Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TEORI PEMUNGUTAN PAJAK DAN PEMBAGIAN PAJAK

Mata Kuliah Perpajakan I


Dosen Pengampu : Ibu Norlena, SE, MSA, AK, CA.

Disuun Oleh :

Kelompok 2

1. Ahmad Husin (1910313110025) 6. Dini Syafitri (1910313220031)


2. Muhammad Irsyad (1910313210025) 7. Lilya Deshinta (1910313320006)
3. Devana Pangestu (1910313220016) 8. Nurkholisa Putri (1910313120033)
4. Rika Harnita (1910313320023) 9. Laila Azzura Fatarini (1910313220046)
5. Annisa Aulia Mentaya (1910313220061) 10. Wahyu Nurlatifah (1910313120039)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas taufik
dan hidayah nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori
Pemungutan Pajak dan Pembagian Pajak”. makalah ini dibuat dengan maksud
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perpajakan I di Universitas
Lambung Mangkurat

Dengan dibuatnya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi mahasiswa


dan pada umumnya bagi pembaca agar mengetahui peran pajak bagi bangsa
Indonesia.

Dalam penyusunannya kami menyadari masih banyak kekurangan oleh


karena keterbatasan ruang untuk bertatap muka karena pandemi dan kemampuan
penulis yang terbatas pula, walaupun demikian berkat bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan sarannya guna penulisan makalah selanjutnya agar lebih
baik.

Banjarmasin, 10 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................
.................................................................................................................................
iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Asas-Asas Pemungutan Pajak................................................................ 3


B. Teori-Teori Pembenaran Pemungut Pajak............................................. 4
C. Syarat-Syarat Pembuatan UU Pajak...................................................... 7
D. Stelsel Pemungutan Pajak...................................................................... 9
E. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung..........................................
11
F. Pajak Pusat / Pajak Negara....................................................................
12
G. Pajak Daerah..........................................................................................
12
H. Pajak Subjektif.......................................................................................
15
I. Pajak Objektif........................................................................................
16
J. Cara Pemungutan Pajak.........................................................................
17

BAB III PENUTUP

iii
A. Kesimpulan............................................................................................
...............19

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan


peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan
kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut
berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.

Mengingat pentingnya pemungutan pajak ini, patut kiranya penduduk


Indonesia mengetahui teori – teori pemungutan pajak dan yurisdiksi pemungutan
pajak agar potensi pajak dapat tercapai dan tertanam kesadaran wajib pajak.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pajak, pada makalah ini kami akan
mengemukakan asas-asas ataupun teori-teori pemungutan pajak, syarat- syarat
pemungutan pajak, stelsel pemungutan pajak hingga cara pemungutan pajak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja asas-asas pemungutan pajak?
2. Apa saja teori-teori pembenaran pemungut pajak?
3. Apa saja syarat-syarat pembuatan UU pajak?
4. Apa yang dimaksud dengan stelsel pemungutan pajak?
5. Apa yang dimaksud dengan pajak langsung dan pajak tidak langsung?
6. Apa yang dimaksud dengan pajak pusat / pajak negara?
7. Apa yang dimaksud dengan pajak daerah?
8. Apa yang dimaksud dengan pajak subjektif?
9. Apa yang dimaksud dengan pajak objektif?
10. Bagimana cara pemungutan pajak?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami asas-asas pemungutan pajak.
2. Untuk memahami teori-teori pembenaran pemungut pajak.
3. Untuk memahami syarat-syarat pembuatan UU pajak.
4. Untuk memahami stelsel pemungutan pajak.
5. Untuk memahami pajak langsung dan pajak tidak langsung.
6. Untuk memahami pajak pusat / pajak negara.
7. Untuk memahami pajak daerah.
8. Untuk memahami pajak subjektif.
9. Untuk memahami pajak objektif.
10. Untuk memahami cara pemungutan pajak.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. ASAS – ASAS PEMUNGUTAN PAJAK


Dalam buku An Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations
yang ditulis oleh Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas
pemungutan pajak yang dikenal dengan nama four cannons atau the four maxims
dengan uraian sebagai berikut.
1. Equality
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di
bawah perlindungan pemerintah. Jika equality ini tidak diperbolehkan
suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama Wajib Pajak.
Dalam keadaan yang sama, Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan
dalam keadaan berbeda, Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda.
2. Certainty
Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi kompromis (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian hukum
yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak,
dan ketentuan mengenai pembayarannya.
3. Convenience of payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak,
yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan /
keuntungan yang dikenakan pajak.
4. Economic of collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak
itu sendiri. Tidak akan ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.

3
B. TEORI – TEORI PEMBENARAN PEMUNGUTAN PAJAK
1. Teori Asuransi
Negara dalam melaksanakan tugasnya mencakup pula tugas melindungi
jiwa raga dan harta benda perorangan. Oleh karena itu, negara disamakan
dengan perusahaan asuransi, untuk mendapatkan perlindungan warga
negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama ditinggalkan
dan sekarang praktis tidak ada pembelanya lagi karena perbandingan ini
tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika seseorang, misalnya, meninggal,
kecelakaan, atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti
halnya asuransi. Di samping itu, tidak ada hubungan langsung antara
pembayar pajak dengan nilai perlindungan terhadap pembayar pajak.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini, pembayaran pajak memiliki hubungan dengan
kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Semakin
banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan
pemerintah, semakin besar pula pajaknya.
Teori ini meskipun masih berlaku pada retribusi sukar pula
dipertahankan karena seorang miskin dan pengangguran yang menerima
bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan
negara, tetapi mereka justru tidak membayar pajak.
3. Teori Daya Pikul
Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan
kekuatan membayar dari si Wajib Pajak (individu-individu) sehingga
tekanan semua pajak harus sesuai dengan daya pikul si Wajib Pajak
dengan memperhatikan pada besarnya penghasilan, kekayaan, dan
pengeluaran belanja si Wajib Pajak tersebut.

Menurut para Ahli


a. Menurut Prof. W. J. de Langen
Daya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai
pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya setelah dikurangi dengan yang

4
mutlak pada keutuhan primer (biaya hidup yang sangat mendasar).
Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara (pajak) barulah jika
kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak manusia pertama
adalah hak untuk hidup, maka sebagai analisis yang pertama adalah
minimum kehidupan (bestaans minimum).

b. Menurut Mr. A. J. Cohen Stuart


Daya pikul diumpamakan sebuah jembatan, pertama tama harus dapat
memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani dengan
beban yang lain. Beliau menyarankan bahwa yang sangat diperlukan
dalam kehidupan tidak dimasukkan ke dalam daya pikul. Kekuatan
untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada jika kebutuhan-
kebutuhan primer untuk hidup sudah tersedia.
Kelemahan dari teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat
daya pikul seseorang karena akan berbeda dan selalu berubah-ubah.
Teori daya pikul ini diterapkan dalam Pajak Penghasilan, di mana
Wajib Pajak baru dikenakan Pajak Penghasilan bila memperoleh
penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan Pasal 7 ayat 1
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana yang telah diubah
terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan ditegaskan sebagai berikut.
Kepada Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya sebagai
berikut.
Setahun Sebulan
Untuk diri pegawai Rp. 36.000.000 Rp. 3.000.000
Tambahan untuk pegawai Rp. 3.000.000 Rp. 250.000
yang kawin
Tambahan untuk anggota Rp. 3.000.000 Rp. 250.000
keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam

5
garus keturuan lurus, serta
anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 orang
Tambahan bagi istri bekerja Rp. 36.000.000 Rp. 3.000.000
yang pekerjaannya tidak ada
hubungannya dengan
pekerjaan suami

4. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti


Teori ini didasari paham organisasi negara (organische staatsleer) yang
mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan
atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak.
Dengan sifat seperti itu, negara mempunyai hak mutlak untuk memungut
pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut
teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dan
negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban
membayar pajak.
Kelemahan dari teori ini negara bisa menjaddi otoriter sehingga
mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.
5. Teori Daya Beli
Teori ini adalah teori modern. Teori ini tidak mempersoalkan asal mulanya
negara memungut pajak, melainkan banyak melihat kepada “efeknya” dan
memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya.
Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat yang dapat disamakan dengan “pompa”, yaitu
mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga
negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan membawanya ke
arah tertentu. Teori ini mengajarkaan bahwa menyelenggarakan
kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan

6
pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, pun bukan kepentingan
negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
Teori ini menitikberatkan ajarannya pada fungsi kedua dari
pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.
Menurut para penganutnya, termasuk Prof. Adriani, teori ini
berlaku sepanjang masa, baik dalam ekonomi bebas maupun ekonomi
perencanaan yang terpimpin.
Teori-teori ini merupakan pemecahan atas dasar menyatakan
keadilannya pemungutan pajak oleh negara sehingga para ahli atau
pemikir menamakannya sebagai asas menurut falsafah hukum, yang dalam
“the four maxims” termasuk maksim pertama.
Namun, beberapa prinsif telah berhasil juga dikembangkan sebagai
kriteria sistem perpajakan yang adil. Prinsif-prinsif ini antara lain, prinsif
manfaat dan prinsif kemampun membayar.

C. SYARAT-SYARAT PEMBUATAN UNDANG-UNDANG PAJAK


Untuk penguji suatu undang-undang, misalnya undang-undang pajak, apakah
undang-undang tersebut mencerminkan rasa keadilan, maka ukurannya adalah
terletak pada sejauh mana asas-asas atau syarat-syarat pemungutan pajak
diintroduksikan melalui undang-undang yang bersangkutan. Agar suatu undang-
undang pajak diundang dipandang adil, maka syaratnya harus dipenuhi dalam
pembuatan peraturan pajak. Berikut adalah syarat-syarat tersebut.
1. Syarat Keadilan
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu
dikarenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan
kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan sesuai
dengan manfaat yang diterimanya. Keadilan di sini baik keadilan dalam
prinsip mengenai mengenai peraturan perundang-undangan maupun dalam
praktik sehari-hari. Syarat keadilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Berikut penjelasannya:
a. Keadilan Horizontal

7
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (daya pikul)
sama harus dikenakan pajak yang sama
b. Keadilan Vertikal
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (daya pikul)
tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama.
2. Syarat Yuridis
Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang karena bersifat dapat
memaksa hak dan kewajiban Wajib Pajak maupun petugas pajak harus
diatur di dalamnya. Pembayaran pajak harus seimbang dengan
kekuatan/kemampuan membayar Wajib Pajak. Memang kelihatannya hal
ini mudah karena membayar pajak sesuai dengan kemampuannya. Namun,
sebenarnya dalam praktik mengalami kesulitan-kesulitan dalam
memperhitungkan pajak. Bagi orang yang berpenghasilan tetap tidak
menjadi persoalan. Namun, bagi mereka yang berpenghasilan tidak
menentu, sulit sekali untuk menentukan kemampuannya atau daya
pikulnya. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya
untuk menghitung sendiri pajaknya dengan cara mengisi Surat
Pemberitahuan (SPT) secara jujur sesuai dengan kenyataan. Pada sisi lain
petugas pajak juga tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam
melaksanakan tugasnya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983,
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, memberikan
kesempatan kepada Wajib Pajak yang tidak puas untuk mengajukan
keberatan dan banding.
3. Syarat Ekonomis
Pungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan
janganlah mengganggu kehidupan ekonomis dari si Wajib Pajak. Jangan
sampai pemungutan pajak terhadap seseorang berakibat ia jatuh melarat.
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu atau menghalangi kelancaran
produksi maupun perdagangan/perindustrian. Jangan sampai terjadi
dengan adanya pemungutan pajak, perusahaan-perusahaan akan gulung

8
tikar atau pailit. Sebaliknya, pemungutan pajak diharapkan bias membantu
menciptakan pemerataan pendapatan atau redistribusi pendapatan.
4. Syarat Finansial
Sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan Negara, maka
biaya pemungutan pajak tidak boleh terlalu besar. Dalam hal ini diartikan
bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pemungatan/penetapan pajak
hendaknya lebih kecil dari penerimaan pajak agar ada penerimaan yang
masuk ke kas negara/daerah.

D. STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK


Pajak merupakan suatu sistem yang diatur dalam undang-undang. Undang-
undang salah satunya juga mengatur tata cara pemungutan. Stelsel Pajak
merupakan sistem pemungutan pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya
pajak yang harus dibayarkan oleh para wajib pajak. Dalam pemungutan pajak,
khususnya Pajak Penghasilan, dikenal tiga macam stelsel yaitu:
1. Stelsel nyata (riel stelsel).
2. Stelsel fiktif (fictievestelsel).
3. Stelsel campuran.

1. Stelsel Nyata
Menurut stelsel nyata, pengenaan pajak didasarkan pada objek atau
penghasilan yang sungguh-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak atau
periode pajak. Oleh karena itu, besarnya pajak baru dapat dihitung pada akhir
tahun atau periode pajak karena penghasilan riil baru dapat diketahui setelah tahun
pajak atau periode pajak berakhir.
Kelemahan dari stelsel nyata adalah pemungutan pajak baru dapat dilakukan
pada akhir tahun pajak/periode pajak, padahal pemerintah membutuhkan
penerimaan pajak ini untuk membiayai pengeluaran sepanjang tahun dan tidak
hanya pada akhir tahun saja.
Kelebihan dari stelsel nyata adalah besarnya pajak yang dipungut sesuai
dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang karena pemungutan pajak

9
dilakukan setelah tutup buku sehingga penghasilan yang sesungguhnya telah
diketahui.
2. Stelsel Fiktif
Menurut stelsel fiktif yang juga disebut stelsel anggapan, pengenaan pajak
didasarkan padasuatu anggapan (fiksi). Anggapan yang dimaksud di sini dapat
bermacam-macam jalan pikirannya tergantung peraturan perpajakan yang berlaku.
Anggapan tersebut dapat berupa anggaran pendapatan tahun berjalan atau
diasumsikan openghasilan tahun pajak berjalan sama dengan penghasilan tahun
pajak yang lalu.
Kelemahan dari stelsel fiktif adalah besarnya pajak yang dipungut belum tentu
sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang karena pemungutan
pajak dilakukan berdasarkan suatu anggapan bukan penghasilan yang
sesungguhnya.
Kelebihan dari stelsel fiktif adalah pemungutan pajak sudah dapat dilakukan
pada awal tahun pajak/periode pajak karena berdasarkan pada suatu anggapan
sehingga penerimaan pajak oleh pemerintah ini untuk membiayai pengeluaran
sepanjang tahun dan tidak hanya pada akhir tahun saja.
3. Stelsel Campuran
Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
fiktif. Pada awal tahun pajak atau periode pajak, penghitungan pajak
menggunakan stelsel fiktif dan pada akhir tahun pajak atau akhir periode dihitung
kembali berdasarkan stelsel nyata.
Kelemahan dari stelsel campuran adalah adanya tambahan pejerjaan
administrasi karena penghitugan pajak dilakukan dua kali, yaitu pada awal dan
akhir tahun pajak atau periode pajak.
Kelebihan dari stelsel campuran adalah pemungutan pajak sudah dapat
dilakukan pada awal tahun pajak/periode pajak dan besarnya pajak yang dipungut
sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang karena dilakukan
penghitungan kembali pada akhir tahun pajak atau akhir periode pajak setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui.

10
Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut stelsel campuran,
di mana pada awal tahun pajak angsuran pajak (PPh Pasal 25) berdasarkan
besarnya pajak yang terutang pada Surat Pemberitahuan tahun sebelumnya.
Kemudian, pada akhir tahun dihitung kembali berdasarkan penghasilan yang
sesungguhnya diperoleh pada tahun yang bersangkutan. Jika terdapat kekurangan
maka Wajib Pajak harus melunasi kekurangan pembayaran pajak (PPh Pasal 29)
dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Jangka waktu yang berlaku saat ini
adalah tanggal 25 Maret setelah berakhirnya tahun pajak.

E. PAJAK LANGSUNG & PAJAK TIDAK LANGSUNG


Berdasarkan golongannya pajak dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Pajak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Misalnya, pajak penghasilan.
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang
dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu
tertentu, baik masa pajak maupun tahun pajak.
2. Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau
digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut sebagai pajak tidak
langsung
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Dalam pajak ini beban pajak digeserkan dari produsen/penjual ke
pembeli/konsumen karena pergeseran ini searah dengan arus barang, yaitu
dari produsen ke konsumen, maka pergeserannya disebut pergeseran ke depan
(forward shifting). Disamping itu, ada juga yang disebut dengan pergeseran
kebelakang (backward shifting), yaitu pergeseran pajak yang berlawanan
dengan arus barang.

F. PAJAK PUSAT/ PAJAK NEGARA

11
Pajak pusat/negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada
pemerintah pusat yang pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan
melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan
hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak
pusat/pajak negara yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut.
1. Pajak Penghasilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983,
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, selanjutnya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1994.
4. Bea Materai diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985.
5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.

G. PAJAK DAERAH
Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran. Pajak daerah merupakan
pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Pusat diatur
dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).

12
a. Fungsi pajak Daerah
1. Fungsi Penerimaan : Fungsi paling utama dari pajak daerah adalah untuk
mengisi kas daerah. Pemerintah daerah menghimpun dana dari masyarakat
untuk berbagai kepentingan pembiayaan pembangunan daerah.
2. Fungsi Pengaturan : Fungsi lainnya adalah untuk mengatur. Pajak daerah
dapat digunakan oleh pemerintah daerah sebagai instrumen untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, salah satunya adalah meningkatkan pendapatan daerah
yang digunakan juga untuk kepentingan daerah.

b. Prinsip Pajak Daerah


1. Prinsip Keadilan : Keseimbangan atas kemampuan subjek pajak dalam
pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di antara sesama wajib pajak yang
memiliki kemampuan yang sama.
3. Prinsip Kepastian : Kepastian di bidang pajak daerah antara lain mencakup
dasar hukum yang mengaturnya; kepastian mengenai subjek, objek, tarif dan
dasar pengenaannya; serta kepastian mengenai tata cara pemungutannya.
4. Prinsip Kemudahan : Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu
yang tepat bagi wajib pajak daerah dalam memenuhi kewajibannya.
5. Prinsip Efiensi : Ditekankan pentingnya efiensi pemungutan pajak, artinya
biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh
lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut.

Pajak Daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997


sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri atas empat jenis pajak daerah
provinsi dan tujuh jenis pajak daerah kabupaten/kota adalah sebagai berikut.
Pajak Daerah Provinsi:
1. Pajak Kendaraan Bermotor
6. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
7. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

13
8. Pajak Air Permukaan
9. Pajak Motor

Pajak Daerah Kabupaten/Kota:


1. Pajak Hotel
10. Pajak Restoran
11. Pajak Hiburan
12. Pajak Reklame
13. Pajak Penerangan Jalan
14. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
15. Pajak Parkir
16. Pajak Air Tanah
17. Pajak Sarang Burung Walet
18. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
19. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Dibandingkan dengan reformasi pajak puasat yang sudah dimulai sejak tahun
1983, reformasi pajak daerah relatif terlambat karena baru dimulai tahun 1997
dengan disahkannya undang-undang pajak dan retribusi daerah. Namun, tidak
berarti pajak daerah dianggap kurang pentingbandingkan dengan paak pusat
apalagi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Tujuan dari pembuatan undang-undang pajak daerah adalah sebagai


berikut.
1. Untuk menyederhanakan berbagai pajak daerah yang ada selama ini supaya
dapat mengurangi ekonomi biaya tinggi. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pajak
daerah yang sebelumnya ada sekitar 40 jenis menjadi 16 jenis.
20. Untuk menyederhanakan sistem administasi perpajakkan, supaya dapat
memperkuat fordari penerimaan daerah khususnya kabupaten/kota dengan
mengefektidkan jenis pajak tertentu yang memang potensial.

14
H. PAJAK SUBJEKTIF
Pajak subjektif adalah pajak yang pengambilannya berdasarkan subjeknya.
Dengan kata lain, suatu pungutan disebut pajak subjektif karena memperhatikan
kondisi/keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-
alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materilnya, yaitu gaya
pikul.
Gaya pikul adalah kemampuan Wajib Pajak memikul pajak setelah dikurangi
dengan biaya hidup minimum. Gaya pikul itu sendiri mengandung dua unsur
sebagai berikut :
1. Unsur Subjektif
Unsur-unsur subjektif dari gaya pikul mencakup segala kebutuhan
terutama material di samping moral dan spiritual. Gaya pikul berbanding
terbalik dengan kemampuan membayar. Semakin besar gaya pikulnya,
semakin kecil kemampuannya untuk membayar pajak. Oleh karena itu,
dalam pajak subjektif harus memberi pembebasan pajak untuk biaya hidup
minimum dan memerhatikan faktor-faktor perseorangan dan keadaan-
keadaan yang berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya hidup seperti
jumlah anggota keluarga atau jumlah tanggungan.
2. Unsur Objektif
Unsur-unsur objektif dari gaya pikul terdiri atas pendapatan (penghasilan),
kekayaan dan belanja (pengeluaran).
Dalam kongres Institute International dex Finances Publiques
yang diadakan di Zurich, September 1960, telah disepakati bahwa gaya
pikul seseorang tidak hanya bergantung kepada pendapatan (penghasilan)
saja, tetapi juga kekayaan dan bahkan bergantung pula pada
kesempatannya untuk berbelanja.
Penerapan di Indonesia dapat dilihat dalam pengenaan Pajak Penghasilan
orang pribadi (PPh Pasal 21), sebelum dikenakan pajak terlebih dahulu
penghasilan neto dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).

15
Contoh :
Tuan A mempunyai penghasilan/bulan senilai Rp 2.000.000,00 dengan status
menikah dengan mempunyai 3 orang anak sedangkan Tuan B mempunyai
penghasilan/bulan sama senilai Rp 2.000.000,00 tapi statusnya masih bujangan.
Jadi secara objektif PPh untuk Tuan A sama besarnya dengan Tuan B, karena
mempunyai penghasilan yang sama besarnya. Tapi secara subjektif PPh untuk
Tuan A lebih kecil dari pada Tuan B, karena kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi Tuan A lebih besar.

I. PAJAK OBJEKTIF
Pajak Objektif adalah pajak yang pada awalnya memerhatikan objek yang
menyebabkan timbulnya kewajiban membayar. Kemudian baru dicari subjeknya,
baik orang pribadi maupun badan. Jadi, dengan perkataan lain pajak objektif
adalah pengenaan pajak yang hanya memerhatikan kondisi objeknya saja. Pajak
objektif dikenakan pada setiap Warga Negara Indonesia (WNI) apabila
penghasilan yang dimiliki telah memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang
yang berlaku. Pajak objektif meliputi beberapa golongan. Pertama, pihak yang
menggunakan alat atau benda kena pajak. Kedua, pajak yang berkaitan dengan
kekayaan yang dimiliki, kepemilikan barang-barang mewah, dan pemindahan
harta dari Indonesia ke negara lain
Contoh pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari barang yang
dikenakan pajak , pajak hotel dan restoran, Bea materai, cukai, pajak kendaraan
bermotor, pajak radio, dan pajak bumi dan bangunan.
Bagi pajak obyektif, obyek pajak merupakan syarat penentu terhutang atau
tidaknya suatu pemungutan pajak. Sedangkan subyek  pajak merupakan
pendukung sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terhutangnnya pajak.
J. CARA PEMUNGUTAN PAJAK
Dalam Era Globalisasi sekarang ini batas negara menjadi tidak jelas bagi wajib
pajak dalam mencari dan memperoleh penghasilan sehingga penentuan cara
pemungutan pajak sangat penting untuk menentukan negara mana yang berhak
memungut pajak.

16
Dalam pemungutan pajak penghasilan ada tiga macam cara yang bisa dilakukan
berikut ketiga macam cara tersebut:
1. Asas domisili (tempat tinggal)
Dalam Asas ini pemungutan pajak berdasarkan pada domisili atau tempat tinggal
wajib pajak dalam suatu negara. negara di mana wajib pajak bertempat tinggal
berhak memungut pajak terhadap wajib pajak tanpa melihat dari mana pendapatan
atau penghasilan tersebut diperoleh baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri dengan papa lihat kebangsaan atau kewarganegaraan wajib pajak tersebut.
2. Asas sumber
Dalam Asas ini pemungutan pajak didasarkan pada sumber pendapatan atau
penghasilan dalam suatu negara. menurut Asas ini negara yang menjadi sumber
pendapatan atau penghasilan tersebut berhak memungut pajak tanpa
memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak tersebut.
3. Asas kebangsaan
Dalam Asas kebangsaan ini pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan atau
kewarganegaraan dari wajib pajak. tanpa melihat dari mana sumber pendapatan
atau penghasilan tersebut maupun di negara mana tempat tinggal domisili dari
wajib pajak yang bersangkutan.
Asas mana yang dianut oleh Indonesia? dalam pasal 4 ayat 1 undang undang
pajak penghasilan Indonesia yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
Dari ayat tersebut dapat dilihat bahwa Indonesia menganut worldwide
income sehingga tidak membedakan sumber penghasilan dalam mengenakan
pajak kepada wajib pajak dalam negeri namun untuk wajib pajak luar negeri
Indonesia menganut Asas sumber sehingga setiap wajib pajak luar negeri yang
memperoleh penghasilan di Indonesia akan dikenakan PPh pasal 26.

17
18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah
perlindungan pemerintah. Dalam keadaan yang sama, Wajib Pajak harus
diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda, Wajib Pajak harus diperlakukan
berbeda. Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi kompromis (not arbitrary). Pemungutan pajak hendaknya dilakukan
sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar
dari penerimaan pajak itu sendiri. Tidak akan ada artinya pemungutan pajak kalau
biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
Oleh karena itu, negara disamakan dengan perusahaan asuransi, untuk
mendapatkan perlindungan warga negara membayar pajak sebagai premi.

DAFTAR PUSTAKA

Suandy, Erly. 2017. Hukum Pajak Edisi Ketujuh. Jakarta : Salemba Empat.

19

Anda mungkin juga menyukai