Anda di halaman 1dari 168

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA

PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN


PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
DI TERNATE, MALUKU UTARA

Oleh :

YULISTYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam


disertasi saya yang berjudul :
“ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA
PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG
BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan
pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada
program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.

Bogor, Pebruari 2006

Yulistyo
C 561030154
ABSTRAK

YULISTYO. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA


PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG
BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA
Di bawah bimbingan Mulyono S. Baskoro sebagai ketua, Daniel R. Monintja
dan Budhi Hascaryo Iskandar masing-masing sebagai anggota.

Ternate adalah salah satu kota di Maluku Utara yang mempunyai potensi
kelimpahan sumberdaya perikanan tangkap yang tinggi. Berdasarkan sumber data
(DKP dan LIPI 2001), sumberdaya perikanan di Ternate, Maluku Utara masih
under exploited dibandingkan Laut Jawa yang menunjukkan gejala tangkap lebih
(over fishing). Situasi ini membuka peluang untuk mengembangkan perikanan
tangkap di Ternate dengan berpedoman pada CCRF.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menyusun suatu konsep pengembangan
armada kapal perikanan yang terstruktur, baik untuk nelayan tradisional maupun
perusahaan besar sekalipun dan (2) menyusun kebijakan yang nantinya dapat
dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi penga mbil keputusan dalam kaitannya
dengan armada penangkapan yang akan beroperasi di perairan Maluku Utara,
khususnya di Ternate.
Metode analisis seperti AHP, SWOT, Analisis Finansial dan Linear Goal
Programming digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kapal pole and line dengan ukuran 10 - 30 GT menjadi prioritas pertama
untuk dikembangkan dengan alokasi sebanyak 24 unit, diikuti dengan kapal purse
seine dengan ukuran 10 - 30 GT dengan alokasi sebesar 4 unit, dan kapal handline
lebih kecil dari 10 GT dengan alokasi sebanyak 347 unit.
Untuk mempercepat pembangunan perikanan tangkap di Ternate, beberapa
alternatif dijadikan pertimbangan untuk pelaksanaannya yaitu (1) membangun
pasar untuk memasarkan hasil hasil perikanan, (2) membangun fasilitas pasca
panen dan processing dan (3) membangun/mengembangkan Pelabuhan Perikanan
Nusantara Ternate.

Kata Kunci : Kapal Perikanan, Pengembangan, CCRF, Ternate, Pole and Line
ABSTRACT

YULISTYO. Policy Analysis of Fishing Fleet Development Based on Code of


Conduct for Responsible Fisheries in Ternate, North Maluku.
Under Supervision of Mulyono S. Baskoro, Daniel R. Monintja, and Budhi
Hascaryo Iskandar.

Ternate, one of the areas in the northern part of Molucas has a plenty of
fisheries resources especially in capture fisheries. Based on the available data
(DKP dan LIPI, 2001), this resources still under exploited comparing to the one in
Java Sea which has over exploited (over fishing). This situation gives an
opportunity for developing the capture fisheries in Ternate by taken into account
the Code of Conduct for Responsible Fisheries.
The objectives of the research are: (1) to construct a concept for fishing fleet
development that applicable both for small and large scale of fisheries business,
and (2) to developed design a policy related to appropriate fishing fleet that
consider to be operated in Ternate.
The analysis methods such as AHP, SWOT, Financial Analysis, and Linear
Goal Programming are used in this research as tools to fulfill the objectives. The
result show that pole and line fleet between 10-30 GT lies on the first priority to
be developed with 24 units allocations then followed by purse seine between
10-30 GT with 4 units allocations and handline under 10 GT with 347 units
allocations.
In order to accelerate the development of fisheries sector in Ternate, some
alternative considerations should be taken into account i.e. first to build a market
for fisheries business, second to develop post harvest and processing facilities and
the third to develop a fishing port in Ternate.

Keywords: Fishing fleet, development, Code of Conduct for Responsible


Fisheries, Ternate, pole and line.
ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA
PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN
PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
DI TERNATE, MALUKU UTARA

Oleh :
YULISTYO
C 561030154

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Pengembangan


Armada Penangkapan Ikan Berbasis
Ketentuan Perikanan yang Bertanggung
Jawab di Ternate, Maluku Utara
Nama Mahasiswa : Yulistyo
Nomor Pokok : C 561030154
Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.


Ketua

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si
Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1961 dari Bapak


bernama Drs. H. Mudho Harsono dan Ibu bernama Hj. Suharti Sukasuwasih
(Alm). Penulis menikah tahun 1988 dengan Dra. Hj. Daina Rahmi, MM dan telah
dikaruniai 2 (dua) orang putra dan 1 (satu) orang putri yaitu Anandhita Kasetra,
Prima Yudantra dan Chinta Yulidantri.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 3 Jakarta pada
tahun 1973. Tahun 1976 menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah
Pertama di SMP Negeri 3 Jakarta dan selanjutnya menyelesaikan pendidikan
Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMA Negeri 3 Jakarta tahun 1980.
Sejak tahun 1980, penulis mengikuti kuliah S1 di Fakultas Perikanan
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada
tahun 1985. Pada tahun 1986 sampai 1989 diangkat sebagai Tenaga Teknis
Perikanan Pada Direktorat Bina Program Ditjen Perikanan Departemen Pertanian.
Pada tahun 1989 Penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar dari
ASEAN-ADPC (Agricultural Development Planning Centre) Kerjasama dengan
US-AID di bidang Agricultural Economic di Kasetsart University, Bangkok-
Thailand, dan selesai tahun 1991.
Tahun 1992 – 1998 penulis menjadi Kepala Dinas Perikanan Kabupaten
Belitung Propinsi Sumatera Selatan, kemudian pada tahun 1998 – 2001 menjadi
Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara/Samudera Belawan Medan, selanjutnya
tahun 2001 – 2002 penulis menjadi kepala Pusat Informasi dan Pelayanan
Masyarakat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), tahun 2002 – 2004
penulis menjadi Direktur Sarana Perikanan Tangkap Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap DKP, Tahun 2004 – 2005 menjadi Kepala Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Aparatur DKP dan selanjutnya menjadi Widyaiswara di DKP dari
tahun 2005 sampai sekarang.
Pada tahun 2003 penulis melanjutkan Pendidikan Program Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini yang dibuat sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini
merupakan hasil penelitian penulis dengan judul “Analisis Kebijakan
Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang
Bertanggung Jawab di Ternate, Maluku Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang tulus kepada :
1. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dan Dr. Ir.
Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si sebagai komisi pembimbing; yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya
disertasi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc selaku Dekan Sekolah Pascasarjana,
beserta staf atas penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan
3. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Teknologi
Kelautan, Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai Ketua Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, beserta staf atas segala perhatian dan
penyediaan fasilitas pendidikan.
4. Departemen Kelautan dan Perikanan, selaku instansi tempat penulis bekerja
yang telah memberikan izin dan bantuan untuk mengikuti pendidikan pada
Sekolah Pascasarjana.
5. Ketua Bappeda Kota Ternate, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Maluku Utara, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, Kepala
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate dan segenap jajarannya atas izin yang
diberikan serta bantuan fasilitas selama penelitian berlangsung.
6. Ayahanda, Istri dan Anak-anak tercinta serta seluruh keluarga yang tidak
pernah berhenti mencurahkan kasih sayang serta dukungannya kepada penulis
dalam suka dan duka.

i
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu atas segala perhatian
dan bantuannya sehingga disertasi ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih terdapat berbagai
kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan agar lebih memberikan bobot terhadap kesempurnaan tulisan ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi
terhadap pengembangan armada perikanan tangkap di Indonesia.

Bogor, Pebruari 2006

Yulistyo

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... viii
1 PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 12
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 12
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 13
1.6 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 14
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 15
2.1 Pembangunan Sub Sektor Perikanan Tangkap ....................................... 15
2.2 Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perikanan Tangkap ......................... 16
2.3 Perkembangan Armada, Produksi dan Nilai Hasil Perikanan ................ 18
2.4 Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap ...................... 24
2.5 Analisis SWOT ...................................................................................... 27
2.6 Memilih Keputusan yang Baik ............................................................... 28
2.7 Code of Conduct for Responsible Fisheries ........................................... 30
2.8 Analytical Hierarchy Process (AHP) .................................................... 31
2.9 Linear Goal Programming ..................................................................... 32
3 METODOLOGI .............................................................................................. 34
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 34
3.2 Metode Pengumpulan Data .................................................................... 34
3.3 Teori SWOT ........................................................................................... 35
3.4 Analytical Hierarchy Process (AHP) ..................................................... 38
3.5 Analisis Finansial .................................................................................. 41
3.6 Linear Goal Programming ..................................................................... 43
3.7 Code of Conduct for Responsible Fisheries ........................................... 44
3.8 Metode Analisis Tentang Kapal Perikanan ............................................ 45

iii
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 58
4.1 Profil........................................................................................................ 58
4.2 Keragaan Perikanan Tangkap.................................................................. 60
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 70
5.1 Analisis SWOT ...................................................................................... 70
5.2 Analisis Kebijakan ................................................................................ 82
5.3 Analisis Finansial.................................................................................... 115
5.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries ........................................... 122
5.5 Keragaan Desain Kapal Perikanan ......................................................... 127
5.6 Linear Goal Programming ..................................................................... 140
6 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 146
6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 146
6.2 Saran ...................................................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 148
LAMPIRAN ........................................................................................................... 152

iv
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2001 – 2003 ....................... 18


2. Penyediaan Ikan untuk Konsumsi Dalam Negeri Tahun 2001 – 2003 ................ 19
3. Perkembangan Ekspor Impor Perikanan Tahun 2001 – 2003 .............................. 21
4. Perkembangan Jumlah Kapal Perikanan Tahun 2001-2003 ................................ 22
5. Perkembangan Jumlah Nelayan Tahun 2001 – 2003 ........................................... 23
6. Produktivitas Nelayan Tahun 2001 – 2003 .......................................................... 24
7. Tingkat Pemanfaatan SDI .................................................................................... 25
8. Model Matriks Analisis SWOT dan TOWS ........................................................ 37
9. Nilai Skala Perbandingan Berpasangan ............................................................... 41
10. Produksi tahunan menurut jenis ikan dan jenis alat tangkap terpilih di Maluku
Utara .................................................................................................................... 62
11. Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate .......................................... 62
12. Produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di Kota Ternate ................. 63
13. Kapal motor menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate ................................... 67
14. Jumlah unit penangkapan terpilih di Kota Ternate ............................................... 67
15. Matriks Faktor Strategi Internal Pengembangan Armada Kapal Ikan yang
Bertanggung Jawab ............................................................................................... 71
16. Matriks Faktor Strategi Eksternal Pengembangan Armada kapal Ikan yang
Bertanggung Jawab ............................................................................................... 72
17. Model Matriks Analisis SWOT ............................................................................ 73
18. Matriks Penyusunan Rangking dalam Analisis SWOTpada Pengembangan
Armada Kapal Perikanan yang Bertanggung Jawab ........................................... 74
19. Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Armada Kapal Perikanan yang
Bertanggung Jawab ............................................................................................... 74
20. Target dan Realisasi Penerimaan Pungutan Perikanan Bersumber dari
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan............................................................................. 90
21. Hasil Penilaian Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate
untuk Tingkat 2 (Kriteria) dan Tingkat 3 (Kendala ) ............................................. 105

v
22. Hasil Penilaian Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate
untuk Tingkat 4 (Alternatif) ................................................................................. 105
23. Perkembangan Produksi Perikanan dirinci Menurut Kecamatan pada Tahun
2002-2004.............................................................................................................. 107
24. Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate
Tahun 2002-2004 .................................................................................................. 108
25. Skor untuk Kriteria dan Permasalahan dalam Kebijakan Pengembangan
Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate ........................................................ 111
26. Skor untuk Alternatif dalam Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan
Ikan di Kota Ternate.............................................................................................. 114
27. Analisis Net Present Value (NPV) Usaha Perikanan Berdasarkan Jenis Alat
Tangkap ................................................................................................................. 115
28. Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Usaha Perikanan Berdasarkan
Jenis Alat Tangkap ................................................................................................ 116
29. Analisis Internal Rate of Return (IRR) Usaha Perikanan Berdasarkan Jenis Alat
Tangkap ................................................................................................................. 117
30. Nilai Scoring Berdasarkan NPV, B/C, IRR .......................................................... 117
31. Analisis Finansial Berdasarkan Klasifikasi Ukuran Kapal .................................. 118
32. Kenaikan harga ikan akibat kenaikan BBM ........................................................ 120
33. Analisis Finansial dengan Harga BBM per 1 Nopember 2005 dan dengan
Harga Ikan Naik Rata-rata 10% ........................................................................... 120
34. Hasil skoring alat tangkap yang memenuhi Code of Conduct for Responsible
Fisheries ................................................................................................................ 123
35. Ukuran Pokok Kapal Kelas 10 GT yang Disurvei................................................ 128
36. Perhitungan Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.08 Meter........................ 131
37. Perhitungan Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.45 Meter........................ 132
38. Parameter Bentuk Kapal 10 GT yang Disurvei..................................................... 133
39. Scantling Kapal 10 GT yang Disurvei serta Ketentuan BKI ................................ 133
40. Hasil Surve i Ukuran Kapal 10 GT ........................................................................ 134
41. Biaya Investasi Kapal Uk uran 10 GT dengan Pole and Line ............................... 138
42. Biaya Modal Kerja Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line .......................... 138

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Potensi Ikan.............................................................................................. 4


2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran .................................................................. 14
3. Metode Moorsom / Sympson’s Rules ............................................................. 55
4. Peta Propinsi Maluku Utara ............................................................................. 58
5. Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate ..................................... 63
6. Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih
di Kota Ternate ................................................................................................. 64
7. Musim Puncak Penangkapan Untuk Pelagis Besar ............................................. 65
8. Perkembangan Kapal Motor Menurut Ukuran Kapal (GT) di Kota Ternate ... 67
9. Perkembangan Jumlah Unit Penangkapan Terpilih di Kota Ternate ............... 68
10. Hirarki Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate .......... 104
11. Diagram Tingkat Permasalahan dalam Kebijakan Pembangunan Perikanan
Tangkap di Kota Ternate ................................................................................. 105
12. Diagram Tingkat Alternatif dalam Kebijakan Pembangunan Perikanan
Tangkap di Kota Ternate .................................................................................. 105
13
Perkembangan produksi perikanan Kota Ternate per Kecamatan ...................... 107
14 Perkembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate ................................ 108
15. Hirarki Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan
di Kota Ternate ................................................................................................ 113
16. Data Pasokan BBM Solar di PPN Ternate ...................................................... 121
17. Rencana Garis (Lines Plan) Kapal Multipurpose 10 GT ................................. 130
18. Desain Kapal Pole and line 10 GT .................................................................. 135
19. Desain kapal purse seine 10 GT ...................................................................... 136
20. Hasil Analisis Data Linear Goal Programming................................................ 143

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Re turn (IRR), Ratio


Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang
(Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Pole and Line
10 – 30 GT........................................................................................................... 153
2 Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio
Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang
(Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Purse Seine
10 – 30 GT........................................................................................................... 154
3 Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio
Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang
(Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Bottom Hand Line
= 10GT ................................................................................................................ 155
4 Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio
Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang
(Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Pole And Line
10 – 30 GT dengan Harga BBM Solar Rp. 4300/liter dan Harga Ikan Naik
Rata-rata 10% ...................................................................................................... 156
5 Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio
Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang
(Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Purse Seine
10 – 30 GT dengan Harga BBM Solar Rp. 4300/liter dan Harga Ikan Naik
Rata-rata 10% ...................................................................................................... 157
6 Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio
Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang
(Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Bottom Hand Line
= 10GT dengan Harga BBM Solar Rp. 4300/liter dan Harga Ikan Naik
Rata-rata 10% ...................................................................................................... 158
7. Kapal Huhate (Pole and Line) 10 – 30 GT.......................................................... 159

viii
8 Kapal Purse Seine (Pajeko)................................................................................. 160
9 Kapal Bottom Handline = 10 GT ........................................................................ 161
10 Kapal Gillnet = 10 GT......................................................................................... 162
11 Ikan Hasil Tangkapan.......................................................................................... 163

ix
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan pembangunan terpusat seperti pada era lalu dianggap tidak akan
mampu lagi mengikuti dinamika masyarakat dan perubahan eksternal yang
berkembang semakin cepat, sehingga desentralisasi pembangunan dinilai
memiliki makna yang semakin penting. Inti dari desentralisasi ini pada dasarnya
adalah pemberdayaan wilayah dan masyarakat, serta pengembangan prakarsa dan
kreativitas lokal. Desentralisasi memungkinkan daerah-daerah tersebut
mempunyai kewenangan dan keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan
kebijakan sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat serta kondisi daerahnya
masing- masing.
Salah satu wujud dari implementasi desentralisasi adalah ditindakla njutinya
gagasan otonomi daerah melalui penetapan UU nomor 22/1999 jo UU nomor
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal menarik yang patut dicermati adalah
adanya salah satu pasal yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan
wilayah perairan laut dalam skenario otonomi daerah. Disebutkan dalam Pasal 10,
bahwa daerah propinsi berwenang mengelola wilayah laut maksimum sejauh 12
mil dari garis pantai, sementara daerah tingkat dua (Dati II) berwenang mengelola
wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah propinsi atau sekitar 4
mil laut dari garis pantai. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan
kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan
laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan
administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum.
Jelas bahwa implementasi otonomi daerah membawa sejumlah implikasi
terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan. Pertama, sudah
seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya
sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penentuan jenis
dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Kedua, daerah dituntut
bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan di daerahnya itu.
Ketiga, semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal, utamanya nelayan untuk
terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya.
Disisi lain, globalisasi perekonomian dan liberalisasi perdagangan dunia
sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia yang menganut sistem
ekonomi terbuka. Globalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks dan
kompetitif menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Pergerakan ke arah tingkat
efisiensi ini menuntut penggunaan teknologi tinggi yang semakin intensif yang
harus tetap memperhatikan asas-asas kelestarian lingkungan, serta kemampuan
manajerial dan profesionalisme yang semakin meningkat pula. Dampak lain dari
kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam kualitas produk termasuk
produk dan jasa dari sub sektor perikanan tangkap.
Terdapat 7 alasan utama mengapa sektor kela utan dan perikanan perlu
dibangun. Pertama, Indonesia memiliki sumber daya laut yang besar baik ditinjau
dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Indonesia memiliki daya saing
(competitive advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan
sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang
dihasilkannya. Ketiga, industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki
keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri- industri
lainnnya. Keempat, sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan
sumber daya yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga
bertahan dalam jangka panjang asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; Kelima,
investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi yang relatif tinggi
sebagaimana dicerminkan dalam Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang
rendah (3,4) dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula seperti
digambarkan dengan Incremental Labor Output Ratio (ILOR) sebesar 7-9.
Keenam, pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan
input rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar. Ketujuh,
dengan berkembangnya sektor kelautan dan perikanan nasional akan semakin
mendukung upaya peningkatan ketahanan nasional, mengingat wilayah laut di
KTI hingga saat ini merupakan salah satu basis wilayah praktek perikanan ilegal
oleh kapal ikan asing (Dahuri, 2003).
Usaha penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia saat
ini telah berkembang dengan pesat. Perkembanga n tersebut, telah menyebabkan
tingginya tekanan pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan di beberapa wilayah

2
perairan Indonesia, sehingga telah menyebabkan terjadinya over fishing seperti di
laut Jawa dan Selat Malaka. Namun demikian di beberapa WPP lainnya masih
terdapat peluang usaha penangkapan yang masih dapat dikembangkan seperti di
WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Bila perkembangan pemanfaatan
sumberdaya ikan tidak terkendali hingga tingkat pemanfaatannya melebihi daya
dukung sumberdayanya, maka kelestarian sumberdaya ikan akan terancam, dan
sebagai akibatnya kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan juga akan
terancam.
Agar kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dan kelangsungan
pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terjamin, maka pengelolaan sumberdaya
ikannya harus dilakukan secara benar. Pengelolaan sumberdaya ikan secara benar
adalah sesuai dengan Undang-Undang Perikanan No 31 tahun 2004 tentang
Perikanan dan Kode Etik Perikanan yang bertanggung Jawab (Code of Conduct
for Responsible Fisheries/CCRF ). Dengan menerapkan pengelolaan sumberdaya
ikan secara benar diharapkan dapat mencegah terjadinya penangkapan yang
berlebihan atau dapat memulihkan status sumberdaya ikan yang telah mengalami
degradasi (Dahuri, 2002).
WPP di wilayah Ternate menurut penelitian BRKP masih bisa dilakukan
eksploitasi. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan
oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP DKP pada tahun 2001, untuk Wilayah
Pengelolaan Perikanan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing
seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72
%) serta Laut Banda (102,74 %). Sedangkan tingkat pemanfaatan di wilayah
pengelolaan lainnya adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku,
Teluk Tomini dan Seram 41,83 % (PRPT-BRKP, 2001).
Peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan untuk Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDl pelagis
besar, pelagis kecil dan demersal. Menurut Peta potensi ikan di Ternate masih bisa
dieksploitasi untuk ikan Cakalang dengan potensi 36.000 ton baru di produksi
18.000 ton dan Ikan Albakora dengan potensi 34.000 ton baru diproduksi 15.000
ton (www.dkp.go.id).

3
Sumber : BRKP – DKP (2001).

Gambar 1 Peta Potensi Ikan

Sumberdaya ikan yang cukup melimpah tidak mempunyai arti dari sisi
ekonomi apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan sis tematis untuk
mendayagunakannya sehingga mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan.
Salah satu sarana yang sangat penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya
ikan di laut adalah armada penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap
ikan. Selama ini pengembangan armada perikanan harus diakui belum ditangani
secara memadai karena adanya berbagai masalah, terutama yang terkait dengan
kewenangan dalam pembinaannya yang masih menyebar di berbagai institusi.
Untuk itu perlu adanya kesamaan persepsi dan langkah-langkah dari seluruh pihak
sehingga armada perikanan Indonesia dapat berkembang sebagaimana yang
diharapkan.
Armada penangkapan ikan yang di kota Ternate masih perlu dikembangkan
mengingat bahwa secara fisik-geografis sebagian besar wilayah KTI termasuk
Ternate adalah laut yang mengandung kekayaan sumberdaya hayati yang sangat
besar baik dari jumlah maupun diversitas, yang hingga saat ini pemanfaatannya
belum maksimal.

4
Selanjutnya armada perikanan di Ternate yang didominasi armada skala
kecil telah banyak menimbulkan berbagai persoalan. Data tahun 2004
menunjukkan jumlah armada penangkapan ikan yang ada di kota Ternate
sebanyak 1125 buah kapal yang didominasi perahu tanpa motor sebanyak 762
buah atau 67,73% , kemudian motor tempel sebanyak 344 buah atau 30,57% dan
kapal motor sebanyak 19 buah atau hanya 1,68% dari total keseluruhan jumlah
kapal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate 2005). Dari komposisi yang
ada menunjukkan keterbatasan jangkauan operasi penangkapan sehingga
menyebabkan adanya penumpukkan operasi penangkapan di daerah pantai, pada
akhirnya diyakini akan menimbulkan gejala terjadinya over fishing seperti yang
terjadi di pantai Utara Jawa.
Terbatasnya armada perikanan berukuran besar yang mampu beroperasi di
perairan lepas pantai dan bahkan ZEEI, telah dimanfaatkan oleh kapal asing untuk
menangkap ikan di perairan tersebut dengan berbagai modus operandi. Oleh
karenanya sering terjadi pencurian ikan oleh kapal asing yang menyebabkan
kerugian negara yang tidak kecil, selain me ngganggu kedaulatan negara. Disisi
lain, upaya pengawasan dan patroli yang semakin ditingkatkan belum dapat
mengatasi permasalahan secara keseluruhan karena keterbatasan kemampuan
yang ada, baik di jajaran TNI Angkatan Laut maupun instansi lain yang
berwenang.

1.2 Perumusan Masalah


Permasalahan dalam imp lementasi pembangunan perikanan tangkap
hingga saat ini memiliki beberapa permasalahan, dalam aspek : (1) Pengadaan
sarana produksi, (2) Pembinaan/layanan pendukung, (3) Pemasaran, (4) Proses
produksi, (5) Prasarana, (6) Pengolahan hasil perikanan, dan (7) pemanfaatan
sumberdaya ikan.

1) Aspek pengadaan sarana produksi


Sarana produksi penangkapan ikan seperti alat tangkap, kapal, alat bantu
penangkapan ikan, dan tenaga kerja mempunyai beberapa permasalahan. Masalah
yang muncul dari alat tangkap, disebabkan alat tangkap yang digunakan untuk
kegiatan penangkapan, masih dominan di import. Hal ini disebabkan kualitas dari

5
alat tangkap lebih baik apabila dibandingkan produksi dalam negeri. Kapal yang
diproduksi oleh galangan-galangan kapal di dalam negeri harganya lebih tinggi
dan kualitasnya masih rendah. Demikian pula dengan alat bantu penangkapan
seperti fish finder, GPS, radio untuk komunikasi harganya masih tinggi, sehingga
setiap kapal penangkapan ikan masih sulit menjangkau untuk memiliki alat-alat
bantu penangkapan tersebut.
Permasalahan yang dihadapi dibidang tenaga kerja adalah jumlah banyak
namun keterampilan dan ketahanan melautnya rendah. Meskipun pada
kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara
Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya
secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu
masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial
untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya
insentif di sektor ini.
Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor- faktor
produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain
itu, krisis moneter juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi
nelayan penangkap ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan
demikian telah menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya. Akibat
melonjaknya dolar, harga mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan
barang impor, membumbung tinggi. Harga jaring udang berukuran 1,5 inchi
meningkat dari Rp 27.500 per buah menjadi Rp 75.000-80.000. Mesin Yanmar
10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta.

2) Aspek pembinaan/layanan pendukung


Permasalahan yang muncul dari pembinaan/layanan pendukung adalah: (1)
Kebijakan pemerintah yang diterbitkan masih banyak yang kontradiktif; (2)
Permodalan yang dapat mengakses untuk perbankan rendah; (3) Law enforcement
rendah; (4) Adanya arogansi sektoral antar departemen; (5) Peran kelembagaan
non pemerintah masih rendah.
Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya
ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) Produksi, (2) Pasca panen
(penanganan dan pengolahan), dan (3) Pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem

6
penunjangnya yang meliputi: a) Prasarana dan sarana, b) Finansial/keuangan, c)
Sumberdaya manusia dan IPTEK, dan d) Hukum dan kelembagaan. Kebijakan
pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aqubisnis perikanan dinilai secara
umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan
tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10%
untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak
terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan tangkap
dan sulitnya melakukan investasi.
Dari sisi peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, jika
ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif
memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya.
Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan
instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan
pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa
implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di
Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih
terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun
(cyanida), dan juga aktivitas pena ngkapan ikan secara ilegal, penambangan
karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang
bertanggung jawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over
lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari
satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal
hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai
maupun danau saling terkait satu dengan lainnya.

3) Aspek proses produksi


Permasalahan yang muncul dari proses produksi adalah: (1) Biaya
kelembagaan tinggi, baik yang merupakan biaya legal maupun illegal; (2) Akses
informasi berupa sumberdaya ikan dan informasi pasar masih rendah; (3)
Kepastian hukum tentang perizinan dan pengalokasian daerah penangkapan ikan
masih rendah serta adanya pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah;

7
(4) Asuransi untuk kegiatan dalam bidang penagkapan ikan masih belum
terpecahkan; serta (5) Pendapatan nelayan masih rendah.
Berkaitan dengan gejala overfishing di beberapa kawasan, jenis stok
sumberdaya perikanan yang telah mengalami overfishing adalah udang (hampir
mengalami overfishing di seluruh perairan Indonesia, kecuali L. Seram sampai
Teluk Tomini, L. Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi
tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan
Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan- nelayan kita masih sangat terbatas
sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI.
Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap adalah tentang
pencurian ikan oleh nelayan dan kapal asing. Sebenarnya kalau ditelusuri lebih
jauh ternyata terjadinya surplus hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas
dari peran berbagai pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa
mekanisme sebagai berikut: (1) Pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada
mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing tersebut
diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan eks-charter
yang izinnya telah habis, (2) Kapal ikan eks-charter atau kapal yang baru
dimasukkan dari luar negeri dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri,
(3) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai
ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak
melakukan pembayaran, dan (4) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal
melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurah-
murahnya. Hal tersebut ternyata juga telah menyebabkan kerugian negara sebesar
US$ 1,362 milyar per tahun.
Kondisi di atas antara lain disebabkan masih belum optimalnya
pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang antara lain
disebabkan (1) Kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut yang
menyebabkan intensitas dan efektivitas monitoring serta pengawasan menjadi
berkurang; (2) Pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan
ditangani oleh berbagai instansi, sehingga memerlukan koordinasi; (3) Belum
diberdayakannya Petugas Pengawas Sumberdaya Ikan (WASDI) dan Pengawas
Kapal Ikan (WASKI) secara optimal.

8
Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit
mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam
pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun
masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan di
beberapa daerah sehubungan dengan perebutan fishing ground, dispute antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota, Pemerintah
Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun antar Pemerintah
Kabupaten/Kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan
pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami
hambatan.
Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia
tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan
masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan,
sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat
akurasi dan validasinya juga masih diragukan.
Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan
nelayan. Hal ini terlihat dari kond isi wilayah pesisir yang identik dengan
kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang
terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.
Dalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan
karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan
tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga
kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain
dalam hal pengetahuan/ keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah
terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan
habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau
membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga
disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat
maupun di laut.

9
4) Aspek prasarana
Permasalahan yang muncul dari prasarana kegiatan penangkapan ikan
adalah: (1) Banyak pelabuhan perikanan tidak berfungsi optimal, disebabkan
karena tidak adanya suplai BBM, es, Air tawar, pelelangan, dan suasana
keamanan yang tidak kondusif; (2) Sanitasi/hygiene pelabuhan rendah;
(3) Pelabuhan ekpor terbatas. Prasarana Perikanan yang ada di Propinsi Maluku
Utara terdiri dari 1(satu) buah Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate di Kota
Ternate, 2 (dua) buah Pelabuhan Perikanan Pantai yaitu di Tobelo Halmahera
Utara dan Bacan Halmahera Selatan.

5) Aspek pengolahan
Permasalahan yang muncul dari pengolahan hasil perikanan adalah:
(1) Kelangkaan bahan baku berupa ikan, bahan saus media dan tin plate; dan
(2) Sumber air yang digunakan untuk kegiatan pengolahan.
Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan
pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi
mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan
lainnya) masih lemah. Sebagai contoh, Thailand yang volume produksi ikan
tunanya di bawah Indonesia, ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya
jauh melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat inovatif dan
kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan ikan
tuna, yang antara lain meliputi: (1) Sashimi, sushi (fresh); (2) Frozen; (3) Loin;
(4) Fish Cake; (5) Surimi; (6) Canning; (7) Fish Oil; (8) Salted Fish; (9) Fish
Meal; (10) Fish Ball; (11) Tuna Sausage; (12) Tuna Ham; dan (13) Fish
Crackers.

6) Aspek pemasaran
Permasalahan yang muncul dari pemasaran hasil perikanan adalah: (1)
Market intelligence rendah; (2) Harga tidak kondusif; (3) Pangsa pasar; (4)
Pasar domestik masih lemah; (5) Transportasi belum menunjang.
Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun
ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer
market ). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang

10
menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama
yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah. Pertama,
karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum
memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk
mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari
produsen ke konsumen secara tepat waktu.

7) Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan


Sumberdaya ikan merupakan milik bersama (common resources), sehingga
dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan, menyebabkan
semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan karenanya dapat
menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan
nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar
pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan. Potensi
sumberdaya akan (standing stock) yang terdapat diperairan Maluku Utara
diperkirakan mencapai 694.382,48 ton dengan potensi lestari yang dapat
dimanfaatkan (Maximum Sustainable Yield) sebesar 347.191,24 ton per tahun
yang terdiri dari ikan pelagis besar 211.590.00 ton per tahun dan ikan demersal
135.005,24 ton per tahun. Dari perkiraan potensi tersebut menunjukan bahwa
potensi sumberdaya tersebut cukup prospektif untuk dikelola dan dikembangkan.
Sampai tahun 2002 tingkat pemanfaatan baru mencapai 26,51 %, hal ini masih
dapat ditingkatkan lagi melalui upaya penangkapan yang ramah lingkungan
(PRPT, 2006). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Ternate Maluku Utara
sebagaimana dipesankan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries
diharapkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yg bertanggung jawab
adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan dengan suatu
upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat eksploitasi dengan sumberdaya
ikan yang ada.

11
1.3 Tujuan Penelitian
(1) Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyusun kebijakan
pengembangan armada penangkapan ikan di Ternate, Maluku Utara.

(2) Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : (1) Menyusun pengembangan
armada kapal perikanan yang terstruktur, baik itu yang nantinya akan dioperasikan
oleh nelayan tradisional maupun perusahaan besar sekalipun; dan (2) Menyusun
kebijakan pengembangan yang nantinya dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam kaitannya dengan armada
penangkapan yang akan beroperasi di perairan Maluku Utara, khususnya di
Ternate.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Dalam upaya lebih mempertajam fokus pembahasan agar sesuai dengan
tujuan penelitian, maka dalam studi ini dilakukan pembatasan ruang lingkup
penelitian. Penelitian ini difokuskan hanya dalam lingkup "kebijakan tentang
pengembangan armada penangkapan ikan ". Ruang lingkup penelitian ini, yaitu :
(1) Keadaan perikanan Ternate (Maluku Utara) dimasa kini yang meliputi :
pengadaan sarana produksi, proses produksi, prasarana pelabuhan,
pengelolaan, pemasaran serta pembinaan perikanan
(2) Penjabaran isu–isu lokal, nasional dan global dalam pengembangan
perikanan tangkap.
(3) Permasalahan yang dihadapi oleh perikanan tangkap dilokasi penelitian.
(4) Opini masyarakat dalam pengembangan perikanan tangkap.
(5) Penyusunan kebijakan pengembangan armada.
Pengembangan armada kapal perikanan beserta alat tangkapnya di wilayah
Maluku Utara dalam hal ini di Ternate dalam upaya untuk pemanfaatan sumber
daya alam hayati dan non- hayati laut yang dikelola secara komprehensif dan
berkelanjutan dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan bangsa dalam hal ini
nelayan tradisional.

12
1.5 Manfaat Penelitian
(1) Manfaat bagi pengambil kebijakan (pemerintah)
Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan pemerintah dalam hal
menetapkan kebijakan dan perencanaan pembangunan perikanan tangkap di
tingkat Pusat (Departemen Kelautan & Perikanan, Depnakertrans, Departemen
Dalam Negeri, Kementerian Negara Lingkungan Hidup) dan di tingkat daerah
(BAPPEDA, Dinas Kelautan & Perikanan Propinsi dan Dinas Perikanan
Kabupaten/Kota).
(2) Manfaat bagi masyarakat perikanan setempat
Sebagai bahan pemikiran dan informasi bagi masyarakat perikanan setempat
terutama nelayan untuk dapat mengaplikasikan armada perikanan tangkap yang
kompetitif, produktif dan berkelanjutan.

13
1.6 Kerangka Pemikiran

PERMASALAHAN :
- Pengadaan sarana produksi. - Pemasaran
- Pembinaan/layanan pendukung - Ketimpangan
- proses produksi Pemanfaatan SDI
- Prasarana/Pelabuhan Perikanan
- Pengolahan

KEBIJAKAN PEMERINTAH STATUS PERIKANAN / POLA


YANG ADA (Pusat/Daerah) PENGEMBANGAN DI MASA
KINI

ANALISIS YANG DIGUNAKAN :


SWOT
AHP
FINANSIAL
CCRF
DESAIN KAPAL
LGP

• OPSI PENGEMBANGAN PERIKANAN


YANG BERKELANJUTAN

• OPSI PENGEMBANGAN ARMADA

Tidak/No

Ya/Yes

KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN
ARMADA

Gambar 2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran

14
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Sub-Sektor Perikanan Tangkap


Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila
pengembangan perikanan disuatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan
kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit
penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan
pendapatan ne layan yang memadai (Monintja, 2000). Selanjutnya dalam kaitan
dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit
penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan
yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan
ekonomis.
Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap dilakukan dalam suatu sistem
usaha perikanan tangkap terpadu yang terdiri dari sub sistem produksi,
pengolahan pasca panen, dan pemasaran yang di dukung oleh sub-sistem sarana
produksi yang mencakup sarana dan prasarana, finansial, SDM dan IPTEK serta
hukum dan kelembagaan. Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap akan
terwujud dengan baik apabila komponen-komponennya berjalan secara terpadu.
Pengadaan dan penyediaan sarana produksi harus mampu mendukung kebutuhan
kegiatan produksi atau sebaliknya. Demikian pula dalam kegiatan produksi selain
memperhatikan kondisi ekosistem perairan dan sumber dayanya, juga harus
mengkaitkan dengan kegiatan distribusi dan pemasarannya. Belum tercapainya
tingkat produktivitas dan efisiensi usaha perikanan serta sulitnya pemasaran
hasil, pada dasarnya karena belum dikaitkannya kegiatan berproduksi secara baik
dengan aspek tersedianya sarana dan pemasaran (Ditjen Perikanan Tangkap,
DKP, 2004).
Industri perikanan sebagai bagian dari sistem bisnis perikanan belum besar
peranannya di dalam meningkatkan kesejahteraan petani nelayan. Industri
pengolahan produk perikanan kebanyakan belum mampu memperoleh bahan baku
yang dibutuhkan guna mengoperasikan unit usahanya pada tingkat kapasitas
minimum secara kontinyu. Hal ini pada dasarnya karena belum terjalinnya
keterkaitan antara industri pengolahan dengan pemasok bahan baku. Tantangan
yang dihadapi di dalam pembangunan industri perikanan tangkap pada dasarnya
adalah terwujudnya keberhasilan nelayan dengan industri pengolahan ikan secara
mantap, sehingga mobilisasi pembangunan industri perikanan, seperti industri
pengalengan ikan, dan industri pengolahan ikan lainnya, dapat memberikan
peranan yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan petani nelayan
(Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 2004).

2.2 Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perikanan Tangkap


Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode pene litian dan argumen menghasilkan dan
memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat
dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan
(Dunn, 1998).
Selanjutnya Quandun dalam Dunn, (1998) menyebutkan bahwa analisis
kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan
informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam
menguji pendapat mereka.. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang
paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan
pertimbangan yang tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap
komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-
alternatif baru.
Kebijakan Pemerintah yang sangat penting dan strategis untuk mengatur
pengelolaan perikanan adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 31
tentang Perikanan dimana secara tegas dalam pasal 6 ayat 1 diamanatkan bahwa
Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta
terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Kemudian pasal 6 ayat 2 menyatakan
bahwa Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

16
Berkaitan dengan kebijakan tersebut dan sesuai dengan potensi dan peluang
yang dimiliki Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal
Perikanan telah menetapkan beberapa misi pembangunan perikanan tangkap, yaitu
: (1) mengendalikan pemanfaatan sumberdaya ikan; (2) meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan nelayan; (3) meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil
perikanan; (4) menyediakan bahan pangan sumber protein hewani dan bahan baku
industri serta ekspor; (5) menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan
usaha perikanan tangkap; (6) menciptakan lapangan kerja dan kesempatan
berusaha yang produktif; (7) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia; (8)
mengembangkan kelembagaan dan peraturan perundangan; (9) meningkatkan
penerimaan PNBP dan PAD; (10) meningkatkan tertib administrasi
pembangunan; dan (11) menjadikan sumberdaya ikan sebagai perekat nusa dan
bangsa (Ditjen Perikanan Tangkap, 2001).
Untuk mendukung misi tersebut, maka kebijakan dan strategi yang
diterapkan adalah : (1) peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha
penangkapan; (2) peningkatan mutu dan nilai tambah hasil perikanan; (3)
pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap; (4) peningkatan
pelayanan dan pengendalian Perizinan Usaha; (5) penyempurnaan peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan tangkap; (6) penyempurnaan Sistem
Statistik Perikanan Tangkap; dan (7) peningkatan peran Indonesia dalam
organisasi/lembaga internasional yang terkait dengan perikanan tangkap.
Adapun tujuannya yang hendak dicapai adalah : (1) meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan nelayan; (2) menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya; dan (3) meningkatkan kontribusi sub sektor perikanan tangkap
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Sasaran pembangunan perikanan tangkap meliputi : (1) peningkatan
produksi Perikanan Tangkap; (2) volume dan nilai ekspor hasil perikanan
tangkap; (3) pengembangan armada penangkapan ikan; (4) penyediaan ikan untuk
konsumsi dalam negeri; (5) penyediaan lapangan kerja atau penyerapan tenaga
kerja / nelayan; dan (6) peningkatan PNBP.

17
2.3 Perkembangan Armada, Produksi dan Nilai Hasil Perikanan
Secara umum, pelaksanaan program pembangunan perikanan tangkap
selama tahun 2003 menunjukkan hasil yang nyata dan menggembirakan. Hal ini
dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya usaha peningkatan produksi
perikanan tangkap, peningkatan konsumsi ikan, ekspor hasil perikanan,
pendapatan nelayan, perluasan lapangan kerja, serta memberikan dukungan
terhadap pembangunan di bidang industri dan menunjang pembangunan daerah.
Beberapa indikator makro pencapaian pembangunan perikanan tangkap
berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, diuraikan berikut ini.
1) Produksi
Pada periode 2001-2003, perkembangan produksi perikanan tangkap
meningkat rata-rata 5,15%, yaitu dari 4.276.720 ton pada tahun 2001 menjadi
4.728.320 ton pada tahun 2003 (Tabel 1).
Tabel 1 Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2001 - 2003
Wilayah Produksi (Ton) Rata-rata
Perairan 2001 2002 1) 2003 2)
Kenaikan (%)
Laut 3.966.480 4.205.370 4.406.200 5,40
Perairan Umum 310.240 316.030 322.120 1,90
Jumlah 4.276.720 4.521.400 4.728.320 5,15
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004

Dari data di atas terlihat bahwa laju produksi penangkapan di laut lebih
tinggi dibandingkan dengan produksi penangkapan di perairan umum. Dalam
periode 2001-2003, produksi penangkapan di laut meningkat rata-rata per tahun
sebesar 5,40% dari 3.966.480 ton pada tahun 2001 menjadi 4.406.200 ton pada
tahun 2003. Pada periode yang sama, produksi penangkapan di perairan umum
hanya mengalami peningkatan 1,90% dari 310.240 ton pada tahun 2001 menjadi
322.120 ton pada tahun 2003. Jika dibandingkan dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton, maka produksi tahun 2003 telah
mencapai 86,05% dari JTB.
2) Konsumsi Ikan Dalam Negeri
Seiring dengan peningkatan produksi, penyediaan ikan untuk konsumsi
dalam negeri juga mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2001 total penyediaan
ikan hasil tangkapan dan budidaya untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,69

18
juta ton, maka pada tahun 2003 telah mencapai 5,30 juta ton. Dengan demikian,
pada periode 2001 – 2003 terjadi kenaikan konsumsi ikan dalam negeri rata-rata
6,41% per tahun. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Penyediaan Ikan untuk Konsumsi Dalam Negeri Tahun 2001 - 2003
Konsumsi Rata-rata
Uraian Kenaikan
2001 2002 1) 2003 2) (%)
Konsumsi Total (1.000 ton) 4.692,96 4.841,55 5.308,68 6,41
Konsumsi per Kapita
22,47 22,84 24,67 4,83
(Kg/kapita/tahun)
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004

Kendati demikian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, konsumsi


ikan per kapita per tahun di Indonesia tergolong masih sangat kecil. Sebagai
contoh, pada tahun 2003 konsumsi ikan dalam negeri baru mencapai 24,67 kg per
kapita. Artinya, rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 2003 hanya
mengonsumsi ikan 67,5 gram (kurang dari satu ons) per hari.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa kampanye gerakan makan ikan
sebagai makanan yang nikmat, sarat gizi, dan menyehatkan harus terus
digelorakan dengan berbagai pendekatan dan media penyampaian. Di sisi lain,
konsumsi ikan juga terkait erat dengan kondisi ekonomi masyarakat. Bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia, produk perikanan yang beredar di pasaran
masih terasa mahal. Dengan demikian, konsumsi ikan dalam negeri memiliki
peluang lebih besar untuk meningkat jika kondisi makro perekonomian nasional
semakin membaik.
3) Ekspor - Impor
Perkembangan perikanan Indonesia juga dapat dilihat dari neraca ekspor-
impor. Data tahun 2001-2003 sebagaimana terlihat pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa ekspor perikanan Indonesia terus meningkat. Sebaliknya, impor
menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Fakta yang cukup menarik
untuk dianalisis, kenaikan rata-rata ekspor per tahun dari sisi volume dan dari sisi
nilai menunjukkan angka yang cukup berbeda, yakni masing- masing 19,61% dan
11,92%. Hal ini patut menjadi perhatian bersama, apakah perbedaan persentase

19
ekspor dari sisi nilai dan volume tersebut terjadi karena adanya penurunan mutu
produk perikanan yang diekspor atau karena hal lain, seperti harga internasional
produk perikanan yang mengalami penurunan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Kecenderungan lebih rendahnya persentase nilai (rupiah) perkembangan
ekspor produk perikanan dibandingkan dengan perkembangan volume (ton)
terjadi di hampir semua jenis ikan. Perbedaan yang paling mencolok terjadi pada
komoditas ikan hias. Dari sisi volume, ikan hias mengalami peningkatan rata-rata
25,98% per tahun, namun dari sisi nilai komoditas ini hanya mengalami
peningkatan rata-rata 13,56% per tahun. Perbedaan yang cukup mencolok juga
terjadi pada komoditas tuna/cakalang/tongkol dengan perkembangan volume dan
nilai masing- masing 18,93% dan 12,50% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Kondisi yang sebaliknya terjadi pada sisi impor. Secara umum impor hasil
perikanan pada periode 2001-2003 memang mengalami penurunan. Namun, rata-
rata penurunan impor menunjukkan bahwa penurunan dari sisi nilai lebih kecil
dibanding dengan penurunan dari sisi volume, masing- masing 5,38% dan 6,45%.
Perbedaan signifikan terjadi pada komoditas tepung binatang berkulit keras/lunak.
Untuk komoditas ini, pada sisi volume mengalami penurunan sebesar 26,93%,
tapi dari sisi nilai justru mengalami peningkatan sebesar 6,83% (Ditjen Perikanan
Tangkap, 2004).

20
Tabel 3 Perkembangan Ekspor Impor Perikanan Tahun 2001 – 2003
2001 2002 1) 2003 2) Perubahan
KOMODITAS Rata-rata
Nilai % Nilai % Nilai %
(%)
Volume (Ton) 487.116 100 565.739 100 696.290 100 19,61
- Udang 128.830 26,45 124.765 22,05 150.130 21,56 8,59
- Tuna/Cakalang/Tongkol 84.205 17,29 92.797 16,40 118.460 17,01 18,93
- Rumput Laut 27.874 5,72 28.560 5,05 36.540 5,25 15,20
- Mutiara 21,75 0,00 5,87 0,00 9,92 0,00 - 2,01
- Ikan Hias 2.682 0,55 3.514 0,62 4.250 0,61 25,98
Ekspor

- Lainnya 243.503 49,99 316.098 55,88 386.900 55,57 26,11


Nilai (US$ 1.000) 1.631.899 100 1.570.353 100 2.004.067 100 11,92
- Udang 934.986 57,29 836.563 53,27 1.064.146 53,10 8,34
- Tuna/Cakalang/Tongkol 218.991 13,42 212.426 13,53 271.894 13,57 12,50
- Rumput Laut 17.230 1,06 15.785 1,01 21.770 1,09 14,76
- Mutiara 25.257 1,55 11.471 0,73 19.555 0,98 7,95
- Ikan Hias 14.603 0,89 15.054 0,96 18.671 0,93 13,56
- Lainnya 420.832 25,79 479.054 30,50 608.031 30,34 20,38
Volume (Ton) 162.472 100 124.010 100 136.870 100 - 6,65
- Ikan segar/beku 12.657 7,79 16.148 13,02 17.900 13,08 19,22
- Ikan kaleng 976 0,60 1.495 1,21 1.830 1,34 37,79
- Tepung Ikan 98.139 60,40 61.301 49,43 66.120 48,31 - 14,84
-Tepung Binatang
Berkulit Keras/Lunak 14.166 8,72 7.149 5,76 6.840 5,00 - 26,93
Impor

- Lainnya 36.534 22,49 37,917 30,58 44.180 32,28 10,15


Nilai (US$ 1.000) 103.616 100 91.217 100 92.312 100 - 5,38
- Ikan segar/beku 10.254 9,90 10.404 11,41 10.404 11,27 0,73
- Ikan kaleng 1.414 1,36 1.650 1,81 1.650 1,79 8,34
- Tepung Ikan 50.346 48,59 37.628 41,25 37.628 40,76 - 12,63
-Tepung Binatang
Berkulit Keras/Lunak 4.956 4,78 4.017 4,40 5.327 5,77 6,83
- Lainnya 36.646 35,37 37.518 41,13 37.303 40,41 0,90
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004
4) Armada Kapal Perikanan
Peningkatan produksi penangkapan di laut, tidak terlepas dari bertambahnya
sarana penangkap ikan yang dioperasikan dan makin majunya teknologi yang
diterapkan sehingga terjadi kenaikan produktivitas. Pada periode 2001-2003,
jumlah perahu/kapal perikanan di laut menunjukan peningkatan rata-rata sebesar
0,64%, yaitu dari 468.521 buah pada tahun 2001 menjadi 474.540 buah pada
tahun 2003 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Peningkatan rata-rata per tahun jumlah kapal motor terbesar terjadi pada
kapal motor yang berukuran antara 50 – 100 GT sebesar 99,60% yaitu dari 1.602
buah kapal pada tahun 2001 menjadi 5.510 buah kapal pada tahun 2003, disusul
kemudian oleh kapal motor berukuran 30-50 GT (91,13%) dan kapal motor

21
ukuran 100-200 GT (74,21%). Penurunan jumlah kapal terjadi pada kapal tanpa
motor yang mengalami penurunan rata-rata sebesar 2,38% yaitu dari 241.714
buah kapal pada tahun 2001 menjadi 230.360 buah pada tahun 2003 (Ditjen
Perikanan Tangkap, 2004). Hal tersebut sejalan dengan program motorisasi dan
dorongan untuk lebih memanfaatkan ZEEI dengan menggunakan kapal motor
berukuran besar. Selengkapnya, perkembangan jumlah kapal perikanan Indonesia
periode 2001-2003 tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Perkembangan Jumlah Kapal Perikanan Tahun 2001-2003
Jumlah Rata-rata
No. Jenis Kapal 1) 2) Kenaikan
2001 2002 2003 (%)
1 Perahu Tanpa Motor 241.714 237.270 230.360 - 2,38
2 Perahu Motor Tempel 120.054 120.760 125.580 2,29
3 Kapal Motor 106.753 114.690 118.600 5,42
- KM < 5 GT 70.925 71.680 72.060 0,80
- KM 5-10 GT 22.641 23.100 23.610 2,12
- KM 10-20 GT 6.006 6.370 6.880 7,03
- KM 20-30 GT 3.008 3.370 3.780 12,10
- KM 30-50 GT 781 2.150 2.300 91,13
- KM 50-100 GT 1.602 4.380 5.510 99,60
- KM 100-200 GT 1.295 2.920 3.590 74,21
- KM = 200 GT 495 720 870 33,14
Jumlah 468,521 472.720 474.540 0,64
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2003

Dalam pengembangan perikanan kedepan, maka salah satu langkah yang


perlu dilakukan adalah peningkatan kemampuan armada perikanan, terutama yang
dimiliki oleh nelayan skala kecil. Pada saat yang sama, secara bertahap tetapi
pasti kita harus mengadakan rasionalisasi intensitas penangkapan (jumlah nelayan
atau jumlah kapal ikan) pada setiap wilayan perairan sesuai dengan potensi
lestarinya.
Dengan kata lain fishing effort pada wilayah-wilayah perairan yang telah
overfishing, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa dan lainnya sudah saatnya
dikurangi. Selanjutnya, nelayan-nelayan ini ditingkatkan kemampuannya untuk
beroperasi di wilayah perairan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal
(underutilization). Atau kelebihan nelayan dari wilayah yang telah mengalami

22
overfishing ini disalurkan pada usaha budidaya perikanan, industri penanganan
dan pengolahan hasil perikanan, serta sektor ekonomi lainnya (Dahuri, 2002).
Upaya peningkatan kemampuan armada perikanan baik nasional maupun di
masing- masing Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan langkah untuk
menjadikan nelayan sebagai tuan rumah di lautnya sendiri. Para nelayan dengan
armada yang lebih modern diharapkan mampu beroperasi di perairan teritorial
bahkan ZEEI untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada sekaligus
menjalankan fungsi pengawasan terhadap praktek ilegal kapal asing.

5) Jumlah Nelayan
Pada periode 2001-2003, jumlah nelayan juga terus mengalami peningkatan.
Jika pada tahun 2001 nelayan Indonesia mencapai 3.286.500 orang, maka pada
2003 menjadi 3.476.200 orang (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Dengan
demikian, pada kurun waktu tersebut terjadi kenaikan jumlah nelayan rata-rata
2,86% per tahun. Selengkapnya tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan Jumlah Nelayan Tahun 2001 - 2003
Jumlah Nelayan (orang) Rata-Rata
No. Wilayah Perairan
2001 20021) 20032) Kenaikan (%)
1 Laut 2.562.945 2.573.300 2.673.760 2,15
2 Perairan Umum 723.555 753.630 802.440 5,32
Jumlah 3.286.500 3.326.930 3.476.200 2,86
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004
Adanya peningkatan jumlah nelayan cukup menggembirakan karena
menunjukkan bahwa sektor perikanan tangkap terus membuka lapangan kerja.
Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi fakta yang patut mendapat perhatian
bersama karena jika dibandingkan dengan produksi perikanan maka perbandingan
jumlah nelayan dengan skala produksinya menjadi sangat kecil. Sebagai contoh,
pada tahun 2003 produktivitas nelayan hanya 1,36 ton per orang. Artinya, jumlah
tangkapan nelayan per hari hanya sekitar 3,73 kg saja. Gambaran selengkapnya
tersaji pada Tabel 6.

23
Tabel 6 Produktivitas Nelayan Tahun 2001 – 2003
Uraian 2001 20021) 20032)
Produksi (ton) 4.276.720 4.521.400 4.728.320
Jumlah Nelayan (Orang) 3.286.500 3.326.930 3.476.200
Produktivitas ton/tahun/ orang 1,30 1,36 1,36
Nelayan kg/hari/orang 3,57 3,72 3,73
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004

Jika dibandingkan terhadap jumlah tangkapan yang diperbolehkan, yakni


5,12 juta ton per tahun, maka jumlah nelayan sekarang ini masih terlihat terlalu
banyak. Sebagai contoh, dengan jumlah nelayan tahun 2003, maka produktivitas
nelayan hanya akan mencapai 1,56 ton per orang per tahun, atau hanya 4,27
kg/orang/hari (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Fakta diatas menunjukkan bahwa diperlukan beberapa upaya agar jumlah
nelayan mencapai titik yang optimal. Upaya-upaya tersebut antara lain: (1)
Relokasi nelayan dari wilayah yang overfishing ke wilayah yang underutilized; (2)
Meningkatkan kemampuan nelayan artisanal menjadi nelayan modern melalui
modernisasi alat tangkap dan peningkatan daya jelajah kapal; (3) Mengalihkan
sebagian nelayan penangkap ke pembudidaya ikan; dan (4) Mengalihkan sebagian
nelayan di bidang penangkapan ikan ke pekerjaan lain, terutama yang masih
terkait dengan sub sektor perikanan, misalnya bidang pengolahan dan pemasaran.

2.4 Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap


Indonesia memiliki potensi dan peluang pengembangan sumberdaya
perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya.
Sedangkan bila dilihat dari tingkat pemanfaatan menurut kelompok
sumberdaya ikan tahun 2000 disajikan pada Tabel 7.

24
Tabel 7 Tingkat Pemanfaatan SDI Tahun 2000
Potensi JTB Produksi Tingkat
No Kelompok SDI (Ton/Th) (Ton/Th) (Ton) Pemanfaatan
(%)
1. Ikan Pelagis Besar 1.165.360 932.288 736.170 78,97
2. Ikan Pelagis Kecil 3.605.660 2.884.528 1.784.330 61,86
3. Ikan Demersal 1.365.090 1.092.072 1.085.500 99,40
4. Ikan Karang 145.250 116.200 156.890 135,02
5. Udang Penaeid 94.800 75.840 259.940 342,75
6. Lobster 4.800 3.840 4.080 106,25
7. Cumi-Cumi 28.250 22.600 42.510 188,10
Jumlah 6.409.210 5.127.368 4.069.420 79,37
Sumber : PRPT-BRKP (2001)

Tabel 7 diatas menunjukkan bahwa kelompok SDI yang potensinya paling besar
adalah ikan pelagis kecil, yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan
permukaan serta secara fisik berukuran kecil. Contoh jenis ikan yang termasuk
dalam kelompok ini adalah ikan kembung, alu-alu, layang, selar, tetengkek, daun
bambu, sunglir, julung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-parang,
terubuk, ikan terbang, belanak, dan kacang-kacang. Kedua adalah ikan demersal,
yaitu kelompok ikan yang hidup di dasar perairan dan terdiri atas spesies antara
lain : sebelah, lidah, nomei, peperek, manyung, beloso, biji nangka, kurisi,
swanggi, gulamah, bawal, layur, senangin/kuro, lencam, kakap merah, kakap
putih, pari, sembilang, buntal landak, kuwe, gerot-gerot, bulu ayam, kerong-
kerong, payus, etelis, dan remang. Ketiga adalah ikan pelagis besar, yakni
kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan permukaan serta secara fisik
berukuran besar, yang terdiri atas spesies antara lain : tuna mata besar,
madidihang, albakora, tuna strip biru selatan, cakalang, tongkol, setuhuk/marlin,
tenggiri, layaran, ikan pedang, cucut/hiu dan lemadang. Keempat adalah ikan
Karang, yaitu kelompok ikan yang hidup di sekitar perairan karang, yang terdiri
atas spesies antara lain : ekor kuning, pisang-pisang, kerapu, baronang, kakak tua,
napoleon, dan kerondong (morai). Kelima adalah udang penaid, yaitu kelompok
udang yang terdiri atas spesies antara lain : peneid, kepiting, rajungan, rebon dan
udang kipas. Berikutnya atau yang potensinya paling kecil adalah kelompok
cumi-cumi dan lobster (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).

25
Data potensi dan JTB diatas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah
yang positif, yakni terjadi kenaikan. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock
assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001,
potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per tahun,
dengan rincian 5,14 juta ton per tahun berasal dari perairan territorial dan dan
perairan wilayah serta 1,26 juta ton per tahun berasal dari ZEEI. Data ini masih
bersifat sementara, karena masih akan didiskusikan lebih lanjut dengan Komisi
Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut sebelum dikukuhkan dalam
peraturan perundang-undangan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Sementara itu, juga berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan
Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut
mencapai 4,069 juta ton (PRPT-BRKP, 2001). Dengan demikian, Tingkat
Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar
6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton
pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan
Perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing
seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72
%) serta Laut Banda (102,74 %). Tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan
lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %,
Samudera Hindia 72,41 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut
Natuna dan Cina Selatan 44,92 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku, Teluk
Tomini dan Seram 41,83 %.
Dari data Tingkat Pemanfaatan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan:
(1) Laut Natuna dan Cina Selatan untuk SDI pelagis besar, pelagis kecil dan
demersal;
(2) Laut Flores dan Selat Makasar untuk SDI pelagis besar dan pelagis kecil;
(3) Laut Banda untuk SDI pelagis besar;
(4) Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDI pelagis besar,
pelagis kecil dan demersal;

26
(5) WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik untuk SDI pelagis kecil dan
demersal;
(6) Laut Arafura untuk SDI pelagis kecil;
(7) Samudera Hindia untuk SDI pelagis kecil dan pelagis besar.
Demikian pula dari sisi permintaaan atau demand side, potensi dan peluang
pasar hasil laut dan ikan relatif baik. Pada tahun 1994, impor dunia hasil
perikanan sekitar 52.493 juta ton. Indonesia termasuk peringkat ke-8 dalam
produksi ikan (peringkat ke-5 untuk udang, dan peringkat ke-2 untuk tuna);
peringkat ke-9 untuk ekspor ikan (peringkat ke-4 untuk udang, dan peringkat ke-1
untuk tuna). Permintaan ikan tahun 2010, diperkirakan akan mencapai 105 juta
ton. Potensi pasar dalam negeri juga relatif masih baik; total konsumsi ikan dalam
negeri tahun 2001 diperkirakan sekitar 4,6 juta ton dengan konsumsi rata-rata
21,71 kg/kap/tahun. Sementara itu konsumsi ikan yang direkomendasikan dalam
Lokakarya Nasional Widya Karya Pangan dan Gizi untuk mencukupi kebutuhan
gizi sekitar 26,55 kg/kap/tahun. Jadi masih jauh dari yang direkomendasikan
(PRPT-BRKP, 2001).
Dari hasil pengkajian Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Seram dan Teluk
Tomini pada tahun 1998, dihasilkan tingkat pemanfaatan menurut kelompok
sumberdaya ikan yaitu : (1) pelagis besar baru dimanfaatkan sebesar 37,01 %, (2)
pelagis kecil dimanfaatkan sebesar 38,84 %, (3) ikan demersal telah dimanfaatkan
sebesar 75,14 %, sedangkan untuk udang penaeid tingkat pemanfaatannya telah
melampaui 100 % (Widodo et. al (1998) yang diacu dalam PRPT-BRKP (2001)).
Oleh karena itu peluang pengembangan di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini
dapat dilakukan pada sumberdaya ikan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan
demersal, sedangkan untuk sumberdaya udang penaeid perlu pembatasan terhadap
hasil tangkapan dan/atau upaya penangkapan.

2.5 Analisis SWOT


Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).

27
Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan
misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Dengan demikian perencana strategis
(strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut
dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah
Analisis SWOT ( Rangkuti, 2005).

2.6 Memilih Keputusan Yang Terbaik


Dalam pengambilan keputusan akhir sering kali seorang atau sekelompok
pengambil keputusan harus mempertimbangkan kriteria majemuk, termasuk
diantaranya pertimbangan-pertimbangan resiko dan ketidak pastian yang mungkin
dihadapi dimasa ya ng akan datang. Ada beberapa teknik yang bisa dipakai dalam
pengambilan keputusan yang memiliki tujuan majemuk, diantaranya adalah ada
beberapa program goal programming, MCDM dan lain- lain (Pujawan, 1995).
Pengambilan Keputusan Banyak Kriteria atau Multi Criteria Decision
Making (MCDM) merupakan aplikasi yang baru dalam manajemen. Model
keputusan dengan kriteria yang tunggal hanya bisa diterapkan pada permasalahan
bertujuan tunggal dari sistem, tanpa memperhatikan tujuan-tujuan lainnya (Saaty,
1991). Dalam teori ekonomi neoklasik, perusahaan merupakan organisasi yang
bertujuan tunggal yaitu memberi kesejahteraan bagi pemiliknya. Perencanaan
perusahaan mempunyai beberapa tujuan yang bila dicari pemecahannya satu
persatu tidaklah tertalu sulit untuk dilakukan, namun bila semua tujuan itu
dimasukan dalam satu sistem pengambilan keputusan akan menimbulkan banyak
konflik. Di sini diperlukan suatu metode khusus yang bisa memecahkan masalah
tersebut dengan memenuhi semua tujuan yang ada tanpa satu pun meninggalkan
variabel yang terkait. Karakteristik yang signifikan yang membedakan metode ini
dengan prosedur solusi yang tradisional adalah terlibatnya preferensi pengambilan
keputusan dalam mencari suatu solusi yang optimum. Dalam hal ini banyaknya
tujuan yang bertentangan yang menjadikan sumber pemahaman sehingga
pengambilan keputusan mempunyai peranan yang sangat penting.

28
Ada banyak pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan ‘multi
criteria decision making’, yang secara umum diklasifikasikan dalam tiga
pendekatan dasar, yaitu (Saaty, 1991) :
1) Metode Utillitas/Bobot
Metode ini mengekspresikan semua tujuan dalam ukuran yang sama (single
measure). Dengan demikian pengambilan keputusan multi tujuan dapat
ditransformasikan menjadi model dengan satu fungsi tujuan (objective function).
Permasalahan yang ada dari model ini adalah keakuratan tranformasi tujuan-
tujuan yang berbeda kedalam satu ukuran yang sama.
2) Metode Ranking/Prioritas
Metode ini digunakan sebagai ganti untuk mencari nilai utilitas/bobot, yaitu
dengan menggunakan ranking prioritas untuk menunjukkan derajat kepentingan
masing- masing tujuan. Dalam metode ini semua tujuan dipertimbangkan menurut
rangking atau prioritasnya dan tidak perlu ditransformasikan ke dalam satu fungsi
tujuan.
3) Metode Solusi Efisien
Metode ini tidak mempertimbangkan preferensi pengambilan keputusan
namun dengan menggenerate sekumpulan solusi efisiensi dari himpunan solusi
yang memenuhi konstrain. Himpunan solusi efisien adalah himpunan solusi
dimana perubahan dari satu solusi ke solusi yang lain secara simultan
menyebabkan perbaikan pada satu atau lebih tujuan dan penurunan sekurang-
kurangnya pada satu tujuan dalam nilai pemuasnya. Solusi efisien juga disebut
solusi optimal pareto/solusi non dominasi. Pengambilan keputusan akan memilih
solusi yang sesuai dengan preferensi diantara himpunan solusi efisien ini.
Program tujuan ganda (multiple goal programming) yang akan digunakan
dalam penelitian ini merupakan metode yang menggunakan struktur prioritas dari
tujuan-tujuan yang dipertimbangkan, dengan alasan sebagai berikut (Saaty, 1991):
(1) Pengembangan model relatif lebih sederhana.
(2) Modifikasi minor dapat digunakan untuk mencakup pendekatan alternatif
(metode efisien, pembobotan dan sebagainya) dalam pengambilan keputusan
multi tujuan.

29
(3) Metode pemecahan sangat sederhana dan hanya merupakan
perbaikan/modifikasi dari metode simplek dua fase.
(4) Model dan asumsinya konsisten dengan problem dunia nyata yang khusus
(spesifik).
(5) Dari beberapa alasan diatas maka pengambilan keputusan banyak tujuan ini
atas dasar fleksibilitas, efisiensi, kemudahan penggunaan serta
pengimplementasian.

2.7 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)


Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan
Perikanan yang Bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai
pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman
teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan
internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan
menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan
lingkungan. Pedoman ini juga ditujukan terutama bagi para pengambil keputusan
didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan,
termasuk perusahaan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah
yang peduli dan lain- lainnya.
Adanya eksploitasi yang berlebihan terhadap stok ikan penting, modifikasi
ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata, dan persengketaan internasional
mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konservasi jangka
panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. Oleh karena
itu Sidang Komite FAO tentang Perikanan (COFI-19), yang diadakan Maret 1991,
merekomendasikan bahwa sudah mendesak diperlukan pendekatan baru pada
pengelolaan perikanan yang meliputi pertimbangan konservasi dan lingkungan,
termasuk sosial-ekonominya.
Perikanan yang bertanggungjawab tidak membolehkan mengeksploitasi
sumberdaya perikanan secara berlebihan , melebihi rata – rata pertumbuhan stok
ikan. Jika tidak, sumberdaya tersebut akan menipis seiring berjalannya waktu,
mempengaruhi keanekaragaman genetik suatu stok atau populasi, dan bila ditinjau
dari aspek ekonomi, juga akan mempengaruhi rata – rata keuntungan optimal

30
menjadi lebih rendah. Sebaliknya, apabila sumberdaya perikanan dipandang
sebagai stok modal yang dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan,
akan menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang besar.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penangkapan
ikan yang ramah lingkungan adala h (Direktorat produksi, Ditjen Perikanan, 2000):
1) Kriteria Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
Menentukan alat penangkapan ikan yang dalam operasinya produktif dan
hasil tangkapannya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dala m pengoperasian alat
tersebut juga tidak merusak lingkungan dan kelestarian sumberdaya yang ada
tetap terjaga. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal antara lain :
- selektifitas alat penangkapan ikan
- tidak merusak sumberdaya dan lingkungan
- meminimumkan discard (ikan buangan)
2) Fishing Ground ( Daerah Penangkapan Ikan)
Pembagian daerah penangkapan yang sesuai dengan ukuran kapal dan jenis
alat tangkap yang digunakan, perlunya pengaturan operasi penangkapan ikan
dilapangan, dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara kelompok nelayan,
baik antar nelayan tradisional maupun dengan pemilik kapal besar. Dalam hal ini
perlunya peraturan yang harus dipatuhi dan penindakan hukum yang tegas untuk
menjaga kelestarian fishing ground.
3) Pe manfaatan
Sumberdaya perikanan harus dikelola secara wajar, agar kontribusinya
terhadap nutrisi, ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk dapat ditingkatkan.
4) Peraturan
Perlu diperhatikan adanya peraturan – peraturan yang mengatur jalannya
operasi penangkapan ikan yang menuju ramah lingkungan dan bertanggungjawab.
Salah satu peraturan tersebut adalah mengatur jalur – jalur penangkapan ikan.

2.8 Analytical Hierarchy Process (AHP)


Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya ketidak pastian atau
ketidak sempurnaan informasi. Penyebab lainnya adalah banyaknya faktor yg
berpengaruh terhadap pilihan pilihan yang ada, beragamnya kriteria pemilihan dan

31
jikan pengambilan keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan itu adalah
beragamnya kriteria, maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik
untuk membantu menyelesaikan masalah ini (Mulyono, 2002).
Dalam perkembangannya, AHP tidak saja digunakan untuk menentukan
prioritas pilihan-pilihan dengan banyak kriteria , tetapi penerapannya telah meluas
sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam- macam masalah,
seperti memilih portofolio, analisis manfaat biaya, peramalan dan lain- lain.
Pendeknya, AHP menawarkan penyelesaian masalah keputusan yang melibatkan
seluruh sumber kerumitan seperti yang diidentifikasikan diatas. Hal ini
dimungkinkan karena AHP cukup mengandalkan intuisi sebagai input utamanya,
namun intuisi harus datang dari pengambilan keputusan yang cukup informasi dan
memahami masalah keputusan yang dihadapi (Mulyono, 2002).

2.9 Linear Goal Programming


Linear Goal Programming (LGP) merupakan pengembangan Linear
Programing (LP). Perbedaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan
penggunaan fungsi tujuan. Dalam LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu
tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan apakah satu atau beberapa
digabungkan dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan
mengekspresikan tujuan ini dalam bentuk sebuah kendala (goal constrain),
memasukkan suatu variabel simpangan (deviational variabel) dalam kendala itu
untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan dicapai, dan menggabungkan variabel
simpangan dalam fungsi tujuan. Dalam LP tujuannya bisa maksimisasi atau
minimisasi, sementara dalam LGP tujuannya adalah meminimumkan
penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua
masalah LGP adalah masalah minimisasi (Mulyono, 2004).
Karena penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan itu diminimumkan,
sebuah model LGP dapat menangani aneka ragam tujuan dengan dimensi atau
satuan ukuran yang berbeda. Tuj uan-tujuan saling bentrok juga dapat diselesaikan.
Jika terdapat banyak tujuan, prioritas atau urutan ordinalnya dapat ditentukan, dan
proses penyelesaian LGP itu akan berjalan sedemikian rupa sehingga tujuan
dengan prioritas tertinggi dipenuhi sedekat mungkin sebelum memikirkan tujuan-

32
tujuan dengan peristiwa lebih rendah. Jika LP berusaha mengidentifikasi solusi
optimum dari suatu himpunan solusi layak, LGP mencari titik yang paling
memuaskan dari sebuah persoalan dengan beberapa tujuan, sekali lagi LGP ingin
meminimumkan penyimpangn-penyimpangan dari tujuan-tujuan dengan
mempertimbangkan hirarki prioritas.

33
3 METODOLOGI

3. 1 Waktu dan Tempat


Penelitian lapang dilakukan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei
2005. Lokasi penelitian berbasis di Kota Ternate, dan sentra-sentra nelayan
seperti Dufa-Dufa, Sangaji dan Jailolo di Provinsi Maluku Utara.

3. 2 Metode Pengumpulan Data


1) Jenis data yang akan dikumpulkan
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer me lalui diskusi, wawancara dan pengisian questionaire
yang terstruktur dengan metode check list. Data sekunder didapatkan melalui
penelusuran berbagai pustaka yang ada. Seluruh data yang dikumpulkan terdiri
dari :
(1) Data Potensi Sumberdaya Perikanan Tangkap, meliputi alat tangkap dan
produksinya yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
(2) Data Sosial Ekonomi dan Budaya, meliputi jumlah penduduk, mata
pencaharian, pendidikan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap, kecenderungan masyarakat memanfaatkan
sumberdaya perikanan tangkap serta keinginan masyarakat.
(3) Data Kelembagaan, meliputi lembaga-lembaga yang ada di tingkat desa baik
formal maupun non formal, kapasitas lembaga (dilihat dari kemampuan
menjabarkan program pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap), interaksi
lembaga dengan pihak luar dan program yang dibuat oleh lembaga yang ada.
(4) Peraturan dan perundangan, meliputi seluruh peraturan dan perundangan
baik pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi baik secara
langsung dan tidak langsung mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan
tangkap.

2) Teknik pengumpulan data


Sumber data pokok (primer dan sekunder) dalam penelitian ini dihimpun
melalui beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :
(1) Teknik Survei
Mensurvei adalah kegiatan mengajukan pertanyaan pada orang-orang
(wawancara) dan merekam jawabannya untuk dianalisis. Kekuatan utama dari
bertanya sebagai sebuah teknik pengumpulan data primer adalah kepandaiannya
atau versatility. Teknik wawancara yang digunakan dalam studi ini ialah
wawancara secara mendalam (in-depth interview), yaitu percakapan dua arah atas
inisiatif pewawancara dengan memakai panduan wawancara (interview guide)
pada sekelompok responden yang telah ditentukan. Keunggulan in-depth
interview ini ialah adanya jaminan kedalaman dan rincian (detail) informasi yang
diperoleh.
(2) Teknik Pengamatan (observasi)
Observasi meliputi segala hal yang menyangkut pengamatan aktivitas atau
kondisi perilaku maupun non perilaku yang dikelompokkan dalam observasi non
perilaku (non behavioral observation) dan observasi perilaku (behavioral
observation). Oleh sebab itu mengacu pada pengertian tersebut, dalam studi ini
peneliti melakukan pengamatan dengan melihat kejadian secara terencana dan
langsung pada tujuan (obyek yang diteliti) guna menghimpun data asli pada saat
kejadiannya.
(3) Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi yang dimaksudkan dalam studi ini ialah proses
pengumpulan dan pengkajian informasi (data sekunder) yang bersumber dari
database, yaitu terbitan-terbitan berkala, buku/literatur, informasi internet,
dokumen, surat kabar, dan referensi statistik. Sumber data sekunder digolongkan
menjadi sumber informasi organisasional (internal), yaitu database dari instansi
pernerintah, dan informasi eksternal berupa database dari lembaga non-
pemerintah (swasta).

3. 3 Teori SWOT
Peningkatan pendapatan nelayan dan pencapaian tingkat kesejahteraan
nelayan itu sendiri hanya dapat dicapai dengan mengoptimalkan produksi
penangkapan, upaya penangkapan dan secara ekonomi menguntungan.

35
Dalam pencapaian tujuan dimaksud, maka harus dibuat suatu rencana
strategi dan kebijakan yang berpedoman pada peraturan perundangan yang
berlaku terutama pada perikanan yang bertanggung jawab yang telah dijabarkan
pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995). Hal ini dilakukan
agar ikan yang ditangkap ukurannya selektif dan belum mencapai MSY
(Maximum Sustainable Yield) dan MEY (Maximum Economic Yield).
Penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dimana SWOT adalah singkatan dari
lingkungan internal yang terdiri Strength dan Weakness serta lingkungan eksternal
yang terdiri Opportunity dan Threats.
Untuk mengetahui strategi dan kebijakan yang akan ambil, maka dilakukan
analisis SWOT dengan mengidentifikasi berbagai faktor internal dan faktor
eksternal secara sistematik dan dilanjutkan dengan merumuskannya. Kemudian
membandingkan antara faktor internal, yaitu kekuatan (Strength) dan kelemahan
(Weakness) dengan faktor eksternal, yaitu peluang (Opportunity) dan ancaman
(Threats).
Salah satu model analisis SWOT dapat ditampilkan dalam bentuk matrik
kotak, dua yang paling di atas adalah kotak faktor eksternal peluang dan
ancaman/tantangan, sedangkan dua kotak sebelah kiri adalah kotak faktor internal,
yaitu kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan. Empat kotak lainnya
merupakan kotak isu-isu strategi yang timbul sebagai hasil kontak antara faktor-
faktor eksternal dan faktor-faktor internal. Adapun isu strategi tersebut antara lain:
(A) Comparative Advantage, (B) Mobilization, (C) Investment/Divestment, dan
(D) Damage Control (Kearns 1992 dalam Salusu 1988).
Sedangkan menurut David (1989) dalam Salusu (1988) yang menggunakan
istilah TOWS, yaitu ingin mendahulukan analisis ancaman dan peluang untuk
melihat sejauh mana kapabilitas internal sesuai dan cocok dengan faktor- faktor
eksternal. Dalam analisis TOWS ada empat strategi yang ditampilkan. Strategi SO
dipakai untuk menarik keuntungan dari peluang yang tersedia dalam lingkungan
eksternal. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan
memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Strategi ST digunakan untuk

36
menghindari, paling tidak memperkecil dampak dari ancaman yang datang dari
luar. Strategi WT adalah taktik yang diarahkan pada usaha memperkecil
kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.
Model analisis SWOT menurut Kearns (1992) dan David (1989) dalam
Salusu (1996) disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Model Matrik Analisis SWOT atau TOWS


Faktor
Internal
Strengths Weaknesses
(Kekuatan) (Kelemahan)
Faktor
Eksternal
Ø Comparative
Ø Mobilization
Advantage
Opportunities (SWOT)
(SWOT)
(Peluang) Ø Strategi WO
Ø Strategi SO
(TOWS)
(TOWS)
Ø Investment Ø Damage
Divestment Control
Threats
(SWOT) (SWOT)
(Ancaman)
Ø Strategi ST Ø Strategi WT
(TOWS) (TOWS)

Sumber : Kearns (1992) ,David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988)

Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot (nilai)


terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi suatu
wilayah. Bobot (nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 3. Setelah masing- masing
unsur SWOT diberi bobot (nilai), unsur-unsur tersebut dihubungkan
keterkaitannya dalam bentuk matrik untuk memperoleh beberapa alternatif
strategi. Kemudian alternatif-alternatif tersebut dijumlahkan bobotnya untuk
menghasilkan rangking dari tiap-tiap strategi alternatif. Strategi dengan rangking

37
tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan
(Rangkuti 2000).

3. 4 Analytical Hierarchy Process (AHP)


Proses Analisis Hirarki (The Analytical Hierarchy Process) dikembangkan
pertama kali oleh L. Saaty pada tahun 1971, yang merupakan pakar matematika
dari University of Pittsburg Amerika Serikat. Metode ini adalah salah satu dari
ilmu pengambilan keputusan (Saaty, 1991). Tujuan utama dari metode ini adalah
dapat mengatasi proses pengambilan keputusan dengan masalah yang merupakan
suatu sistem kompleks dan tidak terstruktur. Kompleksitas dan tidak
terstrukturnya suatu sistem tersebut karena dukungan data dan informasi dari
masalah yang dihadapi sangat minim. Data yang diperlukan kalaupun ada
mungkin hanya bersifat kualitatif saja yang berdasarkan presepsi, pengalaman
atau intuisi. Sehingga masalah tersebut hanya dapat dirasakan dan diamati, namun
kelengkapan data numerik tidak menunjang untuk memodelkannya secara
kuantitatif. Dalam penyelesaian masalah yang kompleks dan tidak terstruktur
tersebut, perlu langkah penyederhanaan dengan menstrukturkan komponen
masalah tersebut secara hirarki. Dimana dalam menyusun suatu hirarki diperlukan
tahap-tahap sebaga i berikut :

Tahap 1 : Mendefinisikan masalah dan menentukan secara


spesifik solusi yang diinginkan
Tahap 2 : Menyusun hirarki dimulai dengan tujuan (objective)
yang umum, diikuti oleh sub tujuan, kriteria, dan
kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan hirarki
paling bawah.
Tahap 3 : Membangun matrik perbandingan pasangan yang
mempunyai kontribusi relatif atau pengaruh pada
masing- masing tujuan atau kriteria yang dikembangkan
pada tingkat yang lebih atas.
Tahap 4 : Melakukan perbandingan pasangan sehingga diperoleh
judgement seluruhnya sebanyak [n(n-1)]/2 buah,

38
dimana n adalah banyaknya komponen yang
dibandingkan.
Tahap 5 : Setelah data perbandingan pasangan terkumpul,
kemudian dihitung nilai eigen value dan diperiksa
konsistensinya. Jika tidak konsisten, maka pengambilan
data diulang.
Tahap 6 : Mengulangi tahap 3,4 dan 5 untuk seluruh tingkat dan
kelompok hirarki.
Tahap 7 : Menghitung eigenvektor dari setiap matrik
perbandingan pasangan di atas, dimana nilai dari
vektoreigen merupakan bobot setiap komponen.
Tahap 8 : Memeriksa konsistensi jika nilainya lebih besar dari
10%, maka kualitas data judgement harus diperbaiki.

Adapun keuntungan menyusun ke dalam bentuk hirarki dalam analisis adalah


sebagai berikut :
1) Hirarki yang merepresentasikan sistem dapat digunakan untuk menjelaskan
bagaimana perubahan tingkat kepentingan elemen pada level atas berpengaruh
terhadap tingkat kepentingan elemen-elemen pada tingkat hirarki di
bawahnya.
2) Hirarki memberikan informasi yang lengkap dan jelas atas struktur dan fungsi
dari sistem dalam tingkatan lebih rendah dan memberikan gambaran faktor-
faktor apa yang berpengaruh terhadap tujuan-tujuan pada tingkat lebih atas.
Pembatasan-pembatasan dari elemen-elemen pada tingkatan tertentu
direpresentasikan secara baik dalam tingkatan berikutnya yang lebih atas dari
elemen tersebut.
3) Penganalisaan dengan hirarki lebih efisien daripada analisis secara
keseluruhan.
4) Stabil dan fleksibel, stabil dalam hal perubahan yang kecil akan menghasilkan
pengaruh yang kecil pula, fleksibel dalam hal penambahan terhadap struktur
hirarki tidak akan merusak atau mengacaukan performasi hirarki secara
keseluruhan.

39
Skala Penilaian Perbandingan Pasangan

Tahap terpenting dari proses analisis hirarki adalah penilaian perbandingan


pasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan
antara komponen (elemen) dalam suatu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan
dengan cara membandingkan sejumlah kombinasi elemen yang ada pada setiap
hirarki, sehingga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui besarnya
bobot setiap elemen. Untuk pembandingan pasangan, bentuk matrik merupakan
bentuk yang lebih disukai.
Beberapa keuntungan dengan menggunakan bentuk matrik adalah :
1) Bentuk lebih sederhana
2) Merupakan alat yang cukup baik yang menawarkan kerangka untuk pengujian
konsistensi
3) Dapat diperolehnya tambahan informasi melalui pembuatan seluruh
pembandingan yang mungkin.
4) Dalam analisa sentivitas dari seluruh tingkat hirarki untuk mengubah dalam
judgement.

Oleh Saaty (1980) telah menyusun tabel skala perbandingan pasangan seperti
dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut :

40
Tabel 9 Nilai skala perbandingan berpasangan
Intensitas
Definisi Variabel Keterangan
Kepentingan
Sama pentingnya
1 Kedua elemen memberikan kontribusi
Elemen yang satu sedikit Pengalaman atau judgement sedikit
lebih penting terhadap yang memihak pada sebuah elemen
3
lain dibandingkan elemen yang lainnya
Elemen yang satu mempunyai
Pengalaman atau judgement secara kuat
tingkat kepentingan yang kuat
memihak pada sebuah elemen dibanding
5 atau esensial terhadap yang
elemen yang lainnya
lainnya
Tingkat kepentingan yang Sebuah elemen secara kuat disukai dan
7
jelas lebih kuat dominasinya tampak dalam praktek
Bukti bahwa suatu elemen lebih penting
Tingkat kepentingannya
dari elemen yang lainnya adalah sangat
9 mutlak
jelas
Nilai-nilai tengah diantara 2
Nilai ini diberikan bila diperlukan adanya
2,4,6,8 judgement yang
kompromi antara dua judgement
berdampingan
Kebalikan Bila komponen i mendapat salah satu nilai di atas (non zero) saat
dari nilai di dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai sebaliknya
atas saat dibandingkan dengan i.

3. 5 Analisis Finansial
1) Benefit-Cost Ratio
Untuk pengembangan armada penangkapan ikan di daerah Ternate
diperlukan suatu ukuran yang menyeluruh sebagai dasar pemikiran/penolakan
terhadap kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan. Salah satunya adalah Benefit
Cost Ratio. Pada Benefit/Cost Ratio penekanannya ditujukan kepada manfaat
(benefit) bagi kepentingan umum.
Adapun rumus yang digunakan adalah :
Nilai Sekarang
Benefit ( PV ) B
B/CR = =
Nilai Sekarang ( PV ) C
Biaya

Biaya C pada Rumus di atas dapat dianggap sebagai biaya pertama (Cf) sehingga
rumusnya menjadi :

( PV ) B
B/CR =
Cf

41
Dimana :
B/CR = Perbandingan manfaat terhadap biaya (benefit-cost ratio)
(PV) B = Nilai Sekarang Benefit
(PV) C = Nilai Sekarang Biaya

Adapun criteria BCR akan memberikan petunjuk sebagai berikut :


B/CR > 1 Usulan proyek/Kegiatan diterima
B/CR < 1 Usulan proyek/kegiatan ditolak
B/CR = 1 Netral

2) Net Present Value (NPV)


NPV merupakan selisih antara Present Value dari benefit dan Present Value dari
biaya. Rumusannya sebagai berikut :
Bt Merupakan benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada
tahun t;
Ct merupakan biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t,
tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian
peralatan, tanah, konstruksi, dan sebagainya) atau rutin;
N Adalah umur ekonomis dari proyek
I Merupakan Social Opportunity Cost of Capital, yang ditunjuk sebagai
Social Discount Rate

B1 B2 Bn C1 C2 Cn
NPV = [ + + … ] - [ + + … ]
1+i (1+i) 2 (1+i) n 1+i (1+i) 2 (1+i) n

N
Bt - Ct
= ?
(1+i) t
t=1

Dalam evaluasi suatu proyek tertentu tanda “go” dinyatakan oleh nilai NPV = 0.
Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar Social
Opportunity Cost of Capital. Jika NPV < 0, proyek supaya ditolak, artinya ada

42
penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang
diperlukan proyek.

3) Internal Rate of Return (IRR)


IRR adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol,
yaitu :

n
Bt - Ct
? = 0
(1+iIRR)t
t=1

IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam
suatu proyek, asal setiap benefit bersih yang diwujudkan ( yaitu setiap Bt – Ct
yang bersifat positif ) secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya
dan mendapatkan tingkat keuntungan i yang sama yang diberi bunga selama sis a
umur proyek.

3.6 Linear Goal Programming


Analisis pengembangan armada penangkapan ikan di daerah penelitian
dikaji dengan menggunakan Linear Goal Programing. Linear Goal
Programming merupakan perluasan dari Linear Programming, sehingga seluruh
asumsi, notasi, formulasi model matematik, prosedur perumusan model dan
penyelesaiannya tidak berbeda. Perbedaannya hanya terletak pada adanya
sepasang variabel deviasional yang muncul dalam fungsi tujuan dan fungsi- fungsi
kendala. Ole h karena itu, konsep dasar Linear Programming akan selalu
melandasi pembahasan model Goal Programing (Siswanto, 1993).
Dalam penelitian ini, metode ini digunakan dalam rangka menentukan
jumlah armada optimal yang dapat dikembangkan dengan dasar beberapa tujuan
yang ingin dicapai. Proses analisis dilakukan dengan alat bantu komputer dan
software LINDO.

43
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di daerah penelitian.
2. Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja di daerah penelitian.
3. Meminimumkan penggunaan BBM di daerah penelitian.
4. Memaksimumkan nilai produksi penangkapan ikan di daerah penelitian.

3.7 Code of Conduct for Responsible Fisheries


Didalam pengelolaan sumberdaya ikan, untuk me njaga kelestarian
sumberdaya ikan dan lingkungannya, merupakan tanggung jawab bersama negara-
negara sebagaimana telah diatur dalam UNCLOS 1982. Pengelolaan sumberdaya
ikan pada tingkat International berpedoman pada Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF). Pada Tahun 1995 negara-negara anggota FAO
telah menyepakati aturan yang dituangkan sebagai Kode Etik Tatalaksana
Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries).
Kode etik ini pada dasarnya mengatur perilaku dan tata cara melaksanakan
kegiatan perikanan secara bertanggungjawab, seperti mengatur alat tangkap dan
metoda penanganannya, aturan tentang ambang batas pencemaran yang dapat
ditoleransi, larangan penggunaan sarana perikanan yang membahayakan, larangan
membuang hasil- hasil perikanan yang dapat dimanfaatkan, mewaspadai alat
tangkap yang tidak bertuan yang dapat mengancam kelestarian sumber (ghost
fishing).
Dalam menganalis kebijakan pengelolaan perikanan yang bertanggung
jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) terdapat beberapa pedoman
yang menjadi arah untuk diikuti antara lain :
(1) Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan harus melalui melalui prinsip
selektivitas alat tangkap;
(2) Tidak ada hasil perikanan yang dibuang percuma (discard);
(3) Sumberdaya ikan harus dimanfaatkan optimal;
(4) Tetap menjaga kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya;
(5) Menggunakan bahan bakar secara efisien;
(6) Tidak terjadi perikanan yang tidak bertuan (ghost fishing);
(7) Berprinsip hati- hati dalam merencanakan pemanfaatan sumberdaya ikan;

44
(8) Alat/bahan penangkapan yang digunakan, tidak merusak lingkungan (tidak
polusi).
Pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries ini akan efektif
hasilnya, jika dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip yang mengarah pada
pedoman tersebut di atas kedalam kebijakan dan peraturan perikanan. Dalam
menentukan Kode Etik Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab, dilakukan
pemberian bobot (nilai) terhadap tiap unsur dari pedoman tersebut di atas
berdasarkan setiap jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Ternate
Maluku Utara. Bobot (nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 4. Setelah masing-
masing unsur pedoman yang menjadi arah dari Code of Conduct for Responsible
Fisheries dengan setiap jenis alat tangkap diberi bobot (nilai), unsur-unsur
tersebut dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matrik untuk memperoleh
beberapa alternatif. Kemudian alternatif- alternatif tersebut dijumlahkan bobotnya
untuk menghasilkan rangking dari tiap-tiap alat tangkap. Jenis alat tangkap
dengan ranking tertinggi merupakan alat tangkap yang diprioritaskan memenuhi
kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries.

3. 8 Metode Analisis Tentang Kapal Perikanan


3.8.1 Basic design Kapal

Kajian Basic Design Kapal Perikanan adalah suatu pekerjaan untuk


merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang "basic design" kapal
penangkapan ikan, agar hasil yang diperoleh maksimal mengacu pada dua dasar,
yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik
laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal yang sesuai
dengan kaidah perancangan kapal. Sedangkan untuk kapal dapat menjadi laik
tangkap, harus mengacu pada ilmu- ilmu perikanan khususnya teknologi
penangkapan yang akan digunakan.
Dalam membuat basic design kapal penangkapan ikan, diawali dengan
survei yang antara lain meliputi pengukuran terhadap kapal-kapal penangkapan
ikan yang sudah ada dan dioperasikan oleh para nelayan. Dan hasil pengukuran
akan dilakukan kajian dan analisis terhadap data yang diperoleh di lapangan, baik
ditinjau dari aspek fisik kapal dan aspek ekonomi. Khususnya hasil analisis aspek

45
fisik kapal, akan dijadikan acuan untuk membuat rancangan-rancangan basic
design pada pekerjaan ini.

3.8.2 Aspek Fisik Kapal


Aspek fisik kapal mencakup dimensi-dimensi utama kapal (panjang, lebar,
dalam/tinggi dan sarat), koefisien-koefisien bentuk kapal termasuk faktor
stabilitas kapal. Basic design kapal perikanan ini meliputi 4 (empat) rancangan,
yaitu:
1. Rancangan Garis (Lines Plan)
2. Rancangan Umum (General Arrangement)
3. Rancangan Konstruksi Melintang (Midship Section Construction)
4. Rancangan Konstruksi Membujur (Profile Construction)
Rancangan garis menentukan karakteristik kapal dibawah air. Rancangan ini
akan menentukan bentuk lambung kapal yang akan dirancang. Rancangan garis
air merupakan parameter bentuk (form parameter) sebagai dasar yang
menentukan kinerja (performance) maupun Stabilitas kapal. Oleh karena itu, nilai-
nilai parameter bentuk ini sangat bervariasi antara satu kapal dengan kapal
lainnya, tergantung pada bentuk dan jenis kapal yang direncanakan. FAO 1996
memberikan beberapa parameter bentuk kapal yang ideal untuk jenis-jenis kapal
penangkapan ikan. Namun secara umum perancang kapal (designer) menentukan
atau memilih nilai dari parameter bentuk yang sesuai denga n jenis kapal yang
direncanakan.
Parameter bentuk yang ditetapkan oleh FAO 1996 antara lain adalah: .
(1) Rasio perbandingan antara panjang dan lebar (L / B).
(2) Rasio perbandingan antara lebar dengan sarat air (B / T).
(3) Koefisien Midship (C M).
(4) Koefisien Prismatic (C P ).
(5) Letak titik tekan, secara membujur dalam prosentase panjang kapal
Longitudinal Centre of Bouyancy (LCB %), dan bila berada di belakang Midship
diberi tanda minus (-).
(6) Half angle of entrance of load water line (± a )
(7) Trim.

46
Adapun nilai-nilai yang ideal parameter bentuk adalah:
(1) (L / B) ………………………. 3,10 - 4,30
(2) (B / T) ………………………. 2,00 - 3,20
(3) (C M) ………………………. 0,50 - 0,80
(4) (C P ) ………………………. 0,55 - 0,65
(5) LCB% ………………………. - 6,00 - +1,00
(6) ½ a ………………………. 15.0 - 34,0
(7) Trim ………………………. - 0,04 - + 0,13

Untuk menentukan parameter bentuk akan dilakukan perhitungan dari


ukuran utama kapal.
Ukuran pokok kapal ditentukan dengan metoda perbandingan terhadap kapal
yang disurvei yang dianggap laik laut dan laik tangkap kemudian dibandingkan
dengan kriteria nilai ideal yang diberikan oleh FAO 1996. Ukuran pokok tersebut
adalah :
(1) Panjang
Panjang kapal sangat erat kaitannya dengan tata ruang, sehingga memenuhi
kapasitas ruang mesin, tangki bahan bakar, tangki air tawar, ruang palkah ikan,
ruang akomodasi, gudang, tempat kerja untuk kegiatan penangkapan, gudang alat
tangkap dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya panjang kapal akan berpengaruh terhadap:
(1) Hambatan Kapal
(2) Kecepatan
(3) Kekuatan Membujur
(4) Stabilitas
(5) Pengaturan Tata Ruang
(2) Lebar
Lebar kapal sangat erat hubungannya dengan stabilitas kapal dan juga
hambatan kapal serta area kerja pada geladak kapal.
(3) Tinggi
Tinggi kapal sangat erat hubungannya dengan kapasitas muat, stabilitas serta
kekuatan membujur kapal. Penambahan atau pengurangan tinggi kapal akan
berpengaruh terhadap kekuatan membujur dan letak titik berat.

47
(4) Sarat air
Sarat air adalah kedalaman kapal pada kondisi kosong atau penuh. Sarat air
kapal digunakan untuk mengetahui displacement kapal.
(5) Freeboard
Freeboard adalah ketinggian antara sarat air terhadap geladak utama.
Freeboard berpengaruh terhadap stabilitas yaitu sudut karam kapal.
(6) Koefisien dan Rasio Kapal
Koefisien-koefisien kapal akan menentukan ciri kapal (bentuk kapal) dan
berhubungan erat dengan stabilitas serta hambatan kapal, yang meliputi :
(i) Koefisien Balok
Koefisien balok (CB) menentukan bentuk dan volume kapal (bentuk kapal)
yang berada di bawah garis air. Koefisien balok juga digunakan untuk
menentukan displacement kapal.
(ii) Koefisien Bidang Lintang Tengah
Koefisien bidang lintang tengah (C M) adalah untuk menentukan luas bidang
lintang tengah kapal. Koefisien ini juga berpengaruh pada stabilitas kapal.
(iii) Koefisien Bidang Garis Air
Koefisien bidang garis air (Cw) menentukan luas bidang garis air pada setiap
kedalaman air. Jika tiap-tiap luas garis air dihitung secara integral dengan
metoda Simson akan diperoleh displacement, stabilitas melintang dan
stabilitas membujur kapal.
(iv) Koefisien Prismatik
Koefisien prismatik (Cp) menentukan kelangsingan kapal dan berhubungan
erat dengan hambatan kapal.
(v) Speed Length Ratio (SLR)
Kecepatan kapal penangkapan ikan dapat dikelompokkan berdasarkan rasio
perbandingan antara kecepatan dan panjang kapal yang dinyatakan dengan
V / v L.
Dari pengelompokan ini akan muncul kriteria kapal dengan kecepatan tinggi,
kecepatan normal dan kecepatan rendah.
§ Kecepatan rendah (V / v L = 0,69 s/d 0,92)
§ Kecepatan normal (V / v L = 1,03 s/d 1,14)

48
§ Kecepatan tinggi (V / v L = 1,26 s/d 1,37)
Kapal penangkapan ikan biasanya termasuk kapal berkecepatan tinggi, dimana
kecepatan optimumnya memiliki nilai V / v L = 1,34 atau bilangan Froude
V / v gL = 0,38.
(7) Rancangan Umum
Rancangan umum (General Arrangement) adalah gambaran umum dari
keseluruhan penataan ruangan dan perlengkapan di kapal. Penataan ruang di kapal
dimaksudkan untuk memperoleh efisiensi ruangan-ruangan yang dibutuhkan
sesuai dengan fungsi dan kegiatan kapal tersebut. Penataan ruangan pada saat
perencanaan pembuatan kapal dirancang dan dihitung secara seksama agar
memenuhi areal maupun volume ruangan yang dibutuhkan serta untuk
memperoleh stabilitas kapal yang mantap.
Pada prinsipnya penataan ruangan ini bisa dikelompokkan menjadi dua,
yaitu ruangan di bawah geladak dan ruangan di atas geladak.
Ruang di bawah geladak meliputi :
(i) Ruang Ceruk Buritan : biasanya digunakan sebagai tempat steering gear.
Pada kapal kayu, ruang ceruk buritan ini menjadi multi fungsi, yang juga
digunakan sebagai penyimpanan peralatan mesin.
(ii) Ruang Mesin : biasanya disebut juga sebagai kamar mesin digunakan
sebagai tempat akomodasi dari mesin kapal yang merupakan sumber daya
penggerak kapal. Tenaga mesin dapat ditentukan dengan menghitung
hambatan kapal dalam berbagai jenis nilai kecepatan dan dituangkan dalam
bentuk grafik.
(iii) Ruang Palkah Ikan : adalah ruangan yang digunakan untuk menyimpan
ikan hasil tangkapan. Ruang palkah ikan ini harus diberi insulasi, agar
penetrasi panas dapat dikurangi atau dihambat. Bahan insulasi yang sering
digunakan dewasa ini adalah Polyurethan. Pendinginan ikan di palkah ikan
dapat dengan menggunakan unit pendingin atau menggunakan es. Karena
ikan harus dipertahankan mutunya agar tetap baik maka konstruksi palkah
ikan (terutama dinding-dinding kapal yang diberi insulasi) harus dirancang
secara khusus dan seksama sesuai dengan persyaratan mutu ikan yang
diperlukan.

49
Pada prinsipnya ukuran palkah ikan ditentukan antara lain oleh :
• Lama hari operasi (jumlah setting)
• Produktivitas alat tangkap
• Jenis ikan yang tertangkap
• Sistem pendinginan yang digunakan
• Stowage ratio ikan.
(iv) Ruang Ceruk Depan : ruang ceruk depan digunakan untuk tempat serbaguna
seperti untuk menyimpan rantai jangkar. Disamping itu, sisa ruangan yang
ada juga digunakan untuk menyimpan peralatan kapal ataupun suku cadang
alat tangkap ikan.
(v) Tangki Bahan Bakar : ruangan yang digunakan untuk menyimpan bahan
bakar yang akan digunakan kapal selama beroperasi. Volume tangki bahan
bakar sangat berhubungan dengan lama operasi (pelayaran) serta daya mesin
yang digunakan di kapal.
(vi) Tangki Air Tawar : ruangan yang digunakan untuk menyimpan air tawar
untuk keperluan awak kapal selama operasi penangkapan (pelayaran).
Ukuran tangki air tawar juga berhubungan dengan jumlah awak kapal serta
lama trip operasi. FAO menyarankan bahwa seorang awak kapal
penangkapan ikan membutuhkan air tawar ± 14 liter per hari.
(vii) Tangki Ballast : tangki ballast pada umumnya terletak di haluan kapal.
Tangki ballast biasanya diisi air laut yang berfungsi untuk mengimbangi
moment trim (agar kapal tidak tungging atau tonggak).
Ruang di atas geladak pengaturannya sangat penting karena berhubungan
langsung dengan pengoperasian alat tangkap. Ruang di atas geladak meliputi
ruang kemudi, ruang akomodasi awak kapal, gudang (tempat penyimpanan)
alat tangkap serta berbagai tempat alat bantu penangkapan.
(8) Rancangan Konstruksi Melintang
Ukuran balok konstruksi melintang kapal ditentukan dengan perhitungan
scantling berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Biro Klasifikasi Indonesia
(BKI) pada tahun 1996, khususnya untuk kapal kayu, yang didalamnya meliputi :
a. Lunas
b. Linggi haluan dan linggi buritan

50
c. Gading-gading dan wrang
d. Galar balok
e. Kulit Iuar
f. Balok geladak
g. Geladak
h. Pagar
i. Sekat-sekat kedap air
j. Palkah ikan
k. Pondasi mesin.
Ukuran-ukuran bagian konstruksi dapat berubah sesuai dengan kriteria daerah
pelayaran yang telah ditetapkan oleh peraturan BKI, 1996.

9) Rancangan Konstruksi Membujur


Rancangan konstruksi membujur kapal meliputi :
a. Konstruksi membujur Iambung
b. Konstruksi geladak
c. Konstruksi bangunan atas
d. Konstruksi linggi haluan
e. Konstruksi linggi buritan

3.8.3 Metode Analisis GT Kapal Ikan

Berdasarkan KEPMEN No. 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha


Penangkapan, pasal 16 ayat (3) huruf (a) dan berdasarkan rumus International
Formula for Tonnage Measurement Of Ships 1969, ditetapkan bahwa perhitungan
GT untuk kapal :
(1) Panjang diatas 24 m dihitung berdasarkan rumus pendekatan GT = V. k,
dimana (V) adalah volume kapal dan (k) adalah konstanta yang didapat dari
tabel konstanta untuk m3 volume kapal.
(2) Untuk kapal dibawah 24 m dihitung dengan rumus : (L x B x D x Cb) : 2,83.
Cb = Koefisien block dari kapal. Cb Pukat Ikan = 0.8, Purse Seine = 0.6 s/d
0.8, Long Line = 0.6, untuk yang lain 0.5 s/d 0.6.

