Anda di halaman 1dari 41

BAB 3

ANALISIS FISIK DASAR

3.1 Analisis Kesesuaian Lahan


Pada sub bab ini akan membahas mengenai kesesuaian lahan di Kecamatan
Bungursari, untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut.

3.1.1 Kawasan Lindung


Kawasan Lindung adalah wilayah yag ditetapkan dengan fungsi utama untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan. Menurut Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 dan PP Nomor 26 Tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Kawasan Lindung
memiliki jenis dan sebaran masing-masing. Kawasan lindung berdasarkan jenis dan
sebarannya terdiri dari:
1. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya
 Kawasan hutan lindung, dengan kriteria:
- Kawasan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan
yang melebihi nilai skor 175, dan/atau;
- Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih dan/atau
- Kawasan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan laut 2.000
meter atau lebih.
 Kawasan bergambut dengan kriteria kawasan bergambut adalah tanah
bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat dibagian
hulu sungai dan rawa.
 Kawasan penyangga atau resapan air, dengan kriteria:
- Curah hujan yang tinggi, struktur tanah meresapkan air dan bentuk
geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.
- Kawasan dengan faktor lereng, jenis tanah dan curah hujan yang
memiliki nilai skor 124-175
2. Kawasan perlindungan setempat
 Sempadan pantai dengan kriteria daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari
titik pasang tertinggi ke arah darat.
 Sempadan sungai dengan kriteria:
- Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50
meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman.
- Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang
diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 - 15 meter.
 Kawasan sekitar danau atau waduk dengan kriteria daratan sepanjang
tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan
kondisi fisik danau/waduk antara 50 - 100 meter dari titik pasang tertinggi
ke arah darat.
 Kawasan sekitar matar air dalah sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200
meter di sekitar mata air.
3. Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya
 Kawasan suaka alam, suaka alam laut dan perairan lainnya;

81
82

 Suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut, dengan kriteria:


- Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan
perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya
konservasinya
- Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi
- Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu
- Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang
bersangkutan.
 Cagar alam dan cagar alam laut, dengan kriteria:
- Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa dan tipe ekosistemnya;
- Mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusun;
- Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli
dan tidak atau belum diganggu manusia;
- Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang
efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas;
- Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu
daerah serta keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
 Kawasan pantai berhutan bakau dengan kriteria minimal 130 kali nilai rata-
rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis
air surut terendah kearah darat.
 Taman nasional. taman hutan raya dan taman wisata alam laut, dengan
kriteria:
- Kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan indah baik
secara alamiah maupun buatan manusia
- Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olah raga serta
terletak dekat pusat-pusat permukiman penduduk
- Mengandung satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga
memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi
rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa
- Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan.
 Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dengan kriteria tempat serta
ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan
kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat
tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
 Kawasan rawan bencana alam dengan kriteria kawasan yang diidetifikasi
sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan
gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor.
Penentuan kesesuaian lahan kawasan lindung tersebut harus dilakukan tahapan-
tahapan penentuan dan analisis yang disebut dengan Analisis Kesesuaian Lahan.
Analisis ini bertujuan mengidentifikasi lokasi-lokasi yang sesuai dengan karakteristik suatu
kawasan. Analisis kesesuaian lahan ini mengacu pada Kepres No. 32 Tahun 1990.
Dalam Kepres No. 32 Tahun 1990 parameter penentuan kesesuaian lahan
kawasan lindung adalah kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan. Analisis
kesesuaian lahan ini dilakukan dengan metode superimpose dengan cara tumpang tindih
ketiga parameter tersebut yang kemudian skoringnya telah ditentukan dari setiap
parameter tersebut.
83

Tabel 3.1
Parameter dan Skoring Kesesuaian Lahan
1 Kemiringan Lereng
Persen Lereng Keterangan Skor
0–8% Datar 20
8 – 15 % Landai 40
15 – 25 % Agak Curam 60
25 – 40 % Curam 80
>40 % Sangat Curam 100
2 Jenis Tanah
Kelompok Jenis Tanah Kepekaan Terhadap Erosi Skor
Alluvial, Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu,
Tidak Peka 15
Literite Air Tanah
Latosol Agak Peka 30
Brown Forest, Non Calcic Kurang Peka 45
Andosol, Grumosol, Podsolik Peka 60
Regosol, Litosol Organosol, Renzine Sangat Peka 75
3 Intensitas Hujan
Kisaran Curah Hujan (mm/hari hujan) Keterangan Skor
8 – 13,6 Sangat Rendah 10
13,6 – 20,7 Rendah 20
20,7 – 27,7 Sedang 30
27,7 – 34,8 Tinggi 40
>34,8 Sangat Tinggi 50
Sumber: Dokumen Kepres No. 32 Tahun 1990

Setelah dilakukan overlay pada ketiga parameter tersebut kemudian skor dari
masing-masing paramter dijumlahkan maka diperoleh total skor yang akan menentukan
penentuan kawasan lindung sesuai karakteristik dari kawasan tersebut. Ketika total skor
lebih dari 175 itu difungsikan sebagai kawasan lindung.
Namun selain ditentukan oleh total skor dari ketiga parameter tersebut, penetapan
kesesuaian kawasan lindung juga ditentukan dengan kriteria mutlak dari kemiringan
lereng dan ketinggian wilayah. Kawasan yang memiliki kemiringan lereng >40% dan/atau
memilki ketinggian diatas 2.000 mdpl mutlak difungsikan sebagai kawasan lindung.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan memperhatikan kriteria-
kriteria dan hasil metode superimpose dengan cara overlay atau tumpang tindih ketiga
paramter teraebut, diperoleh kelompok kawasan atau yang disebut dengan Satuan
Penggunaan Lahan (SPL) yang memiliki karakteristik kemiringan lereng, jenis tanah dan
intensitas hujan yang berbeda satu sama lain. Berikut merupakan Satuan Penggunaan
Lahan (SPL) yang diperoleh berdasarkan hasil analisis keseuaian kawasan lindung di
Kecamatan Bungursari.
Tabel 3.2
Satuan Penggunaan Lahan (SPL) Kecamatan Bungursari
Fungsi Luas Presentase
SPL Karakteristik Keterangan Skor Jumlah %
Kawasan (Ha)
1 Kemiringan 0 – 8% 20
Podsol Merah 19,41
Jenis Tanah 60 100 Budidaya 930,78
Kuning
Curah Hujan 15,92 mm/hari 20
2 Kemiringan 0 – 8% 20
Jenis Tanah Latosol 30 70 Budidaya 2578,61 53,79
Curah Hujan 15,92 mm/hari 20
3 Kemiringan 8 – 15% 40 90 Budidaya 945,21 19,72
84

Fungsi Luas Presentase


SPL Karakteristik Keterangan Skor Jumlah %
Kawasan (Ha)
Jenis Tanah Latosol 30
Curah Hujan 15,92 mm/hari 20
4 Kemiringan 15 – 25% 60
Jenis Tanah Latosol 30 110 Budidaya 339,26 7,08
Curah Hujan 15,92 mm/hari 20
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, diketahui bahwa di Kecamatan Bungursari


terdapat 4 Satuan Penggunaan Lahan (SPL) yang masing-masing klasifikasinya berbeda.
Dimana dari 4 Satuan Penggunaan Lahan (SPL) tersebut memiliki kesesuian lahan untuk
kawasan budi daya. Sedangkan untuk kawasan lindung setempat terdapat sempadan
sungai dan sempadan danau. Untuk lebih jelasya dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.3
Kesesuaian Lahan Kawasan Lindung dan Budi Daya di Kecamatan Bungursari
No Kesesuaian Lahan Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kawasan Perlindungan Setempat 99,71 2,05
 Sungai dan Sempadan Sungai 74,25 1,54
 Situ dan Sempadan Situ 25,46 0,51
2 Kawasan Budidaya 4782,80 97,95
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa hampir seluruh luas wilayah
Kecamatan Bungursari memiliki kesesuaian lahan sebagai kawasan budi daya. Terlepas
dari faktor-faktor lain yang mempengaruhi, berdasarkan karakteristik kemiringan lereng,
jenis tanah dan intensitas curah hujan seluruh wilayah di Kecamatan Bungursari
merupakan wilayah yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan
budi daya yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Namun hal tersebut masih perlu
diperkuat oleh analisis-analisis lanjutan untuk penentuan kesesuaian lahan kawasan
peruntukan budi daya agar peruntukannya dapat sesuai dengan daya dukung lingkungan
yang ada. Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran Satuan Penggunaan Lahan (SPL)
serta Kesesuaian Lahan Kawasan Lindung dan Budi Daya di Kecamatan Bungursari
dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.
85

