Oleh :
YULISTYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN
Yulistyo
C 561030154
ABSTRAK
Ternate adalah salah satu kota di Maluku Utara yang mempunyai potensi
kelimpahan sumberdaya perikanan tangkap yang tinggi. Berdasarkan sumber data
(DKP dan LIPI 2001), sumberdaya perikanan di Ternate, Maluku Utara masih
under exploited dibandingkan Laut Jawa yang menunjukkan gejala tangkap lebih
(over fishing). Situasi ini membuka peluang untuk mengembangkan perikanan
tangkap di Ternate dengan berpedoman pada CCRF.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menyusun suatu konsep pengembangan
armada kapal perikanan yang terstruktur, baik untuk nelayan tradisional maupun
perusahaan besar sekalipun dan (2) menyusun kebijakan yang nantinya dapat
dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi penga mbil keputusan dalam kaitannya
dengan armada penangkapan yang akan beroperasi di perairan Maluku Utara,
khususnya di Ternate.
Metode analisis seperti AHP, SWOT, Analisis Finansial dan Linear Goal
Programming digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kapal pole and line dengan ukuran 10 - 30 GT menjadi prioritas pertama
untuk dikembangkan dengan alokasi sebanyak 24 unit, diikuti dengan kapal purse
seine dengan ukuran 10 - 30 GT dengan alokasi sebesar 4 unit, dan kapal handline
lebih kecil dari 10 GT dengan alokasi sebanyak 347 unit.
Untuk mempercepat pembangunan perikanan tangkap di Ternate, beberapa
alternatif dijadikan pertimbangan untuk pelaksanaannya yaitu (1) membangun
pasar untuk memasarkan hasil hasil perikanan, (2) membangun fasilitas pasca
panen dan processing dan (3) membangun/mengembangkan Pelabuhan Perikanan
Nusantara Ternate.
Kata Kunci : Kapal Perikanan, Pengembangan, CCRF, Ternate, Pole and Line
ABSTRACT
Ternate, one of the areas in the northern part of Molucas has a plenty of
fisheries resources especially in capture fisheries. Based on the available data
(DKP dan LIPI, 2001), this resources still under exploited comparing to the one in
Java Sea which has over exploited (over fishing). This situation gives an
opportunity for developing the capture fisheries in Ternate by taken into account
the Code of Conduct for Responsible Fisheries.
The objectives of the research are: (1) to construct a concept for fishing fleet
development that applicable both for small and large scale of fisheries business,
and (2) to developed design a policy related to appropriate fishing fleet that
consider to be operated in Ternate.
The analysis methods such as AHP, SWOT, Financial Analysis, and Linear
Goal Programming are used in this research as tools to fulfill the objectives. The
result show that pole and line fleet between 10-30 GT lies on the first priority to
be developed with 24 units allocations then followed by purse seine between
10-30 GT with 4 units allocations and handline under 10 GT with 347 units
allocations.
In order to accelerate the development of fisheries sector in Ternate, some
alternative considerations should be taken into account i.e. first to build a market
for fisheries business, second to develop post harvest and processing facilities and
the third to develop a fishing port in Ternate.
Oleh :
YULISTYO
C 561030154
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si
Anggota Anggota
Diketahui,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini yang dibuat sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini
merupakan hasil penelitian penulis dengan judul “Analisis Kebijakan
Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang
Bertanggung Jawab di Ternate, Maluku Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang tulus kepada :
1. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dan Dr. Ir.
Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si sebagai komisi pembimbing; yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya
disertasi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc selaku Dekan Sekolah Pascasarjana,
beserta staf atas penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan
3. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Teknologi
Kelautan, Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai Ketua Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, beserta staf atas segala perhatian dan
penyediaan fasilitas pendidikan.
4. Departemen Kelautan dan Perikanan, selaku instansi tempat penulis bekerja
yang telah memberikan izin dan bantuan untuk mengikuti pendidikan pada
Sekolah Pascasarjana.
5. Ketua Bappeda Kota Ternate, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Maluku Utara, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, Kepala
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate dan segenap jajarannya atas izin yang
diberikan serta bantuan fasilitas selama penelitian berlangsung.
6. Ayahanda, Istri dan Anak-anak tercinta serta seluruh keluarga yang tidak
pernah berhenti mencurahkan kasih sayang serta dukungannya kepada penulis
dalam suka dan duka.
i
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu atas segala perhatian
dan bantuannya sehingga disertasi ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih terdapat berbagai
kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan agar lebih memberikan bobot terhadap kesempurnaan tulisan ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi
terhadap pengembangan armada perikanan tangkap di Indonesia.
Yulistyo
ii
DAFTAR ISI
iii
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 58
4.1 Profil........................................................................................................ 58
4.2 Keragaan Perikanan Tangkap.................................................................. 60
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 70
5.1 Analisis SWOT ...................................................................................... 70
5.2 Analisis Kebijakan ................................................................................ 82
5.3 Analisis Finansial.................................................................................... 115
5.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries ........................................... 122
5.5 Keragaan Desain Kapal Perikanan ......................................................... 127
5.6 Linear Goal Programming ..................................................................... 140
6 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 146
6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 146
6.2 Saran ...................................................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 148
LAMPIRAN ........................................................................................................... 152
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
v
22. Hasil Penilaian Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate
untuk Tingkat 4 (Alternatif) ................................................................................. 105
23. Perkembangan Produksi Perikanan dirinci Menurut Kecamatan pada Tahun
2002-2004.............................................................................................................. 107
24. Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate
Tahun 2002-2004 .................................................................................................. 108
25. Skor untuk Kriteria dan Permasalahan dalam Kebijakan Pengembangan
Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate ........................................................ 111
26. Skor untuk Alternatif dalam Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan
Ikan di Kota Ternate.............................................................................................. 114
27. Analisis Net Present Value (NPV) Usaha Perikanan Berdasarkan Jenis Alat
Tangkap ................................................................................................................. 115
28. Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Usaha Perikanan Berdasarkan
Jenis Alat Tangkap ................................................................................................ 116
29. Analisis Internal Rate of Return (IRR) Usaha Perikanan Berdasarkan Jenis Alat
Tangkap ................................................................................................................. 117
30. Nilai Scoring Berdasarkan NPV, B/C, IRR .......................................................... 117
31. Analisis Finansial Berdasarkan Klasifikasi Ukuran Kapal .................................. 118
32. Kenaikan harga ikan akibat kenaikan BBM ........................................................ 120
33. Analisis Finansial dengan Harga BBM per 1 Nopember 2005 dan dengan
Harga Ikan Naik Rata-rata 10% ........................................................................... 120
34. Hasil skoring alat tangkap yang memenuhi Code of Conduct for Responsible
Fisheries ................................................................................................................ 123
35. Ukuran Pokok Kapal Kelas 10 GT yang Disurvei................................................ 128
36. Perhitungan Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.08 Meter........................ 131
37. Perhitungan Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.45 Meter........................ 132
38. Parameter Bentuk Kapal 10 GT yang Disurvei..................................................... 133
39. Scantling Kapal 10 GT yang Disurvei serta Ketentuan BKI ................................ 133
40. Hasil Surve i Ukuran Kapal 10 GT ........................................................................ 134
41. Biaya Investasi Kapal Uk uran 10 GT dengan Pole and Line ............................... 138
42. Biaya Modal Kerja Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line .......................... 138
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
viii
8 Kapal Purse Seine (Pajeko)................................................................................. 160
9 Kapal Bottom Handline = 10 GT ........................................................................ 161
10 Kapal Gillnet = 10 GT......................................................................................... 162
11 Ikan Hasil Tangkapan.......................................................................................... 163
ix
1 PENDAHULUAN
2
perairan Indonesia, sehingga telah menyebabkan terjadinya over fishing seperti di
laut Jawa dan Selat Malaka. Namun demikian di beberapa WPP lainnya masih
terdapat peluang usaha penangkapan yang masih dapat dikembangkan seperti di
WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Bila perkembangan pemanfaatan
sumberdaya ikan tidak terkendali hingga tingkat pemanfaatannya melebihi daya
dukung sumberdayanya, maka kelestarian sumberdaya ikan akan terancam, dan
sebagai akibatnya kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan juga akan
terancam.
Agar kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dan kelangsungan
pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terjamin, maka pengelolaan sumberdaya
ikannya harus dilakukan secara benar. Pengelolaan sumberdaya ikan secara benar
adalah sesuai dengan Undang-Undang Perikanan No 31 tahun 2004 tentang
Perikanan dan Kode Etik Perikanan yang bertanggung Jawab (Code of Conduct
for Responsible Fisheries/CCRF ). Dengan menerapkan pengelolaan sumberdaya
ikan secara benar diharapkan dapat mencegah terjadinya penangkapan yang
berlebihan atau dapat memulihkan status sumberdaya ikan yang telah mengalami
degradasi (Dahuri, 2002).
WPP di wilayah Ternate menurut penelitian BRKP masih bisa dilakukan
eksploitasi. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan
oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP DKP pada tahun 2001, untuk Wilayah
Pengelolaan Perikanan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing
seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72
%) serta Laut Banda (102,74 %). Sedangkan tingkat pemanfaatan di wilayah
pengelolaan lainnya adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku,
Teluk Tomini dan Seram 41,83 % (PRPT-BRKP, 2001).
Peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan untuk Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDl pelagis
besar, pelagis kecil dan demersal. Menurut Peta potensi ikan di Ternate masih bisa
dieksploitasi untuk ikan Cakalang dengan potensi 36.000 ton baru di produksi
18.000 ton dan Ikan Albakora dengan potensi 34.000 ton baru diproduksi 15.000
ton (www.dkp.go.id).
3
Sumber : BRKP – DKP (2001).
Sumberdaya ikan yang cukup melimpah tidak mempunyai arti dari sisi
ekonomi apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan sis tematis untuk
mendayagunakannya sehingga mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan.
Salah satu sarana yang sangat penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya
ikan di laut adalah armada penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap
ikan. Selama ini pengembangan armada perikanan harus diakui belum ditangani
secara memadai karena adanya berbagai masalah, terutama yang terkait dengan
kewenangan dalam pembinaannya yang masih menyebar di berbagai institusi.
Untuk itu perlu adanya kesamaan persepsi dan langkah-langkah dari seluruh pihak
sehingga armada perikanan Indonesia dapat berkembang sebagaimana yang
diharapkan.
Armada penangkapan ikan yang di kota Ternate masih perlu dikembangkan
mengingat bahwa secara fisik-geografis sebagian besar wilayah KTI termasuk
Ternate adalah laut yang mengandung kekayaan sumberdaya hayati yang sangat
besar baik dari jumlah maupun diversitas, yang hingga saat ini pemanfaatannya
belum maksimal.
4
Selanjutnya armada perikanan di Ternate yang didominasi armada skala
kecil telah banyak menimbulkan berbagai persoalan. Data tahun 2004
menunjukkan jumlah armada penangkapan ikan yang ada di kota Ternate
sebanyak 1125 buah kapal yang didominasi perahu tanpa motor sebanyak 762
buah atau 67,73% , kemudian motor tempel sebanyak 344 buah atau 30,57% dan
kapal motor sebanyak 19 buah atau hanya 1,68% dari total keseluruhan jumlah
kapal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate 2005). Dari komposisi yang
ada menunjukkan keterbatasan jangkauan operasi penangkapan sehingga
menyebabkan adanya penumpukkan operasi penangkapan di daerah pantai, pada
akhirnya diyakini akan menimbulkan gejala terjadinya over fishing seperti yang
terjadi di pantai Utara Jawa.
Terbatasnya armada perikanan berukuran besar yang mampu beroperasi di
perairan lepas pantai dan bahkan ZEEI, telah dimanfaatkan oleh kapal asing untuk
menangkap ikan di perairan tersebut dengan berbagai modus operandi. Oleh
karenanya sering terjadi pencurian ikan oleh kapal asing yang menyebabkan
kerugian negara yang tidak kecil, selain me ngganggu kedaulatan negara. Disisi
lain, upaya pengawasan dan patroli yang semakin ditingkatkan belum dapat
mengatasi permasalahan secara keseluruhan karena keterbatasan kemampuan
yang ada, baik di jajaran TNI Angkatan Laut maupun instansi lain yang
berwenang.
5
alat tangkap lebih baik apabila dibandingkan produksi dalam negeri. Kapal yang
diproduksi oleh galangan-galangan kapal di dalam negeri harganya lebih tinggi
dan kualitasnya masih rendah. Demikian pula dengan alat bantu penangkapan
seperti fish finder, GPS, radio untuk komunikasi harganya masih tinggi, sehingga
setiap kapal penangkapan ikan masih sulit menjangkau untuk memiliki alat-alat
bantu penangkapan tersebut.
Permasalahan yang dihadapi dibidang tenaga kerja adalah jumlah banyak
namun keterampilan dan ketahanan melautnya rendah. Meskipun pada
kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara
Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya
secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu
masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial
untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya
insentif di sektor ini.
Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor- faktor
produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain
itu, krisis moneter juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi
nelayan penangkap ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan
demikian telah menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya. Akibat
melonjaknya dolar, harga mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan
barang impor, membumbung tinggi. Harga jaring udang berukuran 1,5 inchi
meningkat dari Rp 27.500 per buah menjadi Rp 75.000-80.000. Mesin Yanmar
10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta.
6
penunjangnya yang meliputi: a) Prasarana dan sarana, b) Finansial/keuangan, c)
Sumberdaya manusia dan IPTEK, dan d) Hukum dan kelembagaan. Kebijakan
pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aqubisnis perikanan dinilai secara
umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan
tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10%
untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak
terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan tangkap
dan sulitnya melakukan investasi.
Dari sisi peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, jika
ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif
memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya.
Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan
instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan
pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa
implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di
Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih
terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun
(cyanida), dan juga aktivitas pena ngkapan ikan secara ilegal, penambangan
karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang
bertanggung jawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over
lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari
satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal
hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai
maupun danau saling terkait satu dengan lainnya.
7
(4) Asuransi untuk kegiatan dalam bidang penagkapan ikan masih belum
terpecahkan; serta (5) Pendapatan nelayan masih rendah.
Berkaitan dengan gejala overfishing di beberapa kawasan, jenis stok
sumberdaya perikanan yang telah mengalami overfishing adalah udang (hampir
mengalami overfishing di seluruh perairan Indonesia, kecuali L. Seram sampai
Teluk Tomini, L. Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi
tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan
Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan- nelayan kita masih sangat terbatas
sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI.
Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap adalah tentang
pencurian ikan oleh nelayan dan kapal asing. Sebenarnya kalau ditelusuri lebih
jauh ternyata terjadinya surplus hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas
dari peran berbagai pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa
mekanisme sebagai berikut: (1) Pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada
mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing tersebut
diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan eks-charter
yang izinnya telah habis, (2) Kapal ikan eks-charter atau kapal yang baru
dimasukkan dari luar negeri dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri,
(3) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai
ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak
melakukan pembayaran, dan (4) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal
melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurah-
murahnya. Hal tersebut ternyata juga telah menyebabkan kerugian negara sebesar
US$ 1,362 milyar per tahun.
Kondisi di atas antara lain disebabkan masih belum optimalnya
pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang antara lain
disebabkan (1) Kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut yang
menyebabkan intensitas dan efektivitas monitoring serta pengawasan menjadi
berkurang; (2) Pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan
ditangani oleh berbagai instansi, sehingga memerlukan koordinasi; (3) Belum
diberdayakannya Petugas Pengawas Sumberdaya Ikan (WASDI) dan Pengawas
Kapal Ikan (WASKI) secara optimal.
8
Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit
mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam
pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun
masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan di
beberapa daerah sehubungan dengan perebutan fishing ground, dispute antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota, Pemerintah
Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun antar Pemerintah
Kabupaten/Kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan
pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami
hambatan.
Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia
tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan
masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan,
sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat
akurasi dan validasinya juga masih diragukan.
Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan
nelayan. Hal ini terlihat dari kond isi wilayah pesisir yang identik dengan
kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang
terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.
Dalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan
karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan
tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga
kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain
dalam hal pengetahuan/ keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah
terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan
habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau
membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga
disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat
maupun di laut.
9
4) Aspek prasarana
Permasalahan yang muncul dari prasarana kegiatan penangkapan ikan
adalah: (1) Banyak pelabuhan perikanan tidak berfungsi optimal, disebabkan
karena tidak adanya suplai BBM, es, Air tawar, pelelangan, dan suasana
keamanan yang tidak kondusif; (2) Sanitasi/hygiene pelabuhan rendah;
(3) Pelabuhan ekpor terbatas. Prasarana Perikanan yang ada di Propinsi Maluku
Utara terdiri dari 1(satu) buah Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate di Kota
Ternate, 2 (dua) buah Pelabuhan Perikanan Pantai yaitu di Tobelo Halmahera
Utara dan Bacan Halmahera Selatan.
5) Aspek pengolahan
Permasalahan yang muncul dari pengolahan hasil perikanan adalah:
(1) Kelangkaan bahan baku berupa ikan, bahan saus media dan tin plate; dan
(2) Sumber air yang digunakan untuk kegiatan pengolahan.
Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan
pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi
mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan
lainnya) masih lemah. Sebagai contoh, Thailand yang volume produksi ikan
tunanya di bawah Indonesia, ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya
jauh melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat inovatif dan
kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan ikan
tuna, yang antara lain meliputi: (1) Sashimi, sushi (fresh); (2) Frozen; (3) Loin;
(4) Fish Cake; (5) Surimi; (6) Canning; (7) Fish Oil; (8) Salted Fish; (9) Fish
Meal; (10) Fish Ball; (11) Tuna Sausage; (12) Tuna Ham; dan (13) Fish
Crackers.
6) Aspek pemasaran
Permasalahan yang muncul dari pemasaran hasil perikanan adalah: (1)
Market intelligence rendah; (2) Harga tidak kondusif; (3) Pangsa pasar; (4)
Pasar domestik masih lemah; (5) Transportasi belum menunjang.
Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun
ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer
market ). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang
10
menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama
yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah. Pertama,
karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum
memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk
mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari
produsen ke konsumen secara tepat waktu.
11
1.3 Tujuan Penelitian
(1) Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyusun kebijakan
pengembangan armada penangkapan ikan di Ternate, Maluku Utara.
12
1.5 Manfaat Penelitian
(1) Manfaat bagi pengambil kebijakan (pemerintah)
Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan pemerintah dalam hal
menetapkan kebijakan dan perencanaan pembangunan perikanan tangkap di
tingkat Pusat (Departemen Kelautan & Perikanan, Depnakertrans, Departemen
Dalam Negeri, Kementerian Negara Lingkungan Hidup) dan di tingkat daerah
(BAPPEDA, Dinas Kelautan & Perikanan Propinsi dan Dinas Perikanan
Kabupaten/Kota).
(2) Manfaat bagi masyarakat perikanan setempat
Sebagai bahan pemikiran dan informasi bagi masyarakat perikanan setempat
terutama nelayan untuk dapat mengaplikasikan armada perikanan tangkap yang
kompetitif, produktif dan berkelanjutan.
13
1.6 Kerangka Pemikiran
PERMASALAHAN :
- Pengadaan sarana produksi. - Pemasaran
- Pembinaan/layanan pendukung - Ketimpangan
- proses produksi Pemanfaatan SDI
- Prasarana/Pelabuhan Perikanan
- Pengolahan
Tidak/No
Ya/Yes
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN
ARMADA
14
2 TINJAUAN PUSTAKA
16
Berkaitan dengan kebijakan tersebut dan sesuai dengan potensi dan peluang
yang dimiliki Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal
Perikanan telah menetapkan beberapa misi pembangunan perikanan tangkap, yaitu
: (1) mengendalikan pemanfaatan sumberdaya ikan; (2) meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan nelayan; (3) meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil
perikanan; (4) menyediakan bahan pangan sumber protein hewani dan bahan baku
industri serta ekspor; (5) menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan
usaha perikanan tangkap; (6) menciptakan lapangan kerja dan kesempatan
berusaha yang produktif; (7) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia; (8)
mengembangkan kelembagaan dan peraturan perundangan; (9) meningkatkan
penerimaan PNBP dan PAD; (10) meningkatkan tertib administrasi
pembangunan; dan (11) menjadikan sumberdaya ikan sebagai perekat nusa dan
bangsa (Ditjen Perikanan Tangkap, 2001).
Untuk mendukung misi tersebut, maka kebijakan dan strategi yang
diterapkan adalah : (1) peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha
penangkapan; (2) peningkatan mutu dan nilai tambah hasil perikanan; (3)
pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap; (4) peningkatan
pelayanan dan pengendalian Perizinan Usaha; (5) penyempurnaan peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan tangkap; (6) penyempurnaan Sistem
Statistik Perikanan Tangkap; dan (7) peningkatan peran Indonesia dalam
organisasi/lembaga internasional yang terkait dengan perikanan tangkap.
Adapun tujuannya yang hendak dicapai adalah : (1) meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan nelayan; (2) menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya; dan (3) meningkatkan kontribusi sub sektor perikanan tangkap
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Sasaran pembangunan perikanan tangkap meliputi : (1) peningkatan
produksi Perikanan Tangkap; (2) volume dan nilai ekspor hasil perikanan
tangkap; (3) pengembangan armada penangkapan ikan; (4) penyediaan ikan untuk
konsumsi dalam negeri; (5) penyediaan lapangan kerja atau penyerapan tenaga
kerja / nelayan; dan (6) peningkatan PNBP.
17
2.3 Perkembangan Armada, Produksi dan Nilai Hasil Perikanan
Secara umum, pelaksanaan program pembangunan perikanan tangkap
selama tahun 2003 menunjukkan hasil yang nyata dan menggembirakan. Hal ini
dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya usaha peningkatan produksi
perikanan tangkap, peningkatan konsumsi ikan, ekspor hasil perikanan,
pendapatan nelayan, perluasan lapangan kerja, serta memberikan dukungan
terhadap pembangunan di bidang industri dan menunjang pembangunan daerah.
Beberapa indikator makro pencapaian pembangunan perikanan tangkap
berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, diuraikan berikut ini.
1) Produksi
Pada periode 2001-2003, perkembangan produksi perikanan tangkap
meningkat rata-rata 5,15%, yaitu dari 4.276.720 ton pada tahun 2001 menjadi
4.728.320 ton pada tahun 2003 (Tabel 1).
Tabel 1 Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2001 - 2003
Wilayah Produksi (Ton) Rata-rata
Perairan 2001 2002 1) 2003 2)
Kenaikan (%)
Laut 3.966.480 4.205.370 4.406.200 5,40
Perairan Umum 310.240 316.030 322.120 1,90
Jumlah 4.276.720 4.521.400 4.728.320 5,15
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004
Dari data di atas terlihat bahwa laju produksi penangkapan di laut lebih
tinggi dibandingkan dengan produksi penangkapan di perairan umum. Dalam
periode 2001-2003, produksi penangkapan di laut meningkat rata-rata per tahun
sebesar 5,40% dari 3.966.480 ton pada tahun 2001 menjadi 4.406.200 ton pada
tahun 2003. Pada periode yang sama, produksi penangkapan di perairan umum
hanya mengalami peningkatan 1,90% dari 310.240 ton pada tahun 2001 menjadi
322.120 ton pada tahun 2003. Jika dibandingkan dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton, maka produksi tahun 2003 telah
mencapai 86,05% dari JTB.
2) Konsumsi Ikan Dalam Negeri
Seiring dengan peningkatan produksi, penyediaan ikan untuk konsumsi
dalam negeri juga mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2001 total penyediaan
ikan hasil tangkapan dan budidaya untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,69
18
juta ton, maka pada tahun 2003 telah mencapai 5,30 juta ton. Dengan demikian,
pada periode 2001 – 2003 terjadi kenaikan konsumsi ikan dalam negeri rata-rata
6,41% per tahun. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Penyediaan Ikan untuk Konsumsi Dalam Negeri Tahun 2001 - 2003
Konsumsi Rata-rata
Uraian Kenaikan
2001 2002 1) 2003 2) (%)
Konsumsi Total (1.000 ton) 4.692,96 4.841,55 5.308,68 6,41
Konsumsi per Kapita
22,47 22,84 24,67 4,83
(Kg/kapita/tahun)
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004
19
ekspor dari sisi nilai dan volume tersebut terjadi karena adanya penurunan mutu
produk perikanan yang diekspor atau karena hal lain, seperti harga internasional
produk perikanan yang mengalami penurunan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Kecenderungan lebih rendahnya persentase nilai (rupiah) perkembangan
ekspor produk perikanan dibandingkan dengan perkembangan volume (ton)
terjadi di hampir semua jenis ikan. Perbedaan yang paling mencolok terjadi pada
komoditas ikan hias. Dari sisi volume, ikan hias mengalami peningkatan rata-rata
25,98% per tahun, namun dari sisi nilai komoditas ini hanya mengalami
peningkatan rata-rata 13,56% per tahun. Perbedaan yang cukup mencolok juga
terjadi pada komoditas tuna/cakalang/tongkol dengan perkembangan volume dan
nilai masing- masing 18,93% dan 12,50% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Kondisi yang sebaliknya terjadi pada sisi impor. Secara umum impor hasil
perikanan pada periode 2001-2003 memang mengalami penurunan. Namun, rata-
rata penurunan impor menunjukkan bahwa penurunan dari sisi nilai lebih kecil
dibanding dengan penurunan dari sisi volume, masing- masing 5,38% dan 6,45%.
Perbedaan signifikan terjadi pada komoditas tepung binatang berkulit keras/lunak.
Untuk komoditas ini, pada sisi volume mengalami penurunan sebesar 26,93%,
tapi dari sisi nilai justru mengalami peningkatan sebesar 6,83% (Ditjen Perikanan
Tangkap, 2004).
20
Tabel 3 Perkembangan Ekspor Impor Perikanan Tahun 2001 – 2003
2001 2002 1) 2003 2) Perubahan
KOMODITAS Rata-rata
Nilai % Nilai % Nilai %
(%)
Volume (Ton) 487.116 100 565.739 100 696.290 100 19,61
- Udang 128.830 26,45 124.765 22,05 150.130 21,56 8,59
- Tuna/Cakalang/Tongkol 84.205 17,29 92.797 16,40 118.460 17,01 18,93
- Rumput Laut 27.874 5,72 28.560 5,05 36.540 5,25 15,20
- Mutiara 21,75 0,00 5,87 0,00 9,92 0,00 - 2,01
- Ikan Hias 2.682 0,55 3.514 0,62 4.250 0,61 25,98
Ekspor
21
ukuran 100-200 GT (74,21%). Penurunan jumlah kapal terjadi pada kapal tanpa
motor yang mengalami penurunan rata-rata sebesar 2,38% yaitu dari 241.714
buah kapal pada tahun 2001 menjadi 230.360 buah pada tahun 2003 (Ditjen
Perikanan Tangkap, 2004). Hal tersebut sejalan dengan program motorisasi dan
dorongan untuk lebih memanfaatkan ZEEI dengan menggunakan kapal motor
berukuran besar. Selengkapnya, perkembangan jumlah kapal perikanan Indonesia
periode 2001-2003 tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Perkembangan Jumlah Kapal Perikanan Tahun 2001-2003
Jumlah Rata-rata
No. Jenis Kapal 1) 2) Kenaikan
2001 2002 2003 (%)
1 Perahu Tanpa Motor 241.714 237.270 230.360 - 2,38
2 Perahu Motor Tempel 120.054 120.760 125.580 2,29
3 Kapal Motor 106.753 114.690 118.600 5,42
- KM < 5 GT 70.925 71.680 72.060 0,80
- KM 5-10 GT 22.641 23.100 23.610 2,12
- KM 10-20 GT 6.006 6.370 6.880 7,03
- KM 20-30 GT 3.008 3.370 3.780 12,10
- KM 30-50 GT 781 2.150 2.300 91,13
- KM 50-100 GT 1.602 4.380 5.510 99,60
- KM 100-200 GT 1.295 2.920 3.590 74,21
- KM = 200 GT 495 720 870 33,14
Jumlah 468,521 472.720 474.540 0,64
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2003
22
overfishing ini disalurkan pada usaha budidaya perikanan, industri penanganan
dan pengolahan hasil perikanan, serta sektor ekonomi lainnya (Dahuri, 2002).
Upaya peningkatan kemampuan armada perikanan baik nasional maupun di
masing- masing Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan langkah untuk
menjadikan nelayan sebagai tuan rumah di lautnya sendiri. Para nelayan dengan
armada yang lebih modern diharapkan mampu beroperasi di perairan teritorial
bahkan ZEEI untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada sekaligus
menjalankan fungsi pengawasan terhadap praktek ilegal kapal asing.
5) Jumlah Nelayan
Pada periode 2001-2003, jumlah nelayan juga terus mengalami peningkatan.
Jika pada tahun 2001 nelayan Indonesia mencapai 3.286.500 orang, maka pada
2003 menjadi 3.476.200 orang (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Dengan
demikian, pada kurun waktu tersebut terjadi kenaikan jumlah nelayan rata-rata
2,86% per tahun. Selengkapnya tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan Jumlah Nelayan Tahun 2001 - 2003
Jumlah Nelayan (orang) Rata-Rata
No. Wilayah Perairan
2001 20021) 20032) Kenaikan (%)
1 Laut 2.562.945 2.573.300 2.673.760 2,15
2 Perairan Umum 723.555 753.630 802.440 5,32
Jumlah 3.286.500 3.326.930 3.476.200 2,86
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004
Adanya peningkatan jumlah nelayan cukup menggembirakan karena
menunjukkan bahwa sektor perikanan tangkap terus membuka lapangan kerja.
Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi fakta yang patut mendapat perhatian
bersama karena jika dibandingkan dengan produksi perikanan maka perbandingan
jumlah nelayan dengan skala produksinya menjadi sangat kecil. Sebagai contoh,
pada tahun 2003 produktivitas nelayan hanya 1,36 ton per orang. Artinya, jumlah
tangkapan nelayan per hari hanya sekitar 3,73 kg saja. Gambaran selengkapnya
tersaji pada Tabel 6.
23
Tabel 6 Produktivitas Nelayan Tahun 2001 – 2003
Uraian 2001 20021) 20032)
Produksi (ton) 4.276.720 4.521.400 4.728.320
Jumlah Nelayan (Orang) 3.286.500 3.326.930 3.476.200
Produktivitas ton/tahun/ orang 1,30 1,36 1,36
Nelayan kg/hari/orang 3,57 3,72 3,73
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004
24
Tabel 7 Tingkat Pemanfaatan SDI Tahun 2000
Potensi JTB Produksi Tingkat
No Kelompok SDI (Ton/Th) (Ton/Th) (Ton) Pemanfaatan
(%)
1. Ikan Pelagis Besar 1.165.360 932.288 736.170 78,97
2. Ikan Pelagis Kecil 3.605.660 2.884.528 1.784.330 61,86
3. Ikan Demersal 1.365.090 1.092.072 1.085.500 99,40
4. Ikan Karang 145.250 116.200 156.890 135,02
5. Udang Penaeid 94.800 75.840 259.940 342,75
6. Lobster 4.800 3.840 4.080 106,25
7. Cumi-Cumi 28.250 22.600 42.510 188,10
Jumlah 6.409.210 5.127.368 4.069.420 79,37
Sumber : PRPT-BRKP (2001)
Tabel 7 diatas menunjukkan bahwa kelompok SDI yang potensinya paling besar
adalah ikan pelagis kecil, yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan
permukaan serta secara fisik berukuran kecil. Contoh jenis ikan yang termasuk
dalam kelompok ini adalah ikan kembung, alu-alu, layang, selar, tetengkek, daun
bambu, sunglir, julung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-parang,
terubuk, ikan terbang, belanak, dan kacang-kacang. Kedua adalah ikan demersal,
yaitu kelompok ikan yang hidup di dasar perairan dan terdiri atas spesies antara
lain : sebelah, lidah, nomei, peperek, manyung, beloso, biji nangka, kurisi,
swanggi, gulamah, bawal, layur, senangin/kuro, lencam, kakap merah, kakap
putih, pari, sembilang, buntal landak, kuwe, gerot-gerot, bulu ayam, kerong-
kerong, payus, etelis, dan remang. Ketiga adalah ikan pelagis besar, yakni
kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan permukaan serta secara fisik
berukuran besar, yang terdiri atas spesies antara lain : tuna mata besar,
madidihang, albakora, tuna strip biru selatan, cakalang, tongkol, setuhuk/marlin,
tenggiri, layaran, ikan pedang, cucut/hiu dan lemadang. Keempat adalah ikan
Karang, yaitu kelompok ikan yang hidup di sekitar perairan karang, yang terdiri
atas spesies antara lain : ekor kuning, pisang-pisang, kerapu, baronang, kakak tua,
napoleon, dan kerondong (morai). Kelima adalah udang penaid, yaitu kelompok
udang yang terdiri atas spesies antara lain : peneid, kepiting, rajungan, rebon dan
udang kipas. Berikutnya atau yang potensinya paling kecil adalah kelompok
cumi-cumi dan lobster (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
25
Data potensi dan JTB diatas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah
yang positif, yakni terjadi kenaikan. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock
assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001,
potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per tahun,
dengan rincian 5,14 juta ton per tahun berasal dari perairan territorial dan dan
perairan wilayah serta 1,26 juta ton per tahun berasal dari ZEEI. Data ini masih
bersifat sementara, karena masih akan didiskusikan lebih lanjut dengan Komisi
Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut sebelum dikukuhkan dalam
peraturan perundang-undangan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
Sementara itu, juga berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan
Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut
mencapai 4,069 juta ton (PRPT-BRKP, 2001). Dengan demikian, Tingkat
Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar
6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton
pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan
Perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing
seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72
%) serta Laut Banda (102,74 %). Tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan
lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %,
Samudera Hindia 72,41 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut
Natuna dan Cina Selatan 44,92 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku, Teluk
Tomini dan Seram 41,83 %.
Dari data Tingkat Pemanfaatan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan:
(1) Laut Natuna dan Cina Selatan untuk SDI pelagis besar, pelagis kecil dan
demersal;
(2) Laut Flores dan Selat Makasar untuk SDI pelagis besar dan pelagis kecil;
(3) Laut Banda untuk SDI pelagis besar;
(4) Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDI pelagis besar,
pelagis kecil dan demersal;
26
(5) WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik untuk SDI pelagis kecil dan
demersal;
(6) Laut Arafura untuk SDI pelagis kecil;
(7) Samudera Hindia untuk SDI pelagis kecil dan pelagis besar.
Demikian pula dari sisi permintaaan atau demand side, potensi dan peluang
pasar hasil laut dan ikan relatif baik. Pada tahun 1994, impor dunia hasil
perikanan sekitar 52.493 juta ton. Indonesia termasuk peringkat ke-8 dalam
produksi ikan (peringkat ke-5 untuk udang, dan peringkat ke-2 untuk tuna);
peringkat ke-9 untuk ekspor ikan (peringkat ke-4 untuk udang, dan peringkat ke-1
untuk tuna). Permintaan ikan tahun 2010, diperkirakan akan mencapai 105 juta
ton. Potensi pasar dalam negeri juga relatif masih baik; total konsumsi ikan dalam
negeri tahun 2001 diperkirakan sekitar 4,6 juta ton dengan konsumsi rata-rata
21,71 kg/kap/tahun. Sementara itu konsumsi ikan yang direkomendasikan dalam
Lokakarya Nasional Widya Karya Pangan dan Gizi untuk mencukupi kebutuhan
gizi sekitar 26,55 kg/kap/tahun. Jadi masih jauh dari yang direkomendasikan
(PRPT-BRKP, 2001).
Dari hasil pengkajian Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Seram dan Teluk
Tomini pada tahun 1998, dihasilkan tingkat pemanfaatan menurut kelompok
sumberdaya ikan yaitu : (1) pelagis besar baru dimanfaatkan sebesar 37,01 %, (2)
pelagis kecil dimanfaatkan sebesar 38,84 %, (3) ikan demersal telah dimanfaatkan
sebesar 75,14 %, sedangkan untuk udang penaeid tingkat pemanfaatannya telah
melampaui 100 % (Widodo et. al (1998) yang diacu dalam PRPT-BRKP (2001)).
Oleh karena itu peluang pengembangan di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini
dapat dilakukan pada sumberdaya ikan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan
demersal, sedangkan untuk sumberdaya udang penaeid perlu pembatasan terhadap
hasil tangkapan dan/atau upaya penangkapan.
27
Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan
misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Dengan demikian perencana strategis
(strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut
dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah
Analisis SWOT ( Rangkuti, 2005).
28
Ada banyak pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan ‘multi
criteria decision making’, yang secara umum diklasifikasikan dalam tiga
pendekatan dasar, yaitu (Saaty, 1991) :
1) Metode Utillitas/Bobot
Metode ini mengekspresikan semua tujuan dalam ukuran yang sama (single
measure). Dengan demikian pengambilan keputusan multi tujuan dapat
ditransformasikan menjadi model dengan satu fungsi tujuan (objective function).
Permasalahan yang ada dari model ini adalah keakuratan tranformasi tujuan-
tujuan yang berbeda kedalam satu ukuran yang sama.
2) Metode Ranking/Prioritas
Metode ini digunakan sebagai ganti untuk mencari nilai utilitas/bobot, yaitu
dengan menggunakan ranking prioritas untuk menunjukkan derajat kepentingan
masing- masing tujuan. Dalam metode ini semua tujuan dipertimbangkan menurut
rangking atau prioritasnya dan tidak perlu ditransformasikan ke dalam satu fungsi
tujuan.
3) Metode Solusi Efisien
Metode ini tidak mempertimbangkan preferensi pengambilan keputusan
namun dengan menggenerate sekumpulan solusi efisiensi dari himpunan solusi
yang memenuhi konstrain. Himpunan solusi efisien adalah himpunan solusi
dimana perubahan dari satu solusi ke solusi yang lain secara simultan
menyebabkan perbaikan pada satu atau lebih tujuan dan penurunan sekurang-
kurangnya pada satu tujuan dalam nilai pemuasnya. Solusi efisien juga disebut
solusi optimal pareto/solusi non dominasi. Pengambilan keputusan akan memilih
solusi yang sesuai dengan preferensi diantara himpunan solusi efisien ini.
Program tujuan ganda (multiple goal programming) yang akan digunakan
dalam penelitian ini merupakan metode yang menggunakan struktur prioritas dari
tujuan-tujuan yang dipertimbangkan, dengan alasan sebagai berikut (Saaty, 1991):
(1) Pengembangan model relatif lebih sederhana.
(2) Modifikasi minor dapat digunakan untuk mencakup pendekatan alternatif
(metode efisien, pembobotan dan sebagainya) dalam pengambilan keputusan
multi tujuan.
29
(3) Metode pemecahan sangat sederhana dan hanya merupakan
perbaikan/modifikasi dari metode simplek dua fase.
(4) Model dan asumsinya konsisten dengan problem dunia nyata yang khusus
(spesifik).
(5) Dari beberapa alasan diatas maka pengambilan keputusan banyak tujuan ini
atas dasar fleksibilitas, efisiensi, kemudahan penggunaan serta
pengimplementasian.
30
menjadi lebih rendah. Sebaliknya, apabila sumberdaya perikanan dipandang
sebagai stok modal yang dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan,
akan menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang besar.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penangkapan
ikan yang ramah lingkungan adala h (Direktorat produksi, Ditjen Perikanan, 2000):
1) Kriteria Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
Menentukan alat penangkapan ikan yang dalam operasinya produktif dan
hasil tangkapannya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dala m pengoperasian alat
tersebut juga tidak merusak lingkungan dan kelestarian sumberdaya yang ada
tetap terjaga. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal antara lain :
- selektifitas alat penangkapan ikan
- tidak merusak sumberdaya dan lingkungan
- meminimumkan discard (ikan buangan)
2) Fishing Ground ( Daerah Penangkapan Ikan)
Pembagian daerah penangkapan yang sesuai dengan ukuran kapal dan jenis
alat tangkap yang digunakan, perlunya pengaturan operasi penangkapan ikan
dilapangan, dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara kelompok nelayan,
baik antar nelayan tradisional maupun dengan pemilik kapal besar. Dalam hal ini
perlunya peraturan yang harus dipatuhi dan penindakan hukum yang tegas untuk
menjaga kelestarian fishing ground.
3) Pe manfaatan
Sumberdaya perikanan harus dikelola secara wajar, agar kontribusinya
terhadap nutrisi, ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk dapat ditingkatkan.
4) Peraturan
Perlu diperhatikan adanya peraturan – peraturan yang mengatur jalannya
operasi penangkapan ikan yang menuju ramah lingkungan dan bertanggungjawab.
Salah satu peraturan tersebut adalah mengatur jalur – jalur penangkapan ikan.
31
jikan pengambilan keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan itu adalah
beragamnya kriteria, maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik
untuk membantu menyelesaikan masalah ini (Mulyono, 2002).
Dalam perkembangannya, AHP tidak saja digunakan untuk menentukan
prioritas pilihan-pilihan dengan banyak kriteria , tetapi penerapannya telah meluas
sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam- macam masalah,
seperti memilih portofolio, analisis manfaat biaya, peramalan dan lain- lain.
Pendeknya, AHP menawarkan penyelesaian masalah keputusan yang melibatkan
seluruh sumber kerumitan seperti yang diidentifikasikan diatas. Hal ini
dimungkinkan karena AHP cukup mengandalkan intuisi sebagai input utamanya,
namun intuisi harus datang dari pengambilan keputusan yang cukup informasi dan
memahami masalah keputusan yang dihadapi (Mulyono, 2002).
32
tujuan dengan peristiwa lebih rendah. Jika LP berusaha mengidentifikasi solusi
optimum dari suatu himpunan solusi layak, LGP mencari titik yang paling
memuaskan dari sebuah persoalan dengan beberapa tujuan, sekali lagi LGP ingin
meminimumkan penyimpangn-penyimpangan dari tujuan-tujuan dengan
mempertimbangkan hirarki prioritas.
33
3 METODOLOGI
3. 3 Teori SWOT
Peningkatan pendapatan nelayan dan pencapaian tingkat kesejahteraan
nelayan itu sendiri hanya dapat dicapai dengan mengoptimalkan produksi
penangkapan, upaya penangkapan dan secara ekonomi menguntungan.
35
Dalam pencapaian tujuan dimaksud, maka harus dibuat suatu rencana
strategi dan kebijakan yang berpedoman pada peraturan perundangan yang
berlaku terutama pada perikanan yang bertanggung jawab yang telah dijabarkan
pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995). Hal ini dilakukan
agar ikan yang ditangkap ukurannya selektif dan belum mencapai MSY
(Maximum Sustainable Yield) dan MEY (Maximum Economic Yield).
Penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dimana SWOT adalah singkatan dari
lingkungan internal yang terdiri Strength dan Weakness serta lingkungan eksternal
yang terdiri Opportunity dan Threats.
Untuk mengetahui strategi dan kebijakan yang akan ambil, maka dilakukan
analisis SWOT dengan mengidentifikasi berbagai faktor internal dan faktor
eksternal secara sistematik dan dilanjutkan dengan merumuskannya. Kemudian
membandingkan antara faktor internal, yaitu kekuatan (Strength) dan kelemahan
(Weakness) dengan faktor eksternal, yaitu peluang (Opportunity) dan ancaman
(Threats).
Salah satu model analisis SWOT dapat ditampilkan dalam bentuk matrik
kotak, dua yang paling di atas adalah kotak faktor eksternal peluang dan
ancaman/tantangan, sedangkan dua kotak sebelah kiri adalah kotak faktor internal,
yaitu kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan. Empat kotak lainnya
merupakan kotak isu-isu strategi yang timbul sebagai hasil kontak antara faktor-
faktor eksternal dan faktor-faktor internal. Adapun isu strategi tersebut antara lain:
(A) Comparative Advantage, (B) Mobilization, (C) Investment/Divestment, dan
(D) Damage Control (Kearns 1992 dalam Salusu 1988).
Sedangkan menurut David (1989) dalam Salusu (1988) yang menggunakan
istilah TOWS, yaitu ingin mendahulukan analisis ancaman dan peluang untuk
melihat sejauh mana kapabilitas internal sesuai dan cocok dengan faktor- faktor
eksternal. Dalam analisis TOWS ada empat strategi yang ditampilkan. Strategi SO
dipakai untuk menarik keuntungan dari peluang yang tersedia dalam lingkungan
eksternal. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan
memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Strategi ST digunakan untuk
36
menghindari, paling tidak memperkecil dampak dari ancaman yang datang dari
luar. Strategi WT adalah taktik yang diarahkan pada usaha memperkecil
kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.
Model analisis SWOT menurut Kearns (1992) dan David (1989) dalam
Salusu (1996) disajikan pada Tabel 8.
