Anda di halaman 1dari 84

1

BAHAN AJAR
ASSASMEN DAN PEMAHAMAN INDIVIDU

A. Kompetensi dan Indikator


Kompetensi
Kemampuan memilih dan merancang instrument non tes untuk need
assessment lingkungan dan siswa di SMP/MTs, SMA/MA, dan atau SMK

Indikator
1. Latar belakang timbulnya human assessmen
2. Konsep dasar asesmen dan pemahaman individu
3. Berbagai alat instrumen non-tes
4. Merancang kisi-kisi instrumen non tes untuk pengumpul data
5. Membuat item-item instrumen non tes
6. Melakukan uji coba instrument
7. Melaporkan hasil uji coba instrument

B. Uraian Materi

1. Latar belakang timbulnya human asesmen dalam kompetensi Konselor


Di bawah ini disajikan posisi kemampuan melakukan asessment dalam
keseluruhan kompetensi konselor
Pemahaman individu adalah suatu cara untuk memahami, menilai, atau
menaksir karakteristik, potensi, dan atau masalah-masalah (gangguan) yang ada
pada individu atau sekelompok individu.Cara-cara yang digunakan itu mencakup
observasi, interview, skala psikologis, daftar cek, inventory, tes proyeksi, dan
beberapa macam tes
Ada beberapa manfaat pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen,
yaitu (a) untuk pengklasifikasian dan penempatan seseorang dalam pendidikan dan
pekerjaan, (b) untuk menyaring pelamar pekerjaan, pendidikan, dan atau program
pelatihan, (c) untuk pemberian bantuan dan pengarahan bagi individu dalam
pemilihan penddiikan, pekerjaan, konseling perorangan, (d).untuk memilih
karyawan mana yang perlu dihentikan, dipertahankan, atau dipromosikan melalui
program pendidikan atau pelatihan atau tugas khusus, (e) untuk meramalkan dan
menentukan perlakuan (tritmen) psikis, fisik, klinis, dan rumah sakit , (f) untuk
mengevluasi perubahan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai hasil dari
pendidikan, terapi psikologis dan berbagai program intervensi tingkah laku. (g)
untuk mendukung penelitian tentang perubahan tingkah laku dan meng-evaluasi
efektifitas suatu program atau teknik yang baru.
Khususnya bagi konselor, kemampuan asesmen merupakan salah satu
kompetensi yang harus dimiliki konselor, ia adalah bagian penting dari kegiatan
konseling. Dan jika ada konselor yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang
asesmen diibaratkan seperti pelayar yang tidak membawa kompas. Ia tentu akan
tersesat, atau sekurang-kurangnya membuang-buang energi untuk sampai ke
tujuan. Dalam kaitannyadengan tugas konselor, bisa jadi bukan hanya membuang-
buang tenaga, tetapi lebih dari itu bisa jadi justru berdampak negativ bagi individu
yang dibimbing lantaran malpraktek
2

Asesessment Dalam Kompetensi Konselor

1 Penguasaan konsep dan


praksis
Posisi pendidikan
Kemampuan
2. Kesadaran dan komitmen
etika professional
3. Penguasaan konsep perilaku
dan perkembangan individu
4. Penguasaan konsep dan
praksis asesmen
5. Penguasaan konsep dan
praksis bimbingan dan
konseling
Sikap Skills
6. Pengelolaan program
(Akomodasi) Tindakan
bimbingan dan konseling
7. Penguasaan konsep dan
perilaku riset dalam
bimbingan dan konseling KOMPETENSI
INTI

Wilayah Pengetahuan
Kekhususan Konseling
 Pendidikan Kesadaran
 Perkawinan Kode Etik Profesi
 Karir Landasan dan Kompetensi
 Rehabilitasi kependidikan
 Kesehatan
mental Landasan Filosofis, Religius, Kultural
 Traumatis

Dikutip dari : Standar Kompetensi Konselor Indonesia


Abkin 2005 : 13

2. Konsep dasar asesmen dan pemahaman individu


A. Pengertian Pemahaman Individu
Pemahaman individu atau human assessment didefiniskan oleh Aiken (1997 :
454) sebagai ”Appraising the presence or magnitude of one or more personal
characteristics. Assessing human behavior and mental processes includes such
procedures as observations, interviews, rating scale, checklist, inventories, projectives
techniques, and tests” Dari rumusan Aiken di atas bisa difahami, bahwa pemahaman
individu adalah suatu cara untuk memahami, menilai, atau menaksir karakteristik,
potensi, dan atau masalah-masalah (gangguan) yang ada pada individu atau
sekelompok individu. Cara-cara yang digunakan itu mencakup observasi, interview,
skala psikologis, daftar cek, inventory, tes proyeksi, dan beberapa macam tes.
Pemahaman atau penilaian itu dimaksudkan untuk kepentingan pemberian
bantuan bagi pengembangan potensi yang ada padanya (developmental) dan atau
penyelesaian masalah-masalah yang dihadapinya (klinis). Ibarat seorang yang hendak
3

menanam jenis tanaman tertentu, sebelum ia menanam tentu perlu mengetahui


karakteristik tanaman itu, apakah ia termasuk tanaman yang hanya membutuhkan
cahaya atau perlu mendapatkan cahaya matahari langsung, apakah ia termasuk jenis
tanaman yang membutuhkan air setiap saat (seperti tanaman padi) atau cukup disiram
air secara berkala, apa hama tanaman yang paling berbahaya bagi pertumbuhan
tanaman tersebut sehingga perlu dicegah sejak dini. Pemahaman itu amat diperlukan
bagi perawatan terhadap tanaman tersebut agar ia bisa tumbuh dengan baik.
Dalam melakukan asesmen itu, lazm digunakan berbagai instrumen yang bisa
dekelompokkan menjadi dua, yaitu dengan cara tes dan non-tes. Kedua jenis alat atau
instrumen tersebut menurut Anastasi (2006 : 3) bisa berfungsi saling melengkapi,
artinya kepada individu setelah dilakukan wawancara atau observasi kemudian
dilanjutkan dengan pemberian tes, atau sebaliknya setelah dilakukan tes kemudian
dilakukan wawancara atau observasi. Identik dengan orang yang ingin memahami
karakteristik tanaman, maka ia bisa mengamati langsung terhadap tanaman tersebut
secara terus menerus selama beberapa hari, atau bisa bertanya langsung kepada
penanamnya karena ia tentu mengetahui karakteristik tanaman yang ditenamnya
Aiken (1997 : 1) dalam bukunya menunjukkan bahwa manusia dalam
kenyataannya berbeda-beda dalam kemampuan berpikirnya, karakter kepribadiannya,
dan tingkah lakunya. Semuanya itu bisa ditaksir atau diukur dengan bermacam-macam
cara.
Ada beberapa macam tes, Aiken (1997 : 9-10) mengelompokkan tes dari
beberapa sisi berikut :
1. Dilihat dari penyusunannya, tes bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu
(a) tes standar (standardized test) yaitu tes yang disusun oleh para ahli dalam
bidang tes dan diperoleh dari – hasil uji coba dengan -- sampel yang repsentatif
dari populasi di mana tes itu digunakan, ia memiliki instruksi dan skoring atau
norma penilaian yang pasti. Norma itu menjadi dasar interpretasi terhadap hasil
tes. (b) tes non-standar (nonstandardized classromm test) yaitu tes yang disususun
oleh guru di sekolah.
2. Dilihat dari jumlah subyek yang dikenai tes, tes bisa dikelompokkan
menjadi (a) tes individual atau perorangan (Individual test) seperti “Tes Binet-
Simon Intelligence Scale” yang dikenakan pada satu orang testee pada saat
tertentu, (b) tes kelompok (a group test) seperti “Army Examination Alpha” yang
bisa dilaksanakan secara simultan untuk beberapa orang yang diuji.
Pengelompokan pada individual dan kelompok tersebut berkenaan dengan efisiensi
pelaksanaan.
3. Dilihat dari waktu yang disediakan, tes bisa dikelompokkan menjadi (a)
tes kecepatan (speed-test) yaitu tes yang terdiri dari sejumlah banyak item yang
mudah, tetapi waktunya dibatasi hingga hampir-hampir tidak ada orang yang bisa
menyelesaikan semua soal, (b) tes kemampuan (power test), tes ini berisi beberapa
item yang sangat sulit dan memerlukan pengetahuan yang sangat luas, sementara
waktu yang disediakan memang tidak sesempit speed test.

4. Dilihat dari cara koreksinya, tes dibedakan menjadi (a) tes obyektif
yaitu tes yang kunci jawabannya atau standar skor-nya telah ditetapkan sehingga
bisa dikoreksi siapapun dengan hasil yang sama, (b) tes nonobjective atau tes
subyektif atau tes essay yaitu tes yang standar skor-nya benar-benar subyektif, lain
orang yang mengoreksi lain pula hasilnya. Beberapa tipe tes kepribadian
menggunakan bentuk tes subyektif.
4

5. Dilihat dari isinya (content) atau tugas yang harus dkerjakan oleh testee
dibedakan menjadi (a) tes verbal, yaitu tes yang berupa kata-kata, diagram atau
teka-teki (puzzle), dan (b) tes perbuatan (performance test) yaitu tes yang
mengharuskan testee memainkan atau menggerakkan obyek, seperti pasak dalam
lubang, menyususun benda-benda..
6. Dilihat dari aspek atau proses mental yang diungkap, tes bisa
dikelompokkan menjadi
a. Tes kognitif (cognitive test) yaitu tes yang berupaya mengukur
proses dan hasil aktifitas mental, dan juga tes prestasi dan kecerdasan. Tes
prestasi (achievement test) adalah tes yang mengukur pengetahuan akademik
dan pekerjaan, fokusnya adalah pemeriksaan terahadap perubahan perilaku
seseorang setelah ia belajar atau menyelesaikan suatu program). Tes
kecerdasan (aptitude test) memusatkan pada perilaku yang akan datang, yaitu
bagaimana kemampuan belajar seseorang dan kesesuaiannya dengan program
yang hendak dipilih. Dengan demikian tes bakat mekanik (test of mecanical
aptitude) dan tes bakat sekretaris (test of clerical aptitude) adalah dirancang
untuk meramalkan kemampuan seseorang untuk mengikuti pendidikan dan
tugas-tugas dalam bidang mekanik atau sekretaris Diakui bahwa antara
prestasi dan kemampuan tidak bisa dipisahkan secara tegas, apa yang telah
dicapai seseorang hampir selalu berkaitan dengan kemampuan atau bakatnya.
b. Tes affective yaitu tes yang dirancang untuk mengukur minat , sikap,
nilai-nilai, motiv, temperament, dan sifat, serta hal-hal yang tidak termasuk
dalam katageri selain kecerdasan (noncognitive charachteristic personality).
Beberapa teknik termasuk di dalamnya adalah observasi, pelaporan diri
(inventory), dan tes gambar proyektif.
7. Di samping itu ada pula penglompokan secara umum menjadi dua belas
macam, yaitu tes prestasi (achievement test), penilaian tingkah laku (behavior
assessment), tes perkembangan, pendidikan, bahasa Inggris, bahasa asing (foreign
language), tes inteligensi dan kemampuan bersekolah, matematika, berbagai
kemampuan (miscellaneous), alat (tes) untuk berbagai kemampuan (multi-aptitude
batteries), berkaitan dengan syaraf (neuropsychological), kepribadian
(personality), membaca, sensory-motor sosial studies, berbicara dan
mendengarkan, pekerjaan (vocations)
5

Secara skematis, macam-macam tes tersebut disajikan dalam kotak berikut:

Tes Standar
Penysusnannya
Tes Non-standar

Tes Individual
Jumlah subyek

Tes Kelompok

Tes Kecepatan
Waktu yg
disediakan
Tes Kemampuan

Tes Obektif
KLASIFIKASI
TES
Cara Koreksinya
Tes Subyektif
(Essay)

Tes Kata-kata
Isinya (content)

Tes Perbuatan

Tes Kognitif
Aspek/proses
mental yg diukur
6

Tes Afektif

Pemahaman individu atau human assessment didefiniskan oleh Aiken (1997 : 454)
sebagai ”Appraising the presence or magnitude of one or more personal characteristics.
Assessing human behavior and mental processes includes such procedures as
observations, interviews, rating scale, checklist, inventories, projectives techniques, and
tests” Dari rumusan Aiken di atas bisa difahami, bahwa pemahaman individu adalah suatu
cara untuk memahami, menilai, atau menaksir karakteristik, potensi, dan atau masalah-
masalah (gangguan) yang ada pada individu atau sekelompok individu. Cara-cara yang
digunakan itu mencakup observasi, interview, skala psikologis, daftar cek, inventory, tes
proyeksi, dan beberapa macam tes.
Pemahaman atau penilaian itu dimaksudkan untuk kepentingan pemberian bantuan
bagi pengembangan potensi yang ada padanya (developmental) dan atau penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapinya (klinis). Dalam melakukan asesmen itu, lazm
digunakan berbagai instrumen yang bisa dekelompokkan menjadi dua, yaitu dengan cara
tes dan non-tes. Aiken (1997 : 1) dalam bukunya menunjukkan bahwa manusia dalam
kenyataannya berbeda-beda dalam kemampuan berpikirnya, karakter kepribadiannya, dan
tingkah lakunya. Semuanya itu bisa ditaksir atau diukur dengan bermacam-macam cara.
Pemahaman terhadap asal mula tes psikologis bisa memberikan wawasan terhadap tes-
tes dewasa ini. Namun menurut Anastasi ( 2006 : 36) tidak mudah menemukan akar-akar
tes karena hilang ditelan waktu, namun dari penelusurannya ditemukan bahwa, di kalangan
orang Yunani Kuno tes merupakan pendamping tetap proses pendidikan, tes dugunakan
untuk mengukur keterampilan fisik dan intelektual. Pada abad pertengahan, tes juga
digunakan sebagai ujian formal ketika universitas-universitas di Eropa hendak memberi
gelar dan penghargaan.
Selanjutnya perkembangan tes psikologis disajikan secara singkat berikut :

1. Minat Awal Terhadap Pengobatan yang Lebih Manusiawi bagi Penderita


Gangguan Jiwa
Abad 19 dipandang sebagai masa kebangkitan minat pada pengobatan yang lebih
manusiawi terhadap penderita gangguan jiwa dan mereka yang terbelakang mental.
Dengan kesadaran akan pentingnya model pengobatan yang lebih manusiawi itu,
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kriteria untuk menetapkan standar
penerimaan dan sistem klasifikasi yang obyektif untuk membedakan antara orang gila
(insane) dan mereka yang terbelakang mental (mentally retarted). Pada masa ini
dikenal nama Esquirol, dokter asal Perancis yang menemukan “keterbelakangan
mental” dan tingkat-tingkat keterbelakangan mental mulai dari normal sampai “idiot
tingkat rendah”. Dalam upaya mengembangkan sistem dan mengklasisfikasikan
tingkat dan jenis keterbelakangan yang berbeda-beda, Esquirol mencoba berbagai
prosedur dan menyimpulkan bahwa ”Penggunaan bahasa seseorang merupakan
kriteria yang paling dapat diandalkan tentang tingkat intelektualnya”. Ainastasi
(2006 : 37) mencatat bahwa kriteria dewasa ini untuk keterbelakangan mental pada
umumnya juga bersifat “linguistik”, di samping itu tes-tes intelegensi dewasa ini juga
penuh muatan verbal.
Nama lain yang dipandang berjasa dalam perintisan tes psikologis pada abad 19
adalah Seguin juga seorang dokter dari Perancis, yang merintis pelatihan bagi orang-
orang yang mengalami keterbelakangan mental. Setelah menolak pandangan yang
menyatakan bahwa keterbelakangan mental tak dapat disembuhkan, Seguin (1866-
7

1907) melakukan eksperimen selama beberapa tahun dengan metode yang disebutnya
“metode pelatihan fisiologis”, dan pada tahun 1837 ia mendirikan sekolah pertama
bagi anak-anak dengan keterbelakangan mental. Pada tahun 1848 dia berimigrasi ke
AS dan di sana gagasannya diterima orang. Banyak teknik pelatihan pancaindra dan
pelatihan otot yang banyak diterapkan dalam lembaga-lembaga untuk orang dengan
keterbelakangan mental diciptakan oleh Seguin. Dengan metode ini, anak-anak dengan
keterbelekangan mental diberi latihan intensif dalam pembedaan inderawi dan dalam
pengembangan kendali motorik. Cara-cara yang dikembangkan Seguin ini pada
akhirnya dimasukkan ke dalam tes-tes inteligensi non-verbal atau tes-tes tentang
kinerja seseorang. Salah satu contoh adalah “Seguin Form Board”, dalam tes ini
individu diminta untuk memasukkan balok-balok yang berbeda bentuknya ke dalam
lubang-lubang yang sesuai secepat mungkin.
Mendasarkan pada T.H Wolf (1973), Anasatasi menunjukkan bahwa lebih dari
setengah abad setelah karya Esquirol dan Seguin, psikolog Perancis Alfred Binet
mendesak agar anak-anak yang gagal memberikan respon pada sekolah yang normal
diperiksa sebelum pulang sekolah, dan jika dinilai bisa dididik anak-anak itu
ditempatkan pada kelas-kelas khusus. Ia mendorong Ministry of Public Instruction
untuk mengambil langkah-langkah guna memperbaiki kondisi anak-anak terbelakang.

2. Kontribusi Para Psikolog Eksperimen


Psikolog-psikolog eksperimen awal dari abad 19 dipandang Anastasi (2006 : 38)
belum peduli dengan pengukuran terhadap perbedaan-perbedaan individu. Tujuan
mereka pada masa itu adalah perumusan deskripsi umum tentang perilaku manusia.
Fokus perhatian mereka adalah keragaman, bukannya perbedaan-perbedaan perilaku.
Jadi, fakta bahwa tiap individu bereaksi secara berbeda dari orang lain ketika diamati
dalam kondisi serupa dianggap sebagai bentuk kesalahan atau penyimpangan. Adanya
kesalahan atau variabilitas individu seperti itu membuat generalisasi bersifat
“mendekati” bukannya eksak. Inilah sikap terhadap perbedaan individu yang dominan
dalam laboratorium seperti yang didirikan oleh Wundt di Leipzig pada tahun 1879.
Cara lain yang ditempuh oleh para psikolog eksperimental abad 19 yang juga
mempengaruhi prosedur psikotes adalah kendali yang ketat atas kondisi observasi,
seperti pemakaian kata-kata yang digunakan dalam petunjuk tes dan waktu
pelaksanaan tes yang dipandang berpengaruh terhadap kecepat-tanggapan peserta. Di
samping itu, kecerahan atau warna lingkungan sekililig dipandang benar-benar
mengubah tampilan stimulus visual. Standardisasi prosedur di atas pada akhirnya
menjadi salah satu ciri khusus tes psikologi.

3. Kontribusi Francis Galton


Pakar biologi Inggris yang juga dipandang berjasa dalam peluncuran tes adalah
Francis Galton. Minatnya yang kuat terhadap faktor heriditas manusia mendorongnya
untuk melakukan penelitian mendalam dalam bidang ini. Ia menyadari perlunya
mengukur ciri-ciri orang yang memiliki hubungan keluarga dan tidak ada hubungan
keluarga. Dengan cara ini dia berkeyakinan bisa menemukan derajat kesamaan yang
tepat antara orang tua dan keturunanya, saudara laki-laki dengan perempuan, sepupu
atau saudara kembar. Dengan perspektif ini, Galton mendirikan laboratorium
8

anthropometris1 dan membantu mendorong sejumlah lembaga pendidikan


menyelenggarakan pencatatan anthropometris sistematis tentang siswa-siswa mereka.
Di laboratoriumnya itu Galton menyusun tes-tes sederhana yang sebagian masih
bisa dikenal dalam bentuk aslinya dan dalam bentuk yang sudah dimodifikasi. Contoh
tes Galton antara lain: batang Galton untuk pembedaan panjang secara visual, peluit
Galton untuk menentukan suara paling melengking yang dapat didengar, dan
serangkaian bobot yang bertingkat untuk mengukur pembedaan kinestik. Ia yakin
bahwa tes-tes pembedaan inderawi bisa befungsi sebagai sarana untuk mengukur
kecerdasan seseorang. Galton (dalam Anastasi, 2006 : 39) menulis “Satu-satunya
informasi yang sampai pada kita sehubungan dengan peristiwa-peristiwa eksternal
tampaknya melewati celah indra kita, semakin perseptif indra kita semakin besar
bidang yang menjadi terapan bagi penilaian dan inteligensi kita”. Individu dengan
keterbelakangan mental eksterm cenderung rusak kemampuannya dalam membedakan
panas, dingin, dan rasa sakit. Observasi lanjutan memperkuat keyakinannya bahwa
kemampuan pembedaan inderawi merupakan komponen penting dalam konteks
intelektualitas. Galton juga merintis penerapan metode skala-pemeringkatan dan juga
teknik asosiasi bebas yang diterapkan ke berbagai tujuan. Sumbangan Galton yang lain
adalah penggunaan metode statistik untuk menganalisis data tentang perbedaan
individu. Ia juga menyeleksi dan mengadaptasi teknik-teknik yang dirancang oleh para
ahli matematika ke dalam bentuk-bentuk tertentu agar bisa digunakan oleh para
peneliti meskipun ia kurang terlatih.

4. Rintisan Menuju Tes Mental


Psikolog Amerika yang dipandang penting dalam perintisan tes psikologis
adalah James Mc Keen Cattel. Hasil karyanya mempertemukan psikologi
eksperimental yang baru didirikan dengan gerakan tes yang lebih baru. Ia
menyelesaikan disertasinya tentang ”waktu reaksi” di bawah bimbingan Wundt.
Selama memberi kuliah di Cambridge pada tahun 1988, ia berminat dalam pengukuran
perbedaan individu yang lebih dikuatkan lagi melalui kontaknya dengan Galton.
Setelah ia kembali ke Amerika kemudian mendirikan laboratorium psikologi
eksperimental dan menyebarkan gerakan tes.
Dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1890, istilah ”tes mental” dikenalkan
untuk pertama kalinya dalam dunia psikologi. Dalam artikel ini dipaparkan rangkaian
tes yang diselenggarakan setiap tahun bagi para mahasiswa dalam upaya menentukan
tingkat intelektual. Tes yang diselenggarakan secara individu meliputi ukuran-ukuran
kekuatan otot, kecepatan gerakan, sensitivitas terhadap rasa sakit, ketajaman
penglihatan dan pendengaran, pembedaan berat, waktu reaksi, ingatan dan
sebagainya. Dalam pemilihan tes-tesnya, Cattel memiliki pandangan yang sama
dengan Galton, bahwa ukuran fungsi-fungsi intelektual bisa diperoleh melalui tes-tes
perbedaan inderawi dan waktu reaksi.
Anastasi (2006 : 41) dalam bukunya menunjukkan bahwa, rangkaian tes
psikologis yang disusun oleh para psikolog Amerika pada masa itu cenderung
mencakup fungsi-fungsi psikologis yang agak kompleks. Kraeplin (1895) yang
berminat pada pemeriksaan klinis atas pasien-pasien psikiatris, mempersiapkan
serangkaian panjang tes-tes untuk mengukur apa yang dianggap sebagai faktor-faktor
dasar dalam pencirian individu. Tes-tes ini memanfaatkan operasi-operasi aritmatika

1
Antropometri adalahulmu pengetahuan tentang pengukuran bentuk-bentuk tubuh, khususnya
perbandingan-perbandingan dan frekuensi relative dari terjadinya sifat-sfat karakteristik jasmaniah antara
suku, kebudayaan, jenis kelamin, dan lain-lain. Antromofisme menafsirkan tingkah laku dari bentuk-bentuk
yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuan atau sifat-sifat karakteristik manusiawi.
9

sederhana yang dirancang untuk mengukur dampak latihan, memori, kerentanan


terhadap kelelahan, dan penurunan perhatian. Ebbinghaus (psikolog Jerman, 1897)
menyelenggarakan tes-tes komputasi aritmetik, rentang memori, dan melengkapi
kalimat bagi anak-anak sekolah. Di antara ketiga tes tersebut, Anastasi memandang
bahwa tes yang paling kompleks adalah tes melengkapi kalimat, lantaran
menunjukkan hubungan yang jelas dengan prestasi skolastik.

5. Rintisan Menuju Tes Kecerdasan


Psikolog Perancis yang namanya sangat terkenal dalam perintisan tes
kecerdasan adalah Alferd Binet. Caplin, J.P (2001 : 59) mencatat bahwa Binet adalah
pengembang tes inteligensi pertama yang dibakukan (1857-1911). Pada awal mulanya
Binet belajar ilmu hukum, obat-obatan dan biologi di Universitas Paris, tetapi
kemudian ia tertarik pada psikologi ketika bekerja sama dengan F.A. Beaunais di
Sorbonne. Binet mempelajari proses-proses mental yang lebih tinggi dengan cara
memberikan tes-tes kertas dan pensil sederhana. Pada tahun 1866 ia mempublikasikan
karyanya yang berjudul ”Psychology of Reasoning” berdasarkan pada hasil
penelitiannya.
Anastasi (2006 : 41) menunjukkan bahwa Binet dan rekan kerjanya
mencurahkan waktu bertahun-tahun untuk melakukan penelitian aktif dan sederhana
tentang cara-cara pengukuran kecerdasan atau inteligensi. Banyak pendektan telah
dicoba, bahkan mencakup pengukuran bentuk tengkorak, muka, dan tangan, serta
analisis tulisan tangan. Akan tetapi, hasilnya menimbulkan keyakinan semakin kuat,
bahwa pengkuran langsung – meskipun kasar – atas fungsi-fungsi intelektual yang
kompleks membawa harapan yang sangat besar. Kemudian muncullah situasi yang
memungkinkan usaha-usaha Binet menunjukkan hasil praktis, yaitu pada tahun 1904
Menteri Pengajaran Umum menugaskan Binet ke komisi yang bertugas
mempersiapkan prosedur-prosedur untuk pendidikan anak yang terbelakang. Dalam
rangka kerja inilah Binet bekerja sama dengan Simon, yang kemudian menghasilkan
”Skala Binet-Simon” yang pertama.
Skala ini dikenal dengan skala 1905, yang terdiri dari 30 masalah atau tes yang
diatur dalam urutan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Tingkat kesulitan
diitentukan secara empiris dengan menyelenggarakan tes pada 50 anak normal berusia
3 -11 tahun, dan pada sejumlah anak terbelakang mental dan orang dewasa. Tes-tes ini
dirancang mencakup rentang fungsi yang luas, dengan penekanan khusus pada
penilaian (judgement), pemahaman, dan penalaran yang dipandang sebagai komponen
hakiki inteligensi. Skala 1905 ini disajikan sebagai instrumen permulaan dan tentatif,
dan tidak satupun metode obyektif yang akurat untuk menghitung skor total
dirumuskan.
Pada tahun 1908 dikembangkanlah skala kedua, jumlah tes ditingkatkan,
sejumlah tes yang tidak memuaskan dari skala terdahulu dihapus, dan semua tes
dikelompokkan ke dalam tingkatan umur atas dasar kinerja anak dari 300 anak normal
berusia 3-13 tahun. Pada level 3 tahun ditempatkan semua tes yang sudah dilalui dan
berhasil dikerjakan oleh 80-90% anak-anak normal, pada level 4 tahun semua tes yang
bisa diselesaikan oleh anak-anak normal usia 4 tahun, dan seterusnya sampoai usia 13
tahun. Skor anak pada seluruh tes bisa dirumuskan sebagai tingkatan mental yang
berhubungan dengan usia anak-anak normal yang kinerjanya ia samakan. Dalam
berbagai terjemahan dan adaptasi skala Binet, istilah ”usia mental (mental age)” pada
umumnya digunakan untuk menggantikan ”tingkatan mental (mental level)”. Karena
usia mental adalah konsep yang begitu sederhana sehingga mudah dipahami
pengenalan istilah ini amat berjasa mempopulerkan tes inteligensi. Anastasi (2006 : 42)
10

mencatat bahwa Binet sendiri menghindari istilah ”usia mental” karena implikasi
perkembangannya tak terverivikasi, dan ia sendiri lebih menyukai istilah ”tingkatan
mental” yang dipandang lebih netral.
Revisi ketiga atas skala Binet-Simon muncul pada tahun 1991, tahun
meninggalnya Binet pada usia yang masih muda. Dalam skala ini tidak dilakukan
perubahan fundamental, tetapi hanya sekedar perubahan kecil berupa relokasi atas tes-
tes khusus. Lebih banyak ters ditambahakan ke beberapa tingkatan usia, skala inipun
diperluas sampai pada level orang dewasa. Tes yang dikembangkan Binet-Simon ini
sejak sebelum dilakukan revisi 1908 telah menarik perhatian psikolog di seluruh dunia,
terjemahan dan adaptasinya muncul di banyak negara termasuk di Amerika serikat
yang dilakukan oleh H.H. Goddrad. Revisi Goddrad amat berpengaruh terhadap
penerimaan tes inteligensi oleh kalangan profesi medis. Revisi muncul pada saat yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak terhadap ukuran yang
terstandardisasi yang digunakan dalam rangka mendiagnosis dan mengklasifikasikan
orang-orang yang terbelakang mental. Akan tetapi sebagai alat tes, revisi ini segera
didahului oleh instrumen Stanford-Binet yang lebih luas dan lebih baik secara
psikometris, yang dikembangkan oleh L.M. Terman dan kawan-kawan di Stanford
University. Dalam tes inilah istilah IQ (intelligence Quotient) atau nisbah antara usia
mental dan usia kronologis pertama kali dikenalkan.

6. Tes Kelompok
Tes yang dikembangkan Binet dengan segala revisinya adalah skala individual,
artinya tes-tes itu dilaksanakan untuk perorangan. Banyak tes dalam skala ini
membutuhkan tanggapan lisan dari peserta tes atau membutuhkan manipulasi materi,
bahkan beberapa tes menuntut pengukuran waktu tanggapan individu. Di samping itu
tes Binet ini membutuhkan penguji tes (tester) yang amat terlatih. Tes seperti ini pada
dasarnya adalah instrumen-instrumen klinis yang sesuai untuk telaah mendalam
terhadap kasus-kasus individu.
Tes kelompok seperti halnya skala Binet, pada mulanya dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan praktis, yaitu ketika Amerika serikat memasuki Perang Dunia I
pada tahun 1917. Sebuah komisi ditunjuk oleh American Psychological Association
untuk menemukan cara psikologis yang bisa membantu dalam perang itu. Komisi ini di
bawah pengarahan Robert M. Yarkes, memandang perlu adanya klasifikasi kilat
terhadap 1,5 juta orang yang direkrut. Klasifikasi itu didasarkan atas tingkat intelektual
umum mereka, informasi itu pada kahirnya dijadikan dasar bagi penerimaan atau
penolakan seseorang dari dinas militer, penempatan seseorang ke berbagai dinas, atau
penerimaan seseorang ke dalam kamp perwira. Dalam tugas ini, psikolog angkatan
darat mengambil semua materi tes yang tersedia, utamanya tes inteligensi kelompok
yang belum dipublikasikan, yang disiapkan dan diberikan kepada angkatan darat oleh
Arthur S. Otis. Sumbangan utama tes Otis, yang dirancang saat menjadi mahasiswa
saat kuliah di Program Pascasarjana dengan Terman adalah pengenalan pilihan ganda
dan jenis-jenis ”soal obyektif” lainnya.
Tes-tes yang akhirnya dikembangkan oleh psikolog angkatan darat ini dikenal
dengan nama ”Army Alpha dan Army Beta”. Tes Army Alpha dirancang untuk tes rutin
umum, sedang tes Army Beta adalah skala non-bahasa yang diterapkan untuk orang-
orang buta huruf dan orang asing yang tidak mampui berbahasa Inggris. Kedua jenis
tes ini menyebar penggunaannya pada masyarakat sipil, yang mengalami banyak revisi
dan menjadi model bagi sebagian besar tes inteligensi kelompok

7. Tes Bakat (aptitude testing)


11

Anastasi (2006 : 44) mencatat, bahwa meskipun tes-tes inteligensi pada


awalnya dirancang untuk mengukur berbagai fungsi dalam rangka memperkirakan
tingkat intelektual umum individu, akhirnya diakui bahwa tes-tes semacam itu terbatas
cakupannya. Pengakuan itu didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan tes
inteligensi pada dasarnya merupakan ukuran kemampuan verbal dan dalam arti
sempit, kemampuan menangani hubungan-hubungan numerik, hubungan abstrak, dan
hubungan simbolis. Akhirnya para psikolog menyadari bahwa istilah ”tes inteligensi”
adalah nama yang salah, karena hanya aspek tertentu dari inteligensi yang diukur oleh
tes-tes tersebut.
Meskipun tes-tes inteligensi mancakup kemampuan-kemampuan yang amat
penting dalam budaya yang menjadi konteks rancangan tes, tetapi disadari bahwa
peruntukan yang lebih tepat yang didapat dari penggunaan tes-tes ini dipandang lebih
penting. Akibatnya tes-tes inteligensi selama tahun 1920-an menjadi lebih dikenal
dengan sebutan ”tes bakat sekolah”. Pergeseran penggunaan istilah ini terjadi ketika
orang mengalami kenyataan bahwa banyak tes yang disebut tes inteligensi sebenarnya
mengukur kombinasi kemampuan yang dituntut dan didorong oleh penelitan. Bahkan
sejak sebelum perang Dunia I, para psikolog mengakui perlunya tes bakat khusus
untuk melengkapi tes inteligensi umum. Tes-tes bakat khusus ini dikembangkan secara
khusus untuk kepentingan konseling pekerjaan, seleksi, dan klasifikasi personel
industri dan militer. Sejumlah tes multibakat juga dikembangkan untuk sipil dan
diterapkan secara luas dalam konseling pendidikan dan pekerjaan serta dalam seleksi
dan klasifikasi personel. Diantara tes-tes yang digunakan paling luas adalah tes-tes
bakat mekanikal, klerikal, musikal, dan artistik.

8. Tes Prestasi (Achievement tests)


Satu langkah penting ke arah pengembangan tes prestasi dilakukan oleh
sekolah-sekolah negeri Boston tahun 1845, ketika ujian tulis harus mengganti-kan
ujian interogasi (ujian lisan) terhadap para siswa. Alasan yang mendasari pentingnya
ujian tulis adalah bahwa (a) ujian tulis menempatkan siswa dalam situasi yang
seragam, (b) melalui ujian tulis memungkinkan cakupan isi yang lebih luas, (c)
mengurangi unsur peluang atas pilihan pertanyaan yang akan diberikan oleh penguji.
Alasan-alasn itu hingga saat ini juga masih dijadikan alasan penggunaan ujian lisan
dalam bentuk esai maupun pilihan berganda yang obyektif.
Tes standar pertama untuk mengukur hasil belajar dipelopori oleh E.L.
Thorndike, dengan mendasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan dari laboratorium
psikologi. Kemudian muncul pula tes prestasi yang diprakarsai oleh publikasi edisi
pertama Stanford Achievement Test pada tahun 1923. Para penyusunnya adalah para
pelopor awal perkembangan tes : Trumman L. Kelly, Gilles M. Ruch, dan Lewis
M.Terman
Di sisi lain, ditemukan pula bahwa tidak adanya kesepakatan di kalangan guru-
guru dalam menilai tes esai, tes esai menghabiskan waktu lebih banyak bagi penguji
dan yang diuji, dan hasil yang kurang bisa diandalkan bila dibanding dengan tes
obyektif ”jenis baru”. Ketika soal-soal obyektif ”jenis baru” ini mulai banyak
digunakan dalam tes-tes prestasi standar, ada penekanan makin kuat pada perancangan
soal-soal untuk menguji pemahaman dan penerapan pengetahuan, serta sasaran-sasaran
pendidikan yang lebih luas lagi, hal ini membuat isi tes prestasi lebih menyerupai tes
inteligensi. Perbedaannya hanya terletak pada kekhususan isi dan sejauh mana tes itu
mengandalkan instruksi yang telah ditetapkan sebelumnya.

9. Penilaian Kepribadian
12

Tes-tes psikologis yang dirancang untuk mengukur aspek-aspek afektif atau


nonintelektual lazim dikenal dengan sebutan “tes kepribadian”, meskipun banyak
psikolog yang lebih menyukai istilah “kepribadian” dalam arti luas yaitu untuk
menyebut individu seutuhnya. Dengan demikian sifat-sifat “intelektual” dan “non-
intelektual” termasuk di dalam istilah kepribadian. Akan tetapi pada penggunaan
istilah dalam tes psikologis, penamaan “tes kepribadian” paling sering mengacu pada
ukuran karakteristik seperti keadaan emosi hubungan antarpribadi, motivasi, minat,
dan sikap.
Anastasi (2006 : 49) mencatat perintis awal tes kepribadian dilustrasikan oleh
penggunaan tes Kraeplin atas tes asosiasi bebas terhadap pasien-pasien psikiatris.
Dalam tes ini, peserta ujian diberi kata-kata stimulus yang dipilih secara khusus, dan
mereka diminta memberikan tanggapan atas setiap kata itu dengan kata pertama yang
muncul dalam benak mereka. Kraeplin (1892) juga menggunakan teknik ini untuk
mempelajari dampak pskololigis dari keletihan, lapar, dan obat bius. Ia menyimpulkan
bahwa semua hal ini meningkatkan frekuensi relatif asosiasi-asosiasi semu. Sommer
(1894) menyarankan bahwa tes-tes asosiasi bebas bisa digunakan untuk memilah-milah
sejumlah bentuk gangguan mental. Meskipun awalnya dirancang untuk malacak
adanya gangguan mental jenis tertentu pada individu, tetapi prosedur kerjanya pada
akhirnya digunakan untuk menyususn tes kepribadian dewasa ini.
Prototipe kuesioner kepribadian atau daftar pengenalan diri (self-report
inventory) adalah lembar data pribadi yang disusun oleh Woodwarth selama Perang
Dunia I. Tes ini dirancang sebagai instrumen penyaring kasar untuk mengidentifikasi
orang-orang yang terganggu secara serius, yang akan dikeluarkan dari dinas militer.
Daftar ini terdiri dari sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan gejala-gejala
umum psikopatologi, yang akan dijawab oleh responden tentang diri mereka sendiri.
Skor total diperoleh dengan cara menghitung jumlah gejala yang dilaporkan.
Pendekatan lain dalam pengukuran kepribadian adalah melalui aplikasi tes
kinerja atau tes situasi. Dalam tes ini peserta diberi tugas untuk melakukan suatu
pekerjaan yang maksudnya sering disembunyikan. Kebanyakan tes ni meniru situasi
kehidupan sehari-hari dan dimanfaatkan untuk mengungkap kejujuran, kemampuan
bekerja sama, dan ketekunan.
Bentuk lain dari tes kepribadian adalah teknik-teknik proyektif, dalam bentuk
ini klien diberi tugas yang relatif tidak terstruktur, yang memberikan ruang gerak yang
luas bagi testee untuk menyelesaikannya. Asumsi yang mendasari metode ini adalah
ibdividu akan memproyeksikan modus tanggapan yang khas dalam menyelsaikan
tugasnya. Tes asosias bebas tergolong jenis tes proyektif paling awal. Bentuk lain yang
dikembangkan kemudian adalah tes melengkapi kalimat, menggambar, mengatur
mainan untuk menciptakan pemandangan, akting dramatis yang spontan, dan
menafsirkan gambar atau bercak tinta
Anasatasi (2006 : 51) menunjukkan dua kecenderungan penting yang muncul
dari riset-riset kepribadian dewasa ini. Pertama, meningkatnya bukti timbal balik
antara ciri bawaan afektif (kepribadian) dan kognitif (kemampuan), baik dalam kinerja
tugas maupun perkembangan perilaku. Kedua, analisis teoretis atas hakekat dan
komposisi kepribadian mendukung reintegrasi sifat-sifat kognitif dan afektif ke dalam
model komprehensif tentang akitivitas manusia yang mencakup semua bentuk
perilaku.

B. Kegunaan
Aiken (1997 : 11) menunjukkan, tes psikologi dan bermacam-macam alat ukur
(assessment istruments) digunakan dalam bidang yang amat luas; seperti pendidikan,
13

industri dan perdagangan, klinik psikologi, pelayanan konseling, pemerintahan, militer,


dan penelitan. Anastasi (2006 : 3) menunjukkan bahwa secara tradisional, pengukuran
psikologis berfungsi untuk mengukur perbedaan-perbedaan antara individu atau
perbedaan reaksi individu yang sama terhadap berbagai situasi yang berbeda. Dakui
bahwa pendorong utama munculnya pengkuruan psikologi adalah kebutuhan akan
penilaian dari dunia pendidikan.
Tujuan utama pengukuran psikologis --baik dengan menggunakan tes maupun
non-tes—menurut Aiken (1997 : 11) adalah untuk menilai tingkah laku, kecakapan
mental, dan karakteristik kepribadian seseorang dalam rangka membantu mereka
dalam membuat keputusan, peramalan, dan keputusan tentang seseorang. Sedang
secara khusus tujuan pengukuran psikologi adalah :
a. Untuk menyaring pelamar pekerjaan, pendidikan, dan atau program pelatihan.
b. Untuk pengklasifikasian dan penempatan seseorang dalam pendidikan dan
pekerjaan.
c. Untuk pemberian bantuan dan pengarahan bagi individu dalam pemilihan
penddiikan, pekerjaan, konseling perorangan.
d. Untuk memilih karyawan mana yang perlu dihentikan (di-PHK), dipertahankan,
atau dipromosikan melalui program pendidikan atau pelatihan atau tugas khusus.
e. Untuk meramalkan dan menentukan perlakuan (tritmen) psikis, fisik, klinis, dan
rumah sakit
f. Untuk mengavaluasi perubahan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai
hasil dari pendidikan, terapi psikologis, dan berbagai program intervensi tingkah
laku.
g. Untuk mendukung penelitian tentang perubahan tingkah laku dan meng-evaluasi
efektifitas suatu program atau teknik yang baru.
h. Khususnya bagi konselor di Indonesia, kemampuan melakukan asesmen adalah
salah satu dari tujuh kompetensi yang harus dimilik untuk kepentingan melakukan
diagnosis dan pertimbangan dalam memberikan treatmen

Aiken (1997 : 11) menunjukkan, tes psikologi dan bermacam-macam alat ukur
(assessment istruments) digunakan dalam bidang yang amat luas; seperti pendidikan,
industri dan perdagangan, klinik psikologi, pelayanan konseling, pemerintahan, militer,
dan penelitan. Anastasi (2006 : 3) menunjukkan bahwa secara tradisional, pengukuran
psikologis berfungsi untuk mengukur perbedaan-perbedaan antara individu atau
perbedaan reaksi individu yang sama terhadap berbagai situasi yang berbeda. Dakui
bahwa pendorong utama munculnya pengkuruan psikologi adalah kebutuhan akan
penilaian dari dunia pendidikan.
Tujuan utama pengukuran psikologis --baik dengan menggunakan tes maupun
non-tes—menurut Aiken (1997 : 11) adalah untuk menilai tingkah laku, kecakapan
mental, dan karakteristik kepribadian seseorang dalam rangka membantu mereka
dalam membuat keputusan, peramalan, dan keputusan tentang seseorang. Sedang
secara khusus tujuan pengukuran psikologi adalah :
1. To screen applicants for jobs and educational and training programs.
2. To classify and place people in educational and employment contexts.
3. To counsel and guide individuals for educational, vocational, and personal
counseling purposes.
4. To retain or dismiss, promote, and rotate students or employees in
educational and training programs and in on-the-job situations.
5. To diagnose and prescribe psychological and physical treatment in clinics
and hospitals.
14

6. To evaluate cognitive, intrapersonal, and interpersonal changes due to


educational, psychotherapeutic, and other behavior intervention programs.
7. To conduct research on changes in behavior over time and evaluate the
effectiveness of new programs or techniques.

Dari rumusan di atas, bisa difahami kegunaan tes psikologi dan berbagai macam
alat ukur adalah :
i. Untuk menyaring pelamar pekerjaan, pendidikan, dan atau program pelatihan.
j. Untuk pengklasifikasian dan penempatan seseorang dalam pendidikan dan
pekerjaan.
k. Untuk pemberian bantuan dan pengarahan bagi individu dalam pemilihan
penddiikan, pekerjaan, dan konseling perorangan.
l. Untuk memilih karyawan mana yang perlu dihentikan (di-PHK), dipertahankan,
atau dipromosikan melalui program pendidikan atau pelatihan atau tugas khusus.
m. Untuk meramalkan dan menentukan perlakuan (tritmen) psikis, fisik, klinis, dan
rumah sakit
n. Untuk mengevaluasi perubahan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai
hasil dari pendidikan, terapi psikologis, dan berbagai program intervensi tingkah
laku.
o. Untuk mendukung penelitian tentang perubahan tingkah laku dan meng-evaluasi
efektifitas suatu program atau teknik yang baru.
Anastasi (2006 : 3) menunjukkan beberapa penggunaan pengukuran psikologis
dalam bidang pendidikan adalah (1) mengklasifikasikan anak-anak berdasarkan
kemampuan mereka menyerap berbagai jenis instruksi di kelas, (2) identifikasi mana
pembelajar yang cepat dan mana yang lamban, (3) konseling pendidikan dan pekerjaan
pada tingkat sekolah menengah dan universitas, (4) menyeleksi orang-orang yang
melamar masuk sekolah professional. Di samping itu, Aiken (1997 : 2) menunjukkan
bahwa asesmen (termasuk di dalamnya observasi, interviu penelitian perkembangan,
survey dan korelasi) juga banyak digunakan bahkan menjadi bagian penting dalam
penelitian yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Dalam bidang industri, tes juga digunakan untuk penerimaan karyawan,
penunjukan tugas, pemindahan, promosi, dan pemutusan hubungan kerja. Penggunaan
tes sering digunakan sebagai pendamping wawancara yang dilakukan oleh yang
memang ahli untuk itu, sehingga skor tes dapat diinterpretasikan secara tepat
berdasarkan informasi latar belakang individu yang bersangkutan. Namun demikian,
tes merupakan bagian penting dari keseluruhan program kepegawaian.
Khususnya bagi mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling di Indonesia,
kemampuan melakukan asesmen adalah salah satu dari sosok utuh kompetensi
konselor Indonesia. Standar kompetensi konselor tersebut selanjutnya disajikan dalam
gambar berikut :
15

Gambar 1 . Sosok Utuh Kompetensi Profesional Konselor


Dikutip dari buku ”Penataan Pendidikan Profesional Konselordan Layanan
Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal”, Depdiknas, 2008 : 267

Dari diagram tersebut bisa difahami, bahwa kemampuan melakukan asesmen


adalah menjadi bagian tak terpisahkan dari kompetensi konselor Indonesia, di mana
kemampuan melakukan asesmen adalah menjadi sub-kompetensi dari kompetensi
”Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan”.

Ringkasan dan Tugas Latihan


a. Ringkasan
1. Pemahaman terhadap sejarah tes psikologis bisa memebri wawasan terhadap tes-tes
yang ada dewasa ini, utamanya berkaitan dengan prinsip-prinsip yang mendasari
penyusunan materi tes, prosedur pelaksanaan, dan penggunaan

2. Rintisan awal tes psikologi sebenarnya didorong oleh kebutuhan untuk


mengembangkan sistem dan mengklasisfikasikan tingkat dan jenis keterbelakangan
yang berbeda-beda yang dipelopori oleh Esquirol, dan Seguin yang merintis pelatihan
bagi orang-orang yang mengalami keterbelakangan mental.. Keduanya adalah dokter
16

dari Perancis. Rintisan dilanjutkan oleh beberapa orang ahli diantaranya (a)
standardisasi prosedur psikotes oleh psikolog-psikolog eksperimental, (b) laboratorium
Anthropometris oleh Francis Galton, (c) tes-tes mental awal oleh Cattell, (d) tes
kecerdasan oleh Binet dan Simon, (e) tes kelompok oleh Robert M. Yarkes dengan
dukungan Arthur S. Otis yang mengenalkan tes obyektif pertama kali, (f) tes multi
bakat dengan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian Charles Spearman, kemudian
dilanjutkan oleh para psikoog angkatan darat dan angkatan udara Amerika Serikat, (g)
tes presasi yang dipelopori oleh E.L Thorndike kemudian dikembangkan oleh
Stanford, Trumman L. Kelley, Giles M. Ruch, dan Lewis M, (h) penilaian kepribadian
yang dipelopori oleh Kreaplin dan Woodwarth.

3. Perkembangan tahap demi tahap dan perekmbangan pemikiran yang muncul serta hasil
yang bisa dicapai disarikan pada tabel berikut :

Waktu Kondisi Perkembangan Tokoh & Temuannya


Saat Itu Pemikiran
Abad Keprihatinan Timbul kesadaran Esquirol : Penggunaan bahasa
19 tentang akan pentingnya seseorang merupakan kriteria yang
model kriteria untuk paling dapat diandalkan tentang
pengobatan menetapkan tingkat intelektualnya
terhadap standar
penderita penerimaan dan Seguin :
gangguan sistem klasifikasi  Tahun 1837 mendirikan sekolah
jiwa yg tidak yang obyektif bagi anak terbelakang mental
manusiawi untuk pertama
membedakan  Teknik pelatihan pancaindra dan
antara orang gila pelatihan otot bagi anak
(insane) dan terbelakang mental
mereka yang  Tes non verbal “Seguin Form
terbelakang Board” individu diminta untuk
mental (mentally memasukkan balok-balok yang
retarted). berbeda bentuknya ke dalam
lubang-lubang yang sesuai
secepat mungkin.

Alfred Binet
Mendesak agar anak-anak yang
gagal memberikan respon pada
sekolah yang normal diperiksa
sebelum pulang sekolah, dan jika
dinilai bisa dididik anak-anak itu
ditempatkan pada kelas-kelas
khusus
1869 Para psikolog Memandang Para Psikolog Eksperimen :
belum peduli perlu mengenali  Perlu kendali yang ketat atas
dengan perbeda-an- kondisi observasi, seperti
pengukuran perbedaan pemakaian kata-kata yang
terhadap individu, bukan digunakan dalam petunjuk tes
perbedaan- sekedar dan waktu pelaksanaan tes yang
perbedaan kesamaan-nya dipandang berpengaruh terhadap
17

individu. kecepat-tanggapan peserta.


Fokus per-  Kecerahan atau warna
hatian baru lingkungan sekililing dipandang
pd keragam- benar-benar mengubah tampilan
an bukan stimulus visual.
perbedaan  Standardisasi prosedur akhirnya
menjadi salah satu ciri khusus tes
psikologi
 Wundt mengembangkan
laboratorium di Leipzig pada
tahun 1879
1884 Faktor Memandang Francis Galton
heriditas perlu :  mendirikan laboratorium
belum  penelitian anthropometris
mendapat faktor heriditas  mendorong sejumlah lembaga
perhatian  mengukur ciri- pendidikan menyelenggarakan
ciri orang yg pen-catatan anthropometris
memiliki sistematis tentang siswa-siswa
hubungan mereka.
keluarga dan  Menuyusun tes pemdeaan
tidak inderawi sebagai sarana utk
membedakan kecerdasan
seseorang (tes Galtn). (a) tes
batang Galton (Galton bar) utk
pembedaan panjang secara visual,
(b) peluit Galton (Galton wstle)
utk mengukur suara paling
melengking yang bisa didengar
 Informasi yang sampai pada
individu adalah melalui indra,
semakin perseptif indra individu
maka makin banyak informasi yg
siterima, maka kemampuan
inteltualnya menjadi lebih baik
 merintis penerapan metode skala-
pemeringkatan dan juga teknik
asosiasi bebas
 menggunakan metode statistik
untuk menganalisis data tentang
perbedaan individu

1888 Sebagian Memandang James Mc Keen Cattel


besar perlu pengukuran  mendirikan laboratorium
rangkaian tes terhadap fungsi- psikologi eksperimental dan
dipandang fungsi psikologid menyebarkan gerakan tes.
terlalu yang lebih  Mengenalkan istilah “tes mental”
inderawi dan kompleks pertama kali dlm dunia psikologi
terkonsentrasi  pandangan Cattel sama dengan
pada Galton, bahwa ukuran fungsi-
18

kemampuan- fungsi intelektual bisa diperoleh


kemampuan melalui tes-tes perbedaan
sederhana inderawi dan waktu reaks
1905 Pengukuran Binet dkk Alferd Binet :
mental belum melakukan  pengukuran langsung – meskipun
melibatkan peneliti-an ttg kasar – atas fungsi-fungsi
proses mental cara-cara intelektual yang kompleks
yang lebih pengukuran membawa harapan yang sangat
tinggi inteligensi besar
mencakup  berhasil menyusun skala Binet-
pengukuran Simon (skala 1905) terdiri dari
bentuk 30 masalah dengan menekankan
tengkorak, muka, pada dengan penekanan khusus
dan tangan, serta pada penilaian (judgement),
analisis tulisan pemahaman, dan penalaran yang
tangan. dipandang sebagai komponen
dengan cara hakiki inteligensi
 Tahun 1908 dilakukan revisi,
jumlah tes ditambah yang tidak
memuas-kan dihapus. Muncul
istilah ”usia menal” (mental
age)” dan ”tingkatan menta”l
(mental level.
 Tahun 1991 dilakukan revisi
ketiga, tidak banyak perubahan
hanya penambahan tes untuk
beberapa tingkat usia, dan
relokasi tes-tes khusus.
 Tahun 1916 Tes Binet-Simon di-
publikasikan oleh Lewis Terman
1917 Amerika  American Arthur S. Otis :
Serikat Psychological  pengenalan pilihan ganda dan
memasuki Association jenis-jenis ”soal obyektif”
perang Dunia menunjuk Tim  muncul tes ”Army Alpha dan
I, dirasa perlu penyusun tes Army Beta”
ada instrumen inteligensi  menjadi model bagi sebagian
yang bisa kelompok di besar tes inteligensi kelompok
digunakan bawah Robert  Mengembangkan tes inteligensi
secara cepat M. Yarkes. kelompok pertama, dengan men-
untuk subyek  mengambil dasarkan pada revisi Terman
yang cukup materi tes yg terhadap skala Binet-Simon
banyak. ada, utamanya
Sementara tes tes intelignsi
yang ada kelompok yg
adalah belum
individual. dipublikasikan
-- Tes-tes  Memandang  Terjadi pergeseran dari
inteligensi yg perlu ada tes penggunaan istilah ”tes
pada awalnya bakat khusus inteligensi” menjadi ”tes bakat
19

dirancang utk untuk sekolah”. (1920)


mengukur melengkapi tes  Dikembangkan tes bakat khusus
berbagai inteligensi untuk seleksi pekerjaan dan
fungsi umum klasifikasi personel industri dan
intelektual mliter. Muncul tes bakat mekanik,
umum, diakui klerikal, musikal, dan artistik
terbatas  Muncul kumpulan tes multi bakat
cakupannya. yg mampu mengukur keberadaan
Hanya aspek seseorang menurut kelompok sifat
tertentu yg masing-masing (verbal, numerical
diukur. dll)
1923- Dirasakan ada  Memandang E.L. Thorndike :
1985 kelemahan tes perlu ada ujian Pelopor tes standar pertama untuk
lisan, yaitu tulis yg bisa mengukur hasil pengajaran di
tidak me- menggantikan sekolah
nempatkan ujian lisan
semua siswa  Memandang Trumman L. Kelley, Giles M.
dalam situasi perlu ada tes Ruch, dan Lewis M. Terman :
seragam, dan obyektif untuk Memprakarsai kumpulan tes prestasi
tidak me- menguji Stanford Achievement Test yang
mungkinkan pemahaman, memberikan ukuran-ukuran kinerja
cakupan isi penerapan yang dapat dibandingkan dalam
yang lebih pengetahuan, berbagai mata pelajaran di sekolah,
luas dan sasaran dan dievaluasi berdasar kelompok
pendidikan normativ tunggal. (1930)
yang lebih luas
Tahun 1985, tes hasil pendidikan
dan psikologis terstandar
dipublikasikan

Akhir Tes yg ada Memandang  Kreaplin (1892) merintis tes


tahun baru bisa perlu ada tes kepribadian dengan tes asosiasi
1800- mengukur yang bisa bebas terhadap pasien-pasien
awal aspek mengukur psikiatris. Teknik ini juga
1900- intelektual, keadaan emosi, digunakan untuk mempelajari
an sedang untuk hubungan dampak psikologis dari keletihan,
aspek non- antarpribadi, lapar, dan obat bius.
intelektual motivasi, minat,  Galton, Person, Cattel
(kepribadian) dan sikap. mengembangkan kuesioner
belum ada  standar dan teknik-teknik
penentuan peringkat.
 Woodwarth menyusun kuesioner
kepribadian atau daftar
pengenalan diri (self-report
inventory)
 Muncul aplikasi tes kinerja atau
tes situasi.
 Muncul teknik-teknik proyektif :
tes melengkapi kalimat,
20

menggambar, mengatur mainan


untuk menciptakan pemandangan,
akting dramatis yang spontan, dan
menafsirkan gambar atau bercak
tinta (1990)
Disarikan dari Anastasi (2006 : 36-51), Tes Psikologi. Jakarta : Indeks

4. Pemahaman individu adalah suatu cara untuk memahami, menilai, atau menaksir
karakteristik, potensi, dan atau masalah-masalah (gangguan) yang ada pada individu
atau sekelompok individu. Cara-cara yang digunakan itu mencakup observasi,
interview, skala psikologis, daftar cek, inventory, tes proyeksi, dan beberapa macam
tes
5. Ada beberapa manfaat pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen, yaitu (a)
untuk pengklasifikasian dan penempatan seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan,
(b) untuk menyaring pelamar pekerjaan, pendidikan, dan atau program pelatihan, (c)
untuk pemberian bantuan dan pengarahan bagi individu dalam pemilihan penddiikan,
pekerjaan, konseling perorangan, (d).untuk memilih karyawan mana yang perlu
dihentikan, dipertahankan, atau dipromosikan melalui program pendidikan atau
pelatihan atau tugas khusus, (e) untuk meramalkan dan menentukan perlakuan
(tritmen) psikis, fisik, klinis, dan rumah sakit , (f) untuk mengevaluasi perubahan
kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai hasil dari pendidikan, terapi
psikologis dan berbagai program intervensi tingkah laku. (g) untuk mendukung
penelitian tentang perubahan tingkah laku dan meng-evaluasi efektifitas suatu
program atau teknik yang baru.
6. Khususnya bagi konselor, kemampuan asesmen merupakan salah satu kompetensi
yang harus dimiliki konselor, ia adalah bagian penting dari kegiatan konseling. Jika
ada konselor yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang asesmen diibaratkan
seperti pelayar yang tidak membawa kompas. Ia tentu akan tersesat, atau sekurang-
kurangnya membuang-buang energi untuk sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan
tugas konselor, bisa jadi bukan hanya membuang-buang tenaga, tetapi lebih dari itu
bisa jadi justru berdampak negativ bagi individu yang dibimbing lantaran malpraktek.

b. Tugas Latihan

1. Lakukan pengamatan dan pencatatan dengan cermat terhadap sejumlah tumbuhan atau
binatang. Apakah terdapat perbedaan karakter tumbuhan satu dengan lainnya? Apakah
terdapat pula perbedaan karakteristk binatang satu dengan lainnya? Atau bahkan
apakah terdapat perbedaan karakter binatang meskipun dari jenis yang sama? Apa
keuntungan bagi pemelihara jika pemelihara itu memahami sifat-sifat setiap jenis
tanaman atau binatangnya. Apa pula keuntungan bagi tanaman dan binatang bila
pemilik atau pemeliharanya memahami sifat-sifat tanaman atau binatang itu dengan
baik?
2. Lakukan pula pengamatan dan pencatatan secara cermat terhadap 10 orang yang ada di
sekitar saudara. Apakah terdapat perbedaan sifat-sifat manusia yang satu dengan
lainnya? Adakah sifat-sifat umum yang sama dari semua orang yang saudara observasi,
persamaan apa yang saudara temukan? Apa keuntungan bagi guru atau pimpinan suatu
organisasi yang memahami sfat-sifat setiap pribadi yang dipimpinnya?

3. Berbagai Alat Instrumen non-tes


21

3.1 Observasi
3.1.1 Pendahuluan
Seorang konselor, sebelum memberikan layanan bimbingan kepada konseli
lazimnya melakukan pengamatan terhadap individu yang hendak dibimbingnya;
bahkan lebih dari itu ia juga perlu mengetahui latar belakang keluarganya, dengan
siapa biasanya individu itu bergaul. Seorang mahasiswa keguruan, sebelum melakukan
praktek mengajar juga disarankan untuk melakukan observasi terhadap kondisi
sekolah di mana ia hendak melaksanakan tugas praktek. Mahasiswa tingkat akhir
dalam menyelesaikan tugas akhir juga sering menggunakan metode observasi sebagai
metode pengumpulan data. Bahkan seorang yang hendak melamar atau menerima
lamaran – jika belum mengenal calon suami/istrinya juga disarankan dan diberi
kesempatan untuk melakukan ”observasi terbatas” kepada calon suami/istrinya.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa observasi begitu penting bagi seorang
konselor sekolah, pembimbing, peneliti, bahkan seseorang yang hendak menikah? Bagi
seorang konselor, mengenali secara baik dan tepat terhadap individu yang hendak
dibimbing adalah suatu tuntutan profesional. Jika membimbing itu diibaratkan
merawat tanaman -- dari gangguan penyakit atau membantu agar tanaman itu tumbuh
subur – (klinis atau developmental), maka mengenal tanaman yang dirawat sebelum
melakukan perawatan adalah sesuatu yang amat penting. Seorang yang hendak
menanam bunga ”bougenville” tentu perlu mengetahui karakteristik bunga tersebut
agar bisa memberikan perawatan secara tepat. Demikian pula seorang guru, konselor,
dan hampir semua petugas yang berhubungan dengan layanan kemanusiaan juga perlu
memahami karakteristik manusia yang hendak dilayaninya. Salah satu cara untuk
mengetahui karakteristik manusia adalah dengan melakukan observasi.
Dengan observasi memungkinkan seorang konselor bisa memahami karakteristik
individu yang dibimbingnya, sebab perilaku manusia secara umum adalah bisa
diobservasi (abservable) kecuali hal-hal tertentu yang memang seharusnya
disembunyikan. Meskpun demikian melalui cara-cara lain, perilaku yang
disembunyikan manusia itu juga akhirnya bisa diobservasi. Seorang yang selesai tidur,
meskipun tidurnya di kamar tertutup juga masih nampak gejalanya, bahkan orang itu
sudah mandi. Orang yang selesai makan – apalagi makan pedas – juga masih bisa
diobservasi, meskipun ia makan di tempat yang tersembunyi. Demikian pula seseorang
yang melakukan tindakan tertentu, sekalipun tindakan itu disembunyikan tetapi pada
akhirnya juga bisa diketahui pula oleh orang lain, yaitu melalui gejala-gejala yang ter-
observasi baik dengan sengaja atau tidak.
Hanna Djumhana (1983 : 202) memandang observasi sebagai metode ilmiah
yang sampai saat ini masih menduduki tempat utama dalam ilmu pengetahuan empiris.
Demikian pula dalam psikologi, observasi tetap diakui sebagai salah satu metode
ilmiah dan banyak diterapkan dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengumpulan
data. Konseling sebagai kegiatan memberi bantuan – salah satunya -- kepada pribadi-
pribadi bermasalah juga menggunakan metode observasi di samping wawancara dan
penggunaan tes psikologis. Aiken (1997 : 279) memandang observasi -- dengan
berbagai bentuknya -- sebagai salah satu metode pengukuran kepribadian dan
sekaligus metode riset yang digunakan orang dalam berbagai bidang yang amat luas.
Khususnya bagi peneliti utamanya ilmuwan sosial, Kerlinger (2002 : 857)
mengingatkan bahwa ilmuwan sosial harus mengamati perilaku manusia, tetapi dia
(seharusnya) tidak puas dengan pengamatan yang tidak terkontrol dan tidak
direncanakan dengan baik. Ilmuwan sosial harus mengupayakan pengamatan yang
andal dan obyektif yang bisa dijadikannya sumber untuk membuat inferensi-inferensi
22

valid. Imuwan sosial memperlakukan pengamatan perilaku sebagai bagian dari


prosedur pengukuran :angka-angka diberikan kepada obyek-obyek yang dalam hal ini
adalah tindakan keperlakuan manusia atau runtunan (sekuen) tindakan menurut aturan-
aturan tertentu.

3.1.2 Pengertian Observasi


Secara garis besar terdapat dua rumusan tentang pengertian observasi, yaitu
pengertian secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, observasi berarti pengamatan
secara langsung terhadap gejala yang diteliti, Dalam arti luas, observasi meliputi
pengamatan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap obyek
yang sedang diteliti. Dalam rumusan di atas ada satu kata kunci yaitu ”pengamatan”.
Dilihat dari segi psikologi, istilah ”pengamatan” tidak sama dengan melihat, sebab
melihat hanya dengan menggunakan penglihatan (mata); sedang dalam istilah
pengamatan terkandung makna bahwa dalam melakukan pemahaman terhadap subyek
yang diamati dilakukan dengan menggunakan pancaindra yaitu dengan penglihatan,
pendengaran, penciuman, bahkan bila dipandang perlu dengan penggunakan pencecap
dan peraba.
Mengapa menggunakan pancaindra ? Apakah tidak cukup hanya dengan salah
satu indra saja? Tidak semua gejala yang diamati bisa dikenali dengan penglihatan
saja, kadang ada gejala yang memang tidak bisa ditangkap oleh mata tetapi dengan
hidung, telinga, lidah dan sebagainya. Di sisi lain, untuk meyakinkan hasil penglihatan
kadang perlu dikuatkan dengan data dari penciuman, pendengaran , pencecap dan
peraba. Untuk meyakinkan seorang guru bahwa murid yang sedang dilayaninya baru
saja minum minuman keras, atau tidak, guru itu bisa melihat pada perubahan
wajahnya dan atau sekaligus mencium bau alkohol yang keluar dari mulut peminum
itu. Bahkan manakala observasi digunakan sebagai alat pengumpul data penelitian
kualitatif, maka pengamatan yang dilakukan observer bukan hanya sebatas gejala yang
nampak saja, tetapi lebih jauh harus mampu menembus latar belakang mengapa gejala
itu terjadi.
Di samping proses pengamatan, dalam melakukan observasi harus dilakukan
dengan penuh perhatian (attention). Hal in berarti bahwa dalam kegiatan observasi
bukan hanya proses fisik tetapi juga proses psikis. Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika
seseorang melakukan observasi, bukan hanya kegiatan melihat, mendengar, mencium
saja yang berjalan; tetapi lebih dari itu adalah melihat, mendengar, dan mencium yang
disertai dengan pemusatan perhatian, aktivitas, dan kesadaran terhadap obyek atau
gejala-gejala tertentu yang sedang diobservasi.
Anna Djamhana (1983 : 201) juga mengingatkan, bahwa observasi juga harus
dilakukan secara sistematis dan bertujuan, artinya dalam melakukan observasi
observer tidak bisa melakukan hanya secara tiba-tba dan tanpa perencanaan yang jelas.
Dalam melakukan observasi harus jelas apa tujuannya, gejala-gejala apa saja yang
perlu diamati, karakteristik masing-masing gejala, model pencatatannya, analisisnya,
dan pelaporan hasilnya.
Gall dkk (2003 : 254) memandang observasi sebagai salah satu metode
pengumpulan data dengan cara mengamati perilaku dan lingkungan (sosial dan atau
material) individu yang sedang diamati. Gibson, R.L. & Mitchell. M.H (1995 : 260)
memandang observasi sebagai teknik yang bisa dimanfaatkan untuk memilah-milah
derajat dalam membuat konklusi tentang orang lain, meskipun diakui bahwa
penggunaan observasi juga perlu dilengkapi dengan metode lain dalam penilaian
manusia.
23

3.1.3 Bentuk-bentuk Observasi


Ada beberapa bentuk observasi yang lazim dilakukan oleh konselor dan atau
peneliti, yaitu :
1. Dilihat dari keterlibatan subyek terhadap obyek yang sedang diobservasi (observee),
observasi bise dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu : Observasi partisipan, yaitu
bila pihak yang melakukan observasi (observer) turut serta atau berpartisipasi
dalam kegiatan yang sedang dilakukan oleh subyek yang sedang diobservasi
(observee). Observasi partisipan juga sering digunakan dalam penelitian eksploratif.
Observasi partisipan ini memiliki kelebihan, yaitu observee bisa jadi tidak
mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi, sehingga perilaku yang nampak
diharapkan wajar atau tidak dibuat-buat. Di sisi lain, observasi partisipan
mengandung kelemahan, utamnya berkaitan dengan kecermatan dalam melakukan
pengamatan dan pencatatan, sebab ketika observer terlibat langsung dalam
aktifitas yang sedangg dilakukan observee, sangat mungkin observer tidak bisa
melakukan pengamatan dan pencatatan secara detail
1) Observasi non-partisipan, yaitu bila observer tidak terlibat secara langsung atau
tidak berpartisipasi dalam aktivitas yang sedang dilakukan oleh observee.
Observasi non-partisipan ini memiliki kelebihan, yaitu observer bisa melakukan
pengamatan dan pencatatan secara detail dan cermat terhadap segala akitivitas
yang dilakukan observee. Di sisi lain, bentuk ini juga memiliki kelemahan yaitu
bila observee mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi, maka perilkunya
biasanya dibuat-buat atau tidak wajar. Akibatnya obsever tidak mendapatkan data
yang asli.
2) Observasi kuasi-partisipan, yaitu bila observer terlibat pada sebagian kegiatan
yang sedang dilakukan oleh observee, sementara pada sebagian kegiatan yang lain
observer tidak melibatkan diri. Bentuk ini merupakan jalan tengah untuk
mengatasi kelemahan kedua bentuk observasi di atas, dan sekaligus memanfaatkan
kelebihan dari kedua bentuk tersebut. Menurut penulis, persoalan utama tetap
terletak pada tahu atau tidaknya observee bahwa mereka sedang diamati, jika
mereka mengetahui bahwa mereka sedang diamati, maka sangat mungkin perilaku
yang muncul masih ada kemungkinan tidak wajar.

2. Dilihat dari segi situasi lingkungan di mana subyek diobservasi, Gall dkk (2003 :
254) membedakan observasi menjadi dua, yaitu
1) observasi naturalistik (naturalistic observation) jika observasi itu dilakukan secara
alamiah atau dalam kondisi apa adanya. Melihat pertandingan sepak bola, guru
mengamati murid ketika sedang bermain di halaman sekolah, seorang peneliti
mengamati perilaku binatang di hutan atau kebun binatang adalah contoh observasi
naturalistik,
2) observasi eksperimental (experimental observation) jika observasi itu dilakukan
terhadap subyek dalam suasana eksperimen atau kondisi yang diciptakan
sebelumnya.

3. Khususnya bentuk observasi sistematis, Blocher (1987) mengelompokan ke dalam


tiga bentuk dasar observasi, yaitu ;
1) observasi naturalistic, yatu ketika seseorang ingin mengobservasi subyek
(observee) dalam kondisi alami atau natural,
2) metode survai, yaitu ketika seseorang mensurvai (mengobservasi) contoh-
contoh tertentu dari perilaku individu yang ingin kita nilai.
24

3) experimentasi, yaitu ketika seseorang tidak hanya mengobservasi tetapi


memaksakan kondisi-kondisi spesifik terhadap subyek yang diobservasi.

4. Mendasarkan pada tujuan dan lapangannya, Hanna Djumhana (1983 : 205)


mengelompokkan observasi menjadi berikut :
1) Finding observation yaitu kegiatan observasi untuk tujuan penjajagan. Dalam
melakukan observasi ini observer belum mengetahui dengan jelas apa yang
harus diobservasi, ia hanya mengetahui bahwa dia akan menghadapi suatu
situasi saja. Selama berhadapan dengan situasi itu ia bersikap menjajagi saja,
kemudian ia mengamati berbagai variabel yang mungkin dapat dijadikan bahan
untuk menyusun observasi yang lebih terarah.
2) Direct observation yaitu observasi yang menggunakan “daftar isian” sebagai
pedomannya. Daftar ini bisa berupa checklist kategori tingkah laku yang
diobservasi. Pada umumnya pembuatan daftar isian ini didasarkan pada data
yang diperoleh dari finding observation dan atau penjabaran dari konsep dalam
teori yang dipandang sudah mapan.

Dalam situasi konseling, kedua bentuk observasi ini dapat diterapkan.


finding observation diterapkan bila konselor merasa tidak perlu menggunakan
berbagai daftar isian serta ingin mendapatkan kesan mengenai tingkah laku konseli
yang spontan atau apa adanya. Oleh sebab itu konselor seyogianya benar-benar
kompeten dalam masalah ini.
Dalam direct observation, konselor menyediakan sebuah daftar berupa
penggolongan tingkah laku atau rating. Selama konseling berlangsung atau segera
setelah konseling berakhir, konselor mengisi daftar tersebut dengan cara memberi
tanda pada penggolongan tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku konseli
selama proses konseling berlangsung. Cara ini lebih mudah dibanding cara finding
observation, tetapi kelemahannya adalah sering terjadi tingkah laku yang lain dari
pada yang digolongkan pada daftarnya, sehingga ada kecenderungan untuk
menggolongkannya secara paksa atau mengabaikannya sama sekali.

5. Mendasarkan pada tingkat kesempurnaannya dan pelatihan yang di syaratkan,


Gibson & Mitchell (1995 : 261) mengklasifikasikan observasi sebagai berikut:
a. Level pertama, observasi informasi kausal (Causal information Observation)
Observasi jenis ini banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan
tidak terstruktur, dan biasanya observasi-observasi yang tidak terencana yang
memberikan kesan-kesan kasual yang terjadi sehari-hari oleh orang-orang di
dekat kita. Tidak ada pelatihan atau instrumentasi yang diharapkan atau
disyaratkan.
b. Level kedua, observasi terstruktur (guided observation). Terencana, diarahkan
pada sebuah maksud atau tujuan. Observasi pada tingkat ini biasanya
difasilitasi oleh instrumen yang sederhana seperti checklist dan skala penilaian.
Beberapa training juga diperlukan.
c. Level ketiga, level klinis. Observasi, selalu diperpanjang, dan sering dengan
kondisi-kondisi yang terkontrol. Teknik-teknik dan instrumen-instrumen yang
digunakan direncanakan dengan baik, dan digunakan melalui pelatihan secara
khusus, biasanya diberikan pada level doctoral.
Pada level ini dan dalam banyak kerangka klinis, konselor mungkin
menggunakan diagnosis penyimpangan mental atau boleh menerima sejarah
klien yang mengalami nomenklatur diagnostik psikiatri. Usaha yang paling
25

mutakhir dari Asosiasi psikiatri Amerika adalah mengkategorikan


penyimpangan-penyimpangan mental, The Diagnostic Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM-III-R) --diagnostik statistik manual dari penyimpangan
mental-- secara umum digunakan untuk tujuan ini (APA, 1987)2. (Hansen et al.,
1986, p.388).
3.1.4 Beberapa Kelemahan Observasi
Gibson & Mitchell (1995 : 263), Mc. Millan & Schumacher (2001 : 276)
menunjukkan beberapa kelemahan observasi disarikan berikut :
1. Kemampuan manusia untuk menyimpan secara akurat terhadap kesan yang
diperoleh dari hasil pengamatan sangat terbatas, baik dalam hal jumlah maupun
lamanya kesan (informasi) itu bisa disimpan. Akibatnya ada sesuatu yang mungkin
hilang atau tidak lengkap. Gibson & Mitchell (1995 : 263) mencatat bahwa tidak
banyak orang yang mampu menyimpan kesan yang amat luas dan detail. Oleh
sebab itu para observer perlu alat bantu observasi. Seorang peneliti yang
melakukan observasi terhadap sejumlah siswa dalam satu kelas tentu akan
mengalami kesulitan jika harus menyimpan informasi berapa anak yang ada
dalam kelas itu, berapa jumlah anak laki-laki dan berapa pula jumlah perempuan,
siapa duduk dekat siapa, dan bajunya berwarna apa. Apalagi jika informasi itu
harus disimpan dalam waktu lama.

2. Cara pandang indivdu terhadap obyek yang sama juga belum tentu sama,
sebab setiap orang memiliki frame yang unik yang mungkin berbeda dengan yang
lain, akibatnya kesan yang diperoleh juga tidak sama dan penilainnya pun menjadi
tidak sama. Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan penggugat yang
merasa ”dicurangi” dan kemudian memerintahkan pemilihan ulang untuk beberapa
daerah kabupaten yang dinilai tidak wajar akan dipandang obyektif bagi pihak yang
mengajukan gugatan, tetapi dianggap tidak obyektif bagi tergugat yang telah
memenangkan pemilihan. Hal ini dimungkinkan karena kepentingannya yang
memang berbeda. Gibson & Mitchell (1995 : 263) menunjukkan bahwa hasil
pengamatan sangat dipengaruhi oleh daya adaptasi, kebiasaan, hasrat/keinginan,
prasangka, proyeksi.

3. Kesan seseorang terhadap suatu obyek juga tidak selalu sama, akibatnya penafsiran
dan penilaian yang diberikan terhadap obyek yang sama menjadi tidak sama.
Seseorang yang memegang teguh norma sosial ketika melihat seorang remaja
rambutnya disemir dengan warna-warni plus mengenakan anting, mungkin akan
punya kesan remaja itu nakal. Tetapi bagi observer lain yang mudah menerima
nilai-nilai baru akan mempunyai kesan yang berbeda, mungkin tampilan remaja
tersebut dipandang sesuai perkembangan zaman, bahkan ia menilainya positif.

2
The Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder (DSM -IV), (APA, 1994) berisi otoritas
informasi dan “pendapat ofisial” tentang hal hal yang menyangkut masalah mental. Konselor
merujuk pada (DSM-IV) (1) sebagai sumber dari terminologi standar yang mana digunakan
untuk berhubungan dengan ahli kesehatan mental yang lain, (2) untuk memuaskan pemenuhan
permintaan perusahaan asuransi atau agensi credential seperti joint commission pada
akreditasi rumah sakit-rumah sakit, (3) untuk mengklasifikasi para pengguna dalam kategori
statistik sebagaimana diperlukan dalam penelitian atau akuntabilitas, (4) untuk memprediksi
gejala penyimpangan dan kemajuan pelatihan berdasarkan bukti yang bisa diterima, dan (5)
untuk menyusun rencana pelatihan yang akan menunjukkan intervensi (Seligman, 1983).
Proses actual dari perbedaan diagnosis dengan (DSM –IV) sangat kompleks, dan penguasaan
system membutuhkan pertimbangan studi. (Kottler & Brown, 1985,.p.161).
26

4. Ada kecenderungan pada manusia dalam menilai sesuatu menjadi terlalu tinggi
atau terlalu rendah mendasarkan pada sifat-sifat yang menonjol atau “pagar bulan”
(halo effect). Seorang observer dalam memberikan penilaian terhadap seorang
siswa kadang masih terpengaruh ia ”anak siapa”, atau memberi penilaian dengan
pertimbangan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan aspek yang sedang
dinilai. Tidak jarang orang memberikan penilaian terhadap seseorang yang dengan
melihat tampilannya, padahal tampilan kadang tidak menggambarkan realitas yang
sesungguhnya.

3.1.5 Cara mengatasi kelemahan Observasi


Ada beberapa cara yang bisa dilakukan konselor atau peneliti untuk mengatasi
kelemahan penggunaan metode observasi, yaitu :
1. Untuk mengatasi kelemahan akibat keterbatasn manusia dalam menyimpan hasil
pengamatan baik dalam hal jumlah kesan yang bisa disimpan maupun lamanya
waktu menyimpan, maka peneliti bisa memanfaatkan alat bantu seperti tape
recorder atau kamera video yang mampu menyimpan gambar maupun suara dalam
jumlah yang nyaris tak terbatas.
2. Untuk mengatasi kelemahan yang disebabkan cara pandang indivdu terhadap
obyek yang sama belum tentu didapat kesan dan penafsiran yang sama, --lantaran
setiap orang memiliki frame yang unik yang mungkin berbeda dengan yang lain--;
maka peneliti bisa menetapkan definisi operasional tentang obyek yang
diobservasi, misalnya dengan menetapkan ciri-ciri variabel yang menjadi fokus
pengamatan. Ciri-ciri itu bisa dirumuskan sebelumnya dengan melihat konsep-
konsep teoretis yang dipandang telah mapan.
3. Untuk mengatasi kelemahan yang disebabkan karena kesan seseorang terhadap
suatu obyek yang tidak selalu sama, akibat perbedaan penafsiran dan penilaian
meskipun terhadap obyek yang sama, peneliti bisa menetapkan parameter-
parameter obyek atau perilaku yang sedang diamati. Misalnya untuk menilai
seorang murid tergolong nakal atau tidak, peneliti bisa menetapkan parameter
untuk anak seusia itu, di lngkungan sekolah, dari sisi tata tertib sekolah, norma
sekolah, norma masyarakat, dan norma hukum. Dengan norma yang jelas itu
dimungkinkan variasi penilaiannya tidak terlalu jauh.

4. Untuk mengatasi kelemahan akibat kecenderungan manusia dalam menilai sesuatu


menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah mendasarkan pada sifat-sifat yang
menonjol (halo effect), peneliti bisa melibatkan jumlah observer yang lebh banyak
untuk mengurangi subyektivitas dalam penilaian.
5. Untuk mengatasi kelemahan akibat tampilan yang dibuat-buat oleh observee,
observer bisa melakukan kontrol dengan menggunakan teknik yang berbeda,
sumber yang berbeda, atau melihat sisi lain dari observee. Misal : untuk
mengetahui apakah seseorang benar-benar keluarga miskin -- yang berhak
mendapatkan layanan khusus – atau tidak, observer bisa melakukan (1) interviu
kepada temannya, (2) tetangga terdekat, dan atau (3) mengamati bukan hanya
pakaiannya tetapi juga perhiasan yang dikenakan, atau handphone yang
digunakan.
6. Di samping itu semua, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan akibat kehadiran
peneliti atau observer yang mengakibatkan munculnya tingkah laku yang tidak
wajar, peneliti seyogianya tidak memberi tahu kepada observee bahwa mereka
sedang diamati dan atau memanfaatkan kamera CCTV. Dengan alat ini
27

memungkinkan gambar kegiatan subyek yang sedang diobservasi bisa dikirim ke


ruangan lain untuk dilakukan observasi dan sekaligus evaluasi tanpa mengganggu
atau mempengaruhi perilaku subyek yang sedang diobservasi, dan akan lebih baik
lagi jika kamera CCTV itu dipasang di tempat yang tersembunyi. Di sisi lain, hasil
rekaman kamera CCTV ini memungkinkan untuk disimpan dalam waktu lama
dalam hardisk komputer, sehingga sewaktu-waktu diperlukan untuk ditampilkan
kembali bisa dilakukan dengan mudah

3.1.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum dan Selama Melakukan Observasi
Meng-observasi aktivitas manusia tidak sesederhana mengobservasi proses
benda-benda mati atau aktivitas binatang yang tidak memiliki pikiran dan perasaan,
sebab binatang dan benda mati ketika diamati mereka tidak berubah perilakunya
sehingga gejala yang nampak selalu wajar. Hal ini sangat berbeda dengan observasi
terhadap manusia, sebab kondisi internal dan eksternal mereka sangat berpengaruh
terhadap gejala-gejala (perilaku) yang muncul. Hanna Djumhana (1983 : 202)
mengingatkan bahwa mengadakan observasi yang cermat dan kemudian mengambil
simpulan yang tepat bukanlah hal yang mudah, sebab observer hanya mampu
membaca perilaku yang teramati, sedang apa yang dihayati dan dipikirkan seseorang
ketika melakukan aktivitas tertentu tidak bisa diduga dan disimpulkan.
Mc. Millan dan Schumacher (2001 : 274), mengingatkan agar sebelum dan
selama observasi, observer selalu memperhatikan hal-hal yang selanjutnya
dikelompokkan menjadi hal-hal berkaitan dengan tujuan, variabel, dan teknik
pelaksanaan observasi berikut :
1. Hal-hal yang berkaitan dengan tujuan dan variabel penelitian
a. Tujuan observasi, fahami lebih dahulu tujuan umum maupun tujuan-tujuan
khusus observasi. Dengan memahami dan memperhatikan tujuan observasi
diharapkan observer tidak mudah tertarik kepada gejala-gejala yang sebenarnya
tidak ada kaitannya dengan tujuan observasi.
b. Fokus (materi) observasi, apa sebenarnya yang hendak diobservasi seyogianya
sudah dikuasi dengan baik oleh observer sebelum melakukan observasi. Ibarat
seorang yang hendak membeli seekor kambing seyogianya ia sudah tahu persis
gambaran kambing yang hendak dibeli, jangan sampai terjadi ingin membeli
”kambing” ternyata yang dibeli adalah ”anjing” meskipun sama-sama berbulu
dan berkaki empat. Demikian pula jika seseorang hendak meneliti masalah
sikap, minat dan lain-lain, seyogianya mereka memahami benar konsep
tentang minat atau minat.
c. Variabel-variabel observasi; jika obyek atau materi observasi itu adalah
”kambing”, variabel-variabel itu adalah bagian-bagian penting yang pasti ada
atau menjadi bagian penting dari binatang yang namanya ”kambing”; (misalnya
kepala, badan, kaki, ekor, dan lain sebagainya). Jika benda yang hendak
diobservasi itu adalah ”baju”, maka variabel yang perlu diperhatikan dalam
observasi adalah potongan badan, lengan, krah, saku, model pakaian, corak
pakian dan lain-lain.
d. Sub variabel; terkadang suatu obyek bukan hanya terdiri dari satu variabel saja,
tetapi ia terdiri dari sub-sub variabel; ibarat salah satu variabel dalam obyek
observasi adalah ”kepala kambing”, maka pada kepala kambing itupun ada
mata, telinga, hidung, tanduk, dan bulu. Oleh sebab itu seorang observer yang
baik tentu tidak cukup bila hanya mengobservasi salah satu sub-varabel
kemudian hasilnya disimplukan seolah-olah sudah seluruh variabel.
28

e. Indikator; dimaknai sebagai ciri-ciri atau katrekteristik yang ada pada variabel
atau sub-varibel. Dengan indikator yang jelas memungkinkan seorang peneliti
mampu menjabarkan variabel dan atau sub-variabel itu ke dalam panduan
observasi, panduan wawancara, atau kuesioner dengan baik. Untuk itu seorang
peneliti seharusnya menguasai konsep tentang variabel yang diteliti itu secara
baik. (Selanjutnya periksa contoh penyusunan panduan observasi)

2. Hal-hal yang berkaitan dengan teknik pelaksanaan


a. Penggunakan metode pelengkap; perlu diingat bahwa perilaku manusia bukan
sekedar apa yang bisa diamati, tetapi lebih dari itu adalah motiv-motiv yang
mendorong munculnya tingkah laku tersebut, sebab bisa jadi perilaku yang
muncul sama tetapi motiv yang mendasarinya berbeda. Oleh sebab itu untuk
mendapatkan informasi yang lebih lengkap seyogianya penggunaan observasi
dilengkapi pula dengan metode yang lain; seperti wawancara, studi dokumenter
dan lain-lain.
b. Pengklasifikasian gejala; mengingat data yang diperoleh dari kegiatan
observasi bisa sangat banyak dan beragam, seyogianya observer melakukan
pengklasifikasian gejala guna memudahkan analisis. Pengklasifikasian itu akan
lebih baik jika mendasarkan pada variabel dan atau sub-sub variabel penelitian.
c. Pemanfaatan alat pencatat data; ada beberapa alat pencatat data yang bisa
dimanfaatkan observer, antara lain : catatan biasa, daftar cek, dan beberapa alat
perekam data (selanjutnya baca : beberapa alat bantu observasi).
d. Menjaga hubungan baik dengan observee; sebelum dan selama pelaksanaan
observasi seyogianya observer selalu menjaga hubungan baik dengan observee
dan memelihara kewajaran situasi, sebab hubungan yang tidak baik antara
observer dengan observee bisa mengganggu kegiatan observasi; seperti mogok,
atau melakukan kegiatan tetapi dengan ogah-ogahan.
e. Libatkan beberapa orang observer; untuk menjaga obyektifitas
hasil pengamatan, ada baiknya jika observasi dilakukan bukan hanya oleh satu
orang saja, tetapi lebih dari satu orang, kemudian hasilnya dibandingkan dan
disimpulkan bersama-sama.

3.1.7 Beberapa Alat Bantu Observasi


Ada beberapa alat bantu yang bisa dimanfaatkan oleh observer dalam
menggunakan metode observasi, yaitu (a) daftar riwayat kelakuan, (b) catatan berkala,
(c) daftar cek, (d) skala penilaian, dan (e) alat-alat mekanik/ elektrik (seperti : tape
recorder, handphone, handycam, camera CCTV). Beberapa alat bantu tersebut
dijelaskan secara singkat di bawah ini.
Daftar riwayat kelakuan adalah suatu catatan tentang tingkah laku individu
yang dipandang istimewa dan luar biasa. Catatan semacam ini sebenarnya bukan hanya
dilakukan oleh konselor, tetapi bisa saja dilakukan oleh guru bidang studi, wali kelas,
bahkan kepala sekolah. Untuk kepentingan pemberian layanan yang mendekati tepat,
ada baiknya konselor (observer) juga mau memanfaatkan catatan-catatan yang dibuat
oleh teman sejawat perihal perilaku konseli. Catatan ini amat penting artinya manakala
konselor harus melakukan diagnosis dalam proses konseling, sehingga terhindar dari
salah-diagnosis.

Kotak 4.1
DAFTAR RIWAYAT KELAKUAN
Catatan dibuat oleh:
N a m a : …………… …… Bidang tugas : …………………..

Nama siswa : ………………….. Kelas : ………


Hari/tanggal : …………. Jam : ………………
29

Dari catatan tersebut seyoganya konselor sekolah segera menindak-lanjuti,


yaitu melakukan pengamatan lanjutan untuk mengecek kebenaran isi catatan tersebut.
Setelah dipandang cukup, konselor bisa memanggil individu yang bersangkutan untuk
dimintai informasi lebih jauh tentang apa sebenarnya yang ia minum, mengapa ia
minum dengan sembunyi-sembunyi, dan mengapa ia minum minuman tersebut
(minyak kelapa)? Dari sini nampak, bahwa penggunaan suatu metode kadang
diperlukan metode lain sebagai pelengkap.
Catatan berkala adalah catatan yang dibuat pada saat tertentu tentang tingkah
laku seseorang, kemudian dijadikan bahan rujukan dalam melukiskan kesan-kesan
umumnya. Misal : seorang konselor melihat seorang siswa yang ketika mengikuti
pelajaran perhatiannya selalu tertuju ke luar kelas, beberapa orang guru bidang studi
juga melaporkan bahwa siswa yang bersangkutan sering ngelamun ketika mengikuti
pelajaran. Dari catatan-catatan itu kemudian konselor berusaha mendalami faktor apa
sebenarnya yang menyebabkan siswa tersebut sering melamun dan kurang
memperhatikan pelajaran, selanjutnya temuan tersebut dijadikan rujukan dalam
merumuskan diagnosis, prognosis, dan treatment. (periksa kotak 4.2)
Bentuk catatan berkala ini hampir sama dengan daftar riwayat kelakuan,
perbedaanya pada daftar riwayat kelakuan lebih mengarah pada pendalaman terhadap
perkembangan tingkah laku tertentu pada seseorang sesuai urutan kejadiannya (misal :
apa yang dilakukan oleh seseorang yang menyebabkan seseorang yang semula bukan
peminum menjadi peminum, yang semula tidak rajin berkembang menjadi rajin);
sedang pada catatan berkala lebih mengarah pada pencatatan gejala yang kurang lebih
sama untuk selanjutnya disimpulkan bahwa mendasarkan pada catatan A, B, C, D dst
konseli memiliki kecenderungan berperilaku tertentu. Catatan berkala bisa jadi dalam
bentuk informasi lisan dari guru atau pihak-pihak yang mengetahui perilaku konseli
pada waktu tertentu, kemudian dicatat dan diadministrasikan oleh konselor.

Kotak 4.2
CATATAN BERKALA
Catatan dibuat oleh:
N a m a : …………… …… Bidang tugas : …………………..

Nama siswa : ………………….. Kelas : ………


Hari/tanggal : …………. Jam : ………………

Ketika pelajaran sedang berlangsung yang bersangkutan perhatiannya


selalu tertuju ke luar kelas
………………., tgl/bl/th

(nama terang)
30

Daftar cek dan skala penilaian adalah sejumlah kalimat pernyataan yang
berhubungan dengan diri konseli atau sejumlah problem yang mungkin dihadapi
konseli. Dengan daftar ini konseli diharapkan memberi tanda cek (V) di bawah kolom
yang menggambarkan sesuai atau tidak sesuai dengan diri mereka. (selanjutnya periksa
Bab V yang membahas khusus Daftar Cek)
Skala penilaian (rating scale) adalah pencatatan gejala menurut tingkatan-
tingkatannya. Bentuk pencatatan ini bukan hanya menggambarkan ada atau tidaknya
gejala pada subyek yang sedang diamati – seperti pada daftar cek --, tetapi lebih dari
itu berupaya menggambarkan kondisi subyek sesuai tingkatan-tingkatan gejalanya.
Penggunaan pencatatan model skala ini didasarkan atas pertimbangan bahwa gejala-
gejala yang muncul pada subyek yang diamati tentu beragam intensitasnya, seperti
perilaku membolos tentu beragam, ada subyek yang sesekali membolos tetapi juga ada
yang seringkali; ada siswa yang tidak memperhatikan pelajaran, memperhatikan
dengan setengah-setengah, dan ada juga yang ber-sungguh-sungguh memusatkan
perhatian ketika mengikuti pelajaran
Sutrisno Hadi (2004 : 152-53) memandang penggunaan rating scale ini sangat
populer karena penggunaannya sangat mudah, di sisi lain pencatatannya lebih
menunjukkan keseragaman antara pencatat satu dengan lainnya, dan sangat sederhana
untuk dianalisis secara statistik. Hal ini sangat berbeda jika pencatatan itu dilakukan
dengan pernyataan-pernyataan deskriptif yang sangat panjang lebar, yang oleh
observer kerapkali menggunakan gaya penulisan yang amat beragam. Di bawah ini
ditunjukkan bentuk skala penilaian yang mencatat aktivitas siwa dalam mengikuti
pembelajaran (periksa kotak 4.3)

Kotak 4.3

SKALA PENILAIAN
AKTIVITAS SISWA DALAM MENGIKUTI PEMBELAJARAN

NO AKTIVITAS FREKUENSI KETERANGAN


1 2 3 4
01 Kehadiran di sekolah
02 Ketersediaan alat-alat
pelajaran

03 Perhatian terhadap
penjelasan guru
04 Bertanya kepada teman
tentang materi yang belum
difahami
05 Bertanya kepada guru
tentang materi yang belum
difahami
06 Mencari penjelasan pada
sumber-sumber yang
ditunjuk
07 Partisipasi dalam diskusi
08 Menyelesaikan tugas-tugas
latihan

Dengan kolom di atas, observer memberi tanda cek di bawah kolom 1 jika
31

Memperhatikan contoh di atas, nampak bahwa pencatatan dengan bentuk skala


penilaian mudah digunakan, namun kadang terasa ada kalimat yang dipaksakan. Oleh
sebab itu bisa juga dikembangkan bentuk yang lain yang lebih sesuai dengan konteks
kalimatnya. (periksa kotak 4.4)
Kotak 4.4
SKALA PENILAIAN
AKTIVITAS SISWA DALAM MENGIKUTI PEMBELAJARAN
1. Kehadiran di sekolah

(1) (2) (3) (4)

pukul pukul tepat sebelum


07.30 07.15 07.00 06.50

2. Ketersediaan alat-alat pelajaran


(1) (2) (3) ( 4)

tidak ada ada ada ada lebih


Tdk lengkap cukup dari cukup

3. Perhatian terhadap penjelasan guru


3.1.8 Persyaratan
4. BertanyaObserver Yang
kepada guru Baikmateri yang belum difahami
tentang
5.Agar
dst observasi
.. bisa memperoleh hasil yang maksimal, Hanna Djumhana (1983
: 204) dan Ellis, C.M (2004 : 467-68) menunjukkan beberapa persyaratan yang perlu
dimiliki oleh observer disarikan berikut :
1. Mengingat esensi observasi adalah melakukan pengamatan dengan memanfaatkan
pancaindra, oleh sebab itu observer seyogianya memiliki alat indra yang baik.
Dalam kegiatan konseling, lazimnya indera mata dan telinga lebih berperan darpada
indera lain.
2. Observer perlu memiliki motivasi dan kesediaan untuk melakukan observasi.
Kondisi seperti ini perlu selalu dikembangkan karena hal ini mendorong adanya
perhatian dan sikap waspada dalam melakukan observasi. Untuk memelihara dan
meningkatkan motivasi --untuk melakukan observasi, individu perlu selalu
menyadari bahwa melalui observasi bisa mengumpulkan data kualitatif berkenaan
dengan gejala yang diamatinya.
3. Pengetahuan dan pengalaman melakukan observasi perlu selalu dikembangkan,
yaitu melalui (1) pengkajian teori, (2) pelatihan teknik-teknik observasi, dan (3)
melatih diri menerapkannya dalam suasana konseling dan dalam kehidupan sehari-
hari.
32

4. Observer seyogianya mengambil sikap netral, bebas prasangka, dan tidak terlalu
cepat mengambil simpulan. Hal ini dipandang penting sebab prasangka sering
menimbulkan berbagai penyimpangan dan salah sangka yang menyebabkan
gambaran yang salah mengenai gejala yang diamati. Dalam observasi, kesan-kesan
yang diperoleh seyogianya selalu diperiksa kembali dengan bahan dan atau dari
sumber yang lain (triangulasi), sebab bisa jadi kesan tersebut baru dugaan
sementara.
5. Dalam melakukan observasi, sebaiknya observer juga memperhatikan kondisi
tubuhnya. Sebab dalam kondisi terlalu lelah, sakit dan ”tidak berminat”
mengakibatkan hasil observasi kurang optimal.
6. Ada baiknya jika observer --utamanya konselor dan peneliti kualitatif-- mengenal
latar belakang sosial-budaya dan agama konseli dengan baik, sebab dengan
pemahaman itu memungkinkan observer memahami makna yang sebenarnya di
balik perilaku yang nampak3.
7. Khususnya bagi konselor, dalam situasi konseling seyogianya mampu menciptakan
relasi (repport) yang baik dengan konselinya agar terjadi suasana akrab, dengan
demikian diharapkan konseli dapat dengan sepenuh hati mengungkapkan dirinya
sebagaimana adanya.
8. Hal lain yang juga perlu diperhatikan konselor adalah sesegera mungkin mencatat
data observasi sebelum lupa.

3.1.9 Observasi dalam Konseling


1. Fungsi Observasi dalam Konseling
Meskipun sejak awal tahun 2000-an kecenderungan orang untuk melakukan
komunikasi melalui handphone dan internet semakin meningkat, dan pihak-pihak
yang membutuhkan layanan konseling juga semakin lebih cenderung menggunakan
telpon, handphone atau email daripada tatap muka; tetapi dari pengalaman penulis
memberiknan layanan konseling dengan cara-cara tersebut, menunjukkan bahwa
kebutuhan konselor untuk bertatap muka dengan konseli kadang dirasa masih tetap
penting. Di bawah ini disajikan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa
observasi secara langsung maupun tidak langsung masih diperlukan.

Kasus 1
Seorang siswa kelas II SMU pada jam pelajaran ke-dua datang kepada konselor
sekolah, terjadilah wawancara di ruang konseling berikut :
Kl : Selamat pagi pak !
Ko : Selamat pagi, ada yang bisa bapak bantu?
Kl : Ya pak, saya mau minta surat ijin pulang ...
Ko : Ada apa ijin pulang .........
Kl : Perut saya sakit pak, .............. (sambil memegangi perutnya)
Ko : Oh ya, perut anda sakit ???
Kl : Ya pak, sambil mengerutkan wajah dan memegang perutnya konseli seakan
menahan rasa sakit.
3
Pernah terjadi kasus seorang mahasiswi yang kuliah di luar propinsinya. Ketika ia sedang duduk di teras
rumah kost-nya, ia duduk dengan kedua kakinya dilipat di atas kursi. Masyarakat di sekitarnya terkejut
ketika melihat perilaku mahasiswi itu, kemudian terjadilah salah faham di masyarakat bahwa di rumah kost
tersebut ada “wanita nakal” (pelacur). Mengapa masyarakat memahaminya sebagai pelacur? Sebab di
daerah tersebut yang sering duduk dengan cara tersebut adalah pelacur. Setelah dilacak lebih jauh, ternyata
mahasiswi itu berasal dari suatu propinsi yang udaranya sangat dingin, apalagi keluarganya tinggal di atas
bukit ditengah-tengah perkebunan yang udaranya sangat dingin. Ternyata duduk dengan kaki di atas itu
adalah cara untuk mengurang rasa dingin dan sekaligus menghangatkan badan
33

Ko : Boleh, (sambil memegang bolpoin dan blanko surat ijin) konselor bertanya
kepada konseli , jam pelajaran siapa sekarang ......? (konselor sambil
memperhatikan ekspresi wajah dan gerakan tangannya
Kl : Jam pelajaran Bu En
Ko : Bagaimana pendapat saudara tentang Bu En?
Kl : Bu En bagus sekali pak, beliau sangat memperhatikan muridnya; (ternyata
ekspresi wajah yang semula manampakkan kesan menahan sakit mulai reda)
Ko : Di mana rumahmu? (konselor sambil selalu memperhatikan ekspresi wajah
dan gerak tangan konseli)
Kl : di sana pak, di desa X kecamatan Y
Ko : Ayah bekerja di mana?( (konselor sambil selalu memperhatikan ekspresi
wajah dan gerak tangan konseli)
Kl : Di sana pak, di perusahaan swasta daerah.
Ko : Ibu bekerja di mana ? (konselor sambil selalu memperhatikan ekspresi wajah
dan gerak tangan konseli)
Kl : Ibu juga bekerja sebagai guru sekolah dasar

Sampai di sini ternyata tangan klien yang semula diletakkan di atas perut mulai
lepas, dan ekspresi wajah konseli juga tidak nampak menunjukkan kesan menahan
rasa sakit. Kemudian wawancara dilanjutkan berikut :

Ko : Perut anda masih sakit? (konselor sambil selalu memperhatikan ekspresi


wajah dan gerak tangan konseli)
Kl : Oh ya pak, (konseli menampilkan ekspresi wajah menahan rasa sakit lagi, dan
tangan konseli pun kembali diletakkan di atas perutnya kembali).
Ko : Yang benar, perut anda sakit,Tolong katakan yang sebenarnya kepada Pak
Guru ..... !!!
Kl : ....................... tertunduk diam ..........
Ko : Apakah anda punya acara lain ???
Kl : Ya pak, saya janji dengan teman dari sekolah lain untuk ketemu di ”Simpang
lima” (nama sutu lokasi pusat perbelanjaan yang disukai banyak orang di
Semarang) jam 10
Ko : Ada rencana apa di sana ?
Kl : Jalan-jalan pak, sambil melihat pameran elekronik.
Ko : Harus sekarang melihat pamerannya, harus meninggalkan jam pelajaran?
Kl : Tidak pak .......
Ko : Ditahan ya, sampai nanti setelah selesai jam sekolah masih bisa.....?
Kl : Bisa pak ..............., kemudian konseli berdiri dan beranjak kembali ke kelas
untuk mengikuti pelajaran.

Kasus 2
Seorang usia mahasiswa dari suatu perguruan tinggi datang kepada penulis,
kemudian terjadilah wawancara berikut :
Kl : Assalamu’alaikum
Ko : Wa’alaikum salam, silakan duduk
Kl : Terima kasih pak, kenalkan nama saya X, saya berasal dari daerah Y, dan
sekarang masih kuliah di smester 4 di perguruan tinggi Z
Ko : Dari mana saudara tahu saya ?
Kl : Mahasiswa bapak yang memberi tahu saya pak ......
Ko : Ada yang bisa saya bantu?
34

Kl : (Sambil berbicara dia menengok ke luar) ya, pak ................


Ko : Apa yang mungkin bisa saya bantu untuk saudara ... ?
Kl : (Sambil mengok ke luar ia mulai berbicara) ...... ada yang ingin saya
tanyakan kepada bapak, tapi adakah bapak punya tempat di belakang yang
saya bisa berbicara dengan lebih tenang?
Ko : Oh ya, ada di belakang ada tempat yang lebih tenang, mari kita pindah ke
sana.
Kl : Terima kasih pak, maaf pak saya merepotkan bapak.
Ko : Apa yang membuat saudara tidak nyaman berbicara di ruang tamu di depan?
Kl : Saya merasa tidak aman jika membicarakan masalah ini dengan orang lain
selain jama’ah saya.
Ko : Apakah ada aturan khusus dalam jama’ah saudara?
Kl : Ya pak ....
Ko : Tidak apa-apa insya Allah di sini aman, silakan apa yang ingin saudara
tanyakan kepada saya.
Kl : (Dengan wajah ragu dia bertanya) Apakah mencuri itu boleh pak?
Ko : Mencuri apa?
Kl : Ya mencuri harta milik orang lain pak ......
Ko : Siapa yang mencuri?
Kl : Saya sendiri pak .......
Ko : Saudara sendiri ........???
Kl : Ya pak, saya sendiri yang mencuri (dengam menunjukkan ekspresi wajah
sungguh-sungguh)
Ko : Sudah berapa kali saudara mencuri?
Kl : Sudah dua kali, dan hari ini semestinya yang ketiga kalinya, tetapi saya tiba-
tiba merasa ragu apakah perbuatan saya ini benar menurut tuntunan agama
atau tidak.
Ko : Mengapa saudara sampai mencuri, apakah karena uang kiriman saudara
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan dan hidup sehari-hari?
Kl : Tidak pak, uang bekal dari orang tua saya insya Allah cukup untuk kebutuhan
hidup sehari-hari, tetapi akhir-akhir ini menjadi tidak cukup lantaran saya
harus menyetor infaq setiap bulan sekian rupiah.
Ko : Infaq untuk apa itu, dan bagamana ceritanya ?
Kl : Saya belajar agama (ngaji) di sana pak, setelah sampai tahap tertentu saya
harus berhijrah, dan sesudah itu saya harus berinfaq setiap bulan sekian
rupiah (sambil menunjukkan nominalnya)
Ko : Untuk apa uang infaq sebesar itu kata guru saudara?
Kl : katanya untuk ................
Ko : Bagaimana kalau kebetaulan saudara sedang tidak punya uang?
Kl : Saya terpaksa harus pinjam teman, kalau teman tidak punya saya boleh
mencuri.
Ko : Benar guru saudara mengizinkan saudara mencuri?
Kl : Ya pak, kata guru saya boleh, bohong untuk kepentingan .... itu boleh, mencuri
untuk kepentingan .... itu boleh, apa lagi kalau itu milik orang kafir.
Ko : Benar guru saudara mengajarkan demikian?
Kl : Ya pak .........
Ko : Saudara yakin bahwa ajaran itu benar?
Kl : (Dengan wajah ragu) saya belum tahu pak, justru itu saya datang ke bapak?
Ko : Pernah saudara mendengar sabda Rasulullah, ”Sesungguhnya Allah itu
bagus, Ia tidak menerima kecuali yang bagus”
35

Kl : Belum pernah pak .....


Ko : Pernah saudara tahu bahwa ”Ibadah itu harus diniyatkan untuk Allah dan
dilakukan dengan cara-cara Allah”. Dari definisi ini bisa difahami bahwa
ibadah itu harus dilakukan dengan cara Allah, bukan dengan mencuri dll.
Kl : Saya baru mendengar kali ini pak, kalau begitu kalau saya berinfaq dari harta
hasil curian juga tidak syah?
Ko : Benar demikian

Dari dua kasus di atas bisa difahami, bahwa meskipun konseli bisa saja
berkonsultasi melalui pesawat telpon, dalam kenyatannya konselor dan konseli
kadang masih dirasa perlu ”bertatap muka”. Pertanyaannya adalah mengapa
masing-masing kadang perlu bertatap muka?
Pada kasus pertama, meskipun konselor melayani konseli dengan
wawancara, tetapi pertemuan langsung itu bisa dimanfaatkan oleh konselor untuk
melakukan pengecekan terhadap informasi yang disampaikan oleh konseli melalui
lisan; dengan mengamati gejala raut wajah dan gerakan tangan selama melakukan
wawancara, ternyata konselor mampu menembus ”kedustaan” yang tersembunyi di
balik ucapan konseli. Pada kasus kedua bisa diketahui, bahwa perilaku konseli
selalu berbicara dengan sesekali memperhatikan ke luar ruangan lantaran takut di
ketahui orang lain juga bisa diketahui melalui observasi yang dilakukan sambil
wawancara.
Dari analisis seperti di atas bisa disimpulkan bahwa fungsi observasi bagi
konselor adalah (1) sekaligus bisa dijadikan alat kontrol (triangulasi) terhadap
kebenaran informasi yang disampaikan konseli, (2) bisa dijadikan validasi terhadap
infomrasi yang disampaikan konseli, pada kasus kedua sperilaku selalu
memperhatikan ke luar adalah menguatkan bahwa konseli memang benar-benar
merasa takut diketahui orang lain jika ia berkonsultasi dengan seseorang dari luar
jama’ahnya.
Metode observasi bisa digunakan sekaligus dengan wawancara, dan jika
dipandang perlu bisa digunakan dengan tes-tes psikologis. Informasi mengenai diri
konseli bisa diperoleh melalui konseli itu sendiri (autonamnese) atau dari pihak
lain (guru, wali kelas, orang tua atau wali, bahkan teman bermain) yang mngenal
konseli (alloanamnese). Keterangan-keterangan itu bukan saja bukan hanya
mengani apa yang dikatakan dan diperbuat, tetapi dari bagaimana ia
mengungkapkan dan melakukannya.
Dalam konseling lazimnya observasi diarahkan pada cara
mengungkapkannya. Dengan demikian fungsi observasi dalam konseling di
samping untuk memperoleh gambaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang diri
konseli; juga untuk menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh
melalui wawancara. Dalam praktek konseling, tidak jarang konselor memerlukan
informasi bukan hanya data verbal tetapi juga dari hasil observasi.

2. Hal-hal Yang Diobservasi (Oleh Konselor)


Bagi konselor, seluruh perilaku konseli yang teramati (observabel behaviour)
mulai dari kedipan mata hingga gerakan-gerakan seluruh tubuh pada dasarnya
perlu diamati. Namun demikian hal-hal yang diamati biasanya dikaitkan dengan
tujuan observasi atau tujuan konseling. Jika tujuannya adalah untuk menegakkan
diagnosa, maka observasi lebih diarahkan pada ada atau tidaknya simtom-simtom
dari berbagai penggolongan diagnosis. Jika tujuannya untuk mengetahui ada
tidaknya kemampuan tertentu pada observee, maka observasi dipusatkan pada
36

mampu tidaknya observee mengerjakan tugas yang ditentukan, dan bagamana cara
mengerjakannya.
Meskipun seluruh perilaku konseli perlu diamati, tetapi Anna Djumhana
(1983 : 207-09) mendasarkan pada pendapat para ahli menunjukkan beberapa
aspek yang perlu diobservasi adalah :
a. Cara konseli masuk ruang dan menemui konselor,
Cara konseli masuk ruangan yaitu sejak konseli mengetuk pintu masuk (wajar,
keras, atau pelan-pelan), cara memberi salam, cara berjalan dan mendekati
konselor, apakah tingkah lakunya tetap dan tegas, lambat, atau lemah gemulai;
cara konseli menarik kursi apakah dengan pelan atau kasar. Ciri-ciri tingkah
laku itu dapat memberi kesan bagi observer bahwa dia pribadi yang tegas,
berani, malu-malu, menarik perhatian, penurut, dan tak bersemangat.
b. Cara konseli berjabat tangan dengan konselor
Pada pertemuan pertama sebaiknya bagi konselor dan konseli sesama jenis
kelamin berjabat tangan, sedang terhadap konselor yang tidak sejenis tidak
harus berjabat tangan secara langsung4. Berjabat tangan merupakan simbol
pertemuan antara pribadi dengan pribadi, jika diungkapkan dengan tulus dan
bersahabat merupakan tanda kepribadian yang sehat. Melalui jabat tangan,
observer bisa merasakan kondisi tangan itu, misalnya dingin, berkeringat,
halus, kasar, yang kesemuanya dapat mencerminkan kondisi umum orang itu.
Meski demikian, bagi klien yang enggan berjabat tangan lantaran pertimbangan
agama, tidak berarti tidak bisa dikenali ciri-ciri orang itu. Sebab manusia pada
dasarnya tidak akan bisa menyembunyikan dirinya secara penuh, lantaran
masih bisa dikenali melalui raut wajah dan salah ucap-nya.
c. Cara duduk dan jarak anatara konseli dengan konselor;
Cara duduk yang rapi posisi duduk yang tepat dan hampir tidak berubah,
sembarangan atau yang banyak bergerak dapat mencerminkan pengendalian
diri yang baik, sikap kaku, menarik perhatian, gelisah dan sebagainya. Jarak
antara tempat duduk konseli dan konselor bisa jadi indikasi kesediaan dialog
dan perasaan akrab. Hal ini terlihat dari posisi tubuh konseli yang cenderung
mendekati (moving toword) atau menjauhi (moving away from) konselor. Cara
duduk dengan tubuh agak condong ke muka biasanya menandakan perhatian,
keakraban, dan kesediaan berkomunikasi.
d. Cara berbicara dan nada suara;
Cara bagaimana seseorang berbicara akan memperkaya apa yang
dibicarakannya, kalimat yang sama diucapkan dengan nada yang berbeda akan
memberi makna yang berbeda pula. Kesan tulus, ogah-ogahan juga bisa
diperhatikan dari nada suaranya. Nada suara (tone of voice) dapat
mencerminkan keadaan emosional saat orang berbicara. Cara berbicara yang
lambat, pelan-pelan bisa jadi menggambarkan perasaan muram. Namun
demikian konselor pula memahami dari daerah mana konseli itu berasal, dan di
mana ia dibesarkan; sebab bisa jadi cara berbicara itu memang sudah tertanam
selama bertahun-tahun dan telah menjadi cara berbicara di daerah itu
(bandingkan cara berbicara orang Solo dengan orang Semarang dan Tegal
meskipun sama-sama warga Jawa Tengah).
e. Bentuk perawakan dan penampilan pada umumnya;

4
Pendapat ini didasarkan atas pertimbangan bahwa ada konseli yang memang berkeyakinan bahwa
berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim adalah haram hukumnya. Oleh sebab itu ada
baiknya jika dalam berjabat tangan tidak harus bersentuhan telapak tangannya, tetapi cukup dengan
merapatkan kedua telapak tangan ke arah depan sambil merunduk.
37

Bentuk perawakan (gemuk, kurus, jangkung, pendek, sedang) serta bagaimana


proporsisinya (gemuk-bundar, kecil-mungil, tegap-atletis) dapat memberikan
gambaran mengenai perwatakannya bila dihubungkan dengan tipologi
Kretschmer. Kelainan hormonal bisa juga terlihat dari bentuk perawakannya.
Penampilan umum dapt memberikan kesan tertentu, misalnya : rapi, serasi,
terlalu ramai, sederhana, yang kesemuanya dapat mencerminkan corak relasi
sosialnya.
Khususnya mengenai cara berpakaian, meskipun dalam beberapa hal
banyak dipengaruhi oleh mode, namun dalam beberapa hal masih
menggambarkan ciri kepribadian,; misalnya cara berpakian yang sembarangan
dan ”jorok” mungkin mencerminkan sikap acuh tak acuh terhadap diri sendiri
dan orang lain. Cara berpakaian yang serba menyolok dan ”ramai” biasanya
didorong oleh hasrat untuk menarik perhatian.
f. Ekspresi wajah
Diakui bahwa ekspresi wajah merupakan faktor penting dalam mengenali
perwatakan dan suasana perasaan seseorang, seseorang bisa dikenali bahwa ia
sedang sedih, gembira, takut atau ragu-ragu melalui wajahnya. Tetapi perlu
diingat bahwa wajah adalah bagian tubuh yang paling banyak diolah,
dikendalikan, dan dimanipulasi. Seseorang bisa menyembunyikan
kesedihannya dengan tersenyum, dan orang juga bisa menyembunyikan dirinya
melalui make up. Namun demikian perlu diketahui bahwa kondisi yang
sebenarnya masih tetap bisa diketahui oleh observer, yaitu pada saat yang
berebda atau melalui gejala-gejala yang lain
Dari keseluruhan wajah, para ahli memandang mata sebagai bagian yang paling
mencerminkan perasaan seseorang. Matanya orang yang hatinya sedang senang
tentu berbeda dengan orang yang sedang marah. Kontak mata (eye contact)
juga sering dihubungkan dengan kesediaan untuk mengadakan komunikasi
antar pribadi, sikap tegas (assertive), keterbukaan, dan keberanian.
Reaksi-reaksi emosional
Dalam situasi konseling, reaksi-reakasi konseli misalnya; kaku, tegang,
kecenderungan menentang, santai, humor; bisa difahami sebagai indikator
bahwa konseli sebenarnya percaya, ragu-ragu atau bahkan tidak percaya kepada
konselor. Mendasarkan pada pendapat Wallen, Anna Djumhana (1983 : 210)
memandang tanda-tanda ketegangan (tension indicators) seperti berkeringat,
berlinang air mata, perubahan raut wajah (misal : menjadi pucat), gemetar,
duduk berubah-ubah posisi. Semua itu mencerminkan penghayatan-
penghayatan tertentu pada konseli. Dalam hal in tidak jarang ungkapan-
ungkapan perasaan itu tidak jelas.misalnya pada gangguan yang berat.
Hal lain yang dipandang erat hubungannya dengan reaksi-reaksi
emosional adalah ”automatic response” seperti wajah memerah, memucat,
berdebaran, berkeringat, pupil mata membesar atau mengecil. Reaksi-reaksi
tersebut biasanya terjadi secara spontan dan diluar pengendalian individu.
Bersamaan dengan reaksi-reaksi tersebut terjadlah berbagai proses psikis
seperti malu, kaget, takut, marah dan sebagainya.
g. Bahasa-bahasa non-verbal
Dedi Supriadi (2001 : 17-18) menyarankan agar dalam konseling juga
diperhatikan bahasa non-verbal seprti : batas-batas jarak untuk komunikasi
(proxemics), bahasa isyarat badan, muka, mata (kinesics), persepsi tentang
waktu (chronemics), nada suara (paralanguage), arti diam (silence), sentuhan
38

fisik (haptics), cara berpakaian dan penampilan, komunikasi melalui indra


penciuman (alfactics), isyarat mata (aculesics)

3. Menyusun Pedoman Observasi


Agar observasi yang dilakukan selalu sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan dan sesuai aspek-aspek yang hendak diungkap, maka observer seyogianya
menyusun pedoman observasi yang menjadi pegangan selama melakukan observasi.
Dilihat dari prosedurnya, penyusunan pedoman observasi bisa dilakukan
dengan dua cara, yaitu (1) bertolak dari pemikiran rasional atau mendasarkan
pengalaman, yaitu penyusunan pedoman observasi yang dilakukan dengan melihat
aspek yang hendak diobservasi itu mendasarkan pemikiran rasional, dan (2) bertolak
dari konsep atau konstrak (constuct) yang dipandang telah mapan,
Konsep adalah sesuatu yang menggambarkan fenomena secara abstrak yang
dibentuk dengan jalan membuat generalisasi terhadap sesuatu yang khas (seperti :
gaya, energi, luas, berat, panjang, tinggi, fertilitas, mobilitas, minat, sikap, motivasi,
perilaku menyimpang). Variabel adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam
nilai. Badan adalah konsep, tetapi berat badan adalah variabel karena ia memiliki
keragaman ukuran misal 30 kg, 40 kg, 60 kg dan seterusnya. Konsep bisa diubah
menjadi varibel dengan cara memusatkan pada aspek tertentu dari varibel itu sendiri;
misal minat terhadap pekerjaan, motivasi belajar, sikap terhadap tata tertib dan
sebagainya. Setelah konsep, variabel, dan sub variabel diketahui dengan pasti;
selanjutnya dijabarkan dalam item-item.
Prosedur penyususnan panduan observasi dengan mendasarkan pada pemikiran
rasional atau pengalaman disajikan pada bagian III kotak 4.5, sedang penyusunan
dengan mendasarkan pada konsep teoretik atau konstrak disajikan pada kotak 4.6
berikut
Kotak 4.5
PENYUSUNAN KISI-KISI PANDUAN OBSERVASI
MENDASARKAN PEMIKIRAN RASIONAL/PENGALAMAN

1. Tujuan Observasi : mengetahui apa sebenarnya yang dilakukan oleh konselor sekolah
dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
2. Rasional-nya : melaksanakan tugas sehari-hari berarti melaksana-kan tugas
sebagai konselor sekolah sejak pukul 07.00 (bahkan
sebelumnya) hingga pelajaran usia (mungkin pukul 13.00 atau
bahkan ada yang pukul 16.00)
3. Aplikasinya dalam observasi kurang lebih mencakup :
a. kehadiran di sekolah (waktu dan tampilan)
b. hal-hal yang dilakukan konselor pada waktu :
1) sebelum pukul 07.00
2) selama pelajaran berlangsung
3) pada saat istirahat
4) setelah pelajaran berakhir

c. Hal-hal yang dilakukan konselor ketika menghadapi :


1) ketika ada siswa yang bermasalah dengan guru (tidak meng-hormati guru,
sering melawan guru, berbohong kepada guru, tidur ketika pelajaran sedang
berlangsung, makan-makan dan atau bermain handphone ketika pelajaran
sedang berlangsung)

2) ketika ada siswa yang melanggar tata tertib sekolah (terlambat datang di
sekolah, membolos, merokok, membawa senjata tajam, membawa film porno,
berpakaian tidak sesuai aturan, tampilan tidak rapi, mencuri di sekolah atau di
luar sekolah, melakukan pemerasan, minum minuman keras, terlibat perjudian,
terlibat maslah narkoba)

3) ketika ada siswa yang bermasalah sosial (melakukan tindakan asusila,


melakukan tawuran perorangan/masal, kelompok (geng) yang cenderung
negatif, kebut-kebutan di jalan raya, dan pergaulan bebas dengan lawan jenis)

4) ketika ada siswa yang bermasalah dengan sekolah (me-nyalahgunakan SPP,


merusak fasilitas sekolah, memalsu surat ijin, meninggalkan kegiatan ekstra
kurikuler, pacaran di lingkungan sekolah)

5) ketika ada siswa yang bermasalah dengan pelajaran (menyontek, tidak


39

Kotak 4.6
PROSEDUR PENYUSUNAN PANDUAN OBSERVASI
BERDASARKAN KONSEP
TETAPKAN PASTIKAN CARI
TUJUAN FOKUS/ASPEK YG PENJELASAN
HENDAK KONSEP,
OBSERVASI
DIOBSERVASI VARIABEL &
SUB
VARIABEL/
INDIKATOR

MANFAATKAN
PEMAHAMAN
JABARKAN BACA
TTG BUDAYA
MENJADI ITEM-ITEM LITERATUR
& NILAI-NILAI
RESPONDEN OBSERVASI
UTK ANALISIS

Dari diagram di atas, selanjutnya disusunlah kisi-kisi panduan observasi (periksa


bagian III lampiran 4.4), dan jabarannya (periksa bagian III, lampiran 4.5)

4. Pedoman Untuk Analisis Selama dan Setelah Observasi


Gibson, (1995 : 263) menyarankan agar dalam melakukan anaisis selama dan
setelah observasi memperhatikan hal-hal yang disarikan berikut :
1. Mengamati satu klien dalam satu waktu. Observasi untuk analisis
individu seyogianya difokuskan pada individu tersebut. Utamanya terhadap
perilaku klien secara detail yang mungkin berguna dalam konseling.
2. Ada kriteria yang spesifik untuk melakukan observasi. Konselor
hendaknya selalu ingat bahwa observasi yang dilakukan adalah untuk mencapai
tujuan tertentu. Oleh sebab itu ketika melakukan analisis hendaknya difokuskan
pada hal-hal yang berkaitan dengan tujuan observasi.
3. Observasi seharusnya dilakukan tanpa batas waktu. Utamanya dalam
dunia pendidikan, observasi dalam rangka konseling seyogianya tidak hanya
dibatasi pada waktu tertentu saja, tetapi dilakukan setiap saat dan selama masih
bisa. Observasi yang dilakukan secara bersinambungan ini sekurang-kurangnya
memiliki dua manfaat, yaitu untuk validasi dan evaluasi.
4. Konseli seharusnya diamati dalam situasi yang natural dan berbeda.
Perilaku natural kebanyakan terjadi dalam situasi yang juga natural. Meskipun
situasi natural itu beragam antara orang satu dengan yang lainnya, tetapi ada situasi
umum yang kurang lebih sama misalnya ketika di sekolah, di rumah, ketika
berhubungan dengan teman, dengan guru, dengan karyawan, dan dengan orang
dewasa yang lain. Sebab bisa jadi seseorang ketika di tengah-tengah keluarga
menunjukkan perilaku sopan, tetapi ketika berhubungan dengan orang-orang di
luar rumah terjadi sebaliknya. Mengamati perilaku dalam situasi yang berbeda itu
sangat membantu dalam peyimpulan apakah karakteristik tingkah laku tersebut
konsisten atau tidak.
40

5. Mengamati klien dalam konteks semua situasi atau situasi total. Dalam
melakukan observasi terhadap tingkah laku manusia, sangatlah penting
menghindari pendekatan “tunnel vision”, dimana kita hanya bermaksud
mengamati klien secara visual atau sebatas yang nampak mata, tetapi observasi
sebaiknya dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang mendorong munculnya
tingkah laku tersebut, sehingga kita bisa memberi makna yang lebih tepat terhadap
tingkah laku yang kita amati.
6. Data dari observasi seharusnya digabugnkan dengan data yang lain.
Dalam analisis individu sangatlah penting untuk menggabungkan semua yang
diketahui tentang konseli. Karena untuk melihat konseli sebagai seorang manusia
secara utuh, seharusnya dipadukan semua kesan yang didapatkan dari observasi
dengan semua informasi yang mungkin didapatkan. Teknik studi kasus yang
digunakan oleh sebagian besar bantuan profesional memberikan ilustrasi terhadap
integrasi dan hubungan antar data sebelum dilakukan interpretasi.
7. Observasi seharusnya dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan.
Dalam melakukan observasi sangat diharapkan observer berada pada posisi yang
cukup jelas untuk melihat apa yang ingin dilaporkan. Idealnya, observer mampu
melakukan observasi dalam waktu yang cukup tanpa halangan dan gangguan, serta
kondisi yang menyenangkan untuk melakukan observasi. Observer seharusnya
juga siap terhadap kemungkinan lain yang mungkin terjadi ketika seseorang
diamati memodifikasi perilakunya karena dia sadar bahwa dirinya sedang diamati.

L. Ringkasan dan Tugas Latihan

1. Ringkasan
1. Kemampuan untuk melakukan observasi secara benar dan baik sangat diperlukan
bagi konselor, guru, peneliti sosial dan pihak-pihak yang bergerak dalam
pelayanan kemanusiaan. Dengan kemampuan melakukan observasi secara baik
memungkinkan mereka bisa memahami individu yang hendak dibimbing, dididik
dan dilayaninya dengan sebaik-baiknya , dan pada akhirnya diharapkan bisa
memberikan pelayanan secara tepat.
2. Observasi adalah proses pengamatan yang disertai dengan pemusatan perhatian
terhadap suatu obyek dan gejala-gejala yang perlu diamati. Observasi harus
dilakukan secara sistematis dan bertujuan.
3. Ada beberapa bentuk observasi, (a) dilihat dari keterlibatan observer terhadap
kegiatan yang sedang dilakukan observee, observasi bisa dikelompokkan menjadi
observasi partisipan, non-partisipan, dan kuasi-partisipan, (b) dilihat dari kondisi
lingkungannya diciptaklan atau apa adanya, bisa dikelompokkan menjadi
observasi naturalistik, dan eksperimen, (c) dilihat dari tingkat kesempurnaan dan
latihan yang diperlukan, bisa dikelompokkan menjadi (1) tingkat pertama,
observasi informasi kausal, (2) tingkat kedua, observasi terstruktur, dan (3)
tingkat ketiga, observasi klinis; (c) dilihat dari tujuan lapangan, observasi
dibedakan menjadi (1) finding observation, dan (2) direct observation, (d)
khususnya observasi sistematis dibedakan menjadi (1) observasi naturalistic, (2)
survey, dan (3) eksperimentasi.
4. Ada beberapa kelemahan observasi, yaitu (1) berkaitan dengan keterbatasan
kemampuan manusia dalam menyimpan hasil pengamatan, (2) cara pandang
individu terhadap obyek yang sama belum tentu sama antara individu satu dengan
lainnya, (3) kesan individu terhadap obyek yang sama juga belum tentu sama,
akibatnya penafsirannya juga tidak sama, (4) kesan individu terhadap obyek sama
41

juga belum tentu sama dengan individu lainnya, (5) ada kecenderungan pada
manusia dalam menilai sesuatu hanya mendasarkan ciri-ciri yang menonjol,
akibatnya terjadi ”halo effect”. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut
bisa dimanfaatkan alat-alat bantu observasi seperti camera video, menetapkan
definisi operasional, menetapkan parameter yang jelas, melibatkan observer yang
lebih banyak, memanfaatkan metode lain dan sumber lain sebagai pelengkap, dan
mengupayakan agar subyek yang sedang diobservasi tidak tahu bahwa ia sedang
diobservasi.
5. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dan selama melakukan observasi,
yaitu tetapkan tujuan observasi, tetapkan fokus observasi dan materi observasi,
pastikan variabel dan sub varibel, serta indikatornya. Selama pelaksanaan
hendaknya menggunakan metode pelengkap, buat klasifikasi gejala, manfaatkan
alat pencatat data, jaga hubungan baik dengan observee, dan melibatkan beberapa
orang observer.
6. Ada beberapa persyaratan observer yang baik, (1) memiliki alat indra – utamanya
mata dan telinga -- yang baik , (2) memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
observasi, (3) selalu mengembangkan pengetahuan dan pengalaman melakukan
observasi yaitu dengan mendalami teori dan praktik lapangan, (4) bersikap netral,
bebas prasangka, dan tidak terlalu cepat mengambil simpulan, (5) selalu
perhatikan kesehatan jasmani dan rohani, (6) akan lebih bagus lagi jika observer
memahami latar belakang sosial-budaya dan agama observee, (7) selalu menjaga
hubungan baik dengan observee, dan (8) sesegera mungkin mencatat hasil
observasi.
7. Observasi sangat berguna bagi konselor utamanya (1) memperoleh gambaran,
pengetahuan, dan pemahaman tentang diri konseli; (2) bisa dijadikan alat kontrol
(triangulasi) terhadap kebenaran informasi yang disampaikan konseli, (3) bisa
dijadikan validasi terhadap informrasi yang disampaikan konseli, (4) untuk
menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui wawancara.
8. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam observasi konseling yaitu (1)
cara ndividu memasuki ruangan, (2) cara berjabat tangan, (3) cara duduk, (4) cara
berbicara dan nada suara, (5) bentuk perawakan dan tampilan pada umumnya, (6)
ekspresi wajah, (7) reaksi-reaksi emosional, dan (8) bahasa-bahasa non-verbal.
9. Sebelum melakukan observasi, seyogianya observer membuat panduan observasi
dengan dua cara (1) mendasarkan pengalaman, dan (2) mendasarkan konsep
teoretik yang dipandang telah mapan, yaitu dengan prosedur (a) tetapkan tujuan
observasi, (b) pastikan fokus/aspek/materi obervasi, (c) baca literatur dan atau
manfaatkan pengalaman untuk (d) menemukan penjelasan tentang konsep,
variabel, sub variabel, dan indikator, (e) jabarkan menjadi item-item observasi.
10. Dalam melakukan analisis selama dan setelah observasi disarankan, (1)
mengamati satu klien dalam satu waktu, (2) ada kriteria yang spesifik untuk
melakukan observasi, (3) observasi seharusnya dilakukan tanpa batas waktu, (4)
konseli seharusnya diamati dalam situasi yang natural dan berbeda, (5) mengamati
klien dalam konteks semua situasi atau situasi total, (6) data dari observasi
seharusnya digabugnkan dengan data yang lain, dan (7) observasi seharusnya
dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan

2. Tugas-tugas latihan
a. Lakukan pengamatan terhadap guru BK di SMTP dan SMTA sekolah asal
saudara, apa yang biasa beliau lakukan sebelum memberikan layanan bimbingan
42

kepada murid. Sesudah itu, tanyakan pula kepada Bapak/Ibu guru saudara
mengapa beliau melakukan hal itu?
b. Datanglah ke suatu sekolah secara berkelompok 4 hinga lima orang, lakukan
pengamatan terhadap kegiatan siswa selama waktu istirahat, lakukan pula
pencatatan hal-hal yang saudara pandang perlu. Catatlah apa saja akibatnya jika
observasi tidak dilakukan tidak sistematis dan tidak dengan tujuan yang jelas?
c. lakukan observasi non-partisipan terhadap sejumlah siswa yang sedang belajar
kelompok. Catatlah hal-hal berikut :
1) Apa reaksi siswa ketika mereka mengetahui bahwa mereka sedang saudara
amati?
2) Apa yang seyogianya dilakukan observer agar perilaku siswa selalu wajar atau
tidak di buat-buat?
d. Lakukan pula observasi eksperimental dengan tujuan untuk mengetahui apa yang
biasa dilakukan siswa ketika guru yang dijadwalkan tidak bisa hadir, sementara
mereka ditugasi untuk mencatat?
e. Anggap saja saudara akan melaksanakan tugas praktek lapangan, lakukan finding
observation, yang akan menjadi pertimbangan saudara dalam menyusun program
kerja bimbingan selama parktek pengalaman lapangan.
f. Buatlah panduan observasi dengan tujuan ingin mengetahui tanggapan siswa
terhadap guru yang baru melaksanakan tugas kurang dari satu tahun!

3.2 Daftar Cek dan Daftar Cek Masalah


3.2.1 Pengertian Daftar Cek (checklist)
Gibson (1995 : 265) memandang daftar cek (rating scale) sebagaimana tersirat
dari nama itu, adalah skala untuk mengukur setiap karakteristik atau aktivitas dari
seseorang yang ingin diamati. Aiken (1996 : 12) memandang daftar cek sebagai bentuk
instrumen psikometrik yang paling sederhana, yang berisi kata-kata, kalimat, atau
pernyataan-pernyataan yang berisi kegiatan-kegiatan atau pikiran-pikiran atau kegiatan
individu yang sedang menjadi fokus perhatian atau sedang diamati.
Dengan daftar cek memungkinkan pengamat meneliti seseorang secara sistematis
dan obyektif dan merekam hasil observasi tersebut secara cepat. Walaupun skala
seperti itu tidak dibatasi untuk mencatat hasil observasi, tetapi skala itulah yang
merupakan instrumen paling sering digunakan sebagai alat bantu observasi. Gibson
(1995 : 265) memandang daftar cek telah lama digunakan sebagai instrumen observasi
oleh para konselor. Daftar cek secara spesifik terfokus pada karakteristik,
meningkatkan obyektifitas pengukur, dan memberikan komparabilitas sesama
pengamat terhadap observasi yang dilakukan, dan daftar ini lebih mudah digunakan.

3.2.2 Manfaat Daftar Cek


Daftar cek bisa dimanfaatkan untuk (a) menggambarkan atau mengevaluasi
seseorang, obyek, atau peristiwa tertentu, (b) menemukan faktor-faktor yang relevan
dengan masalah yang sedang menjadi pusat perhatian, (c) pencatatan lebih rinci dan
sistematis terhadap faktor-faktor yang sedang diteliti. Daftar cek ini sangat praktis
karena responden dalam memberikan jawaban cukup dengan cara memberi cek (V)
dalam memberikan gambaran tentang aspek tertentu yang paling sesuai dengan kondisi
dirinya. Sebagai alat bantu observasi, daftar cek juga sangat membantu observer dalam
melakukan pencatatan terhadap hasil observasi secara mudah dan akurat.
Daftar cek juga memiliki beberapa kelebihan antara lain (a) efisien, karena
dengan daftar cek -- termasuk di dalamnya DCM -- dapat diperoleh banyak data
tentang masalah dan kebutuhan siswa dalam waktu singkat., (b) intensif, karena data
43

problem yang diperoleh melalui DCM lebih teliti, mendalam dan luas. Data semacam
ini kurang dapat diperoleh melalui teknik lain seperti observasi, autobiografi, dan
wawancara, (c) valid dan reliabel, antara lain karena individu yang bersangkutan
mengecek sendiri masalah yang sedang ia alami, disamping jumlah item kemungkinan
masalah yang cukup banyak

3.2.3 Fungsi Daftar Cek


Sebagai alat bantu observasi, daftar cek berfungsi sebagai (a) alat pencatat hasil
observasi, meski akhir-akhir ini pencatatan juga bisa dilakukan dengan alat-alat
elektronik, tetapi pencatatan dengan memanfaatan daftar cek ini masih sangat
diperlukan lantaran tidak semua tempat tersedia fasilitas penunjang penggunaan alat-
alat elektronik (misal : belum adanya tenaga listrik, atau listrik sedang padam, atau
batrey yang disiapkan sedang habis) (b) memudahkan individu mengemukakan
masalah yang pernah dan sedang dihadapi. Dengan daftar cek masalah memungkinkan
individu mengingat kembali masalah-masalah yang pernah dialaminya, (c) untuk
sistematisasi jenis masalah yang ada pada individu agar memudahkan analisis dan
sintesis dengan data yang diperoleh dengan cara/alat lain, (d) untuk menyarankan
suatu preoritas program pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan masalah
individu maupun kelompok saat itu.
Daftar cek juga bisa dimanfaatkan alat pencatat bagi pengamatan terhadap diri
sendiri. Dalam penggunaan seperti ini, daftar cek berfungsi sebagai teknik melaporkan
diri sendiri atau lazim dikenal dengan istilah ”inventori”. Daftar cek berfungsi pula
sebagai alat untuk menilai diri sendiri. Individu berperan sebagai pemotret dan
sekaligus suyek yang dipotret. Di samping itu juga bermanfaat untuk melengkapi data
yang sudah ada, dan mengenal individu yang perlu segera mendapat layanan
bimbingan.

3.2.4 Ciri-ciri Daftar Cek Yang Baik


Ada beberapa ciri daftar cek yang baik sehingga memungkinkan daftar cek dapat
difungsikan sebagai alat pencatat yang baik atas hasil observasi, dan sekaligus sebagai
alat pengumpul data. Ciri-ciri daftar cek yang baik adalah (a) sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan, (b) direncanakan secara sistematis, (c) berupa format yang baik
dan praktis, (d) hasil pengecekan dioleh sesuai tujuan, (d) dapat diperiksa validitas,
reliabilitas, dan ketelitiannya, (e) bersifat kuantitatif.
Aiken R.L. (1996 : 203) menambahkan ciri-ciri daftar cek yang baik adalah
efisien, obyektif, komperhensif, dan bisa diadministrasikan secara mudah oleh
individu sendiri, orang tua atau guru. Item-itemnya mencakup problem dan
karakteristik yang cukup luas. Jika daftar cek itu dipersiapkan untuk tujuan khusus
(misal : penelitian), maka item-itemnya harus bisa mewakili variabel atau sub variabel
yang hendak diteliti.

3.2.5 Macam-macam Daftar Cek


Bertolak dari penggunaannya, terdapat beberapa macam daftar cek yang lazim
digunakan yaitu (1) daftar cek perorangan, (2) daftar cek kelompok, (3) daftar cek
dalam skala penilaian, (4) daftar cek masalah. (. Aiken (1996 : 211) menunjukkan pula
44

dalam kaitannya dengan instrumen kepribadian, ada pula daftar cek yang terstandar
dan tidak standar. Di bawah ini disajikan beberapa contoh empat macam daftar cek
yang pertama, yaitu :

3.2.6 Daftar Cek Perorangan


Daftar cek perorangan adalah daftar cek yang digunakan sebagai alat bantu ketika
mengobservasi seseorang. Bentuk daftar cek perorangan adalah sebagai berikut :

N a m a : .................
(plus identitas lain yang dipandang perlu)
No Aspek/Kegiatan Cek
1 Datang sekolah tepat waktu V
2 Mandiri V
3 Kerja sama dengan teman V
4 Tangung jawab -
5 Dan lain sebagainya

3.2.7 Daftar Cek kelompok


Jika daftar cek itu dignakan sebagai alat bantu observasi individu dalam
jumlah banyak (kelompok) maka bentuknya bisa dikembangkan menjadi berikut :
Aspek
No Nama A B C D E F G dst
01
02
03
04
05
06
07

Keterangan :
Tujuan observasi : (misal) ingin mengetahui bagaimana perhatian siswa kelas X
terhadap pelajaran Y

Kode aspek yang diobservasi :


A : selalu mengikuti pelajaran sesuai jadwal yang ditetapkan.
B : perhatian ketika guru menjelaskan di depan kelas.
C : bertanya kepada guru ketika ada hal-hal yang kurang difahami.
D : bertanya kepada teman yang dipandang lebih memahami.
E : rajin mencari bahan-bahan pengayaan.
F : rajin mencoba soal-soal atau latihan.
G : memiliki peralatan belajar dengan lengkap.
dan seterusnya

3.2.8 Daftar Cek dalam Skala Penilaian


Daftar cek juga mungkin digunakan dalam skala penilaian terhadap diri
sendiri atau orang lain, bentuk ini juga sering digunakan sebagai instrumen skala
psikologis (periksa bagian III lampiran 5.1)
45

3.2.9 Daftar Cek Masalah (DCM)


1. Pengertian dan Kegunaan
Daftar cek masalah adalah daftar yang berisi sejumlah kemungkinan masalah
yang pernah atau sedang dihadapi oleh individu atau sekelompok individu. Daftar
cek yang digunakan untuk mengungkapkan masalah lazim dikenal dengan sebutan
”Daftar Cak Masalah” (DCM). Contoh selengkapnya disajikan pada bagian III
lampiran 5.2
Daftar cek masalah berfungsi untuk (a) membantu individu menyatakan
masalah yang pernah dan atau sedang dihadapi, (b) mensisitemtisasi masalah yang
dihadapi individu atau kelompok, dan (c) memudahkan analisis dan pengambilan
keputusan dalam penyusunan program bimbingan lantaran jelas mana masalah
yang menonjol dan perlu mendapat preoritas, (d) memberi kemudahan bagi
konselor dalam menetapkan individu-individu yang perlu mendapat perhatian
khusus.

2. Petunjuk Pengadministrasian DCM


Agar penggunaan DCM bisa memperoleh hasil sesuai yang direncanakan,
maka perlu difahami petunjuk pelaksanaan dan cara mengerjakan DCM. Petunjuk
yang harus diperhatikan itu meliputi petunjuk bagi instruktur dan petunjuk bagi
siswa.

1) Petunjuk bagi instruktur (guru)


Pada saat persiapan :
(1) Ciptakan ruangan yang kondusif : bersih, penerangan dan udara cukup, jauh dari
kebisingan, dan singkirkan benda-benda yang dipandang bisa mengganggu
konsentrasi siswa.
(2) Periksa lembar DCM, apakah jumlahnya sesuai dengan jumlah siswa, periksa
pula catatan-catatan yang mungkin ada dari penggunaan sebelumnya agar tidak
mengganggu pilihan siswa,
(3) Kuasai benar petunjuk pelaksanannya, dan upayakan semaksimal mungkin agar
instruktur bisa melihat dan mengawasi seluruh ruangan.

Pada saat pelaksanaan :


(1) Ciptakan hubungan yang hangat dengan siswa, dan hindarkan situasi yang
mengancam.
(2) Jelaskan tujuan pengisian DCM utamanya bagi kepentingan siswa. Hal ini
penting dilakukan untuk menimbulkan kepercayaan dan motivasi siswa dalam
mengerjakan DCM.
(3) Perintahkan siswa agar mengeluarkan alat tulis
(4) Bagikan lembar jawab dan bendel DCM dengan tertib.
(5) Dalam hal bendel DCM dibagikan kepada semua siswa, bacakan petunjuk
mengerjakan secara perlahan-perlahan dan berikan penekanan pada hal-hal yang
dipandang sangat penting, misalnya (1) ”Tidak ada jawaban yang benar atau
salah, yang ada adalah sesuai atau tidak sesuai dengan diri siswa”. dan (2)
”Jawaban saudara bersifat pribadi dan dijamin kerahasiaannya, oleh sebab itu
saudara diminta menjawab dengan sejujur-jujurnya sesuai keadaan yang
46

sebenarnya”. Dua kalimat ini dipandang penting untuk mendorong siswa agar
melaporkan diri sesuai apa adanya, bukan melirik pekerjaan temannya, dan tanpa
rasa khawatir akan mengganggu nilai raportnya.
(6) Dalam kondisi yang dinilai kurang menguntungkan (misal : sulit dihindari kerja
sama yang mengakibatkan datanya kurang akurat), instruktur bisa saja tidak
membagikan bendel DCM, tetapi cukup didektekan dengan suara yang jelas
dalam waktu terbatas. Dengan demikian kesempatan siswa untuk melirik
pekerjaan teman bisa dihindari. Namun demikian petunjuk mengerjakan tetap
harus dibacakan secara jelas.
(7) Tegaskan bahwa jawaban dituliskan pada lembar jawab yang disediakan, bukan
di bendel DCM. Bendel DCM harus kembali dalam keadaan bersih tanpa coretan
apapun. Cara mengerjakanya adalah dengan cara memberi cek (V), bukan
disilang dan bukan pula dilingkari.
(8) Instruksikan kepada siswa untuk menulis identitas yang diminta dan tanggal
pelaksanaan DCM.
(9) Instruksikan siswa untuk mengerjakan DCM, ingatkan pula agar para siswa
mengerjakan dengan tenang dan teliti.
(10) Lakukan pula pengecekan apakah para siswa telah mengerjakan DCM
dengan benar.
(11) Setelah waktu yang ditetapkan selesai, kumpulkan lembar jawab siswa, dan
lakukan pengecekan apakah jumlah lembar jawab sudah sesuai dengan jumlah
siswa.

Petunjuk bagi siswa


Beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh siswa, yaitu:
(1) Siswa harus mempunyai minat dan kemauan untuk mengutarakan masalah yang
sebenarnya.
(2) Siswa harus menyadari bahwa jika ia mengerjakan tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya atau asal mengisi, maka hanya akan merugikan dirinya sendiri.
(3) Siswa harus mematuhi cara mengerjakan DCM sesuai petunjuk instruktur atau
guru.

Analisis DCM
Setelah semua pekerjaan siswa dikumpulkan, tugas konselor selanjutnya
adalah menganalisis pekerjaan itu. Analisis ini meliputi analisis individual dan
analisis kelompok.
1. Analisis Individual
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melakukan analisis
individual (per siswa) ini adalah:
(1) Menjumlahkan butir (item) yang menjadi masalah individu pada tiap-tiap topik
masalah.
(2) Mencari presentasi per -topik masalah, dengan cara mencari rasio antara jumlah
butir yang menjadi masalah (butir masalah yang dicek) dengan jumlah butir
topic masalah.

atau nm
n x 100
%
dengan keterangan:
47

nm = jumlah butir yang menjadi masalah pada satu topik


masalah.
n = jumlah butir pada topik masalah itu.

(3) Mencari jenjang (ranking) masalah, dengan cara mengurutkan % topik masalah
mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil.
(4) Mengkonversikan % masalah ke dalam stan-ten scale dan predikat nilai A, B,
C, D dan E. Konversi harga itu, sebagai berikut:
0% = 10 = A (baik)
1 % - 10 % = 8 = B (cukup baik)
11 % - 25 % = 6 = C (cukup)
26 % - 50% = 4 = D (kurang)
51 % - 100 % = 2 = E (kurang sekali)

Contoh:
Ali mencek 6 butir masalah keluarga, sedangkan jumlah semua
topik keluarga ialah 30, maka persentase masalah keluarga Ali adalah:
nm 6
n x 100% = 30 x 100% = 20 %
Jadi predikat hubungan keluarga Ali adalah: C (cukup)

2. Analisis Kelompok
Langkah-langkah menganalisis secara kelompok meliputi analisis per butir dan
analisis per topik masalah. Kedua analisis tersebut dijelaskan berikut :

1) Analisis per butir masalah


Analisis ini bertujuan untuk mengetahui butir masalah apa yang pada
umumnya dihadapi oleh siswa. Langkah-langkah analisis adalah berikut:
(1) Menjumlahkan banyaknya siswa yang mempunyai butir masalah yang sama
untuk tiap butir.
(2) Mencari % masalah dengan cara mencari rasio antara banyak siswa yang
bermasalah untuk butir tertentu dengan jumlah siswa,
Apabila dinyatakan dalam rumus, ialah:

mm
m x 100%

dengan keterangan
mm = banyak siswa yang bermasalah untuk butir tertentu.
m = banyak siswa yang mengerjakan DCM

Contoh:
30 orang siswa bermasalah untuk butir nomor 65, siswa yang ikut
mengerjakan DCM adalah 120 orang.
mm 30
m x 100 % = 120 x 100 % = 25 %
Maka predikat permasalahan butir ini bagi para siswa adalah C (cukup)
48

2) Analisis per- topik masalah


Analisis ini bertujuan untuk mengetahui topik masalah apa yang pada
umumnya dihadapi oleh siswa.
Langkah-langkah dalam menganalisis adalah sebagai berikut:
(1) Cari jumlah siswa yang ikut mengerjakan DCM.
(2) Cari jumlah butir yang menjadi masalah siswa.
(3) Cari jumlah siswa yang mempunyai masalah.
(4) Persentase adalah rasio antara jumlah butir masalah kali jumlah siswa yang
bermasalah dengan jumlah butir dalam topik masalah, kali jumlah peserta.
Atau dengan rumus:
NmxMn
NxM x 100%

dengan keterangan:
Nm = jumlah butir masalah
Mn = jumlah siswa yang mempunyai masalah
N = jumlah butir dalam topik masalah
M = jumlah siswa (peserta)

3) Masalah individual
Dari penjumlahan tiap butir masalah, sering dijumpai masalah yang hanya
dialami oleh 1 orang. Individu ini dicatatat sebagai individu yang mempunyai
masalah khusus.
4) Penyajian Hasil Analisis DCM
Agar hasil DCM bisa dibaca secara cepat dan bisa difahami secara mudah oleh
setiap penggunanya, bisa disajikan dalam bentuk –bentuk di bawah ini
5) Penyajian individual
STATUS
No. Masalah
-- - 0 + ++
1. Hubungan keluarga E D C B A
2. Hubungan dengan teman E D C B A
3. Hubungan dengan pelajaran E D C B A
4. Hubungan dengan guru E D C B A
5 Kesehatan E D D B A
6 Hobi E D D B A
7 Berhubungan denganAgama E D D B A

6) Penyajian kelompok
49

90
80
70
60
50 Pribadi
40 Keluarga
Sosial
30
20
10
0
1a 1b 1c 1d

7) Penyajian Per-Individu Per-Topik Masalah

TABEL ISIAN
PER-INDIVIDU PER- TOPIK MASALAH

No L/P MASALAH Mn Nm % Pred


Abs A B C D E F G
1 L 7 3 15 3 2 3 6 39 207 19 C
2 L 7 10 14 3 4 1 10 49 207 24 C
3 L 11 9 6 5 0 0 4 35 207 17 C
4 P 19 30 16 7 15 8 9 104 207 50 D
5 L 9 12 9 6 1 0 5 42 207 20 C
6 L 6 15 16 6 10 9 9 71 207 34 D
7 P 14 20 29 8 1 4 11 87 207 41 D
8 L 19 21 10 3 4 3 6 66 207 32 D
9 L 4 1 2 0 1 1 2 11 207 5 B
10 P 10 9 6 4 2 2 8 41 207 20 C
11 L 9 4 19 4 3 0 8 47 207 23 C
12 L 7 4 3 2 3 0 0 19 207 8 B
13 P 8 15 10 3 8 4 9 57 207 28 D
14 P 6 9 16 1 7 1 9 49 207 24 C
15 L 7 2 8 4 3 0 1 25 207 12 C
16 P 6 13 4 3 9 0 3 38 207 18 C
17 L 6 2 6 0 2 2 10 28 207 14 C
18 L 11 0 10 5 8 4 6 44 207 21 C
19 L 13 5 13 3 5 4 5 48 207 23 C
20 L 5 0 4 0 2 0 1 12 207 6 B
21 P 10 11 11 2 7 2 10 53 207 26 D
22 L 11 7 5 0 0 0 15 38 207 18 C
50

23 P 6 10 14 0 5 1 5 41 207 20 C
24 P 5 4 1 0 1 4 2 17 207 8 B
25 L 1 4 0 1 0 0 0 6 207 3 B
26 L 19 15 10 7 1 2 0 54 207 26 D
27 L 8 15 3 3 3 1 3 36 207 17 C
28 P 13 7 14 1 3 5 9 52 207 25 C
29 P 17 18 28 7 1 4 12 87 207 42 D
30 L 18 4 6 1 1 0 2 32 207 15 C
31 P 11 12 6 5 3 0 5 42 207 20 C
32 P 9 14 7 0 7 1 5 43 207 21 C
33 P 6 24 17 7 6 6 9 75 207 36 D
34 L 11 2 6 0 2 1 10 32 207 15 C
35 P 13 4 12 4 7 1 9 50 207 24 C
36 L 10 7 15 7 2 0 7 48 207 23 C
37 P 6 4 2 2 0 1 5 20 207 4 B
358 346 374 117 138 75 229

Keterangan:
A : Masalah yang berhubungan dengan keluarga
B : Masalah yang berhubungan dengan teman
C : Masalah yang berhubungan dengan pelajaran
D : Masalah yang berhubungan dengan guru
E : Masalah yang berhubungan dengan kesehatan
F : Masalah yang berhubungan dengan hobi
G : Masalah yang berhubungan dengan agama

G. Ringkasan danTugas-tugas Latihan


1. Ringkasan
a. Daftar cek dipandang sebagai instrumen psikometrik yang paling sederhana, yang
berisi kata-kata, kalimat, atau pernyataan-pernyataan yang berisi kegiatan-kegiatan
atau pikiran-pikiran atau kegiatan individu yang sedang menjadi fokus perhatian
atau sedang diamati. Dengan daftar cek memungkinkan pengamat meneliti
seseorang secara sistematis dan obyektif dan merekam hasil observasi tersebut
secara cepat.
b. Daftar juga cek bisa dimanfaatkan untuk (1) menggambarkan atau mengevaluasi
seseorang, obyek, atau peristiwa tertentu, (2) menemukan faktor-faktor yang
relevan dengan masalah yang sedang menjadi pusat perhatian, dan (3) pencatatan
lebih rinci dan sistematis terhadap faktor-faktor yang sedang diteliti.

c. Daftar Cek berfungsi sebagai (1) alat pencatat hasil observasi, (2) memudahkan
individu mengemukakan masalah yang pernah dan sedang dihadapi. Yaitu dengan
mengingat kembali masalah-masalah yang pernah dialaminya, (3) untuk
sistematisasi jenis masalah yang ada pada individu agar memudahkan analisis dan
sintesis dengan data yang diperoleh dengan cara/alat lain, (4) untuk menyarankan
suatu preoritas program pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan
masalah individu maupun kelompok saat itu.
d. Beberapa ciri daftar cek yang baik adalah (1) sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan, (2) direncanakan secara sistematis, (3) berupa format yang baik dan
51

praktis, (d) hasil pengecekan diolah sesuai tujuan, (4) dapat diperiksa validitas,
reliabilitas, dan ketelitiannya, (5) bersifat kuantitatif, (6) efisien, obyektif,
komperhensif, dan (7) bisa diadministrasikan secara mudah oleh individu sendiri,
orang tua atau guru, serta (8) Item-itemnya mencakup problem dan karakteristik
yang cukup luas
e. Beberapa macam daftar cek yang lazim digunakan yaitu (1) daftar cek perorangan,
(2) daftar cek kelompok, (3) daftar cek dalam skala penilaian, (4) daftar cek
masalah, dan (5) dalam kaitannya dengan kepribadian, ada daftar cek terstandar
dan tidak terstandar.
f. Analisis hasil DCM bisa dilakukan dengan (1) analisis individual, (b) analisis
kelompok, analisis kelompok bisa dilakukan dengan analisis per-butir masalah,
dan analisis per-topik masalah. Demikian pula penyajian hasilnya, juga bisa
disajikan dengan bentuk (1) sajian individual, (2) sajian kelompok, dan (3) sajian
per-individu per-topik masalah

2. Tugas-tugas Latihan
1. Susunlah daftar cek dengan keterangan sebagai berikut :
a. Tujuan penyusunan daftar cek adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat
pemenuhan kebutuhan siswa. Subyek yang hendak diteliti adalah siswa
SMTP kelas 1
b. Lakukan analisis individual, kebutuhan mana yang paling menonjol belum
terpenuhi, dan kebutuhan mana yang khas pada siswa tertentu sehingga jelas
kebutuhan mana yang perlu segera mendapat preoritas dalam program
bimbingan di sekolah
2. Sebarkan daftar cek yang telah saudara susun kepada sekurang-kurangnya 30
orang siswa. Lakukan analisis individual dan kelompok, kemudian laporkan
pula dalam bentuk sajian individual, kelompok, per-individu, dan per-topik
masalah

3.3 Interviu atau Wawancara


3.3.1 Pengertian Interview atau Wawancara
Interviu dipandang sebagai teknik pengumpulan data dengan cara tanya- jawab
lisan yang dilakukan secara sistematis guna mencapai tujuan penelitian. Pada
umumnya interviu dilakukan oleh dua orang atau lebih, satu pihak sebagai pencari data
(interviewer) pihak yang lain sebagai sumber data (interviewee) dengan memanfaatkan
saluran-saluran komunikasi secara wajar dan lancar.
Sebagai pemburu informasi, interviewer mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
menilai jawaban-jawaban, meminta penjelasan, melakukan paraprase, mencatat atau
mengingat-ingat jawaban, dan melakukan penggalian keterangan lebih dalam
(prodding) jawaban-jawaban dari interviewee. Di sisi lain, sebagai informan atau
sumber data, interviewee menjawab pertanyaan-pertanyan, memberikan penjelasan-
penjelasan, dan kadang-kadang juga membalas mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada interviewer. Adanya dua pihak yang kedudukannya tidak sama itu menjadi
pembeda antara metode interviu dengan diskusi. Hubungan antara interviewer dengan
interviewee adalah hubungan sepihak, bukan hubungan yang timbal balik.
Gall dkk (2003 : 222 membandingkan interviu dengan kuesioner, interviu berisi
pertanyaan-pertanyaan lisan yang ditanyakan oleh interviwer dan dijawab oleh
52

interviwi, sedang kuesioner dalam bentuk tertulis; intervieu berhubungan dengan


manusia secara individual, --namun demikian dalam perkembangannya juga bisa
dilalkukan untuk kelompok --, sedang pada kuesioner untuk responden dalam jumlah
banyak; responden dalam interviu menjawab dalam bahasa mereka sendiri, sedang
dalam kuesioner jawaban responden kadang sudah disiapkan oleh peneliti; interviu
bisa dimanfaatkan untuk menggali tentang keyakinan, sikap, dan pengalaman interviwi
secara mendalam, sedang kuesioner hanya bersifat kulit luar

3.3.2 Manfaat dan Fungsi Interviu


Meskipun metode ini dipandang kurang tepat untuk meneliti reaksi-reaksi
seseorang dalam bentuk perbuatan, namun dipandang tepat untuk meneliti aksi-rekasi
orang dalam bentuk pembicaraan ketika tanya-jawab sedang berlangsung. Sutrisno
Hadi (2004, II) memandang interviu sebagai metode yang baik untuk mengetahui
tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, dan proyeksi seseorang tentang
masa depannya. Metode ini dipandang baik untuk menggali masa lalu seseorang serta
rahasia-rahasia kehidupannya. Interviu dipandang sebagai metode tanya-jawab untuk
menyelidiki pengalaman, perasaan, motif, serta motivasi rakyat. Bagi interviewer yang
mahir, intervieu bisa dimanfaatkan sekaligus untuk mengecek kebenaran jawaban-
jawaban yang diberikan oleh interviewee.
Intervieu bisa difungsikan sebagai metode primer, metode pelengkap, dan
sebagai kriterium. Bila intervieu dijadikan sebagai satu-satu alat pengumpul data, atau
sebagai metode utama dalam pengumpulan data, maka metode ini berfungsi sebagai
metode primer. Sebaliknya jika ia difungsikan sebagai alat untuk mengumpulkan data
yang tidak bisa dilakukan dengan metode lain, maka posisinya pada kasus ini adalah
sebagai metode pelengkap. Namun demikian, pada saat-saat tertentu, metode interviu
juga digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan data yang telah diperoleh
dengan cara lain – seperti metode tes, kuesioner, dan sebagainya --, dalam kasus
seperti ini metode interviu difungsikan sebagai batu-pengukur atau kriterium.
Jika metode ini digunakan sebagai kriterium, maka interviu harus dilakukan
dengan penuh ketelitian, tidak tergesa-gesa, dan dengan persiapan yang matang. Sebab
pengcekan kebenaran dan kemantapan suatu datum bukanlah sekedar untuk memenuhi
persyaratan formal metodologis, melainkan mendasarkan pada prinsip hakiki dari suatu
penelitian ilmiah yang dimaksudkan untuk menghasilkan temuan ilmiah. Namun
demikian tidak berarti bahwa fungsi yang satu lebih tinggi dari fungsi yang lain,
sebagai metode primer ia mengemban tugas yang amat penting, sebagai metode
pelengkap ia menjadi sumber informasi yang sangat berharga. Bertolak dari tiga fungsi
ini, maka metode interviu dipandang sebagai metode yang serba guna.

3.3.3 Kelebihan dan Kekurangan Interviu


Sutrisno Hadi (2004, II) dan Gall (2003 : 222-23) mencatat beberapa
kelebihan dan kekurangan interviu --sebagai metode pengumpul data – disarikan
berikut :
1. Kelebihan-kelebihan interviu
(1) Sebagai salah satu metode yang terbaik untuk menilai keadaan pribadi. Bila
dibandingkan dengan metode observasi, metode ini lebih mampu mengungkap
gejala-gejala psikis yang mendasari perilaku individu yang nampak seperti
motiv-motiv, perasaan, pemahaman, persepsi, dan proyeksi seseorang tentang
masa depannya.
53

(2) Tidak dibatasi oleh tingkatan umur dan tingkatan pendidikan subyek yang
sedang diselidiki. Terhadap individu usia berapapun, asal ia mampu berbicara
dan mampu memahami pertanyaan yang diajukan interviewee, maka intervieu
bisa dilakukan. Namun demikian dalam kedaan tertentu (misal : interviewee
katakutan karena berhadapan dengan orang asing, atau tidak memahami bahasa
yang digunakan interviewer, maka bisa dimanfaatkan pendamping yang bisa
membantu menciptakan rasa aman bagi interviewee dan sekaligus penterjemah.
(3) Dalam riset-riset sosial, metode ini hampir tidak bisa ditinggalkan sebagai
metode pelengkap, bahkan dalam beberapa kasus difungsikan sebagai metode
utama (primer). Hal ini adalah sangat wajar, mengingat dalam penelitian sosial
lazim mengungkap masalah-masalah yang berhubungan dengan tanggapan,
pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, dan proyeksi seseorang tentang masa
depannya. Sedang yang lebih mengetahui tentang hal tanggapan, pendapat,
keyakinan, perasaan, motivasi, dan proyeksi seseorang seseorang adalah orang
itu sendiri.
(4) Dengan unsur fleksibelitas/keluwesan yang dikandungnya, ia cocok sekali untuk
digunakan sebagai alat verivikasi (kriterium) terhadap data yang diperoleh
dengan cara observasi, kuesioner dan lain-lain. Metode ini bisa digunakan
kepada interviewee yang masih buta huruf, dewasa, dan atau kanak-kanak. Di
samping itu, metode ini bisa digunakan sekaligus untuk mengecek kebenaran
jawaban interviewee dengan mengajukan pertanyaan lebih jauh, mengamati
bahasa tubuh dan atau realitas yang ada pada subyek yang diinterviu. Misal :
seorang interviewee dengan pakaian bersih dan rapi, ketika ditanya mengaku
sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di suatu pripinsi, tetapi
ketika ditanya fakultas, jurusan, dan angkatan tahun berapa dia tidak bisa
menjawab. Belakangan diketahui ternyata ia seorang karyawan pabrik yang
sedang di-PHK, sementara sedang mencari pekerjaan.
(5) Dapat diselengarakan sambil mengadakan observasi. Tidak semua data bisa
digali dengan metode observasi, misalnya seorang konselor melakukan observasi
di depan pintu gerbang untuk mengetahui siapa-siapa di antara siswa yang rajin
dan siapa pula sering terlambat sekolah. Sekedar untuk mengetahui siapa-siapa
yang rajin dan terlambat datang ke sekolah bisa dilakukan dengan cara observasi,
tetapi ketika ingin mengetahui mengapa ia terlambat atau mengapa pula ada
siswa yang rajin, maka perlu digali dengan metode observasi.

2. Kekurangan-kekurangan interviu
(1) Tidak cukup efisien, karena penggunaan metode ini membutuhkan waktu,
tenaga, dan biaya yang lebih banyak. Untuk mengatasi kelemahan ini bisa
dilakukan penambahan jumlah interviewer yang terlatih, dan pedoman observasi
yang mudah digunakan.
(2) Tergantung pada kesediaan, kemampuan, dan waktu yang tepat dari interviwi,
sehingga informasi tidak dapat diperoleh dengan seteliti-telitinya. Untuk
mengatasi kelemahan ini, maka diseyogiakan sebelum melakukan interviu
kepada pihak tertentu dilakukan kesepakatan terlebih dahulu tentang materi
interviu, tempat dan waktu. Dengan demikian diharapkan kedatangan interviewer
bisa disambut dengan baik lantaran sudah ada kesepakatan sebelumnya.
(3) Jalan dan isi interviu sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sekitar
yang memberikan tekanan-tekanan yang mengganggu. Untuk mengatasi masalah
ini, konselor atau peneliti bisa memeberi tahukan sebelumnya tentang maksud
54

dan tujuan interviu, dan menjelaskan pula arti pentingnya informasi yang
disampaikan oleh interviewer.
(4) Membutuhkan interviewer yang benar-benar menguasai bahasa interviewee. Bagi
orang-orang yang masih ”asing” amat sulit menggunakan interviu sebagai
metode penelitian. Untuk mengatasi masalah ini, maka dalam penambahan
anggota peneliti seyogianya memperhatikan penguasaan bahasa dan budaya
masyarakat di mana interviewee hidup dan dibesarkan.
(5) Jika pendekatan ”sahabat-karib” dilaksanakan untuk meneliti masyarakat yang
sangat hetrogen, maka diperlukan interviewer yang cukup banyak. Misalnya jika
masyarakat yang diteliti dari bebeberapa kelompok yang saling bertentangan,
maka diperlukan interviewer yang masing-masing melayani satu golongan.
Untuk mengatasi masalah ini, diseyogiakan interviewer lebih adaptable terhadap
hal-hal yang bersifat khas pada interviewer, kemudian berupaya sekuat tenaga
untuk menghormatinya.
(6) Sulit untuk menciptakan situasi yang terstandar sehingga kehadiran interviwer
tidak mempengaruhi responden dalam memberikan jawaban. Di sisi lain, dalam
interviu sulit dihindari responden tidak mencantumkan jati dirinya, atau
responden harus mencantumkan identitasnya untuk kepentingan analisis dan
laporan hasil interviu. Untuk mengatasi kelemahan ini, diseyogiakan agar
interviewer menciptakan hubugan baik sebelumnya agar interviwi merasa aman,
dan jika dipandang mengganggu sebaiknya identitas responden dalam laporan
diubah dengan nama samaran, meski identitas aslinya tetap harus disimpan oleh
interviewer.

3.3.4 Kategori-kategori Pernyataan


Dalam interviu, reaksi-reaksi interviwer baik berupa pernyataan, pertanyaan
atau jawaban interviwer digolongkan ke dalam beberapa kategori berikut :
1. E-ex : eksplorasi di luar kader referensi subyek, yaitu interviwer
menanyakan hal-hal baru yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan apa yang
dikatakan interviwi. Interviwer bertanya tanpa memperhitungkan jalan pikiran
interviwi.
Contoh : Itee5 : “Saya sangat senang melihat film-film Kungfu”
Iter6 : “Siapa teman akrab anda di sekolah?”
2. E-in : eksplorasi di dalam kader referensi subyek
Interviwer menanyakan lebih lanjut atau meminta interviwi untuk memberikan
penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas atau membingungkan.
Contoh: Itee : “Saya senang nonton film-film detektif”
Iter : “Bisa anda terangkan lebih lanjut?”
3. Ev. (Evaluasi, penilaian)
Pernyataan Iinterviwer bersifat menilai pendapat interviwi, Interviwer memberikan
penilaian terhadap tingkah laku, pernyataan atau situasi dari Interviwi. Sikap
menilai ini juga tampak dari keraguan terhadap kebenaran pendapat atau tingkah
laku interviwi.
Contoh : Itee : “Film-film TV yang bagus hanya diputar pada malam hari”
Iter : “Benar begitu? Sore hari juga banyak yang bagus.”
4. A (Asumsi)

5
Itee = interviwi atau individu yang diinterviu
6
Iter = individu yang melakukan interviu atau pewawancara
55

Pra anggapan atau pra duga dan pernyataan yang mendahului (antisipasi).
Interviwer menyimpulkan sesuatu tanpa membuktikan kebenarannya terlebih
dahulu, dengan kata lain nterviwer terlalu cepat menarik simpulan
Contoh: Itee : “Saya senang makan buah-buahan yang lunak”
Iter : “Jadi, papaya yang paling enak ya?”
5. O (Ordering)
Perangkuman atau pengaturan bahan-bahan yang dikemukakan dalam interviu.
Interviwer mengatur atau menyimpulkan bahan-bahan yang dikemukakn oleh
interviwi.
Ada 3 macam respons interviwer yang bisa disekor dengan 0:
a. Echo Response
Interviwer mengulang apa yang dikatakan oleh Interviwi dengan kata-kata yang
kurang lebih sama, dengan demikian tidak ditambahkan aksen baru.
b. Content Response
Interviwer menerangkan/ menyimpulkan dengan kata-kata baru apa-apa yang
dikemukakan oleh interviwi.
Di sini terdapat aksen baru tetapi tidak mencakup unsur perasaan yang di balik
perkataan-perkataan interviwi. Content-response lebih menyangkut unsure isi
pernyataan.
c. Feeling Response
Interviwer mengekspresikan perasaan-perasaan interviwi yang tidak disebut
secara ekplisit tetapi tercermin dalam kata-kata atau kelakuan klien.
Contoh:
Itee : Di toko-toko serba ada barang-barang ditempatkan begitu
menarik sehingga mau tak mau saya harus membelinya.
Iter1 : Menurut anda toko-toko serba ada menempatkan barang-
barangnya begitu menarik sehingga mau tak mau
anda harus membelinya (Echo response)
Iter 2 : Toko serba ada mengatur barang-barangnya secara baik
(Content-response).
Iter 3 : Anda punya perasaan seolah-olah terpaksa membeli barang
di toko serba ada. (Feeling response)

Supaya 0 dapat berfungsi sebagai penguat (reinforser) maka sebaiknya


perangkuman diberikan dengan menggunakan kata-kata baru (fresh words) dan
pada akhir perangkuman suara harus naik ke atas (evokatif)
O (perangkuman) yang baik akan sangat memberikan hasil karena ini
merupakan bukti bahwa interviwer memahami informasi yang dikemukakan
interviwi dan bahwa interviwer menaruh perhatian pada interviwi. Hal ini akan
mengakibatkan bertambahnya produksi verbal pada interviwi.
6. I (Informasi)
Interviwer memberikan informasi kepada interviwi, hal ini bisa terjadi karena
interviwi ingin supaya subyek memperhatikan suatu hal tertentu, atau mungkin
sebagai jawaban atas pertanyaan interviwi. I hanya adekwat bila diberikan dalam
introduksi.
7. S (Sisipan)
Reaksi interviwer berupa “sisipan” dalam pembicaraan interviwi. Misalnya: “Hm”
”Ya”
8. F (Formal)
56

Pernyataan-pernyataan formal yang diucapkan oleh interviwer. Misalnya: “Selamat


pagi” ”Terima kasih”
9. Adv (Advis)
Interviwer memberikan nasihat kepada interviwi, dengan kata lain. Interviwer
bersikap direktif dan menentukan apa yang harus dilakukan interviwi.
Contoh:
Iter : “Anda harus pindah dari rumah paman anda, tidak mungkin anda lebih lama
tinggal disitu!”
10. M (menenteramkan) (G= Geruststellen)
Ucapan-ucapan interviwer yang dimaksudkan untuk menenteramkan Interviwi.
Contoh:
Iter : “Mempunyai perasaan erotik semacam itu memang sangat normal. Anda
tak usah malu karena anda tertarik dengan lawan jenis.”

3.3.5 Model-model Interviu


Murad, J (1983 : 81) menunjukkan ada beberapa model interviu, yaitu :
1. Interviu Sikap Bebas
Interviu sikap bebas adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi
mengenai pendapat seseorang dengan cara non-direktif. Dalam penggunaan model
ini iinterviwer membatasi diri hanya pada memberikan perangkuman (samenatting)
dan kata-kata sisipan, ia hanya menanyakan lebih lanjut bila ada informasi yang
dipandang kurang jelas.
Dalam model ini, interviwi yang memilih topik pembicaraan dan menentukan
jalannya interviu. Dalam interviu sikap (attitude interview), yang ingin diketahui
adalah pendapat/sikap interviewi. Interviewi mempunyai kebebasan untuk
menentukan jalannya interviu. Reaksi-rekasi iterviewer sesudah pertanyaan mula
hanya berupa perangkuman, menanyakan lebih jauh, atau mengucapkan kata-kata
sisipan.
Murad (1983 : 80) mencatat bahwa interviu bebas ini muncul tahun 1929 di
lingkungan psikologi perusahaan ketika Hawthorne menggunakan metode ini
dalam penelitiannya. Karena sifat pertanyaannya yang seringkali sugestif, tidak
banyak informasi yang didapatkan dengan cara ini. Meskipun demikian, pada tahun
1941 Rogers mengangkat kembali metode ini, menurut Rogers perasaan yang ada
di balik pernyataan responden (interviewi) itu perlu diverbalisir.

1) Cara memulai Interviu Sikap Bebas


Interviu dimulai dengan cara ”Mengenalkan jati diri interviewer, dari mana
dia berasal, dan informasi apa yang diharapkan dari interviwi” misal :
”Saya datang dari lembaga ................., kami sedang melakukan penelitian
berkenaan dengan pendapat guru di .........tentang sertifikasi guru yang akhir-
akhir ini digalakkan oleh pemerintah. Bagaimana pendapat saudara tentang
masalah tersebut? ”
Pembukaan seperti dicontohkan di atas, diharapkan bisa mencegah terjadinya bias.
Pertanyaan pertama haruslah mempunyai satu arti (mono-interpretation), tidak ada
interpretasi lain. Di bawah ini adalah contoh pertanyaan yang bisa mengundang
banyak interpretasi :
”Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang .......... ”
57

2) Reaksi-Reaksi Adekwat
Agar interviu sikap dapat digolongkan baik, maka kategori reaksi-reaksi
pertanyaan-pertanyaan interviiwi haruslah sebagai berikut :
a. I hanya terdapat pada permulaan interviu
b. E-ex hanya boleh ada sebagai pertanyaan awal, setelah pertanyaan awal E-ex
tidak boleh ada lagi
c. Ev dan A tidak boleh ada lagi selama interviu.
d. O dan E-in harus sebanyak mungkin dilakukan.
e. Ucapan sisipan seperti ”Ya, ya, hm, hm” sebaiknya ada. Ucapan-ucapan ini
bisa menaikkan produksi verbal dari interviwi, sebab ucapan-ucapan itu
dipandang sebagai reinforcement.
f. Jangka waktu bicara antara interviwer dibanding interviwi sebaiknya 1 : 2

3) Penilaian Kualitas Interviu Sikap Bebas


Penilaian terhadap kualitas inhterviu sikap bebas bisa dilakukan dengan
penilaian kuantitatif dan kualitatif berikut :
a. Penilaian Kuantitatif
Norma penilaian kuantitatif adalah sebagi berikut :
Jumlah banyaknya reaksi interviwer yang dapat digolongkan dalam kategori O
dan E-in, dibagi dengan jumlah seluruh reaksi interviwer (F dan S tidak
termasuk).
Bila interviu yang dilakukan tergolong baik, hasil pembagian ini haruslah lebih
dari 60%

O+ E−in
x 100 %≥60 %
Rumus : N −( F +S )

Misal : interviwer melakukan interviu, dari hasil pengamatan selama


pelaksanaan interviu ditemukan reaksi interviewer yang bisa
digolongkan sebagai perangkuman (O) ada 10 kali, sedang
interviewer menanyakan lebih lanjut hal-hal yang kurang jelas dari
interviwi (E-in) ada 5 kali. Jumlah reaksi interviwer ada 20 kali. Maka
hasil perhitungannya adalah 10 + 5 dibagi 20 hasil pembagian itu
dikali 100% = 75. Sesuai kriteria yang ditetapkan yaitu sama dengan
atau lebih dari 60, maka interviu yang dilakukan tergolong baik.

b. Penilaian Kulitatif
Norma untuk interviu sikap bebas yang baik adalah :
1. A dan Ev tidak boleh ada
2. Jangka waktu berbicara interviwr dengan interviwi haruslah 1 : 2
3. E-ex hanya boleh ada pada pertanyaan mula
4. E-in hanya boleh ada pada informasi iterviwi yang kurang jelas

2. Interviu (percakapan) Konseling


Interviu konseling lazim digunakan manakala seorang konseli minta bantuan
kepada konselor dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapinya. Secara garis
58

besar terdapat dua bentuk interviu konseling, yaitu model direktif (diagnosis-resep)
dan model non-direktif. Kedua model tersebut dijelaskan berikut :
1) Model direktif (diagnosis-resep)
Pada model ini, interviwer menanyakan sesgala sesuatu yang diduga
menjadi sumber masalah yang dihadapi konseli. Berdasarkan hasil wawancara itu
kemudian konselor membuat diagnosis yaitu berupa penetapan penyebab masalah
yang dihadapi konseli. Mendasarkan diagnosis itu kemudian konselor memberi
resep berupa nasehat yang perlu dilakukan konseli agar masalah yang dihadapinya
bisa terselesaikan dengan baik.
Pada model ini, interviwer bersifat aktif memimpin percakapan atau lebih
bersifat direktif. Karena konselor yang justru lebih aktif sementara konseli pasif,
akibatnya konseli justru menjadi lebih tergantung pada konselor. Padahal
seharusnya konseli sendiri yang seharusnya lebih banyak mengambil insiatif,
sedang konselor lebih banyak memberi alternatif-alternatif, dukungan dan atau
penguatan terhadap langkah-langkah positif yang dipilih konseli.
Meskipun terdapat kelemahan pada interviu model ini yaitu konseli menjadi
tergantung, dan kadang nasehqat konselor tidak dilaksanakan; tetapi bagi konseli
usia anak-anak atau individu yang kurang cerdas, interviu konseling model ini
masih bisa digunakan.

2) Model non-direktif
Interviu model ini didasarkan pada asumsi bahwa individu memiliki potensi
untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dan ia sendiri yang harus menyelesaikan
maslah yang sedang dihadapi. Fungsi interviwer sekedar membantu interviwi
mengeksplorasi perasaan-perasaan dan motiv-motiv yang sementara masih
terpendam, kemudian membantu interviwi menemukan jalan keluar dari persoalan
yang sedang dihadapinya.
Dalam model non-direktif ini, kategori pernyataan yang banyak digunakan
adalah O dalam bentuk refleksi perasaan (O-feeling) dan E-in. Refleksi bukanlah
pernyataan absolut, tetapi merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa
interviwer memahami interviwi. Dalam melakukan refleksi diseyogiakan agar
interwiwer memperhatikan hal-hal berikut :
(1) Refleksi harus merupakan refleksi konkrit dari perasaan yang mendasari ucapan
interviwi
(2) Refleksi perasaan harus empunyai intensitas yang sama dengan yang
terkandung dalam ucapan interviwi.
(3) Nada reflekdi harus sama dengan perasaan yang dicoba untuk direflekksikan,
dengan kata lain jika interviwer bermaksud merefleksikan perasaan cemas,
maka ia tidak dapat mengucapkannnya dengan sura tak acuh.
(4) Interviwi yang lebih mengetahui apakah rekleksi konselor tepat atau tidak.
(5) Ekspresi yang sukses akan mendorong interviwi untuk mengksplorasi perasaan
lebih lanjut.
Di bawah ini disajikan contoh refleksi yang baik dan tidak baik dari
interviwer terhadap ungkapan perasaan interviwi. Ia adalah seorang gadis, anak
tunggal, sudah beberapa lama ia tinggal rumah pondokan terpisah dari orang
tuanya.
Interviwi : Kalau saya pulang .........., teganglah suasana di rumah. Kalau saya
cerita
59

sedikit tentang kehidupan saya sehari-hari di pondokan, mereka (orang tua


saya) tidak bisa mengerti. Mereka sebenarnya tidak setuju dengan apa
yang saya lakukan.
Semula terpikir ............, eh ........... saya pikir saya tidak maumenceritakan
semuanya. Ya ............. kalau merupakan anak tunggal, ya begitulah,
menjadi milik berharga bagi orang tua ..................... agak terlalu berharga,
sdaya kira.

Tiga kemungkinan refleksi yang disampaikan interviwer adalah berikut :


1. Refleksi 1 : mereka bermaksud baik, tetapi mereka begitu
khawatir, sehingga mereka merasa tercekam.
2. Refleksi 2 : Orang tua merasa sulit untuk melepaskan anak
satu-satunya.
3. Refleksi 3 : Karena orang tua saudara sangat
memperhatikan, saudara justru merasa tegang.

Dari tiga refleksi interviwer di atas, reflkeksi yang terbaik adalah refleksi yang
pertama, sebab refleksi itu konkrit dan merefleksikan perasaan yang mendasari
ucapan intterviwi. Selain konkrit, refleksi pertama juga mempunyai intensitas
yang sama dengan yang terkandung dalam ucapan interviwi. Refleksi ke dua
dan tiga terlalu samar dan umum.

3) Percakapan Berita Buruk


Seperti yang tercakup dalam namanya, maka tujuan dari percakapan ini
adalah menyampaikan berita buruk. Dalam beberapa kasus, seorang konselor perlu
memiliki kecakapan untuk menyampaikan berita buruk ini, misal :
(1) Konselor memberitahukan bahwa orang tua konseli terkena musibah
(2) Konselor hendak menyampaikan informasi, bahwa seorang siswa tidak
memenuhi syarat untuk memasuki suatu univesitas.
(3) Konselor memberitahukan bahwa seorang siswa terpaksa tidak naik kelas
Dalam menyampaikan berita buruk, interviwer (konselor) harus
mempertmbangkan bahwa berita buruk yanghendak ia sampaikan bisa
mengakibatkan frustasi bagi penerima berta tersebut. Karena interviwer merasa
kurang mampu menghadapi frustasi yang ditimbulkan pada interviwi, maka
interviwer sering berupaya menghndari frustasi yang mungkin timbul pada
interviwi, kahirnya ia melakukan ”reaksi menghindar” dalam beberapa bentuk
berikut :
(1) Menunda-menunda penyampaian berita buruk. Interviwer tidak langsung
menyampaikan berita buruk itu, tetapi ia membicarakan hal-hal lain lebih
dahulu.
(2) Metode ”menggantung diri sendiri (hang yourself). Dalam metode ni
interviwer tidak secar eksplisit menyampaikan berita buruk tersebut, tetapi ia
mengajukan berbagai pertanyaan sambil secara tidak langsung memberi
petunjuk kepada inteviwi, sehingga kahirnya interviwi terpaksa ”menggantung
dirinya sendiri”.
(3) Membungkus berita buruk itu sehingga seakan-akan lebih bagus dari yang
sesungguhnya. Seorang konselor tidak sampai hati menyatakan bahwa seorang
siswa yang sudah lama bercita-cita ingin masuk ABRI, lantaran tinggi badan
siswa tersebut tidak memenuhi syarat, konselor tersebut tidak menyampaikan
tidak terpenuhinya syarat tersebut, tetapi menrankan siswa tersebut untuk
60

melanjutkan kuliah, dengan alasan setelah kuliah prospeknya akan lebih bagus.
Padahal dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
(4) Banyak memberikan alasan-alasan (justifikasi). Interviwer menyampaikan
berita buruk setelah itu memberikan berbagai alasan untuk membenarkan
”berita buruk” tersebut. Alasan itu berlebihan dan sering tidak sesuai kenyataan
Beberapa bentuk reaksi interviwi dalam menaggapi berita buruk adalah (a)
reaksi agresif, ada yang menyampaikan dalam bentuk tingkah laku seperti
memukul meja, merobek-robek kertas dan lain sebaginya. Tepai ada pula yang
berbentuk kata-kata yang diucapkan atau tidak diucapkan, (b) penolakan terhadap
berita buruk yang disampaikan oleh interviwer, (c) regresi yaitu iterviwi mundur
dalam bentuk reaksi yang kurang matang (misal berlaku kekanak-kanakan, (d)
sterotipe yaitu mengulang-ulangkalimat-kalimat tertentu, misalnya ”Sungguh saya
tidak mengira”. Kalimat diucapkan berulang kali.

3. langkah-langkah Dalam Penyusunan Panduan Wawancara (Interview Guide)


Panduan wawancara lazimnya berisi catatan garis besar dan singkat tentang apa
yang ditanyakan, dari catatan singkat inilah pertanyaan-pertanyaan disusun dan
dikembangkan. Panduan wawancara berfungsi (a) sebagai panduan tentang pokok-
pokok persoalan (tema-tema) yang akan ditanyakan jika interviu itu sebagai metode
primer, (b) menghindarkan peneliti dari melupakan persoalan yang relevan dengan
tujuan penelitian, (c) meningkatkan interviu sebagai suatu metode yang hasilnya
memenuhi prinsip komparabilitas.
Sutrisno hadi (2004, II : 201) memandang bahwa pedoman wawancara kadang-
kadang perlu dihafal di luar kepala, meskipun dalam beberapa hal peneliti bisa saja
melihat pedoman itu setiap saat. Pedoman wawancara ini lazimnya berisi catatan
dalam bentuk garis besar dan singkat tentang apa-apa yang ditanyakan. Sedang materi
pertanyaan sangat tergantung pada tujuan penelitian, di samping itu juga tergantung
pada fungsi interviu itu digunakan, sebagai metode primer, sebagai metode pelengkap,
atau sebagai kriterium. Dalam kedudukannya sebagai metode primer, pedoman
wawancara itu tentu berisi semua persoalan pokok yang hendak dicari pemecahannya.
Jika posisinya sebagai metode pelengkap, maka pedoman itu tentu disesuaikan dengan
rencana keseluruhan, data-data mana yang akan digali dengan metode lain dan data
mana yang hendak digali dengan metode interviu. Sedang jika posisinya sebagai
kriterium yaitu menguji kebenaran dan kemantapan data yang telah diperoleh dengan
cara lain (observasi, daftar cek, tes) maka pedoman wawancara biasanya berisi hal-hal
atau data-data yang masih diragukan atau perlu digali lebih dalam dengan metode
intetrviu.
Gall,M.D dkk (2003 : 236-37) menunjukkan langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam menyusun pedoman wawancara (interviu guide) yaitu (1) tetapkan
tujuan penelitian, (2) tetapkan sampel (subyek yang hendak diwawancarai), (3)
merancang bentuk interviu, (4) mengembangkan pertanyaan, (5) memilih dan melatih
interviewer, (6) melakukan uji coba prosedur interviu, (7) melakukan interviu, dan (8)
menganalisis data hasil interviu. (Contoh kisi-kisi pedoman wawancara bisa diperiksa
pada lampiran 6.1, dan penjabarannya pada lampiran 6.2)

4. Syarat-syarat Interviewer Yang Baik


Murad (1983) dan Gall, M.D (2003 : 245) menunjukkan beberapa syarat
interviwer yang baik disarikan berikut :
1. Hendaknya ia mempunyai minat yang sungguh-sungguh terhadap orang lain.
2. Ia hendaknya mempunyai pengertian, bersimpati dan berempati dengan interviwi
61

3. Mempunyai pengalaman hidup dan daya observasi yang tajam, seyogianya ia tidak
terkurung hanya dalam satu lingkungan saja.
4. Mudah menyesuaikan diri dengan situasi sosial.
5. Memahami dan mampu menggunakan pedoman wawancara dengan baik.
6. Memahami tujuan akhir yang hendak dicapai melalui interviu.
7. Mampu memanfaatkan alat-alat bantu (tape recorder dan alat-alat pencatat data
dengan baik).

5. Pentingnya hubungan baik antara interviewer dan interviewi


Untuk memperoleh informasi yang memadai dan seobyektif mungkin, seorang
penyelidik dalam mengadakan interviu tidak dapat bersikap egoistik, dalam arti hanya
mementingkan kebutuhannya sendiri semata-mata tanpa memperhatikan situasi orang
yang diinterviu. Interviewi adalah seorang manusia yang mempunyai sikap simpati dan
antipati, serta mempunyai kebebasan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya. Ia bisa tersinggung oleh sikap dan kata-kata, dan ia bisa acuh tak acuh atau
memberi jawaban yang tidak semestinya.
Hubungan yang baik antara interviewer dan interviewi akan tampak dalam
suasana interviu. Suasana interviu yang baik adalah suasana yang dijiwai oleh
kerjasama, saling menghargai, saling mempercayai, serta saling memberi dan
menerima. Suasana itu begitu penting, sebab hanya dalam suasana semacam itu
informasi yang benar dapat diperoleh. Karena itu, tugas seorang interviewer tidak
hanya terbatas untuk mendapatkan informasi (information getting), melainkan juga
meratakna jalan (motivating) ke arah pembentukan suatu suasana interviu yang sebaik-
baiknya. Sutrisno hadi (2004 : 194-95) menunjukkan beberapa cara yang bisa
dilakukan agar tercipa suasana interviu yang baik yaitu :
(1) Melalui cara partisipasi, yaitu turut serta dalam kegiatan-kegiatan informan sehari-
hari atau dalam peristiwa tertentu.
(2) Melalui cara identifikasi, yaitu interviewer memperkenalkan diri sebagai ”orang
dalam”, dan meyakinkan informan bahwa ia adalah sahabat mereka atau ia adalah
mereka, bekerja untuk cita-cita mereka.
(3) Melalui cara persuasi, yaitu interviewer seacara sopan dan ramah-tamah
menerangkan maksud dan keperluan kedatangannya dan meyakinkan informan
tentang betapa pentingnya informasi-informasi yang ia butuhkan.
(4) Melalui tokoh-pengantar, yaitu dengan minta bantuan seseorang yang dipandang
sebagai tokoh oleh informan, ia diajak dan diminta menjadi pengantar
kehadirannya, dan menerangkan keperluan serta pentingnya memberikan informasi
secukupnya kepada interviewer.

6. Mengusahakan hubungan baik dengan interviwi


Agar tercipta suasana yang baik dengan interviewi, interviewer seyogianya
bisa menyisihkan sebagian waktunya untuk menciptakan suasana hubungan yang baik
dengan interviwi. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1. Adakan pembicaraan-pembicaraan pemanasan yang hangat pada permulaan
interviu.
2. Kemukakan tujuan interviu dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh
interviewi, dan kemukakan hal itu dengan segala kerendahan hati serta sikap yang
bersahabat.
3. Hubungkan pokok-pokok pembicaraan dengan perhatian interviwi, dan
tariklah minatnya ke arah pokok-pokok persoalan yang akan ditanyakan.
62

4. Timbulkan suasana yang bebas sehingga penjawab tidak merasa tertekan


baik oleh pertanyaan-pertanyaan peneliti maupun oleh suasana di sekitarnya.
5. Peneliti sendiri tidak boleh memperlihatkan sikap yang tergesa-gesa, sikap
kurang menghargai jawaban, atau sikap kurang percaya.
6. Berikan dorongan kepada interviwi yang dapat menimbulkan perasaan
bahwa ia adalah orang yang penting dan diperlukan sekali kerjasama dan
bantuannya untuk memecahkan suatu persoalan penelitian.

7. Melatih Kemahiran dan Ketangkasan interviu


Bagi mereka yang dikaruniai pembawaan terampil melakukan wawancara,
pelatihan interviu mungkin tidak terasa diperlukan, tetapi bagi mereka yang belum
terampil melakukan interviu, pelatihan melakukan interviu sangat diperlukan. Sutrisno
Hadi (2004, II : 196-99) menunjukkan beberapa unsur yang perlu mendapat pelatihan
dalam latihan, yaitu :
1. Pertanyaan-pertanyaan pembukaan. Pada tahap permulaan interviu, pertanyaan
yang diajukan seyogianya hal-hal yang netral dan ringan (misal : bertanya tentang
kondisi kesehatan, atau tugas-tugas yang sedang atau baru saja diselesaikan).
Pertanyaan-pertanyaan yang terlalu berat atau mendadak bisa menyebabkan
interviwi menarik diri, melawan, dan menolak.
2. Gaya bicara. Interviwer seyogianya berbicara terus terang, sederhana, dan
mengarah pada inti pembicaraan. Sebaliknya, gaya berbicara yang terlalu berbelit-
belit dan berputar-putar seyogianya dihindari. Diingatkan bahwa pertanyaan yang
berbelit-belit akan mendorong interviwi untuk melakukan hal yang sama, yaitu
memberi jawaban yang berbelit-belit dan berputar-putar pula, sehingga jawaban itu
sulit difahami dan susah dipercaya kebenarannya.
3. Nada dan irama. Nada dan irama hendaknya disesuaikan dengan isi pembicaraan.
Nada bicara sangat membantu lawan bicara (interviwi) untuk memahami bagian-
bagian penting dan perlu perhatian lebih. Di camping nada bicara, irama bicara
juga berperan penting dalam suksesnya interviú. Irama bicara yang terlalu cepat
menyebabkan isi pembicaraan sulit ditangkap dan bisa jadi menimbulkan kesan
pada interviwi merasa menerima pertanyaan yang bertubi-tubi, sehingga ia merasa
tidak mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mengingat peristiwa-peristiwa
masa lampau, dan memberikan jawaban secara lengkap.
4. Sikap bertanya. Suasana interviu yang ideal adalah suasana sebagai “sahabat karib”

8. Kecemasan Interviwi dalam Intervieu


Apabila interviu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pribadi, maka
kemungkinan besar akan timbul kecemasan pada diri interviwi. Timbulnya kecemasan
dalam berkomunikasi (Communication anxiety) ini berhubungan dengan
communication of personal data.
Wallen (dalam Murad 1983), menyebutkan beberapa hal yang bisa menyebab-kan
communication anxiety berikut:
1. Iinterviwi takut terhadap kritik (moral judgement) dari interviwer. Ia takut akan
mendapat kritik dari interviwer. Perasaan ini timbul karena interviwi sendiri
mempunyai perasaan malu dan bersalah, ia mengharapkan interviwer mempunyai
pendapat yang sama.
2. Interviwi takut bahwa informasi yang akan diberikannya kepada Interviwer
akan digunakan secara salah dan akan merugikan dirinya. Dengan memberikan
informasi pribadi interviwi seakan-akan memberi kekuasaan kepada interviwer.
63

3. Interviwi takut bahwa interviwer yang ahli ini akan menemukan ”kebenaran-
kebenaran mengerikan” tentang dirinya, sedangkan dia sendiri tidak mempunyai
pengetahuan tentang hal ini.
4. Kecemasan bisa timbul karena interviwer menanyakan hal-hal tertentu yang
biasanya selalu diusahakan untuk dilupakan sebagai cara pertahanan diri.
Untuk mengurangi kecemasan-kecemasan di atas, Wallen menunjukkan bahwa
interviwer bisa menyampaikan kepada interviwi rasa penerimaan (acceptance)
terhadap diri interviwi, agar bisa mengurangi faktor eksternal yang mendorong
timbulnya kecemasan.” Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah (a) menunjukkan
minat tanpa ingin menyelidik, dan (b) responsif, hangat tanpa menilai, (c) reseptif
tanpa menuntut.

9. Sumber-sumber Kesalahan dalam Melaporkan Hasil Interviu


Sutrisno Hadi (2004, II : 212) menunjukkan beberapa sumber kesalahan dalam
melaporkan hasil interviu, yaitu :
1. Error of recognition, yaitu kesalahan yang bersumber dari ingatan interviwer yang
tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, akibatnya interviwer tidak mampu
mengingat kembali informasi yang disampaikan oleh interviwi. Hal ini bisa terjadi
karena (a) jangka waktu antara pelaksanaan interviu dengan pencatatan terlalu
lama, (b) interviwer memandang kurang penting terhadap informasi-informasi yang
semsetinya penting, dan (c) terlalu dikuasai oleh suatu keinginan. Untuk mengatasi
masalah ini, disarankan interviwer memanfaatkan alat-alat bantu seperti tape
recorder, camera video, atau memanfaatkan hondphone yang sudah dilengkapi
dengan alat perekam suar dan gambar.
2. Error of omission, yaitu kesalahan yang bersumber dari kelalaian tidak
mencantumkan atau melaporkan sesuatu yang seharusnya dilaporkan. Sutrisno
Hadi (2004, II : 212) menunjukkan bahwa hampir semua laporan interviu
mengalami error ini, paling sedikit terjadi pada interviu yang dicatat dengan alat-
alat elektronik (seperti : tape recorder), lebih banyak kesalahan terjadi pada
pencatatan dengan kode-kode, lebih banyak lagi pada interviu yang dicatat secara
manual, dan terbanyak pada interviu yang tidak dicatat.
3. Error of addition, yaitu kesalahan yang terjadi karena penulis laporan melebih-
lebihkan atau telah memasak jawaban interviwi. Meskpiun error ini dinilai jarang
terjadi, tetapi pelapor interviu disarankan untuk lebih berhati-hati bisa jadi terjadi
kesalahan lantaran kepentingan untuk mendukung simpulan yang telah
direncanakan sebelumnya.
4. Error of substitution, yaitu kesalahan yang bersumber dari penggantian, kesalahan
ini terjadi karena pelapor tidak bisa mengingat-ingat dengan benar apa yang
dikatakan oleh interviwi kemudian dia mengganti dengan kata-kata lain yang
maknanya berbeda dengan apa yang dimaksud oleh interviwi. Untuk mengatasi
kelemahan ini, jika terjadi error diseyogiakan untuk menanya kembali kepada
sumber informasi, atau jika kata-kata yang diucapkan interviwi diduga memiliki
makna yang berbeda dengan pemaknaan interviwer, seyogianya ditanyakan
maknanya kepada interviwi atau pihak lain yang diduga lebih mengetahui masalah
tersebut.
5. Error of transpotition, yaitu kesalahan yang terjadi karena interviwer tidak mampu
mereproduksi sistematika atau urutan kejadian menurut waktu dan atau hubungan
antar fakta seperi apa adanya. Kemudian intervewer tidak melaporkan urutan atau
hubungan tidak seperti apa adanya. Error ini lebih jarang terjadi daripada error of
omission, tetapi lebih sering terjadi daripada error of addition dan error of
64

substitution. Untuk menghindari error ini, seyogianya interviwer mencatat secara


teliti dan menanyakan hubungan antar fakta kepada interviwi jika dipandang perlu.

10. Ringkasan dan Tugas Latihan


1. Ringkasan
a. Interviu didefinisikan sebagai teknik pengumpulan data dengan cara tanya- jawab
lisan yang dilakukan secara sistematis guna mencapai tujuan penelitian. Pada
umumnya interviu dilakukan oleh dua orang atau lebih, satu pihak sebagai pencari
data (interviewer) pihak yang lain sebagai sumber data (interviewee) dengan
memanfaatkan saluran-saluran komunikasi secara wajar dan lancar.
b. Interviu bermanfaat untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan,
motivasi, dan proyeksi seseorang tentang masa depannya. Metode ini dipandang
baik untuk menggali masa lalu seseorang serta rahasia-rahasia kehidupannya.
Interviu dipandang sebagai metode tanya-jawab untuk menyelidiki pengalaman,
perasaan, motif, serta motivasi rakyat.
c. Intervieu bisa difungsikan sebagai metode primer, metode pelengkap, dan sebagai
kriterium. Bila intervieu dijadikan sebagai satu-satu alat pengumpul data, atau
sebagai metode utama dalam pengumpulan data, maka metode ini berfungsi
sebagai metode primer. Sebaliknya jika ia difungsikan sebagai alat untuk
mengumpulkan data yang tidak bisa dilakukan dengan metode lain, maka posisinya
pada kasus ini adalah sebagai metode pelengkap. Namun demikian, pada saat-saat
tertentu, metode interviu juga digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan
data yang telah diperoleh dengan cara lain, dalam kasus seperti ini metode interviu
difungsikan sebagai batu-pengukur atau kriterium.
d. Beberapa kelebihan interviu adalah (1) Sebagai salah satu metode yang terbaik
untuk menilai keadaan pribadi, (2) Tidak dibatasi oleh tingkatan umur dan
tingkatan pendidikan subyek yang sedang diselidiki, (3) Dalam riset-riset sosial,
metode ini hampir tidak bisa ditinggalkan sebagai metode pelengkap, bahkan
dalam beberapa kasus difungsikan sebagai metode utama (primer), (4) fleksibel dan
bisa dijadikan alat verivikasi data yang diperoleh dengan metode lain, dan (5) dapat
diselengarakan sambil mengadakan observasi.

e. Beberapa kelemahan interviu adalah (1) Ttdak cukup efisien, karena penggunaan
metode ini membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang lebih banyak, (2)
tergantung pada kesediaan, kemampuan, dan waktu yang tepat dari interviwi, (3)
jalan dan isi interviu sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sekitar yang
memberikan tekanan-tekanan yang mengganggu, (4) Membutuhkan interviewer
yang benar-benar menguasai bahasa interviewee, (5) Jika pendekatan ”sahabat-
karib” dilaksanakan untuk meneliti masyarakat yang sangat hetrogen, maka
diperlukan interviewer yang cukup banyak, dan (6) Sulit untuk menciptakan situasi
yang terstandar sehingga kehadiran interviwer tidak mempengaruhi responden
dalam memberikan jawaban.
f. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam menyusun pedoman wawancara
(interviu guide) yaitu (1) tetapkan tujuan penelitian, (2) tetapkan sampel (subyek
yang hendak diwawancarai), (3) merancang bentuk interviu, (4) mengembangkan
pertanyaan, (5) memilih dan melatih interviewer, (6) melakukan uji coba prosedur
interviu, (7) melakukan nterviu, dan (8) menganalisis data hasil interviu.
g. Beberapa syarat interviwer yang baik antara lain (1) mempunyai minat yang
sungguh-sungguh terhadap orang lain, (2) mempunyai pengertian, bersimpati dan
berempati dengan interviwi, (3) mempunyai pengalaman hidup dan daya observasi
65

yang tajam, (4) mudah menyesuaikan diri dengan situasi sosial. (5) memahami dan
mampu menggunakan pedoman wawancara dengan baik, (6) memahami tujuan
akhir yang hendak dicapai melalui interviu, dan (7) mampu memanfaatkan alat-alat
bantu dengan baik.
h. Interviwer perlu menciptakan hubungan baik dengan interviwi agar ia lebih mudah
dalam mengupulkan data yang diperlukan. Beberapa cara yang bisa dilakukan agar
tercipa suasana interviu yang baik yaitu (1) partisipasi dalam kegiatan yang sedang
dilakukan interviwi, (2) memperkenalkan diri sebagai ”orang dalam”, (3)
menerangkan maksud dan tujuan secara ramah dan sopan, (4) minta bantuan
seseorang yang dipandang sebagai tokoh oleh interviwi.
i. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam melatih kemahiran melakukan
interviu yang baik adalah (1) dalam mengajukan pertanyaan pembukaan sebaiknya
hal-hal yang netral dan ringan, (2) seyogianya berbicara terus terang, sederhana,
dan mengarah pada inti pembicaraan, (3) nada dan irama hendaknya disesuaikan
dengan isi pembicaraan, dan (4) upayakan suasana akrab seperti berbicara dengan
sahabat karib.
j. Beberapa kesalahan dalam melaporkan hasil interviú hádala (1) error of
recognition, (2) error of omission, (3) error of addition , (4) error of substitution,
dan (5) error of transpotition.

2. Tugas-tugas Latihan
a. Buatlah pedoman wawancara atau interview guide dengan keterangan berikut :
1) Tujuan wawancara adalah ingin mengetahui alasan yang mendorong beberapa
orang siswa meninggalkan pelajaran tertentu.
2) Subyek yang hendak diwawancarai (interviwi) adalah siswa SMU kelas 11 di
kota saudara.
3) Bentuk pertanyaannya adalah terbuka
4) Jumlah pertanyaan sekurang-kurangnya 20 pertanyaan, berkaitan dengan : diri
siswa, keluarga, lingkungan pergaulan, dan pelajaran yang ditinggalkan
b. Setelah pedoman tersebut selesai saudara susun, cobakan kepada tiga orang dari
sejumlah siswa yang saudara ketahui sering meninggalkan pelajaran, dengan tujuan
apakah rancangan pertanyaan saudara sudah bisa difahami responden atau belum.
Sesudah itu lakukan pula wawancara dengan lima orang siswa yang memiliki kasus
serupa, yaitu sering meninggalkan pelajaran. Lakukan pencatatan hasil wawancara
dengan sebaik-baiknya, kemudian lakukan pula analisis hingga tercapai tujuan
penelitian, yaitu diketahuinya faktor apa sebenarnya mendorong beberapa orang
siswa sering meninggalkan pelajaran.
c. Lakukan pula wawancara secara berkelompok, seorang sebagai interviwer yang
lain sebagai pengamat dan sekaligus penilai. Lakukan penilaian sesuai pedoman
yang ada, bagaimana kualitas wawancara yang saudara lakukan? Setelah itu
lakukan perbaikan dan perbaikan.

3.4 Angket dan Skala Psikologis


3.4.1 Pengertian dan Keguanaan Angket dan Skala Psikologis
1. Pengertian Angket dan Skala Psikologis
Sejak puluhan tahun silam hingga saat sekarang, orang menganggap bahwa angket
atau kuesioner dan skala psikologis itu sama saja, -- asal semua daftar pertanyaan atau
pernyataan tertulis yang disodorkan kepada responden itu disebut angket --, akibatnya
dalam pemakaian sehari-hari sering terjadi penukarartian.
66

Angket atau kuesioner didefinisikan sebagai sejumlah pertanyaan atau pernyataan


tertulis tentang data faktual atau opini yang berkaitan dengan diri responden, yang
dianggap fakta atau kebenaran yang diketahui dan perlu dijawab oleh responden.
Skala psikologis dipandang oleh Syaifuddin Azwar (2005 : 3-4) sebagai alat ukur
yang memiliki karakteristik khusus (a) cenderung digunakan untuk mengukur aspek
afektif – bukan kognitif. (b) stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang
tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap
indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan, (c) jawabannya lebih bersifat
proyektif, (d) selalu berisi banyak aitem berkenaan dengan atribut yang diukur, (e)
respon subyek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”, semua
jawaban dianggap benar sepanjang sesuai keadaan yang sebenarnya, jawaban yang
berbeda diinterpretasikan berbeda pula.
Dari rumusan pengertian angket dan skala psikologis seperti di atas bisa difahami,
bahwa dilihat dari bentuknya – yang sama-sama tertulis – memang hampir-hampir
tidak ada perbedaan anatara angket dengan dan psikolologis. Tetapi jika dilihat dari
segi aspek yang diungkap, atribut yang diukur, sifat jawaban, dan skoringnya; bisa
difahami bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara angket dan skala psikologis.
Secara lebih detail, perbedaan angket dan skala psikologis itu ditunjukkan oleh
Saifudin Azwar (2005 : 5) berikut :
1) Data yang diungkap angket berupa data factual atau yang dianggap fakta dan
kebenaran yang diketahui oleh subyek (misal : pilihan metode KB, pendidikan
terakhir, jumlah anggota keluarga, pendapat mengenai sesuatu)., Sedangkan data
yang diungkap oleh skala psikologis berupa konstrak atau konsep psikologis yang
menggambarkan aspek kepribadian individu (missal : tendensi agresifitas, sikap
terhadap sesuatu, self esteem, kecemasan, perepsi, motivasi)
2) Pertanyaan dalam angket berupa pertanyaan langsung yang terarah kepada
informasi mengenai data yang hendak diungkap, yaitu mengenai data atau opini
berkenaan dengan diri responden. Hal ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa
“Responden adalah orang yang paling mengetahui tentang dirinya sendiri” (misal :
Sejak kapan saudara berhenti merokok?). Sedang pada skala psikologis, pertanyaan
tertuju pada indikator perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi
dari keadaan diri subyek yang biasanya tidak disadari responden. Pertanyaan yang
diajukan memang dirancang untuk mengumpulkan indikasi dari aspek kepribadian
sebanyak mungkin. (misal : Apakah yang saudara lakukan apabila tiba-tiba disapa
oleh seseorang yang tidak saudara kenal?)
3) Responden pada engket biasanya tahu persis apa yang ditanyakan dalam angket dan
informasi apa yang dikehendaki. Sedangkan responden terhadap skala psikologis,
meskipun ia memahami isi pertanyaannya, biasanya mereka tidak menyadari arah
jawaban yang dikehendaki dan simpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh
pertanyaan tersebut.
4) Jawaban terhadap angket tidak bisa diberi skor (dalam arti harga atau nilai)
melainkan diberi angka atau coding sebagai identifikasi atau klasifikasi jawaban.
Respon terhadap skala psikologi diberi skor melalui proses pensklaan.
5) Satu angket dapat mengingkap informasi mengenai banyak hal, sedangkan satu skal
psikologi hanya diperuntukkan guna mengungkap suatu atribut tunggal
(unidimensional)
6) Data dari hasil angket tidak perlu diuji lagi reliabilitasnya – hal ini mendasarkan
pada reslitas bahwa pertanyaan angket adalah pertanyaan langsung mengani data
yang hendak diungkap dan jawabannya tidak bisa diberi skor --, reliabilitas angket
terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden akan menjawab dengan jujur
67

apa adanya. Di sisi lain, hasil ukur skala psikologi harus teruji reliabilitasnya secara
psikolometris, karena relevansi isi dan konteks kalimat yang digunakan sebagai
stimulus pada skala pada skala psikologi lebih terbuka terhadap eror.
7) Validitas angket lebih ditentukan oleh kejelasan tujuan dan lingkup informasi yang
hendak diungkap, sedang validitas skala psikologi lebih ditentukan oleh kejelasan
konsep psikologi yang hendak diukur dan operasionalisasinya.

3.4.2 Kegunaan Angket dan Skala Psikologis


Secara umum kuesioner banyak digunakan sebagai metode pengumpulan data
penelitian di berbagai bidang. Mc Millan, J.H (2001 : 257) memandang kuesioner
sebagai teknik yang banyak digunakan untuk menggali informasi dari subyek.
Kuesioner dipandang relatif ekonomis, sebab dalam waktu singkat sejumlah
pertanyaan atau pernyataan bisa dijjawab oleh responden dalam jumlah yang banyak
pula.
Seperti disajikan di atas, terdapat perbedaan penggunaan antara angket atau
kuesioner dengan skala psikologi. Angket digunakan untuk mengungkap data faktual
atau opini yang berkaitan dengan diri responden, sedang skala psikologi digunakan
untuk mengungkap konstrak atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek
kepribadian individu seperti : tendensi agresifitas, sikap terhadap sesuatu, self esteem,
kecemasan, perepsi, dan motivasi.
Angket dan skala psikologi dimungkinkan bisa digunakan secara bersama-sama,
artinya ketika mengungkap data-data faktual atau yang dianggap fakta kebenaran yang
diketahui subyek bisa digunakan angket. Ketika mengungkap konstrak atau konsep
psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu, digunakan skala
psikologi (periksa bagian III, lampiran 7.1 dan 7.2) Namun demikian perlu diingat,
bahwa skoringnya perlu dipisahkan lantaran jawaban angket tidak bisa diberi skor
(dalam arti harga atau nilai), sedang skoring terhadap respon skala psikologi diberi
skor melewati proses pensekalaan.

3.4.3 Tahap-tahap Penyusunan Item


Agar tidak terjadi kerancuan tahap-tahap dalam menyusun angket dengan skala
psikologi, di bawah ini disajikan tahapan-tahapan masing-masing secara terpisah,
meskupun diakui dalam beberapa hal terjadi kemiripan.

3.4.4 Tahap-tahap Penyusunan Kuesioner


Mc Millan, (2001 : 258) menunjukkan tahap-tahap penyusunan kuesioner
dalam diagram berikut

Defining Write Review


objecitives items items
(ii) (iii) (iv)
Justufication
(i)
Construct
Revision Pretes general
(vii) (vi) format
(v)
68

Diagram di atas dijelaskan secara singkat berikut ini :


1. Justifikasi
Sebelum melangkah lebih jauh, peneliti perlu mempertimbangkan kelebihan dan
kelemahan teknik yang hendak digunakan, sebab tidak ada teknik pengumpulan
data yang paling sempurna, yang ada adalah sesuai atau tidak sesuai dengan
variable, subyek, dan kondisi lingkungannya. Dalam keadaan tertentu, bisa jadi
peneliti menggunakan instrument yang telah ada, namun demikian ia juga perlu
melakukan adaptasi, sebab bisa jadi seperangkat instrument cocok untuk subyek
tertentu di tempat tertentu, tetapi tidak cocok untuk subyek tertentu di tempat lain.
2. Menetapkan tujuan;.
Pada tahap ini, peneliti menetapkan tujuan khusus yang ingin dicapai melalui
kuesioner tersebut. Tujuan tersebut hendaknya mendasarkan pada problem riset
atau pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab melalui penelitan. Dalam
penetapan tujuan ini peneliti seyogianya menentukan indikator-indikator yang lebih
spesifik dari perilaku yang hendak diukur.
3. Menulis pertanyaan atau pernyataan
Setelah peneliti menetapkan tujuan, hal yang segera dilakukan adalah menyusun
pertanyaan atau pernyataan. Agar peneliti bisa menyusun pertanyaan atau
pernyataan yang efektif , Mc Millan, (2001 : 258) menunjukkan rambu-rambu yang
perlu diperhatikan berikut :
1) Tulislah aitem dengan jelas; item dinilai jelas bila semua responden memiliki
interpretasi yang sama. Peneliti sebaiknya menghindari kalimat yang terlalu
umum sehingga mengakibatkan responden kesulitan dalam menginterpretasikan
isinya. Misal kalimat “Apa pendapat saudara tentang kurikulum baru”.
Pertanyaan semacam ini akan menimbulkan pertanyaan balik, “Kurikulum yang
mana?”, “Apa yang dimaksud dengan apa pendapat saudara?”
2) Hindari penggunaan pertanyaan atau pernyataan yang memiliki makna ganda
(double –barreled question), yaitu pertanyaan atau pernyataan yang memiliki
dua makna atau lebih. Pernyataan “Kijang lari lebih cepat dari kuda” mungkin
dimaknai ganda, sebab kata kijang dan kuda bias dimaknai “binatang” atau
“merk mobil” tertentu. Pertanyaan atau pernyataan harus disusun dengan
makna atau konsep tunggal.
3) Responden harus mengetahui jawaban dan memeiliki kewenangan (competent)
untuk menjawab; hal ini dipandang penting agar responden memberikan
jawaban yang benar-benar sesuai kemampuannya. Misal seorang guru sejarah
dimintai penilaiannya terhadap kandungan mineral pada air minum merk
tertentu, tentu ia mengalami kesulitan, lantaran memang tidak ahli dalam
bidang itu. Mungkin pertanyaan tersebut akan lebih tepat bila diajukan kepada
guru kimia.
4) Pertanyaan harus relevan. Jika responden harus memberi respon terhadap
pertanyaan atau pernyataan yang yang tidak penting bagi mereka, atau tentang
suatu pemikiran yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan atau tugas
mereka, maka mereka akan menjawab dengan sembarangan (carelessly) dan
hasilnya bisa menyesatkan. Misal : seorang guru matematika disodori kuesioner
berkenaan dengan pendidikan agama di sekolahnya, bisa jadi dia tidak
mengetahui secara penuh, sebab sangat mungkin iia hanya mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan pelajaran matematika, yang lain ia tidak mengatahui.
69

5) Aitem yang pendek dan simpel adalah yang terbaik. Aitem-aitem yang terlalu
panjang dan kompleks harus dihindari, sebab ia lebih sulit difahami, atau bisa
jadi responden tidak ingin mencoba memahaminya. Diasumsikan, bahwa
responden akan membaca secara cepat, oleh sebab itu dalam menulis aitem
sebaiknya singkat, mudah difahami, dan mudah direspon.
6) Hendaknya dihindari aitem negative, sebab hal itu bisa menyebabkan salah
tafsir. Sebab bisa jadi responden secara tidak sadar akan melewatkan (overlook)
kata-kata yang negative, kemudian jawaban mereka justru sebaliknya dari yang
diharapkan. Jika peneliti perlu menggunakan bentuk negative, seyoginya kata-
kata negativ itu dicetak tebal, diberi garis bawah, atau dengan huruf besar.
7) Hindari penggunaan aitem-aitem atau istilah-istilah yang maknanya bisa
menyimpang atau bias. Pertanyaan “Setujukah saudara dengan kepemimpinan
perempuan?” Pertanyaan ini mungkin bermaksud untuk mengungkap sikap
responden terhadap kepemimpinan perempuan, tetapi bisa jadi dimaknai
perempuan memimpin perempuan atau model kepemimpinan yang
dikhususkan untuk perempuan. Aitem yang disusun sebaiknya menunjukkan
dengan jelas, jawaban apa sebenarnya yang diharapkan peneliti, atau responden
bisa memahami konsekuensi dari respon yang diberikan.

4. Melihat kembali (review) aitem-aitem yang telah disusun.


Setelah peneliti menyusun aitem yaitu menyusun pertanyaan atau
pernyataan, sebaiknya dilihat kembali apakah susunan kalimatnya sudah benar,
bisa difahami responden, dan cetakannya sudah benar atau belum. Pada tahap ini
Mc Millan (2001 : 260) menyarankan agar peneliti bertanya kepada teman, kolega,
dan orang-orang ahli untuk melihat kembali aitem-aitem yang telah disusun dan
problem yang mungkin muncul. Di samping itu, bisa dilakukan dengan cara
menyusun aitem menjadi dua kelompok yang sepadan (two equivalent form)
kemudian mencobakan kedua kelompok item tersebut kepada dua kelompok secara
acak. Jika hasil dari uji coba terhadap dua kelompok itu sama atau mendekati sama
maka item itu bisa digolongkan bagus, tetapi jika tidak maka aitem itu perlu ditulis
kembali.

5. Menyusun format keseluruhan.


Secara keseluruhan, kuesioner pada umumnya terdiri dari (1) pengantar, (2)
identitas responden, (3) petunjuk cara memberikan respon terhadap aitem-aitem
yang tersedia, dan (4) beberapa petunjuk teknis yang lain. Secara singkat bagian-
bagian itu dijelaskan berikut :
1) Dalam menyusun bagian pengantar sebaiknya dijelaskan tujuan kuesioner,
respon yang diharapkan, pemanfaatan data yang diperoleh, jaminan kerahasiaan
dan tidak ada pengaruh terhadap penilaian kinarja (bagi karyawan) atau nilai
rapor (bagi siswa), serta harapan agar responden memberikan respon sesuai
keadaan yang sebenarnya
2) Jika dipandang perlu, identitas responden seperti nama, alamat rumah,
pendidikan terakhir, jenis kelamin boleh ditanyakan. Tetapi jika dalam proses
analisis beberapa identitas diri itu tidak diperlukan, maka lebih baik tidak
ditanyakan. Cara ini dilakukan hanya semata-mata untuk menjaga agar
responden bisa memberikan jawaban dengan sewajarnya lantaran tidak harus
menunjukkan identitas dirinya secara keseluruhan.
3) Petunjuk cara memberikan respon terhadap aitem-aitem yang tersedia. Petunjuk
ini dipandang penting agar responden bisa memberikan jawaban dengan benar
70

sesuai harapan peneliti, sebab kesalahan dalam memberikan respon bisa jadi
kesalahan dalam memberikan jawaban. Oleh sebab itu petunjuk cara
memberikan respon itu harus jelas. Misalnya : menjawab singkat, memilih
jawaban yang tersedia, menyilang huruf di depan alternative jawaban, memberi
tanda cek pada skala atau dalam kotak yang tersedia.
Jika satu set kuesioner terdiri dari beberapa kelompok dengan berbagai macam
bentuk kuesioner, maka pada setiap awal bentuk kuesioner juga perlu diberi
petunjuk yang sesuai.
4) Beberapa petunjuk teknis disarankan oleh Mc Millan, (2001 : 266) yaitu (a)
gunakan tata bahasa, ejakan, dan tanda baca dengan benar, (b) pastikan bahwa
cetakan adalah jelas dan mudah dibaca, (c) dalam membuat perintah hendaklah
singkat dan mudah difahami.

6. Setelah semua bagian tersusun dengan baik, sebelum kuesioner dikirim kepada
responden yang sesungguhnya, sebaiknya peneliti melakukan pretes atau tryout
preliminer. Tryout ini dimaksudkan untuk (1) menghindari pertanyaan-pertanyaan
yang kurang jelas maksudnya, (2) meniadakan kata-kata yang terlalu asng bagi
responden, terlal akademis,, atau kata-kata yang menimbulkan kecurigaan, (3)
menghindari pertanyaan atau pernyataan yang biasa dilewati atau hanya
menimbulkan jawaban yang dangkal, (4) untuk menambah aitem yang dipandang
perlu atau menghilangkan aitem yang dipandang kurang relevan dengan tujuan
penelitian
7. Atas dasar hasil tryout itu kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan (revisi), dan
jika masih dipandang perlu tryout ulang hingga mencapai bentuk final. Format
akhir inilah yang nantinya akan dikirim kepada responden yang sebenarnya.

3.4.5 Tahap-tahap Penyusunan Skala Psikologis


Saifuddin Azwar (2005 : 11) menunjukkan alur kerja dalam penyusunan skala
psiklogis berikut :

Identifikasi tujuan ukur


Penetapan konstruk psikologis

Operasionalisasi Konsep
Indikator perilaku

Penskalaan Pemilihan format stimulus

Penulisan aitem
Reviu aitem
71

Uji coba

Analisis aitem

Kompilasi I
Seleksi aitem

Validasi

Kompilasi II
Format final

Diagram di atas selanjutnya dijelaskan berikut :


1. Penetapan tujuan
Sedikit berbeda dengan penyusunan angket, dalam menetapkan tujuan skala
psikologis Saifuddin Azwar (2005 : 12) menyarankan agar pada tahap penetapan
tujuan ini dimulai dari identifikasi tujuan ukur, yaitu memilih suatu definisi dan
mengenali teori yang mendasari konstrak psikologis atribut yang hendak diukur.
2. Operasionalisiasi konsep
Pada tahap ini, peneliti melakukan pembatasan kawasan (domain) ukur
berdasarkan konstrak yang didefinisikan oleh teori yang bersangkutan. Pembatasan ini
harus diperjelas dengan menguraikan komponen atau dimensi-dimensi yang ada dalam
atribut termaksud. Dengan mengenali batasan ukur dan adanya dimensi yang jelas,
maka skala akan mengukur secara komprehensif dan relevan, yang pada gilirannya
akan menunjang validitas isi skala.
Misal, seorang mahasiswa hendak meneliti tentang “konseo diri” siswa, pada
tahap ini seyogianya ia sudah memahami konstrak teori tentang “konsep diri” secara
benar. Misal : pengertian konsep diri, isi konsep diri, struktur konsep iri, factor yang
mempengaruhi pembentukan konsep diri, cirri-ciri konsep diri, dan indkator-indikator
konsep diri. Mendasarkan konstrak tersebut seorang peneliti mengembangkan item-
itemnya. (periksa bagian III, lampiran 7)
Dengan demikian ibarat seorang melakukan penelitian tentang “gajah”, maka
kaki yang diukur adalah kaki gajah, ekor yang diukur adalah ekor gajah, badan yang
diukur adalah badan gajah, dan kepala yang diteliti juga kepala gajah. Bukan badan
gajah tetapi kepalanya kepala sapi, atau ekornya ekor kambing, dan seterusnya.

