Anda di halaman 1dari 3

BIOGRAFI TENTANG B.M.

Diah

Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7


April 1917 – meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah seorang tokoh pers,
pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.

Masa kecil
Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah
Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatra Utara. Ayahnya adalah seorang pegawai
pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin kemudian
menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri. Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah)
adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari 8
bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun
hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya.
Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya
kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia terjun ke dunia
usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun
berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini
diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut
(sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin
memilih jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi
Douwes Dekker. Burhanuddin sebenarnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun,
melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan
kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu. Setelah tamat belajar, Burhanuddin
kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena
satu setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga
honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu
dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan
usahanya sendiri, bulanan Pertjatoeran Doenia.
Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di
Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun pada saat yang sama, ia pun
merangkap bekerja di Asia Raja. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain,
Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari.
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang
penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama
kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula
oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada akhir Agustus 1945, setelah diumumkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
Diah bersama sejumlah rekannya, seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata
dan berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang menerbitkan Harian Asia
Raja. Meskipun Jepang telah menyerah kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang
masih memegang senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga
percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-
rekannya.
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian  Merdeka. Diah menjadi pemimpin
redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah memimpin
surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak menangani PT
Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka". Belakangan joesof isak, seorang sukarnois,
terpaksa diberhentikan atas desakan pemerintah Orde Baru. Semnentara Rosihan Anwar
mendirikan surat kabarnya sendiri, harian pedoman. Pada April 1945, bersama istrinya
Herawati, Diah mendirikan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai
penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-Soekarno dan menentang militerisme. Ia
pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia
terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan "Tionghoa" menjadi
"Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina", Harian
"Merdeka"—bersama Harian "Indonesia Raya"—dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih
tetap mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok". Tahun 1959, B.M. Diah diangkat
menjadi duta besar untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan
ke Inggris, lalu ke Thailand - semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh
Presiden Soeharto menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi
anggota DPR dan kemudian anggota DPA.
Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat yang
dulunya merupakan rumah orangtua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai
Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-Jakarta.

Keluarga
B.M. Diah meninggalkan dua orang istri, Herawati Diah dan Julia binti Abdul Manaf, yang
dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia memperoleh
dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri keduanya ia
memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan.

Penghargaan
Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, Diah dianugerahi tanda-tanda penghargaan
yaitu, Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978) dan Piagam
penghargaan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan '45
(17 Agustus 1995)
LAMPIRAN

B.M.Diah bersama Rosihan Anwar

Anda mungkin juga menyukai