Sumber : Kearns (1992) ,David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988)
37
tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan
(Rangkuti 2000).
38
dimana n adalah banyaknya komponen yang
dibandingkan.
Tahap 5 : Setelah data perbandingan pasangan terkumpul,
kemudian dihitung nilai eigen value dan diperiksa
konsistensinya. Jika tidak konsisten, maka pengambilan
data diulang.
Tahap 6 : Mengulangi tahap 3,4 dan 5 untuk seluruh tingkat dan
kelompok hirarki.
Tahap 7 : Menghitung eigenvektor dari setiap matrik
perbandingan pasangan di atas, dimana nilai dari
vektoreigen merupakan bobot setiap komponen.
Tahap 8 : Memeriksa konsistensi jika nilainya lebih besar dari
10%, maka kualitas data judgement harus diperbaiki.
39
Skala Penilaian Perbandingan Pasangan
Oleh Saaty (1980) telah menyusun tabel skala perbandingan pasangan seperti
dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut :
40
Tabel 9 Nilai skala perbandingan berpasangan
Intensitas
Definisi Variabel Keterangan
Kepentingan
Sama pentingnya
1 Kedua elemen memberikan kontribusi
Elemen yang satu sedikit Pengalaman atau judgement sedikit
lebih penting terhadap yang memihak pada sebuah elemen
3
lain dibandingkan elemen yang lainnya
Elemen yang satu mempunyai
Pengalaman atau judgement secara kuat
tingkat kepentingan yang kuat
memihak pada sebuah elemen dibanding
5 atau esensial terhadap yang
elemen yang lainnya
lainnya
Tingkat kepentingan yang Sebuah elemen secara kuat disukai dan
7
jelas lebih kuat dominasinya tampak dalam praktek
Bukti bahwa suatu elemen lebih penting
Tingkat kepentingannya
dari elemen yang lainnya adalah sangat
9 mutlak
jelas
Nilai-nilai tengah diantara 2
Nilai ini diberikan bila diperlukan adanya
2,4,6,8 judgement yang
kompromi antara dua judgement
berdampingan
Kebalikan Bila komponen i mendapat salah satu nilai di atas (non zero) saat
dari nilai di dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai sebaliknya
atas saat dibandingkan dengan i.
3. 5 Analisis Finansial
1) Benefit-Cost Ratio
Untuk pengembangan armada penangkapan ikan di daerah Ternate
diperlukan suatu ukuran yang menyeluruh sebagai dasar pemikiran/penolakan
terhadap kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan. Salah satunya adalah Benefit
Cost Ratio. Pada Benefit/Cost Ratio penekanannya ditujukan kepada manfaat
(benefit) bagi kepentingan umum.
Adapun rumus yang digunakan adalah :
Nilai Sekarang
Benefit ( PV ) B
B/CR = =
Nilai Sekarang ( PV ) C
Biaya
Biaya C pada Rumus di atas dapat dianggap sebagai biaya pertama (Cf) sehingga
rumusnya menjadi :
( PV ) B
B/CR =
Cf
41
Dimana :
B/CR = Perbandingan manfaat terhadap biaya (benefit-cost ratio)
(PV) B = Nilai Sekarang Benefit
(PV) C = Nilai Sekarang Biaya
B1 B2 Bn C1 C2 Cn
NPV = [ + + … ] - [ + + … ]
1+i (1+i) 2 (1+i) n 1+i (1+i) 2 (1+i) n
N
Bt - Ct
= ?
(1+i) t
t=1
Dalam evaluasi suatu proyek tertentu tanda “go” dinyatakan oleh nilai NPV = 0.
Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar Social
Opportunity Cost of Capital. Jika NPV < 0, proyek supaya ditolak, artinya ada
42
penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang
diperlukan proyek.
n
Bt - Ct
? = 0
(1+iIRR)t
t=1
IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam
suatu proyek, asal setiap benefit bersih yang diwujudkan ( yaitu setiap Bt – Ct
yang bersifat positif ) secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya
dan mendapatkan tingkat keuntungan i yang sama yang diberi bunga selama sis a
umur proyek.
43
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di daerah penelitian.
2. Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja di daerah penelitian.
3. Meminimumkan penggunaan BBM di daerah penelitian.
4. Memaksimumkan nilai produksi penangkapan ikan di daerah penelitian.
44
(8) Alat/bahan penangkapan yang digunakan, tidak merusak lingkungan (tidak
polusi).
Pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries ini akan efektif
hasilnya, jika dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip yang mengarah pada
pedoman tersebut di atas kedalam kebijakan dan peraturan perikanan. Dalam
menentukan Kode Etik Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab, dilakukan
pemberian bobot (nilai) terhadap tiap unsur dari pedoman tersebut di atas
berdasarkan setiap jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Ternate
Maluku Utara. Bobot (nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 4. Setelah masing-
masing unsur pedoman yang menjadi arah dari Code of Conduct for Responsible
Fisheries dengan setiap jenis alat tangkap diberi bobot (nilai), unsur-unsur
tersebut dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matrik untuk memperoleh
beberapa alternatif. Kemudian alternatif- alternatif tersebut dijumlahkan bobotnya
untuk menghasilkan rangking dari tiap-tiap alat tangkap. Jenis alat tangkap
dengan ranking tertinggi merupakan alat tangkap yang diprioritaskan memenuhi
kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries.
45
fisik kapal, akan dijadikan acuan untuk membuat rancangan-rancangan basic
design pada pekerjaan ini.
46
Adapun nilai-nilai yang ideal parameter bentuk adalah:
(1) (L / B) ………………………. 3,10 - 4,30
(2) (B / T) ………………………. 2,00 - 3,20
(3) (C M) ………………………. 0,50 - 0,80
(4) (C P ) ………………………. 0,55 - 0,65
(5) LCB% ………………………. - 6,00 - +1,00
(6) ½ a ………………………. 15.0 - 34,0
(7) Trim ………………………. - 0,04 - + 0,13
47
(4) Sarat air
Sarat air adalah kedalaman kapal pada kondisi kosong atau penuh. Sarat air
kapal digunakan untuk mengetahui displacement kapal.
(5) Freeboard
Freeboard adalah ketinggian antara sarat air terhadap geladak utama.
Freeboard berpengaruh terhadap stabilitas yaitu sudut karam kapal.
(6) Koefisien dan Rasio Kapal
Koefisien-koefisien kapal akan menentukan ciri kapal (bentuk kapal) dan
berhubungan erat dengan stabilitas serta hambatan kapal, yang meliputi :
(i) Koefisien Balok
Koefisien balok (CB) menentukan bentuk dan volume kapal (bentuk kapal)
yang berada di bawah garis air. Koefisien balok juga digunakan untuk
menentukan displacement kapal.
(ii) Koefisien Bidang Lintang Tengah
Koefisien bidang lintang tengah (C M) adalah untuk menentukan luas bidang
lintang tengah kapal. Koefisien ini juga berpengaruh pada stabilitas kapal.
(iii) Koefisien Bidang Garis Air
Koefisien bidang garis air (Cw) menentukan luas bidang garis air pada setiap
kedalaman air. Jika tiap-tiap luas garis air dihitung secara integral dengan
metoda Simson akan diperoleh displacement, stabilitas melintang dan
stabilitas membujur kapal.
(iv) Koefisien Prismatik
Koefisien prismatik (Cp) menentukan kelangsingan kapal dan berhubungan
erat dengan hambatan kapal.
(v) Speed Length Ratio (SLR)
Kecepatan kapal penangkapan ikan dapat dikelompokkan berdasarkan rasio
perbandingan antara kecepatan dan panjang kapal yang dinyatakan dengan
V / v L.
Dari pengelompokan ini akan muncul kriteria kapal dengan kecepatan tinggi,
kecepatan normal dan kecepatan rendah.
§ Kecepatan rendah (V / v L = 0,69 s/d 0,92)
§ Kecepatan normal (V / v L = 1,03 s/d 1,14)
48
§ Kecepatan tinggi (V / v L = 1,26 s/d 1,37)
Kapal penangkapan ikan biasanya termasuk kapal berkecepatan tinggi, dimana
kecepatan optimumnya memiliki nilai V / v L = 1,34 atau bilangan Froude
V / v gL = 0,38.
(7) Rancangan Umum
Rancangan umum (General Arrangement) adalah gambaran umum dari
keseluruhan penataan ruangan dan perlengkapan di kapal. Penataan ruang di kapal
dimaksudkan untuk memperoleh efisiensi ruangan-ruangan yang dibutuhkan
sesuai dengan fungsi dan kegiatan kapal tersebut. Penataan ruangan pada saat
perencanaan pembuatan kapal dirancang dan dihitung secara seksama agar
memenuhi areal maupun volume ruangan yang dibutuhkan serta untuk
memperoleh stabilitas kapal yang mantap.
Pada prinsipnya penataan ruangan ini bisa dikelompokkan menjadi dua,
yaitu ruangan di bawah geladak dan ruangan di atas geladak.
Ruang di bawah geladak meliputi :
(i) Ruang Ceruk Buritan : biasanya digunakan sebagai tempat steering gear.
Pada kapal kayu, ruang ceruk buritan ini menjadi multi fungsi, yang juga
digunakan sebagai penyimpanan peralatan mesin.
(ii) Ruang Mesin : biasanya disebut juga sebagai kamar mesin digunakan
sebagai tempat akomodasi dari mesin kapal yang merupakan sumber daya
penggerak kapal. Tenaga mesin dapat ditentukan dengan menghitung
hambatan kapal dalam berbagai jenis nilai kecepatan dan dituangkan dalam
bentuk grafik.
(iii) Ruang Palkah Ikan : adalah ruangan yang digunakan untuk menyimpan
ikan hasil tangkapan. Ruang palkah ikan ini harus diberi insulasi, agar
penetrasi panas dapat dikurangi atau dihambat. Bahan insulasi yang sering
digunakan dewasa ini adalah Polyurethan. Pendinginan ikan di palkah ikan
dapat dengan menggunakan unit pendingin atau menggunakan es. Karena
ikan harus dipertahankan mutunya agar tetap baik maka konstruksi palkah
ikan (terutama dinding-dinding kapal yang diberi insulasi) harus dirancang
secara khusus dan seksama sesuai dengan persyaratan mutu ikan yang
diperlukan.
49
Pada prinsipnya ukuran palkah ikan ditentukan antara lain oleh :
• Lama hari operasi (jumlah setting)
• Produktivitas alat tangkap
• Jenis ikan yang tertangkap
• Sistem pendinginan yang digunakan
• Stowage ratio ikan.
(iv) Ruang Ceruk Depan : ruang ceruk depan digunakan untuk tempat serbaguna
seperti untuk menyimpan rantai jangkar. Disamping itu, sisa ruangan yang
ada juga digunakan untuk menyimpan peralatan kapal ataupun suku cadang
alat tangkap ikan.
(v) Tangki Bahan Bakar : ruangan yang digunakan untuk menyimpan bahan
bakar yang akan digunakan kapal selama beroperasi. Volume tangki bahan
bakar sangat berhubungan dengan lama operasi (pelayaran) serta daya mesin
yang digunakan di kapal.
(vi) Tangki Air Tawar : ruangan yang digunakan untuk menyimpan air tawar
untuk keperluan awak kapal selama operasi penangkapan (pelayaran).
Ukuran tangki air tawar juga berhubungan dengan jumlah awak kapal serta
lama trip operasi. FAO menyarankan bahwa seorang awak kapal
penangkapan ikan membutuhkan air tawar ± 14 liter per hari.
(vii) Tangki Ballast : tangki ballast pada umumnya terletak di haluan kapal.
Tangki ballast biasanya diisi air laut yang berfungsi untuk mengimbangi
moment trim (agar kapal tidak tungging atau tonggak).
Ruang di atas geladak pengaturannya sangat penting karena berhubungan
langsung dengan pengoperasian alat tangkap. Ruang di atas geladak meliputi
ruang kemudi, ruang akomodasi awak kapal, gudang (tempat penyimpanan)
alat tangkap serta berbagai tempat alat bantu penangkapan.
(8) Rancangan Konstruksi Melintang
Ukuran balok konstruksi melintang kapal ditentukan dengan perhitungan
scantling berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Biro Klasifikasi Indonesia
(BKI) pada tahun 1996, khususnya untuk kapal kayu, yang didalamnya meliputi :
a. Lunas
b. Linggi haluan dan linggi buritan
50
c. Gading-gading dan wrang
d. Galar balok
e. Kulit Iuar
f. Balok geladak
g. Geladak
h. Pagar
i. Sekat-sekat kedap air
j. Palkah ikan
k. Pondasi mesin.
Ukuran-ukuran bagian konstruksi dapat berubah sesuai dengan kriteria daerah
pelayaran yang telah ditetapkan oleh peraturan BKI, 1996.
51
Pengukuran GT kapal sebagaimana yang telah dijelaskan, meliputi
pengukuran seluruh ruangan tertutup yang ada di kapal. Di Indonesia desain kapal
ikan cukup bervariasi, beberapa kapal ada yang memiliki ruangan di atas geladak
ukur dan ada yang tidak. Bahkan beberapa kapal ikan tidak memiliki palka ikan
seperti pada kapal-kapal pole and line, atau pun kapal-kapal yang termasuk
kategori perikanan skala kecil, seperti perahu payang, perahu dogol dan perahu
compreng.
Dalam sejarah pene ntuan metoda pengukuran kapal, Moorsom dalam
Nomura dan Yamazaki (1977) menyebutkan bahwa cara pengukuran kapal di
berbagai negara adalah cara pengukuran menurut MOORSOM. Cara ukur
MOORSOM mula- mula diterapkan di Inggris dan negara jajahannya tahun 1855.
Kemudian penerapannya diikuti oleh Austria, Italia. Turki, Norwegia dan
Finlandia. Baru pada tahun 1886, dengan diberlakukannya Scepmentings
Ordonantie 1927 di wilayah Indonesia mulai diterapkan cara ukur MOORSOM
dalam pengukuran kapal. Akan tetapi dalam pelaksanaannya satu dengan yang
lainnya mempunyai sistem yang berbeda. Karena itu dirasakan perlu adanya suatu
sistem yang bersifat universal. Sesudah perang dunia kedua (1939-1945), United
Nations mendirikan suatu organisasi perkapalan khusus yaitu "Intergovernmental
Maritime Consultative Organization' disingkat "ICMO" berkedudukan di London,
Inggris.
Menyadari betapa pentingnya penetapan suatu sistem yang bersifat universal
untuk pengukuran kapal, maka pada tanggal 27 Mei hingga 23 Juni 1969
diselenggarakan suatu konferensi yang dihadiri oleh lebih 40 negara, termasuk
Indonesia, dengan mengundang ICMO. Tujuannya adalah untuk merumuskan
Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal. Pada tanggal 23 Juni 1969
disahkan “International Convention on Tonnage Measurement of Ships”. Dalam
konvensi ini juga ditetapkan penggunaan isi kotor (Gross Tonnage/GT) dan isi
bersih (Net Tonnage) sebagai parameter pengukuran serta cara pengukurannya.
Pemerintah Indonesia pada akhirnya mengesahkan konvensi tersebut melalui
Keputusan Presiden No.5 Tahun 1989 tentang Pengesahan International
Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969. Beberapa hal utama yang
perlu diketahui dari International Convention on Tonnage Measurement of Ships
52
1969 adalah bahwa konvensi ini akan diterapkan pada kapal-kapal yang
digunakan untuk pelayaran-pelayaran internasional dan yang terdaftar di negara-
negara yang pemerintahannya ikut menandatangani konvesi tersebut (Pasal 3),
dan tidak akan berlaku bagi kapal-kapal yang panjangnya kurang dari 24 meter
(Pasal 4). Dengan demikian kapal-kapal yang memiliki panjang kurang dari 24
meter diatur oleh masing- masing negara.
Gross Tonnage (GT/isi kotor) kapal berdasarkan International Convention
on Tonnage Measurement of Ships 1969 (Konvensi Internasional Tentang
Pengukuran Kapal 1969) yang telah diratifikasi dengan Keppres No.5 Tahun 1989
tentang Pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships
1969, adalah ukuran besarnya kapal secara keseluruhan dengan memperhitungan
jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak
maupun di bawah geladak ukur.
Berdasarkan Keputusan Peraturan Pengukuran Kapal 1927 (Scepmentings
Ordonantie 1927) pasal 32 Ayat (2) disebutkan bahwa ukuran isi kapal atau
kendaraan air adalah dalam meter kubik (m3 ) dan dalam ton-register (Register
Ton/RT). Jumlah ton-register didapat dengan cara mengalikan jumlah meter kubik
dengan bilangan 0,353. Dengan demikian bilangan 0,353 merupakan nilai
konversi dari meter kubik ke ton-register. Bilangan ini diperoleh berdasarkan
ukuran satuan kaki (feet) Inggris. Dimana : Satu feet = 30.479 cm, Satu feet kubik
= 0,02831405 m3 100 feet kubik = 2,831405 m3. Satu meter kubik = 0,353 RT
(Register Ton).
Cara pengukuran Internasional adalah berdasarkan ketetapan yang ada
dalam Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal (International
Convention on Tonnage Measurement of Ships) 1969, dimana GT kapal
ditentukan sesuai dengan rumus berikut :
GT = K . V
Keterangan :
V = Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup yang dinyatakan dalam meter kubik.
53
K1 = 0,2 + 0,002 log 10 V (atau nilai K; merupakan koefisien yang diperoleh dari
hasil interpolasi linier/berupa tabel).
Penggunaan rumus ini menghasilkan ukuran isi kapal dengan satuan meter
kubik. Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (V) sebagaimana tersebut di diatas
merupakan ruangan-ruangan yang terdapat di bawah geladak ukur maupun di atas
geladak ukur. Pengukuran ruang-ruang tertutup berdasarkan peraturan
internasional pada intinya ada dua, yaitu dengan mengalikan panjang, lebar dan
tinggi suatu ruangan untuk mendapatkan volume ruangan berbentuk segi empat
dan menghitung volume bagian per bagian dari suatu ruangan yang berbentuk
tidak beraturan dengan cara pengukuran menurut MOORSOM atau dalam bidang
naval architec dikenal cara penghitungan dengan menggunakan Sympson's Rules.
Pengukuran menurut MOORSOM ini adalah dengan cara menghitung volume
suatu ruangan tertentu yang tidak beraturan dengan terlebih dahulu membagi
ruangan-ruangan tersebut menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Kemudian
ruangan-ruangan kecil tersebut dihitung volumenya bagian per bagian dan baru
kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan volume total ruangan tersebut.
Sebagai ilustrasi, perhitungan ruangan menurut MOORSOM dapat dilihat pada
Gambar 3.
54
Gambar 3. Metode Moorsom / Sympson’s Rules
55
3.8.4 Metode Analisis Spesifikasi Kapal dan Alat Tangkap Ikan
Kapal Perikanan sesuai dengan undang- undang terbaru mengenai Perikanan
No. 31 Tahun 2004 disebutkan bahwa kapal, perahu atau alat apung lain yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan,
pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan.
Armada penangkapan ikan adalah merupakan kesatuan sarana penangkapan
ikan yang meliputi kapal perikanan yang terdiri dari kapal penangkap ikan, dan
alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan ikan baik alat perlengkapan
di atas kapal maupun alat bantu operasional penangkapan ikan yang bertujuan
untuk mengumpulkan ikan seperti rumpon atau lampu pengumpul ikan.
Secara struktural, armada penangkapan ikan dibedakan menurut kategori
besarnya ukuran kapal perikanan yaitu armada tradisional dan modern. Armada
penangkapan ikan tradisional umumnya terdiri dari perahu tanpa motor, perahu
motor tempel sampai dengan kapal motor tidak lebih besar dari 30 GT. Armada
penangkapan ikan modern menggunakan kapal motor di atas 30 GT dan
dilengkapi pula dengan berbagai alat bantu penangkapan ikan yang sarat dengan
muatan teknologi penangkapan dan pengolahan pasca panen hasil perikanan.
Menurut cara operasional, armada penangkapan ikan diklasifikasikan
berdasarkan jenis alat penangkapan ikan yang digunakan. Bila dilihat dari segi
oseanografi, keadaan topografi dasar perairan, banyaknya jenis-jenis ikan, udang
dan biota lainnya dengan tingkah laku dan sifat yang berbeda-beda, sudah tentu
memerlukan alat penangkap dan cara penangkapan yang berbeda-beda pula di
dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.
Di Indonesia, banyak terdapat jenis alat penangkap, baik untuk ikan, udang
maupun biota la ut lainnya. Beberapa alat penangkap sederhana yang telah lama
diusahakan secara tradisional oleh nelayan di Indonesia, antara lain : tombak,
sero, bubu, pancing dan jala. Kemudian menyusul alat penangkap lain, seperti :
berbagai jenis pukat kantong dan berbagai jenis jaring insang. Dalam
perkembangan lebih lanjut kemudian muncul alat penangkap yang lebih produktif
dan efisien, seperti pukat udang, pukat cincin, rawai, huhate dan lain, sebagainya.
56
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan
Perikanan Indonesia telah mengklasifikasikan berbagai macam alat penangkap
yang ada di Indonesia ini ke dalam sepuluh (10) kelompok, yaitu : (1) Pukat
udang ; (2) Pukat cincin ; (3) Pukat kantong ; (4) Jaring insang ; (5) Jaring angkat
; (6) Pancing; (7) Perangkap ; (8) Alat pengumpul kerang dan rumput laut ;
(9) Muro-ami, termasuk soma mallalugis dan (10) Alat penangkap lainnya.
57
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Profil
Data geografis dari Provinsi Maluku Utara dengan Ibukota di Ternate
berada antara 1240 -1300 Bujur Timur dan antara 30 Lintang Selatan sampai 30
Lintang Utara, dan dilewati oleh Garis Khatulistiwa.
Berbatasan langsung dengan :
• Utara - Laut Pasifik
• Selatan - Laut Seram
• Timur - Provinsi Irian Jaya
• Barat - Pulau Sulawesi
59
delapan pulau : Ternate, Moti, Hiri, Mayau, Tifure, Maka, Mano dan Burida. Tiga
pulau terakhir tidak berpenghuni.
Kota Ternate terdiri dari 4 Kecamatan yaitu masing- masing (1) Kecamatan
Ternate Utara dengan 17 Kelurahan, (2) Kecamatan Ternate Selatan dengan 19
Kelurahan, (3) Kecamatan Pulau Ternate dengan 21 Kelurahan dan (4) Kecamatan
Moti dengan 6 Kelurahan sehingga jumlah Kelurahan di Kota Ternate adalah 63
Kelurahan.
