BAHAN AJAR
ASSASMEN DAN PEMAHAMAN INDIVIDU
Indikator
1. Latar belakang timbulnya human assessmen
2. Konsep dasar asesmen dan pemahaman individu
3. Berbagai alat instrumen non-tes
4. Merancang kisi-kisi instrumen non tes untuk pengumpul data
5. Membuat item-item instrumen non tes
6. Melakukan uji coba instrument
7. Melaporkan hasil uji coba instrument
B. Uraian Materi
Wilayah Pengetahuan
Kekhususan Konseling
Pendidikan Kesadaran
Perkawinan Kode Etik Profesi
Karir Landasan dan Kompetensi
Rehabilitasi kependidikan
Kesehatan
mental Landasan Filosofis, Religius, Kultural
Traumatis
4. Dilihat dari cara koreksinya, tes dibedakan menjadi (a) tes obyektif
yaitu tes yang kunci jawabannya atau standar skor-nya telah ditetapkan sehingga
bisa dikoreksi siapapun dengan hasil yang sama, (b) tes nonobjective atau tes
subyektif atau tes essay yaitu tes yang standar skor-nya benar-benar subyektif, lain
orang yang mengoreksi lain pula hasilnya. Beberapa tipe tes kepribadian
menggunakan bentuk tes subyektif.
4
5. Dilihat dari isinya (content) atau tugas yang harus dkerjakan oleh testee
dibedakan menjadi (a) tes verbal, yaitu tes yang berupa kata-kata, diagram atau
teka-teki (puzzle), dan (b) tes perbuatan (performance test) yaitu tes yang
mengharuskan testee memainkan atau menggerakkan obyek, seperti pasak dalam
lubang, menyususun benda-benda..
6. Dilihat dari aspek atau proses mental yang diungkap, tes bisa
dikelompokkan menjadi
a. Tes kognitif (cognitive test) yaitu tes yang berupaya mengukur
proses dan hasil aktifitas mental, dan juga tes prestasi dan kecerdasan. Tes
prestasi (achievement test) adalah tes yang mengukur pengetahuan akademik
dan pekerjaan, fokusnya adalah pemeriksaan terahadap perubahan perilaku
seseorang setelah ia belajar atau menyelesaikan suatu program). Tes
kecerdasan (aptitude test) memusatkan pada perilaku yang akan datang, yaitu
bagaimana kemampuan belajar seseorang dan kesesuaiannya dengan program
yang hendak dipilih. Dengan demikian tes bakat mekanik (test of mecanical
aptitude) dan tes bakat sekretaris (test of clerical aptitude) adalah dirancang
untuk meramalkan kemampuan seseorang untuk mengikuti pendidikan dan
tugas-tugas dalam bidang mekanik atau sekretaris Diakui bahwa antara
prestasi dan kemampuan tidak bisa dipisahkan secara tegas, apa yang telah
dicapai seseorang hampir selalu berkaitan dengan kemampuan atau bakatnya.
b. Tes affective yaitu tes yang dirancang untuk mengukur minat , sikap,
nilai-nilai, motiv, temperament, dan sifat, serta hal-hal yang tidak termasuk
dalam katageri selain kecerdasan (noncognitive charachteristic personality).
Beberapa teknik termasuk di dalamnya adalah observasi, pelaporan diri
(inventory), dan tes gambar proyektif.
7. Di samping itu ada pula penglompokan secara umum menjadi dua belas
macam, yaitu tes prestasi (achievement test), penilaian tingkah laku (behavior
assessment), tes perkembangan, pendidikan, bahasa Inggris, bahasa asing (foreign
language), tes inteligensi dan kemampuan bersekolah, matematika, berbagai
kemampuan (miscellaneous), alat (tes) untuk berbagai kemampuan (multi-aptitude
batteries), berkaitan dengan syaraf (neuropsychological), kepribadian
(personality), membaca, sensory-motor sosial studies, berbicara dan
mendengarkan, pekerjaan (vocations)
5
Tes Standar
Penysusnannya
Tes Non-standar
Tes Individual
Jumlah subyek
Tes Kelompok
Tes Kecepatan
Waktu yg
disediakan
Tes Kemampuan
Tes Obektif
KLASIFIKASI
TES
Cara Koreksinya
Tes Subyektif
(Essay)
Tes Kata-kata
Isinya (content)
Tes Perbuatan
Tes Kognitif
Aspek/proses
mental yg diukur
6
Tes Afektif
Pemahaman individu atau human assessment didefiniskan oleh Aiken (1997 : 454)
sebagai ”Appraising the presence or magnitude of one or more personal characteristics.
Assessing human behavior and mental processes includes such procedures as
observations, interviews, rating scale, checklist, inventories, projectives techniques, and
tests” Dari rumusan Aiken di atas bisa difahami, bahwa pemahaman individu adalah suatu
cara untuk memahami, menilai, atau menaksir karakteristik, potensi, dan atau masalah-
masalah (gangguan) yang ada pada individu atau sekelompok individu. Cara-cara yang
digunakan itu mencakup observasi, interview, skala psikologis, daftar cek, inventory, tes
proyeksi, dan beberapa macam tes.
Pemahaman atau penilaian itu dimaksudkan untuk kepentingan pemberian bantuan
bagi pengembangan potensi yang ada padanya (developmental) dan atau penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapinya (klinis). Dalam melakukan asesmen itu, lazm
digunakan berbagai instrumen yang bisa dekelompokkan menjadi dua, yaitu dengan cara
tes dan non-tes. Aiken (1997 : 1) dalam bukunya menunjukkan bahwa manusia dalam
kenyataannya berbeda-beda dalam kemampuan berpikirnya, karakter kepribadiannya, dan
tingkah lakunya. Semuanya itu bisa ditaksir atau diukur dengan bermacam-macam cara.
Pemahaman terhadap asal mula tes psikologis bisa memberikan wawasan terhadap tes-
tes dewasa ini. Namun menurut Anastasi ( 2006 : 36) tidak mudah menemukan akar-akar
tes karena hilang ditelan waktu, namun dari penelusurannya ditemukan bahwa, di kalangan
orang Yunani Kuno tes merupakan pendamping tetap proses pendidikan, tes dugunakan
untuk mengukur keterampilan fisik dan intelektual. Pada abad pertengahan, tes juga
digunakan sebagai ujian formal ketika universitas-universitas di Eropa hendak memberi
gelar dan penghargaan.
Selanjutnya perkembangan tes psikologis disajikan secara singkat berikut :
1907) melakukan eksperimen selama beberapa tahun dengan metode yang disebutnya
“metode pelatihan fisiologis”, dan pada tahun 1837 ia mendirikan sekolah pertama
bagi anak-anak dengan keterbelakangan mental. Pada tahun 1848 dia berimigrasi ke
AS dan di sana gagasannya diterima orang. Banyak teknik pelatihan pancaindra dan
pelatihan otot yang banyak diterapkan dalam lembaga-lembaga untuk orang dengan
keterbelakangan mental diciptakan oleh Seguin. Dengan metode ini, anak-anak dengan
keterbelekangan mental diberi latihan intensif dalam pembedaan inderawi dan dalam
pengembangan kendali motorik. Cara-cara yang dikembangkan Seguin ini pada
akhirnya dimasukkan ke dalam tes-tes inteligensi non-verbal atau tes-tes tentang
kinerja seseorang. Salah satu contoh adalah “Seguin Form Board”, dalam tes ini
individu diminta untuk memasukkan balok-balok yang berbeda bentuknya ke dalam
lubang-lubang yang sesuai secepat mungkin.
Mendasarkan pada T.H Wolf (1973), Anasatasi menunjukkan bahwa lebih dari
setengah abad setelah karya Esquirol dan Seguin, psikolog Perancis Alfred Binet
mendesak agar anak-anak yang gagal memberikan respon pada sekolah yang normal
diperiksa sebelum pulang sekolah, dan jika dinilai bisa dididik anak-anak itu
ditempatkan pada kelas-kelas khusus. Ia mendorong Ministry of Public Instruction
untuk mengambil langkah-langkah guna memperbaiki kondisi anak-anak terbelakang.
1
Antropometri adalahulmu pengetahuan tentang pengukuran bentuk-bentuk tubuh, khususnya
perbandingan-perbandingan dan frekuensi relative dari terjadinya sifat-sfat karakteristik jasmaniah antara
suku, kebudayaan, jenis kelamin, dan lain-lain. Antromofisme menafsirkan tingkah laku dari bentuk-bentuk
yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuan atau sifat-sifat karakteristik manusiawi.
9
mencatat bahwa Binet sendiri menghindari istilah ”usia mental” karena implikasi
perkembangannya tak terverivikasi, dan ia sendiri lebih menyukai istilah ”tingkatan
mental” yang dipandang lebih netral.
Revisi ketiga atas skala Binet-Simon muncul pada tahun 1991, tahun
meninggalnya Binet pada usia yang masih muda. Dalam skala ini tidak dilakukan
perubahan fundamental, tetapi hanya sekedar perubahan kecil berupa relokasi atas tes-
tes khusus. Lebih banyak ters ditambahakan ke beberapa tingkatan usia, skala inipun
diperluas sampai pada level orang dewasa. Tes yang dikembangkan Binet-Simon ini
sejak sebelum dilakukan revisi 1908 telah menarik perhatian psikolog di seluruh dunia,
terjemahan dan adaptasinya muncul di banyak negara termasuk di Amerika serikat
yang dilakukan oleh H.H. Goddrad. Revisi Goddrad amat berpengaruh terhadap
penerimaan tes inteligensi oleh kalangan profesi medis. Revisi muncul pada saat yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak terhadap ukuran yang
terstandardisasi yang digunakan dalam rangka mendiagnosis dan mengklasifikasikan
orang-orang yang terbelakang mental. Akan tetapi sebagai alat tes, revisi ini segera
didahului oleh instrumen Stanford-Binet yang lebih luas dan lebih baik secara
psikometris, yang dikembangkan oleh L.M. Terman dan kawan-kawan di Stanford
University. Dalam tes inilah istilah IQ (intelligence Quotient) atau nisbah antara usia
mental dan usia kronologis pertama kali dikenalkan.
6. Tes Kelompok
Tes yang dikembangkan Binet dengan segala revisinya adalah skala individual,
artinya tes-tes itu dilaksanakan untuk perorangan. Banyak tes dalam skala ini
membutuhkan tanggapan lisan dari peserta tes atau membutuhkan manipulasi materi,
bahkan beberapa tes menuntut pengukuran waktu tanggapan individu. Di samping itu
tes Binet ini membutuhkan penguji tes (tester) yang amat terlatih. Tes seperti ini pada
dasarnya adalah instrumen-instrumen klinis yang sesuai untuk telaah mendalam
terhadap kasus-kasus individu.
Tes kelompok seperti halnya skala Binet, pada mulanya dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan praktis, yaitu ketika Amerika serikat memasuki Perang Dunia I
pada tahun 1917. Sebuah komisi ditunjuk oleh American Psychological Association
untuk menemukan cara psikologis yang bisa membantu dalam perang itu. Komisi ini di
bawah pengarahan Robert M. Yarkes, memandang perlu adanya klasifikasi kilat
terhadap 1,5 juta orang yang direkrut. Klasifikasi itu didasarkan atas tingkat intelektual
umum mereka, informasi itu pada kahirnya dijadikan dasar bagi penerimaan atau
penolakan seseorang dari dinas militer, penempatan seseorang ke berbagai dinas, atau
penerimaan seseorang ke dalam kamp perwira. Dalam tugas ini, psikolog angkatan
darat mengambil semua materi tes yang tersedia, utamanya tes inteligensi kelompok
yang belum dipublikasikan, yang disiapkan dan diberikan kepada angkatan darat oleh
Arthur S. Otis. Sumbangan utama tes Otis, yang dirancang saat menjadi mahasiswa
saat kuliah di Program Pascasarjana dengan Terman adalah pengenalan pilihan ganda
dan jenis-jenis ”soal obyektif” lainnya.
Tes-tes yang akhirnya dikembangkan oleh psikolog angkatan darat ini dikenal
dengan nama ”Army Alpha dan Army Beta”. Tes Army Alpha dirancang untuk tes rutin
umum, sedang tes Army Beta adalah skala non-bahasa yang diterapkan untuk orang-
orang buta huruf dan orang asing yang tidak mampui berbahasa Inggris. Kedua jenis
tes ini menyebar penggunaannya pada masyarakat sipil, yang mengalami banyak revisi
dan menjadi model bagi sebagian besar tes inteligensi kelompok
9. Penilaian Kepribadian
12
B. Kegunaan
Aiken (1997 : 11) menunjukkan, tes psikologi dan bermacam-macam alat ukur
(assessment istruments) digunakan dalam bidang yang amat luas; seperti pendidikan,
13
Aiken (1997 : 11) menunjukkan, tes psikologi dan bermacam-macam alat ukur
(assessment istruments) digunakan dalam bidang yang amat luas; seperti pendidikan,
industri dan perdagangan, klinik psikologi, pelayanan konseling, pemerintahan, militer,
dan penelitan. Anastasi (2006 : 3) menunjukkan bahwa secara tradisional, pengukuran
psikologis berfungsi untuk mengukur perbedaan-perbedaan antara individu atau
perbedaan reaksi individu yang sama terhadap berbagai situasi yang berbeda. Dakui
bahwa pendorong utama munculnya pengkuruan psikologi adalah kebutuhan akan
penilaian dari dunia pendidikan.
Tujuan utama pengukuran psikologis --baik dengan menggunakan tes maupun
non-tes—menurut Aiken (1997 : 11) adalah untuk menilai tingkah laku, kecakapan
mental, dan karakteristik kepribadian seseorang dalam rangka membantu mereka
dalam membuat keputusan, peramalan, dan keputusan tentang seseorang. Sedang
secara khusus tujuan pengukuran psikologi adalah :
1. To screen applicants for jobs and educational and training programs.
2. To classify and place people in educational and employment contexts.
3. To counsel and guide individuals for educational, vocational, and personal
counseling purposes.
4. To retain or dismiss, promote, and rotate students or employees in
educational and training programs and in on-the-job situations.
5. To diagnose and prescribe psychological and physical treatment in clinics
and hospitals.
14
Dari rumusan di atas, bisa difahami kegunaan tes psikologi dan berbagai macam
alat ukur adalah :
i. Untuk menyaring pelamar pekerjaan, pendidikan, dan atau program pelatihan.
j. Untuk pengklasifikasian dan penempatan seseorang dalam pendidikan dan
pekerjaan.
k. Untuk pemberian bantuan dan pengarahan bagi individu dalam pemilihan
penddiikan, pekerjaan, dan konseling perorangan.
l. Untuk memilih karyawan mana yang perlu dihentikan (di-PHK), dipertahankan,
atau dipromosikan melalui program pendidikan atau pelatihan atau tugas khusus.
m. Untuk meramalkan dan menentukan perlakuan (tritmen) psikis, fisik, klinis, dan
rumah sakit
n. Untuk mengevaluasi perubahan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai
hasil dari pendidikan, terapi psikologis, dan berbagai program intervensi tingkah
laku.
o. Untuk mendukung penelitian tentang perubahan tingkah laku dan meng-evaluasi
efektifitas suatu program atau teknik yang baru.
Anastasi (2006 : 3) menunjukkan beberapa penggunaan pengukuran psikologis
dalam bidang pendidikan adalah (1) mengklasifikasikan anak-anak berdasarkan
kemampuan mereka menyerap berbagai jenis instruksi di kelas, (2) identifikasi mana
pembelajar yang cepat dan mana yang lamban, (3) konseling pendidikan dan pekerjaan
pada tingkat sekolah menengah dan universitas, (4) menyeleksi orang-orang yang
melamar masuk sekolah professional. Di samping itu, Aiken (1997 : 2) menunjukkan
bahwa asesmen (termasuk di dalamnya observasi, interviu penelitian perkembangan,
survey dan korelasi) juga banyak digunakan bahkan menjadi bagian penting dalam
penelitian yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Dalam bidang industri, tes juga digunakan untuk penerimaan karyawan,
penunjukan tugas, pemindahan, promosi, dan pemutusan hubungan kerja. Penggunaan
tes sering digunakan sebagai pendamping wawancara yang dilakukan oleh yang
memang ahli untuk itu, sehingga skor tes dapat diinterpretasikan secara tepat
berdasarkan informasi latar belakang individu yang bersangkutan. Namun demikian,
tes merupakan bagian penting dari keseluruhan program kepegawaian.
Khususnya bagi mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling di Indonesia,
kemampuan melakukan asesmen adalah salah satu dari sosok utuh kompetensi
konselor Indonesia. Standar kompetensi konselor tersebut selanjutnya disajikan dalam
gambar berikut :
15
dari Perancis. Rintisan dilanjutkan oleh beberapa orang ahli diantaranya (a)
standardisasi prosedur psikotes oleh psikolog-psikolog eksperimental, (b) laboratorium
Anthropometris oleh Francis Galton, (c) tes-tes mental awal oleh Cattell, (d) tes
kecerdasan oleh Binet dan Simon, (e) tes kelompok oleh Robert M. Yarkes dengan
dukungan Arthur S. Otis yang mengenalkan tes obyektif pertama kali, (f) tes multi
bakat dengan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian Charles Spearman, kemudian
dilanjutkan oleh para psikoog angkatan darat dan angkatan udara Amerika Serikat, (g)
tes presasi yang dipelopori oleh E.L Thorndike kemudian dikembangkan oleh
Stanford, Trumman L. Kelley, Giles M. Ruch, dan Lewis M, (h) penilaian kepribadian
yang dipelopori oleh Kreaplin dan Woodwarth.
3. Perkembangan tahap demi tahap dan perekmbangan pemikiran yang muncul serta hasil
yang bisa dicapai disarikan pada tabel berikut :
Alfred Binet
Mendesak agar anak-anak yang
gagal memberikan respon pada
sekolah yang normal diperiksa
sebelum pulang sekolah, dan jika
dinilai bisa dididik anak-anak itu
ditempatkan pada kelas-kelas
khusus
1869 Para psikolog Memandang Para Psikolog Eksperimen :
belum peduli perlu mengenali Perlu kendali yang ketat atas
dengan perbeda-an- kondisi observasi, seperti
pengukuran perbedaan pemakaian kata-kata yang
terhadap individu, bukan digunakan dalam petunjuk tes
perbedaan- sekedar dan waktu pelaksanaan tes yang
perbedaan kesamaan-nya dipandang berpengaruh terhadap
17
4. Pemahaman individu adalah suatu cara untuk memahami, menilai, atau menaksir
karakteristik, potensi, dan atau masalah-masalah (gangguan) yang ada pada individu
atau sekelompok individu. Cara-cara yang digunakan itu mencakup observasi,
interview, skala psikologis, daftar cek, inventory, tes proyeksi, dan beberapa macam
tes
5. Ada beberapa manfaat pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen, yaitu (a)
untuk pengklasifikasian dan penempatan seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan,
(b) untuk menyaring pelamar pekerjaan, pendidikan, dan atau program pelatihan, (c)
untuk pemberian bantuan dan pengarahan bagi individu dalam pemilihan penddiikan,
pekerjaan, konseling perorangan, (d).untuk memilih karyawan mana yang perlu
dihentikan, dipertahankan, atau dipromosikan melalui program pendidikan atau
pelatihan atau tugas khusus, (e) untuk meramalkan dan menentukan perlakuan
(tritmen) psikis, fisik, klinis, dan rumah sakit , (f) untuk mengevaluasi perubahan
kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai hasil dari pendidikan, terapi
psikologis dan berbagai program intervensi tingkah laku. (g) untuk mendukung
penelitian tentang perubahan tingkah laku dan meng-evaluasi efektifitas suatu
program atau teknik yang baru.
6. Khususnya bagi konselor, kemampuan asesmen merupakan salah satu kompetensi
yang harus dimiliki konselor, ia adalah bagian penting dari kegiatan konseling. Jika
ada konselor yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang asesmen diibaratkan
seperti pelayar yang tidak membawa kompas. Ia tentu akan tersesat, atau sekurang-
kurangnya membuang-buang energi untuk sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan
tugas konselor, bisa jadi bukan hanya membuang-buang tenaga, tetapi lebih dari itu
bisa jadi justru berdampak negativ bagi individu yang dibimbing lantaran malpraktek.
b. Tugas Latihan
1. Lakukan pengamatan dan pencatatan dengan cermat terhadap sejumlah tumbuhan atau
binatang. Apakah terdapat perbedaan karakter tumbuhan satu dengan lainnya? Apakah
terdapat pula perbedaan karakteristk binatang satu dengan lainnya? Atau bahkan
apakah terdapat perbedaan karakter binatang meskipun dari jenis yang sama? Apa
keuntungan bagi pemelihara jika pemelihara itu memahami sifat-sifat setiap jenis
tanaman atau binatangnya. Apa pula keuntungan bagi tanaman dan binatang bila
pemilik atau pemeliharanya memahami sifat-sifat tanaman atau binatang itu dengan
baik?
2. Lakukan pula pengamatan dan pencatatan secara cermat terhadap 10 orang yang ada di
sekitar saudara. Apakah terdapat perbedaan sifat-sifat manusia yang satu dengan
lainnya? Adakah sifat-sifat umum yang sama dari semua orang yang saudara observasi,
persamaan apa yang saudara temukan? Apa keuntungan bagi guru atau pimpinan suatu
organisasi yang memahami sfat-sifat setiap pribadi yang dipimpinnya?
3.1 Observasi
3.1.1 Pendahuluan
Seorang konselor, sebelum memberikan layanan bimbingan kepada konseli
lazimnya melakukan pengamatan terhadap individu yang hendak dibimbingnya;
bahkan lebih dari itu ia juga perlu mengetahui latar belakang keluarganya, dengan
siapa biasanya individu itu bergaul. Seorang mahasiswa keguruan, sebelum melakukan
praktek mengajar juga disarankan untuk melakukan observasi terhadap kondisi
sekolah di mana ia hendak melaksanakan tugas praktek. Mahasiswa tingkat akhir
dalam menyelesaikan tugas akhir juga sering menggunakan metode observasi sebagai
metode pengumpulan data. Bahkan seorang yang hendak melamar atau menerima
lamaran – jika belum mengenal calon suami/istrinya juga disarankan dan diberi
kesempatan untuk melakukan ”observasi terbatas” kepada calon suami/istrinya.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa observasi begitu penting bagi seorang
konselor sekolah, pembimbing, peneliti, bahkan seseorang yang hendak menikah? Bagi
seorang konselor, mengenali secara baik dan tepat terhadap individu yang hendak
dibimbing adalah suatu tuntutan profesional. Jika membimbing itu diibaratkan
merawat tanaman -- dari gangguan penyakit atau membantu agar tanaman itu tumbuh
subur – (klinis atau developmental), maka mengenal tanaman yang dirawat sebelum
melakukan perawatan adalah sesuatu yang amat penting. Seorang yang hendak
menanam bunga ”bougenville” tentu perlu mengetahui karakteristik bunga tersebut
agar bisa memberikan perawatan secara tepat. Demikian pula seorang guru, konselor,
dan hampir semua petugas yang berhubungan dengan layanan kemanusiaan juga perlu
memahami karakteristik manusia yang hendak dilayaninya. Salah satu cara untuk
mengetahui karakteristik manusia adalah dengan melakukan observasi.
Dengan observasi memungkinkan seorang konselor bisa memahami karakteristik
individu yang dibimbingnya, sebab perilaku manusia secara umum adalah bisa
diobservasi (abservable) kecuali hal-hal tertentu yang memang seharusnya
disembunyikan. Meskpun demikian melalui cara-cara lain, perilaku yang
disembunyikan manusia itu juga akhirnya bisa diobservasi. Seorang yang selesai tidur,
meskipun tidurnya di kamar tertutup juga masih nampak gejalanya, bahkan orang itu
sudah mandi. Orang yang selesai makan – apalagi makan pedas – juga masih bisa
diobservasi, meskipun ia makan di tempat yang tersembunyi. Demikian pula seseorang
yang melakukan tindakan tertentu, sekalipun tindakan itu disembunyikan tetapi pada
akhirnya juga bisa diketahui pula oleh orang lain, yaitu melalui gejala-gejala yang ter-
observasi baik dengan sengaja atau tidak.
Hanna Djumhana (1983 : 202) memandang observasi sebagai metode ilmiah
yang sampai saat ini masih menduduki tempat utama dalam ilmu pengetahuan empiris.
Demikian pula dalam psikologi, observasi tetap diakui sebagai salah satu metode
ilmiah dan banyak diterapkan dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengumpulan
data. Konseling sebagai kegiatan memberi bantuan – salah satunya -- kepada pribadi-
pribadi bermasalah juga menggunakan metode observasi di samping wawancara dan
penggunaan tes psikologis. Aiken (1997 : 279) memandang observasi -- dengan
berbagai bentuknya -- sebagai salah satu metode pengukuran kepribadian dan
sekaligus metode riset yang digunakan orang dalam berbagai bidang yang amat luas.
Khususnya bagi peneliti utamanya ilmuwan sosial, Kerlinger (2002 : 857)
mengingatkan bahwa ilmuwan sosial harus mengamati perilaku manusia, tetapi dia
(seharusnya) tidak puas dengan pengamatan yang tidak terkontrol dan tidak
direncanakan dengan baik. Ilmuwan sosial harus mengupayakan pengamatan yang
andal dan obyektif yang bisa dijadikannya sumber untuk membuat inferensi-inferensi
22
2. Dilihat dari segi situasi lingkungan di mana subyek diobservasi, Gall dkk (2003 :
254) membedakan observasi menjadi dua, yaitu
1) observasi naturalistik (naturalistic observation) jika observasi itu dilakukan secara
alamiah atau dalam kondisi apa adanya. Melihat pertandingan sepak bola, guru
mengamati murid ketika sedang bermain di halaman sekolah, seorang peneliti
mengamati perilaku binatang di hutan atau kebun binatang adalah contoh observasi
naturalistik,
2) observasi eksperimental (experimental observation) jika observasi itu dilakukan
terhadap subyek dalam suasana eksperimen atau kondisi yang diciptakan
sebelumnya.
2. Cara pandang indivdu terhadap obyek yang sama juga belum tentu sama,
sebab setiap orang memiliki frame yang unik yang mungkin berbeda dengan yang
lain, akibatnya kesan yang diperoleh juga tidak sama dan penilainnya pun menjadi
tidak sama. Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan penggugat yang
merasa ”dicurangi” dan kemudian memerintahkan pemilihan ulang untuk beberapa
daerah kabupaten yang dinilai tidak wajar akan dipandang obyektif bagi pihak yang
mengajukan gugatan, tetapi dianggap tidak obyektif bagi tergugat yang telah
memenangkan pemilihan. Hal ini dimungkinkan karena kepentingannya yang
memang berbeda. Gibson & Mitchell (1995 : 263) menunjukkan bahwa hasil
pengamatan sangat dipengaruhi oleh daya adaptasi, kebiasaan, hasrat/keinginan,
prasangka, proyeksi.
3. Kesan seseorang terhadap suatu obyek juga tidak selalu sama, akibatnya penafsiran
dan penilaian yang diberikan terhadap obyek yang sama menjadi tidak sama.
Seseorang yang memegang teguh norma sosial ketika melihat seorang remaja
rambutnya disemir dengan warna-warni plus mengenakan anting, mungkin akan
punya kesan remaja itu nakal. Tetapi bagi observer lain yang mudah menerima
nilai-nilai baru akan mempunyai kesan yang berbeda, mungkin tampilan remaja
tersebut dipandang sesuai perkembangan zaman, bahkan ia menilainya positif.
2
The Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder (DSM -IV), (APA, 1994) berisi otoritas
informasi dan “pendapat ofisial” tentang hal hal yang menyangkut masalah mental. Konselor
merujuk pada (DSM-IV) (1) sebagai sumber dari terminologi standar yang mana digunakan
untuk berhubungan dengan ahli kesehatan mental yang lain, (2) untuk memuaskan pemenuhan
permintaan perusahaan asuransi atau agensi credential seperti joint commission pada
akreditasi rumah sakit-rumah sakit, (3) untuk mengklasifikasi para pengguna dalam kategori
statistik sebagaimana diperlukan dalam penelitian atau akuntabilitas, (4) untuk memprediksi
gejala penyimpangan dan kemajuan pelatihan berdasarkan bukti yang bisa diterima, dan (5)
untuk menyusun rencana pelatihan yang akan menunjukkan intervensi (Seligman, 1983).
Proses actual dari perbedaan diagnosis dengan (DSM –IV) sangat kompleks, dan penguasaan
system membutuhkan pertimbangan studi. (Kottler & Brown, 1985,.p.161).
26
4. Ada kecenderungan pada manusia dalam menilai sesuatu menjadi terlalu tinggi
atau terlalu rendah mendasarkan pada sifat-sifat yang menonjol atau “pagar bulan”
(halo effect). Seorang observer dalam memberikan penilaian terhadap seorang
siswa kadang masih terpengaruh ia ”anak siapa”, atau memberi penilaian dengan
pertimbangan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan aspek yang sedang
dinilai. Tidak jarang orang memberikan penilaian terhadap seseorang yang dengan
melihat tampilannya, padahal tampilan kadang tidak menggambarkan realitas yang
sesungguhnya.
3.1.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum dan Selama Melakukan Observasi
Meng-observasi aktivitas manusia tidak sesederhana mengobservasi proses
benda-benda mati atau aktivitas binatang yang tidak memiliki pikiran dan perasaan,
sebab binatang dan benda mati ketika diamati mereka tidak berubah perilakunya
sehingga gejala yang nampak selalu wajar. Hal ini sangat berbeda dengan observasi
terhadap manusia, sebab kondisi internal dan eksternal mereka sangat berpengaruh
terhadap gejala-gejala (perilaku) yang muncul. Hanna Djumhana (1983 : 202)
mengingatkan bahwa mengadakan observasi yang cermat dan kemudian mengambil
simpulan yang tepat bukanlah hal yang mudah, sebab observer hanya mampu
membaca perilaku yang teramati, sedang apa yang dihayati dan dipikirkan seseorang
ketika melakukan aktivitas tertentu tidak bisa diduga dan disimpulkan.
Mc. Millan dan Schumacher (2001 : 274), mengingatkan agar sebelum dan
selama observasi, observer selalu memperhatikan hal-hal yang selanjutnya
dikelompokkan menjadi hal-hal berkaitan dengan tujuan, variabel, dan teknik
pelaksanaan observasi berikut :
1. Hal-hal yang berkaitan dengan tujuan dan variabel penelitian
a. Tujuan observasi, fahami lebih dahulu tujuan umum maupun tujuan-tujuan
khusus observasi. Dengan memahami dan memperhatikan tujuan observasi
diharapkan observer tidak mudah tertarik kepada gejala-gejala yang sebenarnya
tidak ada kaitannya dengan tujuan observasi.
b. Fokus (materi) observasi, apa sebenarnya yang hendak diobservasi seyogianya
sudah dikuasi dengan baik oleh observer sebelum melakukan observasi. Ibarat
seorang yang hendak membeli seekor kambing seyogianya ia sudah tahu persis
gambaran kambing yang hendak dibeli, jangan sampai terjadi ingin membeli
”kambing” ternyata yang dibeli adalah ”anjing” meskipun sama-sama berbulu
dan berkaki empat. Demikian pula jika seseorang hendak meneliti masalah
sikap, minat dan lain-lain, seyogianya mereka memahami benar konsep
tentang minat atau minat.
c. Variabel-variabel observasi; jika obyek atau materi observasi itu adalah
”kambing”, variabel-variabel itu adalah bagian-bagian penting yang pasti ada
atau menjadi bagian penting dari binatang yang namanya ”kambing”; (misalnya
kepala, badan, kaki, ekor, dan lain sebagainya). Jika benda yang hendak
diobservasi itu adalah ”baju”, maka variabel yang perlu diperhatikan dalam
observasi adalah potongan badan, lengan, krah, saku, model pakaian, corak
pakian dan lain-lain.
d. Sub variabel; terkadang suatu obyek bukan hanya terdiri dari satu variabel saja,
tetapi ia terdiri dari sub-sub variabel; ibarat salah satu variabel dalam obyek
observasi adalah ”kepala kambing”, maka pada kepala kambing itupun ada
mata, telinga, hidung, tanduk, dan bulu. Oleh sebab itu seorang observer yang
baik tentu tidak cukup bila hanya mengobservasi salah satu sub-varabel
kemudian hasilnya disimplukan seolah-olah sudah seluruh variabel.
28
e. Indikator; dimaknai sebagai ciri-ciri atau katrekteristik yang ada pada variabel
atau sub-varibel. Dengan indikator yang jelas memungkinkan seorang peneliti
mampu menjabarkan variabel dan atau sub-variabel itu ke dalam panduan
observasi, panduan wawancara, atau kuesioner dengan baik. Untuk itu seorang
peneliti seharusnya menguasai konsep tentang variabel yang diteliti itu secara
baik. (Selanjutnya periksa contoh penyusunan panduan observasi)
Kotak 4.1
DAFTAR RIWAYAT KELAKUAN
Catatan dibuat oleh:
N a m a : …………… …… Bidang tugas : …………………..
Kotak 4.2
CATATAN BERKALA
Catatan dibuat oleh:
N a m a : …………… …… Bidang tugas : …………………..
(nama terang)
30
Daftar cek dan skala penilaian adalah sejumlah kalimat pernyataan yang
berhubungan dengan diri konseli atau sejumlah problem yang mungkin dihadapi
konseli. Dengan daftar ini konseli diharapkan memberi tanda cek (V) di bawah kolom
yang menggambarkan sesuai atau tidak sesuai dengan diri mereka. (selanjutnya periksa
Bab V yang membahas khusus Daftar Cek)
Skala penilaian (rating scale) adalah pencatatan gejala menurut tingkatan-
tingkatannya. Bentuk pencatatan ini bukan hanya menggambarkan ada atau tidaknya
gejala pada subyek yang sedang diamati – seperti pada daftar cek --, tetapi lebih dari
itu berupaya menggambarkan kondisi subyek sesuai tingkatan-tingkatan gejalanya.
Penggunaan pencatatan model skala ini didasarkan atas pertimbangan bahwa gejala-
gejala yang muncul pada subyek yang diamati tentu beragam intensitasnya, seperti
perilaku membolos tentu beragam, ada subyek yang sesekali membolos tetapi juga ada
yang seringkali; ada siswa yang tidak memperhatikan pelajaran, memperhatikan
dengan setengah-setengah, dan ada juga yang ber-sungguh-sungguh memusatkan
perhatian ketika mengikuti pelajaran
Sutrisno Hadi (2004 : 152-53) memandang penggunaan rating scale ini sangat
populer karena penggunaannya sangat mudah, di sisi lain pencatatannya lebih
menunjukkan keseragaman antara pencatat satu dengan lainnya, dan sangat sederhana
untuk dianalisis secara statistik. Hal ini sangat berbeda jika pencatatan itu dilakukan
dengan pernyataan-pernyataan deskriptif yang sangat panjang lebar, yang oleh
observer kerapkali menggunakan gaya penulisan yang amat beragam. Di bawah ini
ditunjukkan bentuk skala penilaian yang mencatat aktivitas siwa dalam mengikuti
pembelajaran (periksa kotak 4.3)
Kotak 4.3
SKALA PENILAIAN
AKTIVITAS SISWA DALAM MENGIKUTI PEMBELAJARAN
03 Perhatian terhadap
penjelasan guru
04 Bertanya kepada teman
tentang materi yang belum
difahami
05 Bertanya kepada guru
tentang materi yang belum
difahami
06 Mencari penjelasan pada
sumber-sumber yang
ditunjuk
07 Partisipasi dalam diskusi
08 Menyelesaikan tugas-tugas
latihan
Dengan kolom di atas, observer memberi tanda cek di bawah kolom 1 jika
31
4. Observer seyogianya mengambil sikap netral, bebas prasangka, dan tidak terlalu
cepat mengambil simpulan. Hal ini dipandang penting sebab prasangka sering
menimbulkan berbagai penyimpangan dan salah sangka yang menyebabkan
gambaran yang salah mengenai gejala yang diamati. Dalam observasi, kesan-kesan
yang diperoleh seyogianya selalu diperiksa kembali dengan bahan dan atau dari
sumber yang lain (triangulasi), sebab bisa jadi kesan tersebut baru dugaan
sementara.
5. Dalam melakukan observasi, sebaiknya observer juga memperhatikan kondisi
tubuhnya. Sebab dalam kondisi terlalu lelah, sakit dan ”tidak berminat”
mengakibatkan hasil observasi kurang optimal.
6. Ada baiknya jika observer --utamanya konselor dan peneliti kualitatif-- mengenal
latar belakang sosial-budaya dan agama konseli dengan baik, sebab dengan
pemahaman itu memungkinkan observer memahami makna yang sebenarnya di
balik perilaku yang nampak3.
7. Khususnya bagi konselor, dalam situasi konseling seyogianya mampu menciptakan
relasi (repport) yang baik dengan konselinya agar terjadi suasana akrab, dengan
demikian diharapkan konseli dapat dengan sepenuh hati mengungkapkan dirinya
sebagaimana adanya.
8. Hal lain yang juga perlu diperhatikan konselor adalah sesegera mungkin mencatat
data observasi sebelum lupa.
Kasus 1
Seorang siswa kelas II SMU pada jam pelajaran ke-dua datang kepada konselor
sekolah, terjadilah wawancara di ruang konseling berikut :
Kl : Selamat pagi pak !
Ko : Selamat pagi, ada yang bisa bapak bantu?
Kl : Ya pak, saya mau minta surat ijin pulang ...
Ko : Ada apa ijin pulang .........
Kl : Perut saya sakit pak, .............. (sambil memegangi perutnya)
Ko : Oh ya, perut anda sakit ???
Kl : Ya pak, sambil mengerutkan wajah dan memegang perutnya konseli seakan
menahan rasa sakit.
3
Pernah terjadi kasus seorang mahasiswi yang kuliah di luar propinsinya. Ketika ia sedang duduk di teras
rumah kost-nya, ia duduk dengan kedua kakinya dilipat di atas kursi. Masyarakat di sekitarnya terkejut
ketika melihat perilaku mahasiswi itu, kemudian terjadilah salah faham di masyarakat bahwa di rumah kost
tersebut ada “wanita nakal” (pelacur). Mengapa masyarakat memahaminya sebagai pelacur? Sebab di
daerah tersebut yang sering duduk dengan cara tersebut adalah pelacur. Setelah dilacak lebih jauh, ternyata
mahasiswi itu berasal dari suatu propinsi yang udaranya sangat dingin, apalagi keluarganya tinggal di atas
bukit ditengah-tengah perkebunan yang udaranya sangat dingin. Ternyata duduk dengan kaki di atas itu
adalah cara untuk mengurang rasa dingin dan sekaligus menghangatkan badan
33
Ko : Boleh, (sambil memegang bolpoin dan blanko surat ijin) konselor bertanya
kepada konseli , jam pelajaran siapa sekarang ......? (konselor sambil
memperhatikan ekspresi wajah dan gerakan tangannya
Kl : Jam pelajaran Bu En
Ko : Bagaimana pendapat saudara tentang Bu En?
Kl : Bu En bagus sekali pak, beliau sangat memperhatikan muridnya; (ternyata
ekspresi wajah yang semula manampakkan kesan menahan sakit mulai reda)
Ko : Di mana rumahmu? (konselor sambil selalu memperhatikan ekspresi wajah
dan gerak tangan konseli)
Kl : di sana pak, di desa X kecamatan Y
Ko : Ayah bekerja di mana?( (konselor sambil selalu memperhatikan ekspresi
wajah dan gerak tangan konseli)
Kl : Di sana pak, di perusahaan swasta daerah.
Ko : Ibu bekerja di mana ? (konselor sambil selalu memperhatikan ekspresi wajah
dan gerak tangan konseli)
Kl : Ibu juga bekerja sebagai guru sekolah dasar
Sampai di sini ternyata tangan klien yang semula diletakkan di atas perut mulai
lepas, dan ekspresi wajah konseli juga tidak nampak menunjukkan kesan menahan
rasa sakit. Kemudian wawancara dilanjutkan berikut :
Kasus 2
Seorang usia mahasiswa dari suatu perguruan tinggi datang kepada penulis,
kemudian terjadilah wawancara berikut :
Kl : Assalamu’alaikum
Ko : Wa’alaikum salam, silakan duduk
Kl : Terima kasih pak, kenalkan nama saya X, saya berasal dari daerah Y, dan
sekarang masih kuliah di smester 4 di perguruan tinggi Z
Ko : Dari mana saudara tahu saya ?
Kl : Mahasiswa bapak yang memberi tahu saya pak ......
Ko : Ada yang bisa saya bantu?
34
Dari dua kasus di atas bisa difahami, bahwa meskipun konseli bisa saja
berkonsultasi melalui pesawat telpon, dalam kenyatannya konselor dan konseli
kadang masih dirasa perlu ”bertatap muka”. Pertanyaannya adalah mengapa
masing-masing kadang perlu bertatap muka?
Pada kasus pertama, meskipun konselor melayani konseli dengan
wawancara, tetapi pertemuan langsung itu bisa dimanfaatkan oleh konselor untuk
melakukan pengecekan terhadap informasi yang disampaikan oleh konseli melalui
lisan; dengan mengamati gejala raut wajah dan gerakan tangan selama melakukan
wawancara, ternyata konselor mampu menembus ”kedustaan” yang tersembunyi di
balik ucapan konseli. Pada kasus kedua bisa diketahui, bahwa perilaku konseli
selalu berbicara dengan sesekali memperhatikan ke luar ruangan lantaran takut di
ketahui orang lain juga bisa diketahui melalui observasi yang dilakukan sambil
wawancara.
Dari analisis seperti di atas bisa disimpulkan bahwa fungsi observasi bagi
konselor adalah (1) sekaligus bisa dijadikan alat kontrol (triangulasi) terhadap
kebenaran informasi yang disampaikan konseli, (2) bisa dijadikan validasi terhadap
infomrasi yang disampaikan konseli, pada kasus kedua sperilaku selalu
memperhatikan ke luar adalah menguatkan bahwa konseli memang benar-benar
merasa takut diketahui orang lain jika ia berkonsultasi dengan seseorang dari luar
jama’ahnya.
Metode observasi bisa digunakan sekaligus dengan wawancara, dan jika
dipandang perlu bisa digunakan dengan tes-tes psikologis. Informasi mengenai diri
konseli bisa diperoleh melalui konseli itu sendiri (autonamnese) atau dari pihak
lain (guru, wali kelas, orang tua atau wali, bahkan teman bermain) yang mngenal
konseli (alloanamnese). Keterangan-keterangan itu bukan saja bukan hanya
mengani apa yang dikatakan dan diperbuat, tetapi dari bagaimana ia
mengungkapkan dan melakukannya.
Dalam konseling lazimnya observasi diarahkan pada cara
mengungkapkannya. Dengan demikian fungsi observasi dalam konseling di
samping untuk memperoleh gambaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang diri
konseli; juga untuk menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh
melalui wawancara. Dalam praktek konseling, tidak jarang konselor memerlukan
informasi bukan hanya data verbal tetapi juga dari hasil observasi.
mampu tidaknya observee mengerjakan tugas yang ditentukan, dan bagamana cara
mengerjakannya.
Meskipun seluruh perilaku konseli perlu diamati, tetapi Anna Djumhana
(1983 : 207-09) mendasarkan pada pendapat para ahli menunjukkan beberapa
aspek yang perlu diobservasi adalah :
a. Cara konseli masuk ruang dan menemui konselor,
Cara konseli masuk ruangan yaitu sejak konseli mengetuk pintu masuk (wajar,
keras, atau pelan-pelan), cara memberi salam, cara berjalan dan mendekati
konselor, apakah tingkah lakunya tetap dan tegas, lambat, atau lemah gemulai;
cara konseli menarik kursi apakah dengan pelan atau kasar. Ciri-ciri tingkah
laku itu dapat memberi kesan bagi observer bahwa dia pribadi yang tegas,
berani, malu-malu, menarik perhatian, penurut, dan tak bersemangat.
b. Cara konseli berjabat tangan dengan konselor
Pada pertemuan pertama sebaiknya bagi konselor dan konseli sesama jenis
kelamin berjabat tangan, sedang terhadap konselor yang tidak sejenis tidak
harus berjabat tangan secara langsung4. Berjabat tangan merupakan simbol
pertemuan antara pribadi dengan pribadi, jika diungkapkan dengan tulus dan
bersahabat merupakan tanda kepribadian yang sehat. Melalui jabat tangan,
observer bisa merasakan kondisi tangan itu, misalnya dingin, berkeringat,
halus, kasar, yang kesemuanya dapat mencerminkan kondisi umum orang itu.
Meski demikian, bagi klien yang enggan berjabat tangan lantaran pertimbangan
agama, tidak berarti tidak bisa dikenali ciri-ciri orang itu. Sebab manusia pada
dasarnya tidak akan bisa menyembunyikan dirinya secara penuh, lantaran
masih bisa dikenali melalui raut wajah dan salah ucap-nya.
c. Cara duduk dan jarak anatara konseli dengan konselor;
Cara duduk yang rapi posisi duduk yang tepat dan hampir tidak berubah,
sembarangan atau yang banyak bergerak dapat mencerminkan pengendalian
diri yang baik, sikap kaku, menarik perhatian, gelisah dan sebagainya. Jarak
antara tempat duduk konseli dan konselor bisa jadi indikasi kesediaan dialog
dan perasaan akrab. Hal ini terlihat dari posisi tubuh konseli yang cenderung
mendekati (moving toword) atau menjauhi (moving away from) konselor. Cara
duduk dengan tubuh agak condong ke muka biasanya menandakan perhatian,
keakraban, dan kesediaan berkomunikasi.
d. Cara berbicara dan nada suara;
Cara bagaimana seseorang berbicara akan memperkaya apa yang
dibicarakannya, kalimat yang sama diucapkan dengan nada yang berbeda akan
memberi makna yang berbeda pula. Kesan tulus, ogah-ogahan juga bisa
diperhatikan dari nada suaranya. Nada suara (tone of voice) dapat
mencerminkan keadaan emosional saat orang berbicara. Cara berbicara yang
lambat, pelan-pelan bisa jadi menggambarkan perasaan muram. Namun
demikian konselor pula memahami dari daerah mana konseli itu berasal, dan di
mana ia dibesarkan; sebab bisa jadi cara berbicara itu memang sudah tertanam
selama bertahun-tahun dan telah menjadi cara berbicara di daerah itu
(bandingkan cara berbicara orang Solo dengan orang Semarang dan Tegal
meskipun sama-sama warga Jawa Tengah).
e. Bentuk perawakan dan penampilan pada umumnya;
4
Pendapat ini didasarkan atas pertimbangan bahwa ada konseli yang memang berkeyakinan bahwa
berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim adalah haram hukumnya. Oleh sebab itu ada
baiknya jika dalam berjabat tangan tidak harus bersentuhan telapak tangannya, tetapi cukup dengan
merapatkan kedua telapak tangan ke arah depan sambil merunduk.
37
1. Tujuan Observasi : mengetahui apa sebenarnya yang dilakukan oleh konselor sekolah
dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
2. Rasional-nya : melaksanakan tugas sehari-hari berarti melaksana-kan tugas
sebagai konselor sekolah sejak pukul 07.00 (bahkan
sebelumnya) hingga pelajaran usia (mungkin pukul 13.00 atau
bahkan ada yang pukul 16.00)
3. Aplikasinya dalam observasi kurang lebih mencakup :
a. kehadiran di sekolah (waktu dan tampilan)
b. hal-hal yang dilakukan konselor pada waktu :
1) sebelum pukul 07.00
2) selama pelajaran berlangsung
3) pada saat istirahat
4) setelah pelajaran berakhir
2) ketika ada siswa yang melanggar tata tertib sekolah (terlambat datang di
sekolah, membolos, merokok, membawa senjata tajam, membawa film porno,
berpakaian tidak sesuai aturan, tampilan tidak rapi, mencuri di sekolah atau di
luar sekolah, melakukan pemerasan, minum minuman keras, terlibat perjudian,
terlibat maslah narkoba)
Kotak 4.6
PROSEDUR PENYUSUNAN PANDUAN OBSERVASI
BERDASARKAN KONSEP
TETAPKAN PASTIKAN CARI
TUJUAN FOKUS/ASPEK YG PENJELASAN
HENDAK KONSEP,
OBSERVASI
DIOBSERVASI VARIABEL &
SUB
VARIABEL/
INDIKATOR
MANFAATKAN
PEMAHAMAN
JABARKAN BACA
TTG BUDAYA
MENJADI ITEM-ITEM LITERATUR
& NILAI-NILAI
RESPONDEN OBSERVASI
UTK ANALISIS
5. Mengamati klien dalam konteks semua situasi atau situasi total. Dalam
melakukan observasi terhadap tingkah laku manusia, sangatlah penting
menghindari pendekatan “tunnel vision”, dimana kita hanya bermaksud
mengamati klien secara visual atau sebatas yang nampak mata, tetapi observasi
sebaiknya dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang mendorong munculnya
tingkah laku tersebut, sehingga kita bisa memberi makna yang lebih tepat terhadap
tingkah laku yang kita amati.
6. Data dari observasi seharusnya digabugnkan dengan data yang lain.
Dalam analisis individu sangatlah penting untuk menggabungkan semua yang
diketahui tentang konseli. Karena untuk melihat konseli sebagai seorang manusia
secara utuh, seharusnya dipadukan semua kesan yang didapatkan dari observasi
dengan semua informasi yang mungkin didapatkan. Teknik studi kasus yang
digunakan oleh sebagian besar bantuan profesional memberikan ilustrasi terhadap
integrasi dan hubungan antar data sebelum dilakukan interpretasi.
7. Observasi seharusnya dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan.
Dalam melakukan observasi sangat diharapkan observer berada pada posisi yang
cukup jelas untuk melihat apa yang ingin dilaporkan. Idealnya, observer mampu
melakukan observasi dalam waktu yang cukup tanpa halangan dan gangguan, serta
kondisi yang menyenangkan untuk melakukan observasi. Observer seharusnya
juga siap terhadap kemungkinan lain yang mungkin terjadi ketika seseorang
diamati memodifikasi perilakunya karena dia sadar bahwa dirinya sedang diamati.
1. Ringkasan
1. Kemampuan untuk melakukan observasi secara benar dan baik sangat diperlukan
bagi konselor, guru, peneliti sosial dan pihak-pihak yang bergerak dalam
pelayanan kemanusiaan. Dengan kemampuan melakukan observasi secara baik
memungkinkan mereka bisa memahami individu yang hendak dibimbing, dididik
dan dilayaninya dengan sebaik-baiknya , dan pada akhirnya diharapkan bisa
memberikan pelayanan secara tepat.
2. Observasi adalah proses pengamatan yang disertai dengan pemusatan perhatian
terhadap suatu obyek dan gejala-gejala yang perlu diamati. Observasi harus
dilakukan secara sistematis dan bertujuan.
3. Ada beberapa bentuk observasi, (a) dilihat dari keterlibatan observer terhadap
kegiatan yang sedang dilakukan observee, observasi bisa dikelompokkan menjadi
observasi partisipan, non-partisipan, dan kuasi-partisipan, (b) dilihat dari kondisi
lingkungannya diciptaklan atau apa adanya, bisa dikelompokkan menjadi
observasi naturalistik, dan eksperimen, (c) dilihat dari tingkat kesempurnaan dan
latihan yang diperlukan, bisa dikelompokkan menjadi (1) tingkat pertama,
observasi informasi kausal, (2) tingkat kedua, observasi terstruktur, dan (3)
tingkat ketiga, observasi klinis; (c) dilihat dari tujuan lapangan, observasi
dibedakan menjadi (1) finding observation, dan (2) direct observation, (d)
khususnya observasi sistematis dibedakan menjadi (1) observasi naturalistic, (2)
survey, dan (3) eksperimentasi.
4. Ada beberapa kelemahan observasi, yaitu (1) berkaitan dengan keterbatasan
kemampuan manusia dalam menyimpan hasil pengamatan, (2) cara pandang
individu terhadap obyek yang sama belum tentu sama antara individu satu dengan
lainnya, (3) kesan individu terhadap obyek yang sama juga belum tentu sama,
akibatnya penafsirannya juga tidak sama, (4) kesan individu terhadap obyek sama
41
juga belum tentu sama dengan individu lainnya, (5) ada kecenderungan pada
manusia dalam menilai sesuatu hanya mendasarkan ciri-ciri yang menonjol,
akibatnya terjadi ”halo effect”. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut
bisa dimanfaatkan alat-alat bantu observasi seperti camera video, menetapkan
definisi operasional, menetapkan parameter yang jelas, melibatkan observer yang
lebih banyak, memanfaatkan metode lain dan sumber lain sebagai pelengkap, dan
mengupayakan agar subyek yang sedang diobservasi tidak tahu bahwa ia sedang
diobservasi.
5. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dan selama melakukan observasi,
yaitu tetapkan tujuan observasi, tetapkan fokus observasi dan materi observasi,
pastikan variabel dan sub varibel, serta indikatornya. Selama pelaksanaan
hendaknya menggunakan metode pelengkap, buat klasifikasi gejala, manfaatkan
alat pencatat data, jaga hubungan baik dengan observee, dan melibatkan beberapa
orang observer.
6. Ada beberapa persyaratan observer yang baik, (1) memiliki alat indra – utamanya
mata dan telinga -- yang baik , (2) memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
observasi, (3) selalu mengembangkan pengetahuan dan pengalaman melakukan
observasi yaitu dengan mendalami teori dan praktik lapangan, (4) bersikap netral,
bebas prasangka, dan tidak terlalu cepat mengambil simpulan, (5) selalu
perhatikan kesehatan jasmani dan rohani, (6) akan lebih bagus lagi jika observer
memahami latar belakang sosial-budaya dan agama observee, (7) selalu menjaga
hubungan baik dengan observee, dan (8) sesegera mungkin mencatat hasil
observasi.
7. Observasi sangat berguna bagi konselor utamanya (1) memperoleh gambaran,
pengetahuan, dan pemahaman tentang diri konseli; (2) bisa dijadikan alat kontrol
(triangulasi) terhadap kebenaran informasi yang disampaikan konseli, (3) bisa
dijadikan validasi terhadap informrasi yang disampaikan konseli, (4) untuk
menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui wawancara.
8. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam observasi konseling yaitu (1)
cara ndividu memasuki ruangan, (2) cara berjabat tangan, (3) cara duduk, (4) cara
berbicara dan nada suara, (5) bentuk perawakan dan tampilan pada umumnya, (6)
ekspresi wajah, (7) reaksi-reaksi emosional, dan (8) bahasa-bahasa non-verbal.
9. Sebelum melakukan observasi, seyogianya observer membuat panduan observasi
dengan dua cara (1) mendasarkan pengalaman, dan (2) mendasarkan konsep
teoretik yang dipandang telah mapan, yaitu dengan prosedur (a) tetapkan tujuan
observasi, (b) pastikan fokus/aspek/materi obervasi, (c) baca literatur dan atau
manfaatkan pengalaman untuk (d) menemukan penjelasan tentang konsep,
variabel, sub variabel, dan indikator, (e) jabarkan menjadi item-item observasi.
10. Dalam melakukan analisis selama dan setelah observasi disarankan, (1)
mengamati satu klien dalam satu waktu, (2) ada kriteria yang spesifik untuk
melakukan observasi, (3) observasi seharusnya dilakukan tanpa batas waktu, (4)
konseli seharusnya diamati dalam situasi yang natural dan berbeda, (5) mengamati
klien dalam konteks semua situasi atau situasi total, (6) data dari observasi
seharusnya digabugnkan dengan data yang lain, dan (7) observasi seharusnya
dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan
2. Tugas-tugas latihan
a. Lakukan pengamatan terhadap guru BK di SMTP dan SMTA sekolah asal
saudara, apa yang biasa beliau lakukan sebelum memberikan layanan bimbingan
42
kepada murid. Sesudah itu, tanyakan pula kepada Bapak/Ibu guru saudara
mengapa beliau melakukan hal itu?
b. Datanglah ke suatu sekolah secara berkelompok 4 hinga lima orang, lakukan
pengamatan terhadap kegiatan siswa selama waktu istirahat, lakukan pula
pencatatan hal-hal yang saudara pandang perlu. Catatlah apa saja akibatnya jika
observasi tidak dilakukan tidak sistematis dan tidak dengan tujuan yang jelas?
c. lakukan observasi non-partisipan terhadap sejumlah siswa yang sedang belajar
kelompok. Catatlah hal-hal berikut :
1) Apa reaksi siswa ketika mereka mengetahui bahwa mereka sedang saudara
amati?
2) Apa yang seyogianya dilakukan observer agar perilaku siswa selalu wajar atau
tidak di buat-buat?
d. Lakukan pula observasi eksperimental dengan tujuan untuk mengetahui apa yang
biasa dilakukan siswa ketika guru yang dijadwalkan tidak bisa hadir, sementara
mereka ditugasi untuk mencatat?
e. Anggap saja saudara akan melaksanakan tugas praktek lapangan, lakukan finding
observation, yang akan menjadi pertimbangan saudara dalam menyusun program
kerja bimbingan selama parktek pengalaman lapangan.
f. Buatlah panduan observasi dengan tujuan ingin mengetahui tanggapan siswa
terhadap guru yang baru melaksanakan tugas kurang dari satu tahun!
problem yang diperoleh melalui DCM lebih teliti, mendalam dan luas. Data semacam
ini kurang dapat diperoleh melalui teknik lain seperti observasi, autobiografi, dan
wawancara, (c) valid dan reliabel, antara lain karena individu yang bersangkutan
mengecek sendiri masalah yang sedang ia alami, disamping jumlah item kemungkinan
masalah yang cukup banyak
dalam kaitannya dengan instrumen kepribadian, ada pula daftar cek yang terstandar
dan tidak standar. Di bawah ini disajikan beberapa contoh empat macam daftar cek
yang pertama, yaitu :
N a m a : .................
(plus identitas lain yang dipandang perlu)
No Aspek/Kegiatan Cek
1 Datang sekolah tepat waktu V
2 Mandiri V
3 Kerja sama dengan teman V
4 Tangung jawab -
5 Dan lain sebagainya
Keterangan :
Tujuan observasi : (misal) ingin mengetahui bagaimana perhatian siswa kelas X
terhadap pelajaran Y
sebenarnya”. Dua kalimat ini dipandang penting untuk mendorong siswa agar
melaporkan diri sesuai apa adanya, bukan melirik pekerjaan temannya, dan tanpa
rasa khawatir akan mengganggu nilai raportnya.
(6) Dalam kondisi yang dinilai kurang menguntungkan (misal : sulit dihindari kerja
sama yang mengakibatkan datanya kurang akurat), instruktur bisa saja tidak
membagikan bendel DCM, tetapi cukup didektekan dengan suara yang jelas
dalam waktu terbatas. Dengan demikian kesempatan siswa untuk melirik
pekerjaan teman bisa dihindari. Namun demikian petunjuk mengerjakan tetap
harus dibacakan secara jelas.
(7) Tegaskan bahwa jawaban dituliskan pada lembar jawab yang disediakan, bukan
di bendel DCM. Bendel DCM harus kembali dalam keadaan bersih tanpa coretan
apapun. Cara mengerjakanya adalah dengan cara memberi cek (V), bukan
disilang dan bukan pula dilingkari.
(8) Instruksikan kepada siswa untuk menulis identitas yang diminta dan tanggal
pelaksanaan DCM.
(9) Instruksikan siswa untuk mengerjakan DCM, ingatkan pula agar para siswa
mengerjakan dengan tenang dan teliti.
(10) Lakukan pula pengecekan apakah para siswa telah mengerjakan DCM
dengan benar.
(11) Setelah waktu yang ditetapkan selesai, kumpulkan lembar jawab siswa, dan
lakukan pengecekan apakah jumlah lembar jawab sudah sesuai dengan jumlah
siswa.
Analisis DCM
Setelah semua pekerjaan siswa dikumpulkan, tugas konselor selanjutnya
adalah menganalisis pekerjaan itu. Analisis ini meliputi analisis individual dan
analisis kelompok.
1. Analisis Individual
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melakukan analisis
individual (per siswa) ini adalah:
(1) Menjumlahkan butir (item) yang menjadi masalah individu pada tiap-tiap topik
masalah.
(2) Mencari presentasi per -topik masalah, dengan cara mencari rasio antara jumlah
butir yang menjadi masalah (butir masalah yang dicek) dengan jumlah butir
topic masalah.
atau nm
n x 100
%
dengan keterangan:
47
(3) Mencari jenjang (ranking) masalah, dengan cara mengurutkan % topik masalah
mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil.
(4) Mengkonversikan % masalah ke dalam stan-ten scale dan predikat nilai A, B,
C, D dan E. Konversi harga itu, sebagai berikut:
0% = 10 = A (baik)
1 % - 10 % = 8 = B (cukup baik)
11 % - 25 % = 6 = C (cukup)
26 % - 50% = 4 = D (kurang)
51 % - 100 % = 2 = E (kurang sekali)
Contoh:
Ali mencek 6 butir masalah keluarga, sedangkan jumlah semua
topik keluarga ialah 30, maka persentase masalah keluarga Ali adalah:
nm 6
n x 100% = 30 x 100% = 20 %
Jadi predikat hubungan keluarga Ali adalah: C (cukup)
2. Analisis Kelompok
Langkah-langkah menganalisis secara kelompok meliputi analisis per butir dan
analisis per topik masalah. Kedua analisis tersebut dijelaskan berikut :
mm
m x 100%
dengan keterangan
mm = banyak siswa yang bermasalah untuk butir tertentu.
m = banyak siswa yang mengerjakan DCM
Contoh:
30 orang siswa bermasalah untuk butir nomor 65, siswa yang ikut
mengerjakan DCM adalah 120 orang.
mm 30
m x 100 % = 120 x 100 % = 25 %
Maka predikat permasalahan butir ini bagi para siswa adalah C (cukup)
48
dengan keterangan:
Nm = jumlah butir masalah
Mn = jumlah siswa yang mempunyai masalah
N = jumlah butir dalam topik masalah
M = jumlah siswa (peserta)
3) Masalah individual
Dari penjumlahan tiap butir masalah, sering dijumpai masalah yang hanya
dialami oleh 1 orang. Individu ini dicatatat sebagai individu yang mempunyai
masalah khusus.
4) Penyajian Hasil Analisis DCM
Agar hasil DCM bisa dibaca secara cepat dan bisa difahami secara mudah oleh
setiap penggunanya, bisa disajikan dalam bentuk –bentuk di bawah ini
5) Penyajian individual
STATUS
No. Masalah
-- - 0 + ++
1. Hubungan keluarga E D C B A
2. Hubungan dengan teman E D C B A
3. Hubungan dengan pelajaran E D C B A
4. Hubungan dengan guru E D C B A
5 Kesehatan E D D B A
6 Hobi E D D B A
7 Berhubungan denganAgama E D D B A
6) Penyajian kelompok
49
90
80
70
60
50 Pribadi
40 Keluarga
Sosial
30
20
10
0
1a 1b 1c 1d
TABEL ISIAN
PER-INDIVIDU PER- TOPIK MASALAH
23 P 6 10 14 0 5 1 5 41 207 20 C
24 P 5 4 1 0 1 4 2 17 207 8 B
25 L 1 4 0 1 0 0 0 6 207 3 B
26 L 19 15 10 7 1 2 0 54 207 26 D
27 L 8 15 3 3 3 1 3 36 207 17 C
28 P 13 7 14 1 3 5 9 52 207 25 C
29 P 17 18 28 7 1 4 12 87 207 42 D
30 L 18 4 6 1 1 0 2 32 207 15 C
31 P 11 12 6 5 3 0 5 42 207 20 C
32 P 9 14 7 0 7 1 5 43 207 21 C
33 P 6 24 17 7 6 6 9 75 207 36 D
34 L 11 2 6 0 2 1 10 32 207 15 C
35 P 13 4 12 4 7 1 9 50 207 24 C
36 L 10 7 15 7 2 0 7 48 207 23 C
37 P 6 4 2 2 0 1 5 20 207 4 B
358 346 374 117 138 75 229
Keterangan:
A : Masalah yang berhubungan dengan keluarga
B : Masalah yang berhubungan dengan teman
C : Masalah yang berhubungan dengan pelajaran
D : Masalah yang berhubungan dengan guru
E : Masalah yang berhubungan dengan kesehatan
F : Masalah yang berhubungan dengan hobi
G : Masalah yang berhubungan dengan agama
c. Daftar Cek berfungsi sebagai (1) alat pencatat hasil observasi, (2) memudahkan
individu mengemukakan masalah yang pernah dan sedang dihadapi. Yaitu dengan
mengingat kembali masalah-masalah yang pernah dialaminya, (3) untuk
sistematisasi jenis masalah yang ada pada individu agar memudahkan analisis dan
sintesis dengan data yang diperoleh dengan cara/alat lain, (4) untuk menyarankan
suatu preoritas program pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan
masalah individu maupun kelompok saat itu.
d. Beberapa ciri daftar cek yang baik adalah (1) sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan, (2) direncanakan secara sistematis, (3) berupa format yang baik dan
51
praktis, (d) hasil pengecekan diolah sesuai tujuan, (4) dapat diperiksa validitas,
reliabilitas, dan ketelitiannya, (5) bersifat kuantitatif, (6) efisien, obyektif,
komperhensif, dan (7) bisa diadministrasikan secara mudah oleh individu sendiri,
orang tua atau guru, serta (8) Item-itemnya mencakup problem dan karakteristik
yang cukup luas
e. Beberapa macam daftar cek yang lazim digunakan yaitu (1) daftar cek perorangan,
(2) daftar cek kelompok, (3) daftar cek dalam skala penilaian, (4) daftar cek
masalah, dan (5) dalam kaitannya dengan kepribadian, ada daftar cek terstandar
dan tidak terstandar.
f. Analisis hasil DCM bisa dilakukan dengan (1) analisis individual, (b) analisis
kelompok, analisis kelompok bisa dilakukan dengan analisis per-butir masalah,
dan analisis per-topik masalah. Demikian pula penyajian hasilnya, juga bisa
disajikan dengan bentuk (1) sajian individual, (2) sajian kelompok, dan (3) sajian
per-individu per-topik masalah
2. Tugas-tugas Latihan
1. Susunlah daftar cek dengan keterangan sebagai berikut :
a. Tujuan penyusunan daftar cek adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat
pemenuhan kebutuhan siswa. Subyek yang hendak diteliti adalah siswa
SMTP kelas 1
b. Lakukan analisis individual, kebutuhan mana yang paling menonjol belum
terpenuhi, dan kebutuhan mana yang khas pada siswa tertentu sehingga jelas
kebutuhan mana yang perlu segera mendapat preoritas dalam program
bimbingan di sekolah
2. Sebarkan daftar cek yang telah saudara susun kepada sekurang-kurangnya 30
orang siswa. Lakukan analisis individual dan kelompok, kemudian laporkan
pula dalam bentuk sajian individual, kelompok, per-individu, dan per-topik
masalah
(2) Tidak dibatasi oleh tingkatan umur dan tingkatan pendidikan subyek yang
sedang diselidiki. Terhadap individu usia berapapun, asal ia mampu berbicara
dan mampu memahami pertanyaan yang diajukan interviewee, maka intervieu
bisa dilakukan. Namun demikian dalam kedaan tertentu (misal : interviewee
katakutan karena berhadapan dengan orang asing, atau tidak memahami bahasa
yang digunakan interviewer, maka bisa dimanfaatkan pendamping yang bisa
membantu menciptakan rasa aman bagi interviewee dan sekaligus penterjemah.
(3) Dalam riset-riset sosial, metode ini hampir tidak bisa ditinggalkan sebagai
metode pelengkap, bahkan dalam beberapa kasus difungsikan sebagai metode
utama (primer). Hal ini adalah sangat wajar, mengingat dalam penelitian sosial
lazim mengungkap masalah-masalah yang berhubungan dengan tanggapan,
pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, dan proyeksi seseorang tentang masa
depannya. Sedang yang lebih mengetahui tentang hal tanggapan, pendapat,
keyakinan, perasaan, motivasi, dan proyeksi seseorang seseorang adalah orang
itu sendiri.
(4) Dengan unsur fleksibelitas/keluwesan yang dikandungnya, ia cocok sekali untuk
digunakan sebagai alat verivikasi (kriterium) terhadap data yang diperoleh
dengan cara observasi, kuesioner dan lain-lain. Metode ini bisa digunakan
kepada interviewee yang masih buta huruf, dewasa, dan atau kanak-kanak. Di
samping itu, metode ini bisa digunakan sekaligus untuk mengecek kebenaran
jawaban interviewee dengan mengajukan pertanyaan lebih jauh, mengamati
bahasa tubuh dan atau realitas yang ada pada subyek yang diinterviu. Misal :
seorang interviewee dengan pakaian bersih dan rapi, ketika ditanya mengaku
sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di suatu pripinsi, tetapi
ketika ditanya fakultas, jurusan, dan angkatan tahun berapa dia tidak bisa
menjawab. Belakangan diketahui ternyata ia seorang karyawan pabrik yang
sedang di-PHK, sementara sedang mencari pekerjaan.
(5) Dapat diselengarakan sambil mengadakan observasi. Tidak semua data bisa
digali dengan metode observasi, misalnya seorang konselor melakukan observasi
di depan pintu gerbang untuk mengetahui siapa-siapa di antara siswa yang rajin
dan siapa pula sering terlambat sekolah. Sekedar untuk mengetahui siapa-siapa
yang rajin dan terlambat datang ke sekolah bisa dilakukan dengan cara observasi,
tetapi ketika ingin mengetahui mengapa ia terlambat atau mengapa pula ada
siswa yang rajin, maka perlu digali dengan metode observasi.
2. Kekurangan-kekurangan interviu
(1) Tidak cukup efisien, karena penggunaan metode ini membutuhkan waktu,
tenaga, dan biaya yang lebih banyak. Untuk mengatasi kelemahan ini bisa
dilakukan penambahan jumlah interviewer yang terlatih, dan pedoman observasi
yang mudah digunakan.
(2) Tergantung pada kesediaan, kemampuan, dan waktu yang tepat dari interviwi,
sehingga informasi tidak dapat diperoleh dengan seteliti-telitinya. Untuk
mengatasi kelemahan ini, maka diseyogiakan sebelum melakukan interviu
kepada pihak tertentu dilakukan kesepakatan terlebih dahulu tentang materi
interviu, tempat dan waktu. Dengan demikian diharapkan kedatangan interviewer
bisa disambut dengan baik lantaran sudah ada kesepakatan sebelumnya.
(3) Jalan dan isi interviu sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sekitar
yang memberikan tekanan-tekanan yang mengganggu. Untuk mengatasi masalah
ini, konselor atau peneliti bisa memeberi tahukan sebelumnya tentang maksud
54
dan tujuan interviu, dan menjelaskan pula arti pentingnya informasi yang
disampaikan oleh interviewer.
(4) Membutuhkan interviewer yang benar-benar menguasai bahasa interviewee. Bagi
orang-orang yang masih ”asing” amat sulit menggunakan interviu sebagai
metode penelitian. Untuk mengatasi masalah ini, maka dalam penambahan
anggota peneliti seyogianya memperhatikan penguasaan bahasa dan budaya
masyarakat di mana interviewee hidup dan dibesarkan.
(5) Jika pendekatan ”sahabat-karib” dilaksanakan untuk meneliti masyarakat yang
sangat hetrogen, maka diperlukan interviewer yang cukup banyak. Misalnya jika
masyarakat yang diteliti dari bebeberapa kelompok yang saling bertentangan,
maka diperlukan interviewer yang masing-masing melayani satu golongan.
Untuk mengatasi masalah ini, diseyogiakan interviewer lebih adaptable terhadap
hal-hal yang bersifat khas pada interviewer, kemudian berupaya sekuat tenaga
untuk menghormatinya.
(6) Sulit untuk menciptakan situasi yang terstandar sehingga kehadiran interviwer
tidak mempengaruhi responden dalam memberikan jawaban. Di sisi lain, dalam
interviu sulit dihindari responden tidak mencantumkan jati dirinya, atau
responden harus mencantumkan identitasnya untuk kepentingan analisis dan
laporan hasil interviu. Untuk mengatasi kelemahan ini, diseyogiakan agar
interviewer menciptakan hubugan baik sebelumnya agar interviwi merasa aman,
dan jika dipandang mengganggu sebaiknya identitas responden dalam laporan
diubah dengan nama samaran, meski identitas aslinya tetap harus disimpan oleh
interviewer.
5
Itee = interviwi atau individu yang diinterviu
6
Iter = individu yang melakukan interviu atau pewawancara
55
Pra anggapan atau pra duga dan pernyataan yang mendahului (antisipasi).
Interviwer menyimpulkan sesuatu tanpa membuktikan kebenarannya terlebih
dahulu, dengan kata lain nterviwer terlalu cepat menarik simpulan
Contoh: Itee : “Saya senang makan buah-buahan yang lunak”
Iter : “Jadi, papaya yang paling enak ya?”
5. O (Ordering)
Perangkuman atau pengaturan bahan-bahan yang dikemukakan dalam interviu.
Interviwer mengatur atau menyimpulkan bahan-bahan yang dikemukakn oleh
interviwi.
Ada 3 macam respons interviwer yang bisa disekor dengan 0:
a. Echo Response
Interviwer mengulang apa yang dikatakan oleh Interviwi dengan kata-kata yang
kurang lebih sama, dengan demikian tidak ditambahkan aksen baru.
b. Content Response
Interviwer menerangkan/ menyimpulkan dengan kata-kata baru apa-apa yang
dikemukakan oleh interviwi.
Di sini terdapat aksen baru tetapi tidak mencakup unsur perasaan yang di balik
perkataan-perkataan interviwi. Content-response lebih menyangkut unsure isi
pernyataan.
c. Feeling Response
Interviwer mengekspresikan perasaan-perasaan interviwi yang tidak disebut
secara ekplisit tetapi tercermin dalam kata-kata atau kelakuan klien.
Contoh:
Itee : Di toko-toko serba ada barang-barang ditempatkan begitu
menarik sehingga mau tak mau saya harus membelinya.
Iter1 : Menurut anda toko-toko serba ada menempatkan barang-
barangnya begitu menarik sehingga mau tak mau
anda harus membelinya (Echo response)
Iter 2 : Toko serba ada mengatur barang-barangnya secara baik
(Content-response).
Iter 3 : Anda punya perasaan seolah-olah terpaksa membeli barang
di toko serba ada. (Feeling response)
2) Reaksi-Reaksi Adekwat
Agar interviu sikap dapat digolongkan baik, maka kategori reaksi-reaksi
pertanyaan-pertanyaan interviiwi haruslah sebagai berikut :
a. I hanya terdapat pada permulaan interviu
b. E-ex hanya boleh ada sebagai pertanyaan awal, setelah pertanyaan awal E-ex
tidak boleh ada lagi
c. Ev dan A tidak boleh ada lagi selama interviu.
d. O dan E-in harus sebanyak mungkin dilakukan.
e. Ucapan sisipan seperti ”Ya, ya, hm, hm” sebaiknya ada. Ucapan-ucapan ini
bisa menaikkan produksi verbal dari interviwi, sebab ucapan-ucapan itu
dipandang sebagai reinforcement.
f. Jangka waktu bicara antara interviwer dibanding interviwi sebaiknya 1 : 2
O+ E−in
x 100 %≥60 %
Rumus : N −( F +S )
b. Penilaian Kulitatif
Norma untuk interviu sikap bebas yang baik adalah :
1. A dan Ev tidak boleh ada
2. Jangka waktu berbicara interviwr dengan interviwi haruslah 1 : 2
3. E-ex hanya boleh ada pada pertanyaan mula
4. E-in hanya boleh ada pada informasi iterviwi yang kurang jelas
besar terdapat dua bentuk interviu konseling, yaitu model direktif (diagnosis-resep)
dan model non-direktif. Kedua model tersebut dijelaskan berikut :
1) Model direktif (diagnosis-resep)
Pada model ini, interviwer menanyakan sesgala sesuatu yang diduga
menjadi sumber masalah yang dihadapi konseli. Berdasarkan hasil wawancara itu
kemudian konselor membuat diagnosis yaitu berupa penetapan penyebab masalah
yang dihadapi konseli. Mendasarkan diagnosis itu kemudian konselor memberi
resep berupa nasehat yang perlu dilakukan konseli agar masalah yang dihadapinya
bisa terselesaikan dengan baik.
Pada model ini, interviwer bersifat aktif memimpin percakapan atau lebih
bersifat direktif. Karena konselor yang justru lebih aktif sementara konseli pasif,
akibatnya konseli justru menjadi lebih tergantung pada konselor. Padahal
seharusnya konseli sendiri yang seharusnya lebih banyak mengambil insiatif,
sedang konselor lebih banyak memberi alternatif-alternatif, dukungan dan atau
penguatan terhadap langkah-langkah positif yang dipilih konseli.
Meskipun terdapat kelemahan pada interviu model ini yaitu konseli menjadi
tergantung, dan kadang nasehqat konselor tidak dilaksanakan; tetapi bagi konseli
usia anak-anak atau individu yang kurang cerdas, interviu konseling model ini
masih bisa digunakan.
2) Model non-direktif
Interviu model ini didasarkan pada asumsi bahwa individu memiliki potensi
untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dan ia sendiri yang harus menyelesaikan
maslah yang sedang dihadapi. Fungsi interviwer sekedar membantu interviwi
mengeksplorasi perasaan-perasaan dan motiv-motiv yang sementara masih
terpendam, kemudian membantu interviwi menemukan jalan keluar dari persoalan
yang sedang dihadapinya.
Dalam model non-direktif ini, kategori pernyataan yang banyak digunakan
adalah O dalam bentuk refleksi perasaan (O-feeling) dan E-in. Refleksi bukanlah
pernyataan absolut, tetapi merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa
interviwer memahami interviwi. Dalam melakukan refleksi diseyogiakan agar
interwiwer memperhatikan hal-hal berikut :
(1) Refleksi harus merupakan refleksi konkrit dari perasaan yang mendasari ucapan
interviwi
(2) Refleksi perasaan harus empunyai intensitas yang sama dengan yang
terkandung dalam ucapan interviwi.
(3) Nada reflekdi harus sama dengan perasaan yang dicoba untuk direflekksikan,
dengan kata lain jika interviwer bermaksud merefleksikan perasaan cemas,
maka ia tidak dapat mengucapkannnya dengan sura tak acuh.
(4) Interviwi yang lebih mengetahui apakah rekleksi konselor tepat atau tidak.
(5) Ekspresi yang sukses akan mendorong interviwi untuk mengksplorasi perasaan
lebih lanjut.
Di bawah ini disajikan contoh refleksi yang baik dan tidak baik dari
interviwer terhadap ungkapan perasaan interviwi. Ia adalah seorang gadis, anak
tunggal, sudah beberapa lama ia tinggal rumah pondokan terpisah dari orang
tuanya.
Interviwi : Kalau saya pulang .........., teganglah suasana di rumah. Kalau saya
cerita
59
Dari tiga refleksi interviwer di atas, reflkeksi yang terbaik adalah refleksi yang
pertama, sebab refleksi itu konkrit dan merefleksikan perasaan yang mendasari
ucapan intterviwi. Selain konkrit, refleksi pertama juga mempunyai intensitas
yang sama dengan yang terkandung dalam ucapan interviwi. Refleksi ke dua
dan tiga terlalu samar dan umum.
melanjutkan kuliah, dengan alasan setelah kuliah prospeknya akan lebih bagus.
Padahal dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
(4) Banyak memberikan alasan-alasan (justifikasi). Interviwer menyampaikan
berita buruk setelah itu memberikan berbagai alasan untuk membenarkan
”berita buruk” tersebut. Alasan itu berlebihan dan sering tidak sesuai kenyataan
Beberapa bentuk reaksi interviwi dalam menaggapi berita buruk adalah (a)
reaksi agresif, ada yang menyampaikan dalam bentuk tingkah laku seperti
memukul meja, merobek-robek kertas dan lain sebaginya. Tepai ada pula yang
berbentuk kata-kata yang diucapkan atau tidak diucapkan, (b) penolakan terhadap
berita buruk yang disampaikan oleh interviwer, (c) regresi yaitu iterviwi mundur
dalam bentuk reaksi yang kurang matang (misal berlaku kekanak-kanakan, (d)
sterotipe yaitu mengulang-ulangkalimat-kalimat tertentu, misalnya ”Sungguh saya
tidak mengira”. Kalimat diucapkan berulang kali.
3. Mempunyai pengalaman hidup dan daya observasi yang tajam, seyogianya ia tidak
terkurung hanya dalam satu lingkungan saja.
4. Mudah menyesuaikan diri dengan situasi sosial.
5. Memahami dan mampu menggunakan pedoman wawancara dengan baik.
6. Memahami tujuan akhir yang hendak dicapai melalui interviu.
7. Mampu memanfaatkan alat-alat bantu (tape recorder dan alat-alat pencatat data
dengan baik).
3. Interviwi takut bahwa interviwer yang ahli ini akan menemukan ”kebenaran-
kebenaran mengerikan” tentang dirinya, sedangkan dia sendiri tidak mempunyai
pengetahuan tentang hal ini.
4. Kecemasan bisa timbul karena interviwer menanyakan hal-hal tertentu yang
biasanya selalu diusahakan untuk dilupakan sebagai cara pertahanan diri.
Untuk mengurangi kecemasan-kecemasan di atas, Wallen menunjukkan bahwa
interviwer bisa menyampaikan kepada interviwi rasa penerimaan (acceptance)
terhadap diri interviwi, agar bisa mengurangi faktor eksternal yang mendorong
timbulnya kecemasan.” Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah (a) menunjukkan
minat tanpa ingin menyelidik, dan (b) responsif, hangat tanpa menilai, (c) reseptif
tanpa menuntut.
e. Beberapa kelemahan interviu adalah (1) Ttdak cukup efisien, karena penggunaan
metode ini membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang lebih banyak, (2)
tergantung pada kesediaan, kemampuan, dan waktu yang tepat dari interviwi, (3)
jalan dan isi interviu sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sekitar yang
memberikan tekanan-tekanan yang mengganggu, (4) Membutuhkan interviewer
yang benar-benar menguasai bahasa interviewee, (5) Jika pendekatan ”sahabat-
karib” dilaksanakan untuk meneliti masyarakat yang sangat hetrogen, maka
diperlukan interviewer yang cukup banyak, dan (6) Sulit untuk menciptakan situasi
yang terstandar sehingga kehadiran interviwer tidak mempengaruhi responden
dalam memberikan jawaban.
f. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam menyusun pedoman wawancara
(interviu guide) yaitu (1) tetapkan tujuan penelitian, (2) tetapkan sampel (subyek
yang hendak diwawancarai), (3) merancang bentuk interviu, (4) mengembangkan
pertanyaan, (5) memilih dan melatih interviewer, (6) melakukan uji coba prosedur
interviu, (7) melakukan nterviu, dan (8) menganalisis data hasil interviu.
g. Beberapa syarat interviwer yang baik antara lain (1) mempunyai minat yang
sungguh-sungguh terhadap orang lain, (2) mempunyai pengertian, bersimpati dan
berempati dengan interviwi, (3) mempunyai pengalaman hidup dan daya observasi
65
yang tajam, (4) mudah menyesuaikan diri dengan situasi sosial. (5) memahami dan
mampu menggunakan pedoman wawancara dengan baik, (6) memahami tujuan
akhir yang hendak dicapai melalui interviu, dan (7) mampu memanfaatkan alat-alat
bantu dengan baik.
h. Interviwer perlu menciptakan hubungan baik dengan interviwi agar ia lebih mudah
dalam mengupulkan data yang diperlukan. Beberapa cara yang bisa dilakukan agar
tercipa suasana interviu yang baik yaitu (1) partisipasi dalam kegiatan yang sedang
dilakukan interviwi, (2) memperkenalkan diri sebagai ”orang dalam”, (3)
menerangkan maksud dan tujuan secara ramah dan sopan, (4) minta bantuan
seseorang yang dipandang sebagai tokoh oleh interviwi.
i. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam melatih kemahiran melakukan
interviu yang baik adalah (1) dalam mengajukan pertanyaan pembukaan sebaiknya
hal-hal yang netral dan ringan, (2) seyogianya berbicara terus terang, sederhana,
dan mengarah pada inti pembicaraan, (3) nada dan irama hendaknya disesuaikan
dengan isi pembicaraan, dan (4) upayakan suasana akrab seperti berbicara dengan
sahabat karib.
j. Beberapa kesalahan dalam melaporkan hasil interviú hádala (1) error of
recognition, (2) error of omission, (3) error of addition , (4) error of substitution,
dan (5) error of transpotition.
2. Tugas-tugas Latihan
a. Buatlah pedoman wawancara atau interview guide dengan keterangan berikut :
1) Tujuan wawancara adalah ingin mengetahui alasan yang mendorong beberapa
orang siswa meninggalkan pelajaran tertentu.
2) Subyek yang hendak diwawancarai (interviwi) adalah siswa SMU kelas 11 di
kota saudara.
3) Bentuk pertanyaannya adalah terbuka
4) Jumlah pertanyaan sekurang-kurangnya 20 pertanyaan, berkaitan dengan : diri
siswa, keluarga, lingkungan pergaulan, dan pelajaran yang ditinggalkan
b. Setelah pedoman tersebut selesai saudara susun, cobakan kepada tiga orang dari
sejumlah siswa yang saudara ketahui sering meninggalkan pelajaran, dengan tujuan
apakah rancangan pertanyaan saudara sudah bisa difahami responden atau belum.
Sesudah itu lakukan pula wawancara dengan lima orang siswa yang memiliki kasus
serupa, yaitu sering meninggalkan pelajaran. Lakukan pencatatan hasil wawancara
dengan sebaik-baiknya, kemudian lakukan pula analisis hingga tercapai tujuan
penelitian, yaitu diketahuinya faktor apa sebenarnya mendorong beberapa orang
siswa sering meninggalkan pelajaran.
c. Lakukan pula wawancara secara berkelompok, seorang sebagai interviwer yang
lain sebagai pengamat dan sekaligus penilai. Lakukan penilaian sesuai pedoman
yang ada, bagaimana kualitas wawancara yang saudara lakukan? Setelah itu
lakukan perbaikan dan perbaikan.
apa adanya. Di sisi lain, hasil ukur skala psikologi harus teruji reliabilitasnya secara
psikolometris, karena relevansi isi dan konteks kalimat yang digunakan sebagai
stimulus pada skala pada skala psikologi lebih terbuka terhadap eror.
7) Validitas angket lebih ditentukan oleh kejelasan tujuan dan lingkup informasi yang
hendak diungkap, sedang validitas skala psikologi lebih ditentukan oleh kejelasan
konsep psikologi yang hendak diukur dan operasionalisasinya.
5) Aitem yang pendek dan simpel adalah yang terbaik. Aitem-aitem yang terlalu
panjang dan kompleks harus dihindari, sebab ia lebih sulit difahami, atau bisa
jadi responden tidak ingin mencoba memahaminya. Diasumsikan, bahwa
responden akan membaca secara cepat, oleh sebab itu dalam menulis aitem
sebaiknya singkat, mudah difahami, dan mudah direspon.
6) Hendaknya dihindari aitem negative, sebab hal itu bisa menyebabkan salah
tafsir. Sebab bisa jadi responden secara tidak sadar akan melewatkan (overlook)
kata-kata yang negative, kemudian jawaban mereka justru sebaliknya dari yang
diharapkan. Jika peneliti perlu menggunakan bentuk negative, seyoginya kata-
kata negativ itu dicetak tebal, diberi garis bawah, atau dengan huruf besar.
7) Hindari penggunaan aitem-aitem atau istilah-istilah yang maknanya bisa
menyimpang atau bias. Pertanyaan “Setujukah saudara dengan kepemimpinan
perempuan?” Pertanyaan ini mungkin bermaksud untuk mengungkap sikap
responden terhadap kepemimpinan perempuan, tetapi bisa jadi dimaknai
perempuan memimpin perempuan atau model kepemimpinan yang
dikhususkan untuk perempuan. Aitem yang disusun sebaiknya menunjukkan
dengan jelas, jawaban apa sebenarnya yang diharapkan peneliti, atau responden
bisa memahami konsekuensi dari respon yang diberikan.
sesuai harapan peneliti, sebab kesalahan dalam memberikan respon bisa jadi
kesalahan dalam memberikan jawaban. Oleh sebab itu petunjuk cara
memberikan respon itu harus jelas. Misalnya : menjawab singkat, memilih
jawaban yang tersedia, menyilang huruf di depan alternative jawaban, memberi
tanda cek pada skala atau dalam kotak yang tersedia.
Jika satu set kuesioner terdiri dari beberapa kelompok dengan berbagai macam
bentuk kuesioner, maka pada setiap awal bentuk kuesioner juga perlu diberi
petunjuk yang sesuai.
4) Beberapa petunjuk teknis disarankan oleh Mc Millan, (2001 : 266) yaitu (a)
gunakan tata bahasa, ejakan, dan tanda baca dengan benar, (b) pastikan bahwa
cetakan adalah jelas dan mudah dibaca, (c) dalam membuat perintah hendaklah
singkat dan mudah difahami.
6. Setelah semua bagian tersusun dengan baik, sebelum kuesioner dikirim kepada
responden yang sesungguhnya, sebaiknya peneliti melakukan pretes atau tryout
preliminer. Tryout ini dimaksudkan untuk (1) menghindari pertanyaan-pertanyaan
yang kurang jelas maksudnya, (2) meniadakan kata-kata yang terlalu asng bagi
responden, terlal akademis,, atau kata-kata yang menimbulkan kecurigaan, (3)
menghindari pertanyaan atau pernyataan yang biasa dilewati atau hanya
menimbulkan jawaban yang dangkal, (4) untuk menambah aitem yang dipandang
perlu atau menghilangkan aitem yang dipandang kurang relevan dengan tujuan
penelitian
7. Atas dasar hasil tryout itu kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan (revisi), dan
jika masih dipandang perlu tryout ulang hingga mencapai bentuk final. Format
akhir inilah yang nantinya akan dikirim kepada responden yang sebenarnya.
Operasionalisasi Konsep
Indikator perilaku
Penulisan aitem
Reviu aitem
71
Uji coba
Analisis aitem
Kompilasi I
Seleksi aitem
Validasi
Kompilasi II
Format final
5. Reviu Item
Reviu pertama dilakukan oleh penulis aitem sendiri, yaitu dengan selalu
memeriksa ulang setiap aitem yang baru saja ditulis apakah telah sesuai dengan
indicator perilaku yang hendak diungkap dan apakah juga tidak keluar dari pedoman
penulisan aitem. Apabila semua aitem telahselesai ditulis, reviu kedua dilakukan oleh
beberapa orang yang dipandang kompeten. Kompetensi yang diperlukan bagi orang
yang diminta mereviu adalah (a) menguasai masalah konstruksi, (b) menguasai
masalah atribut yang diukur, dan (c) menguasai bahasa tulis standar. Semua aitem yang
yang diperkirakan tidak sesuai dengan spesifikasi blue-print atau yang tidak sesuai
dengan kaidah penulisan harus diperbaiki atau ditulis ulang. Hanya aitem-aitem-aitem
yang diyakini akan berfungsi dengan baik yang boleh diloloskan untuk mengikuti uji
coba lapangan.
6. Uji coba
73
Tujuan pertama uji coba aitem adalah untuk mengetahui apakah kalimat-kalimat
dalam aitem mudah dan dapat difahami oleh responden sebagaimana diinginkan oleh
penulis aitem. Reaksi-reaksi responden berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai kata-
kata atau kalimat yang digunakan dalam aitem merupakan pertanda kurang
komunikasinya kalimat yang ditulis, dan itu memerlukan perbaikan. Hal ini sangat
mungkin terjadi mengingat apa yang sudah jelas bagi penulis aitem bias jadi belum
cukup mudah difahami oleh responden. Tujuan kedua, uji coba dijadikan salah satu
cara praktis untuk memperoleh data jawaban dari responden yang akan digunakan
untuk penskalaan atau evaluasi kualitas aitem secara statistik.
7. Analisis Item
Analisis aitem merupakan proses pengujian parameter-parameter aitem guna
mengetahui apakah aitem memenuhi persyaratan psikometris untuk disertakan sebagai
bagian dari skala. Parameter aitem yang perlu diuji sekurang-kurangnya adalah daya
beda atau daya deskriminasi aitem, yaitu kemampuan aitem untuk membedakan
anatara subyek yang memiliki atribut yang diukur dan yang tidak. Lebih spesifik lagi,
daya beda aitem memperlihatkan kemampuan aitem untuk membedakan individu ke
dalam berbagai tingkatan kualitatif atribut yang diukur mendasarkan skor kuantitatif.
Misal : aitem yang ditujukan untuk mengukur motivasi belajar seseorang, maka aitem
itu tentu bias menunjukkan perbedaan individu yang motivasi belajarnya tinggi,
sedang, dan rendah. Dalam analisis aitem yang lebih lengkap dilakukan juga analisis
indeks validitas dan indeks reliabilitas aitem.
8. Kompilasi I
Mendasarkan hasil analisis aitem, maka aitem-aitem yang tidak memenuhi
persyaratan psikometris akan disingkirkan atau diperbaiki lebih dahulu sebelum dapat
menjadi bagian dari skala. Di sisi lain, aitem-aitem yang memenuhi persyaratan juga
tidak dengan sendirinya disertakan ke dalam skala, sebab proses kompilasi skala masih
harus mempertimbangkan proporsionalitas komponen-komponen skala sebagaimana
dideskripsikan oleh blue-print-nya. Dari sini bisas difahami, bahwa dalam
mengumpulkan (mengkompilasi) aitem-aitem yang memnuhi persyaratan untuk
menjadi bagian dari skala perlu memperhatikan (1) apakah suatu aitem memenuhi
persyaratan psikometris atau tidak, dan (2) proposionalitas komponen-komponen skala
seperti tertera dalam blue-print.
9. Kompilasi II
Aitem-aitem yang terpilih yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah yang telah
dispesifikasikan oleh blue-print, selanjutnya dilakukan uji reliabilitas. Apabila
koefisien reliabilitas skala ternyata belum memuaskan, maka penyusun skala dapat
kembali ke langkah kompilasi dan merakit ulang skala dengan lebih mengutamakan
aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi sekalipun perlu mengubah proporsi aitem
dalam setiap komponen atau bagian skala.
Kumpulan aitem yang memiliki daya deskriminasi tinggi akan dapat
meningkatkan koefisien relibilitas skala. Cara lain yang bias dilakukan adalah dengan
cara menambah jumlah aitem pada setiap komponen secara prporsional dengan (bila
perlu) menurunkan sedikit criteria seleksi aitem. Hal ini dilakukan terutama jika
jumlah aitem dalam skala belum begitu banyak. Secara umum, penambahan jumlah
aitem akan meningkatkan koefisien reliabilitas skala.
Proses validasi pada hakekatnya merupakan proses berkelanjutan. Pada skala-
skala yang akan digunakan secara terbats, pada umumnya dilakukan pengujian
74
validitas berdasarkan criteria. Sedang pada skala yang akan digunakan secara luas
biasa diperlukan proses analisis factor dan validasi silang (cross validation)
Pada akhirnya, format akhir skala seyogianya ditata dalam tampilan yang
menarik namun tetap memudahkan bagi responden untuk membaca dan menjawabnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan seperti disarankan oleh Saifuddin Azwar (2005 : 15)
adalah (1) perlu dilengkapi dengan pengerjaan dan lembar jawab yang terpisah, (2)
ukuran kertas yang digunakan juga perlu disesuaikan dengan panjangnya skala, agar
berkas skal tidak nampak terlalu tebal yang menyebabkan responden kehilangan
motivasi, dan (3) ukuran huruf sebaiknya juga perlu mempertimbangkan usia
responden, seyogianya tidak menggunakan huruf yang ukurannya terlalu kecil agar
responden yang tergolong lanjut usia tidak kesulitan untuk membacanya.
lebih baik bila dibandingkan hanya dengan dua alternative (force shoice). Namun
demikian perlu diingat, bahwa tidak semua harus dijadikan banyak pilihan jika
faktanya memang hanya dua pilihan .
3. Dilihat dari sisi keleluasaan responden dalam memberikan jawaban atau komentar
terhadap pertanyaan atau pernyataan yang diajukan, bisa dibedakan menjadi
kuesioner bentuk terbuka (open form questionaire) dan kuesioner bentuk tertutup
(closed form questonaire, structured, or closed ended).
Pada kuesioner bentuk terbuka responden diberi kesempatan untuk menjawab atau
memberi komentar seluas-luasnya terhadap pertanyaan atau pernyataan yang
diajukan peneliti.
Misal : a. “Bagaimana pendapat saudara jika orang-orang yang IQ-nya tinggi
diberi kesempatan untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya?”
b. Bagaimana pendapat saudara jika orang-orang yang IQ-nya rendah
dikebiri saja?”
Sebaliknya pada kuesioner bentuk tertutup, responden terbatas dalam memeberikan
jawaban atau pendapat tentang masalah yang diajukan peneliti. Beberapa contoh
aitem model tertutup disajikan berikut :
Misal : a. “Apa hobi sudara?”,
b. “Berapa jumlah saudara anda yang masih hidup?”
c. “Berilah silang pada huruf di depan alternative yang menggambarkan
berapa jam saudara belajar setiap hari :
a. 0-2
b. 3-5
c. 6-8
d. 9-11
Ada beberapa kelebihan kuesioner bentuk tertutup yaitu (a) mudah diskor
dibanding bentuk terbuka, (b) responden bisa menjawab kuesioner secara lebih
cepat, dan oleh karena itu (c) bentuk ini lebih tepat digunakan untuk responden
dalam jumlah banyak
Bentuk kutup tunggal ini bisa dikonversi menjadi bentuk berkutup dua yaitu
dengan cara menggunakan dua kata sifat yang berlawanan dan
menempatkannya pada dua titik ekstrim
76
3. Penguasaan materi :
buruk bagus
Ibu
Buruk ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___ Baik
Lemah ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___ Kuat
Lambat ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___ Cepat
Pada bentuk ini, responden diminta memberi tanda (mungkin cek atau tanda
silang) pada point yang tersedia diantara dua kutup yang berlawanan. Tanda
yang semakin dekat dengan sifat yang diujung kiri atau kanan menunjukkan
bahwa penilaian responden terhadap suatu konsep cenderung ke arah atau
mendekati sifat itu.
! ! ! ! !
selama selama semampu selama
Selama
masih ada ortu masih saya saya sehat saya
masih
teman membiayai hidup
Pada skala tersebut jarak antar poin dibuat sama, di mana setiap poin memiliki
makna dari kiri paling rendah, semakin ke kanan semakin tinggi. Atau bisa
dibuat sebaliknya
2. Tugas-tugas latihan
a. Buatlah kuesioner sekaligus skala psikologis dengan keterangan berikut :
1) Tujuan penelitia adalah untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan orang tua
dengan motivasi melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi.
2) Subyek penelitiannya adalah siswa SMTA (SMU/SMK)
3) Bentuk item kuesioner adalah bentuk tertutup, sedang bentuk skala psikologis
adalah bentuk graphic rating scale.
4) Jumlah aitem 80.
5) Lakukan uji coba lapangan, dan lakukan pula uji validitas dan reliabilitas.
Setelah itu ambil 40 soal yang tergolong valid dan reliable
3.5 Sosiometri
3.5.1 Sekilas tentang Sosiometri
Metode ini dikemukakan oleh Moreno, bertujuan untuk meneliti saling hubungan
antara anggota kelompok di dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, sosiometri
banyak digunakan untuk mengumpulkan data tentang dinamika kelompok. Sosiometri
juga dapat digunakan untuk mengetahui popularitas seseorang dalam kelompoknya,
menyelidiki kesukaran seseorang terhadap teman sekelompoknya, baik dalam
pekerjaan, sekolah maupun teman bermain, menyelidiki ketidaksukaan terhadap teman
sekelompoknya.
Sebagai contoh, apabila kita ingin mengetahui mengapa beberapa murid
mengalami kesulitan dalam pelajarannya, sedangkan secara akademik mereka pandai,
hal ini mungkin dapat disebabkan oleh kurangnya penyesuaian diri terhadap teman
sekelasnya. Keadaan semacam ini dapat diketahui dengan menggunakan sosiometri.
PEMILIH Total
Subyek
A B C D E F
80
DIPILIH
A X X X X X 5
B X X X 3
C X X 2
D X 1
E
Total 2 2 X
2 2 2 2 1
12
Dengan matrik sosiometri ini, secara mudah dan cepat dapat diketahui jumlah pemilih
untuk setiap orang, siapa yang paling populer dan yang tidak populer, akan tetapi
masih sulit pula untuk mengetahui individu yang saling memilih, siapa saja yang
menjadi anak kelompok dan lain-lain. Maka akan lebih baik jika disajikan dalam
bentuk sosiogram, seperti digambarkan di bawah ini:
A
5-
4-
B
3-
2- C
D
1- E
F
0-
Keterangan:
0,1,2,3,4,5 frekuensi pemilih.
A,B, C, D, E, subyek terpilih.
Cara membuat:
1. Buat sumbu ordinat dan dibuat skala yang mencakup frekuensi pemilih yang
terbanyak.
2. Letakkan masing-masing individu setinggi frekuensi pemilih yang diperoleh.
Misalnya A pemilihnya 5 orang, A diletakkan pada garis yang setinggi
frekuensi 5.
3. Buat garis pilihan yang ditandai dengan tanda panah, misalnya:
A B berarti A memilih B
A B berarti A dan B saling memilih
( A memilih B dan B Juga memilih A)
A B berarti A menolak B
A B berarti A menolak B dan B juga menolak A
A B berarti A memilih B dan B menolak A.
Bentuk hubungan
Bentuk hubungan antar individu dalam suatu kelompok dapat bermacam-
macam:
1. Berbentuk segitiga (Triangle)
Hubungan yang mempunyai intensitas yang cukup
kuat
Bila pusat (A) tidak ada, maka kelompok akan bubar, karena hubungan kurang
menyeluruh
Arti indeks:
Pm = 0 berarti tidak ada yang memilih
Pm = 1 berarti semua anggota kelompok memilih
Indeks pemilih bergerak dari 0 – 1
2. Status Penolak
Pn A = jumlah penolak A
N -1
Pn A = indeks status penolak A
N = jumlah anggota kelompok
Arti indeks:
Pn = 0 berarti tidak ada yang menolak.
Pn = - 1 berarti semua orang menolak
Indeks penolakan bergerak dari – 1 sampai 0
2. Tugas Latihan
1. Sebarkan angket sosiometri pada siswa kelas akhir, selanjutnya
carilah siswa yang menunjukkan gejala terasing kemudian rencanakan program
bimbingan individual untuknya.
2. Buatlah kelompok belajar dari satu kelas dengan memanfaatkan
teknik sosiometri, upayakan setiap kelompok belajar terdiri dari lima orang dengan
tetap memperhatikan komposisi jenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta
memperhatkan arah pilih siswa
DAFTAR PUSTAKA
83
…………. 1996. Rating Scales and Checlists. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Anastasi,A & Urbina, S. 2006. Tes Psikologi (Alih Bahasa : PT Indeks kelompok
Gramedia). Jakarta : PT Indeks
Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya : Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia.
Bandung : UPI
Djumhana, Anna. 1983. Metode Observasi Dalam Konseling (Kumpulan naskah dalam :
Materi dasar Pendidikan Program Bimbingan dan Konseling di Perguruan
Tinggi). Jakarta : Depdikbud, Dirjen Dikti
Friedman,H.S & Schustack,M.W. 2008. Kepribadian : Teori Klasik dan Riset Modern,
Edisi Ketiga. (alih bahasa : Fransiska Dian Ikarini dkk) Jakarta : Erlangga
Gibson, R.L. & Mitchell. M.H. Introduction to Counseling and Guidance (Fourth
Editiion). New Jersey : Prentice Hall