Anda di halaman 1dari 23

REFARAT

EPILEPSI

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)


Ilmu Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit Umum Haji Medan

Disusun Oleh :
Liqva Nurul Fadhilah
20360147

Pembimbing :
dr. Nurdiani, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATRA UTARA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Refarat ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian ilmu
Radiologi Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan judul “Epilepsi”
Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang penuh ilmu
pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri tauladan yang
baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pembimbing KKS di bagian ilmu Kesehatan Anak. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan Refarat masih terdapat banyak kekurangan baik dalam cara penulisan maupun
penyajian materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sehingga bermanfaat dalam penulisan Refarat selanjutnya.
Semoga Refarat ini bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, September 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan masalah neurologis yang heterogen pada anak. Kelainan
neurologis ini mempengaruhi aspek fisik, psikologis, ekonomi dan sosial dan juga
bagi orang yang merawat mereka. Di Amerika Serikat sekitar 25,000 dan 40,000
anak akan mendapatkan kejang non-febris pertama setiap tahunnya. Di negara
berkembang sendiri sekitar 75-80% kasus baru epilepsi ditemukan. Kejang pada
anak memiliki keberagaman, dipengaruhi oleh usia, karakteristik kejang, yang
berhubungan dengan komorbiditas, tatalaksana dan prognosis. Diperlukan
pengertian yang komprehensif mengenai epilepsi dikarenakan kompleksitas dari
penyakit ini serta perlunya evaluasi secara berkala dan pencegahan dengan
meminimalisir gangguan neurologis sejak dini.

Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri pada epilepsi yang harus
ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi klinis dari epilepsi. Seorang
anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab
kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam
tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan
tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau
adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut
tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di
kemudian hari
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang
epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena
adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat
disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup
area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri.
Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)


yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik pada sekelompok sel
saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Kejang epilepsi harus
dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat
berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan
sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai
dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas.

2.2 Epidemologi
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang
luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur
populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi
pada anakanak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai
gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang
disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa
sindrom epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantil (Sindrom
West), Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic epilepsy,dan juvenile myoclonic
epilepsy.

Menurut WHO kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi
pada anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000
anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang
menjadi penderita epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di
antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit
metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin,
ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi daripada anak
perempuan.2

2.3 Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan
kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu5 :

Tabel 1. Etiologi Epilepsi

Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor neoplasma
f. Displasia
Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif
2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak terjadi saat prenatal, natal dan
postnatal sebagai berikut :

Tabel 2. Faktor Risiko Epilepsi

1. Prenatal
a) Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)
b) Kehamilan dengan eklampsi dan hipertensi
c) Kehamilan primipara atau multipara
d) pemakaian bahan toksik
2. Natal
a) Asfiksia
b) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)
c) Kelahiran prematur dan postmatur
d) Partus lama
e) Persalinan dengan alat
3. Postnatal
a) Kejang demam
b) Trauma kepala
c) Infeksi SSP
d) Gangguan metabolik

2.5 Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :8

1) Kejang parsial : Berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya
masih baik.

a. Kejang parsial sederhana : Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.

b. Kejang parsial kompleks : Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang
parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran
dan otomatisme

2) Kejang umum : Berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans : Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik : Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih
lama.

c. Kejang Mioklonik : Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang


cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

d. Kejang Tonik-Klonik : Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran


hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh
otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik,
tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran
air liur, dan peningkatan denyut jantung.

e. Kejang Klonik : Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit. f.
Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

2.6 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, dan
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion channel openening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalm hal inisiasi dan
perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam
ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion
menembus membran neuron.8–10
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus, yang bisa
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian
melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah neuron abniormal muncul
secar bersama-sama, membentuk suatu badai aktifitas listrik di dalam otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak yang terkena
dan terlibat.
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :10
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang
lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya
dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)
Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung
jawab atas timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita epilepsi
yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion klorida,
tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang
tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium
ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion
natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion
kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.9
1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar atau
seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron
eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meninkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah
timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dan anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau kerusakan pada neuron
atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembagkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain
demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam hal ini faktorgenetik dia diadan nggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotempora epilepsy.
Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui
mekanisme yang sama.
Gambar 1. Mekanisme sederhana terjadinya kejang

2.7 Klasifikasi Epilepsi


Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi :
5,11

Tabel 3. Klasifikasi Kejang Epilepsi


No Klasifikasi Kejang Epilepsi
1. Kejang Kejang parsial  Kejang parsial sederhana
Parsial sederhana dengan gejala motorik
 Kejang parsial sederhana
dengan gejala somatosensorik
atau sensorik khusus
 Kejang parsial sederhana
dengan gejala psikis
Kejang parsial  Kejang parsial kompleks
kompleks dengan onset parsial sederhana
diikuti gangguan kesadaran
 Kejang parsial kompleks
dengan gangguan kesadaran
saat onset
Kejang parsial yang  Kejang parsial sederhana
menjadi kejang menjadi kejang umum
generalisata sekunder  Kejang parsial kompleks
menjadi kejang umum
 Kejang parsial sederhana
menjadi kejang parsial
kompleks dan kemudian
menjadi kejang umum
2. Kejang umum  Kejang absans
 Absans atipikal
 Kejang
mioklonik
 Kejang klonik
 Kejang tonik-
klonik
 Kejang atonik

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi
:4,5
Tabel 4 . Klasifikasi sindrom epilepsi
No. Klasifikasi sindroma epilepsi
1. Berkaitan idiopatik  Epilepsi anak benigna dengan
dengan letak gelombang paku di sentrotemporal
fokus (Rolandik 14 benigna)
 Epilepsi anak dengan paroksimal
oksipital
Simtomatik  Lobus temporalis
 Lobus frontalis
 Lobus parietalis
 Lobus oksipitalis
 Kronik progresif parsialis kontinu
Kriptogenik
2. Epilepsi umum Idiopatik  Kejang neonatus familial benigna
 Kejang neonates benigna
 Epilepsi mioklonik benigna pada
bayi
 Epilepsi absans pada anak
(pyknolepsy)
 Epilepsi absans pada remaja
 Epilepsi mioklonik pada remaja
 Epilepsi dengan serangan tonik-
klonik saat terjaga
Kriptogenik atau  Sindroma West (spasme bayi)
simtomatik  Sindroma Lennox-Gastaut
 Epilepsi dengan kejang
mioklonik-astatik
 Epilepsi dengan mioklonik absans
Simtomatik 1. Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik
neonatal
 Epilepsi ensefalopati pada
bayi
 Gejala epilepsi umum lain
yang tidak dapat didefinisikan
2. Sindrom spesifik
• Malformasi serebral
• Gangguan metabolisme
Epilepsi dan Serangan fokal • Kejang neonatal
sindrom yang dan umum Tanpa • Epilepsi mioklonik berat pada
tidak dapat gambaran tegas bayi
ditentukan fokal fokal atau umum • Epilepsi dengan gelombang
atau generalisata paku kontinu selama
gelombang rendah tidur
(Sindroma Taissinare)
• Sindroma Landau-Kleffner
4 Sindrom khusus Kejang demam
Status epileptikus
Kejang berkaitan
dengan gejala
metabolik atau
toksik akut

Gambar 2. Klasifikasi tipe kejang sesuai klasifikasi ILAE 2017


Pedoman penggunaan klasifikasi operasional ILAE 2017 (ILAE) : 12

1. Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum


2. Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat
kesadaran.  Focal aware seizure merujuk pada simple partial  seizure pada
klasifikasi sebelumnya dan focal impaired awareness seizure merujuk pada
complex partial seizure
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi  focal impaired awareness seizure
bila terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejag fokal dengan gejala atau tanda
pertamayang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior arrest.
5. Behavior arrest: focal  behavior  arrest seizure menunjukkan penghentian
aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
6. Motorik/non motorik: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat
kesadaran.Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang fokal
dapat ditentukanhanya dengan karakteristik motor atau non motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat menambahkan
deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu jenis kejang yang
sudah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh: focal emotional seizure dengan
tonik pada lengan kanan dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang tonik-
klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk kejang yang
secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset, terdapat
perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak ritmik
yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang regular
tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada gerakan
mengedip selama kejang absans

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI.

a. Elektroensefalografi (EEG)14
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis
epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk
membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan
dengan obat anti epilepsi (OAE)

b. Neuroimaging
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan
melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography
Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan
CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan. Ct Scan (Computed
Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah
untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak.
Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena
dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan
terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2
weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :


a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak
yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti
sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal
dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10
kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit
dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal
masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. 17
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas
dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum
ada tiga terapi epilepsi, yaitu 6
1) Terapi medikamentosa18
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi
yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di
Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan
OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat
maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat
tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.
Epilepsi yang resistan terhadap obat dikaitkan dengan meningkatnya tingkat
kecacatan, morbiditas dan mortalitas. Jika terjadi kegagalan terapi menggunakan dua
AED, kelayakan operasi epilepsi harus dipertimbangkan. Untuk pasien yang tidak
melakukan operasi, AED alternatif dapat dicoba. Namun, banyak AED generasi kedua
memiliki dampak minimal pada keseluruhan hasil klinis, dengan kejang yang tidak
terkontrol masih ditemukan pada sekitar sepertiga pasien.
Pada anak dengan epilepsi onset baru, terutama yang dengan epilepsi idiopatik yang
umum dapat terbebas dari kejang dengan obat anti epilepsi yang tepat. Sekitar 20% pada
anak-anak dengan epilepsi akan mengalami kejang karena sindrom fokal idiopatik
sebelum terjadi epilepsi spontan yang mengalami remisi. Beberapa obat epilepsi pada
anak termasuk.

1. Generasi pertama
- Carbamazepin (CBZ)
- Clonazepam (CZP)
- Ethosuximide (ETS)
- Phenobarbital (PB)
- phenytoin (PHT)
- sulthiame (STM)
- valproic acid (VPA)

2. Generasi kedua
- felbamate (FBM)
- gabapentin (GPT)
- lamotrigine (LTG)
- levetiracetam (LEV)
- oxcarbazepine (OXC)
- pregabalin (PGB)
- tiagabine (TGB)
- topiramate (TPM)
- vigabatrin (GVG)
- zonisamide (ZNS)

3. Generasi ketiga

- eslicarbazepine acetate (ESL)


- lacosamide (LCS)
- perampanel (PER)
- retigabine (RTG)
- rufinamide (RUF)
- stiripentol (STP)

2) Terapi Pembedahan

Operasi epilepsi yang melibatkan reseksi atau, lebih jarang, pemutusan atau
jaringan epilepsi, merupakan terapi efektif untuk pasien tertentu dengan resistan
terhadap obat epilepsy. Kelayakan untuk operasi ditentukan berdasarkan investigasi,
termasuk pemantauan video-EEG, MRI struktural, fluorodeoxyglucose positron
emission tomography, emisi foton tunggal ictal dan interiktal computed tomography,
MRI fumgsional, dan pengujian neuropsikologis. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menggambarkan "zona epileptogenik" (yaitu,jumlah minimum korteks yang jika
direseksi, terputus atau rusak akan menyebabkan bebas kejang ) dan mendefinisikan
morbiditas risiko pasca-operasi. 20

Beberapa pasien juga memerlukan intrakranial EEG, baik sebagai


elektrokortikografi intra-operatif atau rekaman operasi ekstra, untuk meningkatkan
lokalisasi zona epileptogenik. Probabilitas kebebasan kejang setelah operasi tergantung
pada banyak faktor, termasuk jenis epilepsi, hasil penyelidikan pra-bedah, etiologi yang
mendasari, sejauh mana reseksi, dan durasi follow up. Wiebe et all. mengacak 80 pasien
dengan epilepsi lobus temporal resistan terhadap tatalaksana dengan reseksi lobus
temporal anterior atau terapi AED lanjutan. Pada satu tahun pertama , 23/40 pasien yang
menjalani operasi (58%) bebas dari serangan seizure dibandingkan hanya 3/40 pasien
yang dirawat secara medis (8%) (P <0,001).

Pada Kelompok bedah dilaporkan memiliki kualitas hidup lebih baik secara
subjektif dibandingkan dengan kelompok medis. Pada tahun 2003, American Academy
of Neurology merekomendasikan bahwa pasien dengan kegagalan penghentian kejang
fokal dengan AED lini pertama harus dipertimbangkan untuk di rujuk ke pusat operasi
epilepsi.

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang


menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini
merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a) Lobektomi temporal
b) Eksisi korteks ekstratemporal
c) Hemisferektomi
d) Callostomi

2.10 Komplikasi

Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi
kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya bersifat irreversible dan
jika sering terjadi dengan jangka waktuyang lama sering sekali membuat pasien menjadi
cacat.
2.11 Prognosis

Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas


terjadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara
menghindari faKtor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari. Penanganan
pada kasus epilepsi saat serangan merupakan faKtor penting penentuan prognosis.
Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah pada anak
atau dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan tidak ada riwayat
penyebab epilepsi simptomatis.
Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati
dibandingkan pada kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase kejadian bebas
kejang 60%-70% dengan monoterapi. Kejang yang tidak ditangani juga dapat
menimbulkan bahaya seperti jatuh, fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status
epileptikus.
BAB III

KESIMPULAN

Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap anak di
seluruh dunia. Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang.
Klasifikasi epilepsi sendiri terbagi oleh International League Againts Epilepsy
berdasarkan onset kejang hingga kejang fokal. Kejang fokal dapat dibedakan menjadi
kejang sadar fokal (sebelumnya kejang parsial sederhana) atau kejang dengan gangguan
kesadaran (sebelumnya kejang parsial kompleks), tergantung pada apakah kesadaran
hilang pada setiap kejang.

Kejang pada anak akibat epilepsi memiliki keberagaman, dipengaruhi oleh usia,
karakteristik kejang, yang berhubungan dengan komorbiditas, tatalaksana dan
prognosis. Diperlukan pengertian yang komprehensif mengenai epilepsi dikarenakan
kompleksitas dari penyakit ini serta perlunya evaluasi secara berkala dan pencegahan
dengan meminimalisir gangguan neurologis sejak dini. Bila serangan epilepsi tidak
ditangani dengan baik dan berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan pada
sistem otak dan syaraf anak tersebut hingga dapat mengakibatkan kematian.Pada kasus
epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas tejadinya serangan
dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara menghindari faktor pencetus
ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Saad K. Childhood Epilepsy: An Update on Diagnosis and Management. Am J
Neurosci. 2015;36–51.
2. World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 2000. [cited 2013
November 4]. Available form : URL http://www.who.int/infis/en/fact168.html
3. Megiddo I, Colson A, Chisholm D, Dua T, Nandi A, Laxminarayan R. Health
and economic benefits of public financing of epilepsy treatment in India: An
agent-based simulation model. Epilepsia [Internet]. 2016 Mar [cited 2018 Nov
5];57(3):464–74. Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/epi.13294
4. Engel J, International League Against Epilepsy (ILAE). A proposed diagnostic
scheme for people with epileptic seizures and with epilepsy: report of the ILAE
Task Force on Classification and Terminology. Epilepsia [Internet]. 2001 Jun
[cited 2018 Nov 5];42(6):796–803. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11422340
5. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, et al.
ILAE Official Report: A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia
[Internet]. 2014 Apr [cited 2018 Nov 5];55(4):475–82. Available from:
http://doi.wiley.com/10.1111/epi.12550
6. Shorvon SD (Simon D. Handbook of epilepsy treatment : forms, causes, and
therapy in children and adults. Blackwell Pub; 2005. 304 p.
7. Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. sari
Pediatr. 2011;13(2).
8. Rudolph;A.M. Gangguan Kejang pada Bayi dan Anak. In: Rudolph pediatric.
ECG; 2007. p. 2134–40.
9. Jimmy;passat. Epidemiologi Epilepsi. Sofyan;Ismael, editor. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 1999. 190-197 p.
10. Hall JE (John E. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 1145 p.
11. Fisher RS, Boas W van E, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. Epileptic
Seizures and Epilepsy: Definitions Proposed by the International League Against
Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia
[Internet]. 2005 Apr [cited 2018 Nov 5];46(4):470–2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939
12. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, et al.
Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure types.
Epilepsia [Internet]. 2017 Apr 1 [cited 2018 Nov 6];58(4):531–42. Available
from: http://doi.wiley.com/10.1111/epi.13671
13. Ahmed SN, Spencer SS. An approach to the evaluation of a patient for seizures
and epilepsy. WMJ [Internet]. 2004 [cited 2018 Nov 6];103(1):49–55. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15101468
14. Oguni H. Diagnosis and Treatment of Epilepsy. Epilepsia [Internet]. 2004 Dec
[cited 2018 Nov 6];45(s8):13–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15610188
15. Harsono. Epilepsi. In: Buku Ajar Neurologi Klinis [Internet]. Yogjakarta: Badan
Penerbit dan Publikasi Universitas Gadjah Mada; 2004 [cited 2018 Nov 6].
Available from: http://ugmpress.ugm.ac.id/id/product/kedokteran-umum/buku-
ajar-neurologi-klinis
16. Kuzniecky RI. Neuroimaging of epilepsy: Therapeutic implications. NeuroRX
[Internet]. 2005 Apr [cited 2018 Nov 6];2(2):384–93. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15897958
17. Sareharto TP BT. Penatalaksanaan Kejang. In: Putranti A, editor. Buku Ajar llmu
Kesehatan Anak Semarang: Semarang: Balai Penerbit UNDIP; 2011. p. 138–9.
18. Perucca P, Scheffer IE, Kiley M. The management of epilepsy in children and
adults. 2018 [cited 2018 Nov 6]; Available from:
https://www.mja.com.au/system/files/issues/208_05/10.5694mja17.00951.pdf
19. Rosati A, De Masi S, Guerrini R. Antiepileptic Drug Treatment in Children with
Epilepsy. CNS Drugs [Internet]. 2015 [cited 2018 Nov 6];29. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4636994/pdf/40263_2015_Artic
le_281.pdf
20. Ryvlin P, Cross JH, Rheims S. Epilepsy surgery in children and adults. Lancet
Neurol [Internet]. 2014 Nov [cited 2018 Nov 6];13(11):1114–26. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25316018

Anda mungkin juga menyukai