60
Sekitar 14.000 nelayan di lokasi konflik telah kehilangan alat-alat produksi,
sehingga diperlukan kegiatan untuk menunjang kehidupan mereka, berupa
bantuan pengadaan perahu, alat tangkap ikan yang hilang atau dirampok pada saat
kerusuhan. Propinsi Maluku Utara kehilangan produksi ikan disebabkan karena
jumlah perahu dan alat tangkap berkurang jumlahnya dan mengakibatkan
berkurangnya ikan yang di konsumsi keluarga dan yang tersedia di pasar-pasar
lokal.
Hal tersebut diatas dipandang menimbulkan dampak yang kurang
menguntungkan bagi kehidupan nelayan di sekitarnya. Untuk itu pemerintah
mencoba memberikan beberapa bantuan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup nelayan serta memulihkan kembali taraf kehidupan mereka yang sesuai
dengan kondisi sebelumnya.
Perikanan tangkap merupakan salah satu prime mover karena kontribusinya
cukup besar yaitu sebesar 86,44 % dari total produksi, dengan berbagai jenis hasil
tangkapan berupa ikan konsumsi bernilai ekonomis penting diantaranya ikan
pelagis besar seperti cakalang (Katsuwanus pelamis), tuna (Thunnus sp), tongkol,
cucut dan berbagai jenis pelagis kecil seperti kembung (Rastreliger kanagurta)
layang (Decapterus), tembang (Sardinella spp), selar (Selparoides spp) dan teri.
Beberapa jenis ikan demersal yang diusahakan oleh masyarakat nelayan antara
lain kerapu (Ephinepelus spp), ekor kuning (Caesio spp), beronang (Siganus spp),
kakatua (Scarus spp), kakap (Lates spp) serta jenis lainnya yang belum
dikomersilkan dan masih terbatas.
Hasil identifikasi jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan disekitar
perairan pantai terdapat 98 jenis ikan, 74 diantaranya bernilai ekonomis penting,
20 jenis telah dikomersilkan termasuk didalamnya cumi- cumi (Loligo sp), teri
(Stelophorus spp), nener, bandeng serta 12 jenis ikan hias ekosistem terumbu
karang (Dinas Kelautan Propinsi Maluku Utara, 2004).
Produksi ikan terbesar di Maluku Utara adalah ikan cakalang, yang
ditangkap dengan alat tangkap pole and line, seperti terlihat pada Tabel 10.
61
Tabel 10 Produksi tahunan menurut jenis ikan dan jenis alat tangkap terpilih di
Maluku Utara
62
5000
4500
4000
3500
Produksi (ton)
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Kerapu Kakap Ekor Kembung Tenggiri Tuna Cakalang Tongkol Layang Selar Kuwe
kuning
Jenis alat tangkap
Tahun 2004 Tahun 2005
Tabel 12 Produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di Kota Ternate
No. JENIS ALAT TANGKAP 2004 (Ton) 2005 (Ton)
1 Purse Seine 129,70 281,47
2 Gillnet 70,88 206,10
4 Pole and Line 1920,44 3915,66
5 Bottom Handline 227,45 306,07
63
4500
4000
3500
3000
Produksi (ton)
2500
2000
1500
1000
500
0
Purse Seine Gillnet Pole and Line Bottom Handline
64
(3) Sula : Februari – April dan September – Desember
(4) Morotai : Januari – April dan September – Nopember
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Ternate
Bacan
Sula
Morotai
Daerah tangkapan untuk pelagis kecil dan demersal di perairan Maluku Utara
adalah :
(1) Teluk Kao : Kembung, teri dan bambangan
(2) Gane Barat dan Timur : Kakap merah, kerapu, bambangan, biji nangka
(3) Bacan : Kakap merah, kerapu, bambangan, swanggi,
lencam, gulama dan layang.
(4) Morotai : Kerapu, kakap, bambangan, kuwe dan kembung
(5) Kayoa : Layang dan ekor kuning
(6) Loloda : Kakap merah, bambangan, kembung
(7) Wasilei : Teri, julung-julung dan kembung
Musim penangkapan untuk Pelagis kecil dan ikan demersal dilakukan sepanjang
tahun Untuk daerah tangkapan yang bukan ikan adalah :
(1) Loloda : Cumi-cumi, teripang dan sput
(2) Teluk Kao : Ubur- ubur, teripang, siput dan cumi-cumi
(3) Bacan : Ubur- ubur, teripang dan budidaya mutiara
(4) Taliabu Barat : Cumi-cumi, rumput laut dan teripang
(5) Morotai : Rumput laut dan teripang
(6) Wasilei : Ubur- ubur dan teripang.
65
(2) Morotai dan Loloda : Angel fish, morishidol, triger fish
(3) Bacan, Gane, Obi dan Kayoa : Angel fish, morishidol, triger fish
(4) Buli dan Patani : Angel fish, morishidol, tiger fish.
66
Tabel 13 Kapal motor menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate
80
70
60
Jumlah (unit)
50
40
30
20
10
0
0-5 5-10 10-20 20-30
Kapal Motor (GT)
Tahun 2004 Tahun 2005
67
40
35
30
Jumlah (unit)
25
20
15
10
0
Purse Seine Gillnet Pole and Line Bottom Handline
Jenis alat tangkap
2) Prasarana perikanan
Prasarana perikanan yang ada di Propinsi Maluku Utara sampai saat ini
terdiri dari :
(1) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang sekarang telah dinaikkan statusnya
menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Kota Ternate, memiliki
luas lahan keseluruhan berkisar 40.000 m² dengan fasilitas yang tersedia
berupa : perkantoran dan perumahan karyawan, dermaga sepanjang 560 m²,
cold storage, pabrik es kapasitas 5 ton, bengkel seluas 200 m², balai
pertemuan nelayan seluas 100 m², tempat pelelangan ikan dengan luas 500 m²
dan fasilitas lainnya.
(2) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Bacan Kabupaten Maluku Utara memiliki
luas lahan yang cukup memadai yaitu seluas 60.000 m² dengan fasilitas
amtara lain : perkantoran dan mess operator, dermaga sepanjang 462 m,
tempat pelelangan ikan seluas 270 m², fasilitas pendukung dari PT. Usaha
Mina seperti cold storage, bengkel, docking, brain freezer.
(3) Pangkalan Pendaratan Ikan Tobelo Kabupaten Maluku Utara memiliki luas
lahan keseluruhan 30.000 m² dengan fasilitas yang tersedia berupa :
perkantoran dan rumah dinas, dermaga sepanjang 240 m, tempat pelelangan
68
Ikan seluas 200 m², balai pertemuan nelayan sebesar 80 m² dan 1 buah
bengkel seluas 50 m².
(4) Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan sebanyak
1(satu) buah di Kota Ternate.
(5) Dempond Tambak di Jailolo Kabupaten Maluku Utara
(6) Perusahaan BUMN maupun swasta nasional yang memiliki prasarana
Perikanan di Provinsi Maluku Utara berupa cold storage, pabrik es untuk
penangkapan dan budidaya antara lain : PT. Usaha Mina, PT. Bangun Karya
Sejati di Bacan, PT. Prima Reva Indo di Morotai, dan PT. Ocean Mitra Mas.
69
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelemahan
71
Tabel 16 Matrik Faktor Strategi Eksternal Pengembangan Armada Kapal Ikan
yang Bertanggung jawab
Eksternal A B A xB
Peluang
P1 Permintaan ikan meningkat baik pasar lokal,
0,10 4 0.40
regional dan luar negeri
P2 Peningkatan dan penambahan kapal ikan 10
0,10 3 0,30
GT dengan alat tangkap Pole & Line
Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan
P3 kaleng atau ikan beku untuk ekspor ataupun 0,05 3 0,15
konsumsi dalam negeri
P4 Perlu adanya pengadaan cold storage 0,10 3 0,30
P5 Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda
0.05 4 0.20
untuk peningkatan usaha perikanan
Kebijakan tentang teknologi tepat guna pada
P6 armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan 0.10 4 0.40
dan kualitas ikan
Ancaman A B AxB
A1 Batas – batas daerah penangkapan belum
0,10 4 0.40
diterapkan
A2 Beroperasinya armada kapal ikan asing baik
0,10 3 0,30
yang legal/illegal
A3 Selektifitas alat tangkap belum diterapkan 0,05 3 0,15
A4 Persaingan harga ikan dipasaran lokal dan
0,10 3 0,30
regional
A5 Pemakaian bahan peledak oleh beberapa
0.05 4 0.20
sebagian nelayan
A6 Belum dibatasinya ukuran minimal mata jaring
0.10 4 0.40
dari alat tangkap yang digunakan
72
• Kebijakan LA, kebijakan yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat
defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta
menghindari ancaman.
73
Tabel 18 Matrik Penyusunan Rangking dalam Analisis SWOT pada
Pengembangan Armada Kapal Perikanan yang Bertanggung Jawab
Peluang (K1, K2, K3, P1, P2 dan P3). (L2, L3, P1 dan P2).
(Opportunity) (K5, K6, P4, P5 dan P6). (L4, P4 dan P6).
74
2) Penerapan Strategi Pengembangan
Bertolak pada matrik keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis
SWOT, maka dapat ditentukan strategi dan kebijakan pengembangan perikanan
tangkap khususnya untuk ikan pelagis di Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai
berikut :
75
Strategi 3. (Masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan
skala kecil)
Penguatan struktur industri pengolahan industri perikanan adalah
peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri tuna perikanan
dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan
dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar
pihak dimana faktor utamanya adalah masuknya investasi dari luar untuk
peningkatan usaha perikanan skala kecil. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan
dalam hal ini yaitu pertama Industri : menjamin membeli ikan nelayan terutama
ikan tuna sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan,
membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis-ukuran- mutu, dan
jumlah kontrak, melakukan perluasan gudang penyimpan/cold storage, melakukan
pembinaan penanga n mutu pasca tangkap dan transportasi, serta membantu
mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik
jumlah maupun mutu; kedua Nelayan : melakukan penguatan kelembagaan
profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan
jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap
yaitu ikan tuna, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan
bisnis yang konsisten, dan yang terakhir Peran Pemerintah : pemerintah pusat
dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara
nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutu sumberdaya
manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait
dan industri perikanan.
Kebijakan masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan
pelagis bertujuan untuk lebih memajukan usaha perikanan tangkap. Dengan
adanya investasi dari luar tersebut, terutama investasi dari pihak swasta, yang
selama ini kurang memperhatikan nelayan nelayan di Ternate, maka diharapkan
mampu meningkatan usaha perikanan yang dijalankan oleh nelayan Ternate.
Untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan pelagis, diharapkan kita dapat
memperkecil kelemahan yang ada, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya)
pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang
76
selama ini tidak merata pada nelayan, dikaitkan dengan peluang yang ada pada
permintaan pasar lokal dan regional serta peningkatan armada kapal ikan.
Masuknya investasi dari luar ini diharapkan untuk penambahan modal
kepada nelayan untuk menangkap ikan, karena selama ini modal yang dimiliki
berasal dari nelayan itu sendiri. Penambahan modal oleh investor berarti
peningkatan usaha nelayan yang selama ini memiliki keterbatasan modal,
sehingga mereka menginginkan adanya penambahan modal yang lebih besar
untuk meningkatkan hasil tangkapan dan pendapatannya. Adapun pemberian
modal dapat disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) kepada kelompok
nelayan yang ada di daerah yang menjadi tujuan investasi.
77
Strategi 5. (Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk
menjaga mutu ikan).
Kebijakan dalam menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat
guna pada armada penangkap ikan di perairan, untuk menjaga mutu ikan pelagis,
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya
tertumpu pada penjualan ikan segar. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi
kelemahan modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap oleh nelayan dengan
memanfaatkan peluang dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung ikan
hasil tangkapan.
Pengadaan cold storage ditujukan untuk menampung ikan- ikan yang
tertangkap pada saat musim penangkapan terutama di daerah Tidore yang
memiliki alat tangkap pajeko dan alat tangkap pole and line. Selain itu di daerah
Tidore bukan hanya melakukan penangkapan ikan pelagis kecil, tetapi juga ikan
pelagis besar, dengan demikian pengadaan cold storage dapat menampung ikan
hasil tangkapan, baik ikan pelagis kecil maupun ikan pelagis besar yang
merupakan ikan ekonomis penting.
Pengadaan cold storage juga dimaksudkan agar ikan yang tertangkap
tersebut selain dapat dipasarkan di pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar
daerah (dalam lingkup regional), dan dapat diekspor ke luar negeri untuk ikan
pelagis besar (cakalang dan tuna).
78
Berdasarkan hasil pemantauan ke galangan kapal di Ternate yang dapat
dikatakan sebagai galangan kapal tradisional, terlihat bahwa kesan negatif seperti
diatas salah satu penyebabnya adalah karena kegiatan pengelolaan persediaan ini
belum berjalan dengan baik terutama dalam hal penerapan fungsi pengawasan,
baik dalam proses pengadaan barang dan material, penerimaan, penyimpanan,
pengamanan maupun cara mendistribusikannya ke bengkel-bengkel produksi.
Umumnya berbagai komponen dan material yang ada, penempatannya belum
terkonsentrasi di dalam gudang, sehingga disana-sini terlihat penumpukan barang,
kondisi ini tentu saja dapat menimbulkan hal- hal yang tidak diinginkan seperti
rusak, hilang yang pada akhirnya tentu akan mempengaruhi kapal yang dihasilkan
baik dari segi harga, kualitas maupun waktu penyerahan.
Kurang baiknya pengelolaan persediaan pada galangan kapal tradisional
memang dapat dipahami, karena sebagian besar dari galangan tersebut
pengelolaannya belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen (modern) secara
baik. Disamping itu keberadaan sarana dan prasarana yang ada di galangan juga
belum sepenuhnya dapat menunjang kegiatan pengawasan secara baik. Dengan
kondisi seperti itu tentu saja akan memberikan dampak negatif terhadap galangan
yang dapat mengakibatkan sulitnya mendapat order, padahal kontinuitas order
tersebut sangat menentukan maju-mundurnya galangan kapal tersebut terutama
untuk kapal perikanan.
79
Penerapan kebijakan ini ditujukan kepada nelayan yang memiliki perizinan
yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, sehingga
penambahan alat pengumpul ikan (rumpon) dan penangkapan ikan hanya
ditujukan kepada nelayan pemilik alat tangkap dan alat pengumpul ikan saja. Ini
dilakukan agar nelayan- nelayan yang tidak memiliki izin penangkapan di daerah
tersebut tidak dapat melakukan penangkapan.
Selain itu penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mencegah konflik yang
diakibatkan oleh perebutan penguasaan daerah penangkapan (fishing ground)
yang merupakan sumber mata pencaharian. Konflik ini dapat terjadi antar kelas
nelayan, maupun antar nelayan secara umum. Biasanya konflik ini terjadi antar
nelayan yang berada di luar daerah dengan nelayan yang berada di pulau Tidore
dan Moti.
Strategi 8. (Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan
yang ditetapkan).
Kebijakan menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan
bertujuan untuk lebih mengoptimalkan penangkapan dengan lebih memperhatian
ukuran minimal mata jaring agar ikan yang diperoleh pada saat penangkapan
sesuai dengan ukuran panjang standar ikan, sehingga ikan yang tertangkap
merupakan ikan yang telah melewati ukuran pertumbuhan. Kebijakan ini sangat
diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan ikan di perairan Maluku
Utara, agar tidak terjadi kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan (growth
overfishing).
Dalam merumuskan kebijakan ini strategi yang dimiliki mempunyai
hubungan yang erat antara kekuatan produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan
adanya dukungan nelayan skala kecil di Maluku Utara dengan ancaman dari
selektivitas alat tangkap yang belum diterapkan dan terjadinya over fishing pada
ikan pelagis kecil.
80
3) Pembahasan Strategi Pengembangan
81
5.2 Analisis Kebijakan
82
tembang (Lutjanus johni), ikan kerong-kerong (Saurida tumbil). Khusus untuk
ikan kerapu baru dikembangkan dua areal budidaya dan penangkapan dengan
sistem Keramba Jaring Apung (KJA), sedangkan jenis ikan dasar lainnya
mengandalkan pasar lokal.
Kota Ternate merupakan kota kepulauan yang terdiri dan 8 (delapan) pulau
dan kesemuanya merupakan pulau-pulau kecil. Karakter masing- masing pulau
sangat berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya. Lima pulau berpenghuni
diantaranya yaitu Pulau Ternate, Pulau Moti, Pulau Hiri, Pulau Tifure dan Pulau
Mayau dan tiga pulau yang tidak berpenghuni yaitu Pulau Mano, Pulau Maka dan
Pulau Gurida. Perairan Kota Ternate memiliki berbagai jenis ikan hias pada
perairan Pulau Hiri, Moti, dan Pulau Ternate dan yang dominan adalah jenis
Zanclidae (ikan bendera), Scorpaenidae (ikan lepu) dan jenis Chaetodontidae
(ikan kepe-kepe). Jenis-jenis ikan hias tersebut sangat indah dan bernilai
ekonomis, namun diusahakan secara sederhana dengan mengandalkan pasar lokal.
Pulau Ternate merupakan pulau terbesar dari wilayah Kota Ternate dengan
luas daratan 992,12 km2 , dimana Kota Ternate merupakan Pusat Pemerintahan,
baik Pemda Kota Ternate maupun Pemda Propinsi Maluku Utara. Berdasarkan
data statistik, jumlah penduduk Pulau Terna te adalah 105.967 jiwa yang tersebar
pada keliling Pulau Ternate. Jumlah Kelurahan pada Pulau Ternate adalah
sebanyak 63 kelurahan, 54 kelurahan terletak pada bagian pesisir sehingga
umumnya kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diarahkan
pada pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan yang dominan
di Pulau Ternate antara lain :
(1) Ikan pelagis : ikan tuna, cakalang, layang, selar dan tongkol;
(2) Ikan demersal : kakap merah dan bambanga n, kerapu bebek, kerapu sunu dan
jenis lainnya;
(3) Danau : jenis ikan air tawar berupa ikan mas, nila dan mujair;
(4) Non Ikan : teripang dengan jenis teripang pasir, teripang gama, teripang
susu, kerang tiram, kima, udang lobster jenis bambu, hitam
dan mutiara.
Selain itu, wilayah Pulau Ternate juga terdapat hutan bakau (mangrove)
yang tumbuh pada beberapa kelurahan diantaranya di pesisir Kelurahan Mangga
83
Dua sampai ke Bastiong serta pesisir pantai Kelurahan Fitu, Gambesi dan Kastela
namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Oleh karena itu Pemerintah
Kota Ternate sekarang sedang melakukan rehabilitasi di beberapa wilayah pesisir.
Sesuai dengan kondisi geografis wilayah, Pulau Moti merupakan bagian dari
wilayah Kota Ternate yang memiliki spesifikasi tersendiri, ini dikarenakan
kondisi flora dan fauna yang tidak sama dengan pulau-pulau lainnya di Kota
Ternate. Pulau Moti yang luas keseluruhan wilayahnya 83.833 km2 . Sedangkan
Jarak Pulau Moti dengan Pulau Ternate adalah 11 mil laut, dimana rute perjalanan
harus ditempuh melalui lautan dengan transportasi motor laut selama kurang Iebih
2 Jam. Pulau Moti terbagi atas 6 kelurahan dengan jumlah penduduk 5140 jiwa
dengan mata pencaharian sebagian besar adalah nelayan dan petani. Hal ini
dikarenakan semua wilayah Kelurahan berada pada wilayah pesisir. Sesuai
dengan karakteristik Pulau Moti, bahwa para nelayan di daerah ini banyak yang
melakukan penangkapan dengan purse seine; handline, gill net, bubu dan pancing
tonda. Selain itu jenis ikan yang dominan di Pulau Moti antara lain ikan layang,
ikan tongkol, kuwe, cakalang, kerapu, dan berbagai jenis ikan demersal lainnya.
Pulau Hiri memiliki karakteristik tersendiri, dimana kondisi geografis
wilayahnya berhadapan dengan lautan bebas dan sebagian lagi bersebelahan
dengan Pulau Ternate dan Pulau Halmahera. Luas daratan keseluruhan dari pulau
ini adalah 7,31 km2 kondisi pulaunya berbatu dan air tanahnya payau, sehingga
untuk pengembangan pertanian kurang cocok, potensi yang cocok untuk
dikembangkan adalah perikanan. Kebiasaan para nelayan di Pulau Hiri dalam
upaya pemanfaatan sumberdaya lautnya adalah dengan melaksanakan upaya
penangkapan dengan sarana berupa kalase (muroami), mini purse seine, gill net,
pole and line, handline, pancing tonda dan bubu. Produksi yang dominan dan
dapat dikembangkan adalah jenis ikan tuna, cakalang, layang, dan ikan dasar
lainnya.
Pulau Tifure yang merupakan bagian wilayah dan Kecamatan Pulau Ternate
memiliki luas daratan kurang el bih 7 km2 dan dihuni penduduk sebanyak 712
jiwa. Pulau Tifure terdiri dari 2 kelurahan yang me rupakan pulau terjauh dari
ibukota dengan jarak 106 mil laut, dimana pulau-pulau ini merupakan alur migrasi
ikan pelagis besar dan kecil. Pulau Tifure secara geografis tidak berbeda jauh
84
dengan pulau sekitarnya seperti Pulau Mayau dan Pulau Hiri. Sumberdaya ha yati
yang paling dominan di pulau ini adalah untuk jenis ikan pelagis yaitu ikan tuna,
cakalang, layang, tongkol dan ikan dasar. Jenis ikan dasar adalah ikan kakap
merah, ikan gutila, ikan kuwe dan jenis ikan hias. Sedangkan produksi yang
paling dianggap dominan adalah jenis ikan layang, Kemudian untuk jenis
komoditi yang bisa dikembangkan adalah ikan tuna, cakalang dan layang.