51
Pengukuran GT kapal sebagaimana yang telah dijelaskan, meliputi
pengukuran seluruh ruangan tertutup yang ada di kapal. Di Indonesia desain kapal
ikan cukup bervariasi, beberapa kapal ada yang memiliki ruangan di atas geladak
ukur dan ada yang tidak. Bahkan beberapa kapal ikan tidak memiliki palka ikan
seperti pada kapal-kapal pole and line, atau pun kapal-kapal yang termasuk
kategori perikanan skala kecil, seperti perahu payang, perahu dogol dan perahu
compreng.
Dalam sejarah pene ntuan metoda pengukuran kapal, Moorsom dalam
Nomura dan Yamazaki (1977) menyebutkan bahwa cara pengukuran kapal di
berbagai negara adalah cara pengukuran menurut MOORSOM. Cara ukur
MOORSOM mula- mula diterapkan di Inggris dan negara jajahannya tahun 1855.
Kemudian penerapannya diikuti oleh Austria, Italia. Turki, Norwegia dan
Finlandia. Baru pada tahun 1886, dengan diberlakukannya Scepmentings
Ordonantie 1927 di wilayah Indonesia mulai diterapkan cara ukur MOORSOM
dalam pengukuran kapal. Akan tetapi dalam pelaksanaannya satu dengan yang
lainnya mempunyai sistem yang berbeda. Karena itu dirasakan perlu adanya suatu
sistem yang bersifat universal. Sesudah perang dunia kedua (1939-1945), United
Nations mendirikan suatu organisasi perkapalan khusus yaitu "Intergovernmental
Maritime Consultative Organization' disingkat "ICMO" berkedudukan di London,
Inggris.
Menyadari betapa pentingnya penetapan suatu sistem yang bersifat universal
untuk pengukuran kapal, maka pada tanggal 27 Mei hingga 23 Juni 1969
diselenggarakan suatu konferensi yang dihadiri oleh lebih 40 negara, termasuk
Indonesia, dengan mengundang ICMO. Tujuannya adalah untuk merumuskan
Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal. Pada tanggal 23 Juni 1969
disahkan “International Convention on Tonnage Measurement of Ships”. Dalam
konvensi ini juga ditetapkan penggunaan isi kotor (Gross Tonnage/GT) dan isi
bersih (Net Tonnage) sebagai parameter pengukuran serta cara pengukurannya.
Pemerintah Indonesia pada akhirnya mengesahkan konvensi tersebut melalui
Keputusan Presiden No.5 Tahun 1989 tentang Pengesahan International
Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969. Beberapa hal utama yang
perlu diketahui dari International Convention on Tonnage Measurement of Ships

52
1969 adalah bahwa konvensi ini akan diterapkan pada kapal-kapal yang
digunakan untuk pelayaran-pelayaran internasional dan yang terdaftar di negara-
negara yang pemerintahannya ikut menandatangani konvesi tersebut (Pasal 3),
dan tidak akan berlaku bagi kapal-kapal yang panjangnya kurang dari 24 meter
(Pasal 4). Dengan demikian kapal-kapal yang memiliki panjang kurang dari 24
meter diatur oleh masing- masing negara.
Gross Tonnage (GT/isi kotor) kapal berdasarkan International Convention
on Tonnage Measurement of Ships 1969 (Konvensi Internasional Tentang
Pengukuran Kapal 1969) yang telah diratifikasi dengan Keppres No.5 Tahun 1989
tentang Pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships
1969, adalah ukuran besarnya kapal secara keseluruhan dengan memperhitungan
jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak
maupun di bawah geladak ukur.
Berdasarkan Keputusan Peraturan Pengukuran Kapal 1927 (Scepmentings
Ordonantie 1927) pasal 32 Ayat (2) disebutkan bahwa ukuran isi kapal atau
kendaraan air adalah dalam meter kubik (m3 ) dan dalam ton-register (Register
Ton/RT). Jumlah ton-register didapat dengan cara mengalikan jumlah meter kubik
dengan bilangan 0,353. Dengan demikian bilangan 0,353 merupakan nilai
konversi dari meter kubik ke ton-register. Bilangan ini diperoleh berdasarkan
ukuran satuan kaki (feet) Inggris. Dimana : Satu feet = 30.479 cm, Satu feet kubik
= 0,02831405 m3 100 feet kubik = 2,831405 m3. Satu meter kubik = 0,353 RT
(Register Ton).
Cara pengukuran Internasional adalah berdasarkan ketetapan yang ada
dalam Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal (International
Convention on Tonnage Measurement of Ships) 1969, dimana GT kapal
ditentukan sesuai dengan rumus berikut :

GT = K . V

Keterangan :
V = Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup yang dinyatakan dalam meter kubik.

53
K1 = 0,2 + 0,002 log 10 V (atau nilai K; merupakan koefisien yang diperoleh dari
hasil interpolasi linier/berupa tabel).

Penggunaan rumus ini menghasilkan ukuran isi kapal dengan satuan meter
kubik. Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (V) sebagaimana tersebut di diatas
merupakan ruangan-ruangan yang terdapat di bawah geladak ukur maupun di atas
geladak ukur. Pengukuran ruang-ruang tertutup berdasarkan peraturan
internasional pada intinya ada dua, yaitu dengan mengalikan panjang, lebar dan
tinggi suatu ruangan untuk mendapatkan volume ruangan berbentuk segi empat
dan menghitung volume bagian per bagian dari suatu ruangan yang berbentuk
tidak beraturan dengan cara pengukuran menurut MOORSOM atau dalam bidang
naval architec dikenal cara penghitungan dengan menggunakan Sympson's Rules.
Pengukuran menurut MOORSOM ini adalah dengan cara menghitung volume
suatu ruangan tertentu yang tidak beraturan dengan terlebih dahulu membagi
ruangan-ruangan tersebut menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Kemudian
ruangan-ruangan kecil tersebut dihitung volumenya bagian per bagian dan baru
kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan volume total ruangan tersebut.
Sebagai ilustrasi, perhitungan ruangan menurut MOORSOM dapat dilihat pada
Gambar 3.

54
Gambar 3. Metode Moorsom / Sympson’s Rules

Definisi ruang tertutup berdasarkan International Convention on Tonnage


Measurement of Ships 1969, Peraturan 2 Pasal 22, adalah ruang-ruang yang
dibatasi oleh badan kapal, ole h dinding penyekat yang tetap atau yang dapat
dipindah, oleh geladak- geladak ataupun penutup-penutup lain selain tenda-tenda
tetap ataupun yang dapat dipindah. Ditinjau dari definisi tersebut, khusus untuk
pengukuran GT kapal ikan meliputi seluruh ruangan tertutup yang terdapat di atas
maupun di bawah dek seperti palka, palka umpan (bagi kapal ikan yang membawa
umpan hidup/mati seperti kapal pole and line, kapal rawai tuna dan sebagainya),
gudang/tempat menyimpan Blat tangkap, ruang akomodasi ABK (accomodation
room), dapur (bagi kapal ikan yang lebih dari satu hari operasi per trip), ruang
kemudi (khusus ruang kemudi yang tertutup), ruang mesin, tangki bahan bakar
(fuel oil tank) dan tangki air tawar (fresh water tank).

55
3.8.4 Metode Analisis Spesifikasi Kapal dan Alat Tangkap Ikan
Kapal Perikanan sesuai dengan undang- undang terbaru mengenai Perikanan
No. 31 Tahun 2004 disebutkan bahwa kapal, perahu atau alat apung lain yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan,
pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan.
Armada penangkapan ikan adalah merupakan kesatuan sarana penangkapan
ikan yang meliputi kapal perikanan yang terdiri dari kapal penangkap ikan, dan
alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan ikan baik alat perlengkapan
di atas kapal maupun alat bantu operasional penangkapan ikan yang bertujuan
untuk mengumpulkan ikan seperti rumpon atau lampu pengumpul ikan.
Secara struktural, armada penangkapan ikan dibedakan menurut kategori
besarnya ukuran kapal perikanan yaitu armada tradisional dan modern. Armada
penangkapan ikan tradisional umumnya terdiri dari perahu tanpa motor, perahu
motor tempel sampai dengan kapal motor tidak lebih besar dari 30 GT. Armada
penangkapan ikan modern menggunakan kapal motor di atas 30 GT dan
dilengkapi pula dengan berbagai alat bantu penangkapan ikan yang sarat dengan
muatan teknologi penangkapan dan pengolahan pasca panen hasil perikanan.
Menurut cara operasional, armada penangkapan ikan diklasifikasikan
berdasarkan jenis alat penangkapan ikan yang digunakan. Bila dilihat dari segi
oseanografi, keadaan topografi dasar perairan, banyaknya jenis-jenis ikan, udang
dan biota lainnya dengan tingkah laku dan sifat yang berbeda-beda, sudah tentu
memerlukan alat penangkap dan cara penangkapan yang berbeda-beda pula di
dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.
Di Indonesia, banyak terdapat jenis alat penangkap, baik untuk ikan, udang
maupun biota la ut lainnya. Beberapa alat penangkap sederhana yang telah lama
diusahakan secara tradisional oleh nelayan di Indonesia, antara lain : tombak,
sero, bubu, pancing dan jala. Kemudian menyusul alat penangkap lain, seperti :
berbagai jenis pukat kantong dan berbagai jenis jaring insang. Dalam
perkembangan lebih lanjut kemudian muncul alat penangkap yang lebih produktif
dan efisien, seperti pukat udang, pukat cincin, rawai, huhate dan lain, sebagainya.

56
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan
Perikanan Indonesia telah mengklasifikasikan berbagai macam alat penangkap
yang ada di Indonesia ini ke dalam sepuluh (10) kelompok, yaitu : (1) Pukat
udang ; (2) Pukat cincin ; (3) Pukat kantong ; (4) Jaring insang ; (5) Jaring angkat
; (6) Pancing; (7) Perangkap ; (8) Alat pengumpul kerang dan rumput laut ;
(9) Muro-ami, termasuk soma mallalugis dan (10) Alat penangkap lainnya.

57
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Profil
Data geografis dari Provinsi Maluku Utara dengan Ibukota di Ternate
berada antara 1240 -1300 Bujur Timur dan antara 30 Lintang Selatan sampai 30
Lintang Utara, dan dilewati oleh Garis Khatulistiwa.
Berbatasan langsung dengan :
• Utara - Laut Pasifik
• Selatan - Laut Seram
• Timur - Provinsi Irian Jaya
• Barat - Pulau Sulawesi

Gambar 4 Peta Propinsi Maluku Utara


Wilayah Propinsi Maluku Utara secara administratif mempunyai luas
140.255,36 km2 yang terdiri dari luas lautan 106.977,32 km2 dan luas daratan
33.276 km2 , luas lautan merupakan persentase terbesar yakni 77 % dari
keseluruhan wilayah. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari satu pulau
besar dan 396 pulau kecil dimana 69 buah pulau berpenghuni, sedangkan 327
buah pulau tidak berpenghuni dengan jumlah penduduk Propinsi Maluku Utara
sebesar 20.995 jiwa adalah nelayan (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi
Maluku Utara, 2003).
Kota Ternate yang luasnya 5.795,4 km2 terdiri dari luas perairan 5.544,55
km2 atau 95,7% dan daratan 250,85 km2 atau 4,3 % yang tersebar pada delapan
pulau. Jarak antara pulau Ternate ke pulau lain adalah sebagai berikut (Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Terna te, 2003) :
- Pulau Ternate – Pulau Hiri 1,5 mil laut
- Pulau Ternate – Pulau Moti 11 mil laut
- Pulau Ternate – Pulau Mayau 90 mil laut
- Pulau Ternate – Pulau Tifure 106 mil laut
- Pulau Ternate – Pulau Maka 1,6 mil laut
- Pulau Ternate – Pulau Mano 1,6 mil laut
- Pulau Ternate – Pulau Gurida 106, 1 mil laut
Jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2004 adalah 148.946 jiwa.
Wilayah kota Ternate terletak antara 30 Lintang Utara dan 30 Lintang Selatan serta
124 Bujur Timur, Kota Ternate berbatasan dengan :
- sebelah utara dengan Samudera Pasifik
- sebelah selatan dengan Laut Maluku
- sebelah timur dengan laut Halmahera
- sebelah barat dengan laut Maluku
Temperatur udara antara 270 C – 320 C dengan kisaran salinitas perairan antara 29
– 34%.
Kota Ternate lebih dulu digunakan untuk menyebut daerah perkotaan yang
berada ditengah Pulau Ternate, lokasi ibukota Propinsi Maluku Utara, namun,
Kota Ternate juga merupakan sebutan resmi wilayah administratif yang meliputi

59
delapan pulau : Ternate, Moti, Hiri, Mayau, Tifure, Maka, Mano dan Burida. Tiga
pulau terakhir tidak berpenghuni.
Kota Ternate terdiri dari 4 Kecamatan yaitu masing- masing (1) Kecamatan
Ternate Utara dengan 17 Kelurahan, (2) Kecamatan Ternate Selatan dengan 19
Kelurahan, (3) Kecamatan Pulau Ternate dengan 21 Kelurahan dan (4) Kecamatan
Moti dengan 6 Kelurahan sehingga jumlah Kelurahan di Kota Ternate adalah 63
Kelurahan.

4.2 Keragaan Perikanan Tangkap


4.2.1 Potensi/Produksi Sumberdaya Ikan
Potensi sumberdaya ikan laut Maluku Utara diperkirakan sebesar 484.382,48
ton/tahun yang terdiri dari potensi ikan pelagis sebesar 315.000 ton/tahun dan
169.382,48 ton/tahun adalah potensi sumberdaya ikan demersal seperti cumi dan
kelompok ikan hias. Penyebaran potensi ikan tersebut didasarkan pada wilayah
penangkapan yaitu : Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera dan Pasifik
bagian selatan. Dari potensi tersebut yang dapat dimanfaatkan sebesar 242.191, 24
ton/tahun. Sampai dengan tahun 2001 produksi yang dihasilkan mencapai
83.758,69 ton/tahun dengan demikian tingkat pemanfaatannya baru mencapai
34,58 % (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara, 2003).
Sektor Perikanan dan Kelautan Maluku Utara memiliki prospek yang cerah
untuk dibangun menjadi suatu kegiatan ekonomi yang tangguh, strategis dan
berkelanjutan. Hal ini didukung oleh potensi sumberdaya perikanan yang relatif
besar, disamping itu ada beberapa faktor yang mendukung sektor perikanan untuk
berkembang dan menjadi leading sektor dari pembangunan daerah ini seperti
potensi sumberdaya perikanan yang belum tergarap secara optimal.
Adapun dengan adanya konflik di Maluku Utara yang terjadi pada bulan
Agustus 1999 sampai awal tahun 2000 telah banyak merenggut lebih kurang 2000
orang dan diperkirakan 22.000 rumah, bangunan umum dan tempat ibadah rusak
dan hancur, selama kerusuhan tersebut masyarakat pedesaan dan masyarakat
pesisir kehilangan mata pencaharian dan barang-barang modal mereka, sedangkan
lebih dari 200.000 penduduk mengungsi ke lokasi lain diantaranya ke Propinsi
Sulawesi Utara (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara, 2004).

60
Sekitar 14.000 nelayan di lokasi konflik telah kehilangan alat-alat produksi,
sehingga diperlukan kegiatan untuk menunjang kehidupan mereka, berupa
bantuan pengadaan perahu, alat tangkap ikan yang hilang atau dirampok pada saat
kerusuhan. Propinsi Maluku Utara kehilangan produksi ikan disebabkan karena
jumlah perahu dan alat tangkap berkurang jumlahnya dan mengakibatkan
berkurangnya ikan yang di konsumsi keluarga dan yang tersedia di pasar-pasar
lokal.
Hal tersebut diatas dipandang menimbulkan dampak yang kurang
menguntungkan bagi kehidupan nelayan di sekitarnya. Untuk itu pemerintah
mencoba memberikan beberapa bantuan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup nelayan serta memulihkan kembali taraf kehidupan mereka yang sesuai
dengan kondisi sebelumnya.
Perikanan tangkap merupakan salah satu prime mover karena kontribusinya
cukup besar yaitu sebesar 86,44 % dari total produksi, dengan berbagai jenis hasil
tangkapan berupa ikan konsumsi bernilai ekonomis penting diantaranya ikan
pelagis besar seperti cakalang (Katsuwanus pelamis), tuna (Thunnus sp), tongkol,
cucut dan berbagai jenis pelagis kecil seperti kembung (Rastreliger kanagurta)
layang (Decapterus), tembang (Sardinella spp), selar (Selparoides spp) dan teri.
Beberapa jenis ikan demersal yang diusahakan oleh masyarakat nelayan antara
lain kerapu (Ephinepelus spp), ekor kuning (Caesio spp), beronang (Siganus spp),
kakatua (Scarus spp), kakap (Lates spp) serta jenis lainnya yang belum
dikomersilkan dan masih terbatas.
Hasil identifikasi jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan disekitar
perairan pantai terdapat 98 jenis ikan, 74 diantaranya bernilai ekonomis penting,
20 jenis telah dikomersilkan termasuk didalamnya cumi- cumi (Loligo sp), teri
(Stelophorus spp), nener, bandeng serta 12 jenis ikan hias ekosistem terumbu
karang (Dinas Kelautan Propinsi Maluku Utara, 2004).
Produksi ikan terbesar di Maluku Utara adalah ikan cakalang, yang
ditangkap dengan alat tangkap pole and line, seperti terlihat pada Tabel 10.

61
Tabel 10 Produksi tahunan menurut jenis ikan dan jenis alat tangkap terpilih di
Maluku Utara

JENIS TAHUN 2004 TAHUN 2005


NO
IKAN
PS GN LL PL BHL PS GN LL PL BHL
1. Kerapu - - - - 129,9 - - - - 131,9
2. Kakap - 34,5 - - 138,6 - 49 - - 146,3
Ekor
3. 145,1 52,8 - - 176,6 154,1 74,1 - - 189,1
kuning
4. Kembung 42,4 63,7 - - 162,6 517,2 88,4 - - 148,8
5. Tenggiri - - 5,3 - - - - 382,5 - -
6. Tuna - - 1856,9 125,1 89,1 - - 2333,2 130,2 161,75
7. Cakalang - - - 16986,2 161,3 - - - 20558,1 397,9
8. Tongkol - - - 4108,5 162,4 - - - 4088,9 182,7
9. Layang 12878,4 281,3 - - - 15452,4 296,9 - - -
10. Selar 843,6 244,4 - - - 885,0 266,1 - - -

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005)


Keterangan :
PS : purse seine
GN : gillnet
LL : longline
PL : pole and line
BHL : bottom handline

Sedangkan untuk produksi perikanan tangkap Kota Ternate terutama


didominasi oleh ikan cakalang, tuna dan layang (Tabel 11).
Tabel 11 Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate
PRODUKSI (Ton) Rata-rata kenaikan
NO JENIS IKAN
2004 2005 (%)
1 Kerapu 54,35 98,09 80,48
2 Kakap 73,52 81,68 11,10
3 Ekor kuning 42,51 98,61 131,97
4 Kembung 53,51 180,09 236,55
5 Tenggiri 168,03 110,95 -33,97
6 Tuna 551,23 546,90 -0,79
7 Cakalang 2307,99 4727,12 104,82
8 Tongkol 1167,78 809,33 -30,69
9 Layang 1576,29 2713,00 72,11
10 Selar 159,86 464,95 190,85
11 Kuwe 30,87 121,66 294,10
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005)

62
5000

4500

4000

3500
Produksi (ton)

3000

2500

2000

1500

1000

500

0
Kerapu Kakap Ekor Kembung Tenggiri Tuna Cakalang Tongkol Layang Selar Kuwe
kuning
Jenis alat tangkap
Tahun 2004 Tahun 2005

Gambar 5 Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate

Alat tangkap pole and line mempunyai produktivitas tertinggi di Kota


Ternate dibandingkan dengan alat tangkap lainnya seperti bottom handline, purse
seine dan gillnet (Tabel 12).

Tabel 12 Produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di Kota Ternate
No. JENIS ALAT TANGKAP 2004 (Ton) 2005 (Ton)
1 Purse Seine 129,70 281,47
2 Gillnet 70,88 206,10
4 Pole and Line 1920,44 3915,66
5 Bottom Handline 227,45 306,07

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005)

63
4500

4000

3500

3000
Produksi (ton)

2500

2000

1500

1000

500

0
Purse Seine Gillnet Pole and Line Bottom Handline

Jenis alat tangkap


Tahun 2004 Tahun 2005

Gambar 6 Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di


Kota Ternate

4.2.2 Daerah Penyebaran dan Musim Penangkapan


Daerah penangkapan untuk pelagis besar (tuna dan cakalang) di perairan
Maluku Utara adalah :
(1) Di Ternate daerah penangkapan meliputi perairan Pulau Hiri dan Laut
Maluku.
(2) Di Tidore, daerah penangkapan meliputi perairan Halmahera Tengah, Pulau
Makian dan Perairan Tidore bagian Selatan.
(3) Di Bacan, Daerah penangkapan meliputi perairan Selat Obi dan Laut
Maluku.
(4) Di Sana na, daerah penangkapan meliputi perairan Sula dan Laut Seram.
(5) Di Buli daerah penangkapan meliputi perairan pada laut Halmahera.
(6) Di Morotai daerah penangkapan meliputi perairan Pasifik Selatan dan Laut
Halmahera.
Musim penangkapan untuk pelagis besar dilakukan sepanjang tahun dengan
musim puncak sebagai berikut (Dinas Kelautan Propinsi Maluku Utara, 2004) :
(1) Ternate, Tidore : Januari – April dan September – Oktober
(2) Bacan : Februari – Mei dan September – Oktober

64
(3) Sula : Februari – April dan September – Desember
(4) Morotai : Januari – April dan September – Nopember

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Ternate
Bacan
Sula
Morotai

Gambar 7 Musim puncak penangkapan untuk pelagis besar

Daerah tangkapan untuk pelagis kecil dan demersal di perairan Maluku Utara
adalah :
(1) Teluk Kao : Kembung, teri dan bambangan
(2) Gane Barat dan Timur : Kakap merah, kerapu, bambangan, biji nangka
(3) Bacan : Kakap merah, kerapu, bambangan, swanggi,
lencam, gulama dan layang.
(4) Morotai : Kerapu, kakap, bambangan, kuwe dan kembung
(5) Kayoa : Layang dan ekor kuning
(6) Loloda : Kakap merah, bambangan, kembung
(7) Wasilei : Teri, julung-julung dan kembung

Musim penangkapan untuk Pelagis kecil dan ikan demersal dilakukan sepanjang
tahun Untuk daerah tangkapan yang bukan ikan adalah :
(1) Loloda : Cumi-cumi, teripang dan sput
(2) Teluk Kao : Ubur- ubur, teripang, siput dan cumi-cumi
(3) Bacan : Ubur- ubur, teripang dan budidaya mutiara
(4) Taliabu Barat : Cumi-cumi, rumput laut dan teripang
(5) Morotai : Rumput laut dan teripang
(6) Wasilei : Ubur- ubur dan teripang.

Daerah penangkapan untuk ikan hias meliputi :


(1) Sula dan Taliabu : Angel fish (Pomachantidae), kepe-kepe, morishidol
(Zanctidae), bendera, tiger fish (Scorpaenidae)

65
(2) Morotai dan Loloda : Angel fish, morishidol, triger fish
(3) Bacan, Gane, Obi dan Kayoa : Angel fish, morishidol, triger fish
(4) Buli dan Patani : Angel fish, morishidol, tiger fish.

4.2.3 Sarana dan Prasarana Perikanan


1) Sarana Perikanan
Jumlah armada penangkapan ikan di Propinsi Maluku Utara rata-rata
dimiliki nelayan skala kecil yang terdiri dari armada tanpa motor, armada motor
tempel dan armada motor dalam. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005, armada yang dimiliki nelayan
masih didominasi oleh armada motor tempel sebanyak 1623 unit atau sebesar
37,01 % dari total armada sebanyak 4385 unit. Armada motor tempel khususnya
beroperasi untuk memanfaatkan ikan- ikan pelagis kecil, ikan karang, ikan
demersal lainnya dengan menggunakan alat tangkap mini purse seine, gill net,
hand line, tonda, pole and line. Adapun armada tanpa motor menempati urutan
kedua, yaitu sebanyak 1614 unit atau sebesar 36,81 % dari total armada. Armada
tanpa motor mempunyai daerah operasi pada wilayah pesisir, dengan sasaran
pemanfaatan berorientasi pada jenis-jenis ikan pelagis dan jenis-jenis ikan karang
di daerah pesisir dengan menggunakan alat tangkap handline dan gill net.
Armada penangkapan yang menggunakan motor dalam atau kapal motor
berjumlah sekitar 1148 unit atau sebesar 26,18 % dari total armada. Armada
kapal motor dikhususkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang
berorientasi pada jenis-jenis ikan pelagis besar, demersal dengan menggunakan
alat tangkap pole and line dan jenis long line dengan bobot rata-rata armada
penangkapan antara 10 – 30 GT.
Total armada penangkapan ikan di Kota Ternate sebanyak 435 unit yang
didominasi oleh motor tempel sebanyak 155 unit (35,63 %), diikuti oleh armada
kapal motor sebanyak 142 unit (32,64 %) dan terakhir adalah perahu tanpa motor
sebanyak 138 unit (31,72 %). Khusus untuk kapal motor didominasi oleh kapal
motor yang berukuran 5-10 GT (Tabel 13).

66
Tabel 13 Kapal motor menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate

KAPAL MOTOR (GT) 2004 (Unit) 2005 (Unit)


0-5 53 58
5-10 64 70
10-20 6 8
20-30 3 6

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005)

80

70

60
Jumlah (unit)

50

40

30

20

10

0
0-5 5-10 10-20 20-30
Kapal Motor (GT)
Tahun 2004 Tahun 2005

Gambar 8 Perkembangan kapal motor menurut ukuran kapal (GT) di Kota


Ternate

Terdapat beberapa jenis unit penangkapan terpilih di Kota Ternate seperti


dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.

Tabel 14 Jumlah unit penangkapan terpilih di Kota Ternate


No JENIS ALAT TANGKAP 2004 (Unit) 2005 (Unit)
1 Purse Seine 16 21
2 Gillnet 23 24
3 Pole and Line 29 35
4 Bottom Handline 26 30

67
40

35

30
Jumlah (unit)

25

20

15

10

0
Purse Seine Gillnet Pole and Line Bottom Handline
Jenis alat tangkap

Tahun 2004 Tahun 2005

Gambar 9 Perkembangan jumlah unit penangkapan terpilih di Kota Ternate

2) Prasarana perikanan
Prasarana perikanan yang ada di Propinsi Maluku Utara sampai saat ini
terdiri dari :
(1) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang sekarang telah dinaikkan statusnya
menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Kota Ternate, memiliki
luas lahan keseluruhan berkisar 40.000 m² dengan fasilitas yang tersedia
berupa : perkantoran dan perumahan karyawan, dermaga sepanjang 560 m²,
cold storage, pabrik es kapasitas 5 ton, bengkel seluas 200 m², balai
pertemuan nelayan seluas 100 m², tempat pelelangan ikan dengan luas 500 m²
dan fasilitas lainnya.
(2) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Bacan Kabupaten Maluku Utara memiliki
luas lahan yang cukup memadai yaitu seluas 60.000 m² dengan fasilitas
amtara lain : perkantoran dan mess operator, dermaga sepanjang 462 m,
tempat pelelangan ikan seluas 270 m², fasilitas pendukung dari PT. Usaha
Mina seperti cold storage, bengkel, docking, brain freezer.
(3) Pangkalan Pendaratan Ikan Tobelo Kabupaten Maluku Utara memiliki luas
lahan keseluruhan 30.000 m² dengan fasilitas yang tersedia berupa :
perkantoran dan rumah dinas, dermaga sepanjang 240 m, tempat pelelangan

68
Ikan seluas 200 m², balai pertemuan nelayan sebesar 80 m² dan 1 buah
bengkel seluas 50 m².
(4) Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan sebanyak
1(satu) buah di Kota Ternate.
(5) Dempond Tambak di Jailolo Kabupaten Maluku Utara
(6) Perusahaan BUMN maupun swasta nasional yang memiliki prasarana
Perikanan di Provinsi Maluku Utara berupa cold storage, pabrik es untuk
penangkapan dan budidaya antara lain : PT. Usaha Mina, PT. Bangun Karya
Sejati di Bacan, PT. Prima Reva Indo di Morotai, dan PT. Ocean Mitra Mas.

69
5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis SWOT


1) Arahan Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis
Dalam upaya memberikan arahan strategi pengembangan perikanan tangkap
di Ternate Provinsi Maluku Utara, dilakukan analisis SWOT dengan melihat
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman).
Ketersediaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil dan dukungan sarana dan
prasarana perikanan (armada, alat tangkap dan pusat-pusat pendaratan ikan), serta
jumlah nelayan, kelompok usaha maupun usaha perikanan tangkap skala besar
merupakan suatu kekuatan dalam rangka pengembangan perikanan skala kecil.
Namun demikian, masih rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan
nelayan, modal usaha, diversifikasi usaha penangkapan ikan pelagis dan
manajemen usaha yang masih lemah merupakan unsur kelemahan dalam rangka
meningkatkan produktivitas usaha penangkapan. Sementara unsur peluang
meliputi pengaturan kegiatan perikanan tangkap yang desentralisasi, semakin
berkembangnya teknologi tepat guna untuk penangkapan ikan pelagis, perluasan
daerah penangkapan yang produktif, dan dukungan pemerintah daerah melalui
instansi terkait dalam memberikan pembinaan yang bersifat teknis dan non teknis
kepada nelayan. Sedangkan unsur ancaman meliputi belum diterapkannya
selektivitas alat tangkap, pengaturan kegiatan penangkapan belum terarah, masih
terjadi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing dan kegiatan penangkapan ikan
pelagis dengan bahan peledak. Berdasarkan hasil identifikasi faktor eksternal dan
internal kemudian dilakukan pembobotan, ranking, dan skor dari masing- masing
unsur SWOT disajikan pada Tabel 15 dan 16.
Tabel 15 Matrik Faktor Strategi Internal Pengembangan Armada Kapal Ikan
yang Bertanggung jawab

Kode Unsur SWOT Bobot Rating Skor


Internal A B AXB
Kekuatan
Produksi SDI di Ternate dengan Kapal pole &
K1 0.10 4 0.40
Line 10 GT cukup tinggi
Bahan baku kayu untuk kapal ikan tersedia
K2 0.10 4 0.40
banyak
K3 SDM untuk ABK kapal cukup banyak tersedia 0.05 3 0.15
Tersedianya alat tangkap, umpan dan
K4 0.10 3 0.30
pengumpul ikan (rumpon)
Tersedianya galangan kapal rakyat untuk
K5 0.05 4 0.20
pembuatan kapal ikan
Penerapan Perikanan yang berwawasan
K6 0.10 3 0.30
lingkungan dan bertanggungjawab (CCRF)

Kelemahan

Tidak tersedianya Basic Design kapal ikan


L1 0.10 2 0.20
sebagai acuan pembangunan kapal ikan
Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal
L2 0.10 1 0.10
dan alat tangkap
L3 Pendapatan nelayan masih kurang (rendah) 0.05 1 0.05
Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih
L4 0.10 1 0.10
tradisional (sederhana)
Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak
L5 0.05 2 0.10
merata antara pemilik kapal dan ABK nelayan
Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin
L6 kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat 0.10 2 0.20
navigasi kapal

TOTAL : 1.00 2.50

71
Tabel 16 Matrik Faktor Strategi Eksternal Pengembangan Armada Kapal Ikan
yang Bertanggung jawab

Kode Unsur SWOT Bobot Rating Skor

Eksternal A B A xB
Peluang
P1 Permintaan ikan meningkat baik pasar lokal,
0,10 4 0.40
regional dan luar negeri
P2 Peningkatan dan penambahan kapal ikan 10
0,10 3 0,30
GT dengan alat tangkap Pole & Line
Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan
P3 kaleng atau ikan beku untuk ekspor ataupun 0,05 3 0,15
konsumsi dalam negeri
P4 Perlu adanya pengadaan cold storage 0,10 3 0,30
P5 Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda
0.05 4 0.20
untuk peningkatan usaha perikanan
Kebijakan tentang teknologi tepat guna pada
P6 armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan 0.10 4 0.40
dan kualitas ikan

Ancaman A B AxB
A1 Batas – batas daerah penangkapan belum
0,10 4 0.40
diterapkan
A2 Beroperasinya armada kapal ikan asing baik
0,10 3 0,30
yang legal/illegal
A3 Selektifitas alat tangkap belum diterapkan 0,05 3 0,15
A4 Persaingan harga ikan dipasaran lokal dan
0,10 3 0,30
regional
A5 Pemakaian bahan peledak oleh beberapa
0.05 4 0.20
sebagian nelayan
A6 Belum dibatasinya ukuran minimal mata jaring
0.10 4 0.40
dari alat tangkap yang digunakan

Untuk menentukan kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil di


provinsi Maluku Utara, maka teknik yang digunakan adalah mencari strategi
silang dari keempat faktor tersebut, yaitu :
• Kebijakan KP, kebijakan yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh
kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar- besarnya.
• Kebijakan KA, kebijakan yang dibuat dengan menggunakan kekuatan
yang dimiliki untuk mengatasi ancaman.
• Kebijakan LP, kebijakan yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan
peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

72
• Kebijakan LA, kebijakan yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat
defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta
menghindari ancaman.

Tabel 17 Model Matrik Analisis SWOT


Kekuatan Kelemahan
Ø Produksi SDI di Ternate dengan Ø Tidak tersedianya Basic
Faktor Kapal 10 GT dan PL cukup Design kapal ikan sebagai
tinggi. acuan pembangunan kapal
Internal Ø Bahan baku kayu untuk kapal ikan.
ikan tersedia banyak. Ø Kurangnya permodalan dalam
Ø SDM untuk ABK kapal banyak pembuatan kapal dan alat
tersedia. tangkap.
Ø Tersedianya alat tangkap, Ø Pendapatan nelayan masih
umpan dan pengumpul ikan kurang (rendah).
(rumpon). Ø Pengelolaan usaha perikanan
Ø Tersedianya galangan kapal tangkap masih tradisional
rakyat untuk pembuatan kapal (sederhana).
ikan. Ø Pembagian hasil usaha
Ø Penerapan perikanan yang pengelolaan kapal tidak
Faktor berwawasan lingkungan dan merata antara pemilik kapal
bertanggungjawab (CCRF). dan ABK nelayan.
Eksternal Ø Kurangnya pasokan untuk
pengadaan mesin kapal,
teknologi penangkapan ikan
dan alat navigasi kapal.
Peluang Kebijakan KP Kebijakan LP
Ø Permintaan ikan meningkat baik pasar v Pengembangan usaha v Peningkatan investasi dari
lokal regional dan luar negeri. perikanan tangkap dengan luar untuk peningkatan
Ø Peningkatan dan penambahan kapal ikan penambahan armada kapal usaha perikanan skala
10 GT dengan alat tangkap Pole & Line. ikan. kecil.
Ø Pengolahan hasil tangkapan baik berupa
ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor (K1, K2, K3, P1, P2 dan P3). (L2, L3, P1 dan P2).
ataupun konsumsinya dalam negeri. v Penerapan CCRF perlu v Menyediakan cold storage
Ø Perlu adanya pengadaan cold storage segera dilaksanakan sehingga dan pengadaan teknologi
Ø Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda SDI tetap lestari. tepat guna untuk menjaga
untuk peningkatan usaha perikanan. (K5, K6, P4, P5 dan P6). mutu ikan. (L4, P4 dan P6).
Ø Kebijakan tentang teknologi tepat guna
pada armada penangkapan untuk menjaga
mutu ikan dan kualitas ikan.

