Anda di halaman 1dari 4

Pandangan Agama yang Membebaskan

Perempuan
Agama dewasa ini mendapat ujian baru, karena agama sering dianggap biang
masalah, bahkan dijadikan kambing hitam terhadap terjadinya pelanggengan
ketidakadilan gender. Hal yang selalu mengganggu misalnya bagaimana
penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran semacam
ini terjadi pada hampir semua agama. Sejauh manakah pandangan tersebut
dipengaruhi atau mempengaruhi budaya yang dikenal dengan patriachy?
Lebih lanjut apakah penerapan ketidakadilan gender secara luas dalam
agama bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru berasal dari tafsiran,
interpretasi dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil juga dipengaruhi oleh
tradisi dan budaya patriachy, ideologi kapitalisme maupun berbagai pandangan
yang lain. Untuk mengupayakan pemahaman dalam uraian berikut ini, maka
perlunya mempertajam - dengan cara melakukan telaah kasus dalam Islam yang
menyangkut prinsip ideal Islam dalam memposisikan kaum perempuan. Pertama-
tama harus dipahami lebih dahulu apa spirit pada awal kelahiran Islam, yakni
dengan cara membandingkan pada zaman sebelum Islam. Banyak sejarawan
mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra Islam atau yang dikenal

zaman Jahiliyah, kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat sangatlah


rendah posisinya dan amat buruk kondisinya, serta dianggap tidak lebih berharga
dari suatu komoditi. Dari berbagai uraian tentang penggambaran kedudukan kaum
perempuan, yang menonjol di antaranya ialah, bahwa jika seorang suami meninggal
dunia, saudara tuanya atau yang Iain mendapat warisan untuk memiliki
jandanya.Bahkan kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktek
merendahkan kaum perempuan yang menyebar di dunia Arab pada zaman pra
Islam. Rendahnya martabat kaum perempuan juga terlihat dari hakekat perkawinan
mereka yang posessive sifatnya. Mereka juga tidak membatasi berapa jumlah
perempuan yang boleh dikawini Oleh laki-laki.
Berikutnya, dengan cara melihat prinsip rujukan yang ditegakkan Islam. Al-
Qur'an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, menunjukkan bahwa pada
dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama .
Keduanya diciptakan dari satu 'nafs'(living entity), di mana yang satu tidak memiliki
keunggulan terhadap yang Iain. Bahkan Al-Qur'an tidak menjelaskan secara tegas
bahwa Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam Oleh karena itu
kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al-Qur'an terhadap
kaum laki-laki dan perempuan adalah
sama, di mana hak istri
diakui setara dengan hak suami. Dengan kata Iain, laki-laki memiliki hak dan
kewajiban
terhadap kaum perempuan dan sebaliknya kaum perempuan juga memiliki
hak dan kwajiban terhadap kaum laki-laki apalagi jika dikaitkan dengan konteks
masyarakat pra Islam yang ditransformasikannya.
Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal
pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta
kekayaan dan tidaklah suami ataupun bapaknya boleh mencampuri hartanya.
Kekayaan yang termasuk didapat melalui warisan ataupun yang diusahakannya
sendiri. Oleh sebab itu mahar atau rnas kawin adalah dibayar untuknya sendiri,
bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali Oleh suami.
Lantas dari manakah asal datangnya pikiran yang telah menjadi tradisi dan

tafsiran keagamaan yang meletakkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki?
Engineer (1992) mengusulkan dalam memahami ayat yang berbunyi "laki-
laki adalah pengelola atas perempuan' hendaknya dipahami sebagai deskripsi
keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada saat itu, dan bukan suatu norma
ajaran. Ayat tersebut menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manajer rumah
tangga, dan bukan pernyataan kaum laki-laki harus menguasai, memimpin.
Dari kesimpulan di atas ada beberapa agenda yang perlu dicanangkan oleh
kaum laki-laki dan perempuan untuk mengakhiri sistem yang tidak adil tersebut
.
Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan, dengan melakukan
dekonstruksi ideologi. Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali
segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan di mana saja pada tingkat dan
dalam bentuk apa saja. Pertanyaan tersebut dapat dimulai dari kasus yang sifatnya
makro sperti 'Women In Development (WID)', sampai kasus-kasus yang dianggap
kecil yakni pembagian peran gender di rumah tangga.
Bisa dengan cara melakukan pendidikan yang sifatnya 'Critical education'
atau kegiatan apa saja yang akan membantu perempuan untuk memahami
pengalaman mereka dan menolak ideologi dan norma yang dipaksakan kepada
mereka (Weiler, 1988). Tujuan upaya tersebut adalah membangkitkan 'Gender
Critical Consciousness' yakni menyadari bahwa ideologi hegemoni dominan dan
kaitannya dengan penindasan gender. Maka, tu gas utama yang harus dilakukan
adalah mem bentuk visi yang berakar pada sistem modernisasi, developmentalisme
dan kapitalisme.

Melalui pendidikan kritis gagasan dan nilai baru akan lahir yang akan
menjadi dasar bagi transformasi gender.
Melawan paradigma developmentalisrne yang berasumsi bahwa
keterbelakangan kaum perempuan disebabkan mereka tidak berpartisipasi dalam
developmente Karena perempuan dianggap tidak mampu memecahkan masalah
mereka sendiri, maka program perlu disesain Oleh perencana akhli lalu dikirim
kepada mereka. Perempuan dianggap sebagai objek development, yakni
diidentifikasi, diukur, dan diprogramkan. Perempuan juga dianggap sebagai obyek
pengembangan pengetahuan mereka. Karena "knowledge is Power", maka riset
terhadap perempuan adalah juga proses dominasi. Tujuan riset mereka adalah
untuk memahami perempuan, agar dapat melakukan prediksi perilaku perempuan
dalam rangka merekayasa peranannya bagi development. Perjuangan perempuan
dengan demikian termasuk senantiasa mempertanyakan dominasi elite yang
menggunakan pengetahuan dan discourse development dari hegemoni kapitalisme
dan modernisasi.
Hal ini termasuk memberikan semangat dan kesempatan resistensi kaum
perempuan untuk mengembangkan tafsiran ajaran agama yang tidak bias laki-laki.
Usaha ini dimaksud untuk menciptakan perimbangan dan perubahan radikal dengan
menempatkan perempuan sebagai pusat perubahan. Proses ini termasuk
menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk membuat, mengontrol dan
menggunakan pengetahuan mereka sendiri. Usaha inilah yang memungkinkan
tumbuhnya kesadaran kritis menuju transformasi kaum perempuan. Gerakan
transformasi gender ini mengakselerasi transformasi sosial secara luas dan
menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai