Evaluasi Formasi
Ditulis pada Maret 30, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini teknologi di dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi telah berkembang
dengan pesat. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat harga minyak dan gas bumi yang
semakin meningkat sehingga perlu dilakukan eksplorasi terhadap sumur minyak baru maupun
peningkatan produksi terhadap sumur minyak yang telah ada sebelumnya.
Sebelum dilakukan pengeboran kita harus melakukan evaluasi formasi untuk mengetahui
karakteristik formasi batuan yang akan di bor. Berbagai macam metode digunakan untuk
mengetahui karakteristik formasi baik melalui analisis batu inti, analisis cutting, maupun analisis
data well logging. Analisis well logging saat ini banyak digunakan karena biayanya yang relatif
lebih murah dan kualitas datanya yang akurat. Untuk itu perlu dilakukan pembahasan mengenai
“Aplikasi Well Logging di dalam Evaluasi Formasi”.
1.2.1 Maksud
Maksud dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui aplikasi well logging di dalam
evaluasi formasi.
1.2.2 Tujuan
BAB II
EVALUASI FORMASI
2.1 Ruang Lingkup Evaluasi Formasi
Evaluasi formasi batuan adalah suatu proses analisis ciri dan sifat batuan di bawah tanah dengan
menggunakan hasil pengukuran lubang sumur (Harsono, 1997). Evaluasi formasi membutuhkan
berbagai macam pengukuran dan analisis yang saling melengkapi satu sama lain. Tujuan utama
dari evaluasi formasi adalah untuk mengidentifikasi reservoar, memperkirakan cadangan
hidrokarbon, dan memperkirakan perolehan hidrokarbon (Harsono, 1997).
Evaluasi formasi umumnya dilakukan secara berurutan dan sistematis. Daerah yang dianggap
berpotensi mengandung hidrokarbon awalnya ditentukan melalui survei seismik, gravitasi, dan
magnetik (Bateman, 1985). Setelah daerah tersebut dibor selanjutnya dilakukan mud
logging dan measurements while drilling (MWD) ; setelah itu bisa dilakukan pengambilan batu
inti (Bateman, 1985). Saat mata bor tersebut telah mencapai kedalaman tertentu
maka logging dapat dilakukan. Penjelasan mengenai metode – metode yang digunakan dalam
evaluasi formasi adalah sebagai berikut :
2.2.1 Mud Logging
Mud logging merupakan proses mensirkulasikan dan memantau
perpindahan mud dancutting pada sumur selama pemboran (Bateman, 1985). Menurut Darling
(2005) terdapat dua tugas utama dari seorang mud logger yaitu :
1. Memantau parameter pengeboran dan memantau sirkulasi gas/cairan/padatan dari sumur
agar pengeboran dapat berjalan dengan aman dan lancar.
2. 2. Menyediakan informasi sebagai bahan evaluasi bagi petroleum engineering
department.
Mud-logging unit akan menghasilkan mud log yang akan dikirim ke kantor pusat perusahaan
minyak. Menurut Darling (2005), mud log tersebut meliputi:
Pembacaan gas yang diperoleh dari detektor gas atau kromatograf
Pengecekan terhadap ketidakhadiran gas beracun (H S, SO )
2 2
Deskripsi Cutting
Pekerjaan lain dari seorang mud logger adalah melakukan deskripsi cutting. Cuttingmerupakan
material hasil hancuran batuan oleh mata bor yang dibawa oleh lumpur pemboran ke permukaan
(Bateman,1985). Sebagian sampel dimasukkan ke dalam plastikpolyethene sebagai sampel basah
sementara sebagian sampel lain yang telah dicuci dan dikeringkan dikenal sebagai sampel kering.
Sampel yang telah dibersihkan diamati di bawah mikroskop yang ada di mud-logging unit. Hasil
deskripsi kemudian diserahkan ke kantor pusat pengolahan data.