Ancaman Kebijakan KA Kebijakan LA


Ø Batas-batas daerah penangkapan belum v Melakukan aturan sesuai v Menerapkan adanya basic
diterapkan. batas wilayah penangkapan design kepada armada
Ø Beroperasinya armada kapal ikan asing dan aturan pemasangan kapal perikanan yang akan
baik yang legal/illegal.
rumpon yang sesuai. dibangun sekaligus design
Ø Selektivitas alat tangkap belum
diterapkan. (K1, A1 dan A3). alat tangkap. (L1, L2 dan
Ø Persaingan harga ikan dipasaran lokal dan v Memaksimalkan potensi A2 ).
regional. perikanan yang ada terutama v Menerapkan ukuran mata
Ø Pemakaian bahan peledak oleh beberapa galangan kapal perikanan. jaring sesuai dengan
sebagian nelayan. (K2, K5 dan A2 ). ukuran tubuh ikan yang
Ø Belum dibatasinya ukuran minimal mata ditetapkan. (L6 dan A6).
jaring dari alat tangkap yang digunakan.

73
Tabel 18 Matrik Penyusunan Rangking dalam Analisis SWOT pada
Pengembangan Armada Kapal Perikanan yang Bertanggung Jawab

Unsur Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)

Peluang (K1, K2, K3, P1, P2 dan P3). (L2, L3, P1 dan P2).
(Opportunity) (K5, K6, P4, P5 dan P6). (L4, P4 dan P6).

(K1, A1 dan A3). (L1, L2 dan A2).


Ancaman (Threats) (K2, K5 dan A2). (L6 dan A6).

Tabel 19 Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Armada Kapal Perikanan


yang Bertanggung Jawab

UNSUR SWOT KETERKAITAN SKOR RANKING

Pengembangan usaha perikanan tangkap K1, K2, K3, P1, P2


0.5 1
dengan penambahan armada kapal ikan. dan P3.
Penerapan CCRF perlu segera K5, K6, P4, P5
0.4 2
dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari. dan P6.
Masuknya investasi dari luar untuk
L2, L3, P1 dan P2. 0.35 3
peningkatan usaha perikanan skala kecil.
Menerapkan adanya basic design kepada
armada kapal perikanan yang akan L1, L2, dan A2. 0.3 4
dibangun sekaligus design alat tangkap.
Menyediakan cold storage dan
pengadaan teknologi tepat guna untuk L4, P4 dan P6. 0.3 5
menjaga mutu ikan.
Memaksimalkan potensi perikanan yang
K2, K5 dan A2. 0.25 6
ada terutama galangan kapal perikanan.
Melakukan aturan sesuai batas wilayah
K1, A1 dan A3.
penangkapan dan aturan pemasangan 0.25 7
rumpon yang sesuai.
Menerapkan ukuran mata jaring sesuai
dengan ukuran tubuh ikan yang L6 dan A6. 0.2 8
ditetapkan.

74
2) Penerapan Strategi Pengembangan

Bertolak pada matrik keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis
SWOT, maka dapat ditentukan strategi dan kebijakan pengembangan perikanan
tangkap khususnya untuk ikan pelagis di Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai
berikut :

Strategi 1. (Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan


armada kapal ikan).
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal
ikan bertujuan untuk mengupayakan optimalisasi pengembangan usaha perikanan
tangkap, khususnya untuk ikan pelagis. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi
permintaan pasar baik lokal maupun regional, yang didukung dengan produksi
sumberdaya ikan pelagis di Ternate Maluku Utara yang tinggi dibarengi dengan
adanya dukungan nelayan skala kecil yang tersedia cukup banyak serta
tersedianya alat tangkap, umpan dan alat pengumpul ikan (rumpon).

Strategi 2. (Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap


lestari).
Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan
yang Bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk
melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan
memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional
untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan menyangkut
sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman
ini juga ditujukan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas
pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahaan
perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lain-
lainnya. Adanya eskploitasi yang berlebihan stok ikan penting, modifikasi
ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata dan persengketaan internasional
mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konservasi jangka
panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan.

75
Strategi 3. (Masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan
skala kecil)
Penguatan struktur industri pengolahan industri perikanan adalah
peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri tuna perikanan
dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan
dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar
pihak dimana faktor utamanya adalah masuknya investasi dari luar untuk
peningkatan usaha perikanan skala kecil. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan
dalam hal ini yaitu pertama Industri : menjamin membeli ikan nelayan terutama
ikan tuna sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan,
membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis-ukuran- mutu, dan
jumlah kontrak, melakukan perluasan gudang penyimpan/cold storage, melakukan
pembinaan penanga n mutu pasca tangkap dan transportasi, serta membantu
mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik
jumlah maupun mutu; kedua Nelayan : melakukan penguatan kelembagaan
profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan
jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap
yaitu ikan tuna, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan
bisnis yang konsisten, dan yang terakhir Peran Pemerintah : pemerintah pusat
dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara
nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutu sumberdaya
manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait
dan industri perikanan.
Kebijakan masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan
pelagis bertujuan untuk lebih memajukan usaha perikanan tangkap. Dengan
adanya investasi dari luar tersebut, terutama investasi dari pihak swasta, yang
selama ini kurang memperhatikan nelayan nelayan di Ternate, maka diharapkan
mampu meningkatan usaha perikanan yang dijalankan oleh nelayan Ternate.
Untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan pelagis, diharapkan kita dapat
memperkecil kelemahan yang ada, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya)
pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang

76
selama ini tidak merata pada nelayan, dikaitkan dengan peluang yang ada pada
permintaan pasar lokal dan regional serta peningkatan armada kapal ikan.
Masuknya investasi dari luar ini diharapkan untuk penambahan modal
kepada nelayan untuk menangkap ikan, karena selama ini modal yang dimiliki
berasal dari nelayan itu sendiri. Penambahan modal oleh investor berarti
peningkatan usaha nelayan yang selama ini memiliki keterbatasan modal,
sehingga mereka menginginkan adanya penambahan modal yang lebih besar
untuk meningkatkan hasil tangkapan dan pendapatannya. Adapun pemberian
modal dapat disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) kepada kelompok
nelayan yang ada di daerah yang menjadi tujuan investasi.

Strategi 4. (Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan


yang akan dibangun sekaligus design alat tangkap).
Pada hakekatnya kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan
untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang "basic design"
kapal penangkapan ikan, agar hasil yang diperoleh maksimal mengacu pada dua
dasar, yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal
agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal yang
sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Sedangkan untuk kapal dapat menjadi
laik tangkap, harus mengacu pada ilmu- ilmu perikanan khususnya teknologi
penangkapan yang akan digunakan. Pada dasarnya, agar dapat menentukan
teknologi penangkapan yang akan diterapkan, terlebih dahulu diketahui jenis ikan
yang akan menjadi target tangkapan, mengetahui sifat-sifat biologis ikan, sifat-
sifat migrasi, habitat serta fishing ground dimana ikan itu akan ditangkap. Dengan
pengetahuan tersebut, dapat ditentukan jenis dan ukuran alat tangkap serta
teknologi yang akan diterapkan untuk menangkap ikan tersebut. Penerapan
teknologi, penggunaan dan penentuan jenis dan ukuran alat tangkap ikan sangat
mempengaruhi rancang bangun kapal penangkapan yang akan digunakan. Secara
lebih sederhana dapat dikatakan bahwa jenis dan ukuran alat tangkap serta
teknologi yang akan diterapkan pada saat pengoperasian alat akan berpengaruh
langsung kepada rancangan "basic design" kapal penangkapan ikan.

77
Strategi 5. (Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk
menjaga mutu ikan).
Kebijakan dalam menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat
guna pada armada penangkap ikan di perairan, untuk menjaga mutu ikan pelagis,
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya
tertumpu pada penjualan ikan segar. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi
kelemahan modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap oleh nelayan dengan
memanfaatkan peluang dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung ikan
hasil tangkapan.
Pengadaan cold storage ditujukan untuk menampung ikan- ikan yang
tertangkap pada saat musim penangkapan terutama di daerah Tidore yang
memiliki alat tangkap pajeko dan alat tangkap pole and line. Selain itu di daerah
Tidore bukan hanya melakukan penangkapan ikan pelagis kecil, tetapi juga ikan
pelagis besar, dengan demikian pengadaan cold storage dapat menampung ikan
hasil tangkapan, baik ikan pelagis kecil maupun ikan pelagis besar yang
merupakan ikan ekonomis penting.
Pengadaan cold storage juga dimaksudkan agar ikan yang tertangkap
tersebut selain dapat dipasarkan di pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar
daerah (dalam lingkup regional), dan dapat diekspor ke luar negeri untuk ikan
pelagis besar (cakalang dan tuna).

Strategi 6. (Memaksimalkan potensi perikanan yang ada terutama galangan kapal


perikanan).
Dalam era pasar bebas ini dimana tingkat persaingan yang cukup tinggi,
maju mundurnya suatu industri manufaktur seperti halnya industri galangan kapal
ikan sangat ditentukan oleh produk atau kapal ikan yang dihasilkannya baik segi
kualitas, harga mapun waktu penyerahan, tanpa memenuhi ketiga kriteria tersebut
pihak galangan cukup sulit survive atau berkembang. Demikian halnya industri
galangan kapal ikan nasional, meskipun kemajuan yang dicapainya cukup
signifikan dalam pembuatan berbagai jenis dan ukuran kapal, akan tetapi menurut
para pemakai (domestik) selama ini kapal yang dibuatnya terkesan harganya
cukup tinggi dan delivery time sering terlambat, belum lagi masalah bahan baku
pembuatan kapal ikan.

78
Berdasarkan hasil pemantauan ke galangan kapal di Ternate yang dapat
dikatakan sebagai galangan kapal tradisional, terlihat bahwa kesan negatif seperti
diatas salah satu penyebabnya adalah karena kegiatan pengelolaan persediaan ini
belum berjalan dengan baik terutama dalam hal penerapan fungsi pengawasan,
baik dalam proses pengadaan barang dan material, penerimaan, penyimpanan,
pengamanan maupun cara mendistribusikannya ke bengkel-bengkel produksi.
Umumnya berbagai komponen dan material yang ada, penempatannya belum
terkonsentrasi di dalam gudang, sehingga disana-sini terlihat penumpukan barang,
kondisi ini tentu saja dapat menimbulkan hal- hal yang tidak diinginkan seperti
rusak, hilang yang pada akhirnya tentu akan mempengaruhi kapal yang dihasilkan
baik dari segi harga, kualitas maupun waktu penyerahan.
Kurang baiknya pengelolaan persediaan pada galangan kapal tradisional
memang dapat dipahami, karena sebagian besar dari galangan tersebut
pengelolaannya belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen (modern) secara
baik. Disamping itu keberadaan sarana dan prasarana yang ada di galangan juga
belum sepenuhnya dapat menunjang kegiatan pengawasan secara baik. Dengan
kondisi seperti itu tentu saja akan memberikan dampak negatif terhadap galangan
yang dapat mengakibatkan sulitnya mendapat order, padahal kontinuitas order
tersebut sangat menentukan maju-mundurnya galangan kapal tersebut terutama
untuk kapal perikanan.

Strategi 7. (Melakukan aturan sesuai batas wilayah penangkapan dan aturan


pemasangan rumpon yang sesuai).
Kebijakan menerapkan aturan batas wilayah penangkapan dan aturan
pemasangan rumpon yang sesuai untuk perikanan skala kecil (pelagis kecil)
bertujuan untuk mengupayakan kepemilikan wilayah dari nelayan pelagis kecil
yang melakukan penangkapan pada wilayahnya, yaitu menetapkan hak
kepemilikan dari nelayan skala kecil pada alat pengumpul ikan (rumpon) yang
dipasang di perairan.
Untuk menerapkan kebijakan ini dapat dilakukan dengan mengurangi
kelemahan dan mengeliminasi ancaman yang menghasilkan kebijakan antara
keterkaitan pengelolaan usaha perikanan tangkap yang masih rendah dengan
batas-batas daerah penangkapan yang belum diterapkan.

79
Penerapan kebijakan ini ditujukan kepada nelayan yang memiliki perizinan
yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, sehingga
penambahan alat pengumpul ikan (rumpon) dan penangkapan ikan hanya
ditujukan kepada nelayan pemilik alat tangkap dan alat pengumpul ikan saja. Ini
dilakukan agar nelayan- nelayan yang tidak memiliki izin penangkapan di daerah
tersebut tidak dapat melakukan penangkapan.
Selain itu penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mencegah konflik yang
diakibatkan oleh perebutan penguasaan daerah penangkapan (fishing ground)
yang merupakan sumber mata pencaharian. Konflik ini dapat terjadi antar kelas
nelayan, maupun antar nelayan secara umum. Biasanya konflik ini terjadi antar
nelayan yang berada di luar daerah dengan nelayan yang berada di pulau Tidore
dan Moti.

Strategi 8. (Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan
yang ditetapkan).
Kebijakan menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan
bertujuan untuk lebih mengoptimalkan penangkapan dengan lebih memperhatian
ukuran minimal mata jaring agar ikan yang diperoleh pada saat penangkapan
sesuai dengan ukuran panjang standar ikan, sehingga ikan yang tertangkap
merupakan ikan yang telah melewati ukuran pertumbuhan. Kebijakan ini sangat
diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan ikan di perairan Maluku
Utara, agar tidak terjadi kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan (growth
overfishing).
Dalam merumuskan kebijakan ini strategi yang dimiliki mempunyai
hubungan yang erat antara kekuatan produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan
adanya dukungan nelayan skala kecil di Maluku Utara dengan ancaman dari
selektivitas alat tangkap yang belum diterapkan dan terjadinya over fishing pada
ikan pelagis kecil.

80
3) Pembahasan Strategi Pengembangan

Dari kedelapan strategi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa


arahan strategi ini jika dapat diwujudkan, maka pendapatan nelayan akan
meningkat dan kesejahteraan akan meningkatkan pula. Berarti peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) akan meningkat seiring dengan peningkatan
pendapatan nelayan.
Disamping itu, mengutip pendapat Nielsen (1996) dalam Satria et.al (2002),
perlu adanya perspektif co-management sebagai sebuah kelembagaan yang
merupakan proses untuk mengintegrasikan dan merelokasikan tanggung jawab
manajemen dan kompetensi (kekuatan hukum) diantara pelaku dengan jalan
membagi biaya perumusan dan implementasi regulasi kepada kelompok pengguna
(user). Dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan
semacam ini, diharapkan pendapatan nelayan dan pendapatan asli daerah (PAD)
dari sektor perikanan dapat meningkat. Untuk itu, perlu diupayakan mekanisme
solusi yang didasarkan pada tiga dimensi ruang yaitu ruang masyarakat, ruang
pemerintah dan ruang pasar. Terwujudnya mekanisme ini akan melahirkan
sebuah sistem ekonomi yang adil, mandiri, dan demokrasi.
Selain strategi dan kebijakan yang disampaikan diatas, Satria et.al (2002)
juga mengedepankan program-program alternatif yang berusaha untuk
mengurangi kemiskinan dalam masyarakat nelayan antara lain :
(1) Perbaikan kapal-kapal dan alat penangkapan.
(2) Subsidi masukan- masukan.
(3) Perbaikan pemasaran dan teknologi pasca-panen.
(4) Pembentukan koperasi atau organisasi lainnya.
(5) Pengembangan sumber-sumber pendapatan alternatif atau tambahan.
Adapun empat alternatif pertama diciptakan untuk mencapai sasaran, yaitu :
(1) Meningkatkan produktivitas nelayan (kuantitas penangkapan).
(2) Meningkatkan harga-harga yang diterima para nelayan.
(3) Menekan biaya yang harus ditanggung para nelayan.
Sedangkan alternatif yang kelima untuk meningkatkan biaya penangkapan melalui
peningkatan upah oportunitas bagi pekerja penangkap ikan.

81
5.2 Analisis Kebijakan

1) Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap


Potensi lestari perikanan Kota Ternate adalah sebesar 47.838,25 ton/ tahun
yang terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, cucut, tenggiri dan ikan
pelagis kecil seperti layang dan tembang, sedangkan ikan demersal seperti Kakap
Merah, Ekor kuning serta berbagai jenis ikan Kerapu. Produksi perikanan Ternate
adalah sebesar 10.048,50 ton atau tingkat pemanfaatannya baru mencapai 21,01 %
dari potensi lestari, sehingga dari produksi yang dicapai tersebut menunjukkan
tingkat pemanfaatannya masih under exploitation, akibatnya peluang investasi di
sektor Perikanan dan Kelautan di Kota Ternate masih sangat terbuka.
Daerah penangkapan untuk pelagis besar (tuna dan cakalang) di perairan
Kota Ternate meliputi perairan Pulau Hiri, Moti dan Pulau Batang Dua dan Laut
Maluku. Musim penangkapan sepanjang tahun dan musim puncak yaitu pada
Januari - April serta September – Oktober. Daerah penangkapan pelagis kecil dan
demersal adalah pesisir Pulau Ternate, Moti, Hiri dan Tifure Batang Dua. Jenis
pelagis besar yang dominan di perairan Kota Ternate meliputi jenis tuna (Thunnus
spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomboramorus spp) dan cucut
(flasmobranch). Khusus untuk ikan tuna dan cakalang tingkat pemanfaatan baru
mencapai 21,07 % padahal perairan ini merupakan alur migrasi tuna dan cakalang
sehingga peluang dan investasi masih sangat terbuka, demikian pula dengan
tingkat pemanfaatan cucut masih sangat minim dan belum menggunakan sarana
yang memadai.
Banyak jenis pelagis kecil yang terdapat di perairan Kota Ternate namun
yang dominan dan banyak ditangkap adalah jenis layang (Decapterus spp) dan
tembang (Sardinella fimbriata). Pemanfaatan pelagis kecil ini hanya dilakukan
oleh nelayan tradisional yang berdomisili pada daerah kawasan pesisir kota
sehingga pemasaran pelagis kecil selama ini masih didominasi pasar lokal dan
antar pulau. Spesifik dasar perairan adalah substrat lumpur berpasir, memiliki
terumbu karang dan padang lamun sehingga pada habitat ini sumberdaya demersal
sangat potensial. Namun pemanfaatannya masih sangat sedikit, sehingga peluang
usahanya masih sangat terbuka. Jenis jenis ikan demersal yang dominan dan
sering menjadi tujuan penangkapan adalah kakap merah (Prestoporoides), ikan

82
tembang (Lutjanus johni), ikan kerong-kerong (Saurida tumbil). Khusus untuk
ikan kerapu baru dikembangkan dua areal budidaya dan penangkapan dengan
sistem Keramba Jaring Apung (KJA), sedangkan jenis ikan dasar lainnya
mengandalkan pasar lokal.
Kota Ternate merupakan kota kepulauan yang terdiri dan 8 (delapan) pulau
dan kesemuanya merupakan pulau-pulau kecil. Karakter masing- masing pulau
sangat berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya. Lima pulau berpenghuni
diantaranya yaitu Pulau Ternate, Pulau Moti, Pulau Hiri, Pulau Tifure dan Pulau
Mayau dan tiga pulau yang tidak berpenghuni yaitu Pulau Mano, Pulau Maka dan
Pulau Gurida. Perairan Kota Ternate memiliki berbagai jenis ikan hias pada
perairan Pulau Hiri, Moti, dan Pulau Ternate dan yang dominan adalah jenis
Zanclidae (ikan bendera), Scorpaenidae (ikan lepu) dan jenis Chaetodontidae
(ikan kepe-kepe). Jenis-jenis ikan hias tersebut sangat indah dan bernilai
ekonomis, namun diusahakan secara sederhana dengan mengandalkan pasar lokal.
Pulau Ternate merupakan pulau terbesar dari wilayah Kota Ternate dengan
luas daratan 992,12 km2 , dimana Kota Ternate merupakan Pusat Pemerintahan,
baik Pemda Kota Ternate maupun Pemda Propinsi Maluku Utara. Berdasarkan
data statistik, jumlah penduduk Pulau Terna te adalah 105.967 jiwa yang tersebar
pada keliling Pulau Ternate. Jumlah Kelurahan pada Pulau Ternate adalah
sebanyak 63 kelurahan, 54 kelurahan terletak pada bagian pesisir sehingga
umumnya kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diarahkan
pada pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan yang dominan
di Pulau Ternate antara lain :
(1) Ikan pelagis : ikan tuna, cakalang, layang, selar dan tongkol;
(2) Ikan demersal : kakap merah dan bambanga n, kerapu bebek, kerapu sunu dan
jenis lainnya;
(3) Danau : jenis ikan air tawar berupa ikan mas, nila dan mujair;
(4) Non Ikan : teripang dengan jenis teripang pasir, teripang gama, teripang
susu, kerang tiram, kima, udang lobster jenis bambu, hitam
dan mutiara.
Selain itu, wilayah Pulau Ternate juga terdapat hutan bakau (mangrove)
yang tumbuh pada beberapa kelurahan diantaranya di pesisir Kelurahan Mangga

83
Dua sampai ke Bastiong serta pesisir pantai Kelurahan Fitu, Gambesi dan Kastela
namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Oleh karena itu Pemerintah
Kota Ternate sekarang sedang melakukan rehabilitasi di beberapa wilayah pesisir.
Sesuai dengan kondisi geografis wilayah, Pulau Moti merupakan bagian dari
wilayah Kota Ternate yang memiliki spesifikasi tersendiri, ini dikarenakan
kondisi flora dan fauna yang tidak sama dengan pulau-pulau lainnya di Kota
Ternate. Pulau Moti yang luas keseluruhan wilayahnya 83.833 km2 . Sedangkan
Jarak Pulau Moti dengan Pulau Ternate adalah 11 mil laut, dimana rute perjalanan
harus ditempuh melalui lautan dengan transportasi motor laut selama kurang Iebih
2 Jam. Pulau Moti terbagi atas 6 kelurahan dengan jumlah penduduk 5140 jiwa
dengan mata pencaharian sebagian besar adalah nelayan dan petani. Hal ini
dikarenakan semua wilayah Kelurahan berada pada wilayah pesisir. Sesuai
dengan karakteristik Pulau Moti, bahwa para nelayan di daerah ini banyak yang
melakukan penangkapan dengan purse seine; handline, gill net, bubu dan pancing
tonda. Selain itu jenis ikan yang dominan di Pulau Moti antara lain ikan layang,
ikan tongkol, kuwe, cakalang, kerapu, dan berbagai jenis ikan demersal lainnya.
Pulau Hiri memiliki karakteristik tersendiri, dimana kondisi geografis
wilayahnya berhadapan dengan lautan bebas dan sebagian lagi bersebelahan
dengan Pulau Ternate dan Pulau Halmahera. Luas daratan keseluruhan dari pulau
ini adalah 7,31 km2 kondisi pulaunya berbatu dan air tanahnya payau, sehingga
untuk pengembangan pertanian kurang cocok, potensi yang cocok untuk
dikembangkan adalah perikanan. Kebiasaan para nelayan di Pulau Hiri dalam
upaya pemanfaatan sumberdaya lautnya adalah dengan melaksanakan upaya
penangkapan dengan sarana berupa kalase (muroami), mini purse seine, gill net,
pole and line, handline, pancing tonda dan bubu. Produksi yang dominan dan
dapat dikembangkan adalah jenis ikan tuna, cakalang, layang, dan ikan dasar
lainnya.
Pulau Tifure yang merupakan bagian wilayah dan Kecamatan Pulau Ternate
memiliki luas daratan kurang el bih 7 km2 dan dihuni penduduk sebanyak 712
jiwa. Pulau Tifure terdiri dari 2 kelurahan yang me rupakan pulau terjauh dari
ibukota dengan jarak 106 mil laut, dimana pulau-pulau ini merupakan alur migrasi
ikan pelagis besar dan kecil. Pulau Tifure secara geografis tidak berbeda jauh

84
dengan pulau sekitarnya seperti Pulau Mayau dan Pulau Hiri. Sumberdaya ha yati
yang paling dominan di pulau ini adalah untuk jenis ikan pelagis yaitu ikan tuna,
cakalang, layang, tongkol dan ikan dasar. Jenis ikan dasar adalah ikan kakap
merah, ikan gutila, ikan kuwe dan jenis ikan hias. Sedangkan produksi yang
paling dianggap dominan adalah jenis ikan layang, Kemudian untuk jenis
komoditi yang bisa dikembangkan adalah ikan tuna, cakalang dan layang.
Luas daratan Pulau Mayau kurang lebih 8,5 km2 dan berpenduduk kurang
lebih 1.510 jiwa. Masyarakat di kepulauan ini bermata pencaharian hampir sama
dengan masyarakat pulau Tifure yaitu sebagian besar nelayan dan petani. Potensi
perairan laut untuk Pulau Mayau sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap,
hal ini karena populasi Terumbu karang di perairan Pulau Mayau sangat luas dan
masih utuh atau alami. Sehingga di perairan kepulauan ini dijumpai jenis-jenis
ikan yang dominan seperti layang, komo/tongkol, cakalang dan tuna, ikan
hiu/cucut, ikan hias dan beberapa jenis ikan dasar. Dari segi pemanfaatannya
potensi sumberdaya alam pesisir dan lautnya juga termasuk masih rendah
sehingga masih sangat besar peluang untuk pengembangan upaya perikanan
tangkap. Armada dan sarana penangkapan yang digunakan para nelayan di
kepulauan ini juga masih tergolong tradisional, sehingga hasil produksi
tangkapannya masih rendah. Adapun armada dan alat tangkap yang selama ini
digunakan para nelayan dapat dirincikan sebagai berikut: perahu tanpa motor 27
unit, motor tempel 12 unit, kapal motor tidak ada. Sarana penangkapan yang
digunakan terdiri dari: mini long line 2 unit, purse seine / pajeko 2 unit, pole and
line 1 unit, gill net 6 unit, bubu 21 unit, pancing tonda 61 unit dan handline 39
unit.
Peningkatan produksi perikanan yang telah dicapai selama ini telah
meningkatkan konsumsi ikan per kapita nasional dari 19,98 kg per kapita pada
tahun 1998 menjadi 21,78 kg per kapita pada tahun 2001. Konsumsi ikan pada
masa yang akan datang, diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan
kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk
perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan otak manusia. Jika dibandingkan dengan
beberapa negara lain yang termasuk kedalam negara penghasil ikan dunia, maka
Indonesia adalah negara dengan konsumsi per kapita paling rendah, bahkan lebih

85
rendah dibandingkan dengan Philipina. Pada tahun 1990 saja, konsumsi per kapita
Philipina sudah mencapai 24 kg/kap/tahun. Sementara konsumsi per kapita Jepang
mencapai 110 kg/kap/tahun. Peningkatan konsumsi ikan per kapita, memiliki
korelasi dengan pendapatan per kapita suatu negara. Hal ini disebabkan
kemampuan daya beli masyarakat produk perikanan tergantung pada tingkat
pendapatannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar peluang untuk
mengkonsumsi produk pangan berprotein tinggi seperti ikan dan produk hasil laut
lainnya.
Konsumsi ikan di Kota Ternate pada tahun 2004 sebesar 7.074,90 ton,
menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2003, maka
kebutuhan konsumsi ikan lokal di Kota Ternate mengalami peningkatan sebesar
765,50 ton. Meningkatnya hasil tangkapan bagi nelayan secara langsung
berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, ini dilihat dengan tingginya
permintaan ikan dipasar lokal dengan harga ikan yang sangat tinggi..
Ketergantungan pada iklim dan lingkungan menyebabkan pendapatan nelayan
menjadi tidak menentu. Pendapatan nelayan ini diperkirakan akan menjadi lebih
kecil dengan adanya krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia. Hal ini
disebabkan karena meningkatnya biaya operasional dari sebelumnya, sementara
depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika tidak dinikmati oleh nelayan kecil,
karena pangsa pasar nelayan tradisional masih terfokus dalam negeri. Hal yang
berbeda justru dialami pengusaha perikanan yang berorientasi ekspor, dimana
nilai produksi perikanan mengalami peningkatan karena adanya depresiasi rupiah
terhadap dollar.
Selain dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasil
perikanan juga dipasarkan ke negara lain (ekspor) yang jumlahnya terus
meningkat. Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah
udang, tuna/cakalang, rumput laut, kerang-kerangan, kepiting, ki an hias, ubur-
ubur dan mutiara. Laju pertumbuhan ekspor perikanan Indonesia dalam kurun
waktu 1998-2001 sangat pesat. Pada tahun 1998 volume ekspor perikanan
Indonesia sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1,7 milyar dan meningkat
menjadi 703.155 ton dengan nilai US$ 1,74 milyar pada tahun 2000. Dengan
perolehan devisa sebesar US$ 1,74 milyar pada tahun 2000, Indonesia telah

86
menjadi negara penghasil dan pemasok ikan terbesar ke lima di Dunia. Sampai
saat ini volume dan nilai ekspor perikanan Indonesia masih didominasi komoditas
udang dan tuna/cakalang.
Ekspor ikan tuna/cakalang Indonesia selama kurun waktu 1998-2001
mengalami peningkatan. Volume ekspor tuna pada tahun 1998, mencapai 104.330
ton dengan nilai US$ 215,1 juta, diharapkan meningkat menjadi 105.793 ton
dengan nilai US$ 230,8 juta pada tahun 2001. Sebagian besar ekspor ikan tuna
Indonesia, masih dalam bentuk ikan segar. Upaya untuk memperoleh nilai tambah
melalui pengolahan bahan baku/ikan belum maksimal dilakukan eksportir
Indonesia.
Meski Indonesia mampu meningkatkan ekspor komoditas perikanan, namun
pertumbuhan itu masih diikuti dengan kenaikan impornya. Komoditas industri
pengolahan perikanan bukan bahan makanan, seperti lemak dan minyak ikan,
tepung ikan, tepung binatang berkulit keras/lunak masih mendominasi impor
komoditas perikanan Indonesia. Pada tahun 1998, impor untuk jenis komoditas ini
mencapai 46.088 ton dengan nilai mencapai US$ 33,5 juta. Angka impor
komoditas tersebut terus mengalami peningkatan pada tahun 1999 mencapai
volume impor sebesar 83.314 ton dengan nilai US$ 42,7 juta. Tahun 2000 volume
impor komoditas ini telah mencapai 59.308 ton dengan nilai US$ 31,9 juta.
Berarti sepanjang tahun 1998-2000 rata-rata impor Indonesia untuk komoditas
bukan bahan makanan mengalami kenaikan volume mencapai 25,98 % dan
kenaikan nilai rata-rata mencapai 1,73 %.
Kenaikan yang sama terjadi pada impor komoditas perikanan bahan
makanan, seperti ikan segar/beku, ikan dalam kaleng, agar-agar dan komoditas
bahan makanan lainnya. Bahkan pada tahun 2000, kebutuhan akan komoditas
perikanan bahan makanan terus mengalami kenaikan yang cukup berarti. Indikasi
ini dapat dilihat dari kenaikan volume impor komoditas perikanan bahan makanan
mencapai 15.016 ton dengan nilai US$ 19,3 juta pada tahun 1998, dan mengalami
kenaikan pada tahun 1999 mencapai volume 32,5 juta ton dengan nilai US$ 33,5
juta. Pada tahun 2000 angka volume dan nilainya tersebut mengalami kenaikan
lagi, hingga volumenya mencapai 40.472 ton dengan nilai US$ 34,8 juta. Jadi,

87
sejak tahun 1998-2000 impor komoditas bahan makanan perikanan rata-rata
mengalami kenaikan 70,49 % dengan kenaikan nilai mencapai 38,79 %.
Kenaikan impor bahan makanan tersebut umumnya disebabkan oleh
kebutuhaan pasokan untuk industri pengalengan ikan. Saat ini terdapat 24 pabrik
pengalengan ikan, diantaranya ada 13 pabrik bertujuan ekspor dengan kapasitas
terpasang 259 ribu ton yang memproduksi ikan kaleng dari sardine dan mackerel
(60 %), tuna (35 %), dan kepiting (5 %). Selama ini kapasitas produksi mereka
hanya mencapai 50 persen dari kapasitas terpasang. Faktor lain yang
menyebabkan meningkatnya volume impor adalah maraknya rumah makan asing
dan hotel yang memilih ikan impor (jenis ikan yang tidak hidup di perairan
Indonesia ) dalam memenuhi keinginan konsumen. Dengan demikian total volume
impor perikanan Indonesia mencapai 61.104 ton dengan nilai total US$ 52,5 juta
pada tahun 1998, naik sebesar 115.818 ton dengan nilai US$ 76,3 juta pada tahun
1999. Meski pada tahun 2000 volume impor mengalami penurunan menjadi
99.780 ton dengan nilai total mencapai US$ 66,7 juta, namun perkembangan
volume impor produk perikanan Indonesia dari tahun 1998-2000, secara
keseluruhan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 37,85 % dengan kenaikan nilai
total rata-rata mencapai 16,39 %. Komoditas tepung ikan masih merupakan
komoditas impor tertinggi, baik total volume maupun nilainya.
Dilihat dari neraca ekspor- impor produk perikanan di atas, jelas bahwa
surplus perdaga ngan komoditas perikanan Indonesia dari tahun 1998-2000
mengalami kanaikan rata-rata sebesar 1,13 %. Meski mengalami kenaikan rata-
rata impor, namun total neraca perdagangan ekspor- impor komoditas perikanan
Indonesia dari tahun 1998-2000, mengalami kenaikan. Pada tahun 1998 surplus
perdagangan perikanan Indonesia mencapai US$ 1,64 milyar, tahun 1999
mengalami surplus sebesar US$ 1,52 milyar dan pada tahun 2000 surplus
perdagangan mencapai US$ 1,67 milyar. Naiknya surplus neraca perdagangan
semakin membuktikan bahwa sektor perikanan tidak membebani neraca
pembayaran, sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh devisa.
Sebagai satu komoditas ekspor non migas, perikanan mempunyai peran
yang strategis dalam meningkatkan pendapatan devisa negara dan kesejahteraan
para nelayan. Peningkatan terhadap produk perikanan baik untuk pasar domestik

88
maupun pasar internasional, terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju
pertambahan penduduk, kenaikan pendapatan (income), terjadinya pergeseran
selera konsumen dari “red meat” menjadi “white meat ” serta menurunnya
konsumsi daging sebagai akibat dari merebaknya berbagai penyakit ternak seperti
BSE (bovine spongiform encephalopaty) dan penyakit mulut dan kuku.
Disamping itu akhir-akhir ini juga terlihat meningkatnya permintaan “organic
food” termasuk “organic fish” khususnya di negara-negara maju.
Dengan potensi sumberdaya perikanan yang cukup melimpah, Indonesia
mempunyai peluang yang baik untuk memposisikan diri sebagai produsen dan
eksportir utama produk kelautan dan perikanan. Akan tetapi, pengembangan
ekspor hasil perikanan dan kelautan dihadapkan kepada dua masalah utama, yaitu
hambatan tarif dan hambatan non tarif. Seharusnya globalisasi perdagangan dunia,
mengecilkan hambatan tarif dan non tarif. Justru disinilah letak permasalahan
yang dihadapi negara berkembang, yakni munculnya hambatan tarif dan non tarif
yang diberlakukan oleh negara- negara maju terkadang merupakan bagian dari
upaya mereka melindungi industri dan kepentingan ekonomi domestik mereka.
Adanya peningkatan devisa, menunjukkan bahwa sumber kekuatan cadangan dana
pemerintah semakin kuat yang akan mengakibatkan pemerintah dapat membiayai
operasional pembangunan tanpa tergantung pada hutang luar negeri.
Sejak tahun 2000 Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor
perikanan masuk sebagai perhitungan pendapatan negara dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan bukan pajak dari
sumberdaya alam disamping minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan
kehutanan. PNBP sektor perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan
(PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) serta pendapatan non sumberdaya
alam lainnya. Pengenaan pungutan perikanan didasarkan pada PP nomor 141
tahun 2000 dan 142 tahun 2000 serta penyempurnaannya berupa PP nomor 54
tahun 20002 dan 62 tahun 20002 yang diarahkan untuk mengakomodasikan
ketentuan mengenai pungutan perikanan bagi kapal berbendera asing.
Sampai dengan 24 Desember 20002 realisasi PNBP mencapai sebesar
Rp 258,156 milyar, yang terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan
Pungutan Hasil Perikanan termasuk dari PMA dan PMDN sebesar Rp 255,45

89
milyar, dan jasa Pelabuhan sebesar Rp 2,7 milyar. Dengan demikian perolehan
PNBP tahun 2002, baru mencapai 87,82 % dari target sebesar Rp 291,67 milyar.
Target tersebut bersumber dari kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera
asing, seperti terlihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Target dan realisasi penerimaan pungutan perikanan bersumber dari


pemanfaatan sumberdaya ikan, hingga 24 Desember 2002 (jutaan
rupiah)

Target Realisasi
Penerimaan Nilai SPP Pungutan
Sumber
Tahun 2002 yang di perikanan yang
terbitkan sudah dibayar
Kapal berbendera Indonesia 118,000 232,317 190,789
Kapal Berbendera asing 173,000 92,494 64,660
Total 291,000 324,811 255,449
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2002

Nilai Surat Perintah Pembayaran (SPP) pungutan perikanan yang telah


diterbitkan hingga 24 Desember 2002 berjumlah Rp 324,8 milyar. Dari nilai SPP
ini, telah dibayarkan sebesar Rp 255,4 milyar. Peningkatan pajak akan
mengakibatkan penambahan keuangan negara yang selanjutnya akan menjadi
dana perimbangan pusat dan daerah.
Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang No. 32
tentang Otonomi Daerah, merupakan landasan yang kuat untuk mencapai
pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Agar otonomi daerah
memberikan dampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya laut, maka perlu
adanya keinginan dan komitmen pemerintah daerah bersama masyarakat untuk
mengelola sumberdaya kelautan yang berada dala m kewenangannya secara
berkelanjutan.
Sebagaimana tersirat dalam definisi pembangunan berkelanjutan diatas,
bahwa pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan
(sustainable) apabila tingkat (laju) pembangunan beserta segenap dampak yang
ditimbulkannya secara agregat tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan
tersebut. Sementara itu, daya dukung lingkungan suatu kawasan ditentukan oleh
kemampuannya didalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
bagi kehidupan makhluk hidup serta kegiatan pembangunan manusia, yaitu :

90
(1) Ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable) untuk tempat
tinggal/permukiman dan beberapa kegiatan pembangunan; (2) Ketersediaan
sumberdaya alam untuk keperluan konsumsi dan proses produksi lebih lanjut;
(3) Kemampuan kawasan untuk menyerap/mengasimilasi limbah sebagai hasil
samping dari kegiatan manusia dan kegiatan pembangunannya; dan
(4) Kemampuan kawasan menyediakan jasa-jasa penunjang kehidupan (life
supporting systems) dan kenyamanan seperti udara bersih, air bersih, siklus
hidrologi, siklus hara, siklus biogekimia dan tempat-tempat yang indah serta
nyaman untuk rekreasi dan pemulihan kedamaian jiwa (spiritual renewal). Atas
dasar pengertian pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan, maka
secara ekologis terdapat persyaratan agar pengelolaan sumberdaya kelautan di
daerah dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Strategi
pembangunan kelautan tersebut adalah :
(1) Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara harus melakukan inventarisasi dan
pemetaan mengenai karakteristik, biofisik, potensi pembangunan (sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan), karakteristik dan dinamika sosio-kultural
masyarakat, dan aspek kelembagaan (institusional arrangements). Khusus
perihal informasi potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
hendaknya dilaksanakan secepat mungkin. Namun demikian tidak berarti
pelaksanaan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku Utara harus
menunggu terkumpulnya semua data dan informasi. Keduanya harus berjalan
paralel dan saling melengkapi;
(2) Atas dasar informasi dari langkah pertama, selanjutnya disusun peta tata ruang
pembangunan berkelanjutan yang terdiri atas kawasan preservasi, kawasan
konservasi dan kawasan pembangunan. Di dalam kawasan pembangunan
inilah diatur penempatan dan tata ruangnya untuk berbagai macam kegiatan
(sektor) pembangunan secara sinergis dan saling menguatkan. Untuk
menghindarkan timbulnya dampak negatif dari satu sektor yang dapat
melemahkan kinerja atau mematikan sektor lainnya, ma ka diperlukan
pengelolaan (mitigasi) dampak baik yang berupa dampak fisik (lingkungan),
sosial ekonomi maupun sosial budaya.

91
(3) Menyusun rencana investasi dan pembangunan atas dasar peta tata ruang yang
dihasilkan pada langkah kedua tadi. Sektor-sektor pembangunan dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar : (1) Sektor prasarana (social overhead capital)
dan (2) Sektor produktif (directly productive activities). Sektor produktif
adalah sektor-sektor pembangunan (ekonomi) yang langsung menghasilkan
barang-barang dan jasa-jasa (goods and services) yang diperlukan oleh
masyarakat, termasuk perikanan, pertanian. Kehutanan, pariwisata,
pertambangan dan energi, serta industri. Sedangkan sektor prasarana adalah
sektor-sektor yang tidak secara langsung menghasilkan barang dan jasa, tetapi
tanpa keberadaan sektor ini maka sektor produktif tidak mungkin berkinerja
secara efisien dan optimal. Sektor prasarana selanjutnya dapat dikelompokkan
menjadi sektor prasarana keras (hard-infrastructure sector), misalnya
permukiman dan prasarana wilayah dan perhubungan; dan sektor prasarana
lunak (soft-infrastructure sector) termasuk antara lain pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, agama, hukum, kelembagaan, iptek, dan pemberdayaan
perempuan;
(4) Menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Langkah
ini sangat penting dalam rangka menjamin pelaksanaan pembangunan
kelautan secara berkelanjutan. Untuk mengantisipasi dan meminimalkan
(mitigasi) dampak negatif yang akan muncul akibat berbagai kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, perlu dilakukan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara cermat dan benar.
Selanjutnya untuk menjamin kelestarian (sustainability) sumberdaya
perikanan laut, maka tingkat penangkapan total tidak melebihi Total
Allowable Catch (TAC) yang telah ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian
ilmiah yang seksama. Selain itu, teknologi penangkapan ikan (fishing boats
and fishing gears) yang digunakan harus ramah lingkungan sehingga tidak
mengancam kelestarian stok ikan maupun merusak habitatnya. Pemeliharaan
ekosistem pesisir utama (seperti mangrove, estuaria, padang lamun, dan
terumbu karang) sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) serta alur
ruaya (migratory routes) dari berbagai jenis ikan dan biota lainnya dari segala
bentuk perusakan harus dilakukan dengan seksama. Pengendalian pencemaran

92
baik yang berasal dari sumber-sumber pencemar di darat maupun di laut harus
dikerjakan secara serius guna memelihara kesehatan dan produktivitas
lingkungan pesisir dan lautan;
(5) Kebijakan dan program untuk menciptakan iklim investasi dan usaha
(bussiness environment) yang kondusif. Sudah menjadi pengetahuan umum
(public) bahwa krisis ekonomi yang belum kunjung berakhir adalah karena
semakin menurunnya aktivitas investasi dan usaha sektor riil. Hal tersebut
mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran, menurunnya
daya beli masyarakat, dan membengkaknya jumlah penduduk miskin. Kondisi
ini telah dan terus akan memicu berbagai bentuk tindak kekerasan,
kriminalitas, dan demonstrasi yang menjurus pada anarkisme. Penurunan
kegiatan investasi dan usaha sektor riil terutama disebabkan karena iklim
investasi dan usaha yang belum kondusif sebagai akibat dari : (1) Kurangnya
kepastian dan keadilan hukum; (2) Kondisi keamanan yang menghawatirkan;
(3) Etos kerja dan produktivitas SDM (tenaga kerja) yang relatif rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia; (4) Minimnya prasarana
pembangunan di daerah-daerah pesisir dan pulau-pulau kecil; (5) Kurangnya
dukungan permodalan kredit; (6) Kebijakan perpajakan dan berbagai macam
retribusi daerah yang memberatkan; dan (7) Perizinan dan birokrasi yang sarat
dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), sehingga menyebabkan
ekonomi biaya tinggi.
Daerah harus mampu membiayai operasional pembangunan dari dana yang
didapat dari potensi sumberdaya daerahnya sendiri, sehingga PAD mutlak digali
untuk kemakmuran dan kesejahteraan daerahnya sendiri.
Berdasarkan pola produksinya, tenaga kerja yang terjun ke kegiatan
produksi perikanan dibedakan menjadi dua macam, yakni : nelayan dan
pembudidaya ikan. Nelayan dikategorikan sebagai tenaga kerja yang melakukan
aktifitas produksinya dengan cara berburu ikan di laut atau melaut. Umumnya
mereka memiliki alat produksi utama seperti kapal dan alat tangkap ikan.
Kegiatan produksi nelayan tergantung pada musim ikan dan hasil produksinya
cenderung merupakan jenis-jenis ikan segar ekonomis penting, baik yang
tergolong ikan demersal, pelagis, crustacea, dan komoditi perikanan laut lainnya.

93
Perkembangan teknik penangkapan modern, terutama semenjak
diperkenalkannya motorisasi (modernisasi perikanan) telah membagi formasi
sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern.
Berdasarkan teknik dan alat-alat penangkapannya nelayan tradisional dan nelayan
modern. Berdasarkan teknik dan alat-alat penangkapannya nelayan tradisional
adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan
menggunakan kapal tanpa motor (KTM), tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan
modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang mapan, cenderung bersifat
subsisten, dan secara geneologi telah menekuni aktivitas tersebut secara turun
temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya
mengadopsi perkembangan teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi
citra satelit. Dukungan modal dan kelembagaan usahanya mapan, serta ciri-ciri
subsistem telah hilang. Usaha penangkapannya ditujukan semata- mata untuk
meraih profit secara maksimal.
Modernisasi perikanan ternyata tidak memilah formasi nelayan atas dasar
kepemilikan cara produksi, namun telah memilah pula nelayan atas dasar
kepemilikan alat produksi. Nelayan yang memiliki alat-alat produksi seperti kapal
dan modal digolongkan sebagai nelayan pemilik. Berbeda dengan nelayan yang
tidak memiliki alat produksi dan menjual tenaga atau keahliannya untuk
menangkap ikan, dikategorikan sebagai nelayan buruh. Klasifikasi nelayan
tersebut atas dasar teknik kepemilikan alat produksi itu masih dibedakan
berdasarkan kegiatan menjadi nelayan penuh, nelayan sebagai sambilan utama,
dan nelayan sebagai sambilan tambahan. Sampai dengan tahun 2000, jumlah total
nelayan Indonesia sekitar 2.486.456 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,21
% dibandingkan tahun 1999 dan dalam kurun waktu 1990-2000 telah mengalami
peningkatan sebesar 5 % per tahun. Nelayan berprofesi penuh pada tahun 2000
berjumlah 1.212.195 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,06 %
dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang
menjadi nelayan sambilan utamapun mengalami kenaikan 5,06 % dibanding tahun
sebelumnya atau berjumlah 911.163 orang pada tahun 2000.

94
Melihat laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, mengakibatkan
perlunya tambahan lapangan kerja yang cukup besar sehingga sektor kelautan dan
perikanan merupakan salah satu andalan untuk menyerap tenaga kerja tersebut.
Permasalahan utama yang sering dihadapi adalah ketersediaan modal. Ini
dicerminkan antara lain berupa keterbatasan kredit dengan persyaratan yang relatif
mudah untuk usaha agribisnis perikanan. Minimnya lembaga keuangan di daerah
kabupaten dan kecamatan, menjadi penyebab terhambatnya usaha perikanan di
daerah. Selama masa PJP I saja jumlah modal yang dikucurkan melalui investasi
pemerintah dan swasta di bidang perikanan hanya sebesar 0,02 % dari total modal
yang ada di sektor-sektor pembangunan. Kelangkaan modal ini telah
mengakibatkan kelangkaan alat dan faktor produksi pada sektor perikanan,
sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak pernah optimal.
Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi
dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan
dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan
pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan
memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam
pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama
teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap
kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan
terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor
produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi dalam menciptakan
output di bidang perikanan. Kemampuan menciptakan output ini akan mendorong
pembentukan permintaan, yang berarti meningkatkan permintaan efektif.
Hadirnya modal dalam kegiatan perikanan akan mendorong kehadiran teknologi
maju, pembentukan overhead social dan ekonomi, pembentukan jaringan bisnis
perikanan, pengendalian mutu serta efisiensi.
Selain itu, hal yang patut dicermati adalah permasalahan sumberdaya
manusia di sektor perikanan, khususnya dalam hal rendahnya tingkat pendidikan
dan keterampilan nelayan. Kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM)
perikanan, bagian terbesar nelayan berpendidikan rendah yaitu 70 % tidak tamat
Sekolah Dasar (SD) dan tidak sekolah, 19,59 % tamat Sekolah Dasar, dan hanya

95
0,03 % yang memiliki pendidikan sampai jenjang Diploma 3 dan Sarjana. Masih
sedikitnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM nelayan,
ABK, aparat pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari anggaran pemerintah, swasta,
atau stakeholders lainnya untuk mengucurkan dananya dalam peningkatan/
keahlian SDM kelautan dan perikanan.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potasium cyanida, menjadi
ancaman serius bagi perikanan tangkap, karena menunjukkan angka yang terus
meningkat setiap tahunnya. Kini kerusakan terumbu karang berada pada kondisi
yang amat memprihatinkan. Destructive fishing dengan menggunakan bom dan
potasium cyanida ini dipicu oleh semakin sempitnya lahan pencaharian nelayan
lokal di daerah tersebut, akibat pengkaplingan wilayah tangkapan nelayan lokal
oleh investor yang masuk. Juga hadirnya para penadah ikan jenis dilindungi.
Terjadinya kerusakan fisik dan habitat ekosistem perairan dapat dilihat pada
kondisi yang terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut.
Terumbu karang Indonesia dengan luas total sekitar 85.000 km² yang masih
berada dalam kondisi sangat baik hanya 6,20 %, kondisi baik 23,72 %, kondisi
sedang 28,30 %, dan kondisi rusak 41,78 %. Dari kondisi terumbu karang
tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat Indonesia memiliki kondisi
yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan
timur Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove dari
5,21 juta Ha menjadi 2,5 juta Ha. Penurunan luasan mangrove hampir merata
terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, maka
diperlukan peningkatan kapasitas dan kelembagaan kelautan dan perikanan
menjadi salah satu prioritas utama kebijakan sektor kelautan dan perikanan. Untuk
mendukung pengembangan kapasitas dan kelembagaan, maka berbagai kebijakan
yang ada perlu diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem
pengelolaan sektor kelautan dan perikanan serta meningkatkan kualitas
kelembagaan dan sumberdaya manusia pendukungnya.

96
a. Pengembangan Sistem Pengelolaan
Pengembangan sistem pengelolaan kelutan dan perikanan perlu diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan manajemen kelautan dan perikanan nasional
dengan penekanan pada empat aspek sebagai berikut:
(1) Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas sistem perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan sektor kelautan dan perikanan yang dilandasi
oleh prinsip keterpaduan. Prinsip keterpaduan tersebut mencakup keterpaduan
dalam menetapkan substansi dan ruang lingkup pengelolaan dan keterpaduan
dalam menetukan dan melaksanakan peran bagi para pihak terkait di setiap
tataran sistem pengelolaan;
(2) Meningkatkan peran para pihak terkait untuk menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan kewenangan, hak dan kewajibannya sejalan dengan
garis kebijakan yang berlaku;
(3) Menegakkan sistem penegakkan hukum yang efektif;
(4) Mengembangkan sistem pengelolaan kelautan dan perikanan yang mendukung
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi, yaitu suatu sistem yang
mendorong tumbuhnya investasi dan peranserta masyarakat di sektor usaha
kelautan dan perikanan. Hal ini perlu segera ditangani karena sampai sekarang
belum ada strategi nasional pembangunan kelautan dan perikanan yang
memberikan landasan konseptual pengelolaan kelautan dan perikanan.
b. Pengembangan Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia
Pengembangan Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia diarahkan untuk
meningkatkan kualitas kelembagaan sektor kelautan dan perikanan serta
sumberdaya manusia pendukungnya. Pengembangan kelembagaan meliputi
kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas lembaga-lembaga pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka
memainkan perannya secara efektif dalam sistem pengelolaan sektor kelautan dan
perikanan. Untuk menunjang kegiatan tersebut, pengembangan hubungan
kelembagaan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha akan dilakukan dengan
mengutamakan sistem kemitraan (public private partnership). Pengembangan
kelembagaan pemerintah harus menekankan pada pengembangan sistem dan
mekanisme hubungan Pusat dan Daerah dalam kerangka penerapan desentralisasi.

97
Selain itu, pengembangan kelembagaan juga mencakup pengembangan hubungan
kelembagaan nasional, regional dan internasional, terutama dalam rangka
memperkokoh sistem pengelolaan dan pengembangan peluang investasi dan
bisnis. Kualitas sumberdaya manusia akan ditingkatkan dalam rangka
memberdayakan sumberdaya manusia di jajaran pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat untuk mendorong pemanfaatan potensi sumberdaya alam laut dan
perikanan secara optimal. Pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk
meningkatkan aksestabilitas masyarakat terhadap sumberdaya alam laut dan
perikanan dan jasa-jasa kelautan dalam bentuk peningkatan keterampilan dan
pengembangan teknologi, termasuk sistem sistem pengelolaan yang
memungkinkan masyarakat untuk ikut serta menjadi pemain utama (shareholders)
dalam usaha kelautan dan perikanan.
Secara komprehensif, kelembagaan dipandang penting karena dapat
berperan dalam pengambilan keputusan baik untuk kegiatan investasi dan
kegiatan ekonomi lainnya, baik dalam bentuk individu atau sebuah organisasi
dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam
kelembagaan akan merubah gugus oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku
ekonomi sehingga keragaan ekonomi seperti produksi, kesempatan kerja,
kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pendapatan dapat berubah.
Sedangkan perubahan dalam teknologi, preferensi dan pendapatan menuntut
adanya perubahan dalam kelembagaan.
Kelembagaan sebagai organisasi dapat berupa lembaga- lembaga formal
seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Dinas
Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan, bank dan
sejenisnya, namun dari sudut pandang ekonomi, lembaga dalam artian organisasi
biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh
mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Pasar
dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal
aktivitas ekonomi dikoordinasikan secara administratif.
Dari dimensi sosial, sebagai aturan main kelembagaan dapat diartikan
sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang, dimana
ditentukan hak-hak mereka berupa perlindungan atas hak-haknya, hak-hak

98
istimewa dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, dipandang dari sud ut individu
dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
Kelembagaan dapat dicirikan kedalam tiga hal, yaitu: (1) Batas-batas
jurisdiksi; (2) Hak-hak kepemilikan baik yang berupa hak atas benda materi
maupun bukan materi; dan (3) Aturan representasi. Kelembagaan (institusi)
merupakan rule of the game dalam masyarakat, atau secara lebih formal
merupakan aturan yang membatasi dan membentuk interaksi manusia.
Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai himpunan aturan mengenai
tata hubungan diantara orang-orang dimana ditentukan hak-hak mereka, pelindung
atas haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya. Apabila dikelola dengan
baik, kelembagaan dapat berfungsi melancarkan pembangunan. Kelembagaan
memberikan ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak,
kewajiban dan tanggung jawabnya. Institusi merupakan aturan atau prosedur yang
menentukan bagaimana manusia bertindak, dan peran atau organisasi yang
bertujuan memperoleh status satu legitimasi tertentu. Peraturan dan peranan dapat
dilembagakan sebagai peraturan atau perundang-undangan dan sebagai organisasi
yang konkrit. Dalam uraian di atas nampak bahwa kelembagaan menjadi salah
satu faktor penting dalam berbagai hal termasuk dalam meningkatkan kapasitas
kelembagaan kelautan dan perikanan.
Dibandingkan dengan bentangan garis pantai, jumlah pulau dan luas
lautnya, prasarana dan sarana perikanan yang dimiliki Kota Ternate, masih jauh
dari optimal. Sebagai gambaran Thailand dengan garis pantai hanya 2.600 km
(1/35 dari panjang garis pantai Indonesia) memiliki sekitar 52 pelabuhan
perikanan yang sebagian besar memenuhi standar hygienes dan sanitasi
internasional. Dalam menunjang prasarana produksi perikanan maka kebijakan
Pernerintah Kota Ternate yang ditindak lanjuti oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Ternate dengan menetapkan kawasan sentra perikanan, dalam penetapan
kawasan sentra perikanan guna mendongkrak kinerja pemerintah dalam melayani
para nelayan dalam melengkapi persyaratan dan memberikan konstribusi bagi
nelayan guna menarik pendapatan asli daerah.
Untuk merealisasi semuanya diatas maka perlu kiranya dibangun prasarana
produksi yang memadai, maka pada Tahun 2004 Pemerintah Kota Ternate melalui

99
program dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate membangun prasarana
produksi perikanan seperti : Pengembangan Pabrik Es Kapasitas 5 Ton,
Pembuatan Pabrik Es (DIPDA-L), Pengembangan Balai Benih Ikan, Penyertaan
Modal Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir, Administrasi Penunjang
Kegiatan DAK-Perikanan dan Pengembangnan Pangkalan Pendaratan Ikan
(DAK-Perikanan).
Dari semua kegiatan diatas sumber dananya berasal dari APBD dan Dana
Alokasi Khusus (DAK-Perikanan), sedangkan kegiatan tersebut berlokasi di dua
Kecamatan yaitu Kecamatan Ternate Utara (Kelurahan Dufa-Dufa) dan
Kecamatan Ternate Selatan (Kelurahan Gambesi).
Program perikanan tahun Anggaran 2004 Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Ternate mengalami kenaikan yang sangat signifikan dan pada prinsipnya
merupakan kesinambungan kegiatan pada tahun sebelumnya dan merupakan daya
dukung dalam melaksanakan program Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Ternate, serta kebijakan pemerintah Kota Ternate. Adapun Program yang
dilaksanakan pada tahun 2004 adalah:
1. Program Pengembangan Produksi Perikanan
- Penyertaan Modal Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir
- Administrasi Penunjang DAK Perikanan
- Pengadaan Rumpon Ikan Pelagis Laut Dangkal
- Pengadaan Alat Tangkap Purse Seine (Pajeko)
- Pengadaan Bibit Ikan Mas dan Ikan Kepala Timah
- Pembangunan Gedung Pabrik Es (DIPDA- L)
- Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (DAK-Perikanan)
- Pengadaan Mesin Pabrik Es Kapasits 10 Ton (La njutan)
2. Program Peningkatan Mutu Hasil Perikanan
- Pengadaan Cold Box
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode AHP,
diperoleh hasil bahwa kriteria “penyerapan tenaga kerja” dalam pembangunan
perikanan tangkap khususnya di kota Ternate merupakan kriteria dengan nilai
tertinggi (skor 0,261), diikuti oleh kriteria “pendapatan nelayan” dengan skor
0,169. Hal ini berarti bahwa pembangunan perikanan tangkap di kota Ternate

100
khususnya dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja merupakan hal yang
paling penting dibandingkan dengan kriteria-kriteria lainnya. Sesuai dengan
kondisi di lapangan bahwa berdasarkan hasil pendataan penduduk Tahun 2003
adalah 148.946 Jiwa dan menunjukan kecenderungan peningkatan pada wilayah
tertentu, khususnya di wilayah Kota Ternate Utara dan .Kota Ternate Selatan.
Peningkatan ini disebabkan beberapa faktor yaitu urbanisasi dan migrasi yang
hampir sama.
Jumlah penduduk per wilayah Kecamatan Kota Ternate:
1. Kec. Kota Temate Utara : 60.285 Jiwa;
2. Kec. Kota Ternate Selatan : 66.535 Jiwa;
3. Kec. Pulau Temate :17.590 Jiwa;
4. Kec. Moti : 4.536 Jiwa;
Pertumbuhan penduduk Kota Ternate pada tahun 2003 sebesar 148.946 Jiwa
bila dibandingkan dengan tahun 2002 sebesar 120.865 Jiwa atau terjadi
pertumbuhan 1,22 %. Kenaikan ini disebabkan kembalinya para pengungsi dari
Manado dan Bitung, serta terjadinya eksodus para pendatang dan berbagai daerah
ke Kota Ternate.
Selain peningkatan penyerapan tenaga kerja, hal yang tidak kalah
pentingnya adalah peningkatan pendapatan nelayan. Sebagaimana permasalahan
nelayan pada umumnya di Indonesia, pendapatan mereka perlu ditingkatkan.
Adapun pada level kendala atau permasalahan, skor tertinggi diperoleh pada
atribut “prasarana umum” (0,296), yang selanjutnya diikuti oleh atribut
“kelembagaan” (skor 0,213). Hal ini berarti bahwa permasalahan yang paling
mendesak di Kota Ternate adalah mengenai prasarana umum yang disusul oleh
permasalahan kelembagaan. Sebagaimana diketahui, prasarana umum di Kota
Ternate khususnya yang berkaitan dengan fasilitas di bidang kelautan dan
perikanan sangat penting untuk dipenuhi kebutuhannya,seperti misalnya
pembangunan cold storage, pabrik es, penambahan daya listrik, perluasan fasilitas
pelabuhan dan sarana pemasaran seperti pasar ikan. Dalam hal kelembagaan jelas
terlihat perlunya penambahan dan penguatan lembaga yang berkaitan dengan
pasar yaitu perlu dikembangkan lembaga pasar baik untuk menampung atau
memasarkan produk perikanan maupun lembaga keuangan mikro seperti bank

101
pasar, di lokasi penelitian perlu penambahan dan penguatan kelembagaan. Hal
lain yang juga patut menjadi perhatian adalah kelembagaan disatu sisi dan
organisasi disisi lain harus dibedakan dengan jelas, dimana organisasi adalah
structure of roles (struktur dari peran). Fauzi A, 2005 menyatakan beberapa tipe
kelembagaan dapat berbentuk organisasi, misalnya rumah tangga, koperasi, unit
usaha dan sebagainya. Di sisi lain ada pula kelembagaan yang bukan organisasi,
misal mata uang ataupun produk hukum dan perundang-undangan. Sebaliknya,
ada pula organisasi yang bukan merupakan lembaga, seperti organisasi grass-root.
Untuk permasalahan prasarana umum dalam pembangunan perikanan
tangkap di Kota Ternate, tujuan utama yang ingin dicapai adalah untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) (skor 0,323) sebagaimana terlihat
dalam Tabel 21. Tujuan selanjutnya adalah untuk meningkatkan pajak (skor
0,318) dan meningkatkan ketersediaan ikan sebagai sumber protein (skor 0,317).
Pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis dan potensi
sumberdaya alam dan tata lingkungan hidup belum dapat diselesaikan. Dengan
demikian, belum seluruh sumberdaya perikanan dan tata lingkungan diketahui
secara pasti. Disamping itu ketentuan yang menyangkut pembinaan sumberdaya
perikanan belum dilaksanakan secara optimal.
Untuk permasalahan kelembagaan di lokasi penelitian, diperoleh bahwa
tujuan utama yang ingin dicapai adalah meningkatkan pajak (skor 0,267), PAD
(skor 0,245), dan devisa (skor 0,220). Hal ini dikarenakan usaha perikanan pada
hakekatnya merupakan sektor kegiatan yang dilakukan swasta dan masyarakat,
dimana peran pemerintah hanya terbatas pada fungsi- fungsi pengaturan,
pembinan, penyediaan prasarana dan bila diperlukan mengadakan usaha-usaha
perintis.
Usaha peningkatan produksi dan produktifitas menuju pada peningkatan
pendapatan nelayan. Pendapatan nelayan senantiasa ditempuh melalui
peningkatan partisipasi nelayan melalui peranan fungsionalnya dibidang
pelayanan, penyediaan sarana produksi, kredit dan pengolahan serta pemasaran
hasilnya.
Setelah menelaah kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menentukan
kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate serta permasalahan-

102
permasalahan yang dihadapinya, maka alternatif kebijakan yang terpilih adalah
pembentukan pasar (skor 0,230), yang diikuti alternatif pembangunan fasilitas
pengolahan (skor 0,180) dan pembangunan prasarana pelabuhan (skor 0,170).
Kontributor tertinggi untuk alternatif kebijakan pembentukan pasar adalah
adanya permasalahan kelembagaan (skor 0,336). Pemasaran komoditas perikanan
di Kota Ternate, sebagian besar ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer
market). Kondisi ini mengakibatkan harga jual produk perikanan pada umumnya
atau seringkali kurang menguntungkan produsen (nelayan). Ada dua faktor utama
yang membuat pemasaran produk perikanan di Kota Ternate masih lemah, yaitu:
(1) Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang jenis dan
mutu komoditas perikanan; (2) Belum memadainya prasarana dan sarana sistem
transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian
(delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu.
Ikan dan produk perikanan adalah merupakan komoditas yang sangat mudah
busuk sehingga menuntut cara penanganan dan pengolahan yang cepat dan tepat
agar mutu dan kesegarannya tetap prima. Akan tetapi, sebagian besar ikan
ditangkap dari perairan yang cukup jauh dari tempat pendaratan atau lokasi
konsumen. Padahal sebagian besar nelayan adalah nelayan tradisional dengan
keterbatasan modal, skala usaha, keterampilan maupun peralatan. Akibatnya,
sebagian besar hasil tangkapan tidak ditangani dengan baik, dan pada waktu
didaratkan, mutunya sudah merosot, bahkan sebenarnya tidak cocok lagi untuk
dikonsumsi (not fit for human consumption).
Berikutnya, untuk alternatif kebijakan pembangunan fasilitas pengolahan,
prasarana umum merupakan kendala yang menjadi kontributor terbesar (skor
0,232) yang sekaligus menjadi kontributor tertinggi untuk alternatif kebijakan
pembangunan prasarana pelabuhan (skor 0,247). Terjadinya praktek-praktek
penanganan dan pengolahan ikan dengan kaidah-kaidah good handling practices
(GHP) dan good manufacturing practices (GMP) terutama disebabkan karena
tidak tersedianya fasilitas penunjang seperti air bersih, es dan garam di tempat-
tempat pendaratan.

103
Gambar 10 Hirarki kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate

104
Tabel 21 Hasil penilaian kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota
Ternate untuk tingkat 2 (kriteria) dan tingkat 3 (kendala)
Sumber Prasarana Model
Dana SDM SDA Kelembagaan Umum Weights
Suplai Protein 0,189 0,143 0,169 0,181 0,317 0,082
Pendapatan Nelayan 0,192 0,147 0,173 0,197 0,291 0,169
Profit Usaha 0,152 0,217 0,174 0,197 0,259 0,129
Devisa 0,153 0,148 0,193 0,220 0,287 0,094
Pajak 0,120 0,142 0,152 0,267 0,318 0,114
PAD 0,107 0,141 0,185 0,245 0,323 0,151
Penyerapan Tenaga Kerja 0,145 0,223 0,148 0,195 0,290 0,261
Results 0,149 0,174 0,168 0,213 0,296

Tabel 22 Hasil penilaian kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota


Ternate untuk tingkat 4 (alternatif)
Pemb Fasilit Pembentukan
Pengadaan Pembangunan Pengolhn Pasar
Alat Pengadaan Program Prasarana (pabrik es, cld (pedagang,
Tangkap Perahu/Kapal DIKLAT Pelabuhan storage dsb) collector dsb)
Sumber Dana 0,159 0,159 0,133 0,149 0,187 0,213
SDM 0,123 0,161 0,224 0,143 0,143 0,205
SDA 0,148 0,163 0,187 0,133 0,185 0,185
Kelembagaan 0,095 0,086 0,149 0,179 0,155 0,336
Prasarana Umum 0,089 0,096 0,123 0,247 0,232 0,212
Results 0,123 0,133 0,163 0,170 0,180 0,230

Gambar 11 Diagram tingkat permasalahan dalam kebijakan pembangunan


perikanan tangkap di Kota Ternate

Gambar 12 Diagram tingkat alternatif dalam kebijakan pembangunan perikanan


tangkap di Kota Ternate

105
2) Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan
Sebagai suatu sektor yang memanfaatkan sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources), idealnya sektor perikanan mampu mencapai hasil secara
berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku yang
bergerak serta terkait di bidang ini. Terdapat tujuh indikator kinerja (performance
indicators) yang dapat digunakan untuk melihat lebih jauh pencapaian hasil
pembangunan perikanan, yaitu: (1) Produksi perikanan; (2) Volume dan nilai
ekspor produk perikanan; (3) Pendapatan negara bukan pajak; (4) Konsumsi per
kapita; (5) Tenaga kerja; (6) Pendapatan nelayan; dan (7) Peraturan perundang-
undangan.
Peningkatan kontribusi sub sektor perikanan dalam menunjang peranan
serta laju pertumbuhan sektor perikanan dalam pembangunan nasional terutama
sekali dilaksanakan melalui peningkatan produksi perikanan yang berorientasi
pada perluasan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas tenaga kerja,
peningkatan nilai tambah, efesiensi usaha dan peningkatan pendapatan usaha
perikanan.
Dalam hal ini, pembangunan perikanan mempunyai harapan baik karena
potensi sumberdaya perikanan yang tersedia sangat besar dan sepenuhnya belum
dimanfaaatkan secara optimal. Bagi usaha penangkapan ikan di laut yang
berdasarkan usahanya pada sumberdaya perikanan yang merupakan milik bersama
(common property), pengembangan produksinya diarahkan pada pencapaian
pemanfaatan sumberdaya secara rasional untuk meningkatkan produktifitas usaha
nelayan, pengembangannya senantiasa diarahkan ke perairan yang masih
potensial, perairan lepas pantai dan ZEE. Selanjutnya usaha penangkapan akan
ditata kembali sehingga diharapkan kegiatan penangkapannya tidak melampaui
daya dukung dan sumberdaya yang tersedia dan tercapai rasionalisasi
pemanfaatannya.
Pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial
dilaksanakan metalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan dengan
menggunakan perahu motor tempel dan kapal motor berukuran kurang dari 10
GT.