3. Pemilihan bentuk stimulan


Sebelum penulisan aitem dimulai, penyusun skala psikologis perlu menetapkan
bentuk atau format stimulus yang hendak digunakan. Bentuk stimulus ini berkaitan
dengan metoda penskalaannya (selanjutnya periksa : bentuk-bentuk penskalaan).
Dalam pemilihan bentuk penskalaan biasanya lebih tergantung pada kelebihan teoretis
dan manfaat praktis format yang bersangkutan.hal iniberbeda dengan pengembangan
tes-tes kemampuan kognitif yang dalam pemilihan format aitemnya perlu
mempertimbangkan berkenaan dengan responden, materi uji, dan tujuan pengukuran.

4. Penulisan aitem/reviu aitem


72

Setelah komponen-komponen aitem jelas identifikasinya atau indikator-indikator


perilaku telah dirumuskan dengan benar, lazimnya disajikan dalam bentuk blue-print
dalam bentuk tabel yang memuat uraian komponen-komponen dan indikator-indikator
perilaku dalam setiap komponen, maka penulisan aitem bisa dimulai. Beberapa kaidah
dalam penulisan aitem ditunjukkan oleh Sutrisno hadi (2004 : 165) dan Saifuddin
Azwar (2005 : 35) disarikan berikut :
1) Gunakan kalimat yang sederhana, jelas, dan mudah dimenegerti oleh
responden, serta mengikuti tata tulis dan tata bahasa yang baku.
2) Hindari penggunaan kata-kata yang bisa bermakna ganda dan memasukkan
kata-kata yang tidak ada gunanya.
3) Hindari pula penggunaan kata-kata yang terlalu kuat (sugestif, menggiring) dan
atau terlalu lemah (tidak merangsang). Kata-kata yang yang terlalu kuat akan
mendorong responden untuk keluar dari pagar fakta-fakta, sebaliknya kata-kata
yang terlalu lemah tidak dapat memancing respon yang memadai atau adekuat
4) Selalu diingat bahwa dalam penulisan aitem hendaknya selalu mengacu pada
indicator perilaku atau komponen atribut, dan oleh karena itu jangan menulis
aitem yang langsung menanyakan atribut yang hendak diungkap.
5) Selalu perhatikan indikator perilaku yang hendak diungkap sehingga stimulus
dan dan pilihan jawaban tetap relevan dengan tujuan pengukuran.
6) Perlu menguji pilihan-pilihan jawaban yang telah ditulis, adakah perbedaan arti
atau makna antara dua pilihan yang berbeda sesuai dengan cirri atribut yang
sedang diukur. Apabila tidak ada bedanya, maka aitem yang bersangkutan tidak
akan memiliki daya beda (discriminating power)
7) Perhatikan bahwa isi aitem tidak boleh mengandung keinginan social pada
umumnya dan dianggap baik oleh norma social (social desirability). Aitem
yang mengandung social desirability cenderung akan disetujui atau didukung
oleh semua orang semata-mata Karen aorang berfikir normative, buka karena
aitem itu sesuai dengan perasaan atau keadaan dirinya.
8) Untuk menghindari stereotype jawaban atau cenderung memberikan jawaban
pada sisi kanan atau kiri tanpa membaca dan mempertimbangkan
kesesuaiannya dengan diri responden, maka sebagian aitem perlu dibuat dalam
arah favorabel (positif) dan sebagian lain dibuat dalam arah tidak favirabel
(negative). Dengan demikian responden akan membaca dengan lebih teliti dan
sungguh-sungguh.

5. Reviu Item
Reviu pertama dilakukan oleh penulis aitem sendiri, yaitu dengan selalu
memeriksa ulang setiap aitem yang baru saja ditulis apakah telah sesuai dengan
indicator perilaku yang hendak diungkap dan apakah juga tidak keluar dari pedoman
penulisan aitem. Apabila semua aitem telahselesai ditulis, reviu kedua dilakukan oleh
beberapa orang yang dipandang kompeten. Kompetensi yang diperlukan bagi orang
yang diminta mereviu adalah (a) menguasai masalah konstruksi, (b) menguasai
masalah atribut yang diukur, dan (c) menguasai bahasa tulis standar. Semua aitem yang
yang diperkirakan tidak sesuai dengan spesifikasi blue-print atau yang tidak sesuai
dengan kaidah penulisan harus diperbaiki atau ditulis ulang. Hanya aitem-aitem-aitem
yang diyakini akan berfungsi dengan baik yang boleh diloloskan untuk mengikuti uji
coba lapangan.

6. Uji coba
73

Tujuan pertama uji coba aitem adalah untuk mengetahui apakah kalimat-kalimat
dalam aitem mudah dan dapat difahami oleh responden sebagaimana diinginkan oleh
penulis aitem. Reaksi-reaksi responden berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai kata-
kata atau kalimat yang digunakan dalam aitem merupakan pertanda kurang
komunikasinya kalimat yang ditulis, dan itu memerlukan perbaikan. Hal ini sangat
mungkin terjadi mengingat apa yang sudah jelas bagi penulis aitem bias jadi belum
cukup mudah difahami oleh responden. Tujuan kedua, uji coba dijadikan salah satu
cara praktis untuk memperoleh data jawaban dari responden yang akan digunakan
untuk penskalaan atau evaluasi kualitas aitem secara statistik.

7. Analisis Item
Analisis aitem merupakan proses pengujian parameter-parameter aitem guna
mengetahui apakah aitem memenuhi persyaratan psikometris untuk disertakan sebagai
bagian dari skala. Parameter aitem yang perlu diuji sekurang-kurangnya adalah daya
beda atau daya deskriminasi aitem, yaitu kemampuan aitem untuk membedakan
anatara subyek yang memiliki atribut yang diukur dan yang tidak. Lebih spesifik lagi,
daya beda aitem memperlihatkan kemampuan aitem untuk membedakan individu ke
dalam berbagai tingkatan kualitatif atribut yang diukur mendasarkan skor kuantitatif.
Misal : aitem yang ditujukan untuk mengukur motivasi belajar seseorang, maka aitem
itu tentu bias menunjukkan perbedaan individu yang motivasi belajarnya tinggi,
sedang, dan rendah. Dalam analisis aitem yang lebih lengkap dilakukan juga analisis
indeks validitas dan indeks reliabilitas aitem.

8. Kompilasi I
Mendasarkan hasil analisis aitem, maka aitem-aitem yang tidak memenuhi
persyaratan psikometris akan disingkirkan atau diperbaiki lebih dahulu sebelum dapat
menjadi bagian dari skala. Di sisi lain, aitem-aitem yang memenuhi persyaratan juga
tidak dengan sendirinya disertakan ke dalam skala, sebab proses kompilasi skala masih
harus mempertimbangkan proporsionalitas komponen-komponen skala sebagaimana
dideskripsikan oleh blue-print-nya. Dari sini bisas difahami, bahwa dalam
mengumpulkan (mengkompilasi) aitem-aitem yang memnuhi persyaratan untuk
menjadi bagian dari skala perlu memperhatikan (1) apakah suatu aitem memenuhi
persyaratan psikometris atau tidak, dan (2) proposionalitas komponen-komponen skala
seperti tertera dalam blue-print.

9. Kompilasi II
Aitem-aitem yang terpilih yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah yang telah
dispesifikasikan oleh blue-print, selanjutnya dilakukan uji reliabilitas. Apabila
koefisien reliabilitas skala ternyata belum memuaskan, maka penyusun skala dapat
kembali ke langkah kompilasi dan merakit ulang skala dengan lebih mengutamakan
aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi sekalipun perlu mengubah proporsi aitem
dalam setiap komponen atau bagian skala.
Kumpulan aitem yang memiliki daya deskriminasi tinggi akan dapat
meningkatkan koefisien relibilitas skala. Cara lain yang bias dilakukan adalah dengan
cara menambah jumlah aitem pada setiap komponen secara prporsional dengan (bila
perlu) menurunkan sedikit criteria seleksi aitem. Hal ini dilakukan terutama jika
jumlah aitem dalam skala belum begitu banyak. Secara umum, penambahan jumlah
aitem akan meningkatkan koefisien reliabilitas skala.
Proses validasi pada hakekatnya merupakan proses berkelanjutan. Pada skala-
skala yang akan digunakan secara terbats, pada umumnya dilakukan pengujian
74

validitas berdasarkan criteria. Sedang pada skala yang akan digunakan secara luas
biasa diperlukan proses analisis factor dan validasi silang (cross validation)
Pada akhirnya, format akhir skala seyogianya ditata dalam tampilan yang
menarik namun tetap memudahkan bagi responden untuk membaca dan menjawabnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan seperti disarankan oleh Saifuddin Azwar (2005 : 15)
adalah (1) perlu dilengkapi dengan pengerjaan dan lembar jawab yang terpisah, (2)
ukuran kertas yang digunakan juga perlu disesuaikan dengan panjangnya skala, agar
berkas skal tidak nampak terlalu tebal yang menyebabkan responden kehilangan
motivasi, dan (3) ukuran huruf sebaiknya juga perlu mempertimbangkan usia
responden, seyogianya tidak menggunakan huruf yang ukurannya terlalu kecil agar
responden yang tergolong lanjut usia tidak kesulitan untuk membacanya.

3.4.6 Bentuk-bentuk Item


Ada beberapa bentuk aitem kuesioner maupun skala psiologis yang bisa dipilih
oleh peneliti, antara lain :
1. Dilihat dari langsung atau tidaknya kuesioner itu dikirimkan kepada individu
sebagai sumber data, kuesioner bisa dibedakan menjadi kuesioer langsung dan
tidak langsung. Jika kuesioner dikirimkan langsung kepada orang yang dimintai
keterangan yang berkaitan dengan diri mereka sendiri, maka disebut kuesioner
langsung. Sebaliknya jika kuesioner dikirim kepada seseorang yang diminta
menceritakan keadaan orang lain, maka disebut kuesioner tidak langsung.
2. Dilihat dari segi cara menjawabnya, harus mengisi sendiri atau memilih pilihan
yang telah disediakan, bisa dibedakan menjadi kuesioner tipe isian dan tipe
pilihan.
Pada kuesioner tipe isian, responden sendiri yang harus menuliskan jawaban yang
diminta oleh peneliti.
Misal : Nama : …………………..
Tempat/tanggal lahir : ……………………….
Pendidikan terakhir : ……..
Kelemahan tipe ini adalah bisa jadi responden segan atau malas memberi
jawaban yang lengkap, sehingga hanya beberapa hal yang bisa diketahui darinya, di
samping itu mungkin responden tidak mencantumkan hal-hal yang sebenarnya
sangat diperlukan lantaran hal itu dipandang tidak penting atau lupa
mencantumkannya.
Pada kuesioner tipe pilihan, responden dalam memberikan jawaban cukup
memilih salah satu dari pilihan yang telah disediakan. Bentuk-bentuk pilihan itu
bisa bermacam-macam, misal : “ya” atau “tidak”, “setuju” atau “tidak setuju”,
(bentuk ini yang pada akhir-akhir ini berkembang menjadi bentuk skala), dan
bentuk pilihan ganda dua, tiga, empat, atau lima pilihan berikut :
Misal : Pendididkan terakhir : SD/SMP/SMU/SMK/PT (coret yang tidak sesuai)
Lantai rumah terdiri dari : tanah liat, tegel biasa, keramik, kayu (coret yang tidak
sesuai)
Pada tipe ini juga terdapat kelemahan manakala pilihan yang disediakan
tidak memadai, akhirnya memaksa responden harus memilih satu jawaban yang
sebenarnya kurang tepat. Untuk mengatasi hal ini, maka peneliti hendaknya
menyediakan satu pilihan kosong yang mungkin diisi sendiri oleh responden.
Aitem bentuk pilihan ini pada umumnya lebih menarik bagi responden
dibandingkan tipe isian, hal ini dimungkinkan karena kemudahan dalam
memberikan jawaban dan waktunya yang lebih singkat. Sutrisno Hadi (2004 : 162)
memandang bahwa bentuk pilihan tiga, empat atau lebih (multiple choise) adalah
75

lebih baik bila dibandingkan hanya dengan dua alternative (force shoice). Namun
demikian perlu diingat, bahwa tidak semua harus dijadikan banyak pilihan jika
faktanya memang hanya dua pilihan .

3. Dilihat dari sisi keleluasaan responden dalam memberikan jawaban atau komentar
terhadap pertanyaan atau pernyataan yang diajukan, bisa dibedakan menjadi
kuesioner bentuk terbuka (open form questionaire) dan kuesioner bentuk tertutup
(closed form questonaire, structured, or closed ended).
Pada kuesioner bentuk terbuka responden diberi kesempatan untuk menjawab atau
memberi komentar seluas-luasnya terhadap pertanyaan atau pernyataan yang
diajukan peneliti.
Misal : a. “Bagaimana pendapat saudara jika orang-orang yang IQ-nya tinggi
diberi kesempatan untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya?”
b. Bagaimana pendapat saudara jika orang-orang yang IQ-nya rendah
dikebiri saja?”
Sebaliknya pada kuesioner bentuk tertutup, responden terbatas dalam memeberikan
jawaban atau pendapat tentang masalah yang diajukan peneliti. Beberapa contoh
aitem model tertutup disajikan berikut :
Misal : a. “Apa hobi sudara?”,
b. “Berapa jumlah saudara anda yang masih hidup?”
c. “Berilah silang pada huruf di depan alternative yang menggambarkan
berapa jam saudara belajar setiap hari :
a. 0-2
b. 3-5
c. 6-8
d. 9-11
Ada beberapa kelebihan kuesioner bentuk tertutup yaitu (a) mudah diskor
dibanding bentuk terbuka, (b) responden bisa menjawab kuesioner secara lebih
cepat, dan oleh karena itu (c) bentuk ini lebih tepat digunakan untuk responden
dalam jumlah banyak

3.4.7 Bentuk-bentuk skala (rating scale)


Terdapat beberapa bentuk skala (rating scale) Aiken (1996: 34-42) meunjukkan
beberapa bentuk skala sebagai berikut :

1. Skala berkutup tunggal (unipolar), dan berkutup dua (bipolar).


Contoh skala berkutup tunggal :
Bagaimana pendapat saudara tentang kinerja guru X di sekolah saudara?

1. Kehadiran guru di sekolah 1 2 3 4 5


2. Tampilan di depan kelas 1 2 3 4 5
3. Hubungan guru dengan murid 1 2 3 4 5

Pada skala di atas, angka 1 menujukkan skor terendah, sedang angka 5


menunjukkan skor tertinggi.

Bentuk kutup tunggal ini bisa dikonversi menjadi bentuk berkutup dua yaitu
dengan cara menggunakan dua kata sifat yang berlawanan dan
menempatkannya pada dua titik ekstrim
76

Contoh skala berkutup dua :


Bagaimana pendapat saudara tentang kinerja guru Y ?

1. Hubungan guru dengan murid


buruk bagus

2. Tampilan di depan kelas :


buruk bagus

3. Penguasaan materi :
buruk bagus

2. Numerical rating scale


Pada bentuk ini, responden (ratee) diminta untuk memberi tanda (mungkin :
cek (v) atau tanda silang) pada angka-angka yang menggambarkan kualitas
atau intensitas indikator atau komponen atribut yang sedang diukur
Misal : responden diminta menilai pelaksanaan pelajaran tambahan yang
diselenggarakan oleh sekolah
3. Kehadiran guru di sekolah 1 2 3 4 5
4. Penguasaan materi 1 2 3 4 5
5. kesesuaiannya dengan soal-soal UAN 1 2 3 4 5

3. Semantic differential scale


Istilah “semantic” berarti berkenaan dengan kata-kata. Bentuk ini lazim
digunakan untuk mengungkap pemaknaan seseorang terhadap suatu konsep; misal :
ayah, ibu, penyakit, dosa, kebencian, dosa, olah raga, seni dan lain-lain. Skala
model ini lazimnya disusun dengan model “berkutup dua” (bipolar) dengan
menempatkan dua kata sifat yang berlawanan dengan tujuh hingga sembilan point
di tengahnya. Contoh konsep tentang “ibu” dinilai dalam bentuk skala berikut :

Ibu
Buruk ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___ Baik
Lemah ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___ Kuat
Lambat ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___ Cepat

Pada bentuk ini, responden diminta memberi tanda (mungkin cek atau tanda
silang) pada point yang tersedia diantara dua kutup yang berlawanan. Tanda
yang semakin dekat dengan sifat yang diujung kiri atau kanan menunjukkan
bahwa penilaian responden terhadap suatu konsep cenderung ke arah atau
mendekati sifat itu.

4. Graphic rating scale


Salah satu bentuk skala penilaian yang paling populer adalah bentuk grafik.
Pada kedua ujungnya, atau mungkin di tengah-tengah atau di sela-sela di antara
poin-poin yang ada terdapat titik-titik yang dihubungkan dengan garis
sehingga bentuknya seperti grafik. Responden dimintai memberikan penilaian
terhadap suatu indikator atau komponen atribut pada poin-poin yang tersedia, di
bawahnya dijelaskan makna poin-poin tersebut. Contoh berikut adalah skala
model grafik dalam mengukur motivasi belajar siswa
77

! ! ! ! !
selama selama semampu selama
Selama
masih ada ortu masih saya saya sehat saya
masih
teman membiayai hidup

Pada skala tersebut jarak antar poin dibuat sama, di mana setiap poin memiliki
makna dari kiri paling rendah, semakin ke kanan semakin tinggi. Atau bisa
dibuat sebaliknya

5. Standard rating scale


Pada skala bentuk ini, penilai (rater) menyediakan satu set standar (sifat-
sifat manusia) yang harus dibandingkan oleh responden dengan diri sendiri atau
individu lain yang sedang dinilai. Sebagai contoh, seorang peneliti ingin
mengukur karakteristik perilaku seseorang secara spesifik, maka peneliti
menjadikan seseorang sebagai tolok ukur atau pembanding dalam mengukur
orang lain.
Dalam mengembangkan skala model ini, peneliti memulai dengan
berpikir tentang lima orang yang diduga memiliki karakteristik yang berbeda-
beda. Kemudian responden diminta menilai dengan cara membandingkan lima
orang tersebut, karakteristik mana dari kelima orang terebut yang paling
mendekati dengan karakteristik individu yang diharapkan. Standar itu tidak
selalu orang, tetapi bisa berupa deskripsi singkat tentang tingkah laku dari
“yang paling buruk ke yang paling baik” atau “dari yang paling rendah ke
paling tinggi” "paling buruk ke yang terbaik" atau " paling rendah ke paling
tinggi".
Dalam bentuk skala standar campuran (mixed standard scale), peneliti
menunjukkan contoh nyata tampilan yang bagus, rata-rata dan kurang.
Kemudian responden diminta untuk memberikan penilaian terhadap
perilakunya sendiri apakah “lebih buruk dibanding”, “sama bagusnya”, atau
“lebih bagus dari” yang disajikan dalam contoh.

3.4.7 Ringkasan dan Tugas Latihan


1. Ringkasan
a. Angket atau kuesioner didefinisikan sebagai sejumlah pertanyaan atau pernyataan
tertulis tentang data faktual atau opini yang berkaitan dengan diri responden, yang
dianggap fakta atau kebenaran yang diketahui dan perlu dijawab oleh responden.
b. Angket berbeda dengan skala psikologis yang memiliki karakteristik khusus, yaitu
(a) cenderung digunakan untuk mengukur aspek afektif – bukan kognitif. (b)
stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap
atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut
yang bersangkutan, (c) jawabannya lebih bersifat proyektif, (d) selalu berisi banyak
aitem berkenaan dengan atribut yang diukur, (e) respon subyek tidak
diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”, semua jawaban dianggap
benar sepanjang sesuai keadaan yang sebenarnya, jawaban yang berbeda
diinterpretasikan berbeda pula
78

c. Terdapat perbedaan penggunaan antara angket atau kuesioner dengan skala


psikologi. Angket digunakan untuk mengungkap data faktual atau opini yang
berkaitan dengan diri responden, sedang skala psikologi digunakan untuk
mengungkap konstrak atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek
kepribadian individu seperti : tendensi agresifitas, sikap terhadap sesuatu, self
esteem, kecemasan, perepsi, dan motivasi.
d. Angket dan skala psikologi dimungkinkan bisa digunakan secara bersama-sama,
artinya ketika mengungkap data-data faktual atau yang dianggap fakta kebenaran
yang diketahui subyek bisa digunakan angket. Ketika mengungkap konstrak atau
konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu, digunakan
skala psikologi.
e. Ada beberapa bentuk aitem, ada aitem yang berbentuk (a) langsung dan tidak
langsung, (b) isian dan pilihan, (c) terbuka dan tertutup, (d) skala dengan bentuk-
bentuk unipolar dan bipolar, numerical rating scale, semantic differential scale,
graphic rating scale, dan standard rating scale.

2. Tugas-tugas latihan
a. Buatlah kuesioner sekaligus skala psikologis dengan keterangan berikut :
1) Tujuan penelitia adalah untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan orang tua
dengan motivasi melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi.
2) Subyek penelitiannya adalah siswa SMTA (SMU/SMK)
3) Bentuk item kuesioner adalah bentuk tertutup, sedang bentuk skala psikologis
adalah bentuk graphic rating scale.
4) Jumlah aitem 80.
5) Lakukan uji coba lapangan, dan lakukan pula uji validitas dan reliabilitas.
Setelah itu ambil 40 soal yang tergolong valid dan reliable

b. Setelah tersusun aitem yang memenuhi syarat, lakukan penelitian lapangan ke


sekolah asal saudara, -- boleh secara berkelompok --, sesudah itu lakukan analisis
hingga ditemukan hasil akhir sesuai tujuan penelitian.

3.5 Sosiometri
3.5.1 Sekilas tentang Sosiometri
Metode ini dikemukakan oleh Moreno, bertujuan untuk meneliti saling hubungan
antara anggota kelompok di dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, sosiometri
banyak digunakan untuk mengumpulkan data tentang dinamika kelompok. Sosiometri
juga dapat digunakan untuk mengetahui popularitas seseorang dalam kelompoknya,
menyelidiki kesukaran seseorang terhadap teman sekelompoknya, baik dalam
pekerjaan, sekolah maupun teman bermain, menyelidiki ketidaksukaan terhadap teman
sekelompoknya.
Sebagai contoh, apabila kita ingin mengetahui mengapa beberapa murid
mengalami kesulitan dalam pelajarannya, sedangkan secara akademik mereka pandai,
hal ini mungkin dapat disebabkan oleh kurangnya penyesuaian diri terhadap teman
sekelasnya. Keadaan semacam ini dapat diketahui dengan menggunakan sosiometri.

3.5.2 Angket Sosiometri


Alat untuk mendapatkan materi sosiometri dengan menggunakan beberapa
pertanyaan yang berisi mengenai siapa yang disenangi (diplih) dan siapa yang tidak
disenangi (ditolak) dari anggota kelompoknya. Daftar pertanyaan yang dipergunakan
79

untuk mendapatkan materi sosiometri dinamakan angket sosiometri. Adapun jawaban


yang diberikan oleh responden tentang siapa yang disenangi ataupun siapa yang tidak
disenangi tersebut dapat terdiri dari satu, dua, tiga orang atau lebih.

3.5.3 Menggambarkan Hasil Angket Sosiometri


Data mental yang dikumpulkan dengan angket sosiometri, apabila belum
disusun akan merupakan data yang masih sukar untuk dianalisa dan diketahui (dibaca).
Agar data tersebut mudah dibaca siapa yang paling popular (paling disenangi) dan
siapa yang paling tidak disenangi maka data tersebut harus berupa harus disajikan
dalam bentuk tabel. Tabel dari data sosiometri disebut matrik sosiometri. Perlu diingat
bahwa penyajian data angket sosiometri dalam bentuk matrik ini tidak dapat dilihat
mengenai “saling hubungan” antara anggota kelompok, anak kelompok dan lain-lain.
Oleh karena itu, dari bentuk matrik ini dapat dibuat bentuk penyajian sosiometri yang
lebih baik, yaitu dengan membuat sosiogram. Dengan melihat sosiogram akan dapat
diketahui dengan mudah mengenai:
1. Status sosiometri dari setiap subyek.
1) Status pemilihan.
2) Status penolakan.
3) Status pemilihan dan penolakan
2. Besarnya jumlah pemilih untuk setiap subyek.
3. Arah pilihan dari dan terhadap individu tertentu.
4. Kualitas arah pilihan.
5. Intensitas pilihan.
6. Ada dan tidaknya pusat pilihan.
7. Ada tidaknya isolasi.
8. Kecenderungan terbentuknya anak kelompok.
Untuk lebih memperjelas uraian tersebut di atas, dapat dilihat contoh pembuatan
matrik sosiometri dan sosiogram di bawah ini. Misalnya: Kelompok yang terdiri dari
enam orang. Dengan menggunakan angket sosiometri untuk memilih dua orang yang
paling disenangi dari kelompoknya.
Hasil angket sebagai berikut:
Angket dari A memilih B dan C
B memilih A dan C
C memilih E dan A
D memilih A dan B
E memilih A dan D
F memilih B dan A.
Hasil angket dari enam orang saja, apabila disajikan dalam bentuk seperti di atas
membuat kita kesulitan dalam membaca dan menentukan siapa yang terbanyak
pemilihnya, siapa yang paling tidak popular, siapa yang terisolir, dan lain-lain.
Akan sangat berbeda, bila data tersebut kita sajikan dalam bentuk matrik seperti di
bawah ini:

PEMILIH Total
Subyek
A B C D E F
80

DIPILIH
A X X X X X 5
B X X X 3
C X X 2
D X 1
E
Total 2 2 X
2 2 2 2 1
12

Dengan matrik sosiometri ini, secara mudah dan cepat dapat diketahui jumlah pemilih
untuk setiap orang, siapa yang paling populer dan yang tidak populer, akan tetapi
masih sulit pula untuk mengetahui individu yang saling memilih, siapa saja yang
menjadi anak kelompok dan lain-lain. Maka akan lebih baik jika disajikan dalam
bentuk sosiogram, seperti digambarkan di bawah ini:

A
5-

4-
B
3-

2- C
D
1- E
F
0-

Keterangan:
0,1,2,3,4,5 frekuensi pemilih.
A,B, C, D, E, subyek terpilih.
Cara membuat:
1. Buat sumbu ordinat dan dibuat skala yang mencakup frekuensi pemilih yang
terbanyak.
2. Letakkan masing-masing individu setinggi frekuensi pemilih yang diperoleh.
Misalnya A pemilihnya 5 orang, A diletakkan pada garis yang setinggi
frekuensi 5.
3. Buat garis pilihan yang ditandai dengan tanda panah, misalnya:
A B berarti A memilih B
A B berarti A dan B saling memilih
( A memilih B dan B Juga memilih A)
A B berarti A menolak B
A B berarti A menolak B dan B juga menolak A
A B berarti A memilih B dan B menolak A.
Bentuk hubungan
Bentuk hubungan antar individu dalam suatu kelompok dapat bermacam-
macam:
1. Berbentuk segitiga (Triangle)
Hubungan yang mempunyai intensitas yang cukup
kuat

2. Berbentuk bintang (Star)


81

Bila pusat (A) tidak ada, maka kelompok akan bubar, karena hubungan kurang
menyeluruh

3. Berbentuk jala (Net)

Hubungan ini juga mempunyai intensitas cukup kuat. Hubungan cukup


menyeluruh, baik, kuat dan hilangnya seseorang tidak akan membuat
kelompoknya bubar.
4. A B C D (berbentuk rantai/ Chain)
Hubungan searah atau sepihak tidak menyeluruh, kelompok yang demikian ini
keadaannya rapuh.
Selain mengetahui bentuk kelompok, intensitas kelompok, ada tidaknya anak
kelompok, arah hubungan dan lain-lain, maka hasil sosiometri ini juga dapat
dianalisis lebih lanjut, antara lain:
1. Status Pemilih
Pm A = jumlah pemilih A
N -1
N = jumlah anggota kelompok
Pm A = indek status pemilih A

Arti indeks:
Pm = 0 berarti tidak ada yang memilih
Pm = 1 berarti semua anggota kelompok memilih
Indeks pemilih bergerak dari 0 – 1

2. Status Penolak
Pn A = jumlah penolak A
N -1
Pn A = indeks status penolak A
N = jumlah anggota kelompok

Arti indeks:
Pn = 0 berarti tidak ada yang menolak.
Pn = - 1 berarti semua orang menolak
Indeks penolakan bergerak dari – 1 sampai 0

3. Status Pemilihan dan Penolakan


PmPn A = jumlah pemilih A – jumlah penolak A
N–1
Pm Pn A = indeks pemilihan dan penolakan A
N = jumlah anggota kelompok
PmPn A = - 1 berarti semua orang menolak A
82

Pm Pn A = + 1 berarti semua orang memilih A (populer)


Indeks pemilihan dan penolakan bergerak dari -1 sampai +1.

3.5.3 Rangkuman dan Tugas Latihan


1. Rangkuman
Sosiometri banyak digunakan untuk mengumpulkan data tentang dinamika
kelompok dan mengetahui popularitas seseorang dalam kelompoknya, serta
menyelidiki kesukaran seseorang terhadap teman sekelompoknya, baik dalam
pekerjaan, sekolah maupun teman bermain. Daftar pertanyaan yang dipergunakan
untuk mendapatkan materi sosiometri dinamakan angket sosiometri. Hasil angket
sosiometri dapat dibuat dalam bentuk penyajian yang lebih baik yaitu dengan membuat
sosiogram.

2. Tugas Latihan
1. Sebarkan angket sosiometri pada siswa kelas akhir, selanjutnya
carilah siswa yang menunjukkan gejala terasing kemudian rencanakan program
bimbingan individual untuknya.
2. Buatlah kelompok belajar dari satu kelas dengan memanfaatkan
teknik sosiometri, upayakan setiap kelompok belajar terdiri dari lima orang dengan
tetap memperhatikan komposisi jenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta
memperhatkan arah pilih siswa

DAFTAR PUSTAKA
83

ABKIN. 2005. Standar Kometensi Konselor Indonesia. Bandung : Pengurus Besar


ABKIN

Aiken,L R. 1997. Psychological Testing and Assessment. (8 th edition). Tokyo : Allyn


and Bacon

…………. 1996. Rating Scales and Checlists. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Anastasi,A & Urbina, S. 2006. Tes Psikologi (Alih Bahasa : PT Indeks kelompok
Gramedia). Jakarta : PT Indeks

Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya : Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia.
Bandung : UPI

Djamari. 1993. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Bandung : Alfabeta

Djumhana, Anna. 1983. Metode Observasi Dalam Konseling (Kumpulan naskah dalam :
Materi dasar Pendidikan Program Bimbingan dan Konseling di Perguruan
Tinggi). Jakarta : Depdikbud, Dirjen Dikti

Elllis, C.M. 2004 . Conducting a Structured Observation (dalam Professional School


Counseling : A Handbook of Theories, Programs & Practice ). Texas : CAPS
Press.

Erford, B.T. (Editor). 2004. Professional School Counseling : A Handbook of Theories,


Programs & Practice. Texas : CAPS Press.

Gall,H.D. Gall,J.P. Borg, W.R Educational Research : an Introduction. USA : Pearson


Education Inc

Friedman,H.S & Schustack,M.W. 2008. Kepribadian : Teori Klasik dan Riset Modern,
Edisi Ketiga. (alih bahasa : Fransiska Dian Ikarini dkk) Jakarta : Erlangga

Gibson, R.L. & Mitchell. M.H. Introduction to Counseling and Guidance (Fourth
Editiion). New Jersey : Prentice Hall

Jandt, F.E. (1998). Intercultural Communication. Thousand Oaks, California : Sage

Kerlinger, 2002. Azas-azas Penelitian Behavioral, Yogyakarta : Gajah Mada University


Press

Nazir,Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia


Pederson,P.B; ed. (1986). Counseling Across Culture. Hawaii : East-West Centre

Saifuddin Azwar. 2006. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

............. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Relajar

Suryabrata, S. 2005. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta : Andi


84

Anda mungkin juga menyukai