85
86

86
87

3.1.2 Kawasan Budidaya


Analisis kawasan budidaya dapat menggunakan Peraturan Menteri PU No. 41
tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Kawasan Budidaya. Analisis tersebut dilakukan
untuk mengetahui lokasi yang cocok yang diperuntukkan kawasan budidaya tertentu.
Kawasan Budidaya tersebut terdapat 7 sektor yang akan dianalisis atau dilihat
kesesuaian lahannya dengan kondisi penggunaan lahan eksistingnya, ke tujuh sektor
tersebut diantaranya:
1. Kawasan peruntukan hutan produksi
2. Kawasan peruntukan permukiman
3. Kawasan peruntukan industri
4. Kawasan peruntukan pertambangan
5. Kawasan peruntukan pertanian
6. Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa
7. Kawasan peruntukan pariwisata

3.1.2.1 Kawasan Peruntukan Hutan Produksi


Kawasan peruntukan hutan produksi meliputi hutan produksi tetap, hutan produksi
terbatas, dan hutan produksi yang dikonversi. Ketentuan lebih rinci untuk masing-masing
jenis peruntukan diatur dalam bagian ketentuan teknis.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan hutan produksi memiliki fungsi antara lain:
1) Penghasil kayu dan bukan kayu;
2) Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya;
3) Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat;
4) Sumber pemasukan dana bagi Pemerintah Daerah (dana bagi hasil) sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
b. Kawasan hutan produksi dapat dikonversi dengan ketentuan sebagai berikut:
• Faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing
dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang,
di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam;
• Secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transportasi,
transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri.

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan Kawasan Budidaya


Peruntukan Hutan Produksi yang dapat dilihat pada Tabel 3.4

Tabel 3.4
Kriteria Kawasan Budidaya Hutan Produksi
Peruntukan
Karakteristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Ruang
Dasar Penetapan batas hutan produksi:
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 83/ KPTS/ UM/ 8/ 1981
a. Parameter yang diperlihatkan dan diperhitungkan dalam penetapan hutan produksi
adalah lereng (kemiringan) lapangan, jenis tanah dan intensitas hujan
b. Untuk keperluan penilaian fisik wilayah, setiap parameter tersebut dibedakan dalam 5
Hutan tingkatan (kelas) yang diuraikan dengan tingkat kepekaannya terhadap erosi. Makin
Produksi tinggi nilai kelas parameter makin tinggi pula tingkat kepekaan terhadap erosi
c. Skoring fisik wilayah ditentukan oleh total nilai kelas ketiga parameter setelah masing –
masing nilai kelas parameter dikalikan dengan bobot 20 untuk parameter lereng, bobot
15 untuk parameter jenis tanah dan bobot 10 y=untuk parameter intensitas hujan.
d. Berdasarkan hasil penjumlahan skoring ketiga parameter tersebut yaitu lereng, jenis
tanah, dan intensitas hujan suatu wilayah hutan dinyatakan memenuhi syarat untuk
88

Peruntukan
Karakteristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Ruang
ditetapkan sebagai:
 Hutan produksi tetap jika memiliki skoring fisik wilayah dengan nilai < 125 tidak
merupakan kawasan lindung, serta berada di luar hutan suaka alam, hutan wisata
dan hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan konversi lainnya
 Hutan produksi terbatas jika memiliki skoring fisik wilayah dengan nilai 125 – 175,
tidak merupakan kawasan lindung, mempunyai satuan bentangan sekurang –
kurangnya 0,25 Ha (pada ketinggian skala peta 1 :10.000), serta bisa berfungsi
sebagai kawasan penyangga
 Hutan produksi yang dapat dikonversi jika memiliki skoring fisik wilayah dengan nilai
> 175, tidak merupakan kawasan lindung, dicadangkan untuk digunakan bagi
pengembangan kegiatan budidaya lainnya, serta berada di luar hutan suaka alam,
hutan wisata dan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan hutan konversi
lainnya.
Sumber: Peraturan Menteri Peraturan Umum No.41/PRT/M/2007

Berdasarkan kriteria tersebut telah dilakukan analisis dengan menggunakan


metode overlay dan dihasilkan bahwa seluruh wilayah Kecamatan Bungursari dapat
dikembangkan sebagai kawasan hutan produksi tetap.

3.1.2.2 Kawasan Peruntukan Permukiman


Kawasan peruntukan permukiman memiliki fungsi antara lain:
1) Sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung
peri kehidupan dan penghidupan masyarakat sekaligus menciptakan
interaksi sosial;
2) Sebagai kumpulan tempat hunian dan tempat berteduh keluarga serta
sarana bagi pembinaan keluarga.

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan Kawasan Budidaya


Peruntukan Permukiman yang dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5
Kriteria Kawasan Budidaya Permukiman
Peruntukan
Karaktristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Ruang
a. Topografi datar sampai bergelombang (Kelerengan lahan 0 – 25 %)
b. Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara
degan jumlah yag cukup. Untuk air PDAM suplai air antara 60 liter/ org/ hari – 100
liter/ org/ hari
c. Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsong, banjir, erosi, abrasi
Permukiman d. Drainase baik sampai sedang
e. Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/ pantai/ waduk/ danau/ mata air/
saluran pengairan rel kereta api dan daerah aman penerbangan
f. Tidak berada pada kawasan lindung
g. Tidak terletak pada kawasan budidaya pertanian/ penyangga
h. Menghindari sawah irigasi teknis
Sumber: Peraturan Menteri Peraturan Umum No.41/PRT/M/2007

Berdasarkan kriteria tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan metode overlay


yang dapat dilihat pada Tabel 3.6

Tabel 3.6
Luas Kawasan Peruntukan Permukiman
No Peruntukan Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kawasan Lindung 99,71 2,07
2 Cocok Untuk Permukiman 3325,78 68,18

3 Tidak Cocok Untuk Permukiman 1457,02 29,85


89

No Peruntukan Luas (ha) Proporsi (%)


Jumlah 4882,51 100
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan analisis tersebut, hampir keseluruhan wilayah Kecamatan Bungursari


cocok digunakan untuk kawasan budidaya peruntukan permukiman dengan luasan
3325,78 ha atau 68,18 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Bungursari.
Sedangkan kawasan yang tidak cocok dikembangkan untuk kawasan budidaya
permukiman yaitu 1457,02 ha atau 29,85 persen dari keseluruhan luas wilayah
Kecamatan Bungursari. Untuk lebih jelasnya mengenai luasan kawasan budidaya
peruntukan permukiman bisa dilihat pada Gambar 3.3.

3.1.2.3 Kawasan Peruntukan Industri


Sebagian atau seluruh bagian kawasan peruntukan industri dapat dikelola oleh
satu pengelola tertentu. Dalam hal ini, kawasan yang dikelola oleh satu pengelola tertentu
tersebut disebut kawasan industri.
a) Fungsi utama
Kawasan peruntukan industri memiliki fungsi antara lain:
1) Memfasilitasi kegiatan industri agar tercipta aglomerasi kegiatan produksi
di satu lokasi dengan biaya investasi prasarana yang efisien;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja;
3) Meningkatkan nilai tambah komoditas yang pada gilirannya meningkatkan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah yang bersangkutan;
4) Mempermudah koordinasi pengendalian dampak lingkungan yang
mungkin ditimbulkan.

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan Kawasan Budidaya


Peruntukan Industri yang dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7
Kriteria Kawasan Budidaya Industri
Peruntukan
Karaktristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Ruang
a. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan industri berkisar 0 – 25 %, pada
kemiringan 25 – 45 % dapat dikembangkan kegiatan industri dengan perbaikan
kontur, serta ketinggian tidak lebih dari 1000 m dpl

b. Hidrologi
Bebas genangan, dekat dengan sumber air, baik drainase baik sampai sedang

c. Klimatologi
Industri Lokasi berada pada kecenderungan minimum arah angin menuju yang permukiman
penduduk

d. Geologi
Dapat menunjang kontruksi bangunan, tidak berada di daerah rawan bencana
longsong

e. Lahan
Area cukup luas minimal 20 ha, karakteristik tanah bertekstur sedang sampai kasar,
berada pada tanah marginal untuk pertanian

Sumber: Peraturan Menteri Peraturan Umum No.41/PRT/M/2007

Berdasarkan kriteria tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan metode


overlay yang dapat dilihat pada Tabel 3.8.
90

Tabel 3.8
Luas Kawasan Peruntukan Industri
No Peruntukan Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kawasan Lindung 99,71 2,07
2 Cocok Untuk Industri 2969,52 60,81

3 Tidak Cocok Untuk Industri 1813,28 37,12


Jumlah 4882,51 100
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan analisis tersebut, hampir keseluruhan wilayah Kecamatan Bungursari


cocok digunakan untuk kawasan budidaya peruntukan industri dengan luasan 2969,52 ha
atau 60,81 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Bungursari. Sedangkan
kawasan yang tidak cocok dikembangkan untuk kawasan budidaya industri yaitu 1813,28
ha atau 37,12 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Bungursari. Untuk lebih
jelasnya mengenai luasan kawasan budidaya peruntukan industri bisa dilihat pada
Gambar 3.4.

3.1.2.4 Kawasan Peruntukan Pertambangan


Sesuai dengan ketentuan pasal 4 (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dinyatakan bahwa kewenangan
pemerintah daerah atas bahan galian mencakup atas bahan galian C yang meliputi
penguasaan dan pengaturan usaha pertambangannya. Untuk bahan galian strategis
golongan A dan vital atau golongan B, pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri. Khusus
bahan galian golongan B, pengaturan usaha pertambangannya dapat diserahkan kepada
pemerintah daerah provinsi.
a) Fungsi utama
Kawasan peruntukan pertambangan memiliki fungsi antara lain:
1) Menghasilkan barang hasil tambang yang meliputi minyak dan gas bumi,
bahan galian pertambangan secara umum, dan bahan galian C;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja;
3) Sumber pemasukan dana bagi Pemerintah Daerah (dana bagi hasil) sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan Kawasan Budidaya Peruntukan


Pertambangan yang dapat dilihat pada Tabel 3.9

Tabel 3.9
Kriteria Kawasan Peruntukan Pertambangan
Peruntukan
Karakteristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Ruang
Peruntukan pertambangan bahan galian golongan C:
a. Bahan galian terletak di daerah dataran, perbukitan yang bergelombang atau landai,
pada alur sungai dan cara pencapaian
b. Lokasi tidak berada di kawasan hutan lindung
c. Lokasi tidak terletak pada bagian hulu dari alur – alur sungai (yang uumnya bergradien
Pertambangan dasar sungai yang tinggi)
d. Lokasi penggalian di dalam sungai harus seimbang dengan kecepatan sedimentasi
e. Jenis dan besarnya cadangan/ deposit bahan tambang secara ekonomis
menguntungkan untuk dieksplorasi
f. Lokasi penggalian tidak terletak di daerah rawan bencana alam seperti gerakan tanah,
jalur gempa, bahan letusan gunung api da sebagainya.
Sumber: Peraturan Menteri Peraturan Umum No.41/PRT/M/2007
91

Berdasarkan kriteria tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan metode


overlay yang dapat dilihat pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10
Luas Kawasan Peruntukan Pertambangan
No Peruntukan Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kawasan Lindung 99,71 2,07
2 Cocok Untuk Pertambangan 2533,01 51,88

3 Tidak Cocok Untuk Pertambangan 2249,79 46,05


Jumlah 4882,51 100
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan analisis tersebut, lebih dari setengah wilayah Kecamatan Bungursari


cocok digunakan untuk kawasan budidaya peruntukan pertambangan dengan luasan
2533,01 ha atau 51,88 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Bungursari.
Sedangkan kawasan yang tidak cocok dikembangkan untuk kawasan budidaya
pertambangan yaitu 2249,79 ha atau 46,05 persen dari keseluruhan luas wilayah
Kecamatan Bungursari. Untuk lebih jelasnya mengenai luasan kawasan budidaya
peruntukan pertambangan bisa dilihat pada Gambar 3.5.

3.1.2.5 Kawasan Peruntukan Pertanian


Kegiatan kawasan peruntukan pertanian meliputi pertanian tanaman pangan dan
palawija, perkebunan tanaman keras, peternakan, perikanan air tawar, dan perikanan
laut.
a) Fungsi utama
Kawasan peruntukan pertanian memiliki fungsi antara lain:
1) Menghasilkan bahan pangan, palawija, tanaman keras, hasil peternakan dan
perikanan;
2) Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya;
3) Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan Kawasan Budidaya Peruntukan


Pertanian yang dapat dilihat pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11
Karakteristik Kawasan Peruntukan Pertanian
Pertanian Lahan Pertanian Lahan Pertanian
Kriteria Teknis
Basah Kering Tanaman Tahunan
Iklim :
Kelembaban (%) 33 - 90 29 - 32 42 - 75
A, B, C (Schimidt &
Curah Hujan (mm) 350 - 600 1200 - 1600
Ferguson, 1951)
Sifat Fisik Tanah :
agak baik s/d agak baik s/d agak baik s/d agak
Drainase
terhambat terhambat terhambat
Tekstur : h, ah, s h, ah, s h, ah, s
Bahan Kasar (%) <15 <15 <35
Kedalaman Tanah (cm) >30 >30 >60
Ketebalan Gambut (cm) <200 <200 <200
Kematangan Gambut saprik, hemik saprik, hemik saprik, hemik
Retensi Hara :
kejenuhan Basa (%) >30 >30 >30
Kemasaman Tanah (pH) 5,5 - 8,2 5,6 - 7,6 5,2 - 7,5
92

Pertanian Lahan Pertanian Lahan Pertanian


Kriteria Teknis
Basah Kering Tanaman Tahunan
Kapasitas Tukar Kation (Cmol) >12 >12 >12
Kandungan C-Organik (%) >0,8 >0,8 >0,8
Toksisitas :

Kedalaman Bahan Sulfidik (cm) >50 >50 >50

Salinitas (dS/m) <4 <4 <4


Bahaya Erosi :
Lereng (%) <8 <15 <40
Tingkat Bahaya Erosi r sd sd
Bahaya Banjir :
F0, F0, F0,
Genangan
F11,F12,F21,F23 F11,F12,F21,F23 F11,F12,F21,F23
Penyiapan Lahan :
Batuan di Permukaan (%) < atau = 25 < atau = 25 < atau = 25
Singkapan Batuan (%) < atau = 25 < atau = 25 < atau = 25
Sumber: Peraturan Menteri Peraturan Umum No.41/PRT/M/2007

Keterangan:
Tekstur Tanah :
ak = agak kasar
s = sedang Bahaya Erosi :
ah = agak halus sr = sangat ringan
h = halus r = ringan
k = kasarBudi Daya sd = sedang
b = berat
Kelas Bahaya Banjir (F) : sb = sangat berat
F0 Tanpa
F1 Ringan
F2 Sedang
F3 Agak Berat
F4 Berat
Tabel 3.12
Luas Peruntukan Kawasan Budidaya Pertanian Kecamatan Bungursari
No Peruntukan Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kawasan Lindung 99,71 2,07
2 Pertanian Lahan Kering 4353,90 89,17
3 Pertanian Tanaman Tahunan 428,90 8,76
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan analisis tersebut, sebagian besar wilayah Kecamatan Bungursari


cocok digunakan untuk kawasan budidaya peruntukan pertanian lahan kering dengan
luasan 4353,90 ha atau 89,17 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan
Bungursari. Sedangkan kawasan yang diperuntukan pertanian tanaman tahunan yaitu
428,90 ha atau 8,76 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Bungursari.
Pada dasarnya, tanaman yang bisa dimanfaatkan pada sebuah lahan pertanian
dengan kontur lahan yang kering memiliki variasi pertanian yang jauh lebih banyak
dibandingkan dengan pertanian lahan basah. Kondisi tanahnya yang jauh lebih stabil dan
juga kuat dibandingkan dengan lahan basah, membuat lokasi pertanian lahan kering ini
sanggup untuk menahan beban akar pohon-pohon kayu besar, sehingga tentu saja
variasi hasil pertaniannya banyak, dan begitu pula dengan perkebunannya. Biasanya
tanaman yang di tanam pada sebuah pertanian lahan kering adalah cabai, terong,
palawija, kacang-kacangan, ubi-ubian, perkebunan pohon buah dan pohon hias, serta
tanaman holtikultura. Tanaman yang ditanam di Kecamatan Bungursari sebagian besar
adalah palawija dan kacang-kacangan.
93

Sedangkan tanaman tahunan merupakan tanaman yang hidupnya sepanjang


tahun dan akan di panen sepanjang tahun pula sampai tanaman tersebut tidak
berproduksi lagi tapi harus menunggu beberapa tahun dari menanam hingga tanaman itu
dapat berproduksi dan dapat dipanen, contoh tanaman tahunan ialah tanaman yang
berbatang keras (cokelat, cengkeh, pala, kelapa), tanaman buah-buahanan lain-lain.
Untuk lebih jelasnya mengenai luasan kawasan budidaya peruntukan pertanian
bisa dilihat pada Gambar 3.6.

3.1.2.6 Kawasan Peruntukan Perdagangan dan Jasa


Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa memiliki fungsi antara lain:
1) Memfasilitasi kegiatan transaksi perdagangan dan jasa antar masyarakat yang
membutuhkan (sisi permintaan) dan masyarakat yang menjual jasa (sisi
penawaran);
2) Menyerap tenaga kerja di perkotaan dan memberikan kontribusi yang dominan
terhadap PDRB

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan Kawasan Budidaya


Peruntukan Perdagangan dan Jasa yang dapat dilihat pada Tabel 3.13.

Tabel 3.13
Kriteria Kawasan Budidaya Perdagangan dan Jasa
Peruntukan
Karakteristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Ruang
a. Tidak terlekat pada kawasan lindung
b. Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru kota
Perdagangan c. Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ ATM, pos
dan Jasa polisi, pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan sarana
penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung
d. Terdiri dari perdagangan lokal, regional dan antar regional
Sumber: Peraturan Menteri Peraturan Umum No.41/PRT/M/2007

Kawasan budidaya peruntukan perdagangan dan jasa di Kecamatan Bungursari


hanya terdapat pada koridor jalan utama. Perdagangan dan jasa tersebut terbagi menjadi
dua yaitu tunggal dan berderet. Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran kawasan
budidaya perdagangan dan jasa tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.7.

3.1.2.7 Kawasan Peruntukan Pariwisata


Jenis obyek wisata yang diusahakan dan dikembangkan di kawasan peruntukan
pariwisata dapat berupa wisata alam ataupun wisata sejarah dan konservasi budaya.
a) Fungsi utama
Kawasan peruntukan pariwisata memiliki fungsi antara lain:
1) Memperkenalkan, mendayagunakan, dan melestarikan nilai-nilai sejarah/ budaya
lokal dan keindahan alam;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja yang pada gilirannya dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah yang bersangkutan.

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan Kawasan Budidaya


Peruntukan Perdagangan dan Jasa yang dapat dilihat pada Tabel 3.14.
94

Tabel 3.14
Kriteria Kawasan Budidaya Pariwisata
Peruntukan
Karakteristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Ruang
a. Memiliki struktur tanah yang stabil
b. Memiliki kemiringan yang memungkinan dibangun tanpa memberikan dampak negatif
terhadap kelestarian lingkungan
c. Merupakan lahan yang tidak terlalu subur dan bukan lahan pertanian produktif
d. Memiliki aksesibilitas yang tinggi
Pariwisata
e. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas pada jalur jalan raya regional
f. Tersedia prasarana fisik yaitu listrik dan air bersih
g. Terdiri dari lingkungan/ bangunan/ gedung bersejarah dan cagar budaya
h. Memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya, serta keunikan tertentu
i. Dilengkapi fasilitas pengolahan limbah (Padat dan Cair)
Sumber: Peraturan Menteri Peraturan Umum No.41/PRT/M/2007

Berdasarkan kriteria tersebut di Kecamatan Bungursari tidak terdapat kawasan


budidaya peruntukan pariwisata.
95

95
96

96
97

97
98

98
99

99
100

3.2 Analisis SKL/Kemampuan Lahan


Analisis Kemampuan lahan merupakan analisis yang digunakan untuk
menentukan tingkat kemampuan pengembangan suatu wilayah. Dalam analisis
kemampuan lahan diperlukan berbagai data fisik dasar dan lingkungan sebagai data
masukan dalam penentuan satuan kemampuan lahan diantaranya data topografi dan
morfologi, jenis tanah, curah hujan, rawan bencana alam, penggunaan lahan dan lainnya.
Analisis Penentuan Kemampuan Lahan ini mengacu pada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik
dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang.
Berdasarkan Peraturan tersebut penentuan kemampuan lahan dilakukan melalui dua
tahapan yaitu penentuan Satuan Kemampuan Lahan (SKL) dan penentuan kelas
kemampuan lahan dengan metode superimpose.
Dalam analisis kemampuan lahan terdapat delapan Satuan Kemampuan Lahan
(SKL) yang harus terlebih dahulu dianalisis sebelum menentukan kelas kemampuan
pengembangan lahan, yaitu SKL Morfologi, SKL Kemudahan dikerjakan, SKL Kestabilan
Lereng, SKL Kestabilan Pondasi, SKL Drainase, SKL Ketersediaan Air, SKL Erosi dan
SKL Rawan Bencana Alam. Berdasarkan acuan teknik analisis tersebut diperoleh hasil
dari analisis kemampuan lahan di Kecamatan Bungursari Kabupaten Purwakarta sebagai
berikut.

3.2.1 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi


Analisis SKL Morfologi ini dilakukan untuk menentukan kemampuan lahan yang
dilihat dari morfologi wilayah Kecamatan Bungursari. Berdasarkan Permen PU No. 27
Tahun 2007 parameter masukan yang digunakan dalam SKL morfologi ini yaitu morfologi
dan kelerengan. Hasil dari analisis SKL Morfologi ini akan menunjukan kelas kemampuan
lahan rendah, kurang, sedang, cukup dan tinggi. Kelas kemampuan lahan tersebut
menunjukan tingkatan dimana kemampuan lahan rendah menunjukan bahwa kawasan
tersebut sulit dikembangkan atau tidak layak dikembangkan berdasarkan moroflogi
kawasannya. Sedangkan kemampuan lahan tinggi menunjukan bahwa kawasan tersebut
morfologinya dataran yang mudah dikembangkan sebagai kawasan budi daya.

Tabel 3.15
Kriteria dan Pembobotan SKL Morfologi
Kemiringan (%) Nilai Peta Morfologi Nilai SKL Morfologi Nilai
0-2 5 Dataran 5 Tinggi (9-10) 5
2-5 4 Landai 4 Cukup (7-8) 4
5-15 3 Perbukitan Sedang 3 Sedang (5-6) 3
15-40 2 Pegunungan/Perbukitan Terjal 2 Kurang (3-4) 2
>40 1 Pegunungan/Perbukitan Sangat Terjal 1 Rendah (1-2) 1
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Berdasarkan parameter diatas, diperoleh hasil analisis kemampuan lahan SKL


Morfologi dengan metode superimpose di Kecamatan Bungursari sebagai berikut:

Tabel 3.16
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi Kecamatan Bungursari
No Kemampuan Lahan dari Morfologi Luas (Ha) Proporsi (%)
2 Kemampuan Lahan Kurang 27,75 0,76
3 Kemampuan Lahan Sedang 657,89 14,47
4 Kemampuan Lahan Cukup 1136,47 23,61
5 Kemampuan Lahan Tinggi 2986,15 61,16
101

No Kemampuan Lahan dari Morfologi Luas (Ha) Proporsi (%)


Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, Kecamatan Bungursari didominasi dengan


kemampuan lahan tinggi dengan luas 2986,15 atau 61,16 persen dari total luas wilayah
Kecamatan Bungursari. Dominasi kemampuan lahan tinggi karena Kecamatan Bungursari
ini merupakan wilayah dengan morfologi datar yang berarti mudah dikembangkan. Oleh
karena itu wilayah Kecamatan Bungursari ini memiliki banyak potensi untuk
dikembangkan dengan dominasi kawasan budi daya. Untuk lebih jelasnya mengenai
persebaran kemampuan lahan berdasarkan morfologi di Kecamatan Bungursari dapat
dilihat pada Gambar 3.9.
3.2.2 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kemudahan Dikerjakan
Analisis SKL Kemudahan dikerjakan ini dilakukan untuk menentukan mengetahui
tingkat kemudahan lahan, wilayah atau kawasan untuk dimatangkan dalam proses
pembangunan dan pengembangan kawasan yang dilihat dari morfologi wilayah
Kecamatan Bungursari.
Berdasarkan Permen PU No. 27 Tahun 2007 dalam analisis ini membutuhkan
masukan berupa peta topografi, peta morfologi, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah
dan peta penggunaan lahan eksisting. Hasil dari analisis SKL Kemudahan dikerjakan ini
akan menunjukan kelas kemampuan lahan rendah, kurang, sedang, cukup dan tinggi.
Kelas kemampuan lahan tersebut menunjukan tingkatan dimana kemampuan lahan
rendah menunjukan bahwa kawasan tersebut sulit dikembangkan atau tidak layak
dikembangkan. Sedangkan kemampuan lahan tinggi menunjukan bahwa kawasan
tersebut merupakan kawasan yang mudah dikembangkan.
Berikut merupakan hasil analisis kemampuan lahan SKL Kemudahan dikerjakan
Kecamatan Bungursari:

Tabel 3.17
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kemudahan Dikerjakan
No SKL Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kemudahan Dikerjakan Cukup 685,34 15,03
2 Kemudahan Dikerjakan Tinggi 4207,17 84,97
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, kecamatan Bungursari didominasi dengan


kemampuan lahan kemudahan dikerjakan tinggi dengan luas 4207,17 ha atau 84,97 persen
dari total luas wilayah Kecamatan Bungursari. Oleh karena itu wilayah Kecamatan
Bungursari sebenarnya merupakan wilayah yang memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi kawasan perkotaan. Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran kemampuan
lahan berdasarkan kemudaha dikerjakan di Kecamatan Bungursari dapat dilihat pada
Gambar 3.10.
102

102
103

103
104

3.2.3 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Lereng


Analisis SKL kestabilan lereng ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemantapan
lereng di wilayah pengembangan dalam menerima beban akibat dari adanya sebuah
pembangunan.
Berdasarkan Permen PU No. 27 Tahun 2007 dalam analisis ini membutuhkan
masukan berupa peta topografi, peta morfologi, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah,
peta hidrogeologi, peta curah hujan, peta bencana alam dan peta penggunaan lahan.
Namun yang menjadi parameter utama dalam penentuannya adalah peta kemiringan,
peta topografi dan peta morfologi. Hasil dari analisis SKL kestabilan lereng ini akan
menunjukan kelas kestabilan lereng rendah, kurang, sedang, cukup dan tinggi. Kelas
kemampuan lahan tersebut menunjukan tingkatan dimana kestabilan lereng rendah
menunjukan bahwa kawasan tersebut tidak mampu menerima beban pembangunan.
Sedangkan kestabilan lereng tinggi menunjukan bahwa kawasan tersebut mampu
menerima beban dari sebuah pembangunan yang dilakukan

Tabel 3.18
Kriteria dan Pembobotan SKL Kestabilan Lereng
Ketinggian Kemiringan
Nilai Nilai Peta Morfologi Nilai SKL Morfologi Nilai
(mdpl) (%)
0-2 5 Dataran 5 Tinggi (9-10) 5
<500 5
2-5 4 Landai 4 Cukup (7-8) 4
500-1500 4 5-15 3 Perbukitan Sedang 3 Sedang (5-6) 3
Pegunungan/Perbukitan
15-40 2 2 Kurang (3-4) 2
Terjal
1500 - 2500 3
Pegunungan/Perbukitan
>40 1 1 Rendah (1-2) 1
Sangat Terjal
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan,
Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Berdasarkan parameter diatas, diperoleh hasil analisis kemampuan lahan SKL


Kestabilan Lereng dengan metode superimpose di Kecamatan Bungursari sebagai
berikut:

Tabel 3.19
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Lereng
No Kestabilan Lereng Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kestabilan Lereng Sedang 685,90 14,05
2 Kestabilan Lereng Cukup 1232,80 25,25
3 Kestabilan Lereng Tinggi 2965,81 60,7
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, Kecamatan Bungursari merupakan wilayah


yang didominasi oleh kawasan dengan kestabilan lereng tinggi dengan luas 2965,81 ha
atau 60,07 persen. Selain itu kawasan dengan kestabilan lereng cukup dan kestabilan
lereng sedang juga cukup luas. Oleh karena itu Kecamatan Bungursari merupakan
wilayah yang cocok untuk pengembangan dan pemanfaatan terbangun. Untuk lebih
jelasnya mengenai persebaran kemampuan lahan berdasarkan kestabilan lereng di
Kecamatan Bungursari dapat dilihat pada Gambar 3.11.
105

105
106

3.2.4 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Pondasi


Analisis SKL kestabilan pondasi ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
kemampuan lahan untuk mendukung bangunan berat dalam pengembangan perkotaan
serta jenis-jenis pondasi yang sesuai untuk masing-masing tingkatan.
Berdasarkan Permen PU No. 27 Tahun 2007 dalam analisis ini membutuhkan
masukan berupa peta SKL kestabilan lereng dan peta jensi tanah. Hasil dari analisis SKL
kestabilan pondasi ini akan menunjukan kelas kestabilan pondasi lahan rendah, kurang,
sedang, cukup dan tinggi. Kelas kestabilan pondasi tersebut menunjukan tingkatan
dimana kestabilan pondasi rendah berarti kawasan tersebut tidak stabil untuk bangunan.
Sedangkan kestabilan pondasi tinggi berarti kawasan tersebut akan stabil untuk pondasi
bangunan apapun atau untuk segala jenis pondasi.

Tabel 3.20
Kriteria dan Pembobotan SKL Pondasi
SKL Kestabilan Lereng
Jenis SKL Kestabilan
Ketinggian Kemiringan Nilai Nilai
Nilai Nilai Morfologi Nilai Tanah Lereng
(mdpl) (%)
0-2 5 Dataran 5 Alluvial 5 Tinggi(18-20) 5
<500 5
2-5 4 Landai 4 Latosol 4 Cukup (15-17) 4
Meditera,
Perbukitan
500-1500 4 5-15 3 3 Brown 3 Sedang(11-14) 3
Sedang
Forest
Pegunungan/P
15-40 2 erbukitan 2 2 Kurang (8-10) 2
Podsol
Terjal
1500-2500 3 Merah
Pegunungan/P
Kuning
>40 1 erbukitan 1 1 Rendah (5-7) 1
Sangat Terjal
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Berdasarkan parameter diatas, diperoleh hasil analisis kemampuan lahan SKL


Kestabilan Pondasi dengan metode superimpose di Kecamatan Bungursari sebagai
berikut:

Tabel 3.21
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Pondasi
No Kestabilan Pondasi Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kesetabilan Pondasi Sedang 215,23 4,41
2 Kesetabilan Pondasi Cukup 2244,31 45,87
3 Kesetabilan Pondasi Tinggi 2433,07 49,72
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, Kecamatan Bungursari didominasi oleh


kawasan dengan kestabilan pondasi yang tinggi dengan luas 2433,07 ha atau 49,72
persen dari total luas wilayah Kecamatan Bungursari. Oleh karena itu Kecamatan
Bungursari merupakan wilayah yang memiliki kestabilan pondasi yang baik dan stabil
untuk dapat dikembangkan suatu pembangunan. Untuk lebih jelasnya mengenai
persebaran kemampuan lahan berdasarkan kestabilan pondasi di Kecamatan Bungursari
dapat dilihat pada Gambar 3.12.
107

107
108

3.2.5 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Ketersediaan Air


Analisis SKL Ketersediaan Air ini dilakukan untuk mengetahui tingkat ketersediaan
air dan kemampuan penyediaan air pada masing-masing tingkatan, guna pengembangan
kawasan.
Berdasarkan Permen PU No. 27 Tahun 2007 dalam analisis ini membutuhkan
masukan berupa peta morfologi, peta kelerengan, peta curah hujan, peta hidrogeologi,
peta jenis tanah dan peta penggunaan lahan eksisting. Namun yang menjadi paramter
utama masukannya adalah hidrogeologi, curah hujan dan penggunaan lahan eksisting.
Hasil dari analisis SKL ketersediaan air ini akan menunjukan kelas ketersediaan air
rendah, kurang, sedang, cukup dan tinggi. Kelas ketersediaan air tersebut menunjukan
tingkatan dimana ketersediaan air rendah berarti kawasan tersebut memiliki ketersediaan
air tanah dalam dan dangkalnya tidak banyak. Sedangkan ketersediaan air tinggi berarti
kawasan tersebut memiliki ketersediaan air tanah dalam dan dangkalnya banyak.

Tabel 3.22
Kriteria dan Pembobotan SKL Ketersediaan Air
Peta Curah SKL
Peta
Nilai Hujan Nilai Peta Guna Lahan Nilai Ketersediaan Nilai
Geohidrologi
(mm/tahun) Air
2500 – 3000 2 Tinggi (18-20) 5
Baik Merata 5 Non Terbangun 2
3000 – 3500 3 Cukup (15-17) 4
Baik Tidak
4 3500 – 4000 4 Sedang (11-14) 3
Merata
Terbangun 1
Setempat
3 4000 – 4500 5 Kurang (8-10) 2
Terbatas
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Berdasarkan parameter diatas, diperoleh analisis kemampuan lahan SKL


Ketersediaan Air di Kecamatan Bungursari:
Tabel 3.23
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Ketersediaan Air
No Ketersediaan Luas (ha) Proporsi (%)
1 Ketersediaan Air Kurang 167,63 3,43
2 Ketersediaan Air Sedang 4623,32 94,68
3 Ketersediaan Air Cukup 92,66 1,89
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, Kecamatan Bungursari memiliki tiga kelas
ketersediaan air dimana yang paling mendominasi adalah ketersediaan sedang dengan
luas 4623,32 ha atau 94,68 persen dari total luas wilayah Kecamatan Bungursari.
Kemudian dengan ketersediaan air cukup dengan luas 92,66 ha atau 1,89 persen dari
total luas wilayah Kecamatan Bungursari. Maka berdasarkan hasil analisis tersebut
kawasan dengan ketersediaan air yang kurang dapat dikembangkan untuk budi daya
tanaman pangan lahan kering seperti ladang atau tegalan serta dapat juga dikembangkan
untuk budi daya tanaman tahunan. Sedangkan pada kawasan dengan ketersediaan air
yang cukup dan sedang dapat dikembangkan pertanian lahan basah dan untuk
pemanfaatan airnya dapat melalui sumur bor dengan kedalaman yang tidak begitu dalam.
Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran kemampuan lahan berdasarkan ketersediaan
air di Kecamatan Bungursari dapat dilihat pada Gambar 3.13.
109

109
110

3.2.6 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Terhadap Erosi


Analisis SKL Drainase ini dilakukan untuk untuk mengetahui daerah-daerah yang
mengalami keterkikisan tanah, sehingga dapat diketahui tingkat ketahanan lahan
terhadap erosi serta antispasi dampaknya pada daerah yang lebih hilir.
Berdasarkan Permen PU No. 27 Tahun 2007 dalam analisis ini membutuhkan
masukan berupa peta morfologi, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta
hidrogeologi, peta tekstur tanah, peta curah hujan dan peta penggunaan lahan eksisting.
Namun yang menjadi paramater utama masukannya adalah kemiringan lereng, morfologi
dan peta jenis tanah yang didalamnya termuat karakteristik setiap tanah yang ada.
Hasil dari analisis SKL erosi ini akan menunjukan kelas potensi erosi rendah,
kurang, sedang, cukup dan tinggi. Kelas potensi erosi tersebut menunjukan tingkatan
dimana potensi erosi rendah berarti kawasan memiliki kemungkinan pengelupasan atau
pengikisan tanah yang kecil. Sedangkan potensi erosi tinggi berarti kawasan tersebut
memiliki kemungkinan pengelupasan atau pengikisan tanah besar

Tabel 3.24
Kriteria dan Pembobotan SKL terhadap Erosi
Curah Hujan Kemiringan Jenis
Nilai Nilai Morfologi Nilai Nilai SKL Erosi Nilai
(mm/tahun) (%) Tanah
0-2 5 Alluvial 5
2500 – 3000 1 Perbukitan 1 Tinggi (13-16) 5
2-5 4 Latosol 4
Mediteran,
Perbukitan
3000 - 3500 2 5-15 3 2 Brown 3 Cukup (10-12) 4
terjal
Forest
15-40 2 Podsol Kurang (7-9) 3
Perbukitan
3500-4500 3 3 Merah 2
>40 1 sangat terjal Rendah (4-6) 2
Kuning
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Berdasarkan parameter diatas, diperoleh hasil analisis kemampuan lahan SKL


terhadap erosi dengan metode superimpose di Kecamatan Bungursari sebagai berikut:
Tabel 3.25
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Terhadap Erosi
No Potensi Erosi Luas (ha) Proporsi (%)
1 Erosi Kurang 3342,89 68,47
2 Erosi Cukup 1539,72 31,53
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, Kecamatan Bungursari merupakan wilayah


yang didominasi oleh SKL terhadap erosi yang kurang dengan luas 3342,89 ha atau
68,47 persen dari total luas wilayah Kecamatan Bungursari, sedangkan SKL terhadap
Erosi cukup memiliki luas 1539,72 ha atau 31,53 persen dari luas total wilayah
Kecamatan Bungursari. Oleh karena itu Kecamatan Bungursari merupakan wilayah yang
tahan terhadap erosi yang disebabkan oleh air namun hal tersebut dapat berubah ketika
vegetasi yang ada tidak dijaga karena vegetasi merupakan salah satu faktor penentu
dalam terjadinya erosi. Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran kemampuan lahan
terhadap erosi di Kecamatan Bungursari dapat dilihat pada Gambar 3.14.
111

111
112

3.2.7 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Drainase


Analisis SKL Drainase ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan
dalam mengalirkan air hujan secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat
lokal maupun meluas dapat dihindari.
Mengacu pada Permen PU No. 27 Tahun 2007 dalam analisis ini membutuhkan
masukan berupa peta morfologi, peta kemiringan lereng, peta topografi, peta jenis tanah,
peta curah hujan, dan penggunaan lahan eksisting. Namun yang menjadi parameter
utama masukannya adalah peta kemiringan lereng, peta topografi, peta morfologi dan
peta curah hujan. Hasil dari analisis SKL ketersediaan air ini akan menunjukan kelas
ketersediaan air rendah, kurang, sedang, cukup dan tinggi. Kelas kemampuan drainase
tersebut menunjukan tingkatan dimana kemampuan drainase rendah berarti kawasan
tersebut tidak dapat mengalirkan air dengan baik dan mudah tergenang. Sedangkan
kemampuan drainase tinggi berarti kawasan tersebut dapat mengalirkan air dengan baik
dan genangan air yang ada hanya sedikit.

