Anda di halaman 1dari 16

BAB I

KASUS

A. WAKTU PELAKSANAAN
Hari, Tanggal : Rabu, 20 Juli 2018

Waktu : 08.00 - 13.00 WIB

Tempat : Puskesmas II Cilongok

B. IDENTITAS PASIEN
Nama :F

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 4 tahun

Alamat : Kasegaran RT 01 RW 01

Pekerjaan : Sekolah TK

Agama : Islam

Asuransi kesehatan :-

C. SACRED SEVEN
Keluhan utama : Mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung
Onset/kronologi : Sejak 1 jam yang lalu
Kuantitas : Darah mengalir segar kurang lebih 1 sendok makan
Kualitas : Ringan
Faktor peringan : Saat posisi duduk
Faktor pemberat : Saat posisi tidur
Gejala tambahan : Pilek (+/+), demam (+), diare (-)
Riwatat Penyakit Sekarang :
Seorang laki-laki berusia 4 tahun datang dengan ke Puskesmas Cilongok dengan
keluhan keluar darah dari kedua lubang hidungnya sejak 1 jam yang lalu. Pasien
mengeluhkan darah keluar berwarna merah segar dengan jumlah kurang lebih 1 sendok

1
makan. Pasien datang ke puskesmas dalam keadaan darah sudah berhenti, namun masih
ada darah yang kering yang tersisa di bagian ujung kedua lubang hidungnya, dan darah
yang tersisa keluar bersama ingus. Sebelumnya terdapat riwayat trauma terjadi benturan
oleh kepala temanya. Pasien tidak mengorek-ngorek hidungnya, terdapat keluhan pilek
dan demam. Keluhan pilek terjadi sejak 2 hari yang lalu dengan secret serosa. Riwayat
penyakit dahulu dan keluarga disangkal. Pasien memiliki kebiasaan makan jajan yang
mengandung MSG dan suka minum es. Saat terjadi perdarahan orang tua pasien
melakukan penanganan utama dengan memberikan tampon berupa kapas.

D. FUNDAMENTAL FOUR
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mimisan (-), riwayat trauma pada daerah wajah/hidung (-), menderita penyakit
kelainan darah (-)
Riwayat Kesehatan Keluarga :
Tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini
Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien datang tidak menggunakan asuransi kesehatan, diantar oleh ibunya.
Riwayat kebiasaan :
Pasien sehari-hari sekolah di TK, pergaulan baik, jajan di luar (+), suka minum es, tidak
ada riwayat alergi.

E. HASIL PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
BB : 15,6 kg
TB : 105 cm
Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 120/90 mmHg
b. Frekuensi Napas : 20 x/menit
c. Denyut Nadi : 100 x/menit
d. Temperatur : 380C

2
Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan luar :
Trauma (+/+), deformitas (-/-), kelainan kongenital (-/-), radang (-/-), massa (-/-)
b. Sinus paranasal : Nyeri tekan (-/-)
c. Vestibulum : Vibrise (-/-), radang (-/-)
d. Cavum nasi : Rongga cukup lapang, secret serosa (+/+)
e. Septum : Deviasi (-/-), permukaan licin, spina (-/-), abses (-/-), massa (-/-)

F. ASSESMENT
Epistaksis anterior
G. TERAPI/PENATALAKSANAAN
Paracetamol 3 x 1 ½
Puyer ( Vitamin K + Dekametason)

3
BAB II
DASAR TEORI DAN PEMBAHASAN

A. DASAR TEORI
1. DEFINISI
Epistaksis didefinisikan sebagai pendarahan dari lubang hidung, rongga hidung, atau
nasofaring. Epistaksis terjadi karena pecahnya pembuluh darah di dalam hidung. Ini
mungkin spontan atau disebabkan oleh trauma. Epistaksis jarang mengancam
kehidupan dan biasanya berhenti sendiri. Epistaksis dapat dibagi menjadi 2 kategori,
berdasarkan lokasi perdarahan: anterior (di depan hidung) atau posterior (di belakang
hidung) (Endang, 2010).
2. ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus
Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior,
di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya
anastomosis (Maron, 2013).
Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang
jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara &
lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah,
infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan
kongenital (Nuty & Endang, 2013)
a. Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain
- Trauma
- Obat semprot hidung (nasal spray)

4
- Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan
kokain
- Kelainan vaskular. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s
granulomatosis (kelainan yang didapat)
b. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis
pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis
dan kekakuan pembuluh darah (Middleton, 2014). Penyebab epistaksis yang
bersifat sistemik antara lain
- Usia. Epistaksis dapat terjadi di semua kelompok umur, tapi paling dominan
berpengaruh pada orang tua (50-80 tahun) dan anak-anak (2-10 tahun)
- Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia)
merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan.
Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang
hebat
- Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan
antiplatelets (aspirin, clopidogrel)
- Kurangnya faktor koagulasi (trombositopenia, koagulopati kongenital/di
dapat, defisiensi vitamin A, D, E, C, atau K, penyakit liver, gagal ginjal,
malnutrisi, polisitemia vera, multipel mieloma, leukemia)
- Penyakit kardiovaskular (congestive heart failure, stenosis katup miral)
- Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis
- Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol
- Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau
hormon mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau
hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism
c. Faktor Lingkungan
Angka kejadian epistaksis ditemukan meningkat selama bulan musim kemarau,
seringkali dihubungkan dengan perubahan temperatur dan kelembaban (Fletcher,
2012). Insiden epistaksis juga terkait ke irama sirkadian, dengan peningkatan di
pagi hari dan akhir sore hari (Middleton, 2014).

5
Kelainan sistemik yang paling sering berhubungan dengan epistaksis adalah
hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi dan epistaksis dipikirkan bahwa
bertambahnya usia menginduksi terjadinya fibrosis pada tunica media. Hal ini
bisa menyebabkan gangguan vasokonstriksi yang adekuat pada pembuluh darah
apabila terjadi ruptur (Massick, et al., 2015).

3. KLASIFIKASI
Berikut merupakan klasifikasi epistaksis berdasarkan letaknya, menurut Soepardi,
2013:

4. PATOFISIOLOGI
Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang keluar
melalui lubang hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Secara patofisiologis, bisa
dibedakan menjadi epistaksis anterior dan posterior. 90% epistaksis berasal dari
bagian depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding rongga hidung. Bagian
dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung banyak pembuluh
darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan melembabkan udara
yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh dari luar, selain
karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang
paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah
tinggi), teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah
pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi
hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan
epistaksis. Jenis 14 epistaksis yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan
pertolongan pertama di rumah (Isezuo, 2014).

6
Berdasarkan etiologi dari epistaksis, salah satu penyebab epistaksis akibat gangguan
sistemik dicetuskan oleh adanya hipertensi. Berdasarkan penelitian yang ada, faktor
hipertensi ini merupakan penyebab sistemik tersering yang menyebabkan epistaksis.
Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia, sehingga setiap diagnosis hipertensi
harus bersifat spesifik terhadap usia. Namun secara umum, seseorang dianggap
mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi daripada 140 mmHg
sistolik atau 90 mmHg diastolik (Corwin & Elizabeth, 2012).
Karena tekanan darah bergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup
dan TPR , maka peningkatan salah satu dari ketiga variable yang tidak dikompensasi
dapat menyebabkan hipertensi (Corwin & Elizabeth, 2012).

Hipertensi trauma
Udara dingin/kering

Kelemahan P.D Benda asing Menyebabkan


kerusakan mukosa
nasal
Tekanan darah ↑ Laserasi mukosa
nasal & mencapai
P.D P.D dinasal lebih
terekspos dgn
Pecahnya P.D yang lingkungan
tipis termasuk area
Ruptur P.D
pleksus kiesselbach

Epistaxis Anterior Epistaxis Posterior

(Price, 2012)
5. PENATALAKSANAAN
a. Epistkasis anterior
Menurut Munir et al. (2016), Ballenger (2010) dan Soepardi et al. (2013) terdapat
3 prinsip utama dalam penatalaksanaan epistaksis yaitu (1) menghentikan
perdarahan; (2) mencegah komplikasi; dan (3) mencegah berulangnya epistaksis.

7
1) Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan
kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang
punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
2) Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan
bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan
adrenalin 1 : 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa
sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit.
Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian
anterior atau posterior.
3) Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan
jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan
tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi
ini harus segera diatasi. ika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus
dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa
tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus dipikirkan pemberian transfuse sel-sel darah merah (packed red cell)
disamping penggantian cairan.
4) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit baik dengan tangan.
Penekanan langsung ini dapat dilakukan selama 5-20 menit. Biasanya 65-80%
kasus epistaksis anterior akan berhenti setelah pemberian kompresi langsung
ini. Jika dengan kompresi langsung perdarahan tidak kunjung berhenti, dan
apabila telah ditemukan sumber perdarahan berasal dari bagian anterior rongga
hidung (epistaksis anterior), maka langkah penatalaksanaan selanjutnya yang
dapat dilakukan pada pasien tersebut adalah :
a) Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi

8
lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain
4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga
hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi
lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat
10%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan
larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat
terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada keduam
sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat
kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.
b) Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber
perdarahan tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan
tampon anterior dengan menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi
vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari
dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Dapat juga
menggunakan swimmer’s nose clip untuk penanggulangan epistaksis
anterior.
b. Epistasksis posterior
Menurut Munir et al. (2016) dan Cho & Kim (2012) perdarahan dari bagian
posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari
sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior.
1) Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat
menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya
darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon posterior.
Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan
tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil
melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam
dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah

9
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon
tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan
tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih
tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon posterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares
anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang
hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang
terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.
2) Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber
perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi
sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten.
3) Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam
mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter
Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari
hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi
topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F
diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring.
Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik
kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika
dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon
anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan
pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan,
maka dilakukan pemasangan tampon posterior (Traboulsi, 2015)
6. KOMPLIKASI

10
Komplikasi dapat terjadi akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari
usaha penanggulangan epistaksis (Endang & Retno, 2010).
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan
darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner, sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya
(Endang & Retno, 2010).
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septicemia, atau
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila
perdarahan berlanjut dipasang tampon baru (Soetjipto, 2012).
7. PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain:
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat
tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam secangkir
gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin atau ibuprofen, dan warfarin.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi. (Lubis, 2017)

11
8. PROGNOSIS
Prognosis Prognosis epistaksis baik tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan
kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan
ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan.
Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresif (Nguyen,
2011).
B. PEMBAHASAN
Perdarahan hidung terjadi karena adanya trauma saat sedang bermain. Trauma
merupakan kelainan local yang menyebabkan terjadi epistaksis. (Nuty & Endang, 2013).
Menurut Soepardi, 2013, epistaksis dibedakan menjadi 2 yaitu epistaksis anterior dan
posterior. Berdasarkan hasil anamnesis disimpulkan pasien ini menderita epistaksis
anterior. Epistaksis anterior terjadi karena pecahnya pembuluh darah hidung dalam
bagian depan atau biasanya disebut pleksus kieselbach. Pleksus kieselbach terdiri dari
arteri ethmoidalis anterior, arteri splenopalatina, artery labialis superior, dan artery
palatine mayor. Kemungkinan darah yang keluar pada pasien disebabkan karena
pecahnya pembuluh darah pleksus kieselbach. Epistaksis anterior ini terjadi lebih sering
pada anak-anak. (Soepardi, 2013).
Penatalaksanaan awal epistaksis dengan memberikan tampon untuk menghentikan
perdarahan. Kemudian pasien diperiksa dengan menggunakan rinoskopi anterior untuk
memeriksa concha apakah terjadi hipertrofi. Setelah itu diberikan tampon yang
mengandung epinefrin. Apabila setelah diberikan tampon concha mengecil itu untuk
membedakan dengan polip nasi. (Ballenger, 2010). Pada kenyataanya di puskesmas tidak
dilakukan pemeriksaan rinoskopi anterior sehingga tidak bisa mengetahui struktur hidung
bagian dalam apakah ada kelainan atau tidak.
Dokter mendiagnosa pasien terkena epistaxis bagian anterior. Untuk menghentikan
perdarahan diberikan obat vitamin K untuk antitrombois, untuk antipiretik diberikan
paracetamol. Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien adalah berupa penatalaksanaan
yang bertujuan untuk memberbaiki posisi umum, mencegah komplikasi dan epistaxis

12
berulang. Praktikan dapat memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga pasien
mengenai tata cara yang benar saat terjadi mimisan/epistaxis (Soepardi, 2013).

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Pada hari Rabu, 20 Juli 2018 saya melakukan field lab di Puskesmas II Cilongok.
Dipuskesmas tersebut mendapatkan pasien bernama F berumur 4 tahun, alamat
Kasegaran rt 01 rw 01, datang diantar oleh ibunya bernama Ny.W. F datang ke
puskesmas dengan keluhan keluar darah dari hidungnya sejak 1 jam yang lalu. Pasien
tersebut datang dengan keadaan perdarahan di hidungnya sudah berhenti. Keluhan
tersebut terjadi karena terbenturnya pembuluh darah di hidung oleh kepala teman
sebayanya saat bermain di sekolah taman kanan-kanan. Darah keluar menetes dari bagian
depan hidung kira-kira 1 sendok. Untuk riwayat penyakit dahulu belum pernah
mengalami keluhan seperti ini. Pasien juga datang dengan keluhan pilek sejak 2 hari yang
lalu, akibat kebiasaanya yang sering minum es. Saat terjadi perdarahan pada hidung ibu
pasien langsung memberikan pertolongan pertama dengan menyumbat perdarahan
tersebut dengan kapas sampai perdarahan berhenti.
Dari hasil anamnesis disimpulkan pasien ini menderita epistaksis anterior.
Epistaksis anterior terjadi karena pecahnya pembuluh darah hidung dalam bagian depan
atu biasa disebut plekus kieselbach. Plexus kieselbach terdiri dari arteri ethmoidalis
anterior, arteri splenopalatina, arteri labialis superior, dan artery palatina mayor.
Penyebab epistaksis anterior yaitu trauma karena benturan kecil, mengorek hidung,
bersin, mengeluarkan ingus terlalu keras. Epistaksis anterior ini terjadi ;ebih sering pada
anak.
Penanganan awal yang diberikan untuk mengehentikan perdarahan sudah sesuai
dengan teori yaitu dengan posisi duduk, kepala ditundukan kebawah, dan diberikan
tampon kapas sampai perdarahan berhenti. Dokter meresepkan obat puyer dengan
campuran vitamin K untuk pembekuan darah dan diberikan dexametason.

