Anda di halaman 1dari 35

2019

BAHAN AJAR GENDER


DALAM HUKUM:
(KONSEP, TEORI FEMINISME DAN
PERKEMBANGAN)

DR. ANAK AGUNG ISTRI ARI ATU DEWI, SH.,MH.


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

0|P age
GENDER DALAM HUKUM
I. PENDAHULUAN
Mata kuliah Gender dalam Hukum dirancang untuk perkuliahan strata S1
pada fakultas Hukum Universitas Udayana. Mata kuliah ini merupakan
mata kuliah wajib fakultas, dengan bobot 2 sks. Substansi mata kuliah dibagi
ke dalam 4 pokok bahasan, yaitu: 1) Pengertian-pengertian dasar dalam studi
gender, 2) Isu-isu gender dalam berbagai bidang hukum, 3) Teori-Teori
Feminis, dan 4 Penelitian Hukum Berperspektif Gender. Capaian
Pembelajaran dari Pembelajaran Mata kuliah Gender dalam Hukum
diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada
mahasiwa tentang berbagai istilah yang digunakan dalam studi gender dan
persoalan-persoalan gender/isu-isu gender secara akademis, teori-teori
Feminis, serta memperkenalkan kepada mereka tentang metode penelitian
berwawasan gender, sehingga mahasiswa diharapkan mempunyai kepekaan
terhadap persoalan-persoalan gender yang ada di masyarakat, dan juga dapat
melaksanakan penelitian berperspektif gender sebagai salah satu alternatif
pilihan dalam pembuatan skripsi guna mengakhiri studi mereka di perguruan
tinggi.
Adapun manfaat dalam mempelajari Gemder dalam Hukum yaitu Mata kuliah
Gender dalam Hukum mempunyai manfaat praktis maupun teoritis bagi
mahasiswa. Manfaat teoritis, bahwa materi kuliah banyak mengandung isu-
isu menarik untuk diangkat menjadi penelitian untuk penulisan skripsi
ataupun artikel jurnal, Selain itu, berbagai isu gender yang ada juga dapat
diangkat untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat. Manfaat praktis
yang dapat diperoleh oleh mahasiswa adalah pengetahuan dan keterampilan
menganalisis kasus-kasus yang terkait dengan persoalan gender yang dapat
dimanfaatkan kelak oleh mahasiswa setelah bekerja baik sebagai hakim,
jaksa, pengusaha, pendidik, bahkan juga sebagai pembantu rumahtangga

1
Sebelum berbicara gender terlebih dahulu perlu dipahami seks, kodrat dan
gender.
Seks atau jenis kelamin : manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan
dengan perbedaan biologis yang juga disebut seks atau jenis kelamin yang
diciptakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai berikut:
Perempuan Laki-laki
(alat reproduksi yaitu rahim, (alat reproduksi yaitu Penis)
payudara)
- Tumbuh jenggot, rubah suara
Peran biologis (5M) - Bisa mengeluarkan air manih
- Menstruasi - Bisa menghamili perempuan
- Mengandung
- Melahirkan
- Menyusui
- Menopose
Perbedaan ini bersifat kekal, terdapat di mana-mana dan sepanjang masa.

Kodrat adalah segala sesuatu yang ditakdirkan oleh Tuhan ( bukan


diciptakan oleh manusia)

Kodrat diartikan sebagai suatu sifat bawaan biologis sebagai anugrah Tuhan
Yang Maha Esa yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat
dipindahtangankan dari laki-laki kepada perempuan dans ebaliknya dari
perempuan kepada laki-laki.

Implikasi dari anugrah laki-laki dan perempuan adalah diberi peran kodrati
yang berbeda sehingga peran kodrati bersifat statis.

Sehingga seks dan kodrat itu merupakan pemberian Tuhan yang dibawa bayi
dalam kandungan dan tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan
perempuan dan juga tidak dapat digantikan fungsinya satu dengan yang
lainnya.

Gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta
prilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis
kelamin perempuan dan laki-laki.
2
Gender juga dapat diartikan sebagai suatu konsep hubungan social yang
mebedakan antara peran laki-lai dan peran perempuan dimana peran itu
dibentuk oleh norma social dan nilai social budaya masyarakat.

Gender juga dapat diartikan sebagai hasil konstruksi social yaitu bahwa peran
itu diciptakan oleh masyarakat dimana bisa berubah dari waktu ke waktu
dan berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.

Gender bersifat universal dan bukan sifat bawaan manusia sejak lahir.
Gender dipengaruhi oleh berbagai factor baik factor budaya, adat istiadat,
politik agama dan lain sebagainya, sehingga gender mempunyai sifat yang
dinamis.

Gender mencakup cirri-ciri, prilaku, pekerjaan, kegiatan serta status yang


dilekatkan oleh masyarakat (manusia) pada kaum laki-laki ataupun pada
kaum perempuan. Jadi kalau berbicara mengenai gender yang dimaksud
adalah kebiasaan-kebiasaan yang berdasarkan kesepakatan bersama. Oleh
karena itu gender juga disebut suatu konstruksi social.

Ciri-ciri gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan


perempuan adalah

Perempuan Laki-laki
- l emah - kuat
- lembut, halus - kasar
- emosional - rasional
- pintar mengatur uang dan - boros
hemat

Walaupun kita tahu bahwa ada juga perempuan kasar, kuat, rasional dan
boros dan sebaliknya laki-laki ada yang lembah lembut dan sebagainya.

3
Seks/Kodrat Gender

- fakta biologis - konstruksi social

- ciptaan Tuhan - (kesepakatan bersama)

- kekal - Berubah dari zaman kezaman)

- universal - Berbeda lintas budaya.

II. DISKRIMINASI GENDER/KETIDAKADILAN GENDER

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak


melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun secara
kenyataan perbedaan gender telah melahirkan ketidak adilan bagi kaum laki-
laki dan kaum perempuan.

Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur dimana kaum laki-laki


dan perempuan menjadi korban. Untuk memahami bagaimana perbedaan
gender menimbulkan ketidakadilan gender dapat dilihat dari berbagai
manifestasi ketidakadilan

Perbedaan Gender sering menimbulkan berbagai ketimpangan atau


ketidakadilan. Bentuk-bentuk ketidakadilan itu antara lain :

Stereotip Gender yaitu pelebelan yang bersifat negative terhadap jenis


kelamin yang mengaibatkan kemiskinan (marjinalisasi), penilaian peran jenis
kelamin tertentu lebih rendah ( subordinasi), peran ganda pada salah satu
jenis kelamin ( double burden) dan tindak kekerasan baik fisik maupun non
fisik (violence).
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender sangat bertentangan dengan HAM
sehingga pemerintah Indonesia mengusahakan terwujudnya kkesetaraan dan
KEadilan Gender melalui kebijakan-kebijakan Negara.
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG): mengandung dua konsep yaitu
kesetaraan gender dan keadilan gender.
4
Kesetaraan Gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, social,
budaya dan keamanan nasional maupun keamana dalam manikmati hasil
pembangunan.
Keadilan Gender berarti suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki
dan perempuan.
Strategi Untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender : Agar
proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud diperlukan langkah-
langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara social dan menurut
sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan
menikmati hasil dan peran yang dimainkannya.
Usaha untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan Gender ternyata masih
sulit dan mengalami hambatan untuk dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat pada umumnya khususnya perempuan.
Untuk itu disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau
keseluruhan instansi pemerintah, swasta dan masyarakat luas.
Strategi tersebut dikenal dengan Pengarusutamaan Gender (PUG) ; Istilah
Pengarusutamaan Gender dalam bahasa Inggris disebut Gender
Mainstreaming.
Strategi pengarusutamaan gender sangat penting, apalagi sejak GBHN 1999
masalah kesetaraan dan keadilan gender mendapat perhatian khusus. Dalam
arah kebijakan Sosial dan Budaya terdapat sub khusus tentang kedudukan
dan peranan perempuan yaitu huruf a menyatakan ―Meningkatkan
kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender”.
Lalu pada saat pemerintahan Gus Dur memandang perlu mengeluarkan
suatu instruksi presiden yaitu Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang

5
PEngarusutamaan Gender yang dikeluarkan pada tanggal 19 Desember 2000.
Dalam lampiran Inpres tersebut angka 1 disebutkan :
PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender
menjadi satu demensi integral dari perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan , pemantauan dana evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional
Tujuan PUG untuk terselenggaranya perencanaan, penyususnan,
pelaksanaan pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang berspektif gender
dalam kehidupan keluarga, masyarakat berbangsa dan bernegara.
Jadi melihat rumusan itu dapat dikatakan PUG adalah suatu strategi untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program
yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan
perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi daris eluruh program diberbagai bidang kehidupan
pembangunan.
Tujuannya adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki memperileh
akses terhadap berpartisipasi dalam control atas dan memperoleh manfaat
yang sama dari pembangunan.
Tujuan akhir PUG adalah untuk mempersempit dan bahkan meniadakan
kesenjangan atau ketidakadilan gender.

III. Landasan Yuridis :


UUD NKRI 1945 (pasal 27-28)
UU No. 39 Tahun 1999 (HAM)
UU No 7 Tahun 1984 ( Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan)
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.

6
IV. Idiologi Patriarkhi :
Patriarki merupakan sebuah sistem otoritas yang berdasarkan kekuasaan
laki-laki tersosialisasi melalui lembaga-lembaga sosial, politik, dan ekonomi.
Lembaga keluarga dipandang sebagai institusi otoritas sang ―Bapak‖, dimana
pembagian kerja berdasarakan gender dan opresi terhadap perempuan
disosialisasikan dan diproduksi. Keluarga sarat dengan muatan-muatan
ideologis dan kepentingan kelas yang berkuasa, yaitu laki-laki.
Dari beberapa studi yang dilakukan selama ini, menunjukkan ideologi
patriarki tumbuh subur dalam lembaga keluarga yang menganut sistem
patrilineal, dimana laki-laki pada sistem ini menjadi tokoh penting dan
dominan dalam keluarga pada berbagai bidang, baik kekuasaan maupun
dalam aksesnya terhadap aset-aset ekonomi, seperti sistem pewarisan
patrilineal.
Akibatnya kehidupan perempuan menjadi sangat dependen pada laki-laki.
Dalam keluarga patrilineal-patriarkis, laki-laki juga mengontrol daya kerja
perempuan secara formal dan informal. Adanya perlawanan dari perempuan
akan memberikan konsekuensi ekonomi dan sosial pada mereka.

V. Emansipasi :
Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha
untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi
kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam
pembahasan masalah seperti itu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
emansipasi ialah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak
dalamberbagai aspek kehidupan masyarakat. Emansipasi wanita ialah proses
pelesapan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau
dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang
dan untuk maju.

7
VI. HAM dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita
Kepedulian terhadap HAM bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dalam
komitmen Bangsa Indnesia yang bersumber pada Pancasila khususnya sila 2
(kemanusiaan yang adil dan beradab).
Perhatian internasional terhadap pemajuan dan perlindungan HAM dan
kebebasan fundamental berakar langsung pada kesadaran komunitas
internasional bahwa pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-
hak yang sederajat dari semua anggota umat manusia adalah dasar dri
kebebasan, keadilan dan kedamain di dunia.
Untuk mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan secara
universal tanpa membedakan ras, jenis kelamin bahasa atau agama, maka
Negara peserta PBB telah memplokamirkan dalam DUHAM tahun 1948.
Lahirnya DUHAM merupakan cerminan dari keberhasilan semua orang dan
semua bangsa untuk memajukan penghormatan terhadap HAM. DUHAM
merupakan juga keberhasilan yang luar biasa dan merupakan satu langkah
yang maju dalam proses evolusi besar, karena merupakan kesempatan
pertama dimana komunitas bangsa-bangsa membuat deklarasi tentang hak
dan kebebasan fundamental manusia. Pada waktu DUHAM ditetapkan oleh
PBB tidak ada Negara peserta PBB yang menentangnya.
Indonesia merupakan salah satu anggota PBB yang ikut menandatangani
DUHAM. Penandatanganan DUHAM mempunyai maksud sebagai Negara
peserta PBB Indonesia menyetujui isi dari DUHAM dan mempunyai komitmen
untuk ikut memajukan dan melindungi HAM. Sehingga dapat dikatakan
bahwa Indonesia secara normative terikat pada substansi dari DUHAM.
Esensi dari DUHAM :
1. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia.
2. Menghormati prinsip non-diskriminasi (tanpa membedakan ras, suku,
agama, bahasa dan jenis kelamin).

8
Terkait dengan Hak asasi wanita, bahwa dengan lahirnya DUHAM
merupakan titik tolak dalam lahirnya Instrumen Internasional tentang Hak
Asasi Wanita. Perlindungan terhadap hak –hak perempuan terrealisasi dalam “
Convention on The Elemination of All Types of Discrimination against Women”
diseingkat dengan women’s convention atau konvensi wanita atau konvensi
perempuan pada tahun 1979. Diadopsinya konvensi wanita oleh PBB
seringkali disebut sebagai suatu terobosan penting yang telah dicapai.
Konvensi wanita ini sering disebut sebagai CEDAW.
CEDAW ini dibentuk dengan sasaran untuk dapat meningkatkan
penegakan dan perlindungan hak-hak wanita sebagai hak-hak manusia.
Indonesia sebagai Negara peserta PBB telah meratifikasi Konvensi wanita
tahun 1984 melalui UU No. 7 tahun 1984.
Prinsip-prinsip yang dianut Konvensi Wanita :
Konvensi wanita menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara wanita
dan pria (equality and equity) yaitu persamaan hak dan kesempatan serta
perlakuan di segala bidang dan segala kegiatan.
Pada intinya Konvensi wanita mengakui adanya :
1. Perbedaan biologis atau kodrati antara wanita dan pria.
2. Perbedaan perlakuan terhadap wanita yang berbasis gender yang
mengakibatkatkan kerugian pada wanita. KErugian itu berupa
subordinasi kedudukan dalam keluarga dan masyarakat, maupun
pembatasan kemampuan dan kesempatan dalam memanfaatkan
peluang yang ada. Peluang itu dapat berupa peluang untuk tumbuh
kembang secara optimal , menyeluruh dan terpadu, peluang untuk
berperan dalam pembangunan di semua bidang dan tingkat kegiatan,
peluang untuk menikmati manfaat yang sama dengan pria dari hasil-
hasil pembangunan dan peluang untuk mengembangkan potensinya
secara optimal.
3. Perbedaan kondisi dan posisi antara wanita dan pria, dimana wanita ada
dalam kondisi dan posisi yang lebih lemah karena mengalami
9
diskriminasi atau menanggung akibat karena perlakuan diskriminatif
atau karena lingkungan, keluarga dan masyarakat tidak mendukung
kemandirian wanita.
Konvensi wanita didasarkan atas prinsip-prinsip ;
1. Prinsip persamaan menuju persamaan substansi
2. Prinsip non diskriminasi antara wanita dan pria
3. Prinsip kewajiban Negara.
Ad 1. Prinsip persamaan menuju persamaan substansi adalah
 Langkah-langkah untuk merealisasi hak-hak wanita yang ditujukan
untuk mengatasi adanya perbedaan atau kesenjangan atau keadaan
yang merugikan wanita.
 Persamaan substantive dengan pendekatan koreksi merupakan
langkah-langkah khusus agar wanita mempunyai akses pada dan
menikmati manfaat yang sama seperti pria dari kesempatan dan
peluang yang ada.
 Konvensi wanita mewajibkan pemerintah untuk mendasarkan
kebijaksanaan pada prinsip-prinsip :
1. Persamaan kesempatan antara pria dan wanita
2. Persamaan pria dan wanita untuk menikmati hasil-hasil dari
pembangunan dalam artian wanita dan pria menikmati manfaat
yang sama/adil.
3. Hak hokum yang sama antara pria dan wanita dalam :
a. Dalam kewarganegaraan
b. Dalam perkawinan dan hubungan keluarga
c. Atas perwalian anak
d. Persamaan kedudukan dalam hokum dan perlakuan sama di
depan hokum.

Ad. 2. Prinsip Non-Diskriminasi

10
Prinsip diskriminasi terhadap wanita dimuat dalam pasal 1 Konvensi
Wanita yang menegaskan :
Bahwa diskriminasi terhadap wanita adalah setiap pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau pengunaan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social budaya, sipil
atau apapun lainnnya oleh wanita terlepas dari status perkawinan mereka,
atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan. Untuk
itu diperlukan langkah-langkah proaktif untuk mencapai persamaan antara
wanita dan pria.

Ad 3 Prinsip Kewajiban Negara


Menurut Kovensi Wanita, prinsip dasar kewajiban Negara adalah
1. Menjamin hak-hak wanita melalui hokum dan kebijaksanaan serta
menjamin hasilnya.
2. MEnjamin pelaksanaan praktis dari hak-hak itu melalui langkah-
langkah atau aturan khusus menciptakan kondisi yang kondusif
untuk meningkatkan kemampuan akses wanita pada peluang dan
kesempatan yang ada.
3. Negara tidak saja menjamin melainkan juga merealisasikan hak-hak
wanita.
4. Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto.
5. Negara tidak saja mengatur disektor public melainkan juga pada
sector privat (orang-orang).
Jadi secara ringkas prinsip kewajiban Negara meliputi :
 Mencegah diskriminasi
 Melarang diskriminasi terhadap wanita

11
 Melakukan identifikasi adanya diskriminasi terhadap wanita dan
melakukan langkah-langkah untuk memperbaikinya.
 Melaksankan sanksi atas tindakan diskriminasi terhadap wanita
 Memberikan dukungan pada penegakan hak-hak wanita dan mendorong
persamaan dan kesetaraan maupun keadilan melalui langkah-langkah
proaktif.
 Meningkatkan persamaan de-facto wanita dan pria.
Kewajiban yang lain :
 Ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita berarti bahwa Negara peserta mengikatkan dirinya untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvensi wanita.
 Negara peserta berkewajiban memberikan laporan mengenai
pelaksanaan Konvensi Wanita kepada CEDAW setiap 4 tahun sekali.
Laporan itu meliputi peraturan legislative, yudikatif, administrative dan
langkah-langkah yang telah diambil untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan Konvensi dan kemajuan yang telah dicapai.

VII. Feminisme Dan Teori

Berbeda dengan isme produk oksiden (Barat) lainnya, diskursus

feminisme tidak menggunakan grand-theory yang monolitik (Bashin dan Khan,

1988), sehingga tidak ada suatu standar tunggal yang rigit dengan aplikasinya.

Dengan demikian feminisme dapat diartikulasikan secara beragam dalam

konteks ruang dan waktu serta secara sosio-kultural yang indigenous, dengan

catatan bahwa sepanjang suatu aksi atau gerakan ini berangkat dari

kesadaran tentang terjadinya penindasan baik fisik maupun mental terhadap

perempuan dalam masyarakat. Selanjutnya, kesadaran ini memicu,

12
memotivasi adanya suatu aksi dari perempuan atau laki-laki untuk dengan

sengaja merubah keadaan tersebut (Dzuhayatin, 2000: 234).

Ben Agger (1998) menyatakan bahwa prestasi besar dari teori feminis

adalah bahwa bukan hanya tentang pemahaman, namun juga tentang

tindakan. Feminis itu sendiri, membentuk kesadaran yang dibangun oleh

pengalaman perempuan yang khas tentang kebenaran, pengetahuan dan

kekuasaan. Seperti hal-nya yang terjadi dalam masyarakat, perkembangan

berikutnya, feminisme juga mendapat respon yang lain dari isme-isme Barat,

seperti kapitalisme, sosialisme, modernisme, industrialisme dan bahkan post-

modernisme. Feminisme tidak lebih hanya diterimasebagai entitas yang secara

substansial tercela dan tidak perlu diberi ruang (Dzuhayatin, 2000: 235).

Namun, hal ini tidak menyurutkan dan memusnahkan munculnya gerakan

feminis sendiri. Kesadaran akan ketertindasan muncul di belahan dunia

manapun. Diakui atau tidak, feminisme menjadi suatu fenomena yang

mendesak kemapanan patriakal yang cenderung mendiskriditkan martabat

kemanusiaan perempuan. Yang kemudian, kesadaran tersebut telah

menciptakan paradigma baru yang lebih harmonis untuk laki-laki dan

perempuan, serta merumuskan identitas gender yang tidak terlalu tajam

terpolarisasi dalam sudut-sudut yang superioritas dan inferior.

Teori feminisme selama ini digunakan untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan penelitian yang berfokus pada peran dan posisi perempuan dalam

semua aspek kehidupan. Teori ini juga digunakan sebagai pisau bedah

terhadap ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki.Setelah


13
berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan diremehkan oleh disiplin ilmu

patriarkhi, perempuan berusaha masuk menjadi bahan objek penyelidikan.

Teori-teori tradisional sering dimodifikasi oleh kaum feminis untuk

menerangkan penindasan perempuan. Dengan memusatkan pada

pencantuman persamaan perempuan ke dalam kerangka teoritik masa lalu,

kesamaan-kesamaan perempuan dan laki-laki ditekankan (Gross, 1986: 194).

Dibawah ini dipaparkan mengenai pokok-pokok teori feminisme yang

berkembang selama ini, sebagai berikut.

1. Feminisme menjelaskan kesetaraan dan ketimpangan gender

Teori ini bertujuan memahami dan menjelaskan hakikat ketimpangan

gender dengan menyaksikan peran sosial perempuan dan pengalaman

hidupnya (Astuti, 2011:8). Bentuk awal feminisme telah mengalami kritikan,

karena hanya mempertimbangkan kaum putih, kelas menengah, dan yang

terdidik. Lalu hal ini menimbulkan bentuk feminisme yang multi kulturalis.

Teori feminis juga telah merambah ke berbagai bidang studi, seperti

sosiologi, ekonomi, antropologi, psikologi, sastra, hukum, dan sebagainya.

Teori-teori feminis berfokus pada ketimpangan gender, relasi kuasa, dan

seksualitas.

Kata feminist dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai kata

benda (noun) atau kata sifat (adjective) yang diakitkan dengan kata

feminism. Dalam Merriam Webster’s Dictionary and Thesaurus, feminist

merupakan kata sifat (adjective) dari feminism yang berarti; (a) teori tentang

kesetaraan politik, ekonomi dan sosial berdasarkan jenis kelamin, (b)


14
aktivitas yang diorganisasi atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan.

Kata feminist sebagai kata benda (noun) berarti pula supporter atau

pendukung feminism, atau kata sifat (adjective) yang berarti berhubungan

dengan atau mendukung persamaan hak bagi perempuan. Sedangkan

dalam Oxford English Dictionary (OED) feminism berarti advokasi hak-hak

perempuan atas dasar kesetaraan jenis kelamin. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, hanya ditemukan istilah feminism yang berarti gerakan

perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kamu

perempuan dan laki-laki.

Feminism dalam pandangan para ahli dan aktivis feminis memiliki

beragam makna. Linda Gordon mengartikan feminism sebagai “an analysis

of women’s subordination for the purpose of figuring out how to change it‖

(suatu analisis terhadap subordinasi perempuan untuk tujuan mencari tahu

bagaimana mengubahnya). Bagi Gordon, feminism juga berarti “sharing in

an impulse to increase the power and autonomy of women in their families,

communities, and/or society” (sharing dalam suatu dorong hati untuk

meningkatkan kuasa dan otonomi perempuan dalam keluarga, komunitas

dan/atau masyarakat mereka).

Pada kesempatan lain Gordon mendefinisikan feminism sebagai

―critique of male supremacy, formed and offered in the light of a will to change

it‖ (kritik atas supremasi laki-laki yang dirupakan dan ditawarkan dalam

cahaya kehendak untuk merubahnya).

15
2. Teori feminisme mendorong gerakan untuk mencari keseimbangan

gender

Teori feminisme diakui merupakan teori yang lahir karena kondisi yang

mendorong munculnya gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan

perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan,

dan phalogosentrisme. M e n u r u t Thompson,feminism merupakan

g e r a k a n konstruksi sosial

dan bukannya gerakan persamaan gender karena permasalahan

yang diusungoleh feminism mengacu pada penataan sosial dan bukan

biologis.

3. Teori feminisme anti diskriminasi, penindasan dan patriarkhi

Tema besar yang dieksplor oleh teori-teori feminis ialah masalah

diskriminasi, stereotype, objektifikasi, penindasan, dan patriarkhi. Apa yang

menjadi pokok masalah dalam feminisme antara lain: kepemilikan,

keadilan, integritas tubuh, otonomi, produksi-reproduksi, hak-hak.

Perjuangan panjang kalangan feminis telah membuahkan hasil, misalnya

hak bersuara (memilih dan dipilih), upah yang sama (dalam pekerjaan),

netralitas gender, hak reproduktif (aborsi dan kontrasepsi), kontrak dan

kepemilikan pribadi. Di samping itu, upaya perlindungan terhadap

perempuan dan anak perempuan dari kekerasan dan lainnya. Feminisme

berpusat pada ―isu-isu perempuan‖ dan kesetaraan gender, maka

16
pembebasan laki-laki dari seksisme dan penindasan peran juga menjadi

masalah feminism pula.

4. Feminisme berjuang untuk peran perempuan dalam politik

Perspektif feminis dalam ilmu politik cenderung terfokus pada isu

seperti diferensial gender dalam representasi dan partisipasi politik. Kaum

feminis berpendapat bahwa yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi

dan kehidupan privat (domestik), yang didasarkan atas hubungan

kekuasaan yang tidak seimbang dimana kaum perempuan dan juga

mempunyai kekuasaan daripada perempuan dan juga mempunyai

kekuasaan atas perempuan (Lovenduski, 2008: 33).

VIII. MASHAB FEMINISME

a. Feminisme liberal

Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk

menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan

individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan

berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.

Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk

berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar

ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena

disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus

17
mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka

"persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Hakikat manusia (human nature) menurut feminisme liberal ialah

kapasitas rasionalnya, ukuran kesetaraan, kepemilikan individual,

martabat, otonomi, kemandirian. Bila ditarik garis lurus pada kaum

perempuan, maka perempuan pun adalah makhluk rasional, setara, dan

seterusnya. Kekuasaan lama (aristocratic system) diganti dengan

kekuasaan rakyat (democratic system). Revolusi sosial pun pecah di

Eropah, yakni di Prancis abad 17. Kemudian diikuti Inggris, Jerman,

Belgia/Belanda, dan Rusia.

Feminisme liberal fokus pada perjuangan hak-hak yang setara antara

perempuan dan laki-laki, yang diperlihatkan oleh hukum yang ada.

Feminisme liberal menentang hukum yang tidak adil dan setara dalam

berbagai hal. Karenanya, sistem legislasi yang adil harus dibuat, sehingga

semua orang memiliki kesamaan hak. Dalam dunia kerja, feminisme

liberal juga menuntut peluang yang sama dengan laki-laki dengan

standar upah dan fasilitas yang sama. Dalam dunia politik, feminisme

liberal memperoleh gerakan perempuan berhak bersuara/memilih dan

dipilih. Pendidikan dasar yang sama juga diperjuangkan kalangan

feminisme liberal. Cita-cita masa depan feminisme liberal ialah

terbentuknya masyarakat yang baik, setara, adil gender, pemenuhan

individual, harga diri, kebaikan moral.

18
Kelemahan feminisme liberal ialah memandang manusia makhluk

individual, yang terasing dari sosialnya, yang memiliki hak terpisahkan

dari kepentingan atau hak orang lain. Batas-batas antara hak dan

kewajiban menjadi sulit di dalam feminisme ini, karena lebih

menekankan individu daripada sosial (individu lainnya). Feminis liberal

antara lain Pateman, Philips, Young.

b. Feminisme radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini

menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada

sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau

dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an,

utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.

Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta

dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah

sesuai namanya yang "radikal".

c. Feminisme post modern

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan

anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda

tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan

pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak

bermakna identitas atau struktur sosial. Mouffe cenderung

mengistimewakan perluasan gagasan politik, dengan maksud menjadikan

19
gender kurang signifikan untuk model-model kewarganegaraan (Gaus &

Kukathas, 2013:650).

d. Feminisme anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang

mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem

patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera

mungkin harus dihancurkan.

e. Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik

kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari

eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan

menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya

konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang

semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi

keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk

exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan

sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property.

Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan

terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika

kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan

penindasan terhadap perempuan dihapus.

20
IX. TEORI FEMINISME MENGKONTRUKSI HUBUNGAN GENDER DAN

NEGARA

Pada awal berdirinya tahun 1970 an, gerakan perempuan baru sangat

mencurigai politik arus utama dan negara, yang terutama bersifat patriarkhis

(Gaus&Kukathas, 2012: 632). Waylen (1998), teoritikus gender cenderung

melihat negara secara negatif. Feminisme sosialis terutama mengintegrasikan

penindasan terhadap perempuan ke dalam perspektif marxis. Akibatnya

mereka melihat negara sebagai instrumen dominasi ditangan kelas yang

berkuasa, dan menegaskan pentingnya peran perempuan dalam

memproduksi angkatan kerja dalam keluarga dalam kepentingan kapitalisme

(Gaus&Kukathas, 2012: 633).

Philips mengatakan, pergeseran saat ini dari penekanan pada identitas

ke perbedaan, telah memindahkan feminisme ke luar persoalan

eksklusi/inklusi perempuan ke set isu kurang spesifik-gender yang

diasosiasikan dengan homogenitas/heterogenitas,

kesamaan/keanekaragaman dan universalitas/ perbedaan. Dengan hal

tersebut sebagai latar belakang, perbedaan identitas mulai dilihat secara

positif, bukan sebagai penghalang bagi mobilitas politik. Namun, teori feminis

tak terbatas pada menyediakan alat untuk memikirkan kembali ―isu

perempuan‖ atau peran perempuan di dalam politik praktis, walaupun tugas

tersebut juga penting (Gaus&Kukathas, 2012:649).

Lebih dari hal tersebut, teori politik feminis telah mentransformasi cara

pikir tentang isu-isu utama dalam teori politik, termasuk negara, relasi-relasi
21
antara ranah publik dan ranah pribadi, kewarganegaraan serta aspek inti

lain dalam teori demokrasi. Terutama, teori feminisme telah memperluas

gagasan kekuasaan dan gagasan yang politis. Teori feminis telah

menjalankan gerak rangkap. Pertama, teori politik feminis memperluas

gagasan tentang yang politis sampai pada situs-situs kekuasaan di luar

arena politik formal dan lembaga-lembaga kunci di ranah publik seperti

negara, hingga menjangkau kehidupan keluarga dan seksualitas sebagai

situs ketidaksetaraan gender dan situs konstruksi identitas gender. Pada

tingkat politis praktis, politisasi seksualitas juga penting sebagai bagian

utama dari klaim-klaim politis feminis, seperti isu kontrasepsi, kekerasan

seksual, pornografi dan pelecehan seksual.

Gerak yang kedua di dalam teori politik feminisme dewasa ini berupa

perbaruan minat pada peran negara dalam mengatur relasi gender. Teorisasi

feminis untuk negara dalam tahun-tahun ini cenderung meninggalkan

generalisasi teori-teori negara dan lebih meningkatkan generalisasi teori-teori

negara dan lebih meningkatkan fokus pada analisis praktik-praktik diskursif

yang mengkonstruksi gender oleh politik, juga proses terbentuknya politik

oleh gender (Gaus & Kukathas, 2013:651).

Megawangi berpendapat bahwa penolakan para feminis pada sistem

patriarchi telah mewarnai gerakannya, yakni ingin meruntuhkan struktur

patriarkhi yang dapat digolongkan menjadi dua pola pokok umum. Pertama,

melakukan transformasi sosial dengan perubahan eksternal yang

revolusioner. Perempuan harus masuk ke dalam dunia laki-laki agar


22
kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki. Oleh karenanya

perempuan harus mengadopsi maskulinitas laki-laki untuk bersaing dengan

mereka. Kedua adalah transformasi sosial melalui perubahan evolusioner,

yakni kepercayaan pada pemahaman deterministik biologi yang menegaskan

perbedaan alami laki-laki dan perempuan sehingga timbul apa yang disebut

kualitas feminim dan maskulin. Untuk masuk ke dalam maskulin, maka

keberadaan kualitas feminim dapat merubah sistem patriarkhis yang

hierarkhis dan dominatif, menjadi sistem matriarkhis yang egaliter (Fakih,

dkk. 200:210).

X. FEMINISME: GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA

Gerakan kaum feminis dibeberapa negara merupakan reaksi dari ragam

ketidakadilan, adanya proses penindasan, dan eksploitasi. Kaum perempuan

berjuang demi kesamaan, egalitas, kesetaraan, hak-hak yang sama,

kesempatan yang sama dan kebebasan untuk mengontrol dan menentukan

jalan kehidupannya sendiri. Reaksi ini diwujudkan oleh perempuan dalam

beberapa bentuk aksi. Partisipasi perempuan dalam aksi nyata (empiris) dalam

masyarakat dan dalam tulisan-tulisan.

Feminisme di Indonesia mulai muncul ke permukaan, setelah terbit buku

kompilasi surat-surat Kartini dengan teman-temannya di Belanda (Ny.

Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht

(1911). Buku ini, kemudian populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan
23
Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap

Terbitlah Terang. Buku inilah yang memberi inspirasi bagi kaum perempuan di

Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar

dengan laki-laki. Sejarah feminisme Indonesia mencatat, tulisan RA. Kartini

meletakkan dasar bagi perjuangan perempuan Indonesia. Surat-surat Kartini

kapada sahabatnya di Belanda Ny. N. Van Kol, memberi semangat yang luar

biasa bagi perempuan Indonesia. Dalam surat-suratnya, Kartini menceritakan

kesedihannya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu

ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya.

Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya seorang

poligami, demikian ia juga harus menjadi istri dari suamiyang berpoligami.

Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa

wanita harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit

itu, ―Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak

perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi

luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu

kawin kalau mereka tidak mau.‖ (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini,

Djambatan, 1985: xvii).Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis

Kartini sangat jelas, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan

pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih memilih tunduk pada

takdir tradisi sebagai wanita Jawa. Ia memilih untuk menikah, punya anak,

dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan

24
sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi

dan dianggapnya sangat ―diskriminatif‖ terhadap wanita, akhirnya ia jalani.

Alhasil kata ―emansipasi wanita‖ saatinimenjadi kata-kata yang sangat

familiar di negeri ini. Secara garis besar, dimasa lalu perjuangan feminisme di

Indonesia berkembang melalui wadah organisasi-organisasi perempuan.

Feminisme di Indonesia berkembang dan dipahami sebagai perjuangan

perempuan dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tidak lepas dari

situasi pada masing-masing jaman. Pada masa penjajahan, perjuangan

perempuan Indonesia dalam melakukan perlawanan kepada kolonial dan

semangat Kartini melalui surat-suratnya, menginginkan persamaan akses bagi

perempuan dalam memperoleh pendidikan, berserikat (berorganisasi) memberi

bentuk bagi perjuangan perempuan saat itu. Posisi perempuan dalam keluarga

dan masyarakat sangat subordinat. Praktik poligami yang terjadi saat itu,

pendidikan yang hanya bisa diakses oleh laki-laki dan tekanan pemerintah

kolonial telah melatarbelakangi perjuangan kaum feminis. Mereka berjuang

mereaksi kondisi perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model

gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya

melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil,

karena baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan di masa itu.

Sementara Cut Nya’ Dien yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarkhi

Jawa, telah menunjukkan kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan

gender. Apapun, mereka adalah peletak dasar perjuangan perempuan kini.

25
Pasca kemerdekaan, perempuan juga mengambil bagian

memperjuangkan kesetaraan memperoleh akses dalam negara. Dalam

kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik, pergerakan

wanita berbenah diri untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres

pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud

menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Isu-isu yang

berkembang sebenarnya belum jauh dari masa sebelum merdeka. Emansipasi

diberbagai bidang termasuk penolakan poligami, pembenahan pendidikan dan

sebagainya. Untuk pertama kali, ditetapkan aturan yang memberi

perlindungan bagi perempuan, yakni Undang-undang Keluarga Nomor 22

tahun 1946. Salah satu pasal menyebutkan bahwa perkawinan, perceraian

dan rujuk harus dicatatkan (Warsito:2012). Pergerakan feminisme yang

dilakukan oleh perempuan melalui organisasi perempuan; Persatuan Wanita

Republik Indonesia (Perwari)–yang merupakan badan fusi Persatuan Wanita

Indonesia (Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani)--, Badan Kongres

Wanita Indonesia (KOWANI) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Gerakan feminisme saat ini masih berjuang untuk akses pendidikan,

menentang poligami, menolak kekerasan dalam bentuk pemerkosaan, dan

kebutuhan perempuan pada masa itu.

Perjuangan membuahkan hasil. Berbagai akses dibuka seiring dengan

masuknya arus demokrasi di Indonesia. Perempuan mendapatkan akses

dalam pendidikan, politik dan beberapa aspek kehidupan dalam masyarakat.

Kemudian, masa Orde Baru, semua gerakan termasuk gerakan perempuan


26
ditekan oleh pemerintah. Citra perempuan dalam wacana rezim Soeharto

digambarkan pasrah dan patuh atas subordinasi yang dialaminya. Organisasi

perempuan yang bisa berkembang pada periode pemerintahan Soeharto

adalah organisasi yang difasilitasi oleh pemerintah misalnya, Dharma Wanita,

Dharma Pertiwi dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), yang

diciptakan untuk mendukung kebijakan pemerintah.

Pada tataran empirik, feminisme di Indonesia juga diteliti di masa lalu.

Mengenai kajian dan penelitian organisasi perempuan di Indonesia sebetulnya

sudah cukup banyak dilakukan oleh akademisi dan aktivis perempuan.

Seiring dengan semangat Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, Kongres

Perempuan yang pertama diselenggarakan pada 22 Desember 1928 di

Yogyakarta. Sementara itu, Susan Blackburn (2009) dan Saskia Wieringa

(1992) melanjutkan kajian mengenai gerakan perempuan di Indonesia dengan

melihat bagaimana kegiatan organisasi perempuan sejak kurun 1920-an itu

berlanjut pada 1965, dan situasinya pada masa awal Orde Baru

(http://wri.or.id/homepage-id/)

Setelah masa reformasi bergulir, gerakan perempuan Indonesia semakin

menguat. Terbukanya kran demokrasi pada awal tahun 1999 menjadi pijakan

yang menggembirakan bagi perempuan. Hal ini dapat ditelusuri dari peran

negara yang ber-itikatuntuk memperhatikan persoalan kesetaraan melalui

ditetapkannya Inpres No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan gender

dalam pembangunan nasional.Pengarusutamaan gender (Gender

Mainstreaming) adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan


27
keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang

berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender

merupakan strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan

gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam

penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu

organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya.

UUD 1945, UU Pemilu, UU Partai Politik, dan beberapa peraturan lainnya

telah mengatur tentang akses perempuan di Indonesia dalam politik,

pendidikan dan segenap aspek lainnya.Jaminan ruang keterwakilan

perempuan dalam berpolitik dengan kuota 30% oleh perundangan, masuknya

perempuan dalam eksekutif, kebutuhan perbaikan tingkat kesehatan

reproduksi perempuan, hak-hak buruh perempuan, equal dalam memperoleh

akses pendidikan, mulai nampak sebagai aksi perempuan dalam

memperjuangkan hak-haknya di Indonesia.

XI. FEMINISME: ISU-ISU MASA KINI

Perjuangan perempuan Indonesia diranah publik, tidak terlepas dari

peran berbagai tulisan di dunia sastra.Dimasa lalu, isu-isu feminisme

digambarkan dalam beberapa novel Indonesia masa lampau seperti Azab dan

Sengsara (Merari Siregar, 1920), Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Kehilangan

Mestika (Hamidah, 1935), Layar Terkembang (Sutan TakdirAlisyahbana, 1936),

Manusia Bebas (Soewarsih Djojo Puspito, 1944), Widyawati (Arti Purbani,

1948) merupakan karya sastra yang indah yang menyuguhkan cerita


28
mengenai perempuan yang terdidik (Wiyatmi, 2002:7). Novel-novel ini

mengangkat isu-isu kesetaraan perempuan dalam masyarakatnya yang kental

dengan suasana patriarkhi. Setting cerita dan berontak Sitti Nurbaya dalam

novel memberi gambaran yang jelas tentang kesenjangan dan pembaca diajak

untuk membentuk opini, pengetahuan dan pemahaman tentang keadilan.

Seperti yang telah diuraikan di atas, tahun 1960 an, tujuan-tujuan politik

feminis terfokus pada penentuan perempuan agar sederajad dengan laki-laki

(Ollenburger, 2002:20).

Di masa kini, feminisme bergerak disemua sisi kehidupan masyarakat.

Menurut Dzuhayatin, di Indonesia telah berkembang feminis politis, feminis

akademis dan feminis populis (Budiman, 2000:ix). Feminis politis adalah

mereka yang mengawal gerakan ini pada tataran bargaining dan lobbying baik

ditataran lokal maupun internasional.Feminis ini, berjuang dalam bidang

politik praktis. Mereka melakukan gerakan untuk persamaan hak-hak dan

akses perempuan dalam negara. Fokus mereka merespon, berpartisipasi,

menuangkan gagasan politik negara. Bagaimana hak-hak perempuan dalam

berpolitik, partisipasi perempuan, Kuota perempuan dalam politik,

keterwakilan perempuan, regulasi perempuan dalam berpolitik, kepemimpinan

perempuan, hak-hak buruh perempuan, dan sebagainya.

Feminis praktis adalah mereka yang mengurus berbagai kebutuhan

praktis perempuan, misalnya mereka yang mengalami kekerasan,

ketidakadilan dalam crisis center, shelter, dan sebagainya. Advokasi-advokasi

telah diberikan untuk perempuan dan anak-anak Indonesia. Fokus


29
penanganan terhadap kebutuhan perempuan dalam kondisi normal seperti

kebutuhan kesehatan reproduksi, pencegahan pelecehan seksual, maupun

kondisi emergensi seperti terjadinya bencana alam, kerusuhan, dampak

demonstrasi, konflik dan sebagainya.

Sedangkan kalangan feminis akademis adalah mereka yang menulis dan

membahasakan berbagai persoalan, kendala-kendala yang dihadapi oleh dua

kelompok sebelumnya. Biasanya mereka akan melakukan kegiatan-kegiatan

menulis, memberi pelatihan-pelatihan, penelitian, kajian-kajian dan diskusi

ilmiah tentang perempuan, pergerakan perempuan, kesetaraan gender, dan

sebagainya. Bagi kalangan ini menurut Kris ―perempuan untuk

memperjuangkan keinginannya maka mereka harus menulis”.

Ide-ide yang tertuang dalam tulisan-tulisan yang kemudian

dipublishdalam buku dan jurnal di Indonesia cukup banyak. Seperti halnya

tulisan lainnya, gagasan/ ide ini masuk dan mudah diakses masyarakat

melalui media internet. Internet menjadi wadah yang sangat berpengaruh

dalam dasawarsa ini. Melalui tulisan-tulisan, tuangan-tuangan ide, status

pada sosial media, gerakan feminisme berkembang dan berjuang menerobos

ruang dan waktu bagi pembacanya. Para penulis artikel, novel, bahkan status

dalam sosial media pada era sekarang mempengaruhi pembacanya, memberi

pemahaman pada khalayak serta memberi opini bagi masyarakat luas.

Dalam media, perempuan diharapkan bukan sebagai objek yang senantiasa

dieksploitasi secara lahir, namun peran media disana ialah mencoba

memblow-up seluruh potensi perempuan serta peran politik perempuan yang


30
berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan, baik melalui jalur politik

praktis,sosial,ekonomi dan pendidikan. Peran media massa saat ini memang

sangat dibutuhkan,sebagai public information maupun sebagai sarana

sosialisasi. Disatu sisi dibutuhkan adanya porsi yang cukup diberikan kepada

perempuan untuk mengekspos gerak dan potensi diri mereka.Beberapa buku,

artikel, karya ilmiah dan hasil penelitian kini semakin banyak ditulis dan

dipublikasikan. Seiring dengan canggihnya kemajuan teknologi internet

dimana semua informasi dapat dengan mudah ter-share, media sosial,

kecepatan dan ketepatan akses data feminisme di Indonesia juga mengikuti

arus internet.

Tentunya, harapan ke depan berkembangnya feminisme di Indonesia

dapat membawa perubahan yang baik dalam masyarakat. Adapun beberapa

isu yang menarik dalam ―goresan pena‖ kaum feminis dimasa sekarang,

sebagai berikut;

1. Perempuan dalam politik dan keterwakilan politik perempuan, menjadi

tuangan gagasan dan fokus kajian para feminis yang menarik, termasuk

bahasan mengenai tidak terpenuhinya kuota 30% dan kepemimpinan

untuk perempuan dalam politik.

2. Perempuan dalam pembangunan; perempuan dalam kemiskinan,

kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan, perempuan dalam program

pembangunan, pengarusutamaan gender dalam pembangunan, akses

pendidikan untuk perempuan, penganggaran untuk perempuan, peraturan

yang diskriminatif, perempuan dalam kabinet dan sebagainya.


31
3. Perempuan dalam ekonomi; isu buruh perempuan, sumber daya

perempuan, karier dan rumah tangga, perempuan sebagai agen ekonomi,

dan beberapa isu lain.

4. Perempuan dalam hubungan internasional, isu-isu yang berkembang saat

ini terkait dengan buruh perempuan dalam MEA.

Daftar Pustaka:
Agnes Widanti, 2005, Hukum Berkeadilan Gender: Aksi Interaksi Kelompok
Buruh Perempuan dalam Perubahan Sosial, Penerbit Buku Kompas
Jakarta.
Agger, Ben. 1998. Teori Sosial Kritis, kritik, penerapan dan implikasinya.
Jakarta: Kreasi Wacana.
Astuti, Tri Marhaeni P. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas
Sosial.Semarang: Unnes Press.
Dzuhayatin, Fakih, Mansour, (et.al.). 2000. Membincang Feminisme: Diskursus
Gender Prespektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Gaus, Gerald F. & Kukathas, Chandran. 2012. Handbook Teori Politik.
Bandung: Penerbit Nusa Media.
Gross, E and C. Pateman. 1986. Feminis Challenge: Social and Political Theory.
Oston: Northeastern University Press.
Lovenduski, Joni. 2008. Politik Berparas Perempuan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Ollenburger, Jane C dan Hellen A.Moore. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Mansour Faqih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar Yogyakarta.

32
………, 2007,Hak Azasi PerempuuanInstrumen Hukum Untuk Mewujudkan
Keadilan Gender, Convention Word, Pusat Kajian Wanita dan Gender
Universitas Indonesia, dan Yayasan Obor Indonesia.
Mely G. Tan, 1997, Perempuan dan Pemberdayaan, dalam Kumpulan
Karangan untuk menghormati Ulang Tahun Ke 70 Ibu Saparinah Sadli,
Program Studi Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia
bekerjasama dengan harian Kompas dan Yayasan Obor, Jakarta.
Trisakti Handayani dan Sugiarti, 2002, Konsep dan Teknik Penelitian Gender,
Universitas Muhammadiyah, Malang.
Saskia Wieringa, ―Ibu Or The Beast: Gender Interest in TwoIndonesian
Women’s Organizations‖, Feminis Review, no.41, 1992, hal. 110
Warsito. 2012. Sejarah Muncul dan Berkembangnya Feminisme dan Gender.
Makalah http://thesmartestteacher.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-
muncul-dab-berkembangnya.html.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
https://en.wikipedia.org/wiki/Encyclopedia (diunduh tanggal 1 Oktober 2015,
Pk. 01.13)
http://wri.or.id/homepage-id/170-current-project-id/gerakan-
perempuan/kepemimpinan-perempuan/470-gerakan-perempuan-bagian-
gerakan-demokrasi-diindonesia#.VoQHY09-4Xo
Bakti P D. 2012. Gender and Feminism. Universitas Airlangga. http://bakti-p-
d-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48058-
UmumGender%20and%20feminism.html.
Wiyatmi.2002.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Wiyatmi,%20
M.Hum./buku%20MENJADI%20PEREMPUAN%20TERDIDIK.pdf
(diunduh 2 Januari 2016 Pk. 08.00)

33
34

Anda mungkin juga menyukai