Tabel 3.26
Kriteria dan Pembobotan SKL Drainase
Ketinggian Kemiringan Peta Curah Hujan SKL
Nilai Nilai Nilai Nilai
(mdpl) (%) (mm/tahun) Morfologi
0-2 1 2500 – 3000 mm 2 Tinggi (9-10) 3
<500 5
2-5 2 3000 – 3500 mm 3
Cukup (7-8) 2
500-1500 4 5-15 3 3500 – 4000 mm 4
15-40 4
1500 - 2500 3 4000 – 4500 mm 5 Kurang (3-4) 1
>40 5
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Berdasarkan parameter diatas, diperoleh hasil analisis kemampuan lahan SKL


Drainase dengan metode superimpose di Kecamatan Bungursari sebagai berikut:
Tabel 3.27
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Drainase
No SKL Luas (ha) Proporsi (%)
1 Kemampuan Drainase Cukup 2962,35 60,67
2 Kemampuan Drainase Tinggi 1920,16 39,33
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan data hasil analisis diatas, Kecamatan Bungursari hanya memiliki dua
kelas kemampuan drainase yaitu kemampuan drainase cukup dan kemampuan drainase
tinggi. SKL Drainase di Kecamatan Bungursari didominasi oleh kemampuan lahan
dengan drainase cukup yang memiliki luas 2962,35 ha atau 60,67 persen dari total luas
wilayah Kecamatan Bungursari, kemampuan drainase cukup tersebut mayoritas pada
kawasan dengan morfologi datar dengan kemiringan 0-2 persen. Namun meskipun
memiliki kelas kemampuan drainase cukup tetap memerlukan sebuah penanganan
dengan pembuatan-pembuatan drainase yang layak agar aliran air permukaan yang
disebabkan hujan tidak mudah tergenang.
Sedangkan untuk kemampuan lahan dengan drainase tinggi hanya 1920,16 ha
atau 39,33 persen. Kawasan dengan drainase tinggi tersebut mayoritas pada kawasan
dengan morfologi landai hingga perbukitan dengan kemiringan 5-15 persen. Pada
kawasan ini aliran air permukaan akan mudah untuk mengalir dan hal ini memunculkan
113

potensi untuk terjadinya erosi. Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran kemampuan
lahan berdasarkan drainase di Kecamatan Bungursari dapat dilihat pada Gambar 3.15.
3.2.8 Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Terhadap Bencana
Analisis SKL terhadap bencana alam ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
kemampuan lahan dalam menerima bencana alam untuk menghindari atau mengurangi
kerugian dari korban akibat bencana tersebut.
Berdasarkan Permen PU No. 27 Tahun 2007 dalam analisis ini membutuhkan data
dan peta rawan bencana tanah longsor dan gerakan tanah, rawan tsunami, rawan banjir
dan rawan gempa bumi dan kawasan zona patahan atau sesar. Namun berdasarkan
karakteristik Kecamatan Bungursari yang geografisnya daratan, tidak terdapat gunung
berapi dan tidak terdapat kawasan yang rawan banjir maka dari itu parameter utama
masukannya adalah hanya peta rawan tanah longsor dan gerakan tanah yang kemudian
dimodifikasi dengan paramater tambahan yaitu peta kemiringan lereng. Hasil dari analisis
SKL terhadap bencana alam ini akan menunjukan kelas potensi gerakan tanah rendah,
kurang, sedang, cukup dan tinggi. Kelas potensi gerakan tanah tersebut menunjukan
tingkatan dimana potensi gerakan tanah rendah berarti kawasan tersebut aman untuk
dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan permukiman. Sedangkan potensi gerakan
tanah tinggi berarti kawasan tersebut tidak aman untuk dikembangkan menjadi kawasan
budi daya dan permukiman.
Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan SKL terhadap terhadap bencana
Alam dengan metode superimpose diperoleh bahwa seluruh wilayah Kecamatan
Bungursari memiliki potensi terhadap bencana alam rendah..
3.2.9 Kemampuan Lahan
Analisis Kemampuan Lahan yaitu untuk memperoleh gambaran tingkat
kemampuan lahan untuk di kembangkan di Kecamatan Bungursari, sebagai acuan untuk
arahan kesesuaian lahan pada tahap selanjutnya, pembuatan peta nilai kemampuan
lahan ini yaitu dengan cara mengsuperimposekan semua peta SKL dan melakukan
penjumlahan nilai setiap satuan kemampuan lahan (SKL) dikalikan bobot setiap SKL.
Setelah penjumlahan tersebut dilakukan, akan didapat nilai yang digunakan untuk
penentuan kelas kemampuan pengembangan.

Tabel 3.28
Pembobotan Total Satuan Kemamapuan Lahan (SKL)
Satuan Kemampuan Lahan
Morfologi Bobot = 5 5 10 15 20 25
Kemudahan dikerjakan Bobot = 1 1 2 3 4 5
Kestabilan Lereng Bobot = 5 5 10 15 20 25
Kestabilan Pondasi Bobot = 3 3 6 9 12 15
Ketersediaan Air Bobot = 5 5 10 15 20 25
Terhadap Erosi Bobot = 3 3 6 9 12 15
Drainase Bobot = 5 5 10 15 20 25
Bencana Alam Bobot = 5 5 10 15 20 25
Kemampuan Lahan Jumlah Nilai
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Dari total nilai pembobotan diatas, dapat ditentukan beberapa kelas kemampuan
lahan yang memperhatikan nilai minimum dan maksimum dari total nilai. Dari angka di
atas, nilai minimum yang mungkin didapat yaitu 32, sedangkan nilai maksimum yang
mungkin didapat yaitu 160. Setiap kelas lahan memiliki kemampuan yang berbeda-beda
seperti terlihat pada Tabel 3.18 berikut ini.
114

Tabel 3.29
Kriteria Klasifikasi Pengembangan
Kelas Kemampuan
Total Nilai Klasifikasi Pengembangan
Lahan
32 – 58 Kelas a Kemampuan pengembangan sangat rendah
59 – 83 Kelas b Kemampuan pengembangan rendah
84 – 109 Kelas c Kemampuan pengembangan sedang
110 – 134 Kelas d Kemampuan pengembangan agak tinggi
135 – 160 Kelas e Kemampuan pengembangan sangat tinggi
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007 Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Berdasrkan hasil overlay dari 8 satuan kemampuan lahan yang telah dianalisis,
diperoleh hasil analisis klasifikasi kemampuan pengembangan Kecamatan Camapaka
sebagai berikut:

Tabel 3.30
Klasifikasi Kemampuan Pengembangan Kecamatan Bungursari
Kelas
No Klasifikasi Pengembangan Luas (ha) Proporsi (%)
Kemampuan

Kemampuan Pengembangan
1 Kelas C 1885,50 38,61
Sedang
Kemampuan Pengembangan Agak
2 Kelas D 2997,01 61,39
Tinggi
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Hasil Analisis, 2016

Berdasarkan hasil analisis tersebut, Kecamatan Bungursari memiliki dua kelas


pengembangan yaitu kelas C dan Kelas D. Dari kedua kelas tersebut yang mendominasi
di Kecamatan Bungursari yaitu kawasan dengan pengembangan agak tinggi dengan luas
2997,01 ha atau 61,39 persen dari total luas wilayah Kecamatan Bungursari. Sedangkan
kawasan pengembangan sedang memiliki luas 1885,50 ha atau 38,61 persen dari total
luas wilayah Kecamatan Bungursari. Kawasan pengembangan agak tinggi ini terletak
dibagian tengah wilayah yang merupakan kawasan perkotaan Kecamatan Bungursari.
Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran kemampuan pengembangan di Kecamatan
Bungursari dapat dilihat pada Gambar 3.16.
115

115
116

116
117

3.3 Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung


3.3.1 Analisis Daya Dukung
Analisis daya dukung (carrying capacity ratio) merupakan suatu alat perencanaan
pembangunan yang memberikan gambaran hubungan antara penduduk, penggunaan
lahan dan lingkungan. Dari semua hal tersebut, analisis daya dukung dapat memberikan
informasi yang diperlukan dalam menilai tingkat kemampuan lahan dalam mendukung
segala aktifitas manusia yang ada di wilayah yang bersangkutan.
Informasi yang diperoleh dari hasil analisis daya dukung secara umum akan
menyangkut masalah kemampuan (daya dukung) yang dimiliki oleh suatu daerah dalam
mendukung proses pembangunan dan pengembangan daerah itu. Konsep yang
digunakan untuk memahami ambang batas kritis daya-dukung ini adalah adanya asumsi
bahwa ada suatu jumlah populasi yang terbatas yang dapat didukung tanpa menurunkan
derajat lingkungan yang alami sehingga ekosistem dapat terpelihara. Secara khusus,
kemampuan daya dukung pada analisis ini terdapat 3 klasifikasi diantara:
1. Potensial
Pada kawasan potensial yang dimaksud adalah bagaimana suatu lahan dapat
memberikan potensi terhadap suatu fungsi lahan tertentu, yang menjadi
parameter yaitu:
 Tidak terdapat pada kawasan lindung
 Tidak terdapat pada wilayah yang diperuntukan sawah irigasi baik teknis
maupun non teknis
 Memiliki kemampuan lahan yang baik
2. Kendala
Pada kawasan kendala yang dimaksud adalah wilayah tersebut dapat
berkembang tetapi tidak maksimal, contohnya seperti sawah irigasi teknis dan
non teknis.
3. Limitasi
Pada kawasan limitasi yang dimaksud adalah wilayah tersebut berada pada
kawasan lindung baik hutan lindung, hasil skoring, maupun kawasan lindung
setempat seperti sempadan sungai dan sempadan danau/situ.
Untuk lebih jelasnya mengenai persebaran daya dukung lahan di Kecamatan
Bungursari dapa dilihat pada Gambar 3.17.
118

118
119

Tabel 3.31
Persebaran Daya Dukung Lahan di Kecamatan Bungursari

No Daya Dukung Lahan Luas (ha) Proporsi (%)

1 Wilayah Potensial 3338,01 68,36


2 Wilayah Kendala 1443,81 29,57
3 Wilayah Limitasi 99,71 2,07
Jumlah 4882,51 100
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan analisis daya dukung lahan tersebut, wilayah Kecamatan Bungursari


didominasi oleh wilayah yang berpotensi terhadap perkembangan wilayah dan sangat
mendukung untuk program pembangunan dengan luas 3338,01 ha atau 68,36 persen dari
total wilayah Kecamatan Bungursari. Sedangkan wilayah yang berkendala memiliki luas
1443,81 ha atau 29,57 persen dari total wilayah Kecamatan Bungursari, serta wilayah
limitasi memiliki luas hanya 99,71 ha atau 2,07 persen dari total wilayah Kecamatan
Bungursari.

3.3.2 Analisis Daya Tampung


Selain menggunakan metode analisis kesesuaian lahan, ada metode lain yang
dapat melengkapi metode diatas, yaitu analisis daya tampung wilayah. Metode ini
diperlukan sebagai bentuk responsif terhadap dinamika pertumbuhan penduduk yang
saat ini tidak terhindarkan. Konsekuensi pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang
menempati lahan, menyebabkan kepadatan hunian menjadi bertambah. Hal ini dapat
mengakibatkan penurunan kemampuan lahan, yaitu berupa daya tampung lingkungan.
Yang dimaksud dengan daya tampung lingkungan disini adalah kemampuan wilayah
secara administrasi dalam menampung jumlah penduduk sebagai pengguna lahan.
Dengan menggunakan asumsi 100 pada wilayah perkotaan dan 50 pada wilayah
perdesaan. Maka daya tampung dan daya dukung lingkungan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:

Luas lahan yang dapat menampung penduduk (LL)/Ha = (Luas Kaw. Potensial x
100%)

Daya Tampung (Jiwa/Ha) = LL x Karakteristik Wilayah, Rural / Urban

Daya tampung Kecamatan Bungursari memerlukan data jumlah penduduk dari


semua desa yang ada di Kecamatan Bungursari, karena hasil daya tampung ruang ini
yaitu jumlah penduduk persatuan luas. Adapun jumlah penduduk yang diambil yaitu
jumlah penduduk dari jumlah penduduk tahun 2019 sampai dengan 2034, untuk lebih
jelasnya mengenai jumlah penduduk tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.32.

Tabel 3.32
Jumlah Penduduk Kecamatan Bungursari Tahun 2019-2034
Jumlah Penduduk (jiwa)
No Desa
2019 2024 2029 2034
1 Ciwangi 11.032 11.134 11.235 11.337
2 Cibening 11.089 12.115 13.141 14.167
3 Bungursari 3.592 3.707 3.823 3.938
120

Jumlah Penduduk (jiwa)


No Desa
2019 2024 2029 2034
4 Cibungur 3.513 3.587 3.660 3.734
5 Cikopo 8.330 8.947 9.564 10.181
6 Cinangka 4.077 4.195 4.316 4.440
7 Wanakerta 4.152 4.180 4.209 4.238
8 Dangdeur 2.088 2.168 2.247 2.327
9 Cibodas 7.118 7.612 8.106 8.600
10 Karangmukti 2.570 2.655 2.740 2.825
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Setelah didapatkan jumlah data penduduk dari setiap desa yang ada di
Kecamatan Bungursari maka diketahui hasil dari daya tampung tersebut. Analisis tersebut
digunakan untuk mengetahui wilayah tersebut dapat menampung penduduk. Untuk lebih
jelasnya mengenai analisis daya tampung dapat dilihat pada Tabel 3.33.
Tabel 3.33
Daya Tampung Lahan Kecamatan Bungursari

No Desa Jumlah Penduduk (jiwa)

1 Ciwangi 18410
2 Cibening 39866
3 Bungursari 11110
4 Cibungur 18383
5 Cikopo 25824
6 Cinangka 12686
7 Wanakerta 19844
8 Dangdeur 35160
9 Cibodas 8393
10 Karangmukti 6281
Sumber: Analisis Kelompok, 2016

Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui bahwa desa yang dapat


menampung penduduk terbanyak yaitu Desa Cibening dengan jumlah 39866 jiwa yang
berarti jika dilihat dari hasil proyeksi penduduk masih bisa menampung lebih banyak
penduduk. Sedangkan desa yang dapat menampung paling sedikit penduduk adalah
Desa Karangmukti dengan 6281 jiwa. Dari hasil analisis proyeksi penduduk dengan
analisis daya tampung wilayah dapat disimpulkan bahwa seluruh wilayah Kecamatan
Bungursari dapat menampung pertumbuhan penduduk hingga tahun 2034.
121

Anda mungkin juga menyukai