Luas daratan Pulau Mayau kurang lebih 8,5 km2 dan berpenduduk kurang
lebih 1.510 jiwa. Masyarakat di kepulauan ini bermata pencaharian hampir sama
dengan masyarakat pulau Tifure yaitu sebagian besar nelayan dan petani. Potensi
perairan laut untuk Pulau Mayau sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap,
hal ini karena populasi Terumbu karang di perairan Pulau Mayau sangat luas dan
masih utuh atau alami. Sehingga di perairan kepulauan ini dijumpai jenis-jenis
ikan yang dominan seperti layang, komo/tongkol, cakalang dan tuna, ikan
hiu/cucut, ikan hias dan beberapa jenis ikan dasar. Dari segi pemanfaatannya
potensi sumberdaya alam pesisir dan lautnya juga termasuk masih rendah
sehingga masih sangat besar peluang untuk pengembangan upaya perikanan
tangkap. Armada dan sarana penangkapan yang digunakan para nelayan di
kepulauan ini juga masih tergolong tradisional, sehingga hasil produksi
tangkapannya masih rendah. Adapun armada dan alat tangkap yang selama ini
digunakan para nelayan dapat dirincikan sebagai berikut: perahu tanpa motor 27
unit, motor tempel 12 unit, kapal motor tidak ada. Sarana penangkapan yang
digunakan terdiri dari: mini long line 2 unit, purse seine / pajeko 2 unit, pole and
line 1 unit, gill net 6 unit, bubu 21 unit, pancing tonda 61 unit dan handline 39
unit.
Peningkatan produksi perikanan yang telah dicapai selama ini telah
meningkatkan konsumsi ikan per kapita nasional dari 19,98 kg per kapita pada
tahun 1998 menjadi 21,78 kg per kapita pada tahun 2001. Konsumsi ikan pada
masa yang akan datang, diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan
kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk
perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan otak manusia. Jika dibandingkan dengan
beberapa negara lain yang termasuk kedalam negara penghasil ikan dunia, maka
Indonesia adalah negara dengan konsumsi per kapita paling rendah, bahkan lebih
85
rendah dibandingkan dengan Philipina. Pada tahun 1990 saja, konsumsi per kapita
Philipina sudah mencapai 24 kg/kap/tahun. Sementara konsumsi per kapita Jepang
mencapai 110 kg/kap/tahun. Peningkatan konsumsi ikan per kapita, memiliki
korelasi dengan pendapatan per kapita suatu negara. Hal ini disebabkan
kemampuan daya beli masyarakat produk perikanan tergantung pada tingkat
pendapatannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar peluang untuk
mengkonsumsi produk pangan berprotein tinggi seperti ikan dan produk hasil laut
lainnya.
Konsumsi ikan di Kota Ternate pada tahun 2004 sebesar 7.074,90 ton,
menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2003, maka
kebutuhan konsumsi ikan lokal di Kota Ternate mengalami peningkatan sebesar
765,50 ton. Meningkatnya hasil tangkapan bagi nelayan secara langsung
berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, ini dilihat dengan tingginya
permintaan ikan dipasar lokal dengan harga ikan yang sangat tinggi..
Ketergantungan pada iklim dan lingkungan menyebabkan pendapatan nelayan
menjadi tidak menentu. Pendapatan nelayan ini diperkirakan akan menjadi lebih
kecil dengan adanya krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia. Hal ini
disebabkan karena meningkatnya biaya operasional dari sebelumnya, sementara
depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika tidak dinikmati oleh nelayan kecil,
karena pangsa pasar nelayan tradisional masih terfokus dalam negeri. Hal yang
berbeda justru dialami pengusaha perikanan yang berorientasi ekspor, dimana
nilai produksi perikanan mengalami peningkatan karena adanya depresiasi rupiah
terhadap dollar.
Selain dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasil
perikanan juga dipasarkan ke negara lain (ekspor) yang jumlahnya terus
meningkat. Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah
udang, tuna/cakalang, rumput laut, kerang-kerangan, kepiting, ki an hias, ubur-
ubur dan mutiara. Laju pertumbuhan ekspor perikanan Indonesia dalam kurun
waktu 1998-2001 sangat pesat. Pada tahun 1998 volume ekspor perikanan
Indonesia sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1,7 milyar dan meningkat
menjadi 703.155 ton dengan nilai US$ 1,74 milyar pada tahun 2000. Dengan
perolehan devisa sebesar US$ 1,74 milyar pada tahun 2000, Indonesia telah
86
menjadi negara penghasil dan pemasok ikan terbesar ke lima di Dunia. Sampai
saat ini volume dan nilai ekspor perikanan Indonesia masih didominasi komoditas
udang dan tuna/cakalang.
Ekspor ikan tuna/cakalang Indonesia selama kurun waktu 1998-2001
mengalami peningkatan. Volume ekspor tuna pada tahun 1998, mencapai 104.330
ton dengan nilai US$ 215,1 juta, diharapkan meningkat menjadi 105.793 ton
dengan nilai US$ 230,8 juta pada tahun 2001. Sebagian besar ekspor ikan tuna
Indonesia, masih dalam bentuk ikan segar. Upaya untuk memperoleh nilai tambah
melalui pengolahan bahan baku/ikan belum maksimal dilakukan eksportir
Indonesia.
Meski Indonesia mampu meningkatkan ekspor komoditas perikanan, namun
pertumbuhan itu masih diikuti dengan kenaikan impornya. Komoditas industri
pengolahan perikanan bukan bahan makanan, seperti lemak dan minyak ikan,
tepung ikan, tepung binatang berkulit keras/lunak masih mendominasi impor
komoditas perikanan Indonesia. Pada tahun 1998, impor untuk jenis komoditas ini
mencapai 46.088 ton dengan nilai mencapai US$ 33,5 juta. Angka impor
komoditas tersebut terus mengalami peningkatan pada tahun 1999 mencapai
volume impor sebesar 83.314 ton dengan nilai US$ 42,7 juta. Tahun 2000 volume
impor komoditas ini telah mencapai 59.308 ton dengan nilai US$ 31,9 juta.
Berarti sepanjang tahun 1998-2000 rata-rata impor Indonesia untuk komoditas
bukan bahan makanan mengalami kenaikan volume mencapai 25,98 % dan
kenaikan nilai rata-rata mencapai 1,73 %.
Kenaikan yang sama terjadi pada impor komoditas perikanan bahan
makanan, seperti ikan segar/beku, ikan dalam kaleng, agar-agar dan komoditas
bahan makanan lainnya. Bahkan pada tahun 2000, kebutuhan akan komoditas
perikanan bahan makanan terus mengalami kenaikan yang cukup berarti. Indikasi
ini dapat dilihat dari kenaikan volume impor komoditas perikanan bahan makanan
mencapai 15.016 ton dengan nilai US$ 19,3 juta pada tahun 1998, dan mengalami
kenaikan pada tahun 1999 mencapai volume 32,5 juta ton dengan nilai US$ 33,5
juta. Pada tahun 2000 angka volume dan nilainya tersebut mengalami kenaikan
lagi, hingga volumenya mencapai 40.472 ton dengan nilai US$ 34,8 juta. Jadi,
87
sejak tahun 1998-2000 impor komoditas bahan makanan perikanan rata-rata
mengalami kenaikan 70,49 % dengan kenaikan nilai mencapai 38,79 %.
Kenaikan impor bahan makanan tersebut umumnya disebabkan oleh
kebutuhaan pasokan untuk industri pengalengan ikan. Saat ini terdapat 24 pabrik
pengalengan ikan, diantaranya ada 13 pabrik bertujuan ekspor dengan kapasitas
terpasang 259 ribu ton yang memproduksi ikan kaleng dari sardine dan mackerel
(60 %), tuna (35 %), dan kepiting (5 %). Selama ini kapasitas produksi mereka
hanya mencapai 50 persen dari kapasitas terpasang. Faktor lain yang
menyebabkan meningkatnya volume impor adalah maraknya rumah makan asing
dan hotel yang memilih ikan impor (jenis ikan yang tidak hidup di perairan
Indonesia ) dalam memenuhi keinginan konsumen. Dengan demikian total volume
impor perikanan Indonesia mencapai 61.104 ton dengan nilai total US$ 52,5 juta
pada tahun 1998, naik sebesar 115.818 ton dengan nilai US$ 76,3 juta pada tahun
1999. Meski pada tahun 2000 volume impor mengalami penurunan menjadi
99.780 ton dengan nilai total mencapai US$ 66,7 juta, namun perkembangan
volume impor produk perikanan Indonesia dari tahun 1998-2000, secara
keseluruhan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 37,85 % dengan kenaikan nilai
total rata-rata mencapai 16,39 %. Komoditas tepung ikan masih merupakan
komoditas impor tertinggi, baik total volume maupun nilainya.
Dilihat dari neraca ekspor- impor produk perikanan di atas, jelas bahwa
surplus perdaga ngan komoditas perikanan Indonesia dari tahun 1998-2000
mengalami kanaikan rata-rata sebesar 1,13 %. Meski mengalami kenaikan rata-
rata impor, namun total neraca perdagangan ekspor- impor komoditas perikanan
Indonesia dari tahun 1998-2000, mengalami kenaikan. Pada tahun 1998 surplus
perdagangan perikanan Indonesia mencapai US$ 1,64 milyar, tahun 1999
mengalami surplus sebesar US$ 1,52 milyar dan pada tahun 2000 surplus
perdagangan mencapai US$ 1,67 milyar. Naiknya surplus neraca perdagangan
semakin membuktikan bahwa sektor perikanan tidak membebani neraca
pembayaran, sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh devisa.
Sebagai satu komoditas ekspor non migas, perikanan mempunyai peran
yang strategis dalam meningkatkan pendapatan devisa negara dan kesejahteraan
para nelayan. Peningkatan terhadap produk perikanan baik untuk pasar domestik
88
maupun pasar internasional, terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju
pertambahan penduduk, kenaikan pendapatan (income), terjadinya pergeseran
selera konsumen dari “red meat” menjadi “white meat ” serta menurunnya
konsumsi daging sebagai akibat dari merebaknya berbagai penyakit ternak seperti
BSE (bovine spongiform encephalopaty) dan penyakit mulut dan kuku.
Disamping itu akhir-akhir ini juga terlihat meningkatnya permintaan “organic
food” termasuk “organic fish” khususnya di negara-negara maju.
Dengan potensi sumberdaya perikanan yang cukup melimpah, Indonesia
mempunyai peluang yang baik untuk memposisikan diri sebagai produsen dan
eksportir utama produk kelautan dan perikanan. Akan tetapi, pengembangan
ekspor hasil perikanan dan kelautan dihadapkan kepada dua masalah utama, yaitu
hambatan tarif dan hambatan non tarif. Seharusnya globalisasi perdagangan dunia,
mengecilkan hambatan tarif dan non tarif. Justru disinilah letak permasalahan
yang dihadapi negara berkembang, yakni munculnya hambatan tarif dan non tarif
yang diberlakukan oleh negara- negara maju terkadang merupakan bagian dari
upaya mereka melindungi industri dan kepentingan ekonomi domestik mereka.
Adanya peningkatan devisa, menunjukkan bahwa sumber kekuatan cadangan dana
pemerintah semakin kuat yang akan mengakibatkan pemerintah dapat membiayai
operasional pembangunan tanpa tergantung pada hutang luar negeri.
Sejak tahun 2000 Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor
perikanan masuk sebagai perhitungan pendapatan negara dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan bukan pajak dari
sumberdaya alam disamping minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan
kehutanan. PNBP sektor perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan
(PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) serta pendapatan non sumberdaya
alam lainnya. Pengenaan pungutan perikanan didasarkan pada PP nomor 141
tahun 2000 dan 142 tahun 2000 serta penyempurnaannya berupa PP nomor 54
tahun 20002 dan 62 tahun 20002 yang diarahkan untuk mengakomodasikan
ketentuan mengenai pungutan perikanan bagi kapal berbendera asing.
Sampai dengan 24 Desember 20002 realisasi PNBP mencapai sebesar
Rp 258,156 milyar, yang terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan
Pungutan Hasil Perikanan termasuk dari PMA dan PMDN sebesar Rp 255,45
89
milyar, dan jasa Pelabuhan sebesar Rp 2,7 milyar. Dengan demikian perolehan
PNBP tahun 2002, baru mencapai 87,82 % dari target sebesar Rp 291,67 milyar.
Target tersebut bersumber dari kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera
asing, seperti terlihat pada Tabel 20.
Target Realisasi
Penerimaan Nilai SPP Pungutan
Sumber
Tahun 2002 yang di perikanan yang
terbitkan sudah dibayar
Kapal berbendera Indonesia 118,000 232,317 190,789
Kapal Berbendera asing 173,000 92,494 64,660
Total 291,000 324,811 255,449
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2002
90
(1) Ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable) untuk tempat
tinggal/permukiman dan beberapa kegiatan pembangunan; (2) Ketersediaan
sumberdaya alam untuk keperluan konsumsi dan proses produksi lebih lanjut;
(3) Kemampuan kawasan untuk menyerap/mengasimilasi limbah sebagai hasil
samping dari kegiatan manusia dan kegiatan pembangunannya; dan
(4) Kemampuan kawasan menyediakan jasa-jasa penunjang kehidupan (life
supporting systems) dan kenyamanan seperti udara bersih, air bersih, siklus
hidrologi, siklus hara, siklus biogekimia dan tempat-tempat yang indah serta
nyaman untuk rekreasi dan pemulihan kedamaian jiwa (spiritual renewal). Atas
dasar pengertian pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan, maka
secara ekologis terdapat persyaratan agar pengelolaan sumberdaya kelautan di
daerah dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Strategi
pembangunan kelautan tersebut adalah :
(1) Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara harus melakukan inventarisasi dan
pemetaan mengenai karakteristik, biofisik, potensi pembangunan (sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan), karakteristik dan dinamika sosio-kultural
masyarakat, dan aspek kelembagaan (institusional arrangements). Khusus
perihal informasi potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
hendaknya dilaksanakan secepat mungkin. Namun demikian tidak berarti
pelaksanaan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku Utara harus
menunggu terkumpulnya semua data dan informasi. Keduanya harus berjalan
paralel dan saling melengkapi;
(2) Atas dasar informasi dari langkah pertama, selanjutnya disusun peta tata ruang
pembangunan berkelanjutan yang terdiri atas kawasan preservasi, kawasan
konservasi dan kawasan pembangunan. Di dalam kawasan pembangunan
inilah diatur penempatan dan tata ruangnya untuk berbagai macam kegiatan
(sektor) pembangunan secara sinergis dan saling menguatkan. Untuk
menghindarkan timbulnya dampak negatif dari satu sektor yang dapat
melemahkan kinerja atau mematikan sektor lainnya, ma ka diperlukan
pengelolaan (mitigasi) dampak baik yang berupa dampak fisik (lingkungan),
sosial ekonomi maupun sosial budaya.
91
(3) Menyusun rencana investasi dan pembangunan atas dasar peta tata ruang yang
dihasilkan pada langkah kedua tadi. Sektor-sektor pembangunan dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar : (1) Sektor prasarana (social overhead capital)
dan (2) Sektor produktif (directly productive activities). Sektor produktif
adalah sektor-sektor pembangunan (ekonomi) yang langsung menghasilkan
barang-barang dan jasa-jasa (goods and services) yang diperlukan oleh
masyarakat, termasuk perikanan, pertanian. Kehutanan, pariwisata,
pertambangan dan energi, serta industri. Sedangkan sektor prasarana adalah
sektor-sektor yang tidak secara langsung menghasilkan barang dan jasa, tetapi
tanpa keberadaan sektor ini maka sektor produktif tidak mungkin berkinerja
secara efisien dan optimal. Sektor prasarana selanjutnya dapat dikelompokkan
menjadi sektor prasarana keras (hard-infrastructure sector), misalnya
permukiman dan prasarana wilayah dan perhubungan; dan sektor prasarana
lunak (soft-infrastructure sector) termasuk antara lain pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, agama, hukum, kelembagaan, iptek, dan pemberdayaan
perempuan;
(4) Menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Langkah
ini sangat penting dalam rangka menjamin pelaksanaan pembangunan
kelautan secara berkelanjutan. Untuk mengantisipasi dan meminimalkan
(mitigasi) dampak negatif yang akan muncul akibat berbagai kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, perlu dilakukan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara cermat dan benar.
Selanjutnya untuk menjamin kelestarian (sustainability) sumberdaya
perikanan laut, maka tingkat penangkapan total tidak melebihi Total
Allowable Catch (TAC) yang telah ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian
ilmiah yang seksama. Selain itu, teknologi penangkapan ikan (fishing boats
and fishing gears) yang digunakan harus ramah lingkungan sehingga tidak
mengancam kelestarian stok ikan maupun merusak habitatnya. Pemeliharaan
ekosistem pesisir utama (seperti mangrove, estuaria, padang lamun, dan
terumbu karang) sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) serta alur
ruaya (migratory routes) dari berbagai jenis ikan dan biota lainnya dari segala
bentuk perusakan harus dilakukan dengan seksama. Pengendalian pencemaran
92
baik yang berasal dari sumber-sumber pencemar di darat maupun di laut harus
dikerjakan secara serius guna memelihara kesehatan dan produktivitas
lingkungan pesisir dan lautan;
(5) Kebijakan dan program untuk menciptakan iklim investasi dan usaha
(bussiness environment) yang kondusif. Sudah menjadi pengetahuan umum
(public) bahwa krisis ekonomi yang belum kunjung berakhir adalah karena
semakin menurunnya aktivitas investasi dan usaha sektor riil. Hal tersebut
mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran, menurunnya
daya beli masyarakat, dan membengkaknya jumlah penduduk miskin. Kondisi
ini telah dan terus akan memicu berbagai bentuk tindak kekerasan,
kriminalitas, dan demonstrasi yang menjurus pada anarkisme. Penurunan
kegiatan investasi dan usaha sektor riil terutama disebabkan karena iklim
investasi dan usaha yang belum kondusif sebagai akibat dari : (1) Kurangnya
kepastian dan keadilan hukum; (2) Kondisi keamanan yang menghawatirkan;
(3) Etos kerja dan produktivitas SDM (tenaga kerja) yang relatif rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia; (4) Minimnya prasarana
pembangunan di daerah-daerah pesisir dan pulau-pulau kecil; (5) Kurangnya
dukungan permodalan kredit; (6) Kebijakan perpajakan dan berbagai macam
retribusi daerah yang memberatkan; dan (7) Perizinan dan birokrasi yang sarat
dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), sehingga menyebabkan
ekonomi biaya tinggi.
Daerah harus mampu membiayai operasional pembangunan dari dana yang
didapat dari potensi sumberdaya daerahnya sendiri, sehingga PAD mutlak digali
untuk kemakmuran dan kesejahteraan daerahnya sendiri.
Berdasarkan pola produksinya, tenaga kerja yang terjun ke kegiatan
produksi perikanan dibedakan menjadi dua macam, yakni : nelayan dan
pembudidaya ikan. Nelayan dikategorikan sebagai tenaga kerja yang melakukan
aktifitas produksinya dengan cara berburu ikan di laut atau melaut. Umumnya
mereka memiliki alat produksi utama seperti kapal dan alat tangkap ikan.
Kegiatan produksi nelayan tergantung pada musim ikan dan hasil produksinya
cenderung merupakan jenis-jenis ikan segar ekonomis penting, baik yang
tergolong ikan demersal, pelagis, crustacea, dan komoditi perikanan laut lainnya.
93
Perkembangan teknik penangkapan modern, terutama semenjak
diperkenalkannya motorisasi (modernisasi perikanan) telah membagi formasi
sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern.
Berdasarkan teknik dan alat-alat penangkapannya nelayan tradisional dan nelayan
modern. Berdasarkan teknik dan alat-alat penangkapannya nelayan tradisional
adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan
menggunakan kapal tanpa motor (KTM), tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan
modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang mapan, cenderung bersifat
subsisten, dan secara geneologi telah menekuni aktivitas tersebut secara turun
temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya
mengadopsi perkembangan teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi
citra satelit. Dukungan modal dan kelembagaan usahanya mapan, serta ciri-ciri
subsistem telah hilang. Usaha penangkapannya ditujukan semata- mata untuk
meraih profit secara maksimal.
Modernisasi perikanan ternyata tidak memilah formasi nelayan atas dasar
kepemilikan cara produksi, namun telah memilah pula nelayan atas dasar
kepemilikan alat produksi. Nelayan yang memiliki alat-alat produksi seperti kapal
dan modal digolongkan sebagai nelayan pemilik. Berbeda dengan nelayan yang
tidak memiliki alat produksi dan menjual tenaga atau keahliannya untuk
menangkap ikan, dikategorikan sebagai nelayan buruh. Klasifikasi nelayan
tersebut atas dasar teknik kepemilikan alat produksi itu masih dibedakan
berdasarkan kegiatan menjadi nelayan penuh, nelayan sebagai sambilan utama,
dan nelayan sebagai sambilan tambahan. Sampai dengan tahun 2000, jumlah total
nelayan Indonesia sekitar 2.486.456 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,21
% dibandingkan tahun 1999 dan dalam kurun waktu 1990-2000 telah mengalami
peningkatan sebesar 5 % per tahun. Nelayan berprofesi penuh pada tahun 2000
berjumlah 1.212.195 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,06 %
dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang
menjadi nelayan sambilan utamapun mengalami kenaikan 5,06 % dibanding tahun
sebelumnya atau berjumlah 911.163 orang pada tahun 2000.
94
Melihat laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, mengakibatkan
perlunya tambahan lapangan kerja yang cukup besar sehingga sektor kelautan dan
perikanan merupakan salah satu andalan untuk menyerap tenaga kerja tersebut.
Permasalahan utama yang sering dihadapi adalah ketersediaan modal. Ini
dicerminkan antara lain berupa keterbatasan kredit dengan persyaratan yang relatif
mudah untuk usaha agribisnis perikanan. Minimnya lembaga keuangan di daerah
kabupaten dan kecamatan, menjadi penyebab terhambatnya usaha perikanan di
daerah. Selama masa PJP I saja jumlah modal yang dikucurkan melalui investasi
pemerintah dan swasta di bidang perikanan hanya sebesar 0,02 % dari total modal
yang ada di sektor-sektor pembangunan. Kelangkaan modal ini telah
mengakibatkan kelangkaan alat dan faktor produksi pada sektor perikanan,
sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak pernah optimal.
Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi
dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan
dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan
pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan
memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam
pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama
teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap
kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan
terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor
produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi dalam menciptakan
output di bidang perikanan. Kemampuan menciptakan output ini akan mendorong
pembentukan permintaan, yang berarti meningkatkan permintaan efektif.
Hadirnya modal dalam kegiatan perikanan akan mendorong kehadiran teknologi
maju, pembentukan overhead social dan ekonomi, pembentukan jaringan bisnis
perikanan, pengendalian mutu serta efisiensi.