106
Tabel 23 Perkembangan produksi perikanan dirinci menurut kecamatan pada
tahun 2002 -2004

No Kecamatan 2002 (Ton) 2003 (Ton) 2004 (Ton)


1 Ternate Utara 3.135,67 4.204,62 4.225,39
2 Ternate Selatan 945,55 1.267,58 1.274,15
3 Kecamatan Pulau
2.497,35 3.347,33 3.365,24
Ternate
4 Kecamatan Moti 879,93 1.178,97 1.185,72
Total 7.457,00 9.998,50 10.048,50

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, 2004

4.500

4.000

3.500

3.000
Produksi (Ton)

Kec. Ternate Utara


2.500 Kec Ternate Selatan
Kec. P. Ternate
2.000
Kec. Moti
1.500

1.000

500

0
2002 2003 2004
Tahun

Gambar 13 Perkembangan produksi perikanan Kota Ternate per Kecamatan

Disamping itu akan ditempuh pula usaha diversifikasi melalui perbaikan


teknik penangkapan untuk meningkatkan efisiensi usaha. Mulai dari tahun 2002
sampai tahun 2004 armada perikanan di Kota Ternate sebanyak 1.125 buah yang
terdiri dari kapal motor sebanyak 19 buah, motor tempel sebanyak 344 buah dan
perahu tanpa motor sebanyak 762 buah.
Dari uraian data diatas kita bisa lihat dalam tabel berikut ini yang
menguraikan secara rinci mengenai perkembangan armada penangkapan.

107
Tabel 24 Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate dari tahun
2002 -2004.

Jenis Armada 2002 2003 2004 Rata-rata


(Unit) (Unit) (Unit) Kenaikan (%)
Kapal Motor 22 21 19 -
Motor Tempel 260 275 344 12.76
Perahu Tanpa Motor 755 787 762 -
Total 1.037 1.083 1.125

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, 2004

900

800

700
Jumlah Armada (Unit)

600

500

400

300

200

100

0
2002 2003 2004
Tahun
Kapal Motor Motor Tempel Perahu Tanpa Motor

Gambar 14 Perkembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate

Jumlah Armada penangkapan di Kota Ternate Tahun 2004 tercatat secara


keseluruhan sebanyak 1.125 buah terdiri dari perahu tanpa motor 762 buah, Motor
Tempel 344 buah dan Kapal Motor 19 buah. Pada tahun 2004 produksi baru
mencapai 10.048,50 ton dengan demikian maka tingkat pemanfaatan baru
mencapai 21,01 % dan potensi lestari sehingga dari produksi yang dicapai tahun
terakhir menunjukkan tingkat pemanfaatan masih under exploitation, sehingga
peluang investasi di sektor Perikanan dan Kelautan di Kota Ternate masih sangat
terbuka.

108
Kendala yang dihadapi pada kebijakan pengembangan armada penangkapan
ikan adalah permasalahan sumberdaya manusia di sektor perikanan, khususnya
dalam hal rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan. Kualitas
pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) perikanan, bagian terbesar nelayan
berpendidikan rendah yaitu 70 % tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tidak
sekolah, 19,59 % tamat Sekolah Dasar, dan hanya 0,03 % yang memiliki
pendidikan sampai jenjang Diploma 3 dan Sarjana. Masih sedikitnya perhatian
pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM nelayan, ABK, aparat pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari anggaran pemerintah, swasta, atau stakeholders lainnya
umtuk mengucurkan dananya dalam peningkatan/keahlian SDM kelautan dan
perikanan.
Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi
dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan
dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan
pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan
memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam
pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama
teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap
kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan
terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor
produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi dalam menciptakan
output di bidang perikanan. Kemampuan menciptakan output ini akan mendorong
pembentukan permintaan, yang berarti meningkatkan permintaan efektif.
Hadirnya modal dalam kegiatan perikanan akan mendorong kehadiran teknologi
maju, pembentukan overhead social dan ekonomi, pembentukan jaringan bisnis
perikanan, pengendalian mutu serta efisiensi.
Alat penangkap ikan pole and line dan purse seine, merupakan dua jenis alat
tangkap yang mampu menyerap tenaga kerja seoptimal mungkin. Kedua jenis alat
tangkap ini dapat dilakukan pengoperasiannya dengan sistem one day fishing.
Bagi usaha penangkapan ikan di laut yang berdasarkan usahanya pada
sumberdaya perikanan yang merupakan milik bersama (common property),
pengembangan produksinya diarahkan pada pencapaian pemanfaatan sumberdaya

109
secara rasional. Untuk meningkatkan produktifitas usaha nelayan,
pengembangannya senantiasa diarahkan ke perairan yang masih potensial.
Selanjutnya usaha penangkapan akan ditata kembali sehingga diharapkan kegiatan
penangkapannya tidak melampaui daya dukung dan sumberdaya yang tersedia dan
tercapai rasionalisasi pemanfaatannya.
Pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial
dilaksanakan me lalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan dengan
menggunakan perahu motor tempel dan kapal motor berukuran < 5 GT, 5-10 GT,
dan > 10 GT.
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode AHP,
diperoleh hasil bahwa kriteria “peningkatan penyerapan tenaga kerja” dalam
pengembangan armada penangkapan ikan khususnya di kota Ternate merupakan
kriteria dengan nilai tertinggi (skor 0,207), diikuti oleh kriteria “peningkatan
produktivitas penangkapan” dengan skor 0,154. Berikutnya adalah kriteria
penggunaan BBM yang rendah (skor 0,140). Dengan demikian Kota Ternate
memerlukan suatu alternatif kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan
yang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Selain itu juga diperlukan
alternatif kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan yang memiliki
produktivitas penangkapan yang tinggi, serta tidak memerlukan penggunaan
BBM yang tinggi. Sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa armada huhate dan
purse seine melakukan kegiatan penangkapannya di perairan pantai, yang masih
potensial sehingga jarak tempuh dari fishing base ke fishing ground relatif tidak
terlalu jauh. Hal demikian menyebabkan biaya operasional khususnya penggunaan
BBM untuk kedua jenis armada penangkapan tersebut me merlukan penggunaan
BBM yang tinggi.
Adapun permasalahan yang relatif penting untuk diselesaikan terlebih
dahulu dalam rangka pengembangan armada penangkapan di Kota Ternate adalah
masalah pelabuhan/PPI/TPI (skor 0,294), selanjutnya adalah mengenai kondisi
perairan (skor 0,205), diikuti oleh permasalahan jumlah galangan (skor 0,192).
Penyelesaian permasalahan mengenai Pelabuhan/PPI/TPI terutama diharapkan
dapat meningkatkan PAD, devisa dan penyerapan tenaga kerja, sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabel 25.

110
Tabel 25 Skor untuk kriteria dan permasalahan dalam kebijakan pengembangan
armada penangkapan ikan di Kota Ternate
Sumber Kondisi Jml Model
dana SDM perairan galangan Pelab./PPI/TPI Weights
Kelestarian SDI 0.128 0.19 0.199 0.221 0.262 0.138
Peningkatan Profit
Usaha 0.192 0.17 0.225 0.16 0.253 0.118
Peningkatan.Produktivit.
Penangkapan 0.151 0.224 0.224 0.172 0.228 0.154
Penggunaan BBM yg
rendah 0.123 0.191 0.253 0.157 0.276 0.14
Peningkatan PAD 0.112 0.138 0.182 0.202 0.366 0.124
Peningkatan Devisa 0.123 0.163 0.216 0.149 0.349 0.119
Peningkatan Penyerapan
Tenaga Kerja 0.108 0.16 0.16 0.246 0.326 0.207
Hasil 0.132 0.177 0.205 0.192 0.294

Skor kontribusi masing- masing kriteria tersebut terhadap permasalahan


mengenai Pelabuhan/PPI/TPI berturut-turut adalah sebesar 0,366, 0,349, dan
0,326. Prasarana perikanan yang berupa pelabuhan perikanan, pangkalan
pendaratan ikan, laboratorium pembinaan dan pengujian hasil perikanan yang
dibangun didaerah-daerah yang potensial yang disediakan sebagai basis
operasional bagi nelayan-nelayan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan.
Melihat masalah kondisi perairan di lokasi penelitian, kriteria utama yang
perlu dicapai dalam rangka pengembangan armada penangkapan ikan di Kota
Ternate adalah penggunaan BBM yang rendah (skor 0,253), diikuti oleh kriteria
peningkatan profit usaha (0,225) dan selanjutnya adalah kriteria peningkatan
produktivitas penangkapan yang berbeda tipis dengan kriteria sebelumnya (skor
0,224). Meningkatnya hasil tangkapan bagi nelayan secara langsung berpengaruh
terhadap pendapatan nelayan, ini dilihat dengan tingginya permintaan ikan dipasar
lokal dengan harga ikan yang sangat tinggi. Pendapatan rata-rata nelayan dan
petani ikan di Kota Ternate pada Tahun 2004 per orang sebesar Rp. 10.530.000,-
bila dibandingkan dengan tahun 2003 maka pendapatan para Nelayan dan Petani
Ikan mengalami kenaikan sebesar Rp. 52.500,- / Orang.
Untuk permasalahan jumlah galangan di lokasi penelitian, dengan
pemecahan permasalahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penyerapan
tenaga kerja (skor 0,246), menjaga kelestarian SDI (skor 0,221), dan
meningkatkan PAD (skor 0,202). Galangan kapal sangat diperlukan untuk

111
pemeliharaan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan Kota
Ternate. Pembangunan gala ngan kapal akan mengakibatkan penyerapan tenaga
kerja bagi Sumber Daya Manusia di Kota Ternate. Kapal-kapal yang terawat baik
akan memperkecil kecelakaan selama pelayaran, dan ketepatan dalam produksi
penangkapan. Diharapkan dengan produksi yang meningkat, berdampak pula pada
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dari kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menentukan kebijakan
pengembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate serta permasalahan-
permasalahan yang dihadapinya, maka alternatif kebijakan pengembangan armada
yang terpilih berturut-turut adalah : alat tangkap pole and line dengan bobot kapal
lebih dari 10 GT, pole and line dengan bobot kapal 5-10 GT, purse seine dengan
bobot kapal lebih dari 10 GT, dan prioritas keempat adalah rawai denga n bobot
kapal lebih dari 10 GT.
Pengembangan armada dengan bobot kapal > 10 GT sangat dimungkinkan,
karena sumberdaya perikanan Indonesia di perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi armada perikanan
laut nasional sampai tahun 2000 secara kuantitas sebenarnya cukup besar, yaitu
sekitar 449.518 unit. Hanya saja, komposisi dari armada kapal perikanan ini
didominasi oleh kapal-kapal kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk
meningkatkan produksinya. Dari jumlah kapal tersebut sekitar 51 % (230.867
buah kapal) merupakan kapal tanpa motor yang memiliki kemampuan terbatas,
dan hanya beroperasi di sekitar perairan pantai. Armada perikanan nasional yang
memiliki kemampuan besar (modern) hanya 21,6 %.

112
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN
GOAL BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
DI TERNATE, MALUKU UTARA

Sumber Daya Profit Produktivitas Penggunaan Devisa é Penyerapan


KRITERIA PAD é
Ikan (Lestari) é Usaha é Penangkapan é BBM ê Tenaga Kerja é

KENDALA Sumber Dana Kondisi Jumlah Pelabuhan/


SDM
(LIMITING FACTOR) Perairan Galangan PPI/TPI

OPSI PL PL Rawai Rawai GN GN PS PS HL HL


< 5 GT >10 GT < 5 GT > 10 GT < 5 GT > 10 GT < 5 GT > 10 GT < 5 GT > 10 GT

PL Rawai GN PS HL
5-10 GT 5-10 GT 5-10 GT 5-10 GT 5-10 GT

Gambar 15 Hirarki kebijakan pemgembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate

113
Tabel 26 Skor untuk alternatif dalam kebijakan pengembangan armada
penangkapan ikan di Kota Ternate
Sbr dana SDM Kondisi Jml Pelabuhan/
Perairan galangan PPI/TPI Bobot PRIORITAS
Bobot dari Akhir
kendala 0.132 0.177 0.205 0.192 0.294
PL < 5 0.054619 0.049850 0.063158 0.052815 0.054920 0.05527 11
PL 5-10 0.088321 0.081682 0.096491 0.085897 0.088101 0.08829 2
PL 10-30 0.092388 0.085886 0.100585 0.089959 0.092105 0.09237 1
Rawai < 5 0.045322 0.047447 0.046199 0.048172 0.050343 0.04790 12
Rawai 5-10 0.072051 0.075075 0.073099 0.074869 0.077231 0.07487 6
Rawai 10-30 0.074956 0.079279 0.077193 0.078932 0.081236 0.07879 4
GN < 5 0.040674 0.040841 0.035088 0.040046 0.037757 0.03858 15
GN 5-10 0.069146 0.069069 0.059649 0.067324 0.062357 0.06484 10
GN 10-30 0.072051 0.073273 0.063743 0.071387 0.066362 0.06876 9
PS < 5 0.042417 0.047447 0.049708 0.044689 0.044622 0.04589 13
PS 5-10 0.073213 0.080480 0.080117 0.074869 0.073799 0.07640 5
PS 10-30 0.077281 0.084685 0.084211 0.078932 0.077803 0.08048 3
HL < 5 0.045904 0.042643 0.036842 0.045270 0.046339 0.04348 14
HL 5-10 0.073213 0.069069 0.064912 0.071387 0.071510 0.06993 8
HL 10-30 0.078443 0.073273 0.069006 0.075450 0.075515 0.07416 7

114
5.3 Analisis Finansial

Analisis finansial yang dilakukan dalam usaha pengembangan perikanan di


perairan Ternate, Maluku Utara meliputi perhitungan biaya investasi, biaya
operasional penangkapan, biaya total, pendapatan total dan keuntungan yang
dihitung berdasarkan kriteria investasi seperti, Net Benefit Cost Ratio (Net B/C),
Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) terhadap 4 (empat)
jenis alat tangkap terpilih, yang terdiri dari purse seine, pole and line, bottom
handline dan gillnet .
1) Net Present Value ( NPV)
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Net Present Value (NPV) dari 4
jenis alat tangkap terpilih yang di kaji berdasarkan tahun perhitungan discount
rate sebesar 10% menunjukkan bahwa usaha penangkapan dengan menggunakan
alat tangkap purse seine dan bottom handline mempunyai nilai NPV yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Pole and line mempunyai
NPV tertinggi sebesar Rp. 297,524,776 dalam 10 tahun, diikuti dengan purse
seine dengan nilai NPV sebesar Rp. 271,778,669 dalam 10 tahun. Berdasarkan
kriteria NPV maka alat tangkap pole and line, purse seine dan bottom handline
dikatakan layak dengan masa pengusahaan 10 tahun.

Tabel 27 Analisis Net Present Value (NPV) usaha perikanan berdasarkan jenis
alat tangkap

Tahun
Jenis Alat
Tangkap 10 15 20 30
NPV NPV NPV NPV
Purse Seine 271,778,669 359,269,807 428,784,501 412,514,944
Bottom Handline 87,055,226 116,361,823 136,786,784 157,089,321
Gillnet 30,913,893 47,118,501 60,170,560 69,038,908
Pole and Line 297,524,776 462,008,297 530,910,682 530,910,682

2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)


Kriteria investasi Net B/C merupakan indeks efisiensi yang perhitungannya
mempergunakan data yang sama seperti NPV. Jika a melambangkan present value
jumlah sisa Bt – Ct positif dan b adalah present value nilai mutlak jumlah sisa
yang negatif, maka NPV merupakan a – b dan Net B/C adalah a/b. Perhitungan

115
present value sehubungan dengan kriteria tersebut mempergunakan discount rate
yang sama. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan
diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap
4 (empat) jenis alat tangkap (Tabel 28), diketahui bahwa hampir semua jenis alat
tangkap memiliki nilai BC Ratio lebih dari 1. BC Ratio terbesar terdapat pada
jenis alat tangkap bottom handline sebesar 1,14; 1,14; 1,15; 1,15 berturut-turut
untuk masing- masing tahun perhitungan 10, 15, 20, 30 tahun.

Tabel 28 Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) usaha perikanan berdasarkan
alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara
Tahun
Jenis Alat Tangkap 10 15 20 30
BCR BCR BCR BCR
Purse Seine 1.05 1.09 1.06 1.06
Bottom Handline 1.14 1.14 1.15 1.15
Gillnet 1.04 1.05 1.06 1.06
Pole and Line 1.12 1.15 1.15 1.15

3) Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return merupakan salah satu analisis yang digunakan


dalam menentukan kelayakan suatu usaha. IRR adalah suatu nilai discount rate i
yang membuat NPV dari proyek atau usaha menjadi nol (0). IRR bertujuan untuk
mengetahui persentase keuntungan dari suatu usaha setiap tahun dan juga
merupakan alat ukur bagi kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga
pinjaman. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi
bersih dalam suatu usaha.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Internal Rate of Return (IRR) dari 4
(empat) jenis alat tangkap yang dikaji memberikan gambaran bahwa semua jenis
alat tangkap memiliki IRR di atas 10 (Tabel 29), ini menunjukkan bahwa
persentase yang dihasilkan masih lebih besar dari bunga bank yang berkisar 10 %
- 15 % sehingga menjadi daya tarik bagi nelayan dan pengusaha untuk berusaha
dengan menggunakan alat tangkap terpilih tersebut.

116
Tabel 29 Analisis Internal Rate of Return (IRR) usaha perikanan berdasarkan
jenis alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara
Tahun
Jenis Alat Tangkap 10 15 20 30
IRR IRR IRR IRR
Purse Seine 26.49% 27.43% 27.65% 27.69%
Bottom handline 38.17% 38.95% 39.00% 39.01%
Gillnet 14.00% 16.32% 16.78% 16.88%
Pole and Line 30.60% 32.13% 32.22% 32.25%

Dari empat jenis alat tangkap yang dianalisis, yang mempunyai nilai IRR
lebih besar dari bunga bank dengan discount rate 10 % adalah berturut-turut
bottom handline dengan IRR sebesar 38.17 %, Pole and Line dengan IRR sebesar
30.60 % dan purse seine dengan IRR 26.49 %, maka hanya 3 jenis alat tangkap
yang cukup layak untuk dijadikan suatu usaha yaitu bottom handline, pole and
line, dan purse seine.

4) Analisis Prioritas

Dari hasil analisis ekonomi yang telah dijelaskan diatas, dapat kita lakukan
analisis prioritas dari ke 4 jenis alat tangkap yaitu: bottom handline, pole and line,
gillnet dan purse seine (Tabel 30). Analisis prioritas dilakukan dengan
menggunakan skala 1 sampai 4 dimana nilai satu merupakan nilai terendah.
Hasil dari analisis prioritas ini digunakan untuk menentukan 3 besar alat
tangkap yang kemudian akan dilakukan analisa ekonomi berdasarkan Gross Ton
dari ketiga jenis alat tangkap tersebut.

Tabel 30 Nilai Scoring Berdasarkan NPV, B/C, IRR


Nilai Skoring Berdasarkan
Nama Alat Total
No NPV B/C IRR Ranking
Tangkap Skor
10 15 20 30 10 15 20 30 10 15 20 30
1 Purse Seine 3 3 3 3 2 2 3 3 2 2 2 2 30 3
Bottom
2 2 2 2 2 4 3 4 4 4 4 4 4 39 2
Handline
3 Gillnet 1 1 1 1 1 1 3 3 1 1 1 1 16 4
Pole and
4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 3 3 3 43 1
Line

117
Dari hasil analisis prioritas diatas dapat disimpulkan bahwa nilai tertinggi
terdapat pada jenis alat tangkap pole and line. Kemudian berturut-turut bottom
handline, dan purse seine. Untuk selanjutnya, ketiga jenis alat tangkap ini akan
dilakukan analisis yang lebih mendalam berdasarkan klasifikasi ukuran kapal
(Gross Ton/GT) yang dibagi menjadi 2 yaitu dibawah 10 GT dan 10 - 30 GT.

Tabel 31 Analisis Finansial Berdasarkan Klasifikasi Ukuran Kapal


Bottom Handline Purse Seine Pole & Line
Jenis Kapal
= 10 GT 10-30 GT = 10 GT 10 -30 GT = 10 GT 10-30 GT
IRR 10 Th 45.06% 39.20% 20.54% 27.24% 6.30% 33.34%
(%) 15 Th 45.77% 40.09% 22.53% 28.31% 6.06% 33.87%
20 Th 45.81% 40.14% 22.70% 28.45% 7.50% 33.97%
30 Th 45.81% 40.15% 22.79% 28.49% 8.28% 33.99%
BCR 10 Th 1.30 1.10 1.02 1.04 1.02 1.17
15 Th 1.31 1.11 1.06 1.07 1.03 1.17
20 Th 1.33 1.11 1.03 1.04 1.03 1.18
30 Th 1.33 1.11 1.03 1.04 1.03 1.18
NPV 10 Th 72,789,060 144,668,365 49,083,135 235,825,162 51,625,894 434,911,255
(Rp) 15 Th 97,450,342 194,977,112 85,214,240 322,869,913 81,599,493 545,621,664
20 Th 114,837,889 228,975,507 92,797,241 362,710,821 99,685,258 650,001,977
30 Th 132,344,260 266,950,960 97,542,392 376,945,401 99,685,258 660,913,386

Sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 31 diatas, hasil analisis


finansial terhadap alat tangkap bottom handline berdasarkan klasifikasi ukuran
kapal (GT) menunjukkan bahwa ukuran kapal = 10 GT memiliki nilai IRR dan
BCR yang lebih tinggi dibandingkan kapal dengan ukuran > 10 GT, sementara
nilai NPV lebih rendah. Hal Ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi investasi
alat tangkap bottom handline = 10 GT memberikan nilai yang lebih baik, namun
NPV yang diterima lebih kecil. Pada kondisi ini terdapat 2 alternatif kebijakan
yang dapat diambil, yaitu:
1. Apabila ketersediaan dana investasi terbatas, sebaiknya dikembangkan bottom
handline dengan ukuran = 10 GT, karena efisiensi penggunaan dana investasi
lebih tinggi.
2. Apabila ketersediaan dana investasi relatif mencukupi sebaiknya
dikembangkan bottom handline berukuran > 10 GT, karena akan
menghasilkan Net Cash Flow yang lebih besar.
Sementara kebijakan pengembangan untuk alat tangkap purse seine dan pole
and line, sebaiknya diarahkan pada kapal-kapal berukuran 10 - 30 GT. Karena

118
berdasarkan hasil analisis finansial, baik IRR, BCR maupun NPV memberikan
nilai yang lebih baik.
Kenaikan BBM per tanggal 1 Oktober 2005 menimbulkan dampak yang
sangat luar biasa di berbagai sektor kehidupan dimana banyak sekali persoalan-
persoalan yang semakin rumit untuk dipecahkan. Salah satunya adalah biaya
operasional melaut semakin meningkat baik untuk usaha perikanan skala kecil
sampai dengan usaha dengan usaha perikanan skala yang besar. Bila dilihat dari
prosentase kenaikan BBM khususnya solar, kenaikannya melebihi 100% yaitu
dari Rp. 2100/liter menjadi Rp. 4300/liter jelas ini mengakibatkan biaya
operasional meningkat tajam. Dalam penelitian ini juga dihitung kenaikannya
dilihat dari kenaikan BBM dan harga ikan naik rata-rata 10 %, ini disebabkan
sampai dengan Desember 2005 ternyata harga ikan di Kota Ternate yang
diharapkan sebagai revenue cost meningkat tetapi ternyata hanya meningkat rata-
rata 10 % saja, dengan kata lain pendapatan masyarakat di Kota Ternate belum
beranjak menuju perbaikan yang menggembirakan. Tabel 32 menunjukkan
kenaikan harga rata-rata ikan layang dari bulan Oktober sampai dengan Desember
2005 yang tinggi sebesar 42,29 %, yang diikuti dengan kenaikan harga rata-rata
ikan cakalang periode yang sama yang cukup tinggi sebesar 22,35 %. Kenaikan
terendah terjadi pada kenaikan harga rata-rata ikan kakap merah sebesar 3,37 %.
Dari hasil observasi langsung, kenaikan harga ini disebabkan permintaan terhadap
ikan-ikan tersebut tetap tinggi sedangkan pasokan ikan berkurang karena hampir
30 % armada yang ada tidak dapat melaut yang disebabkan karena biaya
operasional khususnya BBM solar meningkat lebih dari 100%. Selain kenaikan
harga ikan disebabkan permintaan yang tinggi, kenaikan tersebut disebabkan pula
pasokan/permintaan ikan layang untuk keperluan ekspor ke Philipina melalui
Kota Bitung permintaannya meningkat sehingga harga rata-rata ikan layang
menunjukkan kenaikan hingga 42,29 %.

119
Tabel 32 Kenaikan harga ikan akibat kenaikan BBM
Harga ikan rata-rata/kg (Rp) Rata-rata
No Jenis ikan Okt Nop Des kenaikan (%)
1 Tongkol 6000 8000 7333,33 12,5
2 Layang 4333,33 6333,33 8766,67 42,29
3 Cakalang 7333,33 10000 10833,33 22,35
4 Tuna 10000 12000 14000 18,33
5 Kembung 5333,33 7333,33 7666,67 21,02
6 Kakap Merah 10333,33 11333,33 11000 3,37
Sumber : Data primer PPN Ternate (2005), diolah

Untuk melihat dampak kenaikan harga BBM dan harga ikan terhadap
kelayakan usaha penangkapan, maka perhitungan difokuskan hanya untuk jenis
kapal beserta alat tangkap yang sudah terpilih yaitu Kapal Pole and Line 10 – 30
GT, Kapal Purse Seine 10 – 30 GT dan kapal Bottom Handline = 10 GT. Dari
hasil perhitungan (Tabel 33) diperoleh hasil bahwa ketiga alat tangkap tersebut
menunjukkan nilai IRR, B/C Ratio dan NPV yang signifikan atau dapat dikatakan
layak untuk diusahakan walaupun dengan harga BBM yang cukup tinggi. Untuk
sementara waktu sambil menunggu situasi ekonomi stabil dan daya beli
masyarakat dapat meningkat maka armada kapal bottom hand line = 10 GT dapat
menjadi prioritas pertama untuk dikembangkan dikarenakan tingkat kelayakan
usahanya lebih menjanjikan dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat,
kemudian diikuti dengan armada pole and line 10 – 30 GT dan selanjutnya
armada purse seine 10 – 30 GT.

Tabel 33 Analisis finansial dengan harga BBM per 1 Oktober 2005 dan denga n
harga ikan naik rata-rata 10 %

Jenis Kapal Bottom Handline Purse Seine Pole & Line


= 10 GT >10 GT > 10 GT
10 Th 41.44% 46.86% 19.35%
IRR (%) 20 Th 42.31% 47.31% 20.41%
30 Th 42.31% 47.31% 20.47%
10 Th 1.23 1.06 1.08
BCR 20 Th 1.26 1.07 1.08
30 Th 1.26 1.07 1.08
10 Th 65.856.635 450.311.073 236.881.462
NPV (Rp) 20 Th 104.768.617 659.890.336 357.254.575
30 Th 121.065.597 668.936.274 373.277.243

120
Dampak lainnya akibat kenaikan harga BBM adalah berkurangnya armada
penangkapan ikan melaut sebanyak kurang lebih 30 %, hal ini dapat terlihat pada
pasokan BBM solar yang terjual di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate pada
bulan Nopember dan Desember 2005 yang turun sebesar kurang lebih 30 %
menjadi 72 Ton dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum kenaikan harga BBM
solar yang dapat menjual solar sebanyak 96 Ton sampai 100 Ton per bulannya
(Gambar 16).

120

100
Solar terjual (ton)

80

60

40

20

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des

Gambar 16 Data pasokan BBM Solar di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)


Ternate Tahun 2005

121
5.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries
Code of Conduct for Responsible Fisheries diperlukan sebagai upaya sadar
dan berencana didalam mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkesinambungan. Sasaran pembangunan perikanan tangkap
baik di tingkat nasional maupun internasional adalah untuk meningkatkan mutu
hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup.
Ketentuan perikanan yang bertanggung jawab, diharapkan dapat dipergunakan
sebagai pedoman untuk me laksanakan kegiatan perikanan yang berwawasan
lingkungan.
Untuk menjamin kemungkinan terbaik penyediaan ikan guna generasi
mendatang, maka semua yang terlibat pada perikanan tangkap di perairan Maluku
Utara hendaknya bekerja sama untuk melindungi dan mengelola sumberdaya ikan
dan habitatnya. Tujuan sebenarnya yang akan dicapai dari analisis Code of
Conduct for Responsible Fisheries adalah untuk membantu pemerintah
mengembangkan atau memperbaiki kebijakan perikanan tangkap.
Sebagaimana diketahui, bahwa pengembangan dari kebijakan perikanan
tangkap yang baik hendaknya mempunyai kebijakan penangkapan ikan yang jelas
dan teratur. Kebijakan perikanan tangkap dikembangkan dengan cara bekerjasama
semua kelompok yang mempunyai kepentingan.
Dalam upaya memberikan arahan kebijakan pengembangan perikanan
tangkap sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di
Ternate, Provinsi Maluku Utara, dilakukan analisis CCRF dengan pemberian
bobot (nilai) terhadap setiap unsur dari pedoman CCRF, berdasarkan setiap jenis
alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Ternate Maluku Utara. Bobot
(nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 4. Keberadaan alat tangkap seperti pole
and line, purse seine, bottom handline, dan gillnet, dan dihubungkan
keterkaitannya dalam bentuk matriks dengan berbagai kriteria seperti: (1)
Selektivitas alat tangkap; (2) Discard; (3) Ketersediaan sumberdaya ikan yang
optimal; (4) Alat tangkap tidak merugikan kelestarian sumberdaya dan binatang
lain; (5) Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang efisien; (6) Tidak terjadi
ghost fishing; (7) Berprinsip kehati- hatian dalam pemanfaatan sumberdaya; (8)
Kegiatan penangkapan tidak merusak lingkungan (tidak polusi).

122
Tabel 34 Hasil skoring alat tangkap yang memenuhi Code of Conduct Responsible Fisheries

No Alat Tangkap Kriteria CCRF Skor Rangking


Selektivitas SDI Tidak merugikan BBM Tidak terjadi Berprinsip Tidak
Alat Discard optimal Kelestarian sumber yang perikanan yg kehati - polusi
daya & binatang lain efisien tdk bertuan hatian
(Ghost Fishing)
1 Pole and Line 4 4 4 4 2 4 4 2 28 1

2 Purse Seine 1 1 1 1 1 2 1 1 9 4

3 Bottom Handline 3 3 3 3 3 3 3 3 24 2

4 Gillnet 2 2 2 2 4 1 2 4 19 3
Berdasarkan hasil pembobotan (nilai) terhadap tiap unsur dari pedoman
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), dengan setiap jenis alat
tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Maluku Utara, seperti terlihat pada
Tabel 35 tersebut di atas, skor tertinggi untuk alat tangkap yang sesuai dengan
kriteria pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah pole
and line kemudian disusul oleh bottom handline. Pole and line memiliki kriteria
sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dikarenakan:
(1) Pole and line merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan mata pancing
tanpa kait no. 5, sehingga hanya ikan- ikan sasaran tangkap saja yang
tertangkap. Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, maka alat tangkap pole
and line memiliki prinsip selektivitas yang tinggi (nilai:4);
(2) Tidak ada hasil tangkapan yang dibuang percuma (discard) oleh alat tangkap
pole and line (nilai: 4);
(3) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tertangkap sangat optimal
(nilai: 4);
(4) Selektivitas yang tinggi dari alat tangkap pole and line akan menjaga
kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya (nilai: 4);
(5) Kegiatan penangkapan ikan dengan pole and line bersifat movable mengejar
gerombolan ikan yang beruaya, sehingga dalam penggunaan bahan bakar
sangat tidak efisien (nilai: 2);
(6) Pada penangkapan ikan dengan pole and line, tidak akan terjadi kegiatan
penangkapan ikan yang tidak bertuan (ghost fishing). Hal ini dikarenakan
alat tangkap pole and line dioperasikan secara aktif oleh setiap pemancing
(nilai: 4);
(7) Pada pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pole and line, berprinsip hati-
hati. Ikan- ikan sasaran tangkap merupakan ikan pelagis besar yang memiliki
sifat ruaya (nilai 4);
(8) Kegiatan penangkapan dengan pole and line menggunakan umpan hidup.
Umpan hidup yang mengalami kematian pada saat berada di bak
penampungan umpan hidup akan dibuang begitu saja ke laut, sehingga
menimbulkan pencemaran (nilai: 2).

124
Bottom handline sebagai urutan prioritas ke dua setelah pole and line
dikarenakan:
(1) Bottom handline merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan mata
pancing berkait no. 5, sehingga hanya ikan- ikan sasaran tangkap yang
mampu memangsa mata pancing dengan ukuran nomor 5 saja yang
tertangkap. Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, maka alat tangkap
bottom handline memiliki prinsip selektivitas cukup tinggi (nilai:3);
(2) Tidak ada hasil tangkapan yang dibuang percuma (discard) oleh alat tangkap
bottom handline (nilai: 3);
(3) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tertangkap cukup optimal
(nilai: 3);
(4) Selektivitas yang cukup tinggi dari alat tangkap bottom handline akan
menjaga kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya (nilai: 3);
(5) Kegiatan penangkapan ikan dengan bottom handline bersifat movable
mencari gerombolan ikan yang beruaya, sehingga dalam efisiensi bahan
bakar sangat kurang efisien (nilai: 3);
(6) Pada penangkapan ikan dengan bottom handline, tidak akan terjadi kegiatan
penangkapan ikan yang tidak bertuan (ghost fishing). Hal ini dikarenakan
alat tangkap bottom handline dioperasikan secara aktif oleh setiap
pemancing (nilai: 3);
(7) Pada pemanfaatan sumberdaya ikan dengan bottom handline, berprinsip
hati-hati. Ikan-ikan sasaran tangkap merupakan ikan pelagis kecil yang
memiliki sifat ruaya (nilai 3);
(8) Kegitan penangkapan dengan bottom handline menggunakan umpan.
Umpan yang sudah dipergunakan dibuang ke laut begitu saja, sehingga
menimbulkan pencemaran (nilai: 3).
Dari kriteria yang telah dikemukakan sesuai dengan pedoman Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), maka alat tangkap pole and line
memiliki skor sejumlah 28. Alat tangkap pole and line menduduki rangking ke 1
dengan skor 28, disusul masing- masing dengan bottom handline, gillnet, dan
purse seine masing- masing dengan skor: 24.19 dan 9

125
Bertitik-tolak pada matriks skoring keterkaitan antara tiap unsur dari
pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), dengan setiap jenis
alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Maluku Utara, maka dapat
ditentukan kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya untuk ikan
pelagis di Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai berikut :

1) Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap pole and


line
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap pole and line
dapat mengupayakan kelestarian sumberdaya. Upaya ini dilakukan untuk
memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau
Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab, sehingga diharapkan dapat
dipergunakan sebagai pedoman untuk pengembangan perikanan secara
bertanggungjawab di Ternate, Maluku Utara. Permintaan pasar baik lokal
maupun regional, yang didukung dengan produksi sumberdaya ikan pelagis di
Maluku Utara yang tinggi dibarengi dengan adanya dukungan nelayan skala kecil
yang tersedia cukup banyak serta tersedianya alat tangkap pole and line dan
umpan hidup.

2) Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap bottom


handline
Seperti halnya perikanan tangkap dengan alat tangkap pole and line maka
pengembangan perikanan tangkap dengan alat tangkap bottom handline,
menempati urutan ke dua. Alat tangkap bottom handline menggunakan mata
pancing berkait nomor 5, sehingga memiliki nilai selektivitas yang tinggi.
Perikanan tangkap dengan alat tangkap bottom handline dapat memenuhi kriteria
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan
yang Bertanggungjawab, sehingga diharapkan perikanan tangkap dengan alat
tangkap bottom handline dapat dikembangkan di perairan wilayah Maluku Utara,
khususnya di Ternate.

126
5.5 Keragaan Desain Kapal Perikanan
5.5.1 Hasil Survei Kapal Perikanan
Pelaksanaan pekerjaan basic design kapal perikanan ini didahului dengan
mengadakan survei di lapangan terhadap kapal-kapal perikanan yang sudah
dibangun dan sudah dioperasikan. Survei dilakukan di Ternate dengan beberapa
daerah yaitu Dufa-dufa, Sangaji dan Jailolo. Pada saat survei, telah diamati 3
(tiga) jenis kapal penangkap ikan yaitu : kelas 3 GT, 10 GT dan 15 GT dengan
masing- masing alat tangkap pole and line, rawai, gillnet, purse seine dan
handline. Setelah dilakukan kajian lebih lanjut melalui kuesioner dan dianalisis
dengan menggunakan metode AHP, yang terpilih adalah Kapal 10 GT dengan alat
tangkap pole and line. Dalam kajian basic design hanya difokuskan pada
alternatif yang terpilih yaitu kapal ikan 10 GT dengan alat tangkap pole and line,
dan diharapkan sebagai kajian desain kapal multipurpose dimana kapal yang ada
di Ternate mayoritas kapal skala kecil.
Data lapangan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik kapal-
kapal yang diamati. Disamping itu, desain kapal-kapal tersebut dikaji untuk
mengetahui apakah kapal telah didesain dengan baik dan memenuhi ketentuan
yang berlaku. Proses selanjutnya adalah membuat basic design kapal perikanan.
Pembuatan desain ini mengacu pada pengamatan lapangan, terutama pada
karakteristik budaya daerah.
Apabila kapal-kapal perikanan yang diamati, setelah dikaji ternyata
memenuhi kriteria desain yang baik, maka kapal tersebut akan digambar ulang.
Namun jika kapal tersebut masih belum memenuhi kriteria desain yang baik,
maka dibuat desain yang baru.
Tahap ini ditujukan terutama untuk menganalisis data dari lapangan yang
meliputi kondisi fisik kapal penangkap ikan, dan faktor keamanan serta
keselamatannya, operasi penangkapan dan alat tangkap serta alat bantu
penangkapan, spesifikasi teknis standar untuk masing- masing kapal yang dikaji
serta analisis finansialnya. Dari analisis ini diupayakan untuk menghasilkan
rumusan yang dijadikan sebagai hasil akhir dari studi dalam bentuk rekomendasi.

127
(1) Kapal Perikanan Kelas 10 GT
Kapal kelas 10 GT yang disurvei pada studi ini adalah kapal perikanan yang
menggunakan alat tangkap pole and line. Survei dilaksanakan di lapangan dengan
cara pengukuran kapal, pengamatan langsung terhadap aspek fisik serta
wawancara dengan para nelayan yang mengoperasikan kapal serta pihak galangan
dan perajin kapal yang membangun kapal.

i) Ukuran Pokok Kapal


Dari hasil pengukuran fisik kapal diperoleh data ukuran pokok kapal yang
disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35 Ukuran Pokok Kapal Kelas 10 GT yang disurvei

NO UKURAN POKOK SATUAN (m)

1. Panjang Seluruh Kapal (LOA) 14.15


2. Panjang Deck Kapal (LDL) 13.50
3. Panjang Garis Air (LWL) 11.81
4. Lebar Maksimum (Bmax) 3.43
5. Lebar Dek (BDK) 3.43
6. Lebar Garis Air (BWL) 3.26
7. Tinggi Dek (DDK) 1.45
8. Freeboard (Fb) 0.37
9. Sarat (T) 1.08

ii) Gross Tonnage


Pada saat survei di lapangan, kelas Gross Tonnage kapal dihitung dan
menggunakan beberapa asumsi. Gross Tonnage kapal yang sesungguhnya masih
belum dapat dihitung dengan cermat, apabila koefisien balok (CB) kapal masih
belum diketahui. Koefisien balok kapal yang sesungguhnya bisa dihitung setelah
data pengukuran di lapangan dianalisis. Dari hasil analisis koefisien balok
diperoleh dan digunakan untuk menghitung Gross Tonnage kapal.

128
Berdasarkan KEPMEN No.10 tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan,
pasal 16 ayat (3) huruf (a) dan berdasarkan rumus International Formula for
Tonnage Measurement of Ships 1969, ditetapkan bahwa perhitungan GT untuk
kapal :
(1) Panjang diatas 24 m dihitung berdasarkan rumus pendekatan GT = V. k,
dimana (V) adalah volume kapal dan (k) adalah konstanta yang didapat dari
tabel konstanta untuk m3 volume kapal.
(2) Panjang dibawah 24 m dihitung dengan rumus :
(L x B x D x Cb) : 2,83.
Dimana :
Cb = Koefisien block, untuk :
Pukat Ikan = 0.8
Purse Seine = 0.6 s/d 0.8
Long Line = 0.6
Lainnya = 0.5 - 0.6.

129
iii) Rencana Garis
Berdasarkan hasil pengukuran fisik kapal di lapangan, rencana garis kapal
kelas 10 GT yang disurvei digambar dan disajikan dibawah ini.

Gambar 17 Rencana Garis (Lines Plan) Kapal Multipurpose10 GT

130
iv) Nilai Parameter Hidrostatik
Karakteristik kapal dapat dibaca pada Tabel 36 yang dihitung berdasarkan
rencana garis. Hasil perhitungan ini berdasarkan sarat air 1.08 meter dan 1.45
meter.

Tabel 36 Nilai Parameter Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.08 meter

NO URAIAN UKURAN SATUAN KET.

I. DIMENSION
1. Panjang Seluruh Kapal (LOA ) 14.15 m
2. Panjang Deck Kapal (LDL ) 13.50 m
3. Panjang Garis Air (LWL ) 11.81 m
4. Lebar Maksimum (Bmax) 3.43 m
5. Lebar Garis Air (BWL ) 3.26 m
6. Tinggi Deck (DDK ) 1.45 m
7. Sarat (T) 1.08 m
8. Volume 16.14 m3
9. Displacement 16.54 ton

II. COEFFICIENTS
1. Prismatic 0.595
2. Block 0.390
3. Midship 0.655
4. Waterplane 0.733

III. RATIOS
1. L/B 3.63
2. B/T 3.02

IV. CENTROIDS
1. LCB 8.38 m 53.2% Aft
2. LCF 8.74 m 56.2% Aft
3. VCB 0.71 m

V. AREAS
1. Waterplane 28.19 m2
2. Wetted Surface Area 36.65 m2

131
Tabel 37 Nilai Parameter Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.45 meter

NO URAIAN UKURAN SATUAN KET.

I. DIMENSION
1. Panjang Seluruh Kapal (LOA ) 14.15 m
2. Panjang Deck Kapal (LDL ) 13.50 m
3. Panjang Garis Air (LWL ) 12.88 m
4. Lebar Maksimum (Bmax) 3.43 m
5. Lebar Garis Air (BWL ) 3.39 m
6. Tinggi Deck (DDK ) 1.45 m
7. Sarat (T) 1.45 m
8. Volume 27.86 m3
9. Displacement 28.56 ton

II. COEFFICIENTS
1. Prismatic 0.611
2. Block 0.442
3. Midship 0.721
4. Waterplane 0.762

III. RATIOS
1. L/B 3.80
2. B/T 2.33

IV. CENTROIDS
1. LCB 8.58 m 53.5% Aft
2. LCF 8.58 m 56.6% Aft
3. VCB 0.94 m

V. AREAS
1. Waterplane 33.25 m2
2. Wetted Surface Area 48.05 m2

132
v) Parameter Bentuk
Pada Tabel 38 disajikan parameter bentuk kapal 10 GT dengan alat tangkap
pole and line.

Tabel 38 Parameter bentuk kapal 10 GT yang disurvei

NO PARAMETER NILAI IDEAL NILAI SURVEI


1. L / B (rasio pjg lbr) 3.10 ~ 4.20 3.630
2. B/T (rasio lebar sarat) 2.00 ~ 3.20 3.020
3. CM (coefisien midship) 0.50 ~ 0.80 0.655
4. CP ( Coefisien prismatik) 0.55 ~ 0.65 0.595
5. LCB % (posisi ttk apung) - 6.00 ~ 1.00 - 1.800
6. ½ a (sudut basah) 15.00 ~ 34.00 22.00

vi) Scantling
Untuk menganalisis konstruksi kapal dilakukan pencatatan terhadap bagian-
bagian konstruksi kapal. Pada tabel dibawah ini disajikan scantling kapal 10 GT
dan dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku.

Tabel 39 Scantling Kapal 10 GT yang Disurvei serta Ketentuan Sesuai BKI


UKURAN UKURAN Keterangan
NO BAGIAN KONSTRUKSI
SURVEI BKI
1. Lunas bxd 100 x 120 185 x 275 Kurang Sesuai
2. Linggi Haluan bxd 100 x 100 155 x 230 Kurang Sesuai
3. Linggi Buritan bxd 100 x 100 155 x 245 Kurang Sesuai
4. Gading Lengkung txd 95 x 100 65 x 75 Sesuai
5. Gading Utama txd 120 x 150 65 x 100 Sesuai
6. Wrang txd - 60 x 180 -
7. Galar Balok txd 150 x 45 210 x 60 Kurang Sesuai
8. Galar Balok Kim txd 200 x 50 210 x 55 Kurang Sesuai
9. Kulit Luar t 40 40 Sesuai
10. Balok Geladak bxt 110 x 65 85 x 85 Sesuai
11. Geladak t 40 42 Sesuai
12. Pagar (Railing) dxt 200 x 35 500 x 30 Kurang Sesuai
13. Sekat-Sekat Kedap Air t 40 40 Sesuai
14. Palkah Ikan t 40 45 Sesuai
15. Pondasi Mesin dxt 200 x 250 170 x 210 Sesuai
16. Jarak Gading-Gading a0 400 330 Sesuai
Keterangan : b = lebar balok, d = tinggi balok, t = tebal balok
a0 = jarak gading-gading

133
vii) Perhitungan Gross Tonnage Kapal
Perhitungan Gross Tonnage Kapal untuk kapal dibawah 24 m dihitung dengan
rumus : (L x B x D x Cb) : 2,83. Dimana Cb = Koefisien block dari kapal. Untuk
Cb Pukat Ikan = 0.8, Purse Seine = 0.6 s/d 0.8, Long Line = 0.6, untuk yang lain
0.5 s/d 0.6 ( KEPMEN No. 10 Tahun 2003).

GT = (11,81 X 3,43 X 1,45 X 0,55) : 2,83


= 11,415

Tabel 40 Hasil Survei Ukuran Kapal 10 GT

NO URAIAN UKURAN SATUAN

1. Panjang Seluruh Kapal (LOA) 14.15 m


2. Panjang Deck Kapal (LDL) 13.50 m
3. Panjang Garis Air (LWL) 11.81 m
4. Lebar Maksimum (Bmax) 3.43 m
5. Lebar Garis Air (BWL) 3.26 m
6. Tinggi Deck (DDK) 1.45 m

134
vii) Rancangan Umum Kapal Pole and line 10 GT dan Purse Seine 10 GT

Gambar 18 Desain Kapal Pole and line 10 GT

135
Gambar 19 Desain kapal purse seine 10 GT

136
5.5.2 Aspek Ekonomi Operasional Kapal
Aspek ekonomi pengoperasian kapal akan mengkaji mengenai keterkaitan
pengoperasian kapal penangkapan ikan terhadap perekonomian, khususnya
kelayakan usaha penangkapan secara finansial. Pengoperasian atau usaha
penangkapan ikan akan selalu dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi
perekonomian, baik secara regional maupun nasional bahkan juga internasional.
Oleh karena itu, kajian ekonomi khususnya dari sisi finansial pengoperasian kapal
penangkapan ikan perlu dilakukan untuk melihat kelayakan usaha tersebut.
Ukuran kelayakan suatu usaha biasanya berdasarkan pada dua kriteria yaitu
nilai keuntungan bersih saat ini yang biasanya dikenal dengan istilah Net Present
Value (NPV) dan prosentase penerimaan internal yang dikenal dengan istilah
Internal Rate of Return (IRR). Kedua kriteria dasar ini berangkat dari asumsi
bahwa nilai uang saat ini adalah lebih besar bila dibandingkan dengan nilai uang
pada masa yang akan datang. Untuk dapat menghitung nilai NPV atau IRR akan
dilakukan beberapa perhitungan awal yang meliputi biaya investasi, biaya operasi
dan hasil operasi. Dalam penelitian ini, kriteria yang digunakan adalah IRR.
Selanjutnya, kelayakan usaha ini akan dikaji dengan mengaitkannya pada pagu
kredit bank dan juga pola penangkapan ikan yang dewasa ini dikembangkan
dalam usaha penangkapan ikan.
Usaha penangkapan ikan dengan pola tersebut akan dikaitkan dengan
pembentukan koperasi perikanan/KUD Mina. Diharapkan dari kajian ekonomi
khususnya dari sudut pandang finansial ini akan diperoleh alternatif pengusahaan
yang produktif, layak dan dapat dilaksanakan oleh kelompok nelayan yang
tergabung dalam koperasi perikanan.

137
1) Biaya Investasi Kasko Kapal
Biaya Investasi meliputi biaya pengadaan kapal dan alat tangkapnya
dengan rincian seperti Tabel 41 dibawah ini.

Tabel 41 Biaya Investasi Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line


Umur Ekonomis Penyusutan Nilai Penyusutan
No Jenis Biaya Harga (Rp.)
(Tahun) (%) (Rp.)
1. Kasko Lengkap 37.471.800 10 10 3.747.180
2. Permesinan 46.344.900 10 10 4.634.490
3. Perlengkapan Kapal 9.881.300 10 10 988.130
4. Alat Tangkap 3.000.000 3 33.33 1.000.000
Jumlah : 96.698.000 10.369.800

2) Biaya/Modal Kerja
Biaya atau Modal Kerja yang dibutuhkan adalah modal kerja untuk operasi
penangkapan selama satu tahun, yang rinciannya disajikan pada Tabel 42 dibawah
ini.

Tabel 42 Biaya Modal Kerja Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line

NO Jenis Biaya Per Trip/Hari (Rp.) Per Tahun (Rp.)


1. Umpan 1.800.000 18.000.000
2. Bahan Bakar 2.200.000 22.000.000
3. Oli 180.000 1.800.000
4. Ransum 300.000 3.000.000
5. Air Tawar 8.000 80.000
6. Es Balok 600.000 6.000.000
7. Upah ABK (*) - -
8. Perawatan Kapal - 1.350.000
9. Perawatan Alat Tangkap - 300.000
10. Lain- lain - 200.000
Jumlah : - 52.730.000
(*) : Upah ABK dibayarkan berdasarkan prosentase dari hasil penjualan setelah dikurangi biaya
operasional.

138
3) Hasil Pengamatan Survei Kapal Perikanan 10 GT :

i) Rasio L / B = 3.630.
Rasio L / B kapal kelas 10 GT ini masuk nilai ideal yang ditetapkan. Oleh
karena itu, nilai L / B kapal ini sudah sesuai peraturan BKI.
ii) Rasio B / T = 3.02.
Rasio B / T dari kapal kelas 3 GT ini masuk nilai ideal yang ditetapkan.
Oleh karena itu, nilai L / B kapal ini sudah sesuai peraturan BKI.
iii) Koefisien bidang lintang tengah (C M) = 0.655.
Koefisien bidang lintang tengah kapal masuk nilai ideal yang ditetapkan.
iv) Letak titik tekan (LCB ) berada 0,532%.
LCB di depan midship adalah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
v) Half Angle of Entrance Of Load Water Line (½ a ) = 13° adalah dibawah
nilai ideal yang telah ditetapkan.
vi) Dari hasil perhitungan Gross Tonnage kapal adalah 11,415 yang ternyata
lebih besar dari perkiraan kasar dimana kapal dianggap masuk kelas 10 GT.
vii) Jarak gading- gading kapal survei 500 mm, jauh lebih besar dari yang
ditetapkan oleh BKI yaitu 280 mm. Kapal yang disurvei pada umumnya
tidak memasang wrang, sedangkan peraturan BKI harus dipasang wrang.
viii) Semua parameter bentuk, scantling maupun kapasitas kapal akan di design
baru untuk menjadi basic design yang tetap dan akan diusahakan
mempertahankan bentuk yang spesifik maupun nilai budaya dari daerah
Ternate.

139
5.6 Linear Goal Programming

Linear Goal Programming dalam penelitian ini bertujuan untuk mengalokasikan


jumlah armada dari teknologi penangkapan yang terpilih. Dari analisis yang
dilakukan sebelumnya, teknologi penangkapan yang terpilih adalah : pole and line
dengan ukuran armada 10 - 30 GT, purse seine dengan ukuran armada 10 - 30 GT,
dan bottom handline dengan ukuran armada < 10 GT. Untuk pengolahan data, pole
and line dengan ukuran armada 10 - 30 GT disimbolkan dengan X1, purse seine
dengan ukuran armada 10 - 30 GT disimbolkan dengan X2, dan bottom handline
dengan ukuran armada < 10 GT disimbolkan dengan X3.
Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini antara lain adalah :
1. Mengoptimumkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di Kota Ternate.
Sumberdaya ikan dominan dan unggulan di Kota Ternate yang dioptimumkan
adalah : cakalang, tuna (madidihang), layang, tongkol, dan ikan demersal.
a. Cakalang
Cakalang di tempat penelitian secara dominan ditangkap dengan
menggunakan satu buah alat tangkap yaitu pole and line, dalam hal ini secara
khusus pole and line dengan ukuran armada 10 - 30 GT. Berdasarkan hasil
estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk cakalang di perairan
Maluku Utara sebesar 21284,36 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan
Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 12770,62 ton.
Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah
tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau
sebesar 10216,49 ton.
Persamaan kendala tujuan dari permasalahan diatas adalah :
DB1 - DA1 + 427,64X1 = 10216,49
b. Tuna (madidihang)
Tuna (madidihang) di tempat penelitian secara dominan tertangkap dengan
menggunakan alat tangkap pole and line khususnya dengan armada ukuran
10 – 30 GT. Berdasarkan hasil estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY
untuk Tuna di perairan Maluku Utara sebesar 7430,33 ton, sedangkan estimasi
MSY untuk perairan Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu
sebesar 4458,20 ton. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini,

140
adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY tuna
di Ternate atau sebesar 3566,56 ton.
Persamaan kendala tujuan dari permasalahan diatas adalah :
DB2 – DA2 + 96,79X1 = 3566,56
c. Layang
Layang di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan purse seine, dalam
hal ini dipilih dengan menggunakan armada ukuran 10 – 30 GT. Berdasarkan
hasil estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk layang di perairan
Maluku Utara sebesar 13041,79 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan
Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 7825,07 ton.
Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah
tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau
sebesar 6260,06 ton.
Persamaan kendala tujuannya adalah sebagai berikut :
DB3 – DA3 + 1449,07X2 = 6260,06
d. Tongkol
Tongkol di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan alat tangkap purse
seine, khususnya dengan armada ukuran 10 – 30 GT. Berdasarkan hasil
estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk tongkol di perairan
Maluku Utara sebesar 12371,55 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan
Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 7422,93 ton.
Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah
tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau
sebesar 5938,34 ton.
Persamaan kendala tujuan yang diperlukan adalah :
DB4 – DA4 + 1045,78X2 = 5938,34
e. Demersal
Ikan demersal di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan bottom
handline, khususnya dengan armada < 10 GT. Berdasarkan hasil estimasi
perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk ikan demersal di perairan Maluku
Utara sebesar 101872,08 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan Ternate
adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 61123,25 ton. Nilai
potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap

141
yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY ikan demersal di Ternate atau
sebesar 48898,60 ton.
Persamaan kendala tujuan yang diperlukan adalah :
DB5 – DA5 + 140,76X3 = 48898,60

2. Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja di Ternate.


Untuk mengalokasikan tenaga kerja (nelayan) di Ternate, maka diperlukan data
jumlah nelayan. Jumlah nelaya n di Kota Ternate adalah sebanyak 5174 orang.
Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa alat tangkap
pole and line dengan ukuran armada 10 – 30 GT rata-rata membutuhkan 24
tenaga kerja/unit, alat tangkap purse seine dengan ukuran armada 10 - 30 GT rata-
rata memerlukan 20 tenaga kerja/unit, dan alat tangkap bottom handline dengan
ukuran armada < 10 GT rata-rata membutuhkan 4 tenaga kerja/unit. Dengan
demikian, persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
DB6 + 24X1 + 20X2 + 4X3 = 5174

3. Meminimumkan penggunaan BBM di Kota Ternate.


Untuk mengetahui pengalokasian BBM di Kota Ternate maka perlu diketahui
ketersediaan BBM disana, serta penggunaan BBM pada masing- masing alat
tangkap. BBM dalam hal ini dibagi dalam dua kategori, yakni solar dan minyak
tanah.

a. Solar
Berdasarkan data dari Kantor Cabang Pertamina Ternate, ketersediaan solar di
Kota Ternate adalah sebesar 134000 kiloliter. Persamaan kendala tujuan dari
permasalahan ini adalah sebagai berikut :
64,20X1 + 13,52X2 + 10,80X3 - DA7 = 134.000

b. Minyak tanah
Berdasarkan data dari Kantor Cabang Pertamina Ternate, ketersediaan minyak
tanah di Kota Ternate adalah sebesar 612.000 kiloliter. Persamaan kendala
tujuan dari permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
3,71X1 + 31,55X2 + 5,40X3 - DA8 = 612.000

142
4. Memaksimumkan nilai produksi usaha penangkapan ikan di Kota Ternate.
Berdasarkan data yang tersedia maka digunakan data nilai produksi yang telah
diperoleh dari masing- masing teknologi penangkapan terpilih selama ini untuk
menggambarkan hasil usaha yang dicapai. Berdasarkan data statistik perikanan
dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, nilai produksi penangkapan pada
tahun 2004 adalah sebesar Rp 42.203.700.000.
Persamaan kendala tujuan dari permasalahan ini adalah :
DB9+2.855.300.000X1+1.871.400.088X2+146.700.000X3 = 42.203.700.000

Hasil yang diperoleh dari pengolahan persamaan-persamaan diatas disajikan dalam


Gambar 20.

Gambar 20 Hasil Analisis Data Linear Goal Programming


Dari Gambar 20 diatas diketahui bahwa hampir semua tujuan yang diinginkan
tercapai. Hal ini ditunjukkan dari nilai variabel deviasional (DA atau DB) yang sama
dengan nol. Kecuali untuk pemanfaatan sumberdaya ikan tuna yang masih berada di
bawah nilai JTB nya sebesar 1254.21 ton, demikian juga dengan pemanfaatan
sumberdaya ikan tongkol yang masih berada di bawah nilai JTB nya sebesar 1420.51
ton. Untuk tujuan memaksimumkan penyerapan tenaga kerja juga masih berada di
bawah target pencapaian sebesar 3125 orang.

143
Pemanfaatan sumberdaya ikan tuna dan tongkol yang masih berada di bawah
JTB menunjukkan masih kurangnya armada penangkapan di daerah penelitian
khususnya pole and line dan purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT. Dengan
penambahan armada pole and line dan purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT,
sekaligus akan menyerap tenaga kerja, sehingga target pencapaian tena ga kerja dapat
terpenuhi.
Adapun pengalokasian dari ke-tiga teknologi penangkapan yang terpilih adalah :
pole and line dengan ukuran armada 10 – 30 GT sebanyak 24 unit, purse seine dengan
ukuran armada 10 – 30 GT sebanyak 4 unit, dan handline dengan ukuran armada < 10
GT sebanyak 347 unit. Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, maka alokasi optimum
armada pole and line dengan ukuran 10 – 30 GT sebanyak 24 unit dan alokasi
optimum armada purse seine ukuran 10 - 30G T sebanyak 4 unit dapat diterima, hal
ini disebabkan karena armada penangkapan ikan dengan ukuran 10 - 30 GT yang ada
baru sekitar 19 unit. Untuk alokasi armada bottom handline sebanyak 347 unit dapat
diterima pula, hal ini terkait dengan efisiensi penggunaan BBM.
Sesuai hasil analisis Code of Conduct for Responsible Fisheries yang telah
dilakukan dalam penelitian ini terlihat bahwa hasil analisis Linear Goal Programing
menunjukkan bahwa terbukti kebijakan pengembangan armada yang diinginkan
sesuai dengan Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab dengan armada ya ng
diprioritaskan yaitu pole and line dan bottom handline masing- masing dengan alokasi
sebanyak 24 unit dan 348 unit.
Martosubroto (2005) menyatakan bahwa dalam pengelolaan perikanan yang
bertanggungjawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan
dengan suatu upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat eksploitasi dengan
sumberdaya yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa yang berkepentingan disini
bukanlah hanya pemerintah tetapi juga pengguna penangkapan (stakeholders), karena
kegagalan pengelolaan pada suatu perikanan akan merugikan pengusaha itu sendiri.
Oleh karena itu dalam penelitian ini armada kapal purse seine untuk sementara
dilakukan pengendalian dengan alokasi sebanyak 4 unit. Pengendalian armada kapal
purse seine sesuai dengan analisis CCRF pada sub bab 5.4 tulisan ini dimana kapal
purse seine tidak ramah lingkungan yang hanya mempunyai skor 9 atau paling rendah
dibandingkan dengan kapal pole and line dan kapal bottom hand line, disamping juga
perairan laut Ternate - Maluku Utara pengelolaan sumberdaya perikanannya masih
mengacu pada Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab dan masih sangat ramah

144
lingkungan. Pengendalian sementara armada kapal purse seine di Ternate
dimaksudkan juga untuk menghindari adanya konflik nelayan antar daerah seperti
terjadinya pembakaran kapal purse seine Dharma Samudera milik nelayan Tegal -
Jawa Tengah pada hari Minggu 22 Januari 2006 oleh sejumlah orang tak dikenal di
perairan Pulau Kerayaan, Kalimantan Selatan. Seperti dikutip dalam harian Kompas,
23 dan 24 Januari 2006 di halaman 24 bahwa peristiwa pembakaran kapal-kapal
purse seine nelayan Tegal - Jawa Tengah ini telah berlangsung beberapa kali di
Kalimantan. Setelah peristiwa pembakaran ini dilanjutkan pula dengan demonstrasi
sekitar 1000 nelayan dari kerukunan nelayan Kota Baru, Kalimantan Selatan ke
DPRD Kota Baru pada hari Senin tanggal 23 Januari 2006, yang pada intinya mereka
menolak masuknya kapal penangkap ikan purse seiner ke perairan Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur. Selain karena penghasilannya menurun sejak
kehadiran kapal purse seiner yang berdaya tangkap besar, mereka juga khawatir akan
terus terjadi konflik antar nelayan. Mereka minta pemerintah bersikap tegas.
Diharapkan konflik semacam ini tidak akan pernah terjadi di perairan Ternate
khususnya dan Maluku Utara pada umumnya.

145
6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari 6 analisis yang digunakan dalam penelitian ini, dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
(1) Strategi yang menjadi prioritas adalah mengembangkan usaha perikanan
tangkap dengan penambahan armada kapal ikan dengan pola operasi yang
mengacu pada Ketentuan Perikanan yang Bertanggung jawab.
(2) Kebijakan yang harus diambil untuk membangun sektor Kelautan dan
Perikanan di Ternate, Maluku Utara diprioritaskan pada pembentukan pasar,
pembangunan fasilitas pengolahan dan pembangunan prasarana pelabuhan.
(3) Armada kapal perikanan yang terpilih untuk meningkatkan produktivitas
usaha penangkapan ikan yaitu armada pole and line berukuran 10-30 GT
dan berukuran 5-10 GT, diikuti dengan jenis armada purse seine berukuran
10-30 GT.
(4) Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa armada pole and line, purse
seine dengan ukuran 10 - 30 GT layak dan efisien untuk terus
dikembangkan. Namun demikian akibat kenaikan harga BBM pada tanggal
1 Oktober 2005 armada bottom handline = 10 GT dapat menjadi prioritas
pertama untuk dikembangkan, dikarenakan tingkat kelayakan usahanya lebih
menjanjikan dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat, kemudian
diikuti dengan armada pole and line 10 – 30 GT dan selanjutnya armada
purse seine 10 – 30 GT.
(5) Hasil analisis CCRF dengan menggunakan kriteria seperti selektivitas alat,
discard dan ghost fishing didapatkan bahwa armada pole and line
merupakan yang ramah lingkungan diikuti dengan armada bottom handline,
sedangkan armada purse seine tidak ramah lingkungan.
(6) Pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan melalui
pengalokasian jumlah optimum armada pole and line sesuai alokasi
sebanyak 24 unit dan purse seine sebanyak 4 unit dengan ukuran 10 - 30
GT, sedangkan armada bottom handline = 10 GT jumlah optimum sesuai
alokasi sebanyak 347 unit.
(7) Semua parameter bentuk, scantling maupun kapasitas kapal akan di design
baru untuk menjadi basic design yang tetap dan akan diusahakan
mempertahankan bentuk yang spesifik dengan nilai budaya dari daerah
Ternate.
(8) Mengacu pada 6 analisis yang telah dilakukan dalam penelitian serta
berdasarkan prinsip-prinsip pada ketentuan perikanan yang bertanggung
jawab (CCRF), maka kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di
Ternate, Propinsi Maluku Utara adalah : perlu dikembangkannya armada
penangkapan ikan pole and line antara 10 – 30 GT, bottom handline = 10
GT dan pengendalian armada purse seine.

6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan setelah dilakukan penelitian ini antara lain
adalah :
(1) Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara,
bersama Perbankan setempat dibantu oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan diharapkan mengembangkan armada kapal perikanannya di
perairan Ternate Maluku Utara dengan jenis armada yaitu Pole and Line
diatas 10 – 30 GT dan bottom handline = 10 GT yang pengoperasiannya
sesuai kaidah ramah lingkungan atau ketentuan perikanan yang bertanggung
jawab (CCRF).

(2) Dinas Perikana n dan Kelautan Kota Ternate diharapkan melakukan


pengendalian armada purse seine, karena selain tidak ramah lingkungan
dimaksudkan juga untuk menghindari adanya konflik nelayan antar daerah,
seperti yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa daerah di tanah air.

147
DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kota Ternate. 2004. Monografi, Kota Ternate 2003. Ternate.


Bappeda Provinsi Maluku Utara. 2005. Draft Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2005-2007 Provinsi Maluku
Utara.Ternate.
Biro Klasifikasi Indonesia. 1996. Buku Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi
Kapal Laut- Peraturan Kapal Kayu. Jakarta.
Charles, A. T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science Ltd.
Oxford. 370 p.
Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor
Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan
Indonesia. Jakarta. 157 hal.
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor 233 hal
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2004. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Maluku Utara Tahun 2004. Ternate.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2005. Statistik Perikanan
Tangkap Provinsi Maluku Utara tahun 2005. Ternate.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2004. Laporan Tahunan
2003. Ternate.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate. 2004. Laporan Tahunan 2003.
Ternate.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Pencapaian Pembangunan
Perikanan Tangkap Tahun 2001 – 2003. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005. Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia Tahun 1999 - 2004. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001. Kebijakan dan Program
Pembangunan Perikanan Tangkap. Jakarta.
Direktorat jenderal Perikanan Tangkap. 2002. Prosiding Forum Koordinasi
Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS), Jambi 2002. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP
Dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2003. Profil
Peluang Investasi dan Usaha Sektor Perikanan dan Kelautan. Jakarta.
Direktorat Produksi. Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Petunjuk Teknis
Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Jakarta.
Direktorat Sarana Perikanan Tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
2005. Kajian Teknologi Penangkapan Tepat Guna. Draft Laporan Akhir.
Jakarta.
Direktorat Sumberdaya Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005.
Pedoman Umum Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab (Code of
Conduct for Responsible Fisheries). 11 hal.
Dunn, W.N. 1998. Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Djamhur, M. 2003. Kajian Tingkat Pendapatan Masyarakat Berbasis Optimalisasi
Perikanan Pelagis Kecil di Propinsi Maluku Utara. Tesis. 85 hal.
FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome.
FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. 1996. Operasi Penangkapan
Ikan (Fishing Operation). Direktorat Jenderal Perikanan Departemen
Pertanian (Terjemahan 1999). Jakarta.
Fauzi. A. 2005. Kebijakan Perikanan dan kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 185 hal.
Haluan, J., Nurani, T.W., Wisudo, S.H.,Wiyono, E.S., Mustaruddin. Manajemen
Operasi. Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, 2004. 231 hal.
Hokkanen, 1997. Decision Making Under Uncertainty : Model and Choices,
Englewood Cliffs. New Jersey, Prentice-Hall, Icp. 1997.
Kadariah, Karlina, Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. LPEM.
FEUI. 181 hal.
Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan. 1997. Potensi Sumberdaya
Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Perairan
Indonesia Tahun 1997. Jakarta.

149
Martosubroto, P. 2005. Menuju Pengelolaan Perikanan Yang Bertanggungjawab.
Makalah pada Forum Pengkajian Stock Ikan Laut 2005. Jakarta.
Monintja, D. 2000. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah
Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 156 hal.
Monintja, D, Yusfiandayani. 2004. Menelusuri Masalah Perikanan Tangkap.
Makalah Lokakarya Gerbang Mina Bahari. Jakarta.
Mulyono, S. 2002. Riset Operasi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 347
hal
Nomura, M, dan Yamazaki, T. 1977. Fishing Techniques. JICA. Tokyo.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate, Ditjen Perikanan tangkap. 2005. Statistik
Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate 2004. Ternate.
Pujawan. 1995. Analisa Keputusan. Ganeca Exact Bandung.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2001. Produksi Ikan Dari Hasil Penangkapan Di
Laut. Jakarta.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
kelautan Perikanan, 2006. Prosiding Pengkajian Stok Ikan 2005. Jakarta.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
kelautan Perikanan, 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.
Jakarta.
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi
konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Saaty, T.L. 1991. Pengambil Keputusan. PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Saaty, T.L. 1980. The Analytic HierarchY Process, Mc. Graw-Hill Book Co.
Salusu, J. 1988. Pengambilan Keputusan Stratejik. Untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Non Profit. Penerbit PT. Grasindo. Jakarta.
Satria A, Dkk. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Diterbitkan atas kerjasama
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Partnership for Governace
Reform in Indonesia, dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta..

150
Sedana, G, Dkk. 2005. Riset Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar, Kecil,
dan Demersal di Laut Halmahera dan Laut Sulawesi. PRPT-BRKP-DKP
Jakarta. 53 hal.
Siswanto. 1993. Goal Programming dengan menggunakan LINDO. PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta. 203 hal.
Soeharto, I.. 1995. Manajemen Proyek. Dari Konseptual Sampai Operasional.
Erlangga Jakarta.
Tim Litbang Kompas, 2003. Profil Daerah Kabupaten/Kota. PT. Kompas Media
Nusantara. 682 hal.
Vincke. 1981. Judgment in Managerial Decision Making, John Wiley & Sons,
1981.
www.dkp.go.id. [25 April 2005].

151
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai