Anda di halaman 1dari 24

BORANG PORTOFOLIO BEDAH

Topik : Benign Prostate Hiperplasia


Tanggal (kasus) : 7 November 2017 Presenter : dr. Marda Sakinah
Tanggal Presentasi : 14 Desember 2017 Pendamping : dr. Huratio Nelson
Tempat Presentasi : Komite Medik RSUD Sekayu
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi : Seorang pria 68 tahun datang dengan keluhan tidak bisa BAK sejak 1 hari SMRS
Menegakkan diagnosis dan memberikan penatalaksanaan retensio urin e.c benign
□ Tujuan :
prostat hiperplasia dengan tepat
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama : Tn. J, 68 tahun No. Registrasi : 095426
Nama RS : RSUD SEKAYU Telp : Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis:
Sejak ± 6 bulan SMRS, pasien mengeluh susah BAK. Penderita mengaku harus mengejan
saat memulai BAK, pancaran urin lemah dan terputus-putus (+), urin menetes setelah BAK
(+), rasa tidak lampias setelah BAK (+), sehingga menimbulkan keinginan untuk BAK
kembali beberapa saat setelah BAK. Sering BAK pada malam hari (+) sebanyak sepuluh kal
dalam semalam, nyeri saat memulai BAK (+), BAK berdarah (-), BAK berpasir (-), BAK
keluar batu (-), demam (-).
Sejak ± 1 hari SMRS, pasien mengeluh tidak bisa BAK sama sekali. Penderita
berobat ke RSUD Sekayu.
2. Pemeriksaan Fisik
Status Urologis
Regio CVA
Kanan
 Inspeksi : Bulging (-)
 Palpasi : Ballotement (-), nyeri tekan (-)

1
 Perkusi : Nyeri ketok (-)
Kiri
 Inspeksi : Bulging (-)
 Palpasi : Ballotement (-), nyeri tekan (-)
 Perkusi : Nyeri ketok (-)
Regio suprapubik
 Inspeksi : Bulging (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani
Regio Genitalia Eksterna
 Inspeksi : Sirkumsisi (+)
Regio inguinal
 Inspeksi : tak ada benjolan
Rectal Toucher :
 TSA baik
 Ampula tidak kolaps
 Mukosa licin
 Prostat teraba membesar
 Batas atas prostat tidak teraba
 Konsistensi kenyal
 Permukaan rata
 Nodul (-), nyeri tekan (-), feses (+), darah (-)
3. Riwayat Pengobatan : Os belum pernah pergi berobat sebelumnya
4. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Riwayat trauma pada daerah genitalia, perut/pinggang, dan tulang belakang sebelum
gangguan BAK disangkal.

Riwayat pemasangan kateter sebelumnya disangkal.

Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya disangkal.

5. Riwayat Keluarga :
 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

2
6. Riwayat Pekerjaan : os tidak bekerja
7. Lain-lain :
Riwayat sosioekonomi cukup
Daftar Pustaka :

1. Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam


Terbitan (KTD): Jakarta.
2. Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya
3. Long, Barbara C. (2006). Perawatan Medikal Bedah. Volume 1. (terjemahan). Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran: Bandung.
4. Schwartz, dkk, (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk,
EGC: Jakarta.
5. Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
6. Soeparman. (2000). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. FKUI: Jakarta
7. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign prostatic
hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s urology. 7th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.

Hasil Pembelajaran :
Menegakkan diagnosis dan memberikan penatalaksanaan pada retensio urin e.c benign prostate
hiperplasia

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subjektif
Keluhan Utama : Tidak bisa BAK sejak ± 1 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ± 6 bulan SMRS, pasien mengeluh susah BAK. Penderita mengaku harus mengejan
saat memulai BAK, pancaran urin lemah dan terputus-putus (+), urin menetes setelah BAK
(+), rasa tidak lampias setelah BAK (+), sehingga menimbulkan keinginan untuk BAK
kembali beberapa saat setelah BAK. Sering BAK pada malam hari (+) sebanyak sepuluh kali
dalam semalam, nyeri saat memulai BAK (+), BAK berdarah (-), BAK berpasir (-), BAK
keluar batu (-), demam (-).
Sejak ± 1 hari SMRS, pasien mengeluh tidak bisa BAK sama sekali. Penderita
berobat ke RSUD Sekayu.
Riwayat Penyakit Dahulu

3
Riwayat trauma pada daerah genitalia, perut/pinggang, dan tulang belakang sebelum gangguan
BAK disangkal.

Riwayat pemasangan kateter sebelumnya disangkal.

Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya disangkal.


Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
2. Objektif :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 88x/menit.
Pernapasan : 20x/menit.
Suhu : 37.1 C

Keadaan Spesifik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), Scar (-), Ikterus pada kulit (-), pucat pada telapak tangan
dan kaki (-), eritema palmar (-), pertumbuhan rambut normal.
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta tidak ada
nyeri penekanan.
Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformasi (-).
Mata
Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+), sklera
ikterik (-), pupil isokor, refleks cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik. Edema
subkonjungtiva (-).
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan
penyumbatan maupun perdarahan.
Telinga

4
Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus(-), pendengaran baik.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), hipertofi ginggiva (-), gusi
berdarah(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau napas khas (-), faring tidak ada kelainan.
Leher
Pembesaran tiroid tidak ada, JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-)
Dada
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-), Spider nevi (-).
Paru-paru
I : Statis, dinamis simetris kanan sama dengan kiri, sela iga tidak melebar
P : Stem fremitus kanan = kiri
P : Sonor pada kedua lapangan paru kanan dan kiri
A: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung linea sternalis dextra, batas kiri jantung linea
midklavikularis sinistra
A : HR = 88x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
Perut
I : cembung, venektasi (-)

Ekstremitas
Edema pretibial (-)
Alat kelamin : edema skrotum (-)
Status Urologis

Regio CVA

Kanan

 Inspeksi : Bulging (-)


 Palpasi : Ballotement (-), nyeri tekan (-)

5
 Perkusi : Nyeri ketok (-)
Kiri

 Inspeksi : Bulging (-)


 Palpasi : Ballotement (-), nyeri tekan (-)
 Perkusi : Nyeri ketok (-)
Regio suprapubik

 Inspeksi : Bulging (+)


 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani
Regio Genitalia Eksterna

 Inspeksi : Sirkumsisi (+)


Regio inguinal

 Inspeksi : tak ada benjolan


Rectal Toucher :

 TSA baik
 Ampula tidak kolaps
 Mukosa licin
 Prostat teraba membesar
 Batas atas prostat tidak teraba
 Konsistensi kenyal
 Permukaan rata
Nodul (-), nyeri tekan (-), feses (+), darah (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah Rutin :

- Hb : 10,7 g/dl (N: 14-18 g/dl)


- Ht : 32,1 vol% (N: 40-48 vol%)

6
- Leukosit : 10.600/mm3 (5.000-10.000/mm3)
- Trombosit : 274.000/mm3 (200.000-500.000/mm3)
- Different count : 2/0/0/76/14/8
Kimia Klinik :

- BSS : 79 mg/dl (N: <200 mg/dl)


- Ureum : 75 mg/dl (N: 15-39 mg/dl)
- Creatinin : 1,3 mg/dl (N: 0,9-1,3 mg/dl)
- CT : 7’00
- BT : 3’00
Urinalisa

Warna : kuning

Berat Jenis : 5,5

Kejernihan : jernih

Protein : - (negatif)

Reduksi :-

Urobilin :-

Bilirubin :-

Sedimen

Sel epitel : (-) (negatif)

Eritrosit : 8-10 (0-1 /lpb)

Leukosit : 10-15 (0-5 /lpb)

Silinder :- (negatif)

Kristal :- (negatif)

Pemeriksaan Penunjang
USG Abdomen
BNO
3. Assesment (penalaran klinis) :

7
Seorang pria berusia 74 tahun, berinisial Tn. J, datang ke Rs Siti aisyah dengan keluhan
utama tidak bisa BAK sejak 1 hari SMRS. Dari anamnesis didapatkan awalnya penderita
mengeluhkan kesulitan BAK sejak 6 bulan SMRS disertai beberapa gejala obstruktif berupa
hesistensi, pancaran miksi lemah dan terputus-putus, urin menetes setelah miksi, miksi tidak
puas, dan gejala iritatif berupa frekuensi dan nokturia.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis pada
region suprapubik bulging (+), regio pinggang kanan dan kiri tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada pemeriksaan rektal toucher ditemukan TSA baik, ampula tidak kolaps, mukosa licin, tidak
ada nyeri tekan, prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata serta tidak
ditemukan nodul, terdapat feses dan tidak ada darah.
Pemeriksaan laboratorium menemukan sedikit penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit.
Saat dilakukan urinalisa didapatkan adanya eritrosit 8-10/lpb dan leukosit 10-15/lbp.
Berdasarkan anamnesis, pasien mengalami gejala LUTS. Gejala LUTS bisa ditimbulkan oleh
beberapa kelainan urologis seperti hiperplasia prostat jinak, karsinoma prostat, striktur uretra,
kontraktur leher buli, neurogenic bladder, batu uretra, karsinoma buli, fimosis, parafimosis,
trauma uretra, meatal stenosis dan prostatitis. Diagnosis-diagnosis banding tersebut dapat
disingkirkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik berikut:
- Riwayat trauma (-), riwayat pemasangan kateter (-), straddle injury (-), riwayat ISK (-), trauma
perut/pinggang (-), selain itu pada status lokalis regio genitalia pasien masih bisa dipasang
kateter, hal-hal ini menyingkirkan dugaan striktur uretra.
- Riwayat operasi prostat sebelumnya (-) hal ini menyingkirkan dugaan kontraktur leher buli
- DM (-), stroke (-), trauma tulang belakang, (-) dan pada RT TSA baik hal ini menyingkirkan
dugaan neurogenic bladder
- Demam (-), nyeri pada daerah perineum (-) pada pemeriksaan RT prostat tidak nyeri hal ini
menyingkirkan dugaan prostatitis
- Nyeri pinggang (-), hal ini menyingkirkan dugaan batu uretra
- Riwayat straddle injury (-), riwayat trauma pada perut/pinggang (-) hal ini menyingkirkan
dugaan trauma uretra
Jadi, diagnosis banding yang belum bisa disingkirkan pada pasien ini melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik adalah hiperplasia prostat jinak dan karsinoma prostat. Dari pemeriksaan
rectal toucher, karsinoma prostat sudah bisa disingkirkan. Namun, pemeriksaan tersebut

8
bukanlah gold standar yang dapat membedakan hiperplasia prostat jinak dan karsinoma prostat
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pada penderita ini direncanakan dilakukan open prostatektomi. Prognosis pada pasien ini,
quo ad vitam bonam dan quo ad functionam dubia ad bonam.
4. Plan :
Diagnosis Kerja
Retensio Urin e.c Benign Prostate hiperplasia
Diagnosis Banding
Retensio Urin e.c Benign Prostate hiperplasia
Retensio Urin e.c Karsinoma prostate
Terapi
 Kateterisasi urin
 IVFD RL gtt XX/menit
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr iv (ST)
 Pro operasi open prostatektomi
Rencana Pemeriksaan
USG Abdomen
BNO
Pendidikan : Kepada pasien dan keluarganya dijelaskan penyebab timbulnya penyakit yang
dideritanya dan komplikasi yang mungkin terjadi serta perlunya tindakan kateterisasi dan tindakan
operasi open prostatektomi sebagai penatalaksanaan definitif pada kasus ini.
Konsultasi : Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan spesialis bedah
Kontrol :
Kegiatan Periode Hasil yang Diharapkan
Nasihat Setelah open prostatektomi Pasien kontrol ke poli bedah RSUD
dan pulang Sekayu menilai dan melakukan
perawatan luka pascaoperatif

TINJAUAN PUSTAKA
Benign Prostate Hyperplasia
A. Definisi

9
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan
dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah1.
B. Anatomi Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi
bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior
rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang
paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm1.
Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang
melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat
vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia
denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup
keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai
suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus
ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum
didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada
permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk
oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang
tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih
sedikit dan fasia lebih sedikit2.

