Anda di halaman 1dari 13

Gender

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Untuk alat musik gamelan Jawa, lihat Gender (musik).

Gender (pengucapan bahasa Indonesia: [gènder]) atau sering juga disalahejakan jender dalam
sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin
seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi
batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak
bagi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dalam suatu masyarakat."[1]

Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat
biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan.
Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain adalah genus) bagi
pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak bahasa yang terkenal dari
rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab),
mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin" (beberapa juga mengenal kata benda "netral").

Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas
gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender" misalnya
waria.

Dalam konsep gender yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang
mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam
satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri
maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada
perbedaan jenis kelamin.

Gender

Istilah Gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan peran perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai
ciptaan Tuhan. Gender adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas
menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat.

Gender tidak sama dengan kodrat. Kodrat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan YME, sehingga manusia tidak
mampu untuk merubah atau menolak. Sementara itu, kodrat bersifat universal, misalnya melahirkan, menstruasi dan
menyusui adalah kodrat bagi perempuan, sementara mempunyai sperma adalah kodrat bagi laki-laki.

Ketidakadilan gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial, sehingga perempuan
maupun laki-laki menjadi korban dari pada sistem tersebut. Laki-laki dan perempuan berbeda hanya karena kodrat
antara laki-laki dan perempuan berbeda. Keadilan gender akan dapat terjadi jika tercipta suatu kondisi di mana porsi
dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis.

Dampak atau akibat ketidaksetaraan gender bagi perkembangan pribadi


Dahulu R.A. Kartini sudah melakukan sebuah pergerakan emansipasi wanita namun sepertinya
semangat beliau kandas oleh perkembangan jaman. Wanita jaman sekarang seperti seperti lupa
dengan apa yang dicetuskan oleh ibu Kartini,kembali lelaki menguasai segala bidang. Diera
sekarang memang ketika ibu Megawati diangkat menjadi presiden RI sepertinya wanita akan
menjadi pelopor perubahan bangsa Indonesia namun tidak sampai berakhir jabatan beliau sudah
digantikan oleh K.H. Abdul Rahmanwahid. Dan sekarang ini yang terjadi dibangsa kita
diantaranya :
1. Ketidaksetaraan peran dalam keluarga
Dalam keluarga terutama keluarga jawa,masih menganut budaya lama yaitu wanita hanya
“konco wingking” yaitu kerjanya hanya didapur memasak dan laki-lakilah yang mencari uang.
Hal ini dikarenakan laki-laki akan merasa tidak bertanggung jawab jika mereka yang berdiam
diri dirumah sedangkan istrinya yang harus mencari nafkah. Pemberian pemahaman akan
pentingnya persamaan gender,agar seorang pria bisa memahami dan menyadari bahwa bisa
menerima perannya dalam keluarga yang tidak selalu menjadi pencari nafkah.

Dampak terhadap kehidupan keluarga :


• Terjadinya KDRT dikarenakan masakan istri yang tidak enak/tidak sesuai dengan keinginan
sang suami.
• Suami yang egois karena merasa yang mencari uang sehingga istri diperlakukan sesuka sang
suami.
• Istri tidak berkembang dalam arti hanya didapur,dalam rumah tanpa memiliki pengetahuan
didunia luar.

2. Ketidaksetaraan dalam bidang pekerjaan


Seorang wanita tidak pantas untuk bekerja lembur sampai pagi,karena ketika seorang wanita
bekerja hingga larut warga sekitar akan mengganggap wanita tersebut tidak baik. Sedangkan
ketika seorang laki-laki mau pulang kerja jam berapa pun tidak akan jadi masalah. Alibi yang
sering diberikan oleh pria yaitu karena kerjaan kantor menumpuk, panggilan luar kota sehingga
harus pulang larut bahkan sampai beberapa hari. Hal ini mengakibatkan :

• Suami marah-marah dirumah karena istri tidak bisa memenuhi kebutuhan dirumah,karena
suami pengangguran dan mengandalkan wanita yang bekerja tidak menentu. Istri lembur
dimarahi suami sedangkan jika kerja tidak penuh uang yang dihasilkan tidak mencukupi untuk
keluarganya.
• Suami akan merasa terhina jika istri memiliki pekerjaan yang lebih baik darinya. Dan hal ini
kadang yang membuat laki-laki kadang melakukan KDRT terhadap istrinya.
3. Ketidaksetaraan dalam bidang pendidikan
Laki-laki harus memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dari perempuan dikarena laki-laki
kelak akan menjadi pemimpin dan pencari nafkah untuk keluarganya. Hal ini mengakibatkan:

• Wanita tidak mendapatkan pendidikan sesuai dengan keinginannya, misalnya di desa yang
pelosok wanita cukup lulus SMP dan hanya menunggu pinangan dari laki-laki.
• Wanita dianggap remeh oleh pria karena seorang pria merasa lebih tinggi pendidikannya
sehingga semena-mena terhadap wanita.

1. Dampak positif yang diperoleh dari persamaan gender adalah para wanita mempunyai
kebebasan untuk bersekolah sampai jenjang tertinggi, mengembangkan ide, kreatifitas serta
bakat dan kemampuan yang dimiliki.

2. Dampak negatif dari persamaan gender tersebut yaitu terkadang para wanita justru
menyalahgunakan arti dari emansipasi dan kesetaraan gender. Banyak wanita yang salah
mengartikan akan arti emansipasi dan persamaan gender sehingga menyebabkan hubungan
keluarga antara suami dan istri menjadi tidak harmonis, makin tingginya angka perceraian, serta
hilangnya fungsi ibu sebagai pendidik generasi penerus.

Gender adalah variabel kompleks yang merupakan bagian dari konteks sosial, budaya, ekonomi
dan politik. Gender juga relevan bagi kerja gerakan masyarakat sipil. Gender adalah perbedaan
yang dikonstruksi secara sosial antara laki-laki dan perempuan, sedangkan jenis kelamin
merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Karena terkonstruksi secara
sosial, perbedaan gender tergantung pada usia, status perkawinan, agama, etnik, budaya, ras,
kelas/kasta dan seterusnya. Perbedaan jenis kelamin tidak banyak tergantung pada variabel-
variabel tersebut.

Sejak beberapa dekade belakangan ini kalangan analis pembangunan telah mengakui adanya
kebutuhan untuk memastikan perihal gender dianalisis dan diintegrasikan ke dalam proyek-
proyek pembangunan. Dalam mengintegrasikan gender pada pembangunan para praktisi
pembangunan merespon kebutuhan prioritas perempuan dan laki-laki sambil memperhatikan
efek-efek dari dampak yang bisa menguntungkan atau merugikan.

Mengapa Gender Relevan bagi Pembangunan?

Dalam pembahasan soal gender, praktisi pembangunan dan aktivis gerakan sosial
memperhatikan kesenjangan yang ada di antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak-hak,
tanggung jawab, akses dan penguasaan terhadap sumber daya alam serta pengambilan keputusan
dalam keluarga, di komunitas dan di tingkat nasional. Laki-laki dan perempuan kerapkali
memiliki perbedaan dalam prioritas, hambatan dan pilihan terkait dengan pembangunan serta
dapat mempengaruhi dan dipengaruhi secara berbeda oleh proyek-proyek pembangunan dan
penanganan kampanye. Untuk meningkatkan efektivitas, pertimbangan-pertimbangan tersebut
perlu disikapi dalam semua perencanaan dan penanganan program dan kampanye. Jika
pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak disikapi secara serius dan memadai, tindakan-
tindakan tersebut tidak saja hanya akan menghasilkan inefisiensi serta tidak berkelanjutan, tetapi
juga dapat memperburuk kondisi ketidaksetaraan yang ada. Memahami isu gender dapat
memungkinkan proyek untuk memperhatikan persoalan gender dan membangun kapasitas untuk
menghadapi dampak-dampak ketidaksetaraan dan untuk memastikan adanya keberlanjutan.  

Ketika kita berbicara mengenai Kesetaraan Gender, kita berbicara tentang kesamaan di muka
hukum serta kesetaraan peluang, termasuk peluang untuk mengemukakan pendapat. Kerap kali,
hal  kesetaraan gender adalah mengenai pemberian peluang yang lebih baik kepada perempuan
dalam semua hal tersebut.

Hak-hak perempuan dilindungi oleh banyak instrumen dan hukum internasional. Paling terkenal
di antaranya adalah Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW, 1979) – sebuah Traktat PBB yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979
dan pada awalnya ditandatangani oleh 64 negara di bulan Juli tahun berikutnya. Sebuah protokol
opsional   disusun kemudian untuk mengatur mekanisme pertanggunggugatan negara-negara
terhadap traktat. Sejak itu ada beberapa deklarasi internasional dan perjanjian yang telah
digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan dalam urusan perempuan. Termasuk di
antaranya Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (1995) serta Tujuan Pembangunan
Milenum/MDGs (2001) yang memuat pertimbangan-pertimbangan gender pada hampir setengah
dari keseluruhan klausal. MDGs bersifat saling menguatkan, yaitu kemajuan pada satu tujuan
mempengaruhi kemajuan dalam tujuan lain. Namun, tujuan ketiga berbicara secara khusus
tentang kesetaraan gender. Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang melanjutkannya
akan diadopsi pada tahun 2015 sebagai bagian dari Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang
luas, mencakup pencapaian 'kesetaraan gender dan menguatkan semua perempuan dan gadis'
sebagaimana tercantum dalam Tujuan 5.

Arah historis pengintegrasian gender dalam pembangunan

Pendekatan awal mencakup penargetan perempuan dalam perencanaan  dan intervensi proyek
yang berfokus pada perempuan sebagai kelompok terpisah. Hal ini biasa disebut sebagai
Perempuan dalam Pembangunan. Kritik terhadap pendekatan ini menuding bahwa pendekatan
ini tidak mengurus soal laki-laki, yang lalu mendorong munculnya model yang disebut Gender
dan Pembangunan (GdP) yang lebih berkonsentrasi pada perencanaan dan intervensi proyek
yang berfokus pada proses pembangunan yang mentransformasikan relasi gender. Tujuan dari
GdP adalah membuat perempuan mampu berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam
menentukan masa depan bersama. Maka dari itu pendekatan Kesetaraan Gender adalah
mengenai laki-laki dan perempuan dan merupakan pendekatan yang lebih komprehensif untuk
menganalisis dan merencanakan intervensi pembangunan karena mempertimbangkan situasi dan
kebutuhan laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender bertujuan melibatkan laki-laki dan
perempuan dalam menyikapi permasalahan mereka terkait pembangunan, mereformasi lembaga-
lembaga untuk membangun hak-hak dan peluang yang setara, serta mendorong perkembangan
ekonomi yang menguatkan kesetaraan partisipasi. Pendekatan semacam itu bertujuan untuk
memperbaiki kesenjangan yang terus ada terkait akses terhadap sumber daya alam dan
kemampuan untuk mengemukakan pendapat.

Maskulinitas

Juga diakui oleh para spesialis dan aktivis dalam bidang ini bahwa perilaku laki-laki perlu
disikapi dalam konteks kerja gender. Kecuali para laki-laki melawan perilaku, sikap dan pola
asuh yang mengekalkan kesenjangan gender, tidak akan terjadi perubahan dalam hal
ketidakadilan dan kekerasan gender[1]. Sejak lebih dari dua dekade terakhir semakin banyak
program mengenai hal gender dikembangkan di berbagai belahan dunia, lalu hasil belajar
dibagikan dan diadaptasikan ke dalam konteks yang baru. Di antaranya yang paling terkenal
adalah program Puntos de Encuentro dan Cantera di Nikaragua, serta programnya mengenai
perubahan perilaku laki-laki. Contoh lain adalah Stepping Stones, sebuah penanganan kelompok
kecil menggunakan pembelajaran partisipasi untuk membantu meningkatkan kesehatan seksual,
dimulai di Uganda namun diadaptasi di berbagai negara sub-Sahara Afrika termasuk Gambia,
Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Tanzania, Zambia juga di Filipina. Paket pelatihan komunitas
program tersebut “bertujuan mendorong komunitas untuk mempertanyakan dan memperbaiki
ketidaksetaraan gender yang berkontribusi terhadap HIV/AIDS, kekerasan berdasarkan gender
dan hal-hal lain” dan juga berfokus pada perubahan perilaku.[2]

Gender dan gerakan sosial

Di seluruh dunia orang mengorganisasikan diri untuk melawan dan mengakhiri ketidakadilan
gender di segala bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Namun demikian, untuk
meraih keberhasilan perjuangan ini perlu melibatkan dan memprioritaskan kesetaraan gender
dalam struktur organisasi sendiri sebagaimana juga perlu tercakup dalam analisis dan metodologi
untuk perubahan. Hal ini sangat politis pada berbagai tataran. Walaupun gerakan sosial mencoba
menyikapi hal ini, para aktivis masih sering menghadapi perlawanan kuat dalam upaya
mengubah politik dan praktik-praktik berbasis gender bahkan dalam konteks gerakan dan
organisasi-organisasi sekutu. Namun demikian, untuk membuat dampak dalam transformasi
relasi kekuasaan gender peran gerakan sosial adalah penting.

Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam gerakan sosial dan aktivisme tidak hanya
mengenai ‘pelibatan’ perempuan atau ‘memikirkan tentang’ laki-laki dan minoritas gender,
melainkan juga mempertimbangkan apa yang disodorkan politik berbasis gender mengenai cara-
cara alternatif untuk mengada, melihat dan melakukannya terhadap diri sendiri dalam rangka
transformasi relasi kekuasaan patriarki. Ada beberapa pendekatan yang diambil oleh berbagai
gerakan sosial dalam menyikapi persoalan hak-hak perempuan dan keadilan gender, namun
secara umum bisa ditarik beberapa parameter yang memfasilitasi suatu lingkungan yang
mendukung bagi pembangunan gerakan yang adil gender. Misalnya, melakukan afirmasi akan
pentingnya mengatasi ketidaksetaraan gender dan kekuasaan patriarki sebagai bagian integral
keadilan dan menyebutkannya secara eksplisit sebagai prioritas; terlibat secara positif dalam
refleksi internal dan aksi untuk hak-hak perempuan dan keadilan gender, memberikan dukungan
terhadap kepemimpinan dan partisipasi perempuan dalam semua aspek gerakan sosial, mengatasi
kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Memastikan distribusi peran/kedudukan yang setara
dalam struktur organisasi, memastikan kesetaraan partisipasi, mempertimbangkan hal
pengurusan anggota keluarga, mempertimbangkan bahwa perempuan bisa menjadi target
pembalasan oleh anggota masyarakat yang merasa terancam oleh adanya keadilan gender yang
menimbulkan perubahan-perubahan dalam peran tradisional.

 Arta Bisnis, Keuangan (current)


 Raga Olahraga, Hobi
 Rupa Hiburan, Gaya Hidup
 Mereka Profil, Wawancara

Indeks
STOP PRESS! Polisi Klaim Membekuk Pentolan Grup MCA yang Kerap Sebar Hoaks
follow us

1. HOME
2. HUKUM

Mencari Cara Menyudahi Ketimpangan


Gender
Eksekutif Komite Sepak Bola Wanita PSSI Papat Yunisal (kedua kiri), Ketua Bidang Sport Intelligence PSSI
Fary Francis (keempat kiri) Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) Paul Mela (kelima kiri) menendang bola
saat membuka Turnamen Sepak Bola Perempuan, NTT, Kamis (22/6). ANTARA FOTO/Kornelis
Kaha/kye/17.

82 Shares
Reporter: Aulia Adam & Suhendra

03 September, 2017 dibaca normal 3:30 menit

 Di Indonesia saat ini tengah gencar gagasan untuk kembali menarik perempuan ke ranah
domestik
 Pemerintah harus promosikan pekerjaan pengasuhan, dan membuat aturan yang lebih jelas

Yang paling penting dari proses menolak ketimpangan gender adalah mengubah paradigma lama.
tirto.id - Sandyakala Wikan Anantabrata bingung, antara kasihan atau marah setelah melihat sebuah
meme. Isi ilustrasi itu ada tiga kolom. Kolom pertama, seorang perempuan berhijab dikejar-kejar lima
orang pria, dengan keterangan ‘lulus SMA’. Kolom kedua, perempuan itu dikejar-kejar tiga orang pria
dengan keterangan ‘lulus kuliah’. Sementara kolom terakhir, wanita itu mengejar seorang pria, dengan
keterangan ‘lulus S3’.

“Waktu pertama kali lihat (meme) ini, aku tuh bingung antara marah atau kasihan. Marah karena
(meme) ini tuh misleading banget, membuat—memaksa—memberikan pendapat bahwa perempuan itu
sebenarnya enggak boleh berpendidikan tinggi. Dan bingung, karena banyak banget hal yang mestinya
ditakutin, macam laba-laba,” katanya.

Wikan sendiri adalah seorang suami tamatan SMA yang sedang menemani istrinya melanjutkan studi S2
di Harvard University. Dan menurutnya, tak ada yang salah dari menjadi suami yang punya istri
berpendidikan tinggi. Pernikahan, bagi Wikan, bukanlah tentang persaingan tentang siapa yang lebih
pintar dan siapa yang lebih bodoh.

“Harus diakui, menghilangkan ego pria yang sudah diciptakan dari zaman kita kecil—bagaimana kita
(pria) harus kuat, enggak boleh nangis, harus jadi pemimpin semua orang—itu sulit sekali. Even, cowok
yang sudah progresif pun masih minder dan sulit menerima kenyataan bahwa istrinya atau pasangannya
lebih pintar atau menghasilkan uang lebih banyak daripada dia,” tambah Wikan.

Menurutnya, perasaan tersebut sah-sah saja, selama “ego-ego ini tidak dikumpulkan menjadi satu dan
dijadikan senjata untuk menyerang kebebasan perempuan dalam memilih.”

Baca: Nasib Laki-laki Feminis

Indry Okraviani, aktivis kesetaraan gender dari Koalisi Perempuan Indonesia punya opini serupa.
Menurutnya, di Indonesia saat ini tengah gencar gagasan untuk kembali menarik perempuan ke ranah
domestik rumah tangga.

“Benar memang, pergerakan perempuan-perempuan Indonesia zaman sekarang lebih maju dari
sebelumnya. Tapi di saat yang sama, tarikan perempuan kembali ke zona domestik juga sedang besar-
besarnya. Misalnya, ya seperti anjuran ‘enggak apa-apa perempuan sekolah tinggi, tapi harus ingat
kodratnya adalah menjaga anak di rumah’,” kata Indry.

Kesalahpahaman tentang beda kodrat dan konstruksi gender ini—seperti kata Wikan—bisa jadi sebuah
senjata yang menyerang kebebasan perempuan. Dibesarkan budaya patriaki—yang mencampuradukan
antara jenis kelamin dan gender—memang membuat pria dan wanita sering susah membedakannya.

Baca: Menyusun Kebijakan yang Tak Bias Gender

Jenis kelamin adalah sesuatu yang hadir secara lahiriah dan alami. Misalnya bayi berpenis disebut laki-
laki, dan bayi bervagina disebut perempuan. Tentu penis dan vagina memiliki fungsi yang berbeda
secara biologis, membuat laki-laki tidak akan bisa menstruasi ataupun melahirkan seperti perempuan. 

Sementara gender adalah perbedaan peran, hak, kewajiban, kuasa, dan kesempatan antara laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan masyarakat. Jika kelamin bersifat alami (nature), gender bersifat kultural,
hasil bentukan sosial dan budaya, bisa sangat bersifat lokal dan berbeda-beda sesuai letak geografisnya,
serta mempunyai sifat “menyesuaikan” dengan waktu, sebab gender seseorang berbeda-beda di daerah
tertentu, di waktu tertentu pula.

Opini yang menyebut ‘perempuan harus menjaga anak di rumah’ adalah contoh penerapan gender.

Di banyak negara, kekeliruan itu mulai diluruskan lewat regulasi pemerintahnya. Misalnya di Swedia.
Perempuan di Swedia boleh cuti hamil dan melahirkan selama 480 hari (1 tahun lebih), dan tetap digaji
hingga 80 persen. Negara lain seperti Kroasia, Denmark, dan Serbia bahkan memberikan gaji seratus
persen bagi perempuan pekerja yang cuti hamil, meski lamanya tak seperti yang ditawarkan Swedia.
Sejumlah negara juga memberikan cuti pada pria yang ingin menemani istri dan anaknya selama tiga
bulan (atau lebih) pasca melahirkan.

Mereka sadar bahwa hamil dan melahirkan adalah bagian kodrat perempuan, sehingga diberikan cuti
layak. Namun, merawat anak bukanlah cuma pekerjaan ibu belaka, sehingga ayah juga diberikan
kesempatan cuti layak demi tumbuh kembang anaknya.

Baca: Cara Indonesia Memperlakukan Perempuan

Di Indonesia, aturan cuti bagi perempuan ini diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003. Ada ketentuan hak beristirahat sebelum dan sesudah melahirkan (masing-masing 1,5 bulan
sehingga total 3 bulan), tapi tak ada aturan tentang cuti untuk ayah—merawat anak dan istri pasca
melahirkan.
share infografik

Meluruskan kekeliruan paradigma ini, menurut International NGO Forum on Indonesian


Development (Infid), Koalisi Perempuan Indonesia, dan OXFAM, adalah sebuah keharusan. Untuk itu
mereka menganjurkan 10 cara menurunkan ketimpangan gender di Indonesia. Seperti: merealokasi 5-10
persen anggaran pendidikan di APBN 2018 (Rp440 triliun) untuk meningkatkan investasi SDM
Perempuan.

Langkah konkretnya bisa dimulai dengan melakukan uji coba di 20 provinsi dan 50-100 kabupaten dan
kota untuk memastikan semua anak perempuan Indonesia mencapai pendidikan dasar menengah
hingga 12 tahun; Membuat kebijakan baru: Beasiswa LPDP harus melahirkan 500 ribu ilmuwan
perempuan hingga 2045.

Mereka juga mendorong peningkatan kapabilitas pelaku UMKM terutama usaha yang digerakkan
perempuan; Mempromosikan pekerjaan pengasuhan, dan membuat aturan yang lebih jelas; Mencegah
perkawinan dini dengan menaikkan usia perkawinan perempuan, menyediakan fasilitas penitipan anak
yang aman dan nyaman, menerapkan cuti kerja bagi laki-laki yang ingin menemani istri cuti hamil dan
pengasuhan anak.

Ada juga usulan agar pemerintah membentuk “Satgas Pemajuan Perempuan”; dan mendorong
pemerintah khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyediakan kajian dan data
yang terus diperbarui tentang perempuan putus sekolah, perempuan menikah di usia anak, diskriminasi
akses perempuan untuk mendapat pekerjaan, kekerasan terhadap perempuan, dan perdagangan
perempuan dan anak.

Kepada swasta, mereka juga mendorong untuk: memberlakukan kuota 30 persen perempuan di jabatan
menengah dan jabatan tinggi serta harus memberlakukan kebiajakan pro-perempuan seperti: peraturan
ketat tentang pencegahan eksploitasi dan kekerasan seksual, serta cuti yang layak dan menghormati hak
pekerja perempuan.

Upaya-upaya tersebut adalah gerakan yang harus dilewati pemerintah untuk mengganti paradigma lama
tentang hak-hak perempuan. Kemajuan perempuan di sebuah negara akan berdampak pada kemajuan
peradaban dan ekonominya. Untuk itu, tugas negara adalah menjadi penjamin terselenggaranya regulasi
yang mendukung para perempuan.

Menurut Misiyah dari Kapal Perempuan, sebuah lembaga swadaya masyarakat, hal-hal di atas sangat
diperlukan agar ketimpangan gender di Indonesia dapat berkurang. Laporan World Economic Forum
menunjukkan posisi Indonesia berada di urutan ke-88 dalam indeks kesenjangan gender 2016. Membuat
negeri ini jauh tertinggal di belakang negara ASEAN lainnya, seperti Filipina, Singapura, Laos, Thailand,
dan Vietnam.

Angka kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki di Indonesia mencapai 0,628. Angkanya
turun dari peringkat ke-68 pada 2006 silam dengan capaian 0,654.
Angka-angka ini diperoleh dari tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, partisipasi politik, dan
kesehatan warga yang ada di 144 negara yang disurvei. Melalui survei ini, perempuan masih terlihat
sebagai warga kelas dua, yang hak dan kebutuhannya masih belum bisa sepenuhnya diakomodasi
Indonesia sebagai negara. Ketimpangan itu tak cuma membuat ekonomi negara rugi, tapi juga
melanggengkan diskriminasi dan kekerasan yang dialami para perempuan.

Anda mungkin juga menyukai