Selain itu, hal yang patut dicermati adalah permasalahan sumberdaya
manusia di sektor perikanan, khususnya dalam hal rendahnya tingkat pendidikan
dan keterampilan nelayan. Kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM)
perikanan, bagian terbesar nelayan berpendidikan rendah yaitu 70 % tidak tamat
Sekolah Dasar (SD) dan tidak sekolah, 19,59 % tamat Sekolah Dasar, dan hanya
95
0,03 % yang memiliki pendidikan sampai jenjang Diploma 3 dan Sarjana. Masih
sedikitnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM nelayan,
ABK, aparat pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari anggaran pemerintah, swasta,
atau stakeholders lainnya untuk mengucurkan dananya dalam peningkatan/
keahlian SDM kelautan dan perikanan.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potasium cyanida, menjadi
ancaman serius bagi perikanan tangkap, karena menunjukkan angka yang terus
meningkat setiap tahunnya. Kini kerusakan terumbu karang berada pada kondisi
yang amat memprihatinkan. Destructive fishing dengan menggunakan bom dan
potasium cyanida ini dipicu oleh semakin sempitnya lahan pencaharian nelayan
lokal di daerah tersebut, akibat pengkaplingan wilayah tangkapan nelayan lokal
oleh investor yang masuk. Juga hadirnya para penadah ikan jenis dilindungi.
Terjadinya kerusakan fisik dan habitat ekosistem perairan dapat dilihat pada
kondisi yang terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut.
Terumbu karang Indonesia dengan luas total sekitar 85.000 km² yang masih
berada dalam kondisi sangat baik hanya 6,20 %, kondisi baik 23,72 %, kondisi
sedang 28,30 %, dan kondisi rusak 41,78 %. Dari kondisi terumbu karang
tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat Indonesia memiliki kondisi
yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan
timur Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove dari
5,21 juta Ha menjadi 2,5 juta Ha. Penurunan luasan mangrove hampir merata
terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, maka
diperlukan peningkatan kapasitas dan kelembagaan kelautan dan perikanan
menjadi salah satu prioritas utama kebijakan sektor kelautan dan perikanan. Untuk
mendukung pengembangan kapasitas dan kelembagaan, maka berbagai kebijakan
yang ada perlu diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem
pengelolaan sektor kelautan dan perikanan serta meningkatkan kualitas
kelembagaan dan sumberdaya manusia pendukungnya.
96
a. Pengembangan Sistem Pengelolaan
Pengembangan sistem pengelolaan kelutan dan perikanan perlu diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan manajemen kelautan dan perikanan nasional
dengan penekanan pada empat aspek sebagai berikut:
(1) Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas sistem perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan sektor kelautan dan perikanan yang dilandasi
oleh prinsip keterpaduan. Prinsip keterpaduan tersebut mencakup keterpaduan
dalam menetapkan substansi dan ruang lingkup pengelolaan dan keterpaduan
dalam menetukan dan melaksanakan peran bagi para pihak terkait di setiap
tataran sistem pengelolaan;
(2) Meningkatkan peran para pihak terkait untuk menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan kewenangan, hak dan kewajibannya sejalan dengan
garis kebijakan yang berlaku;
(3) Menegakkan sistem penegakkan hukum yang efektif;
(4) Mengembangkan sistem pengelolaan kelautan dan perikanan yang mendukung
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi, yaitu suatu sistem yang
mendorong tumbuhnya investasi dan peranserta masyarakat di sektor usaha
kelautan dan perikanan. Hal ini perlu segera ditangani karena sampai sekarang
belum ada strategi nasional pembangunan kelautan dan perikanan yang
memberikan landasan konseptual pengelolaan kelautan dan perikanan.
b. Pengembangan Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia
Pengembangan Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia diarahkan untuk
meningkatkan kualitas kelembagaan sektor kelautan dan perikanan serta
sumberdaya manusia pendukungnya. Pengembangan kelembagaan meliputi
kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas lembaga-lembaga pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka
memainkan perannya secara efektif dalam sistem pengelolaan sektor kelautan dan
perikanan. Untuk menunjang kegiatan tersebut, pengembangan hubungan
kelembagaan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha akan dilakukan dengan
mengutamakan sistem kemitraan (public private partnership). Pengembangan
kelembagaan pemerintah harus menekankan pada pengembangan sistem dan
mekanisme hubungan Pusat dan Daerah dalam kerangka penerapan desentralisasi.
97
Selain itu, pengembangan kelembagaan juga mencakup pengembangan hubungan
kelembagaan nasional, regional dan internasional, terutama dalam rangka
memperkokoh sistem pengelolaan dan pengembangan peluang investasi dan
bisnis. Kualitas sumberdaya manusia akan ditingkatkan dalam rangka
memberdayakan sumberdaya manusia di jajaran pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat untuk mendorong pemanfaatan potensi sumberdaya alam laut dan
perikanan secara optimal. Pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk
meningkatkan aksestabilitas masyarakat terhadap sumberdaya alam laut dan
perikanan dan jasa-jasa kelautan dalam bentuk peningkatan keterampilan dan
pengembangan teknologi, termasuk sistem sistem pengelolaan yang
memungkinkan masyarakat untuk ikut serta menjadi pemain utama (shareholders)
dalam usaha kelautan dan perikanan.
Secara komprehensif, kelembagaan dipandang penting karena dapat
berperan dalam pengambilan keputusan baik untuk kegiatan investasi dan
kegiatan ekonomi lainnya, baik dalam bentuk individu atau sebuah organisasi
dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam
kelembagaan akan merubah gugus oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku
ekonomi sehingga keragaan ekonomi seperti produksi, kesempatan kerja,
kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pendapatan dapat berubah.
Sedangkan perubahan dalam teknologi, preferensi dan pendapatan menuntut
adanya perubahan dalam kelembagaan.
Kelembagaan sebagai organisasi dapat berupa lembaga- lembaga formal
seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Dinas
Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan, bank dan
sejenisnya, namun dari sudut pandang ekonomi, lembaga dalam artian organisasi
biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh
mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Pasar
dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal
aktivitas ekonomi dikoordinasikan secara administratif.
Dari dimensi sosial, sebagai aturan main kelembagaan dapat diartikan
sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang, dimana
ditentukan hak-hak mereka berupa perlindungan atas hak-haknya, hak-hak
98
istimewa dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, dipandang dari sud ut individu
dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
Kelembagaan dapat dicirikan kedalam tiga hal, yaitu: (1) Batas-batas
jurisdiksi; (2) Hak-hak kepemilikan baik yang berupa hak atas benda materi
maupun bukan materi; dan (3) Aturan representasi. Kelembagaan (institusi)
merupakan rule of the game dalam masyarakat, atau secara lebih formal
merupakan aturan yang membatasi dan membentuk interaksi manusia.
Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai himpunan aturan mengenai
tata hubungan diantara orang-orang dimana ditentukan hak-hak mereka, pelindung
atas haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya. Apabila dikelola dengan
baik, kelembagaan dapat berfungsi melancarkan pembangunan. Kelembagaan
memberikan ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak,
kewajiban dan tanggung jawabnya. Institusi merupakan aturan atau prosedur yang
menentukan bagaimana manusia bertindak, dan peran atau organisasi yang
bertujuan memperoleh status satu legitimasi tertentu. Peraturan dan peranan dapat
dilembagakan sebagai peraturan atau perundang-undangan dan sebagai organisasi
yang konkrit. Dalam uraian di atas nampak bahwa kelembagaan menjadi salah
satu faktor penting dalam berbagai hal termasuk dalam meningkatkan kapasitas
kelembagaan kelautan dan perikanan.
Dibandingkan dengan bentangan garis pantai, jumlah pulau dan luas
lautnya, prasarana dan sarana perikanan yang dimiliki Kota Ternate, masih jauh
dari optimal. Sebagai gambaran Thailand dengan garis pantai hanya 2.600 km
(1/35 dari panjang garis pantai Indonesia) memiliki sekitar 52 pelabuhan
perikanan yang sebagian besar memenuhi standar hygienes dan sanitasi
internasional. Dalam menunjang prasarana produksi perikanan maka kebijakan
Pernerintah Kota Ternate yang ditindak lanjuti oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Ternate dengan menetapkan kawasan sentra perikanan, dalam penetapan
kawasan sentra perikanan guna mendongkrak kinerja pemerintah dalam melayani
para nelayan dalam melengkapi persyaratan dan memberikan konstribusi bagi
nelayan guna menarik pendapatan asli daerah.
Untuk merealisasi semuanya diatas maka perlu kiranya dibangun prasarana
produksi yang memadai, maka pada Tahun 2004 Pemerintah Kota Ternate melalui
99
program dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate membangun prasarana
produksi perikanan seperti : Pengembangan Pabrik Es Kapasitas 5 Ton,
Pembuatan Pabrik Es (DIPDA-L), Pengembangan Balai Benih Ikan, Penyertaan
Modal Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir, Administrasi Penunjang
Kegiatan DAK-Perikanan dan Pengembangnan Pangkalan Pendaratan Ikan
(DAK-Perikanan).
Dari semua kegiatan diatas sumber dananya berasal dari APBD dan Dana
Alokasi Khusus (DAK-Perikanan), sedangkan kegiatan tersebut berlokasi di dua
Kecamatan yaitu Kecamatan Ternate Utara (Kelurahan Dufa-Dufa) dan
Kecamatan Ternate Selatan (Kelurahan Gambesi).
Program perikanan tahun Anggaran 2004 Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Ternate mengalami kenaikan yang sangat signifikan dan pada prinsipnya
merupakan kesinambungan kegiatan pada tahun sebelumnya dan merupakan daya
dukung dalam melaksanakan program Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Ternate, serta kebijakan pemerintah Kota Ternate. Adapun Program yang
dilaksanakan pada tahun 2004 adalah:
1. Program Pengembangan Produksi Perikanan
- Penyertaan Modal Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir
- Administrasi Penunjang DAK Perikanan
- Pengadaan Rumpon Ikan Pelagis Laut Dangkal
- Pengadaan Alat Tangkap Purse Seine (Pajeko)
- Pengadaan Bibit Ikan Mas dan Ikan Kepala Timah
- Pembangunan Gedung Pabrik Es (DIPDA- L)
- Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (DAK-Perikanan)
- Pengadaan Mesin Pabrik Es Kapasits 10 Ton (La njutan)
2. Program Peningkatan Mutu Hasil Perikanan
- Pengadaan Cold Box
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode AHP,
diperoleh hasil bahwa kriteria “penyerapan tenaga kerja” dalam pembangunan
perikanan tangkap khususnya di kota Ternate merupakan kriteria dengan nilai
tertinggi (skor 0,261), diikuti oleh kriteria “pendapatan nelayan” dengan skor
0,169. Hal ini berarti bahwa pembangunan perikanan tangkap di kota Ternate
100
khususnya dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja merupakan hal yang
paling penting dibandingkan dengan kriteria-kriteria lainnya. Sesuai dengan
kondisi di lapangan bahwa berdasarkan hasil pendataan penduduk Tahun 2003
adalah 148.946 Jiwa dan menunjukan kecenderungan peningkatan pada wilayah
tertentu, khususnya di wilayah Kota Ternate Utara dan .Kota Ternate Selatan.
Peningkatan ini disebabkan beberapa faktor yaitu urbanisasi dan migrasi yang
hampir sama.
Jumlah penduduk per wilayah Kecamatan Kota Ternate:
1. Kec. Kota Temate Utara : 60.285 Jiwa;
2. Kec. Kota Ternate Selatan : 66.535 Jiwa;
3. Kec. Pulau Temate :17.590 Jiwa;
4. Kec. Moti : 4.536 Jiwa;
Pertumbuhan penduduk Kota Ternate pada tahun 2003 sebesar 148.946 Jiwa
bila dibandingkan dengan tahun 2002 sebesar 120.865 Jiwa atau terjadi
pertumbuhan 1,22 %. Kenaikan ini disebabkan kembalinya para pengungsi dari
Manado dan Bitung, serta terjadinya eksodus para pendatang dan berbagai daerah
ke Kota Ternate.
Selain peningkatan penyerapan tenaga kerja, hal yang tidak kalah
pentingnya adalah peningkatan pendapatan nelayan. Sebagaimana permasalahan
nelayan pada umumnya di Indonesia, pendapatan mereka perlu ditingkatkan.
Adapun pada level kendala atau permasalahan, skor tertinggi diperoleh pada
atribut “prasarana umum” (0,296), yang selanjutnya diikuti oleh atribut
“kelembagaan” (skor 0,213). Hal ini berarti bahwa permasalahan yang paling
mendesak di Kota Ternate adalah mengenai prasarana umum yang disusul oleh
permasalahan kelembagaan. Sebagaimana diketahui, prasarana umum di Kota
Ternate khususnya yang berkaitan dengan fasilitas di bidang kelautan dan
perikanan sangat penting untuk dipenuhi kebutuhannya,seperti misalnya
pembangunan cold storage, pabrik es, penambahan daya listrik, perluasan fasilitas
pelabuhan dan sarana pemasaran seperti pasar ikan. Dalam hal kelembagaan jelas
terlihat perlunya penambahan dan penguatan lembaga yang berkaitan dengan
pasar yaitu perlu dikembangkan lembaga pasar baik untuk menampung atau
memasarkan produk perikanan maupun lembaga keuangan mikro seperti bank
101
pasar, di lokasi penelitian perlu penambahan dan penguatan kelembagaan. Hal
lain yang juga patut menjadi perhatian adalah kelembagaan disatu sisi dan
organisasi disisi lain harus dibedakan dengan jelas, dimana organisasi adalah
structure of roles (struktur dari peran). Fauzi A, 2005 menyatakan beberapa tipe
kelembagaan dapat berbentuk organisasi, misalnya rumah tangga, koperasi, unit
usaha dan sebagainya. Di sisi lain ada pula kelembagaan yang bukan organisasi,
misal mata uang ataupun produk hukum dan perundang-undangan. Sebaliknya,
ada pula organisasi yang bukan merupakan lembaga, seperti organisasi grass-root.
Untuk permasalahan prasarana umum dalam pembangunan perikanan
tangkap di Kota Ternate, tujuan utama yang ingin dicapai adalah untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) (skor 0,323) sebagaimana terlihat
dalam Tabel 21. Tujuan selanjutnya adalah untuk meningkatkan pajak (skor
0,318) dan meningkatkan ketersediaan ikan sebagai sumber protein (skor 0,317).
Pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis dan potensi
sumberdaya alam dan tata lingkungan hidup belum dapat diselesaikan. Dengan
demikian, belum seluruh sumberdaya perikanan dan tata lingkungan diketahui
secara pasti. Disamping itu ketentuan yang menyangkut pembinaan sumberdaya
perikanan belum dilaksanakan secara optimal.
Untuk permasalahan kelembagaan di lokasi penelitian, diperoleh bahwa
tujuan utama yang ingin dicapai adalah meningkatkan pajak (skor 0,267), PAD
(skor 0,245), dan devisa (skor 0,220). Hal ini dikarenakan usaha perikanan pada
hakekatnya merupakan sektor kegiatan yang dilakukan swasta dan masyarakat,
dimana peran pemerintah hanya terbatas pada fungsi- fungsi pengaturan,
pembinan, penyediaan prasarana dan bila diperlukan mengadakan usaha-usaha
perintis.
Usaha peningkatan produksi dan produktifitas menuju pada peningkatan
pendapatan nelayan. Pendapatan nelayan senantiasa ditempuh melalui
peningkatan partisipasi nelayan melalui peranan fungsionalnya dibidang
pelayanan, penyediaan sarana produksi, kredit dan pengolahan serta pemasaran
hasilnya.
Setelah menelaah kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menentukan
kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate serta permasalahan-
102
permasalahan yang dihadapinya, maka alternatif kebijakan yang terpilih adalah
pembentukan pasar (skor 0,230), yang diikuti alternatif pembangunan fasilitas
pengolahan (skor 0,180) dan pembangunan prasarana pelabuhan (skor 0,170).
Kontributor tertinggi untuk alternatif kebijakan pembentukan pasar adalah
adanya permasalahan kelembagaan (skor 0,336). Pemasaran komoditas perikanan
di Kota Ternate, sebagian besar ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer
market). Kondisi ini mengakibatkan harga jual produk perikanan pada umumnya
atau seringkali kurang menguntungkan produsen (nelayan). Ada dua faktor utama
yang membuat pemasaran produk perikanan di Kota Ternate masih lemah, yaitu:
(1) Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang jenis dan
mutu komoditas perikanan; (2) Belum memadainya prasarana dan sarana sistem
transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian
(delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu.
Ikan dan produk perikanan adalah merupakan komoditas yang sangat mudah
busuk sehingga menuntut cara penanganan dan pengolahan yang cepat dan tepat
agar mutu dan kesegarannya tetap prima. Akan tetapi, sebagian besar ikan
ditangkap dari perairan yang cukup jauh dari tempat pendaratan atau lokasi
konsumen. Padahal sebagian besar nelayan adalah nelayan tradisional dengan
keterbatasan modal, skala usaha, keterampilan maupun peralatan. Akibatnya,
sebagian besar hasil tangkapan tidak ditangani dengan baik, dan pada waktu
didaratkan, mutunya sudah merosot, bahkan sebenarnya tidak cocok lagi untuk
dikonsumsi (not fit for human consumption).
Berikutnya, untuk alternatif kebijakan pembangunan fasilitas pengolahan,
prasarana umum merupakan kendala yang menjadi kontributor terbesar (skor
0,232) yang sekaligus menjadi kontributor tertinggi untuk alternatif kebijakan
pembangunan prasarana pelabuhan (skor 0,247). Terjadinya praktek-praktek
penanganan dan pengolahan ikan dengan kaidah-kaidah good handling practices
(GHP) dan good manufacturing practices (GMP) terutama disebabkan karena
tidak tersedianya fasilitas penunjang seperti air bersih, es dan garam di tempat-
tempat pendaratan.
103
Gambar 10 Hirarki kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate
104
Tabel 21 Hasil penilaian kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota
Ternate untuk tingkat 2 (kriteria) dan tingkat 3 (kendala)
Sumber Prasarana Model
Dana SDM SDA Kelembagaan Umum Weights
Suplai Protein 0,189 0,143 0,169 0,181 0,317 0,082
Pendapatan Nelayan 0,192 0,147 0,173 0,197 0,291 0,169
Profit Usaha 0,152 0,217 0,174 0,197 0,259 0,129
Devisa 0,153 0,148 0,193 0,220 0,287 0,094
Pajak 0,120 0,142 0,152 0,267 0,318 0,114
PAD 0,107 0,141 0,185 0,245 0,323 0,151
Penyerapan Tenaga Kerja 0,145 0,223 0,148 0,195 0,290 0,261
Results 0,149 0,174 0,168 0,213 0,296
105
2) Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan
Sebagai suatu sektor yang memanfaatkan sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources), idealnya sektor perikanan mampu mencapai hasil secara
berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku yang
bergerak serta terkait di bidang ini. Terdapat tujuh indikator kinerja (performance
indicators) yang dapat digunakan untuk melihat lebih jauh pencapaian hasil
pembangunan perikanan, yaitu: (1) Produksi perikanan; (2) Volume dan nilai
ekspor produk perikanan; (3) Pendapatan negara bukan pajak; (4) Konsumsi per
kapita; (5) Tenaga kerja; (6) Pendapatan nelayan; dan (7) Peraturan perundang-
undangan.
Peningkatan kontribusi sub sektor perikanan dalam menunjang peranan
serta laju pertumbuhan sektor perikanan dalam pembangunan nasional terutama
sekali dilaksanakan melalui peningkatan produksi perikanan yang berorientasi
pada perluasan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas tenaga kerja,
peningkatan nilai tambah, efesiensi usaha dan peningkatan pendapatan usaha
perikanan.
Dalam hal ini, pembangunan perikanan mempunyai harapan baik karena
potensi sumberdaya perikanan yang tersedia sangat besar dan sepenuhnya belum
dimanfaaatkan secara optimal. Bagi usaha penangkapan ikan di laut yang
berdasarkan usahanya pada sumberdaya perikanan yang merupakan milik bersama
(common property), pengembangan produksinya diarahkan pada pencapaian
pemanfaatan sumberdaya secara rasional untuk meningkatkan produktifitas usaha
nelayan, pengembangannya senantiasa diarahkan ke perairan yang masih
potensial, perairan lepas pantai dan ZEE. Selanjutnya usaha penangkapan akan
ditata kembali sehingga diharapkan kegiatan penangkapannya tidak melampaui
daya dukung dan sumberdaya yang tersedia dan tercapai rasionalisasi
pemanfaatannya.
Pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial
dilaksanakan metalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan dengan
menggunakan perahu motor tempel dan kapal motor berukuran kurang dari 10
GT.
106
Tabel 23 Perkembangan produksi perikanan dirinci menurut kecamatan pada
tahun 2002 -2004
4.500
4.000
3.500
3.000
Produksi (Ton)
1.000
500
0
2002 2003 2004
Tahun
107
Tabel 24 Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate dari tahun
2002 -2004.
900
800
700
Jumlah Armada (Unit)
600
500
400
300
200
100
0
2002 2003 2004
Tahun
Kapal Motor Motor Tempel Perahu Tanpa Motor
108
Kendala yang dihadapi pada kebijakan pengembangan armada penangkapan
ikan adalah permasalahan sumberdaya manusia di sektor perikanan, khususnya
dalam hal rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan. Kualitas
pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) perikanan, bagian terbesar nelayan
berpendidikan rendah yaitu 70 % tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tidak
sekolah, 19,59 % tamat Sekolah Dasar, dan hanya 0,03 % yang memiliki
pendidikan sampai jenjang Diploma 3 dan Sarjana. Masih sedikitnya perhatian
pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM nelayan, ABK, aparat pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari anggaran pemerintah, swasta, atau stakeholders lainnya
umtuk mengucurkan dananya dalam peningkatan/keahlian SDM kelautan dan
perikanan.
Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi
dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan
dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan
pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan
memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam
pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama
teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap
kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan
terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor
produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi dalam menciptakan
output di bidang perikanan. Kemampuan menciptakan output ini akan mendorong
pembentukan permintaan, yang berarti meningkatkan permintaan efektif.
Hadirnya modal dalam kegiatan perikanan akan mendorong kehadiran teknologi
maju, pembentukan overhead social dan ekonomi, pembentukan jaringan bisnis
perikanan, pengendalian mutu serta efisiensi.
Alat penangkap ikan pole and line dan purse seine, merupakan dua jenis alat
tangkap yang mampu menyerap tenaga kerja seoptimal mungkin. Kedua jenis alat
tangkap ini dapat dilakukan pengoperasiannya dengan sistem one day fishing.
Bagi usaha penangkapan ikan di laut yang berdasarkan usahanya pada
sumberdaya perikanan yang merupakan milik bersama (common property),
pengembangan produksinya diarahkan pada pencapaian pemanfaatan sumberdaya
109
secara rasional. Untuk meningkatkan produktifitas usaha nelayan,
pengembangannya senantiasa diarahkan ke perairan yang masih potensial.
Selanjutnya usaha penangkapan akan ditata kembali sehingga diharapkan kegiatan
penangkapannya tidak melampaui daya dukung dan sumberdaya yang tersedia dan
tercapai rasionalisasi pemanfaatannya.
Pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial
dilaksanakan me lalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan dengan
menggunakan perahu motor tempel dan kapal motor berukuran < 5 GT, 5-10 GT,
dan > 10 GT.
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode AHP,
diperoleh hasil bahwa kriteria “peningkatan penyerapan tenaga kerja” dalam
pengembangan armada penangkapan ikan khususnya di kota Ternate merupakan
kriteria dengan nilai tertinggi (skor 0,207), diikuti oleh kriteria “peningkatan
produktivitas penangkapan” dengan skor 0,154. Berikutnya adalah kriteria
penggunaan BBM yang rendah (skor 0,140). Dengan demikian Kota Ternate
memerlukan suatu alternatif kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan
yang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Selain itu juga diperlukan
alternatif kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan yang memiliki
produktivitas penangkapan yang tinggi, serta tidak memerlukan penggunaan
BBM yang tinggi. Sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa armada huhate dan
purse seine melakukan kegiatan penangkapannya di perairan pantai, yang masih
potensial sehingga jarak tempuh dari fishing base ke fishing ground relatif tidak
terlalu jauh. Hal demikian menyebabkan biaya operasional khususnya penggunaan
BBM untuk kedua jenis armada penangkapan tersebut me merlukan penggunaan
BBM yang tinggi.
Adapun permasalahan yang relatif penting untuk diselesaikan terlebih
dahulu dalam rangka pengembangan armada penangkapan di Kota Ternate adalah
masalah pelabuhan/PPI/TPI (skor 0,294), selanjutnya adalah mengenai kondisi
perairan (skor 0,205), diikuti oleh permasalahan jumlah galangan (skor 0,192).
Penyelesaian permasalahan mengenai Pelabuhan/PPI/TPI terutama diharapkan
dapat meningkatkan PAD, devisa dan penyerapan tenaga kerja, sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabel 25.
110
Tabel 25 Skor untuk kriteria dan permasalahan dalam kebijakan pengembangan
armada penangkapan ikan di Kota Ternate
Sumber Kondisi Jml Model
dana SDM perairan galangan Pelab./PPI/TPI Weights
Kelestarian SDI 0.128 0.19 0.199 0.221 0.262 0.138
Peningkatan Profit
Usaha 0.192 0.17 0.225 0.16 0.253 0.118
Peningkatan.Produktivit.
Penangkapan 0.151 0.224 0.224 0.172 0.228 0.154
Penggunaan BBM yg
rendah 0.123 0.191 0.253 0.157 0.276 0.14
Peningkatan PAD 0.112 0.138 0.182 0.202 0.366 0.124
Peningkatan Devisa 0.123 0.163 0.216 0.149 0.349 0.119
Peningkatan Penyerapan
Tenaga Kerja 0.108 0.16 0.16 0.246 0.326 0.207
Hasil 0.132 0.177 0.205 0.192 0.294
111
pemeliharaan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan Kota
Ternate. Pembangunan gala ngan kapal akan mengakibatkan penyerapan tenaga
kerja bagi Sumber Daya Manusia di Kota Ternate. Kapal-kapal yang terawat baik
akan memperkecil kecelakaan selama pelayaran, dan ketepatan dalam produksi
penangkapan. Diharapkan dengan produksi yang meningkat, berdampak pula pada
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dari kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menentukan kebijakan
pengembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate serta permasalahan-
permasalahan yang dihadapinya, maka alternatif kebijakan pengembangan armada
yang terpilih berturut-turut adalah : alat tangkap pole and line dengan bobot kapal
lebih dari 10 GT, pole and line dengan bobot kapal 5-10 GT, purse seine dengan
bobot kapal lebih dari 10 GT, dan prioritas keempat adalah rawai denga n bobot
kapal lebih dari 10 GT.
Pengembangan armada dengan bobot kapal > 10 GT sangat dimungkinkan,
karena sumberdaya perikanan Indonesia di perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi armada perikanan
laut nasional sampai tahun 2000 secara kuantitas sebenarnya cukup besar, yaitu
sekitar 449.518 unit. Hanya saja, komposisi dari armada kapal perikanan ini
didominasi oleh kapal-kapal kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk
meningkatkan produksinya. Dari jumlah kapal tersebut sekitar 51 % (230.867
buah kapal) merupakan kapal tanpa motor yang memiliki kemampuan terbatas,
dan hanya beroperasi di sekitar perairan pantai. Armada perikanan nasional yang
memiliki kemampuan besar (modern) hanya 21,6 %.
112
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN
GOAL BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
DI TERNATE, MALUKU UTARA
PL Rawai GN PS HL
5-10 GT 5-10 GT 5-10 GT 5-10 GT 5-10 GT
113
Tabel 26 Skor untuk alternatif dalam kebijakan pengembangan armada
penangkapan ikan di Kota Ternate
Sbr dana SDM Kondisi Jml Pelabuhan/
Perairan galangan PPI/TPI Bobot PRIORITAS
Bobot dari Akhir
kendala 0.132 0.177 0.205 0.192 0.294
PL < 5 0.054619 0.049850 0.063158 0.052815 0.054920 0.05527 11
PL 5-10 0.088321 0.081682 0.096491 0.085897 0.088101 0.08829 2
PL 10-30 0.092388 0.085886 0.100585 0.089959 0.092105 0.09237 1
Rawai < 5 0.045322 0.047447 0.046199 0.048172 0.050343 0.04790 12
Rawai 5-10 0.072051 0.075075 0.073099 0.074869 0.077231 0.07487 6
Rawai 10-30 0.074956 0.079279 0.077193 0.078932 0.081236 0.07879 4
GN < 5 0.040674 0.040841 0.035088 0.040046 0.037757 0.03858 15
GN 5-10 0.069146 0.069069 0.059649 0.067324 0.062357 0.06484 10
GN 10-30 0.072051 0.073273 0.063743 0.071387 0.066362 0.06876 9
PS < 5 0.042417 0.047447 0.049708 0.044689 0.044622 0.04589 13
PS 5-10 0.073213 0.080480 0.080117 0.074869 0.073799 0.07640 5
PS 10-30 0.077281 0.084685 0.084211 0.078932 0.077803 0.08048 3
HL < 5 0.045904 0.042643 0.036842 0.045270 0.046339 0.04348 14
HL 5-10 0.073213 0.069069 0.064912 0.071387 0.071510 0.06993 8
HL 10-30 0.078443 0.073273 0.069006 0.075450 0.075515 0.07416 7
114
5.3 Analisis Finansial
Tabel 27 Analisis Net Present Value (NPV) usaha perikanan berdasarkan jenis
alat tangkap
Tahun
Jenis Alat
Tangkap 10 15 20 30
NPV NPV NPV NPV
Purse Seine 271,778,669 359,269,807 428,784,501 412,514,944
Bottom Handline 87,055,226 116,361,823 136,786,784 157,089,321
Gillnet 30,913,893 47,118,501 60,170,560 69,038,908
Pole and Line 297,524,776 462,008,297 530,910,682 530,910,682
115
present value sehubungan dengan kriteria tersebut mempergunakan discount rate
yang sama. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan
diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap
4 (empat) jenis alat tangkap (Tabel 28), diketahui bahwa hampir semua jenis alat
tangkap memiliki nilai BC Ratio lebih dari 1. BC Ratio terbesar terdapat pada
jenis alat tangkap bottom handline sebesar 1,14; 1,14; 1,15; 1,15 berturut-turut
untuk masing- masing tahun perhitungan 10, 15, 20, 30 tahun.
Tabel 28 Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) usaha perikanan berdasarkan
alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara
Tahun
Jenis Alat Tangkap 10 15 20 30
BCR BCR BCR BCR
Purse Seine 1.05 1.09 1.06 1.06
Bottom Handline 1.14 1.14 1.15 1.15
Gillnet 1.04 1.05 1.06 1.06
Pole and Line 1.12 1.15 1.15 1.15
116
Tabel 29 Analisis Internal Rate of Return (IRR) usaha perikanan berdasarkan
jenis alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara
Tahun
Jenis Alat Tangkap 10 15 20 30
IRR IRR IRR IRR
Purse Seine 26.49% 27.43% 27.65% 27.69%
Bottom handline 38.17% 38.95% 39.00% 39.01%
Gillnet 14.00% 16.32% 16.78% 16.88%
Pole and Line 30.60% 32.13% 32.22% 32.25%
Dari empat jenis alat tangkap yang dianalisis, yang mempunyai nilai IRR
lebih besar dari bunga bank dengan discount rate 10 % adalah berturut-turut
bottom handline dengan IRR sebesar 38.17 %, Pole and Line dengan IRR sebesar
30.60 % dan purse seine dengan IRR 26.49 %, maka hanya 3 jenis alat tangkap
yang cukup layak untuk dijadikan suatu usaha yaitu bottom handline, pole and
line, dan purse seine.
4) Analisis Prioritas
Dari hasil analisis ekonomi yang telah dijelaskan diatas, dapat kita lakukan
analisis prioritas dari ke 4 jenis alat tangkap yaitu: bottom handline, pole and line,
gillnet dan purse seine (Tabel 30). Analisis prioritas dilakukan dengan
menggunakan skala 1 sampai 4 dimana nilai satu merupakan nilai terendah.
Hasil dari analisis prioritas ini digunakan untuk menentukan 3 besar alat
tangkap yang kemudian akan dilakukan analisa ekonomi berdasarkan Gross Ton
dari ketiga jenis alat tangkap tersebut.
117
Dari hasil analisis prioritas diatas dapat disimpulkan bahwa nilai tertinggi
terdapat pada jenis alat tangkap pole and line. Kemudian berturut-turut bottom
handline, dan purse seine. Untuk selanjutnya, ketiga jenis alat tangkap ini akan
dilakukan analisis yang lebih mendalam berdasarkan klasifikasi ukuran kapal
(Gross Ton/GT) yang dibagi menjadi 2 yaitu dibawah 10 GT dan 10 - 30 GT.
118
berdasarkan hasil analisis finansial, baik IRR, BCR maupun NPV memberikan
nilai yang lebih baik.
Kenaikan BBM per tanggal 1 Oktober 2005 menimbulkan dampak yang
sangat luar biasa di berbagai sektor kehidupan dimana banyak sekali persoalan-
persoalan yang semakin rumit untuk dipecahkan. Salah satunya adalah biaya
operasional melaut semakin meningkat baik untuk usaha perikanan skala kecil
sampai dengan usaha dengan usaha perikanan skala yang besar. Bila dilihat dari
prosentase kenaikan BBM khususnya solar, kenaikannya melebihi 100% yaitu
dari Rp. 2100/liter menjadi Rp. 4300/liter jelas ini mengakibatkan biaya
operasional meningkat tajam. Dalam penelitian ini juga dihitung kenaikannya
dilihat dari kenaikan BBM dan harga ikan naik rata-rata 10 %, ini disebabkan
sampai dengan Desember 2005 ternyata harga ikan di Kota Ternate yang
diharapkan sebagai revenue cost meningkat tetapi ternyata hanya meningkat rata-
rata 10 % saja, dengan kata lain pendapatan masyarakat di Kota Ternate belum
beranjak menuju perbaikan yang menggembirakan. Tabel 32 menunjukkan
kenaikan harga rata-rata ikan layang dari bulan Oktober sampai dengan Desember
2005 yang tinggi sebesar 42,29 %, yang diikuti dengan kenaikan harga rata-rata
ikan cakalang periode yang sama yang cukup tinggi sebesar 22,35 %. Kenaikan
terendah terjadi pada kenaikan harga rata-rata ikan kakap merah sebesar 3,37 %.
Dari hasil observasi langsung, kenaikan harga ini disebabkan permintaan terhadap
ikan-ikan tersebut tetap tinggi sedangkan pasokan ikan berkurang karena hampir
30 % armada yang ada tidak dapat melaut yang disebabkan karena biaya
operasional khususnya BBM solar meningkat lebih dari 100%. Selain kenaikan
harga ikan disebabkan permintaan yang tinggi, kenaikan tersebut disebabkan pula
pasokan/permintaan ikan layang untuk keperluan ekspor ke Philipina melalui
Kota Bitung permintaannya meningkat sehingga harga rata-rata ikan layang
menunjukkan kenaikan hingga 42,29 %.
119
Tabel 32 Kenaikan harga ikan akibat kenaikan BBM
Harga ikan rata-rata/kg (Rp) Rata-rata
No Jenis ikan Okt Nop Des kenaikan (%)
1 Tongkol 6000 8000 7333,33 12,5
2 Layang 4333,33 6333,33 8766,67 42,29
3 Cakalang 7333,33 10000 10833,33 22,35
4 Tuna 10000 12000 14000 18,33
5 Kembung 5333,33 7333,33 7666,67 21,02
6 Kakap Merah 10333,33 11333,33 11000 3,37
Sumber : Data primer PPN Ternate (2005), diolah
Untuk melihat dampak kenaikan harga BBM dan harga ikan terhadap
kelayakan usaha penangkapan, maka perhitungan difokuskan hanya untuk jenis
kapal beserta alat tangkap yang sudah terpilih yaitu Kapal Pole and Line 10 – 30
GT, Kapal Purse Seine 10 – 30 GT dan kapal Bottom Handline = 10 GT. Dari
hasil perhitungan (Tabel 33) diperoleh hasil bahwa ketiga alat tangkap tersebut
menunjukkan nilai IRR, B/C Ratio dan NPV yang signifikan atau dapat dikatakan
layak untuk diusahakan walaupun dengan harga BBM yang cukup tinggi. Untuk
sementara waktu sambil menunggu situasi ekonomi stabil dan daya beli
masyarakat dapat meningkat maka armada kapal bottom hand line = 10 GT dapat
menjadi prioritas pertama untuk dikembangkan dikarenakan tingkat kelayakan
usahanya lebih menjanjikan dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat,
kemudian diikuti dengan armada pole and line 10 – 30 GT dan selanjutnya
armada purse seine 10 – 30 GT.
Tabel 33 Analisis finansial dengan harga BBM per 1 Oktober 2005 dan denga n
harga ikan naik rata-rata 10 %
120
Dampak lainnya akibat kenaikan harga BBM adalah berkurangnya armada
penangkapan ikan melaut sebanyak kurang lebih 30 %, hal ini dapat terlihat pada
pasokan BBM solar yang terjual di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate pada
bulan Nopember dan Desember 2005 yang turun sebesar kurang lebih 30 %
menjadi 72 Ton dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum kenaikan harga BBM
solar yang dapat menjual solar sebanyak 96 Ton sampai 100 Ton per bulannya
(Gambar 16).
120
100
Solar terjual (ton)
80
60
40
20
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des
121
5.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries
Code of Conduct for Responsible Fisheries diperlukan sebagai upaya sadar
dan berencana didalam mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkesinambungan. Sasaran pembangunan perikanan tangkap
baik di tingkat nasional maupun internasional adalah untuk meningkatkan mutu
hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup.
Ketentuan perikanan yang bertanggung jawab, diharapkan dapat dipergunakan
sebagai pedoman untuk me laksanakan kegiatan perikanan yang berwawasan
lingkungan.
Untuk menjamin kemungkinan terbaik penyediaan ikan guna generasi
mendatang, maka semua yang terlibat pada perikanan tangkap di perairan Maluku
Utara hendaknya bekerja sama untuk melindungi dan mengelola sumberdaya ikan
dan habitatnya. Tujuan sebenarnya yang akan dicapai dari analisis Code of
Conduct for Responsible Fisheries adalah untuk membantu pemerintah
mengembangkan atau memperbaiki kebijakan perikanan tangkap.
Sebagaimana diketahui, bahwa pengembangan dari kebijakan perikanan
tangkap yang baik hendaknya mempunyai kebijakan penangkapan ikan yang jelas
dan teratur. Kebijakan perikanan tangkap dikembangkan dengan cara bekerjasama
semua kelompok yang mempunyai kepentingan.
Dalam upaya memberikan arahan kebijakan pengembangan perikanan
tangkap sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di
Ternate, Provinsi Maluku Utara, dilakukan analisis CCRF dengan pemberian
bobot (nilai) terhadap setiap unsur dari pedoman CCRF, berdasarkan setiap jenis
alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Ternate Maluku Utara. Bobot
(nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 4. Keberadaan alat tangkap seperti pole
and line, purse seine, bottom handline, dan gillnet, dan dihubungkan
keterkaitannya dalam bentuk matriks dengan berbagai kriteria seperti: (1)
Selektivitas alat tangkap; (2) Discard; (3) Ketersediaan sumberdaya ikan yang
optimal; (4) Alat tangkap tidak merugikan kelestarian sumberdaya dan binatang
lain; (5) Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang efisien; (6) Tidak terjadi
ghost fishing; (7) Berprinsip kehati- hatian dalam pemanfaatan sumberdaya; (8)
Kegiatan penangkapan tidak merusak lingkungan (tidak polusi).
122
Tabel 34 Hasil skoring alat tangkap yang memenuhi Code of Conduct Responsible Fisheries
2 Purse Seine 1 1 1 1 1 2 1 1 9 4
3 Bottom Handline 3 3 3 3 3 3 3 3 24 2
4 Gillnet 2 2 2 2 4 1 2 4 19 3
Berdasarkan hasil pembobotan (nilai) terhadap tiap unsur dari pedoman
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), dengan setiap jenis alat
tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Maluku Utara, seperti terlihat pada
Tabel 35 tersebut di atas, skor tertinggi untuk alat tangkap yang sesuai dengan
kriteria pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah pole
and line kemudian disusul oleh bottom handline. Pole and line memiliki kriteria
sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dikarenakan:
(1) Pole and line merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan mata pancing
tanpa kait no. 5, sehingga hanya ikan- ikan sasaran tangkap saja yang
tertangkap. Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, maka alat tangkap pole
and line memiliki prinsip selektivitas yang tinggi (nilai:4);
(2) Tidak ada hasil tangkapan yang dibuang percuma (discard) oleh alat tangkap
pole and line (nilai: 4);
(3) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tertangkap sangat optimal
(nilai: 4);
(4) Selektivitas yang tinggi dari alat tangkap pole and line akan menjaga
kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya (nilai: 4);
(5) Kegiatan penangkapan ikan dengan pole and line bersifat movable mengejar
gerombolan ikan yang beruaya, sehingga dalam penggunaan bahan bakar
sangat tidak efisien (nilai: 2);
(6) Pada penangkapan ikan dengan pole and line, tidak akan terjadi kegiatan
penangkapan ikan yang tidak bertuan (ghost fishing). Hal ini dikarenakan
alat tangkap pole and line dioperasikan secara aktif oleh setiap pemancing
(nilai: 4);
(7) Pada pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pole and line, berprinsip hati-
hati. Ikan- ikan sasaran tangkap merupakan ikan pelagis besar yang memiliki
sifat ruaya (nilai 4);
(8) Kegiatan penangkapan dengan pole and line menggunakan umpan hidup.
Umpan hidup yang mengalami kematian pada saat berada di bak
penampungan umpan hidup akan dibuang begitu saja ke laut, sehingga
menimbulkan pencemaran (nilai: 2).
124
Bottom handline sebagai urutan prioritas ke dua setelah pole and line
dikarenakan:
(1) Bottom handline merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan mata
pancing berkait no. 5, sehingga hanya ikan- ikan sasaran tangkap yang
mampu memangsa mata pancing dengan ukuran nomor 5 saja yang
tertangkap. Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, maka alat tangkap
bottom handline memiliki prinsip selektivitas cukup tinggi (nilai:3);
(2) Tidak ada hasil tangkapan yang dibuang percuma (discard) oleh alat tangkap
bottom handline (nilai: 3);
(3) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tertangkap cukup optimal
(nilai: 3);
(4) Selektivitas yang cukup tinggi dari alat tangkap bottom handline akan
menjaga kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya (nilai: 3);
(5) Kegiatan penangkapan ikan dengan bottom handline bersifat movable
mencari gerombolan ikan yang beruaya, sehingga dalam efisiensi bahan
bakar sangat kurang efisien (nilai: 3);
(6) Pada penangkapan ikan dengan bottom handline, tidak akan terjadi kegiatan
penangkapan ikan yang tidak bertuan (ghost fishing). Hal ini dikarenakan
alat tangkap bottom handline dioperasikan secara aktif oleh setiap
pemancing (nilai: 3);
(7) Pada pemanfaatan sumberdaya ikan dengan bottom handline, berprinsip
hati-hati. Ikan-ikan sasaran tangkap merupakan ikan pelagis kecil yang
memiliki sifat ruaya (nilai 3);
(8) Kegitan penangkapan dengan bottom handline menggunakan umpan.
Umpan yang sudah dipergunakan dibuang ke laut begitu saja, sehingga
menimbulkan pencemaran (nilai: 3).
Dari kriteria yang telah dikemukakan sesuai dengan pedoman Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), maka alat tangkap pole and line
memiliki skor sejumlah 28. Alat tangkap pole and line menduduki rangking ke 1
dengan skor 28, disusul masing- masing dengan bottom handline, gillnet, dan
purse seine masing- masing dengan skor: 24.19 dan 9
125
Bertitik-tolak pada matriks skoring keterkaitan antara tiap unsur dari
pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), dengan setiap jenis
alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Maluku Utara, maka dapat
ditentukan kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya untuk ikan
pelagis di Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai berikut :
126
5.5 Keragaan Desain Kapal Perikanan
5.5.1 Hasil Survei Kapal Perikanan
Pelaksanaan pekerjaan basic design kapal perikanan ini didahului dengan
mengadakan survei di lapangan terhadap kapal-kapal perikanan yang sudah
dibangun dan sudah dioperasikan. Survei dilakukan di Ternate dengan beberapa
daerah yaitu Dufa-dufa, Sangaji dan Jailolo. Pada saat survei, telah diamati 3
(tiga) jenis kapal penangkap ikan yaitu : kelas 3 GT, 10 GT dan 15 GT dengan
masing- masing alat tangkap pole and line, rawai, gillnet, purse seine dan
handline. Setelah dilakukan kajian lebih lanjut melalui kuesioner dan dianalisis
dengan menggunakan metode AHP, yang terpilih adalah Kapal 10 GT dengan alat
tangkap pole and line. Dalam kajian basic design hanya difokuskan pada
alternatif yang terpilih yaitu kapal ikan 10 GT dengan alat tangkap pole and line,
dan diharapkan sebagai kajian desain kapal multipurpose dimana kapal yang ada
di Ternate mayoritas kapal skala kecil.
