php/geo
e-ISSN: 2549–7057 | p-ISSN: 2085–8167
PENYELESAIAN SENGKETA
ADMINISTRASI PEMILIHAN
KEPALA DAERAH
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015
TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR,BUPATI DAN WALIKOTA
Abstrak
Norma hukum penyelesaian sengketa kepada penyelenggara pemilu lokal telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan di mana Badan Pengawas Pemilu Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten / Kota menyelesaikan sengketa yang keputusannya bersifat final
dan mengikat. Permasalahan dalam penelitian ini, pertama, bagaimana rasionalisasi
norma hukum, apakah putusan bersifat final dan mengikat perselisihan dapat dibatalkan
dan bagaimana cara penyelesaiannya sesuai asas dan norma hukum. Jenis penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif deskristif analitik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penalaran logis atau rasionalisasi norma hukum penyelesaian perselisihan tidak
mempermasalahkan baik filosofis, yuridis, sosiologis dan politis berdasarkan prinsip
hukum negara Pancasila. Badan Pengawas Provinsi dan Kabupaten / Kota memiliki
kewenangan atributif dan absolut untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi.
Peran Badan Pengawas Pemilu Provinsi dan Kabupaten / Kota melakukan penilaian secara
lengkap baik dari segi rechtmatigheid (kepastian) maupun doelmatigheid (kegunaan).
Untuk itu harus kredibel dan kompeten serta konsisten pada asas hukum untuk
mengurangi kelemahan yang masih ada.
Kata Kunci: Administrasi Sengketa, Ajudikasi, Final dan Mengikat dan Pemilu
Abstract
Legal norms of dispute resolution to local election administration has been specified in the
legislation where Election Supervisory Body of Province and District/Municipal authorities
resolve the dispute whose decision is final and binding. Problems in this study, first, how
rationalization of legal norms, whether the decision is final and binding dispute may be
canceled and how the settlement method according to the principles and legal norms. The study
is a normative juridical deskristif analytical. The results showed that the logical reasoning or
rationalization of the legal norms of appropriate dispute resolution never mind good
philosophical, juridical, sociological and political based on the principles of Pancasila state law.
Supervisory Body of Province and District/City have attributive and absolute authority to
examine and decide administrative disputes. The role of the Election Supervisory Body of
Province and District/Municipal conduct a complete assessment in terms of both
rechtmatigheid (certainty) and doelmatigheid (usefulness). For that it must be credible and
competent and consistent on the principle of law to reduce the weaknesses that still exist.
melanggar hak asasi warga negara, harus Undang Nomor 8 tahun 2015 pasal 142 (b)
ada pengadilan administrasi yang yaitu sengketa antar peserta pemilihan
menyelesaikannya. 11 Maka dengan dengan penyelenggara pemilihan akibat
merujuk kepada teori ini, dalam setiap keluarnya keputusan KPU Provinsi dan
sengketa atau adjudikasi yang terjadi KPU Kabupaten/Kota maka perlu
dalam proses atau tahapan pelaksanaan dipertanyakan apakah sengketa jenis ini
pemilihan kepala daerah, mengharuskan termasuk sengketa tata usaha negara
adanya struktur atau kelembagaan (TUN) atau tidak. Maka untuk menjawab
penyelesai sengketa. Dalam hal ini maka hal itu perlu dilakukan identifikasi
adapun proses penyelesaian sengketa didasarkan kepada norma aturan yang
yang dilakukan oleh Bawaslu Provinsi dapat dijadikan pijakan jawabannya.
dan Panwas Kabupaten/Kota Dalam pasal 142 (b) tersebut dapat diurai
dikategorikan sebagai proses adjudikasi unsurnya, yaitu : a) sengketa b) peserta
semu dalam bentuk persidangan mini pemilihan c) penyelenggara pemilihan d)
(mini trial). keputusan dan e) KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota. Dengan demikian,
Adapun yang menjadi objek
pertanyaan selanjutnya, apakah sengketa
sengketa pemilihan kepala daerah adalah
yang dimaksud dalam pasal 142 ayat (b)
setiap keputusan (beschikking) yang
ini merupakan sengketa tata usaha
dikeluarkan oleh KPU Provinsi dan KPU
negara atau tidak. Maka untuk
Kabupaten/Kota dalam setiap tahapan
mengidentifikasi karakteristik sengketa
Pilkada. Sengketa pemilihan yang terkait
ini dapat dirujuk kepada ketentuan
dengan keputusan KPU inilah yang kerap
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
banyak muncul dalam proses dan tahapan
1986 (UU Peratun). Berdasarkan pada
Pilkada sehingga permasalahan sengketa
identifikasi dengan rumusan norma
administrasi pemilihan ini perlu didalami.
aturan perundangan yang berlaku itu,
Mengenai penggunaan istilah maka dapat
“keputusan” dan “peraturan”, menurut
disimpulkan suatu keputusan yang
Jimly Asshiddiqie12, negara sebagai dikeluarkan oleh KPU Provinsi dan KPU
organisasi kekuasaan umum dapat Kabupaten/Kota dalam urusan
membuat tiga macam keputusan yang pelaksanaan (eksekutif/pemerintahan) di
mengikat secara hukum bagi subjek- bidang penyelenggaraan pemilihan
subjek hukum yang terkait dengan kepala daerah merupakan keputusan tata
keputusan-keputusan itu: Yaitu usaha negara yang dapat disengketakan
keputusan-keputusan yang bersifat karena memenuhi kriteria penetapan
umum dan abstrak (general and abstract) tertulis, konkrit, individual, final dan
biasanya bersifat mengatur (regeling), menimbulkan akibat hukum bagi
sedangkan yang bersifat individual dan seseorang atau badan hukum perdata.
konkret dapat merupakan keputusan Disini ada dua pihak, satu pihak pertama
yang bersifat atau berisi penetapan adalah seseorang atau badan hukum
administratif (beschikking) ataupun perdata yaitu peserta pemilihan (calon
keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim gubernur/wakil gubernur atau calon
yang lazimnya disebut dengan istilah bupati/wakil bupati atau calon
putusan. walikota/wakil walikota) dan pihak
Dengan melihat karakteristik kedua adalah badan/pejabat tata usaha
sengketa sebagaimana dalam Undang- negara yaitu KPU Provinsi dan KPU
sistem hukum dengan berbagai macam pihak tidak dihadapkan pada hasil
fungsinya dalam rangka mendukung keputusan menang atau kalah (win or
bekerjanya sistem hukum Pilkada. Salah loose) seperti halnya di lembaga peradilan
satu institusi tersebut adalah Bawaslu (murni), tapi dengan pendekatan
Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya
diberikan kewenangan oleh peraturan dapat terjadi pada tingkat obyektifitas
perundangan untuk menjalankan penilaian karena Badan/Pejabat tata
fungsinya sebagai struktur lembaga atau Usaha Negara yang menerbitkan surat
majelis dalam sistem peradilan keputusan kadang- kadang terkait
administrasi pemilihan pada Pilkada. kepentingannya secara langsung ataupun
Dikaitkan dalam sistem hukum Pilkada tidak langsung sehingga mengurangi
yang ada, salah satu institusi itu adalah penilaian maksimal yang seharusnya
Bawaslu dan Panwas Kabupaten/Kota ditempuh.
yang menjalankan fungsinya sebagai
struktur sistem peradilan administrasi
Pilkada. Komponen struktur hukum (legal Studi Putusan Sengketa Administrasi di
Panwas Kota Pematangsiantar
structure) yang menekankan pada upaya Mengacu pada makna terakhir (final) dan
dalam menyelesaikan sengketa yang mengikat (binding) dari putusan pengawas
pemilihan secara
terjadi dalam pemilihan kepala daerah.
Salah satu adalah sengketa utama yang harfiah, dapat diidentifikasi makna
timbul dalam proses tahapan pemilihan filosofis yuridis yang terkandung dalam
adalah sengketa administrasi pemilihan “putusan” Bawaslu Provinsi dan
sebagai akibat keluarnya keputusan KPU Panwas Kabupaten/Kota yang bersifat
yang merugikan kepentingan calon atau terakhir (final) dan mengikat (binding) ini
peserta pemilihan maupun masyarakat. ke dalam beberapa segmen (bagian) yakni
Maka Bawaslu Provinsi dan Panwas mewujudkan kepastian hukum,
Kabupaten/Kota dalam penyelesaian pengawas pemilihan berfungsi sebagai
sengketa administrasi pada proses pemutus sengketa (ajudikasi atau
Pilkada mempunyai kedudukan sebagai peradilan semu) dan alat pengendalian
wadah atau sarana perlindungan hukum sosial (a tool of social control).