10
Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra
Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas 4 bagian utama2:
1. Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular.
Ini merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular
dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).
2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang
glandular, membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara
skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya
terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal
zona sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara
pada uretra pars prostatika bagian distal.
3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang
glandular, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus
ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-
buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika bagian distal. Zona
central dan perifer ini membentuk suatu corong yang berisikan segmen uretra
proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup melainkan dihubungkan
oieh stroma fibromuskular.
4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang
terkecil (5 %), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk
silinder dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar
periuretral bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.
C. Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami
peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia1.

11
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80%
pria yang berusia 80 tahun3.
D. Etiologi
Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain1:
Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka
tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain
androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu
antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa
di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan
produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan
terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat.
Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis,
prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap
estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)

12
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming
growth factor, transforming growth 1, transforming growth factor 2, dan
epidermal growth factor.
Teori Sel (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar
testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem
sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat
bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal
sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel
kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
Teori Dihidro Testosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat
oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%
dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke
dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk
kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha
reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang
masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan
transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
D. Patofisiologi
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra

13
vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik1.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi
uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor
ini disebut fase kompensasi1.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan
pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus1.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke
dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter.
Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari
buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
ke dalam gagal ginjal1.
E. Gambaran Klinis
Gejala Klinis
Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar
dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara lain1:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

14
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah1 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan
BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem
skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang
diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Sistem
skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor AUA
terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan
obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-
35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat3.
Tabel 2. IPSS
tidak < 1 x dlm
Dalam 1 bulan <50% ±50% > 50% hampir
sama 5
terakhir kejadian kejadian kejadian selalu
sekali kejadian
1. Terasa sisa 0 1 2 3 4 5

15
kencing
2. Sering kencing 0 1 2 3 4 5
3. Terputus-putus 0 1 2 3 4 5
4. Tidak dapat 0 1 2 3 4 5
menunda
5. Pancaran 0 1 2 3 4 5
lemah 0 1 2 3 4 5
6. Mengejan 0 1 2 3 4 5
7. Kencing
malam
Total
Pertanyaan no.8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan gejala di
atas.
8. Dengan keluhan seperti ini bagaimana anda menikmati hidup ini?
(1) sangat senang, (2) senang, (3) puas, (4) campuran antara puas dan tidak
puas, (5) sangat tidak puas, (6) tidak bahagia, (7) buruk sekali.
Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-
pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif.
Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan
skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri
derajat keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari mengapa skor Madsen-Iversen
digunakan di Sub Bagian Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo3.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat
penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan
tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain
seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan1:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate

16
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras
dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada
batu prostat akan teraba krepitasi1.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica
urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus
mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus1.
F. pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium1
 Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific
Antigen (PSA), Gula darah
 Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis,
sedimen
Pemeriksaan pencitraan1
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya
batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk
menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)

17
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat
pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk
seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit
(trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto setelah miksi dapat dilihat
adanya residu urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter
karena retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui1:
1. Anamnesis : adanya gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba
sebagai prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan
menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas
semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya
komplikasi
H. Diagnosis Banding
Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya3:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang
menggunakan obat-obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih

18
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.
I. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat
dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut1
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal
J. Penatalaksanaan
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan
teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi
bedah minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat
keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan dibahas penatalaksanaan BPH berupa
watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal
invasif3.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor
IPSS <>3.
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam
agar mengurangi nokturia.
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.