Data lapangan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik kapal-
kapal yang diamati. Disamping itu, desain kapal-kapal tersebut dikaji untuk
mengetahui apakah kapal telah didesain dengan baik dan memenuhi ketentuan
yang berlaku. Proses selanjutnya adalah membuat basic design kapal perikanan.
Pembuatan desain ini mengacu pada pengamatan lapangan, terutama pada
karakteristik budaya daerah.
Apabila kapal-kapal perikanan yang diamati, setelah dikaji ternyata
memenuhi kriteria desain yang baik, maka kapal tersebut akan digambar ulang.
Namun jika kapal tersebut masih belum memenuhi kriteria desain yang baik,
maka dibuat desain yang baru.
Tahap ini ditujukan terutama untuk menganalisis data dari lapangan yang
meliputi kondisi fisik kapal penangkap ikan, dan faktor keamanan serta
keselamatannya, operasi penangkapan dan alat tangkap serta alat bantu
penangkapan, spesifikasi teknis standar untuk masing- masing kapal yang dikaji
serta analisis finansialnya. Dari analisis ini diupayakan untuk menghasilkan
rumusan yang dijadikan sebagai hasil akhir dari studi dalam bentuk rekomendasi.
127
(1) Kapal Perikanan Kelas 10 GT
Kapal kelas 10 GT yang disurvei pada studi ini adalah kapal perikanan yang
menggunakan alat tangkap pole and line. Survei dilaksanakan di lapangan dengan
cara pengukuran kapal, pengamatan langsung terhadap aspek fisik serta
wawancara dengan para nelayan yang mengoperasikan kapal serta pihak galangan
dan perajin kapal yang membangun kapal.
128
Berdasarkan KEPMEN No.10 tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan,
pasal 16 ayat (3) huruf (a) dan berdasarkan rumus International Formula for
Tonnage Measurement of Ships 1969, ditetapkan bahwa perhitungan GT untuk
kapal :
(1) Panjang diatas 24 m dihitung berdasarkan rumus pendekatan GT = V. k,
dimana (V) adalah volume kapal dan (k) adalah konstanta yang didapat dari
tabel konstanta untuk m3 volume kapal.
(2) Panjang dibawah 24 m dihitung dengan rumus :
(L x B x D x Cb) : 2,83.
Dimana :
Cb = Koefisien block, untuk :
Pukat Ikan = 0.8
Purse Seine = 0.6 s/d 0.8
Long Line = 0.6
Lainnya = 0.5 - 0.6.
129
iii) Rencana Garis
Berdasarkan hasil pengukuran fisik kapal di lapangan, rencana garis kapal
kelas 10 GT yang disurvei digambar dan disajikan dibawah ini.
130
iv) Nilai Parameter Hidrostatik
Karakteristik kapal dapat dibaca pada Tabel 36 yang dihitung berdasarkan
rencana garis. Hasil perhitungan ini berdasarkan sarat air 1.08 meter dan 1.45
meter.
Tabel 36 Nilai Parameter Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.08 meter
I. DIMENSION
1. Panjang Seluruh Kapal (LOA ) 14.15 m
2. Panjang Deck Kapal (LDL ) 13.50 m
3. Panjang Garis Air (LWL ) 11.81 m
4. Lebar Maksimum (Bmax) 3.43 m
5. Lebar Garis Air (BWL ) 3.26 m
6. Tinggi Deck (DDK ) 1.45 m
7. Sarat (T) 1.08 m
8. Volume 16.14 m3
9. Displacement 16.54 ton
II. COEFFICIENTS
1. Prismatic 0.595
2. Block 0.390
3. Midship 0.655
4. Waterplane 0.733
III. RATIOS
1. L/B 3.63
2. B/T 3.02
IV. CENTROIDS
1. LCB 8.38 m 53.2% Aft
2. LCF 8.74 m 56.2% Aft
3. VCB 0.71 m
V. AREAS
1. Waterplane 28.19 m2
2. Wetted Surface Area 36.65 m2
131
Tabel 37 Nilai Parameter Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.45 meter
I. DIMENSION
1. Panjang Seluruh Kapal (LOA ) 14.15 m
2. Panjang Deck Kapal (LDL ) 13.50 m
3. Panjang Garis Air (LWL ) 12.88 m
4. Lebar Maksimum (Bmax) 3.43 m
5. Lebar Garis Air (BWL ) 3.39 m
6. Tinggi Deck (DDK ) 1.45 m
7. Sarat (T) 1.45 m
8. Volume 27.86 m3
9. Displacement 28.56 ton
II. COEFFICIENTS
1. Prismatic 0.611
2. Block 0.442
3. Midship 0.721
4. Waterplane 0.762
III. RATIOS
1. L/B 3.80
2. B/T 2.33
IV. CENTROIDS
1. LCB 8.58 m 53.5% Aft
2. LCF 8.58 m 56.6% Aft
3. VCB 0.94 m
V. AREAS
1. Waterplane 33.25 m2
2. Wetted Surface Area 48.05 m2
132
v) Parameter Bentuk
Pada Tabel 38 disajikan parameter bentuk kapal 10 GT dengan alat tangkap
pole and line.
vi) Scantling
Untuk menganalisis konstruksi kapal dilakukan pencatatan terhadap bagian-
bagian konstruksi kapal. Pada tabel dibawah ini disajikan scantling kapal 10 GT
dan dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku.
133
vii) Perhitungan Gross Tonnage Kapal
Perhitungan Gross Tonnage Kapal untuk kapal dibawah 24 m dihitung dengan
rumus : (L x B x D x Cb) : 2,83. Dimana Cb = Koefisien block dari kapal. Untuk
Cb Pukat Ikan = 0.8, Purse Seine = 0.6 s/d 0.8, Long Line = 0.6, untuk yang lain
0.5 s/d 0.6 ( KEPMEN No. 10 Tahun 2003).
134
vii) Rancangan Umum Kapal Pole and line 10 GT dan Purse Seine 10 GT
135
Gambar 19 Desain kapal purse seine 10 GT
136
5.5.2 Aspek Ekonomi Operasional Kapal
Aspek ekonomi pengoperasian kapal akan mengkaji mengenai keterkaitan
pengoperasian kapal penangkapan ikan terhadap perekonomian, khususnya
kelayakan usaha penangkapan secara finansial. Pengoperasian atau usaha
penangkapan ikan akan selalu dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi
perekonomian, baik secara regional maupun nasional bahkan juga internasional.
Oleh karena itu, kajian ekonomi khususnya dari sisi finansial pengoperasian kapal
penangkapan ikan perlu dilakukan untuk melihat kelayakan usaha tersebut.
Ukuran kelayakan suatu usaha biasanya berdasarkan pada dua kriteria yaitu
nilai keuntungan bersih saat ini yang biasanya dikenal dengan istilah Net Present
Value (NPV) dan prosentase penerimaan internal yang dikenal dengan istilah
Internal Rate of Return (IRR). Kedua kriteria dasar ini berangkat dari asumsi
bahwa nilai uang saat ini adalah lebih besar bila dibandingkan dengan nilai uang
pada masa yang akan datang. Untuk dapat menghitung nilai NPV atau IRR akan
dilakukan beberapa perhitungan awal yang meliputi biaya investasi, biaya operasi
dan hasil operasi. Dalam penelitian ini, kriteria yang digunakan adalah IRR.
Selanjutnya, kelayakan usaha ini akan dikaji dengan mengaitkannya pada pagu
kredit bank dan juga pola penangkapan ikan yang dewasa ini dikembangkan
dalam usaha penangkapan ikan.
Usaha penangkapan ikan dengan pola tersebut akan dikaitkan dengan
pembentukan koperasi perikanan/KUD Mina. Diharapkan dari kajian ekonomi
khususnya dari sudut pandang finansial ini akan diperoleh alternatif pengusahaan
yang produktif, layak dan dapat dilaksanakan oleh kelompok nelayan yang
tergabung dalam koperasi perikanan.
137
1) Biaya Investasi Kasko Kapal
Biaya Investasi meliputi biaya pengadaan kapal dan alat tangkapnya
dengan rincian seperti Tabel 41 dibawah ini.
2) Biaya/Modal Kerja
Biaya atau Modal Kerja yang dibutuhkan adalah modal kerja untuk operasi
penangkapan selama satu tahun, yang rinciannya disajikan pada Tabel 42 dibawah
ini.
Tabel 42 Biaya Modal Kerja Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line
138
3) Hasil Pengamatan Survei Kapal Perikanan 10 GT :
i) Rasio L / B = 3.630.
Rasio L / B kapal kelas 10 GT ini masuk nilai ideal yang ditetapkan. Oleh
karena itu, nilai L / B kapal ini sudah sesuai peraturan BKI.
ii) Rasio B / T = 3.02.
Rasio B / T dari kapal kelas 3 GT ini masuk nilai ideal yang ditetapkan.
Oleh karena itu, nilai L / B kapal ini sudah sesuai peraturan BKI.
iii) Koefisien bidang lintang tengah (C M) = 0.655.
Koefisien bidang lintang tengah kapal masuk nilai ideal yang ditetapkan.
iv) Letak titik tekan (LCB ) berada 0,532%.
LCB di depan midship adalah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
v) Half Angle of Entrance Of Load Water Line (½ a ) = 13° adalah dibawah
nilai ideal yang telah ditetapkan.
vi) Dari hasil perhitungan Gross Tonnage kapal adalah 11,415 yang ternyata
lebih besar dari perkiraan kasar dimana kapal dianggap masuk kelas 10 GT.
vii) Jarak gading- gading kapal survei 500 mm, jauh lebih besar dari yang
ditetapkan oleh BKI yaitu 280 mm. Kapal yang disurvei pada umumnya
tidak memasang wrang, sedangkan peraturan BKI harus dipasang wrang.
viii) Semua parameter bentuk, scantling maupun kapasitas kapal akan di design
baru untuk menjadi basic design yang tetap dan akan diusahakan
mempertahankan bentuk yang spesifik maupun nilai budaya dari daerah
Ternate.
139
5.6 Linear Goal Programming
140
adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY tuna
di Ternate atau sebesar 3566,56 ton.
Persamaan kendala tujuan dari permasalahan diatas adalah :
DB2 – DA2 + 96,79X1 = 3566,56
c. Layang
Layang di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan purse seine, dalam
hal ini dipilih dengan menggunakan armada ukuran 10 – 30 GT. Berdasarkan
hasil estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk layang di perairan
Maluku Utara sebesar 13041,79 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan
Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 7825,07 ton.
Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah
tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau
sebesar 6260,06 ton.
Persamaan kendala tujuannya adalah sebagai berikut :
DB3 – DA3 + 1449,07X2 = 6260,06
d. Tongkol
Tongkol di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan alat tangkap purse
seine, khususnya dengan armada ukuran 10 – 30 GT. Berdasarkan hasil
estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk tongkol di perairan
Maluku Utara sebesar 12371,55 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan
Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 7422,93 ton.
Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah
tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau
sebesar 5938,34 ton.
Persamaan kendala tujuan yang diperlukan adalah :
DB4 – DA4 + 1045,78X2 = 5938,34
e. Demersal
Ikan demersal di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan bottom
handline, khususnya dengan armada < 10 GT. Berdasarkan hasil estimasi
perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk ikan demersal di perairan Maluku
Utara sebesar 101872,08 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan Ternate
adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 61123,25 ton. Nilai
potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap
141
yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY ikan demersal di Ternate atau
sebesar 48898,60 ton.
Persamaan kendala tujuan yang diperlukan adalah :
DB5 – DA5 + 140,76X3 = 48898,60
a. Solar
Berdasarkan data dari Kantor Cabang Pertamina Ternate, ketersediaan solar di
Kota Ternate adalah sebesar 134000 kiloliter. Persamaan kendala tujuan dari
permasalahan ini adalah sebagai berikut :
64,20X1 + 13,52X2 + 10,80X3 - DA7 = 134.000
b. Minyak tanah
Berdasarkan data dari Kantor Cabang Pertamina Ternate, ketersediaan minyak
tanah di Kota Ternate adalah sebesar 612.000 kiloliter. Persamaan kendala
tujuan dari permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
3,71X1 + 31,55X2 + 5,40X3 - DA8 = 612.000
142
4. Memaksimumkan nilai produksi usaha penangkapan ikan di Kota Ternate.
Berdasarkan data yang tersedia maka digunakan data nilai produksi yang telah
diperoleh dari masing- masing teknologi penangkapan terpilih selama ini untuk
menggambarkan hasil usaha yang dicapai. Berdasarkan data statistik perikanan
dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, nilai produksi penangkapan pada
tahun 2004 adalah sebesar Rp 42.203.700.000.
Persamaan kendala tujuan dari permasalahan ini adalah :
DB9+2.855.300.000X1+1.871.400.088X2+146.700.000X3 = 42.203.700.000
143
Pemanfaatan sumberdaya ikan tuna dan tongkol yang masih berada di bawah
JTB menunjukkan masih kurangnya armada penangkapan di daerah penelitian
khususnya pole and line dan purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT. Dengan
penambahan armada pole and line dan purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT,
sekaligus akan menyerap tenaga kerja, sehingga target pencapaian tena ga kerja dapat
terpenuhi.
Adapun pengalokasian dari ke-tiga teknologi penangkapan yang terpilih adalah :
pole and line dengan ukuran armada 10 – 30 GT sebanyak 24 unit, purse seine dengan
ukuran armada 10 – 30 GT sebanyak 4 unit, dan handline dengan ukuran armada < 10
GT sebanyak 347 unit. Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, maka alokasi optimum
armada pole and line dengan ukuran 10 – 30 GT sebanyak 24 unit dan alokasi
optimum armada purse seine ukuran 10 - 30G T sebanyak 4 unit dapat diterima, hal
ini disebabkan karena armada penangkapan ikan dengan ukuran 10 - 30 GT yang ada
baru sekitar 19 unit. Untuk alokasi armada bottom handline sebanyak 347 unit dapat
diterima pula, hal ini terkait dengan efisiensi penggunaan BBM.
Sesuai hasil analisis Code of Conduct for Responsible Fisheries yang telah
dilakukan dalam penelitian ini terlihat bahwa hasil analisis Linear Goal Programing
menunjukkan bahwa terbukti kebijakan pengembangan armada yang diinginkan
sesuai dengan Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab dengan armada ya ng
diprioritaskan yaitu pole and line dan bottom handline masing- masing dengan alokasi
sebanyak 24 unit dan 348 unit.
Martosubroto (2005) menyatakan bahwa dalam pengelolaan perikanan yang
bertanggungjawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan
dengan suatu upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat eksploitasi dengan
sumberdaya yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa yang berkepentingan disini
bukanlah hanya pemerintah tetapi juga pengguna penangkapan (stakeholders), karena
kegagalan pengelolaan pada suatu perikanan akan merugikan pengusaha itu sendiri.
Oleh karena itu dalam penelitian ini armada kapal purse seine untuk sementara
dilakukan pengendalian dengan alokasi sebanyak 4 unit. Pengendalian armada kapal
purse seine sesuai dengan analisis CCRF pada sub bab 5.4 tulisan ini dimana kapal
purse seine tidak ramah lingkungan yang hanya mempunyai skor 9 atau paling rendah
dibandingkan dengan kapal pole and line dan kapal bottom hand line, disamping juga
perairan laut Ternate - Maluku Utara pengelolaan sumberdaya perikanannya masih
mengacu pada Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab dan masih sangat ramah
144
lingkungan. Pengendalian sementara armada kapal purse seine di Ternate
dimaksudkan juga untuk menghindari adanya konflik nelayan antar daerah seperti
terjadinya pembakaran kapal purse seine Dharma Samudera milik nelayan Tegal -
Jawa Tengah pada hari Minggu 22 Januari 2006 oleh sejumlah orang tak dikenal di
perairan Pulau Kerayaan, Kalimantan Selatan. Seperti dikutip dalam harian Kompas,
23 dan 24 Januari 2006 di halaman 24 bahwa peristiwa pembakaran kapal-kapal
purse seine nelayan Tegal - Jawa Tengah ini telah berlangsung beberapa kali di
Kalimantan. Setelah peristiwa pembakaran ini dilanjutkan pula dengan demonstrasi
sekitar 1000 nelayan dari kerukunan nelayan Kota Baru, Kalimantan Selatan ke
DPRD Kota Baru pada hari Senin tanggal 23 Januari 2006, yang pada intinya mereka
menolak masuknya kapal penangkap ikan purse seiner ke perairan Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur. Selain karena penghasilannya menurun sejak
kehadiran kapal purse seiner yang berdaya tangkap besar, mereka juga khawatir akan
terus terjadi konflik antar nelayan. Mereka minta pemerintah bersikap tegas.
Diharapkan konflik semacam ini tidak akan pernah terjadi di perairan Ternate
khususnya dan Maluku Utara pada umumnya.
145
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari 6 analisis yang digunakan dalam penelitian ini, dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
(1) Strategi yang menjadi prioritas adalah mengembangkan usaha perikanan
tangkap dengan penambahan armada kapal ikan dengan pola operasi yang
mengacu pada Ketentuan Perikanan yang Bertanggung jawab.
(2) Kebijakan yang harus diambil untuk membangun sektor Kelautan dan
Perikanan di Ternate, Maluku Utara diprioritaskan pada pembentukan pasar,
pembangunan fasilitas pengolahan dan pembangunan prasarana pelabuhan.
(3) Armada kapal perikanan yang terpilih untuk meningkatkan produktivitas
usaha penangkapan ikan yaitu armada pole and line berukuran 10-30 GT
dan berukuran 5-10 GT, diikuti dengan jenis armada purse seine berukuran
10-30 GT.
(4) Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa armada pole and line, purse
seine dengan ukuran 10 - 30 GT layak dan efisien untuk terus
dikembangkan. Namun demikian akibat kenaikan harga BBM pada tanggal
1 Oktober 2005 armada bottom handline = 10 GT dapat menjadi prioritas
pertama untuk dikembangkan, dikarenakan tingkat kelayakan usahanya lebih
menjanjikan dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat, kemudian
diikuti dengan armada pole and line 10 – 30 GT dan selanjutnya armada
purse seine 10 – 30 GT.
(5) Hasil analisis CCRF dengan menggunakan kriteria seperti selektivitas alat,
discard dan ghost fishing didapatkan bahwa armada pole and line
merupakan yang ramah lingkungan diikuti dengan armada bottom handline,
sedangkan armada purse seine tidak ramah lingkungan.
(6) Pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan melalui
pengalokasian jumlah optimum armada pole and line sesuai alokasi
sebanyak 24 unit dan purse seine sebanyak 4 unit dengan ukuran 10 - 30
GT, sedangkan armada bottom handline = 10 GT jumlah optimum sesuai
alokasi sebanyak 347 unit.
(7) Semua parameter bentuk, scantling maupun kapasitas kapal akan di design
baru untuk menjadi basic design yang tetap dan akan diusahakan
mempertahankan bentuk yang spesifik dengan nilai budaya dari daerah
Ternate.
(8) Mengacu pada 6 analisis yang telah dilakukan dalam penelitian serta
berdasarkan prinsip-prinsip pada ketentuan perikanan yang bertanggung
jawab (CCRF), maka kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di
Ternate, Propinsi Maluku Utara adalah : perlu dikembangkannya armada
penangkapan ikan pole and line antara 10 – 30 GT, bottom handline = 10
GT dan pengendalian armada purse seine.
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan setelah dilakukan penelitian ini antara lain
adalah :
(1) Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara,
bersama Perbankan setempat dibantu oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan diharapkan mengembangkan armada kapal perikanannya di
perairan Ternate Maluku Utara dengan jenis armada yaitu Pole and Line
diatas 10 – 30 GT dan bottom handline = 10 GT yang pengoperasiannya
sesuai kaidah ramah lingkungan atau ketentuan perikanan yang bertanggung
jawab (CCRF).
147
DAFTAR PUSTAKA
149
Martosubroto, P. 2005. Menuju Pengelolaan Perikanan Yang Bertanggungjawab.
Makalah pada Forum Pengkajian Stock Ikan Laut 2005. Jakarta.
Monintja, D. 2000. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah
Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 156 hal.
Monintja, D, Yusfiandayani. 2004. Menelusuri Masalah Perikanan Tangkap.
Makalah Lokakarya Gerbang Mina Bahari. Jakarta.
Mulyono, S. 2002. Riset Operasi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 347
hal
Nomura, M, dan Yamazaki, T. 1977. Fishing Techniques. JICA. Tokyo.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate, Ditjen Perikanan tangkap. 2005. Statistik
Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate 2004. Ternate.
Pujawan. 1995. Analisa Keputusan. Ganeca Exact Bandung.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2001. Produksi Ikan Dari Hasil Penangkapan Di
Laut. Jakarta.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
kelautan Perikanan, 2006. Prosiding Pengkajian Stok Ikan 2005. Jakarta.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
kelautan Perikanan, 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.
Jakarta.
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi
konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Saaty, T.L. 1991. Pengambil Keputusan. PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Saaty, T.L. 1980. The Analytic HierarchY Process, Mc. Graw-Hill Book Co.
Salusu, J. 1988. Pengambilan Keputusan Stratejik. Untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Non Profit. Penerbit PT. Grasindo. Jakarta.
Satria A, Dkk. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Diterbitkan atas kerjasama
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Partnership for Governace
Reform in Indonesia, dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta..
150
Sedana, G, Dkk. 2005. Riset Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar, Kecil,
dan Demersal di Laut Halmahera dan Laut Sulawesi. PRPT-BRKP-DKP
Jakarta. 53 hal.
Siswanto. 1993. Goal Programming dengan menggunakan LINDO. PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta. 203 hal.
Soeharto, I.. 1995. Manajemen Proyek. Dari Konseptual Sampai Operasional.
Erlangga Jakarta.
Tim Litbang Kompas, 2003. Profil Daerah Kabupaten/Kota. PT. Kompas Media
Nusantara. 682 hal.
Vincke. 1981. Judgment in Managerial Decision Making, John Wiley & Sons,
1981.
www.dkp.go.id. [25 April 2005].
151
LAMPIRAN