
disebabkan
3. Kewenangan 3. Kewenangan
oleh unsur
provinsi provinsi
4. Kewenangan 4. Kewenangan kedaulatan
teritori kabupaten/ negara
kepulauan,
5. Kewenangan kota.
kotamadya 5. Jenis otonomi
daerah dan
(lokal atau kepentingan
regional) (type of kewenangan
6. Jenis interest). hukum laut
adat yang
kepentingan 6. Hukum adat
berlaku di
(type of yang diakui
Indonesia.
interest)

159
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
7. Responsibility Mengacu pada: Mengacu pada: Responsibility
yang ada di
1.UNCLOS 1982 1. UNCLOS
Kanada tidak
2.Kewenangan 1982.
dapat
pemerintah 2. Kewenangan
diterapkan di
federal pemerintah
Indonesia,
3.Kewenangan pusat
disebabkan
provinsi 3. Kewenangan
oleh unsur
4.Kewenangan provinsi
teritori 4. Kewenangan kedaulatan
5.Kewenangan kabupaten/ negara
kepulauan,
kotamadya kota
(lokal atau 5. Jenis hak dan otonomi
daerah dan
regional) kepentingan
6.Jenis hak dan 6. Hukum adat kewenangan
kepentingan yang diakui. hukum laut
adat yang
berlaku di
Indonesia

8. Marine Berdasarkan: Berdasarkan: Marine


Boundaries Boundaries di
1. Marine 1. Marine
Kanada tidak
Jurisdiction Jurisdiction
dapat
negara pantai negara
diterapkan di
2. Kewenangan kepulauan
Indonesia,
pemerintah 2. Kewenangan
karena:
federal, pemerintah
1) Kedaulatan
provinsi, provinsi,
negara yang
teritori, kabupaten/
berbeda.
kotamadya kota
2) Penentuan
(lokal atau 3. Jenis hak dan
batas
regional) kepentingan
kewenangan
3. Jenis hak dan 4. Batas laut adat
laut
kepentingan
pemerintah
federal,
provinsi,
teritori dan
kotamadya
ditentukan
tidak
berdasarkan
jarak (mil
laut).

160
Tabel III.8 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Kanada terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

3)Batas laut
adat yang
berlaku di
Indonesia.
9. Geodetic 1.Sistem Beragamnya Sistem
Reference koordinat sistem referensi referensi
System geodetik dan geodetik yang geodetik di
geosentris. digunakan oleh Kanada tidak
2.Sistem masing-masing dapat
proyeksi: sektor. sepenuhnya
UTM. Contoh: sektor diterapkan di
3.Datum perikanan, Indonesia.
Horizontal: pertambangan, Diperlukan
NAD27, perhubungan, dan penggunaan
NAD83, otonomi daerah sistem
WGS’84. mengacu pada referensi
4.Datum vertikal: sistem refernsi geospasial
Lower Low geodetik yang yang sama
Water Large berbeda. (dapat
Tide (LLWLT) ditransformasi-
dan Lowest kan ke sistem
Normal Tide referensi
(LNT). geospasial
5.Marine nasional).
Geospatial
Data
Infrastructure
dan Canadian
Geospatial
Data
Infrastructure.
10. Institution Banyak institusi Banyak institusi Diperlukan
yang terlibat di yang terlibat. asas
dalam mengelola keterpaduan
Penyelenggaraan
batas dan hak-hak untuk
pengelolaan
lepas pantai. mengintegrasi-
sumber daya
kan kebijakan
kelautan
sektoral
dilakukan
maupun antar
berdasarkan
pemerintah
peraturan
daerah.
perundangan
sektoral.

161
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan

Indonesia Hasil
Kadaster Kelautan di Amerika sebagai Negara Transformasi
Kepulauan
1 2 3 4
1. Marine 1.Perairan Kedaulatan Konsep
Jurisdiction pedalaman (Perairan kadaster
2.Laut teritorial Indonesia): kelautan untuk
3.Dasar laut 1. Perairan Indonesia
4.Tanah di bawah pedalaman harus
laut 2. Perairan memasukkan
kepulauan unsur Perairan
3. Laut teritorial Kepulauan
sebagai
Marine
Jurisdiction: Zona pembeda
Tambahan, ZEE, dengan
Landas Kontinen. Amerika
sebagai negara
pantai.
2. Kewenangan 1.State: 0-3mil 1.Pusat Perbedaan
Pengelolaan laut 2.Provinsi (12mil batas
(Authority) (kecuali Texas laut) kewenangan
dan T.Florida 9 3.Kabupaten/Kota pengelolaan
mil laut). (1/3 dari batas laut di
laut provinsi) Amerika dan
Indonesia.
Konsep
2.Federal (diluar
kadaster
3-12 mil laut)
kelautan di
3. Adanya istilah
Indonesia
revenue sharing
harus
(6mil).
memasukan
unsur batas
kewenangan
laut daerah
yang
bersebelahan
maupun
berhadapan.

3. Right 1. Public access Masih sedikit Hak-hak yang


right. jenis hak di laut ada di Amerika
2.Navigation berdasarkan jenis dapat dijadikan
right. kegiatan sektoral. sebagai

162
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

3.Riparian right. masukan untuk


4.Fishing right. merumuskan
5.Development hak baru di
right. Indonesia,
6.Mineral right. dengan syarat
7.Seabed use harus
right. memperhati-
kan batas
kewenangan
laut daerah.

4. Native Right Tidak berlaku Adanya Konsep


eksklusifitas eksklusifitas kadaster
wilayah dan hak wilayah dan hak kelautan untuk
kepemilikan laut kepemilikan laut Indonesia
secara adat. secara adat. harus
memasukkan
unsur laut adat.

5. Interest 1.Alternative 1.Pertahanan Interest yang


energy. 2.Perikanan ada di Amerika
2.Ocean 3.Pertambangan dapat
planning. 4.Lingkungan diselenggara-
3.Habitat Hidup kan di
conservation. 5.Perhubungan Indonesia
4.Human Laut dengan
use/recreation 6.Budaya dan memperhati-
5.Environmental Pariwisata kan batas
protection/ 7.Pekerjaan kewenangan
Umum (tata laut
Marine ruang, pemerintah
Protected Area infrastruktur) daerah
6.Aquaculture 8.Otonomi provinsi dan
7.Navigation Daerah kab/kota.
8.Submerged 9.Perdagangan Konsep
cultural 10.Perindustrian kadaster
resources 11.Kesejahteraan kelautan di
9.Undersea Rakyat Indonesia
cables 12.Pembangunan harus
10.Offshore Nasional memasukan
aquaculture
unsur
11.National
Otonomi
security Daerah.

163
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)
1 2 3 4
6. Restriction Berdasarkan: Berdasarkan: Restriction di
Amerika tidak
1. UNCLOS 1. UNCLOS
dapat
1982 1982
diterapkan di
2. Kewenangan 2. Kewenangan
Indonesia,
pemerintah pemerintah
disebabkan
federal pusat
oleh unsur
3. Kewenangan 3. Kewenangan
state provinsi kedaulatan
4. Jenis 4. Kewenangan negara
kepulauan,
kepentingan kabupaten/
(type of kota otonomi
daerah dan
interest) 5. Jenis
kepentingan kewenangan
(type of hukum laut
adat yang
interest).
berlaku di
6. Hukum adat
Indonesia.
yang diakui
7. Responsibility Mengacu pada: Mengacu pada: Responsibility
di Amerika
1. UNCLOS 1. UNCLOS
tidak dapat
1982 1982
diterapkan di
2. Kewenangan 2. Kewenangan
Indonesia,
pemerintah pemerintah
disebabkan
federal pusat
oleh unsur
3. Kewenangan 3. Kewenangan
state provinsi kedaulatan
4. Jenis hak dan 4. Kewenangan negara
kepulauan,
kepentingan kabupaten/
kota otonomi
daerah dan
5. Jenis hak dan
kepentingan kewenangan
6. Hukum adat hukum laut
adat di
yang diakui.
Indonesia.
8. Marine Berdasarkan: Berdasarkan: Marine
Boundaries Boundaries di
1. Marine 1. Marine
Amerika tidak
Jurisdiction Jurisdiction
dapat
negara pantai negara
diterapkan di
2. Kewenangan kepulauan
Indonesia,
pemerintah 2. Kewenangan
karena:
federal dan pemerintah
1) Kedaulatan
state provinsi,
negara yang
3. Jenis hak dan kabupaten/
berbeda.
kepentingan. kota.

164
Tabel III.9 Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Amerika terhadap
Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan (lanjutan)

3. Jenis hak dan 2) Batas


kepentingan kewenangan
4. Batas laut adat laut provinsi
dan kabupaten/
kota.3) Batas
laut adat.
9. Geodetic 1 Sistem Beragamnya Sistem
Reference koordinat sistem referensi referensi
System geodetik dan geodetik yang geodetik di
geosentris. digunakan oleh Amerika tidak
2.Sistem masing-masing dapat
proyeksi: sektor. sepenuhnya
UTM, Outer Contoh: sektor diterapkan di
Continental perikanan, Indonesia.
Shelf (OCS) pertambangan, Diperlukan
grid system. perhubungan, dan penggunaan
3.Datum otonomi daerah sistem
Horizontal: mengacu pada referensi
NAD27, sistem refernsi
geospasial
NAD83, geodetik yang yang sama
WGS’84. berbeda. (dapat
4.Datum vertikal: ditransformasi
MLLW. kan ke sistem
5. Cadastral Data referensi
Content geospasial
Standard for nasional).
the National
Spatial Data
Infrastucture:
Coastal and
Marine Habitat
Classification
Standard.
10. Institution Penyelenggaraan Banyak institusi Konsep
dikoordinasi oleh yang terlibat. penyelenggara
National Oceanic Penyelenggaraan an kadaster
and Atmospheric pengelolaan laut kelautan di
Administration dilakukan Amerika dapat
(NOAA). berdasarkan dijadikan
peraturan pendekatan
perundangan penyelenggara-
sektoral. an kadaster
kelautan di
Indonesia.

165
Tabel III.10 Hasil Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia,
Kanada dan Amerika terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan

Unsur-unsur Hasil Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di


Kadaster Kelautan Australia, Kanada dan Amerika terhadap Karakteristik
Negara Kepulauan Indonesia
1 2
1. Marine Konsep kadaster kelautan untuk Indonesia harus
Jurisdiction memasukkan unsur Perairan Kepulauan sebagai pembeda
dengan Australia, Kanada dan Amerika sebagai negara
pantai.
2. Authority  Perbedaan batas kewenangan pengelolaan laut antara
Indonesia dengan Australia, Kanada dan Amerika.
 Konsep kadaster kelautan di Indonesia harus
memasukkan unsur batas kewenangan laut daerah
provinsi (12 mil laut) dan kota/kabupaten (1/3 dari batas
kewenangan laut provinsi).
3. Right Hak-hak yang ada di Australia, Kanada dan Amerika dapat
dijadikan sebagai masukan untuk merumuskan hak baru di
Indonesia, dengan syarat harus memperhatikan batas
kewenangan laut daerah.
4. Native Right Konsep kadaster kelautan untuk Indonesia harus
memasukkan unsur pengelolaan laut adat.
5. Interest  Interest yang ada di Australia, Kanada dan Amerika
dapat diselenggarakan di Indonesia dengan
memperhatikan batas kewenangan laut pemerintah
daerah provinsi dan kota/kabupaten.
 Konsep kadaster kelautan di Indonesia harus
memasukkan unsur Otonomi Daerah.
6. Restriction Restriction yang ada di Australia, Kanada dan Amerika
tidak dapat diterapkan di Indonesia, disebabkan oleh unsur
kedaulatan negara kepulauan, otonomi daerah dan
kewenangan hukum laut adat yang berlaku di Indonesia.
7. Responsibility Responsibility yang ada di Australia, Kanada dan Amerika
tidak dapat diterapkan di Indonesia, disebabkan oleh unsur
kedaulatan negara kepulauan, otonomi daerah dan
kewenangan hukum laut adat yang berlaku di Indonesia.
8. Marine Marine Boundaries di Australia, Kanada dan Amerika
Boundaries tidak dapat diterapkan di Indonesia, karena:
 Kedaulatan negara yang berbeda.
 Batas kewenangan laut provinsi dan kabupaten/kota.
 Batas laut adat yang berlaku di Indonesia.

166
Tabel III.10 Hasil Transformasi Unsur-unsur Kadaster Kelautan di Australia,
Kanada dan Amerika terhadap Karakteristik NKRI sebagai Negara Kepulauan
(lanjutan)
1 2
9. Geodetic  Sistem referensi geodetik di Australia, Kanada dan
Reference Amerika tidak dapat sepenuhnya diterapkan di
System Indonesia.
 Diperlukan penggunaan sistem referensi geospasial yang
sama untuk beragam kegiatan pemanfaatan di laut (dapat
ditransformasikan ke sistem referensi geospasial
nasional).
10. Institution Konsep penyelenggaraan kadaster kelautan di Amerika
dapat dijadikan sebagai pendekatan solusi penyelenggaraan
pengelolaan laut di Indonesia.

167
III.5.2.2 Membangun Unsur-unsur Pembentuk Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia sebagai Negara Kepulauan

Gambar III.22 Diagram alir membangun unsur-unsur pembentuk definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan

125
168
Hasil membangun unsur-unsur pembentuk definisi kadaster kelautan untuk
Indonesia sebagai negara kepulauan (Gambar III.22) adalah sebagai berikut:

1. Kedaulatan dan hak berdaulaut: Perairan Pedalaman, Perairan


Kepulauan, Laut Teritorial, Zona Tambahan, ZEE, Landas Kontinen.
2. Tata Ruang Geografik: Wilayah darat, Wilayah pesisir, Wilayah lautan,
Pulau-pulau, Gugusan pulau-pulau.
3. Kepemerintahan: Pemerintah pusat, Pemerintah daerah provinsi,
Pemerintah daerah kabupaten/ kota.
4. Multikultural: Adat
5. Marine boundaries:
a. Berdasarkan jenis kegiatan pemanfaatan laut
b. Batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/kota
c. Batas laut adat

6. Interests:
a. Pemerintah pusat (sektor-sektor)
b. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
c. Adat

7. Rights, Restrictions, Responsibilities.


a. Berdasarkan kedaulatan
b. Batas kewenangan laut daerah
c. Jenis kegiatan pemanfaatan (sektoral)

Proses membangun unsur-unsur pembentuk definisi kadaster kelautan pada


Gambar III.22 hanya melibatkan unsur-unsur yang ada di masing-masing definisi
kadaster kelautan dan unsur-unsur karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan,
sehingga hasil yang diperoleh hanya berupa kerangka unsur-unsur pembentuk
definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan. Selanjutnya
kerangka unsur-unsur pembentuk definisi kadaster kelautan ini akan
dikembangkan menggunakan pendekatan teori sistem untuk mengatasi
permasalahan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut di Indonesia.

169
III.5.2.3 .Pengembangan Kerangka Definisi Kadaster Kelautan menggunakan
Pendekatan Teori Sistem untuk Menyelesaikan Permasalahan
Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia

Keterkaitan penggunaan teori sistem di dalam konsep kadaster kelautan


sebenarnya dapat dilihat dari definisi kadaster yang dirumuskan oleh FIG (1995)
maupun dari definisi kadaster kelautan yang ada saat ini, sebagai berikut:

1. Definisi Kadaster FIG (1995): A Cadastre is normally a parcel based, and


up-to-date land information system containing a record of interests in
land (e.g. rights, restrictions and responsibilities).
2. Definisi ke-1 dari Australia (Hoogsteden, Robertson dan Benwell, 1999):
“Marine cadastre is a system...... .”
3. Definisi ke-2 dari Kanada (Nichols, Monahan dan Sutherland, 2000): “A
marine cadastre is a marine information system ........... .”
4. Definisi ke-3 dari Amerika (NOAA, 2002): “ Marine Cadastre is an
informations system.....”
5. Definisi ke-4 dari Australia (Binns, 2004): “Marine cadastre is a spatial
boundary management tool......”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Definisi kadaster dan kadaster kelautan yang ada bersifat teknis.


2. Empat definisi kadaster kelautan strukturnya sudah jelas dan terbangun.
3. Definisi ke-1 bersifat general (sistem bersifat umum), definisi selanjutnya
lebih ke implementasi sistem (sistem aplikasi).
4. Definisi ke-4 menyatakan kadaster kelautan sebagai tool yang tetap
merupakan bagian implementasi dari sistem.

Selain bertumpu pada definisi kadaster FIG (1995) dan definisi-definisi kadaster
kelautan yang ada (bersifat internasional/global dan sudah diakui oleh beberapa
negara di dunia), pendekatan teori sistem digunakan untuk menyelesaikan
persoalan pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan di Indonesia sebagai negara
kepulauan, yakni:

170
1. Batas laut wilayah nasional, provinsi, kabupaten/kota belum sepenuhnya
terwujud dan terpadu.
2. Peraturan perundangan sektoral yang bertampalan terkait pengelolaan
wilayah pesisir dan laut.
3. Persoalan pemanfaatan laut secara adat.

Untuk menyelesaikan persoalan di atas, maka teori sistem dapat digunakan untuk:

1. Mengidentifikasi batas laut wilayah nasional, provinsi, kabupaten/kota,


sistem pengelolaan laut yang digunakan di beberapa kementerian dan
batas wilayah pemanfaatan laut secara adat.
2. Mensinergikan batas-batas laut dan sistem-sistem tersebut terkait
pengelolaan wilayah pesisir dan laut menggunakan sistem kompleks dan
sistem dinamis.

Sistem Kompleks merupakan sistem yang memiliki banyak tingkatan dan


sub-sistem. Sedangkan Sistem Dinamis adalah sistem terbuka, bergerak
terus menerus, berubah, memiliki banyak variasi, dipengaruhi hubungan
sebab akibat, adanya umpan balik. Sistem kompleks dan sistem dinamis
digunakan sebagai operasional untuk menyelesaikan masalah
pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dikelola oleh sistem sektoral
(12 kementerian), sistem otonomi daerah (pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota), dan sistem pengelolaan laut secara adat.

3. Sistem kompleks ditempatkan di dalam penyelenggaraan kelautan


Indonesia pada Pasal 4 (2) UU RI No.32 Tahun 2014, yakni unsur-unsur
dalam penyelenggaraan kelautan Indonesia bersifat sederhana dan mudah
dipahami, tetapi jika salah satu unsur bermasalah maka solusi untuk
mengatasi masalah tersebut tidak mudah dan sederhana.

Hasil pengembangan kerangka definisi kadaster kelautan berdasarkan pendekatan


teori sistem, maka model fungsional definisi kadaster kelautan untuk Indonesia
sebagai negara kepulauan adalah:

171
F[teori sistem (sistem kompleks dan dinamis), Rights, Restrictions,
Responsibilities, Kedaulatan dan Marine Jurisdiction, Tata Ruang Geografik,
Kepemerintahan (Pemerintah pusat, Pemerintah daerah provinsi, Pemerintah
daerah kota/kabupaten), Multikultural (adat), Marine boundaries (berdasarkan
jenis kegiatan pemanfaatan laut, batas kewenangan laut daerah provinsi dan
kota/kabupaten, batas kewenangan laut adat), Interests (pemerintah pusat/sektor-
sektor, pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten, adat)].

Dari model fungsional tersebut, selanjutnya merumuskan definisi kadaster


kelautan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku.

III.5.3 Implementasi Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia sebagai


Negara Kepulauan

Setelah merumuskan definisi kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara


kepulauan, tahap selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan definisi
kadaster kelautan tersebut ke dalam wilayah perairan NKRI sebagai negara
kepulauan. Implementasi perlu dilakukan untuk membuktikan apakah unsur-unsur
yang terdapat di dalam definisi kadaster kelautan dapat menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir dan laut di Indonesia, di dalam
penelitian ini implementasi definisi kadaster kelautan dilakukan di Selat Madura
Provinsi Jawa Timur sebagai wilayah studi. Prosedur implementasi definisi
kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan dapat dilihat pada
Gambar III.23.

172
Gambar III.23 Diagram prosedur implementasi definisi kadaster kelautan

III.5.3.1 Implementasi Definisi Kadaster Kelautan ditempatkan di dalam


Permasalahan Batas Laut Wilayah

Penetapan batas laut wilayah sebenarnya sudah diatur di dalam Pasal 3 UU RI No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa wilayah daerah provinsi
terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Kemudian
Pasal 10 (3) UU RI No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah
kabupaten dan kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah
provinsi.

173
UU RI No.22 Tahun 1999 kemudian diamandemen oleh UU RI No.32 Tahun
2004 semakin menegaskan mengenai batas laut wilayah provinsi dan
kabupaten/kota, disebutkan dalam Pasal 18 (4) bahwa kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan
1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Peraturan
operasional penetapan batas laut wilayah diatur di dalam Permendagri No.1
Tahun 2006 yang kemudian diamandemen Permendagri No. 76 Tahun 2012
tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Selanjutnya UU RI No.32 Tahun 2004 diamandemen oleh UU RI No. 23 Tahun


2014 tentang Pemerintahan Daerah. Terkait batas laut wilayah, UU RI No. 23
Tahun 2014 ini mengalami perubahan yang signifikan mengenai fungsi batas
wilayah laut daerah kabupaten/kota yang semula berfungsi sebagai batas acuan
penyelenggaraan kewenangan, kini bergeser sebagai batas acuan bagi hasil
sumber daya kelautan dimana kewenangan bidang kelautan sampai dengan 12 mil
berada pada daerah provinsi. Walaupun peraturan normatifnya sudah berubah,
tetapi sampai saat ini peraturan operasional penetapan dan penegasan batas laut
wilayah masih mengacu pada Permendagri No.76 Tahun 2012.

1. Konflik Kepemilikan Pulau Galang.

Posisi Pulau Galang berada di kawasan Pantai Utara Surabaya terletak di antara
daerah Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik. Secara historis keberadaan Pulau
Galang merupakan tanah timbul (tanah oloran) hasil proses endapan lumpur yang
dibawa dari Sungai Lamong yang berlangsung sejak tahun 1960an. Berdasarkan
pengamatan foto udara pada tahun 1981, tanah timbul ini mulai nampak dan mulai
ditumbuhi tanaman bakau. Berdasarkan peta digital yang dikeluarkan oleh
Bakosurtanal pada tahun 1996 Pulau Galang mempunyai luas sekitar 8 ha, dan
pada tahun 2003 mencapai 15 ha.

Kondisi Pulau Galang sampai saat ini tidak berpenduduk dan tidak ada tanda-
tanda kegiatan untuk pertanian/tambak. Pulau ini ditumbuhi mangrove sangat
rapat dan sering disinggahi berbagai jenis burung pantai karena terdapat
banyaknya makanan burung alam. Sedangkan di sekeliling Pulau Galang terdapat

174
berbagai jenis ikan kecil-kecil yang biasa ditangkap dan dimanfaatkan oleh
masyarakat Kelurahan Romokalisasi Kecamatan Benowo Kota Surabaya dan
masyarakat Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik.

Pada tahun 2003 Pemerintah Kota Surabaya maupun Pemerintah Kabupaten


Gresik saling klaim sebagai pemilik Pulang Galang. Dari sudut geografis saat ini,
¾ pulau tersebut cenderung lebih dekat dengan batas administrasi Pemerintah
Kota Surabaya. Namun Pemerintah Kabupaten Gresik mengkalim memiliki pulau
tersebut dengan dalih mempunyai 3 (tiga) sertifikat kepemilikan tanah. Karena
masih dalam konflik, maka pulau tersebut hingga saat ini distatus quo-kan, yakni
status pulau tersebut milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

2. Konflik Migas Blok Maleo antara Pemerintah Kabupaten Sumenep,


Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan PT. Santos (Madura Offshore) PtyLtd

Blok Maleo terletak di perairan Pulau Gili Genting sebelah selatan Kabupaten
Sumenep, dengan Produksi gas sekitar 100 juta kaki kubik per hari. Pada tahun
2007 diundangkan Permendagri No. 8 tahun 2007 tentang Provinsi Jawa Timur
sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Sektor Minyak Bumi dan Gas
Bumi, yang mengakibatkan Kabupaten Sumenep tidak bisa menikmati hasil
migas yang sejatinya berada di wilayah perairan Kabupaten
Sumenep. Dampaknya adalah sejak tahun 2007, Dana Bagi Hasil (DBH) dari
Santos Madora Offshore tak pernah masuk ke kas Sumenep. Selama ini PT.
Santos membayarkan DBH ke Pemprov Jawa Timur dengan alasan perairan lepas
pantai Blok Maleo tidak masuk wilayah Kabupaten Sumenep.

DPRD Sumenep saat itu tidak menerima dan mengajukan judicial review ke
Mahkamah Agung (MA), dengan alasan Permendagri No.8 Tahun 2007 sangat
bertentangan UU RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UUD
1945 Pasal 18 Ayat (1) bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan
kewenangan untuk sumber daya di wilayah laut tersebut. Dalam judicial review
ke MA, Kabupaten Sumenep menang dan keputusannya dikeluarkan pada tanggal
18 September 2008, akan tetapi putusan itu baru diterima Pemkab Sumenep pada
bulan Mei 2010.

175
Pada tahun 2012 wakil bupati Kabupaten Sumenep menuntut agar dana bagi hasil
(DBH) dari Santos (Madura Offshore) Pty Ltd masuk ke Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Sumenep. Namun hingga saat ini (Juni 2014) Kabupaten
Sumenep belum mendapatkan haknya sebagai daerah penghasil seperti yang
diamanatkan oleh Putusan MA. Kondisi ini menimbulkan aksi protes dari
mahasiswa dan masyarakat Kabupaten Sumenep, bahkan Bupati Sumenep
mengirimkan surat kepada Presiden RI pada 6 Mei 2014 dengan perihal
Permohonan Implementasi Putusan MA Nomor 19 P/KHUM/2007.

3. Ratusan Nelayan Pamekasan Kepung Pengeboran Minyak di Laut

Bulan Oktober tahun 2012, ratusan nelayan dari dari Desa Ambat, Desa Kramat
dan Desa Bandaran di Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur,
mengepung lokasi eksplorasi minyak dan gas (Migas) PT. Santos di perairan
Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang. Aksi para nelayan itu sebagai bentuk
protes kepada PT. Santos karena perusahaan ini tidak pernah memberikan
kompensasi ganti rugi atas dilarangnya mencari ikan di area eksplorasi.

PT Santos juga dianggap tidak pernah melaksanakan program pemberdayaan


kepada nelayan di tiga desa tersebut selama tiga tahun terakhir. Mereka
membandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten Sampang yang berada di
wilayah eksplorasi migas PT. Santos, mendapat kompensasi dan program dari
dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) setiap tahun.

III.5.3.2...Implementasi Definisi Kadaster Kelautan ditempatkan dalam


Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut secara Sektoral

Unsur right, restriction dan responsibility yang terkandung di dalam definisi


kadaster kelautan ditempatkan di dalam permasalahan pengelolaan wilayah pesisir
dan laut secara sektoral di perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur.

176
1. Konflik Penambangan Pasir di Selat Madura untuk Reklamasi Pelabuhan Teluk
Lamong.

Konflik ini muncul karena telah terjadi penambangan pasir laut di kawasan Selat
Madura pada tahun 2012 dengan kedalaman 12 meter seluas 540 hektar di
sekitar Jembatan Suramadu yang dilakukan PT. Gora Gohana, kontraktor PT.
Pelindo III dalam rangka reklamasi Teluk Lamong dekat Surabaya. Menurut Tim
Advokasi Nelayan Tradisional Selat Madura, yang dilakukan PT. Gora Gahana
telah melanggar:

i. Hak-hak konstitusional nelayan, yaitu: hak untuk melintas di laut; hak


memanfaatkan sumber daya laut; hak mengelola sumber daya laut sesuai
kearifan lokal dan tradisi bahari secara turun temurun; hak mendapat
lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat.

ii. Rencana pengerukan pasir dinilai mengingkari Pasal 35 huruf (i) UU RI


No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau
Kecil, yakni: melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila
secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan
masyarakat sekitar.

iii. Perusahaan tersebut sudah beberapa kali melakukan penambangan pasir


pada tahun-tahun sebelumnya dan tidak bertanggung jawab atas kerugian
dan kerusakan yang ditimbulkan akibat dari penambangan pasir tersebut.
Kegiatan penambangan pasir laut di Selat Madura sudah marak dilakukan
oleh beberapa perusahaan sejak tahun 1978. Salah satunya PT. Gora
Gahana, meskipun baru memulai tahun 1985, perusahaan ini paling
dominan melakukan kegiatan penambangan di Selat Madura.

iv. Penambangan pasir ditolak nelayan Kelurahan Nambangan Kecamatan


Kenjeran Surabaya, nelayan Bangkalan, Gresik, Lamongan dan
masyarakat sekitar Suramadu. Penolakan dilakukan pada acara sosialisasi
rencana pengerukan pasir di perairan Selat Madura tanggal 10 Mei 2012
karena pengerukan pasir telah memberi dampak buruk secara ekonomi,
ekologis, sosial, dan budaya bagi nelayan dan masyarakat pesisir Selat

177
Madura yang mayoritas penduduknya menggantungkan sumber-sumber
kehidupannya di laut (Gambar III.24).

Gambar III.24 Foto nelayan menyandera kapal keruk pasir di Selat Madura
(Foto: Munir, 2012)

Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS) mewakili Tim
Advokasi Nelayan Tradisional Selat Madura yang berasal dari LSM IHCS,
KIARA, Walhi dan JATAM melakukan somasi dan menuntut PT Gora Gahana,
PT. Pelindo III dan Gubernur Provinsi Jawa Timur untuk menghentikan
penambangan, mencabut izin penambangan, dan memenuhi hak-hak nelayan.
Surat itu tertanggal 29 Oktober 2012 dan ditembuskan kepada Presiden, Ketua
DPR, Ketua Komisi IV DPR, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri
Lingkungan. Surat tersebut direspon dengan tuntutan balik oleh PT. Gora Gahana
pada bulan Februari 2013 ditujukan kepada perwakilan warga yang berisi bahwa
termasuk melakukan tindak pidana setiap orang yang merintangi atau menggangu
kegiatan usaha pertambangan dan pemegang IUP atau IUPK yang telah
memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 142 UU RI No 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Konflik sosial di atas adalah dampak dari
kondisi tumpang tindih pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Provinsi Jawa
Timur antara sektor perikanan yang dalam hal ini mengacu pada UU RI No.27
Tahun 2007 dan sektor pertambangan yang mengacu pada UU RI No.4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

178
2. Konflik kabel listrik bawah laut PLN di Alur Pelayaran Barat Surabaya
(APBS)

Gambar III.25 Peta lokasi terputusnya saluran kabel bawah laut PLN Jawa–
Madura akibat tersangkut jangkar kapal.

Pada tahun 2011, Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur (Dishub Jatim)
mendesak PLN terkait keberadaan kabel listrik bawah laut milik PLN yang
melintang di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) untuk dipendam lebih dalam
sesuai aturan seperti halnya pipa gas milik Kodeco Energy Co Ltd. Kabel listrik
bawah laut milik PLN dinilai sangat mengganggu dan membahayakan arus lalu
lintas kapal dari dan ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Beberapa kali jangkar kapal sempat tersangkut kabel PLN dan menyebabkan
padamnya aliran listrik di Madura. Putusnya kabel di dasar laut ini (Gambar
III.25) merupakan peristiwa yang ketujuh kali sejak tahun 1994 hingga 2010 dan
menyebabkan Madura gelap gulita. Oleh Dishub Jatim tindakan PLN ini dianggap
melanggar aturan UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 1 butir 45,
yakni, alur pelayaran harus aman dan selamat untuk dilayari. Selain itu, PLN juga
dianggap telah melanggar izin prinsip dari Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) pada
24 April 1996 yang menyebutkan bahwa kabel harus ditanam 4,5 meter dari
seabed, selanjutnya kabel ditanam 3 meter dari seabed sejauh 2 km.

179
Argumen dari Dishub Jatim ini berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh PT.
PLN yang menyalahkan pemilik kapal jika jangkar kapal menyangkut di kabel
PLN dan jangkar tersebut harus dipotong. PLN Jatim menampik jika penanaman
kabel bawah laut menyalahi prosedur teknis dan menegaskan sudah melakukan
survei secara cermat hingga proses penanaman juga sudah sesuai dengan aspek
teknisnya, terkait adanya pendangkalan dalam kedalaman itu di luar teknis.

Permasalahan yang terjadi bukan hanya disebabkan karena minimnya koordinasi


antar sektor, tetapi merupakan dampak dari ketidakjelasan restriction dan
responsibility antara sektor di dalam menyelenggarakan kegiatan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut sehingga menimbulkan konflik kegiatan pemanfaatan di
ruang permukaan laut, kolom laut dan dasar laut. Permasalahan di atas adalah
salah satu dari sekian banyak permasalahan yang terjadi di sekitar APBS, kondisi
ini disebabkan karena:

 Perairan di APBS dangkal (kedalamannya sekitar 9 meter).


 Adanya pipa gas bawah laut milik Kodeco Energy Co Ltd sepanjang 66
km, dari instalasi Poleng Processing Platfrom di lepas pantai Madura
(Laut Jawa) menuju On Shore Receiving Facility (ORF) di Gresik, dimana
posisi pipa memotong alur laut di Selat Madura.
 Ada sekitar 20 bangkai kapal yang belum ditarik di alur APBS. Posisinya
memang tidak di tengah alur tetapi di tepi. Namun, bangkai kapal tersebut
bisa mengganggu kapal yang akan berlabuh.
 Kabel listrik bawah laut milik PLN. Penanaman kabel itu seharusnya 12
meter di bawah permukaan, tapi kabel itu tertanam sekitar 2 sampai 4
meter saja.
 Alur pelayaran sempit dan harus dilebarkan. Selama ini jika ada kapal
besar yang melintas, kapal lainnya harus berhenti untuk memberikan jalan.

180
3. Konflik nelayan Sampang vs PT. Santos (Sampang) Pty.Lyd

Gambar III.26 .Peta lokasi konflik pemanfaatan ruang laut antara nelayan
Kabupaten Sampang dan PT. Santos di sekitar lokasi Blok
Wortel Selat Madura.

Ratusan nelayan dari Desa Camplong dan Tanjung, Kabupaten Sampang, Jawa
Timur, berunjuk rasa di depan kantor bupati, Rabu, 2 November 2011.
Aksi ini berawal dari tindakan PT Santos yang selalu mengusir nelayan yang
melaut dekat lokasi pengeboran Blok Wortel (Gambar III.26). Mereka meminta
pemerintah daerah Sampang menghentikan pengeboran minyak dan gas bumi di
Blok Wortel oleh PT Santos. Nelayan juga menuntut ganti rugi atas rumpon atau
sarang ikan milik nelayan yang rusak akibat aktivitas pengeboran di Blok Wortel.
PT Santos membantah melakukan pengusiran, yang dilakukan hanya mengatur
lalu lintas kapal dan perahu nelayan agar tidak bertabrakan. Soal ganti rugi
rumpon yang hilang terseret kapal PT Santos, belum dapat memberikan kepastian
sehingga memancing emosi nelayan (tempointeraktif.com, 2011).

III.5.3.3 Implementasi Definisi Kadaster Kelautan ditempatkan dalam


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut secara Adat

Definisi masyarakat adat mengacu pada Pasal 1 (33) UU RI No.1 Tahun 2014
adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan
pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya

181
alam, memiliki pranata pemerintaan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah
adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat Adat berbeda dengan Masyarakat Lokal maupun Tradisional.


Masyarakat Lokal adalah sekelompok masyarakat yang menjalankan tata
kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-
nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu. Sedangkan Masyarakat Tradisional adalah
masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah
tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional (UU RI No.1 Tahun 2014).

Hasil survei identifikasi dan studi literatur diperoleh informasi bahwa tidak
terdapat pemanfaatan laut secara adat di perairan Selat Madura. Perairan Selat
Madura dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dan masyarakat tradisional. Oleh
karena itu unsur masyarakat adat yang terkandung di dalam definisi kadaster
kelautan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan tidak bisa ditempatkan di
wilayah studi dalam penelitian ini.

III.5.4 Pemodelan Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan untuk Indonesia


sebagai Negara Kepulauan

Tahap terakhir penelitian ini adalah membangun model pola penyelenggaraan


kadaster kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan ditempatkan di dalam
penyelenggaraan kelautan Indonesia pada Pasal 4 (2) UU RI No.32 Tahun 2014.
Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan dibangun berdasarkan unsur-unsur
definisi kadaster kelautan yang telah dirumuskan menggunakan pendekatan
konsep manajemen/tata kelola yang terdiri dari tahap perencanaan, pemanfaatan
dan pengawasan/pengendalian mengacu kepada beberapa hukum dan
perundangan terkait pengelolaan pesisir dan laut, yakni:

182
1. UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-undang ini merupakan amandemen dari UU RI No. 27 Tahun 2007.


Perubahan paling mendasar di dalam undang-undang ini adalah munculnya Izin
Lokasi dan Izin Pengelolaan untuk mengisi dan menggantikan seluruh pasal
terkait Hak Pengusahaan Pengelolaan Pesisir (HP3) yang dinyatakan tidak berlaku
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3/PUU-
VIII/2010 dikarenakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian
perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan
sebagian pulau-pulau kecil. Sedangkan Izin Pengelolaan adalah izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir
dan perairan pulau-pulau kecil.

2. UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan

Undang-undang ini membahas Penyelenggaraan Kelautan Indonesia yang


meliputi: a) Wilayah Laut, b) Pembangunan Kelautan, c) Pengelolaan Kelautan,
d) Pengembangan Kelautan, e) Pengelolaan ruang laut dan pelindungan
lingkungan laut, f) Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan
di Laut, dan g) Tata Kelola dan Kelembagaan. Di dalamnya terdapat 8 (delapan)
Kebijakan Pembangunan Kelautan, Pemanfaatan dan Pengusahaan Sumber Daya
Kelautan, dan pembentukan Bakamla untuk mengintegrasikan kewenangan
pengamanan (pengawasan dan penindakan) laut; dan memasukan unsur
perlindungan lingkungan laut sebagai unsur penting di dalam setiap
penyelenggaraan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan.

3. UU RI No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

Asas Keterpaduan berdasarkan UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi


Geospasial mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan informasi geospasial
dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang,
yang harus saling mengisi dan saling memperkuat dalam memenuhi kebutuhan

183
informasi geospasial, menghindari terjadinya duplikasi, dan mendorong
pemanfaatan informasi geospasial bersama.

4. UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

Undang-undang ini merupakan amandemen dari UU RI No.32 Tahun 2004. Selain


membahas batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/kota, undang-undang ini
mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

5. Permendagri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Peraturan operasional penetapan batas laut wilayah diatur di dalam Permendagri


No.1 Tahun 2006 yang kemudian diamandemen Permendagri No.76 Tahun 2012
tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Walaupun undang-undang
pemerintahan daerah sudah diamandemen, namun untuk operasional penegasan
batas daerah hingga saat ini masih mengacu ke Permendagri No.76 Tahun 2012.

III.5.4.1 Tahap Perencanaan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan

Tahap perencanaan penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia dimulai dari


pembuatan Peta Kadaster Kelautan Indonesia sebagai acuan penyelenggaraan
beragam kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang dilakukan oleh setiap
individu/golongan, sektoral maupun daerah. Penggunaan Peta Kadaster Kelautan
sebagai peta tunggal di dalam penyelenggaraan pengelolaan sumber daya kelautan
diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bersama oleh pemerintah pusat diwakili
oleh kementerian/sektor, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), swasta
maupun masyarakat hukum adat di dalam menentukan lokasi beserta batas-batas
suatu kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan.

III.5.4.1.1 Penggunaan Informasi Geospasial Dasar

Tahap perencanaan operasional kadaster kelautan untuk Indonesia harus dimulai


dengan menggunakan Informasi Geospasial Dasar (IGD) yang tercantum di dalam
UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Penggunaan IGD
dilakukan untuk mewujudkan keterpaduan penggunaan sistem referensi

184
geospasial nasional yang mencakup sistem referensi, sistem proyeksi peta, batas
wilayah, garis pantai, dan skala peta.

Mengacu pada Undang-Undang Informasi Geospasial bahwa IGD untuk wilayah


pesisir dan laut terdiri dari Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Peta
Lingkungan Laut Nasional (LLN). Selain Peta LPI dan LLN yang disebutkan di
dalam UU Informasi Geospasial, Peta Laut dari Dishidros TNI-AL dapat
digunakan sebagai peta dasar jika di suatu daerah yang belum tersedia Peta LPI
dan Peta LLN, atau tersedia Peta Laut terbaru dengan skala yang lebih besar.
Penggunaan Peta LPI dan Peta LLN maupun Peta Laut Dishidros sebagai peta
dasar diharapkan dapat menghindarkan terjadinya tumpang tindih lokasi beserta
batas-batas penyelenggaraan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut antar
sektor maupun antar daerah. Sistem referensi geospasial yang digunakan pada
Peta LPI, Peta LLN dan Peta Laut Dishidros TNI-AL ditunjukkan pada Tabel
III.11.

Tabel III.11 Sistem Referensi Geospasial yang digunakan pada Peta LPI, Peta
LLN dan Peta Laut Dishidros TNI-AL

Peta LPI Peta LLN Peta Laut Dishidros


Sistem Transverse Mercator Transverse Mercator Mercator
Proyeksi
Peta
Sistem Grid Geografis dan Grid Geografis dan Grid Geografis
Grid Grid Universal Grid Universal
Transverse Mercator Transverse Mercator
Datum  Datum Indonesia  Datum Indonesia WGS 84
Horizontal 1974 (ID 1974) 1974 (ID 1974)
 Sistem Referensi  Sistem Referensi
Geospasial Geospasial
Indonesia 2013 Indonesia 2013
(SRGI 2013) (SRGI 2013)
Datum Muka air laut surut Muka air laut surut Air Rendah Perbani
Vertikal terendah berdasarkan terendah berdasarkan
data pengamatan data pengamatan
pasut di stasiun pasut pasut di stasiun pasut
terdekat. terdekat.
Skala Peta 1:250.000, 1:50.000, 1:500.000, 1:250.000, 1:100.000,
1: 25.000 dan dan 1: 50.000 1:200.000.
1:10.000. Rencana 1:50.000,
1:25.000.

185
Penggunaan sistem referensi geospasial nasional untuk penyelenggaraan kegiatan-
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sudah seharusnya dapat terbangun,
kondisi ini mengacu pada informasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG)
bahwa setiap daerah di Indonesia sudah tercakup Peta LLN maupun Peta LPI
walaupun dengan skala peta yang berbeda. Jika di suatu daerah tersedia Peta LPI
(Gambar III.27) dan Peta LLN (Gambar III.28) maupun Peta Dishidros (Gambar
III.29) maka dapat dipilih peta yang memiliki skala terbesar sebagai peta dasar
untuk perencanaan operasional kadaster kelautan.

Peta LPI dan Peta LLN dapat digunakan sebagai acuan beragam kegiatan
pemanfaatan laut untuk masing-masing sektor maupun daerah, dan juga sebagai
dasar pembuatan informasi geospasial tematik berupa Peta Kadaster Kelautan
Indonesia.

Gambar III.27 Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala 1:50.000 (BIG, 2014)

186
Gambar III.28 Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) Skala 1:50.000 (BIG, 2014)

Gambar III.29 Peta Laut Dishidros TNI AL (www.dishidros.go.id)


)

187
III.5.4.1.2 Penentuan Batas Laut Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

Penentuan batas laut wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota dilakukan


pada Peta LPI, Peta LLN maupun Peta Laut Dishidros TNI-AL menggunakan
Metode Kartometrik mengacu pada Permendagri No.76 Tahun 2012 sebagai
peraturan operasional penetapan dan penegasan batas laut wilayah. Pada Peta
LLN maupun Peta LPI, garis pantai yang digunakan adalah garis pada surut
rendah (garis pangkal) sebagai legal coastline yang digunakan untuk penentuan
batas laut wilayah maupun batas kegiatan-kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir
dan laut.

Diperbolehkannya penggunaan Peta Laut dari Dishidros TNI AL yang


menggunakan muka surutan (chart datum) dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
dari BIG yang menggunakan muka laut rata-rata/mean sea level (MSL) oleh
Permendagri No.76 Tahun 2012 untuk daerah yang belum tersedia Peta LPI dan
LLN akan menimbulkan beberapa kendala terkait penentuan batas laut secara
teknis terkait perbedaan datum vertikal yang digunakan. Oleh karena itu
penggunaan Peta Laut Dishidros dan Peta RBI untuk penentuan batas laut wilayah
harus disepakati oleh para pihak terkait.

Setelah menetapkan peta dasar yang akan digunakan, tahap selanjutnya adalah
penentuan titik-titik awal untuk penerapan garis dasar normal maupun garis dasar
lurus yang ditarik tegak lurus dari garis pantai tersebut sejauh maksimal 12 mil
laut ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3
(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Untuk pantai
yang berhadapan dengan laut lepas dan/atau perairan kepulauan lebih dari 12 mil
laut dari garis pantai, dapat langsung diukur batas sejauh 12 mil laut. Untuk pantai
yang saling berhadapan dilakukan dengan menggunakan prinsip sama jarak
(equidistance) untuk memperoleh garis tengah (median line) sedangkan untuk
pantai yang saling bersebelahan dilakukan dengan menggunakan prinsip sama
jarak.

188
III.5.4.1.3 Penentuan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP3K) Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota

Setelah batas-batas laut wilayah privinsi dan kabupaten/kota tergambarkan di Peta


LPI maupun Peta LLN, selanjutnya adalah memasukan Peta Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) ke dalam peta dalam upaya
membuat Peta Kadaster Kelautan Indonesia. RZWP3K adalah rencana yang
menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai
dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang
memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan
yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin (UU RI No.1 Tahun 2014).
RZWP3K dirumuskan berdasarkan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RPWP3K) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RAPWP3K).

RPWP3K adalah rencana yang memuat susunan kebijakan, prosedur, dan


tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara
berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunanaan
sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan. Sedangkan
RAPWP3K adalah tindak lanjut RPWP3K yang memuat tujuan, sasaran,
anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara
terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi
pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna
mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap
kawasan perencanaan (UU RI No.1 Tahun 2014).

Selain memasukan unsur-unsur mengenai zonasi berbagai kegiatan yang


dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, maupun golongan, RZWP3K juga di
dalamnya memuat informasi wilayah masyarakat hukum adat yang dapat diajukan
oleh pemerintah daerah. Kedudukan RZWP3K ini sangat penting dalam
penyelenggaan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, oleh karena itu
setiap daerah yang memiliki wilayah pesisir dan laut wajib memiliki RZWP3K.

189
Gambar III.30 merupakan salah satu lembar Peta RZWP3K Provinsi Jawa Timur
dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Jawa Timur.

Gambar III.30 Lembar (C3) Peta RZWP3K Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2030
(KKP, 2010)

190
III.5.4.2 Tahap Pemanfaatan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan

Seluruh kegiatan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut harus
mengacu pada Peta Kadaster Kelautan Indonesia dengan tetap memperhatikan
daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana
dan izin yang diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir dan laut dalam penelitian ini harus memperhatikan:

1. Ruang laut, yang terdiri dari:

i. Permukaan laut dan ruang udara diatasnya.


Contoh kegiatan yang menggunakan permukaan laut dan ruang udara
diatasnya adalah penangkapan ikan menggunakan perahu papan atau
kegiatan lain yang menggunakan alat apung ringan.
ii. Kolom laut.
Penggunaaan kolom laut tidak dapat dipisahkan dengan ruang di atasnya,
yakni permukaan laut. Artinya adalah setiap kegiatan yang menggunakan
kolom laut akan selalu menggunakan permukaan laut, contoh kegiatan:
penangkapan ikan menggunakan kapal motor sedang atau besar,
pelayaran, pertanian laut, dan lainnya.
iii. Dasar laut dan tanah dibawahnya.
Satu jenis kegiatan dapat menggunakan permukaan laut, kolom laut
hingga dasar laut seperti pemasangan rig untuk pengeboran minyak dan
gas bumi. Ataupun hanya menggunakan dasar laut saja seperti
pemasangan pipa dan kabel bawah laut.

2. Pola kegiatan, dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni:


i. Berpindah tempat.
Kegiatan dilakukan dengan cara bergerak untuk berpindah dari satu
lokasi ke lokasi yang lain secara teratur berdasarkan acuan yang
digunakan, contohnya kegiatan penangkapan ikan, pelayaran mengikuti
alur yang telah ditetapkan.

191
ii. Tidak berpindah tempat (menetap).
Kegiatan dilakukan di satu lokasi tertentu dengan tidak bergerak untuk
berpindah ke lokasi lain, contoh: pemasangan rig untuk pengeboran
minyak dan gas bumi, daerah konservasi, dan bangunan laut lain.

3. Waktu kegiatan, dapat dibedakan secara:


i. Kontinyu.
Dikatakan kontinyu jika kegiatan dilakukan secara terus menerus, teratur
dan berkelanjutan. Waktu kegiatan secara kontinyu dimiliki oleh pola
kegiatan yang tidak berpindah tempat (menetap).
ii. Periodik.
Jika kegiatan diselenggarakan hanya pada waktu tertentu secara teratur
dan berkelanjutan, dapat ditemui pada kegiatan yang memiliki pola
menetap maupun tidak menetap. Contoh kegiatan yang memiliki pola
menetap dan diselenggarakan secara periodik adalah kegiatan rutin
latihan perang TNI AL di lokasi yang sama. Sedangkan contoh kegiatan
yang memiliki pola berpindah tempat dan diselenggarakan secara
periodik adalah kegiatan pelayaran.

4. Batas pemanfaatan (luasan), perlu ditentukan luas maksimal untuk masing-


masing jenis kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penentuan batas pemanfaatan dapat dilakukan menggunakan konsep water
boundaries dengan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir dan
pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional,
kegiatan-kegiatan pemanfaatan eksiting lainnya dan hak lintas damai bagi
kapal asing. Penentuan batas keluasan tertentu digunakan sebagai unsur
penting di dalam pemberian Izin Lokasi.

Penentuan ruang laut, pola kegiatan, waktu kegiatan dan batas/luas pemanfaatan
sangat bergantung kepada jenis objek dan subjek kadaster kelautan. Untuk
mengetahui subjek kadaster kelautan di Indonesia dapat diperolah berdasarkan
hasil studi literatur dan identifikasi dari peraturan perundangan yang ada terkait
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Hasil identifikasi (bisa dilihat di
Tabel II.17) diperoleh informasi setidaknya terdapat 12 kementerian sebagai

192
subjek kadaster kelautan di Indonesia, jumlah ini belum memasukkan pemerintah
daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan masyarakat adat yang menerapkan
kepemilikan laut adat. Sedangkan untuk menentukan objek kadaster kelautan di
Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan inventarisasi seluruh
kegiatan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya wilayah pesisir dan laut
yang tercantum di UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (Tabel III.12) dan UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan (Tabel III.13).

Tabel III.12 Inventarisasi Kegiatan dan Pemanfaatan Sumber Daya Wilayah


Pesisir dan Laut di dalam UU RI No.1 Tahun 2014 sebagai Objek Kadaster
Kelautan di Indonesia
UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Pasal 19: Setiap orang yang Pasal 23: Pemanfaatan pulau-pulau
melakukan pemanfaatan sumber kecil dan perairan disekitarnya
daya perairan pesisir dan perairan diprioritaskan untuk kepentingan
pulau-pulau kecil untuk kegiatan: sebagai berikut:
wajib memiliki izin pengelolaan.
1. Produksi garam Konservasi
2. Biofarmakologi laut Pendidikan dan pelatihan
3. Bioteknologi laut Penelitian dan pengembangan
4 Pemanfaatan air laut selain energi Budi daya laut
5 Wisata bahari Pariwisata
6 Pemasangan pipa dan kabel Usaha perikanan dan kelautan serta
bawah laut industri perikanan secara lestari
7 Pengangkatan benda muatan kapal Pertanian organik
tenggelam
8 Peternakan
9 Pertahanan dan keamanan negara

Berikut adalah inventarisasi pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya kelautan


yang tercantum di UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan:

193
Tabel III.13 Inventarisasi Pemanfaatan dan Pengusahaan Sumber Daya Kelautan
pada UU RI No.32 Tahun 2014 sebagai Objek Kadaster Kelautan di Indonesia
UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Pasal 14 (2) Pemanfaatan Sumber Pasal 14 (3) Pengusahaan Sumber
Daya Kelautan meliputi: Daya Kelautan meliputi:
1. Perikanan Industri kelautan, meliputi (Pasal
25):
a. Industri bioteknologi
b. Industri maritim, meliputi (Pasal
27): galangan kapal, pengadaan
dan pembuatan suku cadang,
peralatan kapal, perawatan kapal.
c. Jasa maritim, meliputi (Pasal 27):
- Pendidikan dan pelatihan
- Pengangkatan benda berharga
asal muatan kapal tenggelam.
- Pengerukan dan pembersihan
alur pelayaran.
- Reklamasi
- Pencarian dan pertolongan
- Remediasi lingkungan
- Jasa konstruksi
- Angkutan sungai, danau,
penyeberangan, dan antar pulau.
2. Energi dan sumber daya mineral Wisata bahari
3. Sumber daya pesisir dan pulau- Perhubungan laut
pulau kecil, meliputi (Pasal 22):
a. Sumber daya hayati: ikan,
terumbu karang, padang lamun,
mangrove, biota laut lain.
b. Sumber daya nonhayati: pasir,
air laut, mineral dasar laut.
c. Sumber daya buatan:
infrastruktur laut terkait dengan
kelautan dan perikanan.
d. Jasa lingkungan: keindahan
alam, permukaan dasar laut
tempat instalasi bawah air yang
terkait dengan kelautan dan
perikanan, serta energi
gelombang laut.
4 Sumber daya nonkonvensional: Bangunan laut, antara lain (Pasal
sumber daya alam yang belum 32): konstruksi reklamasi, prasarana
dimanfaatkan secara optimal. pariwisata kelautan, dan prasarana
perhubungan.

194
Objek kadaster kelautan di Indonesia menggunakan
Subjek kadaster kelautan di Indonesia pendekatan inventarisasi kegiatan dan pemanfaatan
menggunakan pendekatan inventarisasi sumber daya wilayah pesisir dan laut yang tercantum
peraturan perundangan yang ada terkait di UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan Pemanfaatan sumber
dan Pulau-pulau Kecil:
laut: daya wilayah pesisir
Kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan dan laut:
perairan pulau-pulau kecil yang wajib memiliki izin Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan pengelolaan
1.Produksi garam 1. Berpindah tempat
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral 2.Biofarmakologi laut 2. Menetap
3.Bioteknologi laut
3. Kementerian Lingkungan Hidup Ruang laut
4.Pemanfaatan air laut selain energi
4. Kementerian Perhubungan 5.Wisata bahari 1. Permukaan laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata 6.Pemasangan pipa dan kabel bawah laut
6. Kementerian Perdagangan 7.Pengangkatan benda muatan kapal tenggelam 2. Kolom laut
7. Kementerian Perindustrian 3. Dasar laut
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya
8. Kementerian Dalam Negeri
1.Konservasi
9. Kementerian Perencanaan Waktu Kegiatan
2.Pendidikan dan pelatihan
Pembangunan Nasional 3.Penelitian dan pengembangan 1. Kontinyu
10. Kementerian Pertanian 4.Budi daya laut
11. Kementerian Pertahanan dan 2. Periodik
5.Pariwisata
Keamanan 6.Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan
12. Kementerian Pekerjaan Umum secara lestari
7.Pertanian organik
8.Peternakan
9.Pertahanan dan keamanan negara

Gambar III.31 Diagram subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.1 Tahun 2014 serta pola,
ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
195
Subjek kadaster kelautan di Indonesia Objek kadaster kelautan di Indonesia
menggunakan pendekatan inventarisasi menggunakan pendekatan inventarisasi
peraturan perundangan yang ada terkait pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan kelautan yang tercantum di UU RI No.32 Pemanfaatan sumber
laut: Tahun 2014 tentang Kelautan daya wilayah pesisir
dan laut:
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan meliputi Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya 1. Perikanan 1. Berpindah tempat
Mineral 2. Energi dan Sumber Daya Mineral
2. Menetap
3. Kementerian Lingkungan Hidup 3. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
4. Kementerian Perhubungan a. Sumber daya hayati Ruang laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata b. Sumber daya nonhayati 1. Permukaan
6. Kementerian Perdagangan c. Sumber daya buatan
d. Jasa lingkungan 2. Kolom
7. Kementerian Perindustrian
8. Kementerian Dalam Negeri 4. Sumber daya nonkonvensional 3. Dasar laut
9. Kementerian Perencanan Pembangunan 4. Dasar laut
Pengusahaan Sumber Daya Kelautan meliputi Waktu Kegiatan
Nasional
10. Kementerian Pertanian 1. Industri kelautan 1. Kontinyu
11. Kementerian Pertahanan dan Keamanan 2. Wisata bahari 2. Periodik
12. Kementerian Pekerjaan Umum 3. Perhubungan laut
4. Bangunan laut

Gambar III.32 Diagram subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.32 Tahun 2014 serta
pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut

196
Setelah identifikasi subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan
pendekatan UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (Gambar III.31) dan UU RI No.32 Tahun 2014 (Gambar III.32)
serta pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut,
selanjutnya adalah merumuskan prosedur pemanfaatan sumber daya wilayah
pesisir dan laut di dalam operasional kadaster kelautan di Indonesia.

III.5.4.3 Tahap Pengawasan/Pengendalian Penyelenggaraan Kadaster


Kelautan

Tahap pengawasan/pengendalian penyelenggaraan kadaster kelautan untuk


pengelolaan sumber daya kelautan dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan,
yakni perlindungan lingkungan laut, dan keamanan laut.

III.5.4.3.1 Pendekatan Perlindungan Lingkungan Laut

Perlindungan Lingkungan Laut adalah upaya sistematis dan terpadu yang


dilakukan untuk melestarikan sumber daya kelautan dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di laut yang meliputi konservasi laut,
pengendalian pencemaran laut, penanggulangan bencana kelautan, pencegahan
dan penanggulangan pencemaran, serta kerusakan dan bencana (Pasal 1 (10) UU
RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan). Perlindungan Lingkungan Laut dapat
diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan cara membangun
sistem pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan
maupun sistem pencegahan dan penanggulangan bencana kelautan sebagai bagian
yang terintegrasi dengan sistem pencegahan dan penanggulangan bencana
nasional.

III.5.4.3.2 Pendekatan Keamanan Laut

Pengawasan/pengendalian kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumber daya wilayah


pesisir dan laut menggunakan pendekatan keamanan laut dapat dilakukan dengan
cara melibatkan peran dan fungi Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang dibentuk
berdasarkan UU RI No.32 Tahun 2014 Bab IX Pertahanan, Keamanan, Penegakan
Hukum, dan Keselamatan di Laut. Pasal 61 UU RI No.32 Tahun 2014
menyebutkan Bakamla mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

197
Tugas Bakamla dalam Pasal 61 UU RI No.32 Tahun 2014 dapat dikatakan benar
di dalam pengertian dan lingkup yang sempit. Tetapi dapat dikatakan tidak benar
jika ditempatkan dalam lingkup yang lebih luas, artinya adalah tugas Bakamla
tidak sekedar melakukan patroli di laut, tetapi memiliki tugas lain yang lebih
besar terkait kedaulatan negara, antara lain: a) menyusun kebijakan nasional di
bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah
yurisdiksi Indonesia, b) menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia, c)
melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran
hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia, d)
menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait,
e) memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait, f)
memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan
wilayah yurisdiksi Indonesia, g) melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan
nasional (Pasal 62 UU RI No.32 Tahun 2014).

Berdasarkan fungsi Bakamla di atas, dapat dikatakan bahwa Bakamla memiliki


peran penting di dalam mengintegrasikan kewenangan pengamanan di laut.
Fungsi dan peran Bakamla ini menjadi lebih besar dan kompleks mengingat
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dimana wilayah pesisir dan lautnya
dikelola oleh banyak sektor, pemerintah daerah dan masyarakat adat. Oleh karena
itu untuk menjalankan fungsi dan peran Bakamla, maka pemerintah harus
menambah dan meningkatkan sumber daya manusia di bidang kelautan sesuai
dengan kebijakan Pembangunan Kelautan yakni pengembangan sumber daya
manusia; dan pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan di laut.

198
Bab IV Hasil dan Analisis

IV.1 Hasil

Berdasarkan 4 (empat) tahapan penelitian yang dilakukan, produk akhir dari


penelitian ini adalah model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia
sebagai negara kepulauan. Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia sebagai produk akhir dibangun menggunakan sasaran dan tujuan
pemodelan. Ada 5 (lima) sasaran dan tujuan pemodelan yaitu:

1. Menginterpretasi sistem
2. Menganalisis perilaku
3. Mengelola, mengoperasi atau mengkontrol sistem untuk mencapai hasil
yang diharapkan
4. Mendesain metode untuk meningkatkan atau memodifikasi sistem
5. Mentest hipotesis/menguji sistem tentang suatu sistem atau memprediksi
responsnya dalam berbagai variasi keadaan

Berikut adalah model pola penyelenggaraan kadaster kelautan untuk Indonesia


dijelaskan berdasarkan 5 (lima) sasaran dan tujuan pemodelan di atas:

IV.1.1 Menginterpretasi Sistem

1. Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia dapat dibangun menggunakan


komparasi definisi-definisi kadaster kelautan yang telah ada pada skala
internasional dan unsur-unsur karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan,
yang selanjutnya dikembangkan berdasarkan pendekatan teori sistem untuk
menyelesaikan persoalan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia.

2. Definisi kadaster kelautan yang sesuai karakteristik negara Indonesia sebagai


negara kepulauan sebagai wujud kedaulatan ilmu, pengetahuan dan teknologi
yang berbunyi kadaster kelautan adalah operasional sistem kompleks dan
dinamik dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut dalam
lingkup penetapan batas laut wilayah (restriction), batas kewenangan
(right/izin dan responsibility), yang membentuk keterpaduan antara wilayah
administrasi skala nasional, skala provinsi, dan skala kabupaten/kota dengan

199
memperhatikan keberadaan masyarakat adat, serta keharmonisan dan sinergi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

3. Asas keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan,


pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi,
akuntabilitas, dan keadilan pada UU RI No.32 Tahun 2014 digunakan sebagai
dasar membangun model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di
Indonesia.

4. Asas keterpaduan diwujudkan melalui kebijakan one map policy, yakni


menggunakan satu sistem referensi yang sama untuk penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan.

5. Unsur-unsur kadaster di darat (right/izin, restriction, responsibility)


mengalami pengembangan di wilayah laut berdasarkan perbedaan ruang laut
secara vertikal yaitu permukaan laut, kolom laut, dan dasar laut.

IV.1.2 Menganalisis Perilaku

1. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut Indonesia diselenggarakan oleh


sistem-sistem sektoral/kementerian, pemerintah daerah dan masyarakat adat,
belum terintegrasi dan dapat memicu terjadinya konflik pemanfaatan ruang
laut.

2. Terdapat 12 kementerian sebagai subjek kadaster kelautan di Indonesia


seringkali tumpang tindih tugas, wewenang dan fungsi menyebabkan konflik
pengelolaan sumber daya kelautan antar sektor/kementerian. Suatu peraturan
perundangan yang dirumuskan dan dijadikan acuan oleh masing-masing
sektor seringkali tidak memiliki kejelasan korelasi dengan peraturan
perundangan lain.

3. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan oleh beberapa sektor


diselenggarakan berdasarkan sistem referensi geospasial yang berbeda yang
dapat memicu terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut antar sektor.

200
4. Implementasi unsur right/izin, restriction, dan responsibility ditempatkan di
dalam permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara sektoral
dapat dilakukan melalui konsep sistem pengelolaan sumber daya wilayah
pesisir dan laut terpadu menggunakan konsep Networked Government.

5. Konflik pemanfaatan ruang laut antar pemerintah daerah disebabkan karena


belum ditetapkan dan ditegaskan batas kewenangan wilayah laut daerah oleh
seluruh provinsi dan kota/kabupaten yang memiliki wilayah pesisir dan laut.

6. Implementasi unsur right/izin, restriction dan responsibility ditempatkan di


dalam permasalahan batas laut wilayah di perairan Selat Madura Provinsi
Jawa Timur dapat dilakukan dengan menentukan batas laut wilayah provinsi
dan kabupaten/kota bersebelahan dan berhadapan yang mengelilingi Selat
Madura Provinsi Jawa Timur.

IV.1.3 Mengelola, Mengoperasi atau Mengkontrol Sistem

1. Peta Batas Laut Wilayah Kabupaten/Kota di Selat Madura Provinsi Jawa


Timur (Gambar IV.1) digunakan untuk menyelesaikan masalah batas laut
wilayah kabupaten/kota yang mengelilingi Selat Madura Provinsi Jawa
Timur.

Peta dasar yang digunakan untuk membuat Peta Batas Laut Wilayah mengacu
pada Undang-Undang Informasi Geospasial adalah Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN). Selain Peta LPI
dan LLN yang disebutkan di dalam UU Informasi Geospasial, Peta Laut dari
Dishidros TNI-AL dapat digunakan sebagai peta dasar jika di suatu daerah
yang belum tersedia Peta LPI dan Peta LLN, atau tersedia Peta Laut terbaru
dengan skala yang lebih besar.

201
Gambar IV.1 Peta batas laut wilayah Provinsi Jawa Timur dan kabupaten/kota yang
mengelilingi perairan Selat Madura

202
Peta batas laut wilayah kabupaten/kota (Gambar IV.1) dibangun
menggunakan:
- Peta dasar: Peta LPI skala 1:250.000,
- Proyeksi: Transverse Mercator,
- Sistem Grid: Grid Geografi dan Grid Universal Transverse Mercator
- Datum Horizontal: Datum Indonesia 1974 (ID 1974)
- Datum Vertikal: Muka Laut di Surabaya Jawa Timur

Saat ini pemerintah melalui UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi


Geospasial menyelenggarakan Peta LPI pada skala 1:250.00, 1:50.000,
1:25.000 hingga 1: 10.000. Untuk Peta LLN diselenggarakan pada peta skala
1:500.000, 1:250.000 dan 1:50.000. Oleh karena itu, Peta Batas Laut Wilayah
di dalam penelitian ini selanjutnya dapat diselenggarakan pada skala 1:50.000
atau 1:25.000.

Pada Gambar IV.1 batas laut wilayah provinsi (12 mil laut) ditunjukkan oleh
warna biru tua, batas laut wilayah kabupaten/kota (1/3 dari batas laut wilayah
provinsi) ditunjukkan oleh warna hijau, sedangkan wilayah laut nasional
ditunjukkan oleh warna biru muda. Batas laut wilayah untuk kabupaten/kota
yang saling bersebelahan maupun saling berhadapan ditentukan
menggunakan prinsip sama jarak (equidistance) mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas
Daerah.

2. Konsep Networked Government (Gambar IV.2) dilakukan dengan


menempatkan kembali kedudukan peraturan perundangan terkait
penyelenggaraan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan, kejelasan tugas
dan wewenang di masing-masing kementerian terkait penyelenggaraan
kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan. Hal ini dilakukan untuk
menghindari tumpang tindih tugas dan wewenang di dalam penyelenggaraan
kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan. Sehingga tidak ada lagi kegiatan-
kegiatan pengelolaan sejenis dan serupa untuk satu objek yang sama yang
dapat menimbulkan pemborosan APBN. Bahkan dapat meningkatkan
pendapatan negara, dan menghindari pelanggaran di wilayah laut.

203
Gambar IV.2 Diagram konsep sistem pengelolaan sumber daya kelautan terpadu

204
3. Peta Kadaster Kelautan Indonesia sebagai dasar pembuatan Izin Lokasi dan
Izin Pengelolaan di wilayah pesisir dan laut Indonesia.

Di dalam peta kadaster kelautan terdapat unsur right/izin, restriction dan


responsibility yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan izin lokasi
dan izin pengelolaan kegiatan di permukaan laut, kolom laut dan dasar laut
yang diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Peta Kadaster
Kelautan harus menggambarkan 3 (tiga) unsur di bawah ini:
 Batas laut wilayah, terdiri dari batas laut wilayah nasional, provinsi maupun
kabupaten/kota.
 Jenis kegiatan dan lokasi pemanfaatan ruang laut yang terdapat di
permukaan laut, kolom laut maupun dasar laut. Terlihat pada Gambar IV.3
alur pelayaran eksisting (permukaan laut dan kolom laut), lokasi pipa
minyak dan gas eksisting (dasar laut).
 Zonasi pemanfaatan ruang laut. Terdapat 4 (empat) zonasi pemanfaatan
ruang laut di Selat Madura, yakni: Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
Kawasan Konservasi, Kawasan Pemanfaatan Umum Wilayah
Kabupaten/Kota, dan Kawasan Pemanfaatan Umum Wilayah Provinsi.

Peta dasar yang digunakan untuk membuat Peta Kadaster Kelautan mengacu
pada Undang-Undang Informasi Geospasial adalah Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN). Selain Peta LPI
dan LLN yang disebutkan di dalam UU Informasi Geospasial, Peta Laut dari
Dishidros TNI-AL dapat digunakan sebagai peta dasar jika di suatu daerah
yang belum tersedia Peta LPI dan Peta LLN, atau tersedia Peta Laut terbaru
dengan skala yang lebih besar. Peta kadaster kelautan di dalam penelitian ini
pada dibangun menggunakan:
- Peta dasar: Peta LPI skala 1:250.000,
- Peta tematik: Peta batas laut wilayah kabupaten/kota dan Peta RZWP3K
Provinsi Jawa Timur,
- Proyeksi: Transverse Mercator,
- Sistem Grid: Grid Geografi dan Grid Universal Transverse Mercator
- Datum Horizontal: Datum Indonesia 1974 (ID 1974)
- Datum Vertikal: Muka Laut di Surabaya Jawa Timur

205
Gambar IV.3 Peta Kadaster Kelautan Indonesia di permukaan laut, kolom laut dan
dasar laut

206
Saat ini pemerintah melalui UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial menyelenggarakan Peta LPI pada skala 1:250.00, 1:50.000, 1:25.000
hingga 1:10.000. Untuk Peta LLN diselenggarakan pada peta skala 1:500.000,
1:250.000 dan 1:50.000. Oleh karena itu Peta Kadaster Kelautan yang dirumuskan
di dalam penelitian ini selanjutnya dapat diselenggarakan pada skala 1:50.000,
1:25.000 atau 1:10.000. Kondisi ini harus dipandang sebagai kemajuan di dalam
perkembangan ilmu dan teknologi di bidang pemetaan di Indonesia yang dapat
digunakan sebagai dasar di dalam merumuskan kebijakan pemerintah terkait
dengan pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia.

Penggunaan Peta Kadaster Kelautan untuk skala besar diharapkan mampu


memetakan kegiatan-kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan dalam unit persil
(ruang laut) yang diselenggarakan oleh pihak swasta (contoh: persil wilayah
tambang), masyarakat tradisional (contoh: persil penangkapan ikan), masyarakat
adat (contoh: sasi dan petuanan laut), maupun pemerintah daerah.

IV.1.4 Mendesain Metode untuk Meningkatkan atau Memodifikasi Sistem

Model pola penyelenggaran kadaster kelautan di Indonesia (tahap perencanaan,


tahap pemanfaatan, dan tahap pengawasan) sebagai acuan dasar perumusan
kebijakan pemerintah dalam mewujudkan Penyelenggaraan Kelautan Indonesia
(Pemerintahan di Laut).

IV.1.4.1 Tahap Perencanaan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan

Tahap perencanaan penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia (Gambar


IV.4) dimulai dari pembuatan Peta Kadaster Kelautan Indonesia sebagai acuan
penyelenggaraan beragam kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang
dilakukan oleh setiap individu/golongan, sektoral maupun daerah. Penggunaan
Peta Kadaster Kelautan sebagai peta tunggal di dalam penyelenggaraan
pengelolaan sumber daya kelautan diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan
bersama oleh pemerintah pusat diwakili oleh kementerian/sektor, pemerintah
daerah (provinsi dan kabupaten/kota), swasta maupun masyarakat hukum adat di
dalam menentukan lokasi beserta batas-batas suatu kegiatan pengelolaan sumber
daya kelautan.

207
Gambar IV.4 Diagram alir tahap perencanaan penyelenggaraan kadaster kelautan
di Indonesia sebagai negara kepulauan

IV.1.4.2 Tahap Pemanfaatan Penyelenggaraan Kadaster Kelautan

Berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi subjek kadaster kelautan, objek


kadaster kelautan, dan pola, ruang serta waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya
pesisir dan laut diperoleh rumusan prosedur pemanfaatan sumber daya wilayah
pesisir dan laut di dalam penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia (Gambar
IV.5).

208
Kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumber
daya wilayah pesisir dan laut

Diberikan kepada:
Pengurusan Orang perseorangan warga negara Indonesia
atau korporasi yang didirikan berdasarkan
Izin Lokasi
hukum Indonesia atau Koperasi yang
dibentuk oleh masyarakat.
Kecuali:
1. Masyarakat Hukum Adat
Peta Kadaster Kelautan 2. Kegiatan penangkapan ikan oleh
Masyarakat Tradisional
Digunakan untuk
menentukan: Informasi yang diperoleh:

1. Lokasi Kegiatan Koordinat dan deskripsi lokasi

2. Batas Lokasi Luas lokasi kegiatan

3. Ruang Laut Permukaan, kolom, dasar laut

4. Pola Kegiatan Berpindah tempat, menetap

5. Waktu Kegiatan Kontinyu, periodik

Izin Lokasi dan lampiran Izin Lokasi beserta lampirannya


(Peta Kadaster Kelautan dan mengandung unsur Right/Izin,
deskripsi) Restriction dan Responsibility.

Pengurusan Izin
Pengelolaan

Gambar IV.5 Diagram alir tahap pemanfaatan penyelenggaraan kadaster


kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan

IV.1.4.3 Tahap Pengawasan/Pengendalian Penyelenggaraan Kadaster


Kelautan

Tahap pengawasan/pengendalian penyelenggaraan kadaster kelautan untuk


pengelolaan sumber daya kelautan dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan,
yakni perlindungan lingkungan laut, dan keamanan laut.
Pengawasan/pengendalian menggunakan pendekatan perlindungan lingkungan
laut dimulai pada saat penerbitan Izin Pengelolaan pertama kali. Izin Pengelolaan

209
diberikan setelah melalui uji aman dampak lingkungan dan dipastikan bahwa
proses dan output dari kegiatan tersebut aman terhadap lingkungan laut saat ini
dan masa mendatang. Izin Pengelolaan bersifat periodik dan dapat diperpanjang
kembali dengan ketentuan bahwa perpanjangan kegiatan tersebut tidak merusak
sumber daya laut saat ini dan masa mendatang (Gambar IV.6).

a)

b)

Gambar IV.6 Diagram alir tahap pengawasan/pengendalian penyelenggaraan


kadaster kelautan menggunakan pendekatan lingkungan laut.

210
Sedangkan dalam pengawasan/pengendalian penyelenggaraan kadaster kelautan
menggunakan pendekatan keamanan laut, Bakamla dapat menggunakan Peta
Kadaster Kelautan sebagai dasar untuk melaksanakan fungsi penjagaan,
pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia (Gambar IV.7). Peta Kadaster
Kelautan Indonesia dapat memberikan informasi mengenai batas laut wilayah,
posisi dan batas kegiatan-kegiatan pemanfaatan laut yang dijadikan sebagai dasar
untuk menerbitkan izin lokasi dan izin pengelolaan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah.

Peta Kadaster Kelautan Indonesia

Digunakan oleh Bakamla


Kegiatan-kegiatan
Sebagai acuan dalam melaksanakan fungsi
pengelolaan
penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan
sumber daya
penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan
kelautan.
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Gambar IV.7.Skema pengawasan/pengendalian penyelenggaraan kadaster


kelautan menggunakan pendekatan keamanan laut.

Berdasarkan uraian di atas, maka model pola penyelenggaraan kadaster kelautan


(tahap perencanaan, tahap pemanfaatan dan tahap pengawasan) di Indonesia
sebagai acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan
Penyelenggaraan Kelautan Indonesia (Pemerintahan di Laut) ditunjukkan pada
Gambar IV.8.

211
a)

b)

Gambar IV.8 Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia


217
212
IV.1.4.4 Operasional Penyelenggaraan Kadaster Kelautan

Setelah pembahasan di atas mengenai model pola penyelenggaraan kadaster


kelautan yang terdiri dari tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan,
selanjutnya adalah membahas mengenai status dan operasional kadaster kelautan
dikaitkan dengan kementerian/pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) dan masyarakat adat di dalam menyelenggarakan pengelolaan
sumber daya kelautan.

Mengacu pada UU RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa


urusan kelautan dan perikanan; pariwisata; pertanian; kehutanan; energi dan
sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian; dan transmigrasi termasuk
kedalam urusan Pemerintahan Konkuren-Pilihan (urusan pemerintahan yang
dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota).
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Prinsip tersebut
dapat diwujudkan jika dibangun peraturan perundangan operasional yang
membahas pembagian urusan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinisi dan daerah kabupaten/kota sebagai acuan agar tidak terjadi benturan.

Berikut adalah status dan operasional kadaster kelautan di Indonesia dikaitkan


dengan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) di dalam pengelolaan sumber daya kelautan (ditunjukkan pada
Tabel IV.1).

213
217
224
Tabel IV.1 Operasional Kadaster Kelautan terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam Pengelolaan
Sumber Daya Kelautan

Unsur Manajemen
Pemerintah Unsur kadaster
Perencanaan Pemanfaatan Pengawasan
1 2 3 4 5
Right 1. Merumuskan RSWP3K, 1. Berhak melakukan 1. Melakukan pengawasan
RZWP3K, RPWP3K, pengelolaan dan terhadap aktivitas
RAPWP3K Nasional. pemanfaatan sumber pemanfaatan/pengelolaan
daya pesisir dan laut di sumber daya pesisir dan laut di
2. Memberikan saran/tanggapan
wilayah laut nasional. wilayah laut nasional.
terhadap usulan RSWP3K,
RZWP3K, RPWP3K, 2. Mengeluarkan Izin 2. Memberikan sanksi
RAPWP3K provinsi. Lokasi dan Izin administratif jika kegiatan
Pengelolaan. pemanfaatan (secara menetap)
tidak memiliki izin lokasi atau
tidak sesuai izin lokasi yang
diberikan.
Pusat Restriction 1. Menentukan batas wilayah laut 1. Membuat peta lokasi 1. Menyelesaikan masalah
wilayah nasional dan provinsi, pemanfaatan/pengelola- sengketa batas laut nasional
ditetepkan oleh Kemendagri. an menggunakan IGD maupun antar provinsi
(Peta LPI dan Peta
2. Peta RTRW Nasional dan Peta
LLN).
RZWP3K dibuat mengguna-
kan IGD (Peta LPI dan LLN). 2. Pemanfaatan lebih dari
12 mil laut.
Responsibility 1. Wajib menyelenggarakan 1. Bagi hasil pemanfaatan 1. Sistem Perlindungan Laut
sistem pencegahan dan sumber daya pesisir dan Nasional
penanggulangan pencemaran laut
dan kerusakan lingkungan.
214
214
Tabel IV.1 Operasional Kadaster Kelautan terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam Pengelolaan
Sumber Daya Kelautan (lanjutan)
1 2 3 4 5
Right 1. Merumuskan RSWP3K, 1. Berhak melakukan 1. Melakukan pengawasan terhadap
RZWP3K, RPWP3K, pengelolaan dan aktivitas pemanfaatan/pengelolaan
RAPWP3K provinsi. pemanfaatan sumber sumber daya pesisir dan laut di
daya pesisir dan laut di wilayah laut provinsi.
2. Memberikan
wilayah laut provinsi.
saran/tanggapan 2. Memberikan sanksi administratif jika
terhadap usulan 2. Mengeluarkan Izin kegiatan pemanfaatan (secara
RSWP3K, RZWP3K, Lokasi dan Izin menetap) tidak memiliki izin lokasi
RPWP3K, RAPWP3K Pengelolaan. atau tidak sesuai izin lokasi yang
kabupaten/kota. diberikan.
Provinsi Restriction 1. Menentukan batas laut 1. Membuat peta lokasi 1. Menyelesaikan masalah sengketa
wilayah provinsi. pemanfaatan/pengelola- batas laut antar kabupaten/kota.
an menggunakan IGD
2. Menetapkan batas laut
(Peta LPI dan Peta
wilayah
LLN).
Kabupaten/Kota.
2. Pemanfaatan sampai
dengan 12 mil laut

Responsibility 1. Wajib 1. Bagi hasil pemanfaatan 1. Sistem Perlindungan Laut Provinsi


menyelenggarakan sumber daya pesisir dan
sistem pencegahan dan laut.
penanggulangan
pencemaran dan
kerusakan lingkungan.

215
Tabel IV.1 Operasional Kadaster Kelautan terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam Pengelolaan
Sumber Daya Kelautan (lanjutan)
1 2 3 4 5
Right 1. Merumuskan RSWP3K, 1. Berhak melakukan 1. Melakukan pengawasan
RZWP3K, RPWP3K, pengelolaan dan pemanfaatan terhadap aktivitas
RAPWP3K bersama sumber daya pesisir dan laut di pemanfaatan/ pengelolaan
masyarakat. Kemudian wilayah laut kabupaten/kota. sumber daya pesisir dan laut di
menyampaikan ke wilayah laut kabupaten/kota.
2. Mengeluarkan Izin Lokasi dan
gubernur atau menteri Izin Pengelolaan. Kecuali 2. Memberikan sanksi
untuk diketahui kegiatan di bidang energi dan administratif jika kegiatan
sumber daya mineral berkaitan pemanfaatan (secara menetap)
dengan pengelolaan minyak tidak memiliki izin lokasi atau
dan gas bumi menjadi tidak sesuai izin lokasi yang
kewenangan Pemerintah Pusat. diberikan.
Kabupaten/ Restriction 1. Menentukan batas laut 1. Membuat peta lokasi 1. Menyelesaikan masalah
Kota wilayah Kabupaten/Kota. pemanfaatan/pengelolaan sengketa batas pemanfaatan
Ditetapkan kemudian oleh menggunakan IGD (Peta LPI laut antar sektor yang terjadi di
provinsi. dan Peta LLN). wilayah laut kabupaten/kota
2. Mengajukan batas wilayah 2. Pemanfaatan sampai dengan
laut adat 1/3 dari kewenangan laut
provinsi.
Responsibility 1. Wajib menyelenggarakan 1. Bagi hasil pemanfaatan 1. Sistem Perlindungan Laut
sistem pencegahan dan sumber daya pesisir dan laut. Kabupaten/Kota
penanggulangan
pencemaran dan
kerusakan lingkungan.

216
Tabel IV.1 menunjukkan bahwa kadaster kelautan dapat dioperasionalkan di
dalam kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Tabel tersebut tidak mencantumkan secara keseluruhan dan rinci
mengenai right, restriction dan responsibility yang dimiliki oleh pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, karena hanya mengacu pada 4
(empat) peraturan perundangan normatif, yakni UU RI No. 4 tahun 2011 tentang
Informasi Geospasial, UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Setelah mampu dioperasionalkan terhadap kegiatan-kegiatan pengelolaan dan


kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, selanjutnya adalah
memasukan unsur masyarakat adat ke dalam diagram operasional kadaster
kelautan. Gambar IV.9 memperlihatkan bahwa kadaster kelautan untuk Indonesia
sebagai negara kepulauan dapat dioperasionalkan untuk mewujudkan pengelolaan
sumber daya kelautan terpadu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat adat. Sedangkan Gambar IV.10 merupakan contoh diagram
operasional kadaster kelautan untuk kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan
di perairan Indonesia.

217
Gambar IV.9 Diagram operasional kadaster kelautan terhadap kedudukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat adat.
218
Gambar IV.10 Contoh diagram operasional kadaster kelautan untuk kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan.
219
IV.1.4.5 Continous Improvement Hasil Penelitian terhadap Penelitian
Sebelumnya

Kedudukan penelitian ini pada roadmap penelitian Kelompok Pusat


Pengembangan Wilayah Pesisir dan Kelautan adalah merupakan continous
improvement dari penelitian disertasi Wisayantono tahun 2009 yang berjudul
Optimisasi Spasial Ratio Lahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir
secara Berkelanjutan (Wilayah Studi: Pesisir Selat Madura-Jawa Timur).
Terdapat 2 (dua) hal continous improvement hasil penelitian ini terhadap produk
disertasi Wisayantono tahun 2009, yaitu:

1. Permasalahan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir antar sektor maupun


antar pemerintah daerah yang terjadi di Selat Madura Provinsi Jawa Timur
yang disampaikan di dalam disertasi Wisayantono tahun 2009, dapat
diselesaikan menggunakan implementasi definisi kadaster kelautan di dalam
penelitian ini.

2. Hasil penelitian ini digunakan sebagai pengembangan hasil penelitian


disertasi Wisayantono pada tahun 2009. Salah satu produk penelitian disertasi
Wisayantono tahun 2009 adalah 4 (empat) model kasus optimisasi yang
digunakan untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan menjadi
uraian-uraian menurut asas dan tujuan pengelolaan wilayah pesisir, terdiri
dari:

a. Model 1: optimisasi rasio lahan menurut keseimbangan produksi lahan


dan konsumsi penduduk pada skala wilayah.
b. Model 2: optimisasi rasio lahan temporal menurut perubahan waktu.
c. Model 3: optimisasi rasio lahan berbasis ekosistem Daerah Aliran Sungai
(DAS)
d. Model 4: optimisasi rasio lahan perikanan tangkap pada ekosistem
perairan laut Selat Madura.

Dari 4 (empat) model optimisasi di atas, model 4 lebih memiliki keterkaitan


dengan materi disertasi ini. Model optimisasi ini digunakan untuk mengukur asas
keadilan dan pemerataan dalam penggunaan lahan non-kepemilikan (laut) yang
dikelola oleh sepuluh pemerintah daerah kabupaten/kota (Wisayantono, 2009).

220 220
Pada model ini diperoleh informasi berupa peta rasio nelayan-panjang pantai dan
pendapatan nelayan (Gambar IV.11).

Gambar IV.11 Peta Rasio Nelayan-Panjang Pantai dan Pendapatan Nelayan


(Wisayantono, 2009)
Model 4 di atas dapat dikembangkan di dalam penelitian ini dengan
menambahkan unsur luas laut wilayah (tidak hanya unsur panjang pantai)
kabupaten/kota yang mengelilingi Selat Madura Provinsi Jawa Timur.

Gambar IV.12 Peta Batas Laut Wilayah digunakan sebagai pengembangan


model optimisasi rasio lahan perikanan tangkap pada
ekosistem perairan laut Selat Madura
221
Peta Batas Laut Wilayah (Gambar IV.12) sebagai salah satu hasil penelitian
disertasi dapat memberikan informasi luas wilayah laut untuk masing-masing
kabupaten/kota yang dapat digunakan sebagai salah satu unsur untuk mengukur
asas keadilan dan pemerataan dalam penggunaan lahan non-kepemilikan (laut)
oleh pemerintah daerah.

Selain Peta Batas Laut Wilayah, rumusan Peta Kadaster Kelautan (Gambar IV.3)
sebagai salah satu produk akhir di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk
mengembangkan model 4 optimisasi yakni dengan cara memasukkan jenis-jenis
objek kadaster kelautan (kegiatan, pemanfaatan, pengusahaan) dan zonasi
pemanfaatan ruang laut di Selat Madura sebagai unsur yang mempengaruhi asas
keadilan dan pemerataan non-kepemilikan (laut) oleh pemerintah daerah.

IV.1.5 Mentest Hipotesis/Menguji Sistem Tentang Suatu Sistem Atau


Memprediksi Responsnya Dalam Berbagai Variasi Keadaan

Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan terdiri dari bentuk (struktur) dan
prosedur (cara kerja) penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia sebagai
negara kepulauan yang digunakan sebagai sistem operasional penyelenggaraan
kelautan Indonesia (pemerintahan di laut). Model pola penyelenggaraan kadaster
kelautan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan pemerintah (pusat maupun
daerah provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengelola sumber daya kelautan di
Indonesia.

Oleh karena itu di dalam penelitian ini pengujian sistem dapat dilakukan pada saat
model pola penyelenggaraan kadaster kelautan dijadikan sebagai peraturan daerah
(perda) di wilayah Provinsi Jawa Timur maupun Kabupaten/Kota berkaitan
dengan kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di perairan
Selat Madura Provinsi Jawa Timur.

222
IV.2 Analisis

Terdapat 6 (enam) analisis berkaitan dengan proses yang telah dilakukan dan hasil
yang diperoleh di dalam penelitian ini, yakni:

1. Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam


Policy Sciences.
2. Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam
Persoalan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan di Indonesia sebagai
Negara Kepulauan.
3. Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan ditempatkan di dalam
One Map Policy.
4. Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan terhadap Aspek
Penyelenggaraan Tata Ruang Laut.
5. Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan Menggunakan Asas-
asas pada Undang Undang Kelautan.
6. Analisis Tata Kelola dan Kelembagaan Kadaster Kelautan di Indonesia.

IV.2.1 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di


dalam Policy Sciences

Berdasarkan unsur-unsur pembentuk definisinya bahwa definisi kadaster dari FIG


(1995) dan definisi kadaster kelautan dari Australia, Kanada dan Amerika
merupakan definisi yang ditempatkan di dalam aspek pengembangan sains dan
teknologi, sehingga definisi-definisi di atas bersifat universal (dapat digunakan
oleh negara-negara lain). Definisi-definisi di atas dapat digunakan oleh negara-
negara lain tidak mengandung pengertian bahwa definisi tersebut telah sesuai
dengan karakteristik masing-masing negara, dan belum tentu dapat menyelesaikan
permasalahan pengelolaan sumber daya kelautan di masing-masing negara,
terutama negara kepulauan.

Definisi-definisi kadaster kelautan dari negara Australia, Kanada dan Amerika


tidak dapat langsung digunakan di Indonesia. Diperlukan penambahan unsur-
unsur terkait karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan yang multikultural.
Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia tidak hanya digunakan di dalam aspek
keilmuan, tetapi harus dapat digunakan di dalam aspek kerekayasaan sebagai

223
tindakan aktif untuk menyelesaikan masalah pembangunan kelautan di Indonesia.
Oleh karena itu definisi kadaster kelautan di Indonesia harus ditempatkan di
dalam kebijakan pemerintah karena diperlukan suatu konsep terkait urusan
publik/teritorial/kekuasaan di wilayah pesisir dan laut yang menyangkut
kepentingan rakyat untuk kesejahteraan rakyat dan tujuan negara. Kadaster
kelautan sebagai acuan dasar perumusan kebijakan pemerintah dalam
mewujudkan Pemerintahan di Laut (Ocean Government).

IV.2.2 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di


dalam Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan di
Indonesia sebagai Negara Kepulauan

IV.2.2.1.Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di


dalam Permasalahan Batas Laut Wilayah

Permasalahan batas laut wilayah di Indonesia adalah bahwa batas laut wilayah
baru dilakukan secara nasional, sedangkan untuk batas laut wilayah provinsi dan
kabupaten/kota belum terwujud dalam satu sistem (belum terpadu). Definisi
kadaster kelautan untuk Indonesia mengandung unsur penetapan batas laut
wilayah (restriction) antara wilayah administrasi skala nasional, skala provinsi,
dan skala kabupaten/kota, sehingga persoalan penetapan batas laut untuk wilayah
yang saling berdampingan maupun berhadapan dapat terselesaikan dan terwujud
keharmonisan dan sinergi antara pusat dan daerah, dan antar pemerintah daerah.

Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam persolan batas


laut wilayah yakni sebagai sistem operasional untuk melaksanakan penetapan
batas kewenangan pengelolaan sumber daya laut sejauh 12 mil laut untuk provinsi
dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota yang belum
dilaksanakan oleh seluruh provinsi dan kota/kabupaten yang ada. Implementasi
unsur right/izin, restriction dan responsibility ditempatkan di dalam permasalahan
batas laut wilayah di perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur dapat dilakukan
dengan membuat peta batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/kota
bersebelahan dan berhadapan yang mengelilingi Selat Madura Provinsi Jawa
Timur.

224
Terdapat perbedaan penentuan batas laut wilayah provinsi maupun batas laut
wilayah kabupaten/kota yang tergambar di Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2030 yang dibuat oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Jawa Timur yang dibuat pada tahun 2010 (Gambar IV.2).

Perbedaan ini disebabkan karena pada Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur 2010-2030 penentuan batas laut wilayah
tidak menggunakan satuan unit pengukuran MIL Laut (1 MIL Laut = 1852 meter),
melainkan menggunakan 1 MIL= 1609,344 meter.

Gambar IV.13 Visualisasi perbedaaan batas wilayah laut provinsi dan


kabupaten/kota di Selat Madura Provinsi Jawa Timur

Kekeliruan ini terus berlanjut karena pada tahun 2012 peta tersebut dijadikan
sebagai lampiran Perda Provinsi Jawa Timur No.6 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi
Jawa Timur tahun 2012-2032.

225
Selanjutnya Gambar IV.1 Visualisasi penetapan batas laut wilayah provinsi dan
kabupaten/kota yang mengelilingi perairan Selat Madura Jawa Timur dijadikan
pendekatan untuk menyelesaikan persoalan batat laut wilayah yang terjadi di
perairan Selat Madura Provinsi Jawa Timur, antara lain sebagai berikut:

1. Konflik Kepemilikan Pulau Galang.

Model solusi penyelesaian konflik kepemilikan Pulau Galang di dalam penelitian


ini dapat dilakukan menggunakan 3 (tiga) pendekatan yakni:

(1) Dokumen formal (treaty based title) dapat menggunakan sertifikat tanah
yang cukup meyakinkan terhadap pulau tersebut.

(2) Effective occupation yaitu pihak mana yang lebih efektif


mengadministrasikan pulau tersebut.

(3) Menentukan garis batas laut untuk wilayah Kabupaten Gresik dan Kota
Surabaya yang saling bersebelahan mengacu pada Lampiran Permendagri
No. 76 Tahun 2012 menggunakan prinsip sama jarak (equidistance)
ditunjukkan pada Gambar IV.14 di bawah ini.

Gambar IV.14 Peta lokasi Pulau Galang dan visualisasi penarikan garis batas
laut wilayah Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya

226
2. Konflik Migas Blok Maleo antara Pemerintah Kabupaten Sumenep,
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan PT. Santos (Madura Offshore) PtyLtd

Konflik Blok Maleo antara Pemprov Jawa Timur, Pemkab Sumenep dan PT.
Santos (Madura Offshore) Pty Ltd jika ditempatkan di dalam peta batas laut
wilayah provinsi dan kabupaten/kota maka dapat dipastikan Blok Maleo masuk ke
dalam wilayah Kabupaten Sumenep (Gambar IV.15).

Keputusan Mahkamah Agung pada tanggal 18 September 2008 sudah tepat.


Keputusan MA ini menggugurkan Permendagri No 8 tahun 2007 tentang Provinsi
Jawa Timur sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Sektor Minyak Bumi
dan Gas Bumi.

Penentuan batas laut wilayah Kabupaten Sumenep dan Provinsi Jawa Timur
mengacu pada Lampiran Permendagri No.76 tahun 2012 menggunakan metode
penarikan garis batas pada pulau kecil yang berjarak kurang dari 2 kali 12 mil laut
namun berada dalam satu provinsi, dan metode penarikan garis batas pada pulau-
pulau kecil yang berada dalam satu provinsi.

Gambar IV.15 Peta lokasi Blok Maleo masuk ke dalam batas laut wilayah
Kabupaten Sumenep

227
3. Ratusan Nelayan Pamekasan Kepung Pengeboran Minyak di Laut

Model solusi penyelesaian konflik ini yakni dengan menentukan garis batas laut
untuk wilayah Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan yang saling
berdampingan mengacu pada Lampiran Permendagri No. 76 Tahun 2012
menggunakan metode sama jarak (equidistance).

Gambar IV.16 Peta lokasi eksplorasi minyak dan gas PT. Santos masuk
kedalam batas laut wilayah Kabupaten Sampang.

Gambar IV.16 menunjukkan bahwa lokasi eksplorasi minyak dan gas PT. Santos
masuk kedalam batas laut wilayah Kabupaten Sampang. Kondisi inilah yang
menyebabkan desa-desa di Kabupaten Sampang mendapatkan kompensasi ganti
rugi atas dilarangnya mencari ikan di area eksplorasi dan selalu mendapatkan
program dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), berbeda dengan desa-
desa disebelah yang berada di Kabupaten Pamekasan.

Penyelesaian konflik yang semula mengacu pada Pasal 17 (2) UU RI No.32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni hubungan dalam bidang
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintah daerah
meliputi:

228

Google earth
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah.
b. Kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antar pemerintah daerah.
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfataan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.

Setelah diamandemen oleh UU RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah, maka penyelesaian konflik dilakukan mengacu pada Pasal 13 UU RI
No.23 Tahun 2014, sebagai berikut:

Pasal 13 UU RI No. 23 Tahun 2014:

(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas,
serta kepentingan strategis nasional.

(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi atau lintas
negara;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah provinsi atau lintas
negara;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
provinsi atau lintas negara;
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh pemerintah pusat; dan/atau
e. Urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan
nasional.

(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota;

229
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah provinsi.

(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.

Pada Pasal 13 di atas untuk memastikan apakah suatu urusan pemerintahan


lokasinya berada dalam suatu daerah kabupaten/kota maupun lintas
kabupaten/kota akan sangat dibutuhkan informasi batas laut wilayah
kabupaten/kota tersebut yang tergambar di peta. Dalam hal penentuan batas laut
wilayah, berbeda dengan UU RI No.32 Tahun 2004, UU RI No. 23 Tahun 2014
tidak menuliskan secara eksplisit mengenai batas laut wilayah kabupaten/kota.
Namun penentuan batas laut wilayah kabupaten/kota tetap disinggung dan
memiliki peranan penting yang harus ada di dalam kegiatan pengelolaan sumber
daya kelautan, seperti yang tercantum di dalam Pasal 14 dan Pasal 27 di bawah
ini:

Pasal 14 UU RI No. 23 Tahun 2014:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta


energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi.
(2) Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota.

230
(3) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas
bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat.
(4) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas
bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah
kabupaten/kota.
(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil
dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1).
(6) Penentuan daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil
kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil
laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
kurang dari 4 (empat) mil laut, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau
diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.

Di dalam penjelasan Pasal 14 UU RI No.23 Tahun 2014 disebutkan bahwa batas


wilayah 4 (empat) mil laut dalam ketentuan ini hanya semata-mata untuk
keperluan perhitungan bagi hasil kelautan, sedangkan kewenangan bidang
kelautan sampai dengan 12 mil laut tetap berada pada daerah provinsi. Batas
wilayah dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah daerah yang
berbatasan dalam ketentuan ini hanya semata-mata untuk keperluan perhitungan
bagi hasil kelautan, sedangkan kewenangan bidang kelautan sampai dengan 12
mil laut tetap berada pada daerah provinsi.

Pada Pasal 14 dan penjelasannya di atas, maka untuk keperluan perhitungan bagi
hasil kelautan antara kabupaten/kota akan menjadi sulit jika batas laut wilayah
kabupaten/kota tidak ditentukan dan ditetapkan terlebih dahulu. Penulisan batas
wilayah 4 (empat) mil laut untuk keperluan perhitungan bagi hasil kelautan daerah
kabupaten/kota menjadi tidak tepat, sebaiknya menggunakan kalimat 1/3
(sepertiga) dari batas kewenangan laut provinsi. Hal ini digunakan untuk
mengantisipasi batas wilayah kabupaten/kota yang kurang dari 4 mil laut maupun

231
batas laut wilayah provinsi yang kurang dari 12 mil laut, seperti yang dibahas
pada Pasal 27 UU RI No.23 Tahun 2014 dibawah ini.

Pasal 27 UU RI No. 23 Tahun 2014

(1)..Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di


laut yang ada di wilayahnya.
(2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar
minyak dan gas bumi;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan
e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.

(3) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.

(4) Apabila wilayah laut antar dua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh
empat) mil laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut
dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah
antar dua Daerah provinsi tersebut.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku
terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil adalah nelayan masyarakat
tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan
secara tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat izin usaha dan
bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan
perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

Berdasarkan analisis pasal-pasal di atas, UU RI No. 23 Tahun 2014 sama sekali


tidak mengandung pengertian bahwa sudah tidak mengatur batas laut wilayah
kabupaten/kota dan hanya mengatur batas laut wilayah provinsi (12 mil laut).

232
Walaupun pasal-pasal di atas hanya semata-mata untuk keperluan perhitungan
bagi hasil kelautan, namun pasal-pasal ini menegaskan bahwa penentuan dan
penegasan batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/ kota merupakan salah satu
unsur penting yang harus ada di dalam penyelenggaraan kegiatan pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir dan laut. Penerapan prinsip sama jarak di dalam
Pasal 14 dan 27 hingga saat ini masih mengacu pada Permendagri No.76 Tahun
2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

IV.2.2.2 Analisis Definisi Kadaster Kelautan ditempatkan dalam Permasalahan


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut secara Sektoral

Banyaknya peraturan perundangan terkait pengelolaan wilayah pesisir dan laut


yang diterbitkan oleh beberapa kementerian (setidaknya ada 12 kementerian
memiliki peraturan perundangan yang dijadikan acuan dalam menyelenggarakan
kegiatan pengelolaan laut) ditambah lagi dengan peraturan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/kota seringkali terjadi overlap kebijakan, bahkan
bertentangan. Permasalahan-permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut
secara sektoral di Selat Madura Provinsi Jawa Timur, antara lain:

1. Konflik Penambangan Pasir di Selat Madura untuk Reklamasi Pelabuhan Teluk


Lamong.
2. Konflik kabel listrik bawah laut PLN di Alur Pelayaran Barat Surabaya
(APBS)
3. Konflik nelayan Sampang vs PT. Santos (Sampang) Pty.Lyd

Menunjukkan bahwa sumber daya laut nasional dikelola secara parsial


(berdasarkan sektoral), saling berdiri sendiri (tidak terintegrasi) dan
diselenggarakan tanpa perencanaan bersama. Analisis definisi kadaster kelautan
ditempatkan dalam permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara
sektoral dilakukan dengan cara menilai sejauh mana unsur right/izin, restriction,
dan responsibility diimplementasikan di dalam sistem pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan laut di 4 (empat) kementerian, yakni Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, dan
Kementerian Perhubungan (Tabel IV.2).

233
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di
Selat Madura Provinsi Jawa Timur

Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama


N Tugas dan Tema Referensi Kadaster Kelautan terhadap Kegiatan Permasalahan Pihak yang
o Kewenangan Kegiatan Kegiatan Pengelolaan terlibat
Right (Izin) Restriction Responsibility
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Kementerian Penentuan UU RI Belum Belum Belum 1. Konflik 1. Pemkot
Dalam Negeri dan No.32/2004 menerapkan menerapkan menerapkan kepemilik- Surabaya dan
Penegasan (UU RI dengan baik dengan baik dengan baik. an Pulau Pemkab
Batas Laut No.23/2014) Galang. Gresik.
Wilayah tentang Ketidakjelasan Batas laut Sangat 2. Konflik
Pemerintahan pemberian izin provinsi dipengaruhi 2. Pemprov
dana
Daerah, antara sudah oleh kondisi Jatim, Pemkab
bagihasil
Permendagri pemprov dan tergambar- restriction Sumenep dan
Blok
No.76/2012 pemkab/ kota, kan.Batas yang belum PT. Santos
Maleo.
tentang maupun antar laut jelas. (Madura Off-
Penegasan kabupaten/kota kabupaten/ shore) PtyLtd
3. Konflik
Batas Daerah kota belum tuntutan
tergambar- 3. Ratusan
kompensasi
kan di peta. nelayan
migas oleh
Kabupaten
nelayan
Pamekasan
Pamekasan
dan PT.
Santos.

234
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
di Selat Madura Provinsi Jawa Timur (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Kementerian Pemasang Kemen ESDM Belum Sudah Belum Kabel listrik PLN dan Dishub
ESDM -an Kabel Nomor : menerapkan menerapkan menerapkan bawah laut Provinsi Jawa
Listrik 300.K/38/M.P dengan baik. dengan baik. PLN terputus Timur
Bawah E/ 1997 jangkar kapal.
Melanggar UU Pihak terkait
Laut PLN tentang RI No. saling
Keselamatan 17/2008 menyalahkan
Kerja Pipa tentang untuk
Penyalur Pelayaran. melakukan
Minyak dan ganti rugi.
Gas Bumi.

3 Kementerian Pengeruk- UU RI No.4 Belum Sudah Belum Tuntutan PT Gora Gohana,


Perhubungan an Pasir Tahun 2009 menerapkan menerapkan menerapkan penghentian PT Pelindo III,
untuk tentang dengan baik dengan baik pekerjaan Pemprov Jatim,
Reklamasi Pertambangan pengerukan nelayan
Teluk Mineral dan Bertentangan pasir dan tradisional Selat
Lamong Batubara. dengan UU RI penyanderaan Madura, Tim
No.27 Tahun kapal keruk Advokasi
2007. pasir oleh Nelayan
nelayan Tradisional Selat
Suramadu Madura yang
berasal dari LSM
IHCS, KIARA,
Walhi dan
JATAM.

235
Tabel IV.2 Penilaian Implementasi Unsur-unsur Utama Kadaster Kelautan terhadap Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
di Selat Madura Provinsi Jawa Timur (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
4 Kementerian Reklamasi UU RI No.27 Belum Sudah Belum Reklamasi Pemprov Jatim,
Kelautan dan pantai Tahun 2007 menerapkan menerapkan menerapkan pantai merusak Pemkot Surabaya,
Perikanan Teluk tentang dengan baik. dengan baik ekosistem organisasi
Lamong Pengelolaan wilayah pesisir lingkungan dan
Bertentangan
Wilayah dan merubah nelayan
dengan UU RI
Pesisir dan alur hidrologi tradisional.
No.32 Tahun
Pulau-pulau air laut,
2009 tentang
Kecil. menyebabkan
Perlindungan
abrasi dan
dan
banjir rob.
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup

236
Dari Tabel IV.2 di atas dapat diperoleh informasi sebagai berikut:

1. Pengelolaan sumber daya kelautan yang diselenggarakan oleh Kementerian


Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Kementerian Perhubungan dan Kementerian Dalam Negeri di Selat Madura
masih belum menerapkan dengan baik unsur right dan responsibility. Hal ini
disebabkan karena right (izin) suatu kegiatan dikeluarkan secara sektoral
mengacu kepada peraturan perundangan masing-masing sektor, sehingga
seringkali tumpang tindih bahkan bertentangan. Disaat right (izin) kegiatan
terjadi tumpang tindih atau bertentangan, maka unsur responsibility yang
melekat pun menjadi tidak jelas.

2. Kementerian Kelautan Perikanan, Kementerian ESDM dan Kementerian


Perhubungan sudah menerapkan unsur restriction di dalam kegiatan
pengelolaan sumber daya kelautan di Selat Madura. Walaupun restriction yang
ditetapkan masih berupa zonasi yang bersifat 2 (dua) dimensi, tidak
berdasarkan ruang laut yang terdiri dari permukaan laut, kolom air, dan dasar
laut.

3. Permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor bukan hanya
terjadi karena belum ditetapkannya zona kegiatan-kegiatan pemanfaatan di
wilayah pesisir dan laut. Permasalahan dapat terjadi ketika ada pelanggaran
pemanfaatan atas zona yang telah ditetapkan, disebabkan karena tidak
terbangun koordinasi dan sosialisasi yang baik antar sektoral.

4. Permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor juga dapat
terjadi di luar zona yang telah ditentukan. Fenomena ini seringkali terjadi
karena laut hanya dipandang sebagai ruang, sehingga pengelolaannya hanya
sebatas zona tersebut. Padahal, permasalahan pengelolaan sumber daya
kelautan antar sektor seringkali muncul akibat terganggunya atau tertutupnya
jalur akses satu kegiatan oleh kegiatan sektor lain, sehingga dampak dari satu
jenis kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan dapat mengganggu bahkan
merusak sumber daya kelautan yang lain (hubungan sebab akibat).

237
5. Selain permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor
berdasarkan kegiatan pengelolaan seperti yang dijelaskan di atas, permasalahan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara sektoral juga sangat terkait dengan
peraturan perundangan yang dirumuskan dan dijadikan acuan oleh masing-
masing sektor. Suatu peraturan perundangan yang digunakan seringkali tidak
memiliki kejelasan korelasi dengan peraturan perundangan lain. Oleh karena
itu sangat penting untuk mengetahui status, posisi/kedudukan dan fungsi suatu
peraturan perundangan diantara peraturan perundangan yang lain.

IV.2.2.3 Analisis Definisi Kadaster Kelautan untuk Indonesia ditempatkan di


dalam Persoalan Pemanfaatan Laut Adat

Persoalan adat dan kearifan lokal dalam pemanfaatan laut nasional tidak bisa
dihindari karena adat dan kearifan lokal merupakan bagian dari sistem
kebudayaan di Indonesia. Persoalan pemanfaatan laut adat selama ini terletak pada
berlakunya konsep eksklusivitas (penguasaan) wilayah laut yang secara
tradisional dieksploitasi oleh kelompok-kelompok masyarakat adat setempat, pada
umumnya hanya meliputi wilayah penangkapan (fishing ground). Penetapan
batas-batas eksklusivitas wilayah laut tersebut dilakukan secara adat setempat,
seperti menggunakan batas alam dan garis imajiner yang ditarik dari batas adat
darat lurus memanjang ke arah laut. Batas antara pemanfaatan laut adat dengan
laut milik umum (public property) atau laut milik bersama (commom property)
hanya berupa garis imajiner yang berada antara laut dangkal dan laut dalam
(Hammar, RKR. 2009). Garis imajiner yang ditetapkan secara adat dengan
metode sederhana dan tidak memiliki informasi berupa titik-titik koordinat
menyebabkan batas-batas tersebut bersifat relatif, mudah berubah dan sulit
direkonstruksi.Implikasi penetapan batas laut secara adat seringkali menimbulkan
ketidakjelasan batas-batas dan saling tumpang tindih batas, menyebabkan konflik
antar desa adat maupun konflik antara adat dengan pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Definisi kadaster kelautan untuk Indonesia ditempatkan di dalam persoalan


pemanfaatan laut adat yakni memberikan informasi terhadap keberadaan
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut dalam

238
lingkup penetapan batas laut (restriction) dan kewenangan (right/izin dan
responsibility) secara adat, sehingga dapat terwujud keharmonisan antara
masyarakat adat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Berbeda dengan kondisi dan persoalan di wilayah Indonesia bagian barat,


penyelenggaraan pemanfaatan laut di wilayah Indonesia bagian timur lebih sering
dihadapkan pada eksistensi pengelolaan laut secara adat (ulayat laut). Hal ini
disebabkan karena terdapat sebanyak 10.640 desa (lebih dari 14%) dari jumlah
desa di Indonesia (69.249 desa, BPS 2012) adalah desa pesisir dengan luas
35.949.021,30 ha atau 19% dari luas keseluruhan desa-desa di Indonesia. Sekitar
92% desa pesisir di wilayah timur Indonesia adalah desa adat yang
mempraktikkan pengelolaan sumber daya alam berbasis budaya lokal (Grand
Design Pembangunan Desa, 2009) seperti yang terjadi di perairan laut Provinsi
Maluku.

Provinsi Maluku (Gambar IV.17) memiliki luas wilayah laut 527.191 km 2 dan
luas darat 54.185 km2, terdiri dari 559 pulau (BPS Provinsi Maluku, 2011).
Provinsi Maluku sebagai provinsi kepulauan terbesar di Indonesia banyak
ditemukan keberadaan masyarakat adat yang memanfaatkan perairan kepulauan
berbasis budaya lokal.

Gambar IV.17 Peta wilayah administrasi Provinsi Maluku (BPKP


Provinsi Maluku, 2003)

239
Di Provinsi Maluku praktik pengelolaan perikanan berbasiskan kearifan lokal
telah berlangsung lama dikenal dengan istilah petuanan dan sasi. Petuanan
mengacu pada eksklusifitas wilayah darat (petuanan darat) dan wilayah laut
(petuanan laut), sementara itu konsep sasi berhubungan dengan hak ulayat laut
sebagai suatu pranata yang mengatur sistem eksploitasi atas sumber daya yang
ada di wilayah laut (petuanan laut). Pengertian sasi secara harfiah berarti
larangan, secara umum merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki,
mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu pula (Wahyono, 2000).

Berdasarkan hasil studi literatur, pada Gambar IV.18 menunjukkan lokasi


beberapa desa di Provinsi Maluku yang menerapkan sasi.

Gambar IV.18 Peta lokasi implementasi sasi di perairan laut kepulauan Provinsi
Maluku. (BPKP Provinsi Maluku, 2003)

Penyelenggaraan pemanfaatan laut secara adat dikaitkan dengan unsur-unsur


kadaster kelautan adalah sebagai berikut:

1. Right
Desa adat memiliki otonomi untuk mengatur harta milik desa adat antara
lain tanah ulayat, hutan dan air. Hak ulayat laut (customary marine tenure)
adalah seperangkat aturan atau sistem pengelolaan wilayah laut dan
sumber daya di dalamnya berdasarkan adat istiadat yang dilakukan oleh
masyarakat pesisir desa. Perangkat aturan hak ulayat ini menyangkut siapa
yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh

240
ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumber daya yang diperbolehkan
yang ada di dalam suatu wilayah laut.

Dalam pelaksanaan sasi berlaku hak individual dalam mengeksploitasi


sumber daya laut tertentu (seperti jenis ikan tertentu). Selain berlaku hak
individual, berlaku juga hak komunitas yang dipimpin oleh kepala desa
yang dapat mengalihkan pemanfaatan sumber daya laut tersebut kepada
pihak ketiga (masyarakat luar atau pengusaha) untuk kepentingan
pembangunan desa.

2. Restriction
Pemanfaatan laut secara adat (petuanan laut) mengandung konsep
eksklusivitas wilayah laut yang secara tradisional dieksploitasi oleh
kelompok-kelompok masyarakat adat setempat, pada umumnya hanya
meliputi wilayah penangkapan (fishing ground). Dengan demikian
penetapan batas-batas wilayah petuanan laut sangat penting berkaitan
dengan hak penguasaan dan pemanfaatan suatu sumber daya yang ada di
dalam wilayah tersebut.

Di Maluku Tengah (Nolloth, Haruku, Ambon, Latulahat) dan Maluku


Tenggara (Kei) wilayah petuanan laut memiliki batas-batas yang relatif
jelas. Jika batas wiilayah petuanan darat antar desa yang satu dengan desa
lainnya yang bersebelahan berupa batas alam (sungai, bukit, tanjung, gua)
atau batas buatan (pohon yang sengaja ditanam, patok) maka batas
petuanan laut adalah garis imajiner yang ditarik dari batas petuanan darat
lurus memanjang ke arah laut (Gambar IV.19). Klaim kepemilikan
wilayah laut suatu daratan (pulau) ditentukan sepanjang masih berada
dalam garis batas wilayah laut tersebut. Batas antara petuanan laut desa
(laut milik desa) dengan laut milik umum (public property) atau laut milik
bersama (common property) adalah garis imajiner yang berada antara laut
dangkal dan laut dalam.

241
Garis imajiner
Batas buatan

Gambar IV.19. Foto batas petuanan laut berdasarkan garis imajiner dan
tanda batas buatan (Hernandi, A., Abdulharis,R.,
Hendriatiningsih, S dan Ling, M, 2012).

Implikasi penetapan batas laut secara adat seringkali menimbulkan


ketidakjelasan batas-batas bahkan saling tumpang tindih, menyebabkan
konflik antar desa adat maupun konflik antara daerah dan/atau sektor
dengan hukum adat. Contoh konflik yang pernah terjadi antara lain:

 Konflik batas laut adat antar Desa Tutrean dengan Desa Sather di
Pulau Kei Besar.
 Konflik batas laut adat Desa Dian dan Desa Debut perihal izin
kontrak Pulau Oiwa kepada pengusaha mutiara PT. Pear Nusantara
pada tahun 1994.
 Konflik antara batas laut adat dengan batas kewenangan laut daerah
sesuai UU RI No.32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.

3. Responsibility
Petuanan laut terdiri dari satuan kekerabatan (fam), sebuah kelompok
pemukim (kampung), sebuah desa (negeri), gabungan beberapa desa
(ratscaap). Sasi bersumber dari kebiasaan adat yang diselenggarakan
secara turun temurun dalam mengelola wilayah laut. Pelaksanaannya
mengacu pada hukum adat sasi yang umumnya tidak tertulis meskipun ada
dibeberapa daerah memiliki peraturan sasi secara tertulis, seperti di Desa
Paperu: Reglemen Sasi Negeri Peperu Tahun 1913-1922, Desa Ema:

242
Reglemen Sasi Negeri Ema Tahun 1863, Desa Siri Sori Serani: Reglemen
Sasi Negeri Siri Sori Serani Tahun 1920, Desa Porto: Reglemen Kewang
Tahun 1870, Haruku: sasi ditulis berdasarkan hasil rapat Saniri Aloosi
Aman Haru Ukui (Saniri Lengkkap Negeri Haruku) pada tanggal 10 Juni
1985, Desa Nolloth, Kei dan Dufa-dufa. (www.kewang-
haruku.org/sasi.html).

Pelaksanaan sasi dilakukan secara bersama oleh seluruh masyarakat desa,


namun demikian secara khusus pemerintah desa membentuk suatu
lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pengawasan pelaksanaan
sasi. Terdapat sistem sanksi yang berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat,
baik masyarakat setempat maupun masyarakat di luar desa. Pemberian
putusan sanksi dilakukan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di
masing-masing desa.

Di dalam UUD RI 1945 Pasal 18B (2) menyebutkan bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Selanjutnya pengakuan hak-hak masyarakat adat dijelaskan di dalam UU RI


No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai pengakuan
keberadaan masyarakat adat dan penetapan lokasi pemberdayaan sosial komunitas
adat terpencil. Masyarakat adat berhak mengusulkan wilayah adat masuk ke
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Nasional,
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka membangun sistem pengelolaan
wilayah pesisir dan laut secara terpadu.

Oleh karena itu implementasi unsur right, restriction dan responsibility di dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara adat dapat dilakukan dengan cara
mentransformasikan batas-batas laut adat eksisting menjadi batas-batas laut adat
yang diakui oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi), nasional,
maupun hukum laut internasional.

243
IV.2.3 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan ditempatkan
di dalam One Map Policy

Peta Batas Laut Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Peta Kadaster
Kelautan Indonesia sebagai bagian dari Model Pola Penyelenggaraan Kadaster
Kelautan di Indonesia di dalam penelitian ini masih dibangun menggunakan Peta
LPI sebagai peta dasar, dan diperbolehkan menggunakan peta dasar lain (Peta
LLN maupun Peta Laut dari Dishidros) yang tersedia dalam skala yang lebih
besar dan terbaru. Artinya Peta Batas Laut Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota
maupun Peta Kadaster Kelautan Indonesia akan berbeda sesuai jenis peta dasar
yang digunakan. Perbedaan peta dasar ini akan menghasilkan informasi yang
berbeda dan dapat berdampak pada terjadinya tumpang tindih batas laut wilayah,
lokasi, izin, dan kewajiban terkait penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pengelolaan
sumber daya kelautan.

Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan ditempatkan di dalam


one map policy adalah bahwa perlu dibangun satu peta dasar sebagai acuan
bersama untuk penyelenggaraan pembangunan di wilayah darat dan wilayah laut
Indonesia. Artinya tidak ada lagi penggunaan Peta RBI sebagai peta dasar untuk
kegiatan pembangunan di wilayah darat, begitu pula Peta LPI dan Peta LLN
sebagai peta dasar untuk kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut. One
map policy dilakukan dengan cara menggunakan satu sistem referensi yang sama
untuk Peta RBI, LPI dan LLN. Diperlukan transformasi sistem referensi dari tiga
peta dasar tersebut ke dalam satu sistem referensi nasional, yaitu Sistem Referensi
Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013). Dengan demikian pengertian Peta Rupa
Bumi Indonesia dalam perspektif one map policy memuat informasi geospasial
wilayah darat maupun laut.

SRGI 2013 merupakan suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan
kompatibel dengan sistem koordinat global, yang secara spesifik menentukan
lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya mencakup seluruh
wilayah NKRI, termasuk bagaimana nilai-nilai koordinat tersebut berubah
terhadap waktu. SRGI 2013 mendefinisikan beberapa hal, yaitu: (1) Sistem
Referensi Koordinat, yang mendefinisikan titik pusat sumbu koordinat, skala dan

244
orientasinya; (2) Kerangka Referensi Koordinat, sebagai realisasi dari sistem
referensi koordinat berupa Jaring Kontrol Geodesi Nasional; (3) Ellipsoid
Referensi yang digunakan; (4) Perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai
akibat dari pengaruh pergerekan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi di
Wilayah Indonesia; (5) Sistem Referensi Tinggi; (6) Garis pantai nasional yang
akurat dan terkini (http://srgi.big.go.id/).

Peta dasar tunggal ini selanjutnya digunakan sebagai acuan pembuatan peta-peta
tematik seperti Peta Rencana Tata Ruang Wilayah, Peta Pendaftaran Tanah, Peta
Jaringan Jalan, Peta Kawasan Hutan, Peta Batas Laut Wilayah Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Peta Kadaster Kelautan Indonesia, Peta Wilayah Tambang, Peta
Rute Pelayaran, dan tematik lainnya.

IV.2.4 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan terhadap


Aspek Penyelenggaraan Tata Ruang Laut

UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan BAB VIII Pengelolaan Ruang Laut
dan Pelindungan Laut, Bagian Kesatu: Pengelolaan Ruang Laut, terdiri dari Pasal
42 sampai dengan 49 membahas mengenai pengelolaan ruang laut yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Model pola
penyelenggaraan kadaster kelautan di dalam penelitian ini sangat terkait dengan
aspek penyelenggaraan tata ruang laut yakni dalam kegiatan perencanaan dan
pemanfaatan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maupun zonasi
kawasan laut untuk menghasilkan rencana tata ruang laut nasional.

Definisi zona dan zonasi menurut UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah sebagai berikut, zona adalah ruang
yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan
dan telah ditetapkan status hukumnya. Sedangkan zonasi adalah suatu bentuk
rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional
sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis
yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

245
Fakta yang terjadi di lapangan adalah bahwa tidak sedikit permasalahan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor terjadi di luar zona yang telah
ditentukan. Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan yang dibangun di
dalam penelitian ini merumuskan bahwa perencanaan dan pemanfaatan zonasi
selain harus memperhatikan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber
daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu
kesatuan dalam ekosistem pesisir, harus juga memperhatikan pola kegiatan
pemanfaatan ruang laut (berpindah tempat atau menetap), waktu kegiatan
pemanfaatan ruang laut (kontinyu atau periodik), dan batas pemanfaatan ruang
laut (luasan), termasuk batas-batas laut wilayah pemerintah daerah maupun laut
adat eksisting untuk menghasilkan perencanaan ruang laut yang meliputi tata
ruang laut nasional, perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan
perencanaan zonasi kawasan laut (Pasal 43 UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan).

Analisis model pola penyelenggaraan kadaster kelautan terhadap aspek


penyelenggaraan tata ruang laut dilakukan dengan cara menentukan korelasi
antara subjek dan objek kadaster kelautan di Indonesia terhadap pola kegiatan,
ruang kegiatan dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
Subjek kadaster kelautan diperoleh dari hasil identifikasi peraturan perundangan
yang diterbitkan oleh pemerintah pusat terkait kegiatan pengelolaan sumber daya
kelautan diperoleh informasi setidaknya terdapat 12 kementerian sebagai subjek
kadaster kelautan di Indonesia, jumlah ini belum memasukkan pemerintah daerah
(provinsi, kabupaten/kota) dan masyarakat adat yang menerapkan kepemilikan
laut adat. Sedangkan untuk menentukan objek kadaster kelautan di Indonesia
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan inventarisasi seluruh kegiatan,
pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya wilayah pesisir dan laut yang
tercantum di Pasal 19 dan 23 UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Pasal 14 UU RI No. 32 Tahun 2014
tentang Kelautan. Selanjutnya ditarik korelasi antara subjek dan objek kadaster
kelautan di Indonesia terhadap pola kegiatan, ruang kegiatan dan waktu kegiatan
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.

246
Objek kadaster kelautan di Indonesia menggunakan
Subjek kadaster kelautan di Indonesia pendekatan inventarisasi kegiatan dan pemanfaatan
menggunakan pendekatan inventarisasi sumber daya wilayah pesisir dan laut yang tercantum
peraturan perundangan yang ada terkait di UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan Pemanfaatan sumber
dan Pulau-pulau Kecil:
laut: daya wilayah pesisir
Kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan dan laut:
perairan pulau-pulau kecil yang wajib memiliki izin Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan pengelolaan
1.Produksi garam 1. Berpindah tempat
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral 2.Biofarmakologi laut 2. Menetap
3.Bioteknologi laut
3. Kementerian Lingkungan Hidup Ruang laut
4.Pemanfaatan air laut selain energi
4. Kementerian Perhubungan 5.Wisata bahari 1. Permukaan laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata 6.Pemasangan pipa dan kabel bawah laut
6. Kementerian Perdagangan 7.Pengangkatan benda muatan kapal tenggelam 2. Kolom laut
7. Kementerian Perindustrian 3. Dasar laut
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya
8. Kementerian Dalam Negeri
1.Konservasi
9. Kementerian Perencanaan Waktu Kegiatan
2.Pendidikan dan pelatihan
Pembangunan Nasional 3.Penelitian dan pengembangan 1. Kontinyu
10. Kementerian Pertanian 4.Budi daya laut
11. Kementerian Pertahanan dan 2. Periodik
5.Pariwisata
Keamanan 6.Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan
12. Kementerian Pekerjaan Umum secara lestari
7.Pertanian organik
8.Peternakan
9.Pertahanan dan keamanan negara

Gambar IV.20 Diagram korelasi subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.1 Tahun 2014 serta
pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
247
Dari Gambar IV.20 diperoleh informasi sebagai berikut:

Tabel IV.3 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Kegiatan Pemanfaatan


Sumber Daya Perairan Pesisir dan Perairan Pulau-pulau Kecil

Subyek kadaster kelautan Kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil yang wajib memiliki izin
pengelolaan
1 (KKP) 1,4 (produksi garam, pemanfaatan air laut selain energi)
2 (Kem. ESDM) 6 (pemasangan pipa kabel bawah laut)
3 (KLH) 3 (bioteknologi laut)
4 (Kem. Perhubungan) 7 (pengangkatan benda muatan kapal tenggelam)
5 (Kem. Budpar) 5 (wisata bahari)
7 (Kem. Perindustrian) 2,3 (biofarmakologi laut, bioteknologi laut)
12 (Kem. PU) 6 6 (pemasangan pipa kabel bawah laut)

Tabel IV.4 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Pemanfaatan Pulau-pulau


Kecil dan Perairan disekitarnya
Subyek kadaster kelautan Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya
1(KKP) 1,2,3 (konservasi, pendidikan pelatihan, penelitian)
3(KLH) 1,4 (konservasi, budi daya laut)
5(Kem Budpar) 5 (pariwisata)
7(Kem. Perindustrian) 6 (usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan)
9 (Kem. Pemb Nasional) 3 (penelitian dan pengembangan)
10 (Kem. Pertanian) 7 (pertanian organik)
11 (Kem. Hankam) 2,9 (pendidikan dan pelatihan, pertahanan keamanan)

Gambar IV.20 dan Tabel IV.3 memperlihatkan bahwa terdapat beberapa subjek
kadaster kelautan yang tidak memiliki korelasi langsung dengan kegiatan
pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang
wajib memiliki izin pengelolaan yang disebutkan pada Pasal 19 UU RI No.1
Tahun 2014. Padahal masih banyak jenis kegiatan lain, selain 7 (tujuh) kegiatan di
atas yang yang juga harus memiliki izin pengelolaan di dalam penyelenggaraan
kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti
kegiatan pemanfaatan yang terkait dengan perdagangan, pertanian laut dan
lainnya. Izin pengelolaan seharusnya diberlakukan kepada seluruh kegiatan
pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pantai yang sudah mengantongi
Izin Lokasi. Pembahasan konsep mengenai pemberian Izin Lokasi dan
keterkaitannya dengan Izin Pengelolaan akan dibahas setelah ini.

248
Gambar IV.20 dan Tabel IV.4 juga memperlihatkan bahwa terdapat beberapa
subjek kadaster kelautan yang tidak memiliki korelasi langsung dengan jenis
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya yang disebutkan pada
Pasal 23 UU RI No.1 Tahun 2014. Padahal masih banyak jenis pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya, seperti pemanfaatan untuk
perhubungan, perdagangan, energi baru dan terbarukan. Oleh karena itu Pasal 19
dan Pasal 23 UU RI No.1 Tahun 2014 harus diubah dan memasukkan kegiatan-
kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang
lain serta jenis pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya.

Setelah membahas mengenai korelasi subjek kadaster kelautan dan objek kadaster
kelautan yang diambil menggunakan pendekatan kegiatan-kegiatan pemanfaatan
sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta jenis pemanfaatan pulau-
pulau kecil dan perairan disekitarnya yang tercantum di UU RI No.1 Tahun 2014,
selanjutnya adalah membahas korelasi objek kadaster kelautan terhadap pola,
ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut.

Tabel IV.5 Korelasi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Pesisir dan
Perairan Pulau-pulau Kecil yang Wajib Memiliki Izin Pengelolaan dengan Pola,
Ruang dan Waktu Kegiatan
Kegiatan pemanfaatan sumber daya Pola, ruang dan waktu kegiatan
perairan pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil yang wajib memiliki izin pengelolaan
1 (Produksi garam) 1; 1; 1 (berpindah tempat; permukaan
laut; kontinyu)
2 (Biofarmakologi laut) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu)
3 (Bioteknologi laut) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu)
4 (Pemanfaatan air laut selain energi) 2; 123; 12 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu,
periodik)
5 (Wisata bahari) 2; 123; 2 (menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; periodik)
6 (Pemasangan pipa dan kabel bawah laut) 2; 3; 1 (menetap; dasar laut; kontinyu)
7 (Pengangkatan benda muatan kapal 1; 3; 2 (berpindah tempat; dasar laut;
tenggelam) periodik)

249
Tabel IV.6 Korelasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan disekitarnya
dengan Pola, Ruang dan Waktu Kegiatan
Pemanfaatan pulau-pulau kecil Pola, ruang dan waktu kegiatan
dan perairan disekitarnya
1 (Konservasi) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut,
dasar laut; kontinyu)
2 (Pendidikan dan pelatihan) 12; 123; 2 (berpindah tempat, menetap;
permukaan laut, kolom laut, dasar laut; periodik)

3 (Penelitian dan pengembangan) 12; 123; 2 (berpindah tempat, menetap;


permukaan laut, kolom laut, dasar laut; periodik)
4 (Budi daya laut) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut,
dasar laut; kontinyu)
5 (Pariwisata) 2; 123; 2 (menetap; permukaan laut, kolom laut,
dasar laut; periodik)
6 (Usaha perikanan dan kelautan 2; 12; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut;
serta industri perikanan) kontinyu)
7 (Pertanian organik) 2; 1; 1 (menetap; permukaan laut, kontinyu)
8 (Peternakan) 2; 12; 1(menetap; permukaan laut, kolom laut;
kontinyu)
9 (Pertahanan dan keamanan 12; 12; 12 (berpindah tempat, menetap;
negara) permukaan laut, kolom laut; kontinyu, periodik)

Dari Tabel IV.5 dan IV.6 diperoleh informasi bahwa:

1. Sebagian besar objek kadaster kelautan berupa kegiatan pemanfaatan


sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, dan
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya lebih banyak
memiliki pola menetap (tidak berpindah tempat) dan waktu kegiatan yang
kontinyu, seperti contoh Gambar III.30 dan Lampiran.

2. Penentuan dan penetapan suatu zonasi kegiatan pemanfaatan sumber daya


wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus memperhatikan karakteristik
(pola, ruang, dan waktu) kegiatan itu sendiri dan karakteristik (pola, ruang,
dan waktu) kegiatan yang lainnya. Misal pada Tabel IV.5 penentuan
zonasi untuk jenis kegiatan Produksi garam tidak bisa dilakukan pada
lokaksi yang sama (walaupun berbeda ruang) dengan kegiatan
Biofarmakologi laut, Bioteknologi laut, Pemanfaatan air laut selain energi.
Begitu pula untuk jenis kegiatan Wisata bahari tidak boleh dilakukan pada
lokasi dan ruang yang sama dengan kegiatan Pemasangan pipa dan kabel
bawah laut, maupun kegiatan Pengangkatan benda muatan kapal
tenggelam.

250
Subjek kadaster kelautan di Indonesia Objek kadaster kelautan di Indonesia
menggunakan pendekatan inventarisasi menggunakan pendekatan inventarisasi
peraturan perundangan yang ada terkait pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya
kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan kelautan yang tercantum di UU RI No.32 Pemanfaatan sumber
laut: Tahun 2014 tentang Kelautan daya wilayah pesisir
dan laut:
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan meliputi Pola Kegiatan
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya 1. Perikanan 1. Berpindah tempat
Mineral 2. Energi dan Sumber Daya Mineral
2. Menetap
3. Kementerian Lingkungan Hidup 3. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
4. Kementerian Perhubungan a. Sumber daya hayati Ruang laut
5. Kementerian Budaya dan Pariwisata b. Sumber daya nonhayati 1. Permukaan
6. Kementerian Perdagangan c. Sumber daya buatan
2. Kolom
7. Kementerian Perindustrian d. Jasa lingkungan
8. Kementerian Dalam Negeri 4. Sumber daya nonkonvensional 3. Dasar laut
9. Kementerian Perencanan Pembangunan 4. Dasar laut
Waktu Kegiatan
Nasional Pengusahaan Sumber Daya Kelautan meliputi
10. Kementerian Pertanian 1. Industri kelautan 1. Kontinyu
11. Kementerian Pertahanan dan Keamanan 2. Wisata bahari 2. Periodik
12. Kementerian Pekerjaan Umum 3. Perhubungan laut
4. Bangunan laut

Gambar IV.21 Diagram korelasi subjek kadaster kelautan, objek kadaster kelautan berdasarkan pendekatan UU RI No.32 Tahun 2014
serta pola, ruang dan waktu kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut

251
Dari Gambar IV.21 diperoleh informasi sebagai berikut:

Tabel IV.7 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Pemanfaatan Sumber


Daya Kelautan
Subyek kadaster kelautan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan
1(KKP) 1, 3a, 4 (perikanan, sumber daya hayati, sumber daya
nonkonvensional)
2(Kem. ESDM) 2, 3b (energi dan sumber daya mineral, sumber daya
nonhayati)
3(KLH) 3a, 3d, 4 (sumber daya hayati, jasa lingkungan, sumber
daya nonkonvensional)
4(Kem. Perhubungan) 3d (jasa lingkungan)
5(Kem. Budpar) 3d, 4 (jasa lingkungan, sumber daya nonkonvensional)
6(Kem. Perdagangan) 3a,3b (sumber daya hayati, sumber daya nonhayati)
7(Kem. Perindustrian) 3a,3b (sumber daya hayati, sumber daya nonhayati)
8(Kemendagri) 3a,3b (sumber daya hayati, sumber daya nonhayati)
9(Kem. Pemb Nasional) 3c (sumber daya buatan)
10(Kem. Pertanian) 3a, 4 (sumber daya hayati, sumber daya
nonkonvensional)
12(Kem. PU) 3c,3d (sumber daya buatan, jasa lingkungan)

Tabel IV.8 Korelasi Subyek Kadaster Kelautan dengan Pengusahaan Sumber


Daya Kelautan
Subyek kadaster kelautan Pengusahaan Sumber Daya Kelautan
4(Kem. Perhubungan) 3 (perhubungan laut)
5(Kem. Budpar) 2 (wisata bahari)
7(Kem. Perindustrian) 1 (industri kelautan)
12(Kem. PU) 4 (bangunan laut)

Gambar IV.21 dan Tabel IV.7 memperlihatkan bahwa sebagian besar subjek
kadaster kelautan memiliki korelasi langsung dengan kegiatan pemanfaatan
sumber daya kelautan yang disebutkan pada Pasal 14 UU RI No.32 Tahun 2014.
Bahkan satu subjek kadaster kelautan memiliki korelasi lebih dari satu kegiatan
pemanfaatan sumber daya kelautan, artinya adalah satu kegiatan pengelolaan
sumber daya kelautan dapat dikelola oleh lebih dari satu kementerian.

Berbeda dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan yang dapat dikelola
oleh lebih dari satu kementerian, maka untuk kegiatan pengusahaan sumber daya
kelautan memiliki kecenderungan satu kementerian mengelola satu kegiatan
pengusahaan sumber daya kelautan, seperti yang terlihat di Gambar IV.21 dan
Tabel IV.8 Walaupun begitu, operasional kegiatan pengusahaan sumber daya
kelautan ini merupakan hal yang lebih kompleks karena akan melibatkan banyak

252
pihak terkait seperti pemerintah pusat (beberapa kementerian), pemerintah daerah
provinsi maupun kabupaten/kota, pihak swasta dan masyarakat.

Tabel IV.9 Korelasi Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dengan Pola, Ruang dan
Waktu Kegiatan
Pemanfaatan Sumber Pola, ruang dan waktu kegiatan
Daya Kelautan
1 (Perikanan) 1; 123; 2 (berpindah tempat; permukaan laut, kolom laut,
dasar laut; periodik)
2 (Energi dan sumber daya 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
mineral) laut; kontinyu)
3a (Sumber daya hayati) 12; 123; 12 (berpindah tempat, menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu, periodik)
3b (Sumber daya 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
nonhayati) laut; kontinyu)
3c (Sumber daya buatan) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; kontinyu)
3d (Jasa lingkungan) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; kontinyu)
4 (Sumber daya 2; 123; 12 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
nonkonvensional) laut; kontinyu, periodik)

Tabel IV.10 Korelasi Pengusahaan Sumber Daya Kelautan dengan Pola, Ruang
dan Waktu Kegiatan
Pengusahaan Sumber Pola, ruang dan waktu kegiatan
Daya Kelautan
1(Industri kelautan) 2; 12; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut ; kontinyu)
2 (Wisata bahari) 2; 123; 2 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; periodik)
3 (Perhubungan laut) 12; 123; 12 (berpindah tempat, menetap; permukaan laut,
kolom laut, dasar laut; kontinyu, periodik)
4 (Bangunan laut) 2; 123; 1 (menetap; permukaan laut, kolom laut, dasar
laut; kontinyu)

Dari Tabel IV.9 dan IV.10 diperoleh informasi bahwa:

1. Sebagian besar objek kadaster kelautan berupa kegiatan pemanfaatan


sumber daya kelautan maupun kegiatan pengusahaan sumber daya
kelautan lebih banyak memiliki pola menetap (tidak berpindah tempat)
dan waktu kegiatan yang kontinyu.
2. Penentuan dan penetapan suatu zonasi kegiatan pemanfaatan maupun
pengusahaan sumber daya kelautan harus memperhatikan karakteristik
(pola, ruang, dan waktu) kegiatan itu sendiri dan karakteristik (pola, ruang,
dan waktu) kegiatan yang lainnya.

253
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Satu objek kadaster kelautan dapat dikelola oleh lebih dari satu kementerian.
Oleh karena itu konsep networked government yakni dengan menempatkan
kembali kedudukan peraturan-peraturan perundangan terkait penyelenggaraan
kegiatan tersebut sangat diperlukan. Selain itu diperlukan juga perubahan tata
kelola dan kelembagaan laut, yakni harus ada kejelasan tugas dan wewenang di
masing-masing kementerian terkait penyelenggaraan kegiatan pengelolaan
sumber daya kelautan.

2. Selain kegiatan perikanan dan pelayaran, objek kadaster kelautan ternyata lebih
banyak memiliki pola menetap (tidak berpindah tempat) dan waktu kegiatan
yang kontinyu. Oleh karena itu Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan yang diatur di
dalam UU RI No. 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil menggantikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisi (HP3) harus diterapkan
sepenuhnya untuk seluruh objek kadaster kelautan.

3. Pemberian Izin Lokasi dilakukan berdasarkan zonasi yang telah ditentukan


sesuai dengan karakteristik (pola, ruang, dan waktu) masing-masing objek
kadaster kelautan. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan
ruang dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom
air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau
untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil. Izin ini dapat dikeluarkan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Izin Lokasi menjadi dasar pemberian
Izin Pengelolaan. Sedangkan Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk
melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil. Izin Pengelolaan sebaiknya diberikan setelah dipastikan
bahwa proses dan output dari kegiatan tersebut aman terhadap lingkungan laut.

IV.2.5 Analisis Model Pola Penyelenggaraan Kadaster Kelautan


Menggunakan Asas-asas pada Undang Undang Kelautan

Analisis model pola penyelenggaraan kadaster kelautan menggunakan asas-asas di


dalam UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan ditunjukkan pada Gambar
IV.22.

254
i. Asas Desentralisasi

k..Asas Keadilan

c. Asas Keterpaduan

*
d. Asas Keterpaduan
*
a. Asas
d. Asas Kepastian Hukum Keberlanjutan
f. Asas
Pemerataan

**

**
g. Asas Peran
Serta
b. Asas Konsistensi Masyarakat j. Asas
Akuntabilitas
e. Asas Kemitraan

Gambar IV.22 Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan ditempatkan di dalam asas Undang undang Kelautan

255
Keterangan dari masing-masing asas pada Gambar IV.22 dijelaskan sebagai
berikut:

a. Keberlanjutan adalah pemanfaatan sumber daya kelautan yang tidak


melampaui daya dukung dan memiliki kemampuan mempertahankan
kebutuhan generasi yang akan datang.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas keberlanjutan


digunakan pada tahap pengurusan Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan yang
harus memperhatikan daya dukung dan potensi lingkungan laut saat ini
dan masa mendatang.

b. Konsistensi adalah konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan


pemerintahan dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian untuk melaksanakan program pengelolaan sumber daya
kelautan.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas konsistensi


diwujudkan di dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian yang melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Badan Informasi Geospasial, Dishidros, Kementerian Dalam Negeri,
Pemerintah Daerah, dan Bakamla.

c. Keterpaduan adalah integrasi kebijakan kelautan melalui perencanaan


berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara
pemerintah dan pemerintah daerah.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas keterpaduan


diwujudkan dengan melaksanakan one map policy yakni menggunakan
peta dasar dan ketentuan penyelenggaraan informasi geospasial sesuai UU
RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Peta Kadaster
Kelautan sebagai salah satu produk di dalam penelitian ini dibangun
menggunakan Peta LPI Skala 1:250.000, Peta Batas Laut Wilayah
(mengacu pada Permendagri No.76 Tahun 2012), dan Peta Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penggunaan peta tematik
lainnya (misal peta lokasi wilayah tambang) dapat dimasukkan sebagai
unsur penambah informasi ke dalam Peta Kadaster Kelautan dengan

256
ketentuan peta tematik tersebut harus dapat diubah ke dalam sistem
koordinat nasional.

d. Kepastian hukum adalah seluruh pengelolaan dan pemanfaatan kelautan


yang didasarkan pada ketentuan hukum.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas kepastian


hukum diwujudkan dengan menggunakan 5 (lima) kebijakan pemerintah
terkait pengelolaan sumber daya kelautan yang berlaku saat ini yakni UU
RI No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, UU RI No. 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil, UU RI
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU RI No. 32 Tahun
2014 tentang Kelautan, dan Permendagri No.76 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah.

e. Kemitraan adalah kesepakatan kerja sama antar pihak yang


berkepentingan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas kemitraan


diwujudkan dengan cara menghubungkan dan memposisikan kembali
tugas dan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, dan masyarakat adat dalam mengoperasionalkan kadaster
kelautan (Gambar IV.2).

f. Pemerataan adalah pemanfaatan potensi sumber daya kelautan yang


dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kesejahteraan
rakyat.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas pemerataan


diwujudkan sebagai pembagian tugas dan kewenangan antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
ditunjukkan pada Tabel IV.1 dan Gambar IV.9.

257
g. Peran serta masyarakat dimaksudkan agar masyarakat mempunyai peran
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian dalam
penyelenggaraan kelautan.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas peran serta


masyarakat diwujudkan dengan memasukkan wilayah laut adat ke dalam
RZWP3K nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

h. Keterbukaan adalah adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk


memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak deskriminatif mengenai
penyelenggaraan kelautan dari tahap perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian dengan tetap memperhatikan pelindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas keterbukaan


diwujudkan melalui prosedur pengurusan dan penerbitan Izin Lokasi dan
Izin Pengelolaan di wilayah pesisir dan laut. Selain prosedur, Peta
Kadaster Kelautan sebagai lampiran Izin Lokasi memberikan informasi
mengenai lokasi kegiatan (ditunjukkan berupa koordinat dan deskripsi
lokasi), batas lokasi (ditunjukkan berupa batas-batas area dan luas area),
ruang laut (informasi lokasi berada di permukaan, kolom laut, dasar laut),
pola kegiatan (informasi kegiatan berpindah tempat atau menetap), dan
waktu kegiatan (informasi kegiatan diselenggarakan secara kontinyu atau
periodik).

i. Desentralisasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang


menjadi kewenangan pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada
gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan
pemerintahan umum.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas desentralisasi


diwujudkan melalui tugas dan kewenangan pemerintah daerah dalam
mengelola sumber daya kelautan berdasarkan UU RI No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Selain tugas dan kewenangan, asas
desentralisasi diwujudkan pula melalui penentuan dan penetapan batas laut

258
wilayah mengacu pada Permendagri No.76 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah.

j. Akuntabilitas adalah penyelenggaraan kelautan dilakukan secara terbuka


dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas akuntabilitas


diwujudkan di dalam tahap pengawasan menggunakan pendekatan
keamanan laut maupun pendekatan lingkungan laut. Jika hasil pengawasan
dinyatakan bahwa kegiatan (proses) dan hasil kegiatan pengelolaan
sumber daya kelautan yang dilakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan
maka Izin Pengelolaan tidak dapat diperpanjang, bahkan dapat dilakukan
pencabutan Izin Pengelolaan.

k. Keadilan adalah materi muatan undang-undang ini harus mencerminkan


hak dan kewajiban secara proporsional bagi setiap warga negara.

Pada model pola penyelenggaraan kadaster kelautan, asas keadilan dapat


diwujudkan melalui pembagian hak dan kewajiban terkait kegiatan
pengelolaan sumber daya kelautan yang diselenggarakan melalui
pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, maupun masyarakat secara langsung.

Dengan terpenuhinya asas-asas di atas, maka model pola penyelenggaraan


kadaster kelautan yang dibangun di dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai
operasional sistem untuk mewujudkan Penyelenggaraan Kelautan Indonesia dan
Pembangunan Kelautan Indonesia pada UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan.

IV.2.6 Analisis Tata Kelola dan Kelembagaan Kadaster Kelautan di


Indonesia

Mengacu pada definisi negara kepulauan di dalam penelitian ini bahwa negara
kepulauan adalah negara yang mempunyai laut demikian luas, pada laut tersebut
tersebarlah pulau-pulau yang demikian banyak. Jika definisi negara kepulauan
ditempatkan di dalam perspektif tata kelola dan kelembagaan terkait sumber daya
kelautan, maka diperlukan tata kelola dan kelembagaan yang baik, terintegrasi dan

259
handal dalam pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia yang demikian luas
dan banyak.
Hingga saat ini, berdasarkan hasil identifikasi dari peraturan perundangan yang
ada terkait kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan, maka terdapat 12
kementerian terlibat di dalam pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia.
Jumlah kementerian yang terlibat saat ini menjadi bertambah banyak mengikuti
susunan kabinet pemerintahan saat ini, yakni:

1. Kementerian Kelautan dan Perikanan


2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
3. Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
4. Kementerian Perhubungan
5. Kementerian Pariwisata
6. Kementerian Perdagangan
7. Kementerian Perindustrian
8. Kementerian Dalam Negeri
9. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
10. Kementerian Pertanian
11. Kementerian Pertahanan
12. Kementerian Agraria dan Tata Ruang
13. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
14. Kementerian Badan Usaha Milik Negara

Banyaknya jumlah kementerian yang terlibat di dalam pengelolaan sumber daya


kelautan seringkali dimaklumi sebagai dampak negara Indonesia yang memiliki
laut yang demikian luas dan pulau-pulau yang demikian banyak. Menyebabkan
pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia dilakukan secara parsial
(berdasarkan sektoral), saling berdiri sendiri (tidak terintegrasi) dan
diselenggarakan tanpa perencanaan bersama. Masing-masing kementerian
mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut dengan maksud,
tujuan, target, rencana dan landasan hukum berbeda ini dapat menumbuhkan
konflik kewenangan pengelolaan sumber daya kelautan antar sektor/kementerian.
Diperlukan tata kelola dan kelembagaan yang baik, terintegrasi dan handal terkait
pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia.

260
Dalam kabinet pemerintahan saat ini terdapat satu kementerian koordinator
(Kemenko) yang baru sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 165
Tahun 2014, yaitu Kementerian Koordinator Kemaritiman. Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman mempunyai tugas menyelenggarakan
koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam
penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman. Pasal 4 Perpres ini
menyebutkan, Kemenko Kemaritiman mengkoordinasikan: a. Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral; b. Kementerian Perhubungan; c. Kementerian
Kelautan dan Perikanan; d. Kementerian Pariwisata; dan e. Instansi lain yang
dianggap perlu. Konsep Networked Government menggunakan pendekatan sistem
yang ada di masing-masing kementerian dapat digunakan oleh Kementerian
Koordinator Kemaritiman untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan
terpadu.

Belajar dari pengalaman tata kelola dan kelembagaan di Indonesia bahwa


dibentuknya suatu lembaga eksekutif yang berfungsi sebagai koordinator
penyelenggaraan suatu pemerintahan seringkali tidak berjalan dengan optimal,
sehingga keberadaan lembaga ini tidak bertahan lama. Dalam lembaga koordinasi
ini sering terjadi hambatan-hambatan yang disebabkan karena antara yang
mengkoordinasikan dengan yang dikoordinasikan tidak terdapat hubungan
hierarkis yang kuat sehingga berdampak pada ketidaktegasan perumusan tugas,
wewenang dan tanggung jawab di tiap-tiap satuan kerja (Handayaningrat, 1989).

Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan di Bab II bahwa kadaster kelautan


di Australia dan Kanada masih diselenggarakan oleh beberapa badan pemerintah.
Berbeda dengan penyelenggaraan kadaster kelautan di Amerika yang
diselenggarakan oleh satu badan, yaitu The National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA). NOAA merupakan badan pemerintah federal yang
berbasis ilmu pengetahuan di Departemen Perdagangan Amerika Serikat yang
bertanggung jawab pada regulasi, operasional, dan layanan informasi terkait
kelautan dan atmosfer. Dari 15 departemen yang ada di Amerika, Departemen
Perdagangan adalah departemen yang berhubungan dengan
pertumbuhan ekonomi. Kadaster kelautan di Amerika merupakan salah satu
sistem informasi yang digunakan oleh Departemen Perdagangan untuk

261
meningkatkan standar hidup seluruh masyarakat Amerika dengan menciptakan
infrastruktur di laut yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, daya
saing teknologi, dan pembangunan berkelanjutan.

Beberapa penjelasan di atas dikaitkan dengan tata kelola dan kelembagaan


kadaster kelautan di Indonesia adalah sebaiknya kadaster kelautan di Indonesia
dapat diselenggarakan oleh satu lembaga setingkat kementerian atau badan yang
bukan hanya berfungsi sebagai koordinator, tetapi dapat menyelenggarakan fungsi
merumuskan kebijakan, menyelenggarakan pemerintahan, dan pengawasan/
pengendalian yang didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan dalam bidang sains dan teknologi kelautan.

262
Bab V Kesimpulan dan Saran

V.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan kadaster kelautan untuk Negara Kesatuan Republik


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki tingkat kompleksitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan penyelenggaraan kadaster kelautan di negara
non-kepulauan.

2. Perbedaan unsur-unsur utama kadaster kelautan di negara Australia, Kanada


dan Amerika terhadap kondisi pemanfaatan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia serta konstitusi negara Indonesia sebagai negara kepulauan terletak
pada unsur wilayah laut, sistem kepemerintahan, undang-undang dan
persoalan laut adat.

3. Diperlukan pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia dalam


perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam wujud model pola
penyelenggaraan kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai negara
kepulauan.

4. Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan untuk Indonesia sebagai


negara kepulauan dapat dibangun dengan menggunakan definisi kadaster
kelautan dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan dan asas-asas
di dalam UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yakni keberlanjutan,
konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran
serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan.

5. Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan digunakan sebagai rumusan


penyelesaian permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor,
antar pusat dan daerah, antar pemerintah daerah di perairan Selat Madura
Provinsi Jawa Timur.

263
6. Model pola penyelenggaraan kadaster kelautan di Indonesia yang
keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan,
pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi,
akuntabilitas, dan keadilan dapat digunakan sebagai operasional sistem untuk
mewujudkan pemerintahan di laut.

V.2 Saran

Saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan proses dan hasil penelitian meliputi
aspek penerapan dan aspek pengembangan sebagai berikut:

1. Pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan


adalah pengelolaan yang berbasis pada otonomi daerah, oleh karena itu
kadaster kelautan sebagai sistem untuk menjalankan pemerintahan di laut
akan berjalan jika setiap daerah menjalankan fungsi pemerintahan di laut
sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU RI No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

2. Impact Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang


multikultural salah satunya adalah adanya laut wilayah adat Perlu kajian yang
lebih mendalam tentang persoalan adat dalam mengelola wilayah pesisir dan
laut secara terpadu.

3. Untuk mewujudkan makna kedaulatan di laut perlu melakukan integrasi


terhadap unsur-unsur penyelenggaraan kelautan Indonesia: wilayah laut;
pembangunan kelautan; pengelolaan kelautan; pengembangan kelautan;
pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; pertahanan,
keamanan, penegakan hukum dan keselamatan di laut; tata kelola dan
kelembagaan.

4. Perlu dibentuk suatu Badan Kedaulatan di Laut, antara lain untuk


menyelenggarakan pengelolaan kadaster kelautan di Indonesia.

264
5. Untuk merumuskan kebijakan Pengembangan Sumber Daya Kelautan;
Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di laut;
Peningkatan Kesejahteraan; Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan
Lingkungan Laut perlu dilakukan estimasi rasio jumlah kapal terhadap luas
wilayah laut Indonesia.

6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait aspek kartografi peta kadaster
kelautan Indonesia yang menampilkan informasi geospasial di permukaan
laut, kolom laut, dan dasar laut.

7. Penentuan garis batas di laut dan bagian laut lainnya (contoh: batas Selat
Madura) harus dimasukkan sebagai obyek di dalam kegiatan toponimi laut
Indonesia dalam upaya mewujudkan Pembangunan Kelautan Indonesia pada
Pasal 13 UU RI No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

8. Perlu dirumuskan kebijakan pemerintah (dalam bentuk peraturan pemerintah


maupun peraturan daerah) terkait pengelolaan wilayah pesisir dan laut, antara
lain efisiensi perijinan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

265
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku dan Penelitian

Abdulharis, R., Djunarsjah, E., dan Hernandi, A. (2008): Stakeholder Analysis on


Implementation of Marine Cadastre in Indonesia, Proceedings FIG
Working Week, Stockholm, Swedia.

Abidin, S. (2004): Kebijakan Publik. Penerbit Pancur Siwah, Jakarta.

Anderson, J. (1979): Public Policy Making: Basic Concept in Political. Praeger


University Series, New York.

Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku (2011): Maluku dalam Angka 2011.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2005): Riset Kadaster Laut Selat Madura.
Departemen Kelautan dan Perikanan.

Bakry, N.M. (1996): Logika Praktis, YP.Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

Barry, M., Elema, I., dan Molen, P. (2003): Ocean Governance in the Netherlands
North Sea the Netherlands, Proceedings FIG Working Week, Paris,
Perancis.

Beveridge,G.S., dan Schechter, R.S. (1970): Optimization Theory and Practice,


International Student Education, McGraw Hill.

Binns, A. (2004): Defining a Marine Cadastre: Legal and Institutional Aspects.


Thesis. Departemen of Geomatics, The University of Melbourne,
Australia.

Binns, A., Rajabifard, A., Collier, P.A dan Williamson, I.(2004): Developing the
Concept of a Marine Cadastre: An Australia Case Study, Departemen of
Geomatics, The University of Melbourne, Australia.

Buchari, A. (1998): Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa, Penerbit CV.


Alfabeta, Bandung.

Chomariyah (2004): Pengelolaan Wilayah Laut Secara Terpadu dalam Perspektif


Hukum, Jurnal, Universitas Hang Tuah.

Cooray, M. (1995): Property Ownership In Australia.

Dartoyo, A. (2004): Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Berbasis


Digital (Studi Kasus: Kabupaten Cilacap Jawa Tengah), Bakosurtanal.

266
Davis, G.B. (1991): Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.

Deriyanto, B. (2010): Visualisasi Objek Kadaster 3D Dengan Menggunakan


Model Hibrid untuk Mendukung Kadaster Kelautan, Tugas Akhir,
Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Dijk, v.J. (2008): The Perspective of Network Government: The struggle between
hierarchies, markets and networks as modes of governance in
contemporary government, A.Meijer.

Djalal, H. (2003): Mengelola Potensi Laut Indonesia, Jakarta, 14 Februari 2003.

Djalal, H. (2014): Indonesia dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982.

Djunarsjah, E. (2008): The Study on the Technical and Legal Aspect of Marine
Cadastre in Indonesia Toward Natural Resources Preservation and
Sustainable Development, LPPM – ITB, Bandung.

Djunarsjah, E. (2011): Prosedur Teknis Pengukuran dan Perpetaan Ruang


Perairan (Pilot Project dalam Rangka Pelayanan Pengukuran dan
Perpetaan Ruang Perairan, Kerjasama BPN RI dan LPPM ITB.

Dror, Y.(1983): Public Policy Making Reexamined. Chandler Publishing,


Seranton.

Dunn (1981): Public Policy Analysis: An Introduction. Englewood Cliffs, New


Jersey.

Dye, T.(1992): Understanding Public Policy 11th Edition. Prentise Hall Inc.New
Jersey.

Falah (2010): Kajian Aspek Teknik Kadaster Kelautan Tiga Dimensi (Studi
Kasus: Pesisir Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau), Tugas
Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Faridha, D. (2010): Identifikasi Objek-Objek Kadaster Perairan Laut Kurang dari


Dua Belas Mil Laut dari Garis Pangkal Kepulauan, Tugas Akhir, Program
Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Fauzi, A. (2005): Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis, dan Gagasan.

Fraser, R., Todd, P., dan Collier, P. (2003): Issues In The Development Of a
Marine Cadastre, Department of Geomatics, The University of
Melbourne, Australia.

Geospatial Services. (2013): National Native Title Tribunal, Australia.

267
Hammar, R.K.R. (2009): Hak Ulayat Laut dalam Perspektif Otonomi Daerah di
Kepulauan Kei dan Papua. Jurnal Mimbar Hukum Vo.21 No.2.

Handayaningrat, S. (1989): Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan


Nasional, CV H Masagung, Jakarta.

Haryono., dan Narni, S. (2006.): Kajian Kemungkinan Penerapan Kadaster Laut


untuk Pertanian Laut di Indonesia (Studi Kasus: Pulau Seribu),
Jurnal,UGM.

Harbimaharani, H. (2010): Kajian Terhadap Kebijakan Kadaster Perairan Laut,


Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Hasymi, F. (2008): Penetapan Batas Laut Daerah sebagai Pendukung Penerapan


Kadaster Kelautan di Indonesia, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan
Geomatika, ITB.

Hendriatiningsih, S., dan Kurniawan, I. (2007): Kajian Aspek Teknis Kadaster


Kelautan, Prosiding FIT ISI, Teknik Geomatika ITS, Surabaya.

Hernandi, A., Abdulharis, R., Hendriatiningsih, S., dan Ling, M. (2012): An


Institutional Analysis of Customary Marine Tenure in Maluku: Towards
Implementation Marine Cadastre in Indonesia, Proceedings FIG Working
Week, Roma, Italia.

Imron (2010): Identifikasi Objek-Objek Kadaster Perairan Laut di Luar 12 Mil


Laut, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Indrajit (2001): Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Gramedia, Jakarta.

Ives, D., Yan, Y.C. (2004): A Report on Commonwealth Association for Public
Administration and Management/ CAPAM’s 10th Anniversary Biennial
Conference, Singapore.

Jogiyanto, H.M. (2005): Analisis dan Desain Sistem Informasi: Pendekatan


Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis, Andi Yogyakarta.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010): Penyusunan Rencana Zonasi


Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2011.

Kusumastanto, T. dan Satria, A. (2007): Strategi Pembangunan Desa Pesisir


Mandiri.

Lasswell (1970): A preview of Policy Sciences. American Elsevier Publishing Co,


New York.

Mårtensson (2004): The French Ecologic Protection Zone - Developing Marine


Environmental Protection in International Law.

268
Moran, M. (2006): The Oxford Handbook of Public Policy. New York: Oxford
University Press Inc.

Murdick, R.G. (1997): Sistem Informasi untuk Manajemen Modern, Penerbit


Erlangga, Jakarta.

Newstrom, J.W dan Davis, K.E. (1977): Human behavior at work: organizational
behavior, McGraw-Hill New York.

Newstrom, J.W dan Davis, K.E. (2000): Perilaku dalam Organisasi, Edisi
ketujuh, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Ng'ang'a., Nichols., Sutherland., dan Cockburn. (2001): Towards A


Multidimensional Marine Cadastre in Support of Good Ocean
Governance, Canada.

Ng'ang'a., dan Nichols. (2002): The Role of Bathymetry Data in a Marine


Cadastre: Lessons from The Proposed Musquash Marine Protected Area,
University of New Brunswick Canada.

Oetomo, A.(2015): Pemerintahan di Laut, Buku Induk Perkuliahan, Akademi


Keamanan dan Keselamatan Laut.

Pace, R. W. dan Faules, D. F. (1994). Organizational communication. Englewood


Cliffs, N.J: Prentice Hall.

Puspa, A. (2007): Kajian Peletakan Kabel dan Pipa Bawah Laut dalam
Kaitannya dengan Penerapan Kadaster Kelautan di Indonesia, Tugas
Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Rais, J. (2002): Memperkenalkan Konsep Kadaster Laut di Indonesia. Prosiding


FIT ISI, Jurusan Teknik Geodesi Fakutlas Teknik Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

Rais, J. (2003): Agraria atau Pertanahan.

Rais, J. (2004): Menata Ruang Laut Terpadu, PT Pradyana Paramita, Jakarta.

Rais, J. (2009): Pengantar Kadaster Laut di Indonesia, Jurnal ISI-UNDIP,


Semarang.

Rao, S. (1990): Optimization: Theory and Applications, Wiley Eastern Limited.

Sasmojo, S. (2004): Science, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan.

Sesli, F., dan Uslu, G. (2010): The importance of marine cadastre for Turkey,
African Journal of Agricultural Research Vol. 5(14), pp. 1749-1758.

269
Simatupang, T.M. (1995): Pemodelan Sistem, Penerbit Nindita-Klaten.

Siregar, A.M. (2004): Kajian Produk Hukum Kepesisiran dan Kelautan Dalam
Perspektif Pelaksanaan Sistem Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut
Secara Terpadu, Tesis, Program Magister Studi Pembangunan, ITB.

Solihin, A. (2009): Menantikan Pembangunan Hukum Kelautan Jurnal Fakultas


Ilmu Administrasi Universitas Hang Tuah Surabaya.

Solomon, R.C. (1985): Introducing Philosophy: A Text With Readings, 3rded.,


Harcourt Brace Jovanovich, Inc., Florida.

Sook, H., Lee., dan Shin, D. (2010): Issues with Building a Marine Cadastre
System in South Korea, Proceedings FIG Working Week, Sydney,
Australia.

Steudler, D. (2004): A Framework for the Evaluation of Land Administration


Systems, Thesis, Department of Geomatics, The University of Melbourne,
Victoria 3010, Australia.

Steudler, D., Rajbifard, A., dan Williamson, I.P. (2004): Evaluation of Land
Administration Systems, Journal for Land Use Policy, Department of
Geomatics, The University of Melbourne, Victoria 3010, Australia.

Stephen, W.G., dan Stephen, C.W. (1996): The Role of Ignorance in Intergroup
Ralation, N.Miller&M.B Brewer, New York.

Stewart, R. (1993). Broken Lives: A personal View of the Bosnian Conflict.


Harper Collins, London.

Srebo, H., Fabrikant, I., dan Marom, O. (2010): Towards a Marine Cadastre in
Israel, Proceedings FIG Working Week, Sydney, Australia.

SULASDI, W.N. (2010): Tingkat Realisasi Pemetaan Komponen-Komponen


Integralistik dalam Perekayasaan Wilayah Pesisir dan Lautan di Indonesia,
Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung.

SULASDI, W.N. (2007): Optimisasi Perekayasaan Hidrografi, Wilayah Pesisir


dan Laut, Kelompok Keahlian Sains dan Rekayasa Hidrografi, ITB.

Sulistiyo, B. (2004): Sebuah Pemikiran Kadaster Laut sebagai Langkah Menuju


Penataan Wilayah Laut, Jurnal, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Sumaryo (2007): Arti Penting Penetapan dan Pengasan Batas Daerah di laut
Dalam Rangka Pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3),
Jurnal, Teknik Geomatika ITS, Surabaya.

270
Tamtomo, J.P. (2004): The Needs for Building Concept and Authorizing
Implementation of Marine Cadastre in Indonesia, Jurnal, Indonesia.

Tamtomo, J.P. (2006): Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Sudi Kasus di Wilayah Pulau
Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau), Disertasi Program Doktor, IPB.

UN-FIG. (1999): The Bathurst Declaration on Land Administration for Sustainabl


Development. Report from the UN-FIG Workshop on "Land Tenure and
Cadastral Infrastructures for Sustainable Development", Bathurst,
NSW,Australia.

Vaez., S. (2009): Marine Cadastres and Marine Administration, Short Course on


Modern Cadastres and Land Administration, University of Melbourne,
Australia.

Wahyono, A. (2000): Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Media


Pressindo, Jakarta.

Wayne, W. (1994): Operations Research: Applications and Algorithms, 3rd


Edition, Wadsworth, Belmont.

Wisayantono, D. (2009): Optimisasi Spasial Ratio Lahan dalam Pengelolaan


Sumber Daya Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan, Disertasi Program
Doktor, ITB.

Waljiyanto (1998): Kadaster sebagai Basis Sistem Informasi Pertanahan,Seminar


Nasional Dies XXVIII KMTG FT-UGM, 28 September 1998, Yogyakarta.

Widiastuty, R.(2014): Analisa Penetapan Batas Pengelolaan Laut Daerah


Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012
(Studi Kasus: Sengketa Pulau Galang Perbatasan Antara Kota Surabaya
dan Kabupaten Gresik), Tugas Akhir, ITS Surabaya.

Widodo, S. (2004): Relationship of Marine Cadastre and Marine Spatial Planning


in Indonesia, Jurnal, Indonesia.

Williamson, I., dan Wallace, J. (2007): New Roles of Land Administration


Systems, Mongolia.

Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J., dan Rajabifard, A. (2010): Land
Administration for Sustainable Development, Esri.

Yuwono (2006): Pemanfaatan Survai dan Pemetaan Laut untuk Menyongsong


Kadaster Laut (Marine Cadastre), Jurnal, Teknik Geomatika FTSP-ITS.

271
Zaenudin, D. (2008): Kajian Aspek Legal dalam Penerapan Kadaster Kelautan di
Provinsi Maluku, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika,
ITB.

II. Peraturan Perundangan

UU RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia

UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

UU RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau


Kecil

UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU RI No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

UU RI No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup

UU RI No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau


Kecil

UU RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

UU RI No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan

Permendagri No. 1 Tahun 2006 tentang Penegasan Batas Daerah

Permendagri No.76 Tahun 2012 tentang Penegasan Batas Daerah

Perda Provinsi Jatim No.5 Tahun 2012 tentang RTRW Provinsi Jawa Timur
Tahun 2011-2031

Perda Provinsi Jatrim No.6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2012-
2032

III. Surat Kabar dan Website

ANTARA, 11/4/2011 Pemerintah Desak PLN Tanam Kabel Selat Madura

p3sdlp.litbang.kkp.go.id

http://coinatlantic.ca/

272
http://desabangsa.wordpress.com

http://jdih.esdm.go.id/

http://greatpersie.wordpress.com

http://indonesia.embassy.gov.au

http://indonesian.jakarta.usembassy.gov

http://marinecadastre.gov

http://nasional.kompas.com/read/2012

http://srgi.big.go.id

www.antarajatim.com/PLN Siap Hadapi Laporan "DLU" ke KPK

www.bakosurtanal.go.id

www.balitbangkp.kkp.go.id

www.beritajatim.com/Bahayakan Pelayaran, Kabel Bawah Laut PLN Disoal

www.big.go.id

www.bphmigas.go.id

www.bpkp.go.id/maluku.bpkp

www.bps.go.id

www.bumn.go.id/pelindo3

www.canada.ca

www.canadainternational.gc.ca

www.dfo-mpo.gc.ca

www.dishidros.go.id

www.esdm.go.id

www.fig.net

www.ga.gov.au

273
www.gbrmpa.gov.au

www.googleearth.com

www.jdih.setjen.kemendagri.go.id

www.kewang-haruku.org/sasi.html

www.kompas.com Pipa Kodeco Semakin Mengancam Pelayaran

www.kompas.com/ Pemasangan Pipa Gas Kodeco Tak Sesuai Ketentuan

www.kompas.com/Ratusan Nelayan Pamekasan Kepung Pengeboran Minyak di


Laut

www.kppod.org

www.migas.esdm.go.id

www.noaa.gov

www.policysciences.org

www.ppk-kp3k.kkp.go.id

www.rri.co.id/ Pelindo III Diberi Kelola Alur Pelayaran Barat Surabaya

www.santos.com

www.sindonews.com/PHE hambat pengerukan APBS Tanjung Perak

www.surabayapost.com/Kabel Bawah Laut Jawa-Madura Kembali Tersangkut


Jangkar

www.surya.co.id/ Madura Gelap Gulita 5 Jam, Jangkar Kapal Putuskan Kabel


Bawah Laut PLN

www.tempointeraktif.com/Konflik Nelayan Sampang

www.thecanadianencyclopedia.ca

www.tribuns.com/Bangkai 25 Kapal Ganggu Pelayaran Pelabuhan Tanjung Perak

www.tribunnews.com/regional/2014/06/04/ribuan-marinir-serbu-pantai-
banongan-situbondo

www.wikipedia.com

274

Anda mungkin juga menyukai