19
4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air
kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa:
skoring, uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat
(medikamentosa). Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini
dianggap rasional, yaitu dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim
5a reduktase, dan fitoterapi3.
 Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan
pada otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan
demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra
pars prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat
memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat
menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah
(fatique).
Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan
beberapa pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah
efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan
makin berat dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin
dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin dengan
dosis 0.2-0.4 mg/hari2.
 Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga
testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian,
konsentrasi DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi
sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom setelah 6
bulan terapi.

20
Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar
serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari.
 Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a
reduktase
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a
reduktase pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996.
Terdapat penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang
menggunakan penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan
mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok
lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa
dan baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari
tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla,
Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih
diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya3.
Terapi Bedah Konvensional
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan3:
1. Prostatektomi terbuka :
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
c. Prostatektomi perinealis (Young)
2. Prostatektomi tertutup :
a. Reseksi transuretral.
b. Bedah beku
Open simple prostatectomy
Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu
besar, di atas 100 gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat
dilakukan dengan teknik transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka
memberikan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada TUR-P1-23.
Terapi Invasif Minimal

21
Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat
yang menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan
elektrokauter. Sampai saat ini, TUR-P masih merupakan baku emas dalam terapi
BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat dilakukan dengan
endoskopi3.
Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia
(sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang
adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia (<1%),>3.
Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan
dengan ukuran prostat kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior
(leher kandung kemih yang tinggi)3.
Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa terjadi
adalah ejakulasi retrograd3.
Terapi laser
Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium
YAG. Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP)
yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser
ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy3.
Keuntungan terapi laser adalah perdarahan minimal, jarang terjadinya
sindrom TUR, mungkin dilakukan pada pasien yang menjalani terapi
antikoagulan, dan dapat dilakukan tanpa perlu dirawat di rumah sakit3.
Kerugiannya di antaranya tidak didapatkan jaringan untuk pemeriksaan
histopatologi, diperlukan waktu pemasangan kateter yang lebih lama, keluhan
iritatif yang lebih banyak, dan harga yang mahal1,2. Efek samping yang pernah
dilaporkan di Indonesia adalah perdarahan (2%), nyeri pasca operasi (3%), retensi
(19%), ejakulasi retrograd (3%), dan disfungsi ereksi (1%)3.
Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui
uretra atau rektum sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi3.

22
Trans urethral needle ablation (TUNA)
Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur,
dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan
panas, sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan
prostat3.
High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi
ultrasound dengan intensitas tinggi dan terfokus3.
Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk
mempertahankan lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan
harapan hidup terbatas dan tidak dapat dilakukan anestesi atau pembedahan3.
Transurethral baloon dilatation
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa
prostatika dan leher kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat
kurang dari 40g, sifatnya sementara, dan jarang dilakukan lagi3.

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Bristow, Nicola. Treatment and Management of Acute Appendicitis. Focus
Guided Reflection Clinical Article Vol.1000 No.43. Surrey, 2004; p.34-36.
2. Brunicardi. F. Charles. Chapter 29: The Appendix. Schwartz’s, Principles of
Surgery 8th edition Part II. McGraw- Hill’s, United States, 2007.
3. Purysko, Andrei S. Beyond Appendicitis : Common and Uncommon
Gastrointestinal Causes of Right Lower Quadrant Abdominal Pain at
Multidetector CT. Radiographics Gastrointestinal Imaging Journal Vol.31.
RSNA, 2011; p.927-47.
4. Doherty, Gerard M. Chapter 28: Appendix. Current Diagnosis & Treatment
13th edition. McGraw- Hill’s, United States, 2010.
5. Sjamsuhidajat, R. Apendiks Vermiformis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat - de Jong Edisi ke-3. Jakarta : EGC. 2011; p.755-62 .
6. Snell, Richard S. Appendix Vermiformis. Dalam: Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-6. Jakarta : EGC. 2006 ; p.230-31.

24

Anda mungkin juga menyukai