13
B. SARAN
Berdasarkan kegiatan field lab di Puskesmas II Cilongok sebaiknya praktikan
sebelum melakukan anamnesis sudah mengetahui dan memahami materi-materi dari blok
yang berkaitan sehingga mampu memberikan informasi pengetahuan mengenai kasus-
kasus dari blok yang terkait. Praktikan mampu melakukan anamnesis berdasarkan sacred
seven dan fundamental four sedetail-detailnya agar informasi yang di peroleh sesuai
dengan apa yang disampaikan pasien. Diharapkan praktikan mendapatkan setiap kasus
dari blok-blok terkait meskipun tidak semua pasien masuk dalam kasus blok terkait
sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai target dari kasus-kasus
yang harus di dapatkan. Praktikan mampu memberikan penatalaksanaan non-medika
mentosa berupa edukasi yang bermanfaat agar pasien selalu sehat dan mematuhi setiap
rekomendasi dari dokter.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ballenger, J.J. (2010). Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa
staf ahli bagian THT. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Cho, J.H. & Kim, Y.H. (2012). Epistaxis. In. B.S. Gendeh (Ed.). Otolaryngology.
Rijeka, Croatia : InTech.

Corwin, J., Elizabeth, BSN, PhD. (2012). Hipertensi. Patofisiologi. Jakarta:EGC. Hal 356-
361.

Fletcher, L. (2012) Epistaxis. Surgery (Oxford); 27:512–17.

Endang, M., Retno, W. (2010). Epistaksis. Soepardi EA, Iskandar NH. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Isezuo, S.A. (2014). Relationship Between Epistaksis and Hypertension: A Study of Patient
Seen In The Emergency Units of Two Tertiary Health Institutions in Nigeria. Nigerian
Journal Of Clinical Practice. December. Vol 11(4): 379-382.

Lubis, B. & Saragih, R.A.C. (2017). Tatalaksana epistaksis berulang pada anak.
Jakarta. Sari Pediatri.

Maron, A.G.D. (1993). (eds). Otorhinolaryngology Including Oral Medicine and Surgery.
Vol. 4 Baltimore, University Park Press.

Massick, Douglas, Evan, J.Tobin. (2015). : Epistaxis and Nasal Trauma. Otolaryngology-
Head and Neck Surgery vol. 2, 4th ed., Edited by Cummings, Fredrckson, Harker,
Krause, & Schuller, Mosby Year Book, St. Louis, Missouri, Hal. 942-961.

15
Middleton, P. (2014). Epistaxis. Emerg Med Australas;16:428–40. Mulla, O., Prowse, S.,
Sanders, T., Nix, P. (2012). Epistaxis. BMJ;344:e1097. Diakses 15 Maret 2016, dari
www.bmj.com/content/344/bmj.e1097 36

Munir, D., Haryono, Y. & Rambe, A.Y.M. 2016. Epistaksis. Jakarta. Majalah
Kedokteran Nusantara.

Nguyen, Q.A. (2011). Epistaxis. Diakses 20 Maret 2016, dari


http://emedicine.medscape.com/article/863320-overview

Nuty, W.N., Endang, M. (2013). Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 6. Jakarta, Balai Penerbit FK
UI,: 155– 59.

Price, Anderson, Lorraine, 2012. Patofisiologi Vol 1. Ed 6. AGC. Jakarta.

Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. 2012. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I (ed).
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Resuti, R. (2013). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Traboulsi, H., Alam, H. & Hadi, U. (2015). Changing trend in the management of
epistaksis. International Journal of Otolaryngology, 15, 1-7.

16

Anda mungkin juga menyukai