bagi pihak yang dirugikan akibat Akibat hukum yang ditimbulkan
keluarnya keputusan tata negara di oleh putusan Pengawas Pemilihan yang
lapangan pemilihan kepala daerah adalah bersifat terakhir dan mengikat (final and
rasional, untuk mendapatkan binding) berdasarkan studi pustaka yang
perlindungan hukum dan keadilan dilakukan dibagi ke dalam 2 (dua) garis
dengan adanya upaya administrasi besar, yaitu akibat hukum yang
berupa banding administrasi. Banding bermakna positif dan akibat hukum yang
administrasi ini telah dikenal dalam bermakna negatif. Adapun akibat hukum
hukum administrasi negara atau tata dari putusan Pengawas Pemilihan bersifat
usaha negara yang merupakan bagian terakhir dan mengikat (final and binding),
dari bentuk upaya administrasi. yang bermakna positif yakni mengakhiri
Sisi positif upaya administrasi yang suatu sengketa hukum dalam tahapan
melakukan penilaian secara lengkap suatu Pilkada dan menjaga prinsip checks and
keputusan tata usaha negara (KTUN) baik controlling. Adapun akibat hukum yang
dari segi legalitas (rechtmatigheid) maupun ditimbulkan oleh putusan yang sifat
aspek opportunitas (doelmatigheid), para terakhir dan mengikat (final and binding)
orang yang berada dalam sistem hukum penataan materi peraturan perundang-
itu – keputusan yang mereka keluarkan, undangannya dalam hal ini Undang-
aturan baru yang mereka susun. Undang Pilkadanya adalah sangat
Penekannya di sini terletak pada hukum penting untuk memastikan peradilan
yang hidup (living law) , bukan hanya administrasi sebagai alat pencapaian
pada aturan dalam kitab hukum (law tujuan hukum : keadilan pemilu
books). (electoral justice) yang berkepastian dan
kemanfaatannya dapat dirasakan dan
Komponen ketiga dari sistem
terukur. Dalam kaitan ini, aspek hukum
hukum adalah budaya hukum. Yaitu
materil (norma) penyelesaian sengketa
sikap manusia terhadap hukum dan
yang diatur dalam Undang-Undang
sistem hukum – kepercayaan, nilai,
Nomor 1 Junto Nomor 8 tahun 2015,
pemikiran, serta harapannya. Dengan
dalam normanya telah mengatur sistem
kata lain budaya hukum adalah suasana
adjudikasi sengketa administrasi yang
pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
dilakukan oleh instansi bernama Bawaslu
menentukan bagaimana hukum
Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota
digunakan, dihindari atau disalah
dengan cara mempertemukan para
gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem
pihak untuk mencari titik temu
hukum itu sendiri tidak akan berdaya –
(bermusyawarah) dan jika tidak ada titik
seperti ikan yang mati terkapar di
temu maka diambil putusan yang final
keranjang, bukan seperti ikan hidup yang
dan mengikat dalam waktu dua belas (12)
berenang di lautnya.
hari. Subtansi norma aturan
Berkaitan hal ini, apabila teori penyelesaian sengketa ini untuk
Lawrence M Friedman dikaitkan dengan memberikan jaminan perlindungan
sistem peradilan administrasi di hukum dan kepastian hukum pula dan
Indonesia saat ini maka dalam “struktur” harus tetap ditegakkan. Maka dengan
terdapat dua lingkungan peradilan yaitu, demikian norma ini dapat dikatakan
yaitu lingkungan peradilan semu secara responsif mampu mengakomodir
(Bawaslu Provinsi dan Panwas tuntutan dan kebutuhan akan adanya
Kabupaten/Kota) dan lingkungan sarana complain atau keberatan yang
peradilan murni. Setiap peradilan terjadi dalam permasalahan pemilihan
memiliki yurisdiksinya kewenangan kepala daerah yang kompleks dan
sendiri-sendiri baik secara mutlak dinamis.
(absolut) maupun wilayah hukum
Dalam budaya hukum,
mengadili (relatif). Kewenangan absolut
pembicaraan difokuskan pada upaya-
adjudikasi sengketa administrasi (semu)
upaya untuk membentuk kesadaran
ada pada Bawaslu Provinsi dan Panwas
hukum masyarakat, membentuk
Kabupaten/Kota, sementara peradilan
pemahaman masyarakat terhadap
administrasi murni berada pada
hukum, dan memberikan pelayanan
pengadilan tinggi tata usaha negara (PT
hukum kepada masyarakat dalam setiap
TUN) yang berpuncak di Mahkamah
adjudiksi sengketa administrasi
Agung (MA).
pemilihan kepala daerah. Masyarakat
Kalau berbicara mengenai hukum dalam pemilihan kepala daerah
substansinya maka berbicara tentang adalah seluruh komponen struktur
bagaimana undang-undangnya, apakah hukum yang terlibat mulai dari
sudah memenuhi rasa keadilan, tidak penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu
diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi
dan DKPP), calon atau peserta pemilihan, mekanisme yang mendukung, akan tetapi
warga masyarakat, pemerintah daerah, sebagai suatu sistem peradilan
penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) adminitrasi mestinya memiliki parameter
dan yang utama adalah bagaimana yang standar atau alat ukur atau batu uji
kesadaran hukum struktur sistem dalam menilai suatu sengketa secara
peradilan administrasi pemilihan kepala lengkap baik dari segi objek penilaian
daerah yaitu KPU, Bawaslu/Panwas, rechtmatigheid maupun doelmatigheid.
DKPP yang merupakan satu kesatuan Parameter atau ukuran yang diharapkan
sistem penyelenggaraan pemilu memiliki tentunya sesuai dengan prinsip hukum
kesadaran, memposisikan diri sesuai yang ada.
tugas dan fungsinya masing-masing,
Ada dua parameter uji yang dapat
berlaku tertib dan pasti untuk menjamin
digunakan dalam melakukan segi
terwujudnya keadilan pemilu (electoral
penilaian secara lengkap berdasarkan
justice) yang diharapkan.
prinsip hukum, antara lain prinsip atau
azas umum pemerintahan yang baik
Parameter “Batu Uji” Dalam Aspek (AUPB) dan prinsip penyelenggaraan
Pengujian pemilu atau pemilihan umum.
Peraturan kebijakan merupakan
Asas-asas umum pemerintahan
instrumen yang selalu melekat pada
yang baik yang selanjutnya disingkat
administrasi negara. Yang menjadi
AUPB adalah prinsip yang digunakan
masalah, ada kalanya peraturan
sebagai acuan penggunaan wewenang
kebijakan tersebut kurang
bagi pejabat pemerintahan dalam
memperhatikan tatanan hukum yang
mengeluarkan keputusan dan/atau
berlaku. Berbagai aturan kebijakan
tindakan dalam penyelenggaraan
menyimpang dari ketentuan-ketentuan
pemerintahan. Sebagaimana pasal 10
hukum yang berlaku karena terlalu
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014
menekankan aspek “doelmatigheid” dari
tentang administrasi pemerintahan,
pada “rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam
AAUB dimaksud adalah kepastian
ini sepintas lalu dapat dipandang
hukum, kemanfaatan,
sebagai “terobosan” atas ketentuan-
ketentiuan hukum yang dipandang tidak
memadai lagi. Namun demikian dapat
ketidakberpihakan, kecermatan, tidak
menimbulkan kerancuan dan
menyalahgunakan kewenangan,
ketidakpastian hukum.27 Dalam keterbukaan, kepentingan umum dan
konteks menilai atau menguji apakah pelayanan yang baik.
suatu keputusan atau tindakan hukum
administrasi negara lebih cenderung Sementara prinsip penyelenggara
menitikberatkan kepastian hukum saja pemilu atau pemilihan merupakan prinsip
atau kebijaksanaan saja atau memang yang dapat pula memberikan kerangka
sudah secara berimbang ukuran penilaian apakah suatu
memperhatikan segi keduanya, keputusan badan/pejabat administrasi
memerlukan parameter atau ukuran yang negara telah secara bijaksana atau tidak
standard dan sesuai prinsip hukum. dalam membuat keputusan administrasi
negara. Sebagaimana pasal 2 Undang-
Maka, sebagai majelis banding Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang
administrasi, tidak cukup hanya memiliki penyelenggara pemilu, ada dua belas
kesiapan struktur aparatur dan (12) asas atau prinsip yang harus
G. Risalah Sidang
Risalah Rapat Panitia Kerja RUU
Tentang Pemilihan Kepala
Daerah, Komisi II DPR RI
(Tahun Sidang 2012- 2013),
Jakarta, Rabu 13 Februari 2013.