Anda di halaman 1dari 3

Koneksi infrastruktur bisa kikis ketimpangan antarkota

VIVA – Pengembangan infrastruktur yang menghubungkan wilayah-wilayah di sekitar


Jakarta, diharapkan mendorong pemerataan ekonomi. Hal itu pula, menciptakan pusat
ekonomi baru yang mengikis ketimpangan antar wilayah perkotaan. Director Industrial
and Logistic Colliers International Indonesia, Rivan Munansa mengatakan,
pengembangan konektivitas infrastruktur di suatu wilayah secara langsung akan ikut
mendorong peningkatan ekonomi. Hal itu, dapat terlihat dari perbedaan pembangunan
konektivitas di wilayah timur Jakarta yang semakin pesat dengan adanya pembanguan
jalan tol maupun kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT). Sementara itu,
pembangunan di barat Jakarta saat ini belum berjalan sebaik di wilayah timur. Sehingga,
dengan sejumlah proyek yang sedang dikerjakan saat ini seperti simpang susun Cikupa
dapat membuat Tangerang berkembang. "Sangat mungkin meningkatkan ekonomi dan
sektor properti di kawasan tersebut. Selama ini, pasar kawasan industri timur dan barat
memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, Tangerang dan sekitarnya juga memiliki
pasarnya sendiri," ungkap Rivan dalam keteranganya, Selasa 31 Juli 2018. Perlu diketahui
simpang Susun Cikupa dikembangkan oleh PT Alam Sutera Realty Tbk dan CFLD
International dengan nilai investasi diperkirakan mencapai Rp500 miliar.

Alam Sutera dikenal sebagai perusahaan pengembang properti terintegrasi melalui


pembangunan, pengembangan, serta pengelolaan kawasan terpadu. Sedangkan CFLD
International, adalah perusahaan pengembang global, master planner, dan operator kota
industri baru berskala besar terkemuka.

Rivan mengungkapkan bahwa saat ini, daerah barat Jakarta banyak diminati untuk e-
commerce dan logistik. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan Cikupa dan
sekitarnya menjadi hub baru di sana.

Seperti diketahui, pemerintah mendorong optimalisasi e-commerce sebagai bagian


dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Di era ekonomi digital, inovasi dan
pengembangan teknologi dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing nasional.

“Keberadaan infrastruktur yang memadai akan turut mengembangkan perekonomian


wilayah-wilayah di Banten, sehingga memiliki kemampuan yang setara dengan Jakarta,”
kata Rivan.Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2017, ekonomi Banten
tumbuh 5,71 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 5,07 persen. Tahun ini,
pertumbuhan ekonomi Banten diperkirakan akan semakin tinggi didorong oleh naiknya
permintaan barang ekspor, pengembangan industri pengolahan, dan properti.
Tingkat Ketimpangan si kaya dan si miskin turun tipis

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat ketimpangan
pengeluaran penduduk di Indonesia yang diwakili oleh rasio gini berada di angka 0,391 pada
bulan September 2017. Angka ini menurun tipis dibandingkan bulan Maret 2017 sebesar 0,393
dan bulan September tahun lalu sebesar 0,394.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, jika rasio gini mendekat ke arah satu, artinya terdapat
ketimpangan sempurna di Indonesia. Sebaliknya, jika rasio gini mendekat ke arah nol, artinya
pengeluaran masyarakat, yang merupakan cermin dari pendapatan, terdistribusi secara
sempurna.
Melihat angka di bulan September, tingkat ketimpangan antara si kaya dan si miskin mulai
berkurang secara perlahan. Suhariyanto menjelaskan, penurunan ketimpangan ini disebabkan
karena pengeluaran golongan bawah meningkat lebih tinggi yakni sebesar 6,31 persen, dibanding
golongan atas yang sebesar 5,06 persen.“Ini semakin membaik, tapi memang, upaya menurunkan
ketimpangan ini cukup sulit,” ujar Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (2/1).Dalam menghitung
rasio gini, BPS menggunakan standar yang digunakan Bank Dunia yakni membagi masyarakat
dalam ketiga kelompok. Adapun, ketiga kelompok tersebut terdiri dari 40 persen masyarakat
dengan pengeluaran rendah, 40 persen masyarakat pengeluaran menengah, dan 20 persen
masyarakat pengeluaran tinggi.

Dari hasil perhitungan BPS, 46,12 persen pengeluaran masyarakat masih dilakukan oleh
golongan kaya. Sementara itu, pengeluaran golongan masyarakat tidak mampu hanya 17,22
persen dari total pengeluaran masyarakat Indonesia antara Maret hingga September lalu. Kendati
demikian, ia menganggap angka ini terbilang masih aman.
“Kalau pengeluaran 40 persen golongan masyarakat berpendapatan rendah di atas 17 persen,
sesuai standar Bank Dunia, maka bisa disimpulkan bahwa ketimpangan rendah. Kalau angkanya
12 hingga 17 persen, maka ketimpangan dianggap sedang dan ketimpangan bisa dibilang akut
jika di bawah 12 persen. Kali ini, nilainya 17,22 persen, jadi masih dianggap rendah,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa tingkat ketimpangan paling kentara terjadi di perkotaan dibanding
pedesaan. Hal itu tercermin dari rasio gini kota sebesar 0,404 persen atau lebih tinggi dibanding di
desa yang hanya 0,320 persen.
Sementara itu, BPS juga mencatat bahwa rasio gini tertinggi berada di provinsi-provinsi dengan
konsentrasi penduduk tinggi seperti DI Yogyakarta sebesar 0,440 persen, Jawa Timur sebesar
0,415 persen, dan DKI Jakarta sebesar 0,409 persen. Oleh karenanya, Suhariyanto menilai
bahwa pemerintah perlu menaruh perhatian khusus bagi ketimpangan di perkotaan.
“Apalagi, 40 persen kelompok masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan hanya
menyumbang 16,33 persen dari total pengeluaran masyarakat. Ini merupakan warning utama,
bahwa ketimpangan di perkotaan harus bisa turun agar ketimpangan secara umum bisa terus
membaik,” pungkas Suhariyanto. (agi/agi)
Ada Kesenjangan antara pemilik modal dan Buruh

Laporan Wartawan Tribun Jakarta, Bahri Kurniawan


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gitaris Slank, Abdee melihat ada
ketimpangan yang besar antara pemilik modal dan kesejahteraan para
buruh.
"Kesejahteraan pemilik modal sangat jauh di atas kesejahteraan buruh. Kita
lihat sendiri, kita punya banyak temen buruh dan hidup mereka pas-pasan,"
kata Abdee di Jakarta,Selasa(1/5/2012) kemarin.
Abdee menambahkan sudah saatnya para pemilik modal merubah pola
pikir mereka. "Sudah saatnya pemerintah dan terutama pemilik modal ya.
Karena biasanya gini, investor kan datang ke Indonesia karena upah buruh
murah, tapi karena upah buruh murah jadi kualitas berkurang akhirnya
malah produk jadi gak laku, nah sama aja kan," terang Abdee.
Menurut Abdee yang harusnya dilakukan adalah meningkatkan
kesejahteraan buruh, yang nantinya akan berujung dengan peningkatan
kualitas dan produktifitas produksi.
"Mending kita lakukan beberapa hal seperti di negara-negara lain. Upah
buruh dinaikin, kualitas meningkat nah otomatis penjualan juga jadi lebih
bagus. Dengan jualan lebih bagus semua jadi bisa sejahtera, si pengusaha
untung buruhnya juga sejahtera. Daripada ngandalin upah buruh murah,
produk kita juga di luar negeri malah direject mungkin," ujar Abdee.
Ketika ditanya soal tuntutan buruh untuk dijadikan hari libur, Abdee
mengaku hal tersebut sudah sepantasnya dilakukan karena buruh
jumlahnya sangat banyak di Indonesia.
"Ya pantas kalau hari buruh jadi hari libur, karena jumlah buruh kan banyak,
saya gak tau persis jumlahnya ya, tapi saya yakin mayoritas penduduk
Indonesia buruh, jadi kenapa enggak?," tutur Abdee.

Anda mungkin juga menyukai