Anda di halaman 1dari 5

Pengertian dan Perkembangan Tasawuf falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
memengaruhi para tokohnya.[1][1]

Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk
mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf
bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang
dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-
kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening
dan begitu menggoda untuk direnangi.[2][2]

Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah,
meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini terus
hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf, sampai menjelang akhir-akhir ini.
Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah
membuat ajaran-ajaran tasawuf bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari
Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam,
seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga
kemandirian ajaran aliran mereka, terutama apabila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat
Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada kita kegigihan para tokoh tasawuf jenis ini dalam
mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf mereka, serta
menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf
yang mereka anut.[3][3]

Perbedaan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:

1. Tasawuf sunni bersumber dari keterangan-keterangan yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-
Hadits. Ajaran tasawuf ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki akhlak yang telah diajarkan dalam al-
Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Sedangkan ajaran tasawuf falsafi berasal dari
pemikiran filsafat yang berkembang baik sebelum maupun setelah Islam. Sedangkan pada tasawuf
falsafi mengajarkan ajaran-ajaran yang merupakan perpaduan antara tasawuf dengan filsafat. Ajaran
tasawuf falsafi misalnya al-Baqa’ dan al-Fana’ adalah ajaran Abu Yazid al-Bisthami yang mengajarkan
bersatunya antara zat makhluk dengan tuhannya. Ajaran ini dipengaruhi oleh filsafat Plotinus.

2. Ajaran Tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits. Semua
ajarannya sesuai dengan kedua nash tersebut, sedangkan ajaran tasawuf falsafi mempunyai
kecenderungan menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Kaum sufi mengeluarkan kata-kata yang dikenal dengan syahadat, yaitu perkataan aneh kaum sufi yang
diucapkan dalam keadaan tidak sadar. Sekedar contoh syahadat adalah perkataan Abu Yazid al-Bisthami
yang mengeluarkan “Aku Adalah Allah, tidak Ada Tuhan Selain Aku”.

3. Tasawuf sunni mengajarkan adanya “ketidaksamaan” antara makhluk dengan Allah, ajaran tasawuf
sunni menekankan kepada adanya ketidak-satuan Allah dengan ciptaannya. Ketika seorang sufi
mencapai derajat yang tertinggi ia hanya akan mencapai derajat musyahadah dan mukasyafah, yaitu
ajaran yang menegaskan adanya kemampuan kaum sufi untuk menyaksikan kekuasaan Allah dengan
terbukanya tabir antara dia dengan allah sementara itu tasawuf falsafi mengajarkan adanya “kesatuan”
Allah dengan mahluknya dengan ajaran Ittihad dan al-Hulul.

4. Memperhatikan keseimbangan antara hakikat dengan syariat. Karena ajaran tasawuf sunni
berdasarkan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits. Mereka selalu menekankan akan
pengamalan ajaran-ajaran tasawuf mereka dengan ajaran syariat yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad SAW. Fenomena ini setidaknya dikemukakan oleh Imam Malik: “Barang siapa berilmu fiqh
tapi tidak bertasawuf, maka sungguh ia telah fasik dan barang siapa yang bertasawuf tapi tidak berilmu
fiqh maka sungguh ia zindiq, dan barang siapa berilmu fiqh dan bertasawuf, maka sungguh ia adalah
yang tepat”. Sedangkan tasawuf falsafi mengenal apa yang disebut “nihilisme syari’at”, yaitu suatu
bentuk ajaran yang menegaskan syari’at sebagai bentuk penolakan terhadap “hakikat” dan keberadaan
benda-benda. Keyakinan ini mengajarkan bahwa syari’at hanya berlaku kepada seseorang yang
berkeyakinan bahwa dirinya “berbeda” dari tuhannya, sehingga bagi mereka yang telaah melepaskan
dari keyakinaan itu, tak perlu melaksanakan ajaran syari’at.[4][4]

B. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi dan Konsep Ajarannya

Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu Masarrah.

1. Ibnu Arabi

a.biografi Ibnu Arabi

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Tha’i Al-Haitami. Ia
lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan
ilmuan. Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibnu al-Arabi, seorang
qadhi dari Sevilla yang wafat pada tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadits,
serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Setelah
berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat.
Diantara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyanal-Ghautsat-Talimsari dan
Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak memengaruhi ajaran Ibnu
Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan Ibnu Rusyd, filsuf muslim dan tabib istana dinasti
berbar dari Alomohad, di Kordova. Ia pun dikabarkan mengunjungi al-Mariyyah yang menjadi pusat
madrasah Ibnu Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak
pengaruh di Andalusia.
b.Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdad al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah
wahdad al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya, tidaklah berasal darinya, tetapi
berasal dari Ibnu Taimiyyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya
tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam mempopulerkannya ke tengah
masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat
menggunakan istilah wahdad al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibnu Arabi, mereka berbeda
pendapat dalam menformulasikan pengertian wahdad al-wujud.

Menurut Ibnu Taimiyyah, wahdad al-wujud adalah penyamaan tuhan dan alam. Menurut penjelasannya,
orang-orang yang mempunyai paham wahdad al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya
hanya satu dan wajib al wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh
mahluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdad al-wujud juga mengatakan bahwa
wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.[5][5]

2. Abdul Karim Al-Jili

a.Riwaya Hidup

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M di Jilan (Gilan),
sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama al-Jili diambil dari tempat
kelahiranya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak
diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan
perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani,
seorang pendiri dan pemimpin Tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Disamping itu, berguru pula
pada Syekh Syarafddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti di Zabith (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[6][6]

b.Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ajaran tasawuf al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jili,
insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan,

seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:

“Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”

Hadits lain menyebutkan yang artinya:

“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”

Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak,
mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang
terjadi setelah ini ada setelah Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan
huwiyah Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan Dzat Nya dihadapkan pada Dzat
Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita
memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan
segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.

3. Ibnu Sab’in

a.Riwayat Hidup

Nama lengkap Ibnu Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi dan juga
filsuf dari Andalusia. Dia terenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan Frederik II,
penguasa Sicilia. Dia dipanggil Ibnu Sab’in dan diberi gelar Quthbuddin, tetapi kadang-kadang, ia dikenal
pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217-1218M) di kawasan Murcia.[7][7]

Ibnu Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan. Ayahnya adalah penguasa kota kelahirannya.
begitu juga, dengan nenek moyangnya, yang juga dari kalangan para penguasa. Menurut sebagian
penulis biografinya, Ibnu Sab’in hidup dalam suasana penuh kemuliaan dan kecukupan. Kemudian, dia
menjauhi kesenangan hidup, kemewahan, dan kepemimpinan duniawi, dan seterusnya hidup sebagai
asketis ataupun sufi yang banyak mempunyai murid.

b.Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ibnu Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal
dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu
alias wujud Allah semata. Adapun wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud
wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu. Dengan demikian, wujud
dalam kenyataannya hanya satu persoalan yang tetap.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam islam untuk
mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf
bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang
dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-
kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening
dan begitu menggoda untuk direnangi.
Seorang sufi yang di anggap sebagai perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319 atau 931) yang
hidup di andalusia. Sekaligus dia dapat di anggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam.

Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsafi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi
yang di bunuh di Aleppo pada tahun 587 atau 1191, karena pandangannya yang telah keluar dari Islam
menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.

Tasawuf falsafi di nusantara di pelopori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi
yang datang dari pulau Andalas (Sumatra) pada abad ke 17 M.

Anda mungkin juga menyukai