Agar informasi tersebut berguna maka ada standar deskripsi baku yang harus dilakukan. Darling
(2005) menyatakan bahwa deskripsi tersebut harus meliputi:
Sifat butir
Tekstur
Tipe
Warna
Roundness dan sphericity
Sortasi
Kekerasan
Ukuran
Kehadiran mineral jejak (misalnya pirit, kalsit, dolomit, siderit)
Tipe partikel karbonat
Partikel skeletal (fosil, foraminifera)
Partikel non-skeletal (lithoclast, agregat, rounded particles)
Keterbatasan Analisis Core
Data core tidak selalu akurat, menurut Darling (2005) ada sejumlah alasan yang menyebabkan
hal tersebut yaitu:
ü Suatu core diambil pada water leg, dimana proses diagenesis mungkin saja terjadi, hal ini
menyebabkan core tidak selalu dapat mewakili oil atau gas leg di reservoar.
ü Coring dan proses pemulihannya menyebabkan tejadinya perubahan tekanan dan suhu batuan
sehingga bisa menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada batuan tersebut
ü Proses penyumbatan, pembersihan, dan pengeringan dapat mengubah wettability dari sumbat
sehingga membuatnya tidak bisa merepresentasikan kondisi di bawah lubang bor.
ü Pengukuran resistivitas sumbat pada suhu lingkungan dengan menggunakan udara sebagai
fluida yang tidak basah (nonwetting fluid) bisa tidak merepresentasikan kondisi reservoar.
2.2.3 Well Logging
Well logging merupakan perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan yang diperoleh
melalui pengukuran pada sumur bor (Ellis & Singer,2008). Data yang dihasilkan disebut
sebagai well log. Berdasarkan proses kerjanya, logging dibagi menjadi dua jenis yaituwireline
logging dan logging while drilling bor (Ellis & Singer,2008). Wireline loggingdilakukan ketika
pemboran telah berhenti dan kabel digunakan sebagai alat untuk mentransmisikan data.
Pada logging while drilling, logging dapat dilakukan bersamaan dengan pemboran. Logging jenis
ini tidak menggunakan kabel untuk mentransmisikan data. Saat ini logging while drilling lebih
banyak digunakan karena lebih praktis sehingga waktu yang diperlukan lebih efisien walaupun
masih memiliki kekurangan berupa transmisi data yang tidak secepat wireline logging.
Tujuan dari evaluasi formasi menurut Ellis & Singer (2008) adalah sebagai berikut:
BAB III
PENGERTIAN WELL LOGGING
3.1 Pengertian Log dan Well Logging
Log adalah suatu grafik kedalaman (bisa juga waktu), dari satu set data yang menunjukkan
parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah sumur (Harsono, 1997).
Kegiatan untuk mendapatkan data log disebut ‘logging’ Loggingmemberikan data yang
diperlukan untuk mengevaluasi secara kuantitatif banyaknya hidrokarbon di lapisan pada situasi
dan kondisi sesungguhnya. Kurva log memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengetahui
sifat – sifat batuan dan cairan.
Well logging dalam bahasa Prancis disebut carrotage electrique yang berarti “electrical coring”,
hal itu merupakan definisi awal dari well logging ketika pertama kali ditemukan pada tahun 1927.
Saat ini well logging diartikan sebagai “perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan yang
diperoleh melalui pengukuran pada sumur bor” (Ellis & Singer,2008). Well logging mempunyai
makna yang berbeda untuk setiap orang bor (Ellis & Singer,2008). Bagi seorang geolog, well
logging merupakan teknik pemetaan untuk kepentingan eksplorasi bawah permukaan. Bagi
seorang petrofisisis, well logging digunakan untuk mengevaluasi potensi produksi hidrokarbon
dari suatu reservoar. Bagi seorang geofisisis, well logging digunakan untuk melengkapi data yang
diperoleh melalui seismik. Seorang reservoir enginer menggunakan well log sebagai data
pelengkap untuk membuat simulator. Kegunaan utama dari well logging adalah untuk
mengkorelasikan pola – pola electrical conductivity yang sama dari satu sumur ke sumur lain
kadang – kadang untuk area yang sangat luas bor (Ellis & Singer,2008). Saat ini teknologi well
logging terus berkembang sehingga dapat digunakan untuk menghitung potensi hidrokarbon yang
terdapat di dalam suatu formasi batuan.
Log adalah suatu grafik kedalaman (bisa juga waktu), dari satu set data yang menunjukkan
parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah sumur (Harsono, 1997). Log
elektrik pertama kali digunakan pada 5 September 1927 oleh H. Doll dan Schlumberger
bersaudara pada lapangan minyak kecil di Pechelbronn, Alsace, sebuah propinsi di timur laut
Prancis (Ellis & Singer,2008). Log terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada
tahun 1929 log resistivitas mulai digunakan, disusul dengan kehadiran log SP tiga tahun
kemudian, selanjutnya log neutron digunakan pada tahun 1941 disusul oleh kehadiran
mikrolog,laterolog, dan log sonic pada tahun 1950-an (Schlumberger,1989).
3.2 Macam – macam metode yang digunakan untuk memperoleh data log
Ellis & Singer (2008) membagi metode yang digunakan untuk memperoleh data log menjadi dua
macam, yaitu:
3.2.1 Wireline Logging
Pada wireline logging, hasil pengukuran akan dikirim ke permukaan melalui
kabel (wire).Instrumen – instrumen yang terdapat pada alat ini (lihat gambar 3.1) adalah:
1. Mobile laboratory
2. Borehole
3. Wireline
4. Sonde (lihat gambar 3.2)
Untuk menjalankan wireline logging, lubang bor harus dibersihkan dan distabilkan terlebih
dahulu sebelum peralatan logging dipasang (Bateman,1985). Hal yang pertama kali dilakukan
adalah mengulurkan kabel ke dalam lubang bor hingga kedalaman maksimum lubang bor tersebut
(Bateman,1985). Sebagian besar log bekerja ketika kabel tersebut ditarik dari bawah ke atas
lubang bor. Kabel tersebut berfungsi sebagai transmiter data sekaligus sebagai penjaga agar
alat logging berada pada posisi yang diinginkan (Bateman,1985). Bagian luar kabel tersusun
atas galvanized steel sedangkan bagian dalamnya diisi oleh konduktor listrik (Ellis &
Singer,2008). Kabel tersebut digulung dengan menggunakan motorized drum yang digerakkan
secara manual selama loggingberlangsung (Ellis & Singer,2008). Drum tersebut menggulung
kabel dengan kecepatan antara 300 m/jam (1000 ft/jam) hingga 1800 m/jam (6000 ft/jam)
tergantung pada jenis alat yang digunakan (Ellis & Singer,2008). Kabel logging mempunyai
penanda kedalaman (misalnya tiap 25 m) yang dicek secara mekanik namun koreksi kedalaman
harus dilakukan akibat tegangan kabel dan pengaruh listrik (Bateman,1985).
Biaya sewa rig yang mahal dan logging pada sumur bor yang harus dilakukan dengan seketika
membuat alat logging modern saat ini dirancang agar bisa menjalankan beberapa fungsi
sekaligus. Rangkaian triple-combo yang dimiliki oleh Schlumberger misalnya dapat mengukur
resistivitas, densitas, mikroresistivitas, neutron, dan gamma ray sekaligus (Harsono,1997).
Apabila rangkaian tersebut ditambahi dengan alat Sonik maka rangkaian yang dihasilkan disebut
rangkaian super-combo (Harsono,1997). Kedua rangkaian tersebut mampu bekerja dengan
kecepatan 1800 ft/jam (Harsono,1997).
Data yang didapat melalui berbagai alat logging yang berbeda tersebut kemudian diolah oleh
CSU (Cyber service unit). CSU merupakan sistem logging komputer terpadu di lapangan yang
dibuat untuk kepentingan logging dengan menggunakan program komputer yang
dinamakan cyberpack (Harsono,1997). Sistem komputer CSU merekam, memproses dan
menyimpan data logging dalam bentuk digital dengan format LIS (Log Information Standard),
DLIS (Digital Log-Interchange Standard) atau ACSII (Harsono,1997). CSU juga berfungsi
menampilkan data log dalam bentuk grafik (Harsono,1997).
Sistem komputer terbaru yang digunakan oleh Schlumberger adalah MAXIS (Multiasking
Acquisition and Imaging System). Sistem ini mampu mentransmisikan data lebih cepat dari
sistem CSU. Tidak seperti sistem logging lainnya, sistem MAXIS mempunyai kemampuan
menampilkan gambar atau citra berwarna dari data-data yang diukur dengan alat-
alat logging generasi baru (Harsono,1997). Gambar atau citra data ini mempermudah
karakterisasi reservoar dan interpretasi data di lapangan.
Gambar 3.2 Berbagai jenis alat logging.
Dari kiri ke kanan, dipmeter, alat sonik, alat densitas, dan dipmeter dengan banyak elektroda
3.2.2 Logging While Drilling
Logging while drilling (LWD) merupakan suatu metode pengambilan data log
dimanalogging dilakukan bersamaan dengan pemboran (Harsono,1997). Hal ini dikarenakan
alatlogging tersebut ditempatkan di dalam drill collar. Pada LWD, pengukuran dilakukan
secara real time oleh measurement while drilling (Harsono,1997)..
Alat LWD terdiri dari tiga bagian yaitu: sensor logging bawah lubang bor, sebuah sistem
transmisi data, dan sebuah penghubung permukaan (lihat gambar 3.3).
Sensor loggingditempatkan di belakang drill bit, tepatnya pada drill collars (lengan yang
berfungsi memperkuat drill string) dan aktif selama pemboran dilakukan (Bateman,1985). Sinyal
kemudian dikirim ke permukaan dalam format digital melalui pulse telemetry melewati lumpur
pemboran dan kemudian ditangkap oleh receiver yang ada di permukaan (Harsono,1997). Sinyal
tersebut lalu dikonversi dan log tetap bergerak dengan pelan selama proses
pemboran. Logging berlangsung sangat lama sesudah pemboran dari beberapa menit hingga
beberapa jam tergantung pada kecepatan pemboran dan jarak antara bit dengan sensor di bawah
lubang bor (Harsono,1997).
Layanan yang saat ini disediakan oleh perusahaan penyedia jasa LWD meliputi gamma ray,
resistivity, densitas, neutron, survei lanjutan (misalnya sonik). Tipe log tersebut sama (tapi tidak
identik) dengan log sejenis yang digunakan pada wireline logging. Secara umum, log LWD dapat
digunakan sama baiknya dengan log wireline logging dan dapat diinterpretasikan dengan cara
yang sama pula (Darling,2005). Meskipun demikian, karakteristik pembacaan dan kualitas data
kedua log tersebut sedikit berbeda.
(http://hznenergy.com/loggingwhiledrilling)
BAB IV
MACAM – MACAM LOG
4.1 Log Natural Gamma Ray
Sesuai dengan namanya, Log Gamma Ray merespon radiasi gamma alami pada suatu formasi
batuan (Ellis & Singer,2008). Pada formasi batuan sedimen, log ini biasanya mencerminkan
kandungan unsur radioaktif di dalam formasi. Hal ini dikarenakan elemen radioaktif cenderung
untuk terkonsentrasi di dalam lempung dan serpih. Formasi bersih biasanya mempunyai tingkat
radioaktif yang sangat rendah, kecuali apabila formasi tersebut terkena kontaminasi radioaktif
misalnya dari debu volkanik atau granit (Schlumberger,1989)
Gambar 4.2 Distribusi sinar gamma dari tiga unsur radioaktif yang berbeda
Untuk melewati suatu materi, gamma ray bertumbukan dengan atom dari zat penyusun formasi
(Ellis & Singer,2008). Gamma ray akan kehilangan energinya setiap kali mengalami tumbukan,
Setelah energinya hilang, gamma ray diabsorbsi oleh atom formasi melalui suatu proses yang
disebut efek fotoelektrik (Ellis & Singer,2008). Jadi gamma ray diabsorbsi secara gradual dan
energinya mengalami reduksi setiap kali melewati formasi. Laju absorbsi berbeda sesuai dengan
densitas formasi (Schlumberger,1989). Formasi dengan jumlah unsur radioktif yang sama per
unit volum tapi mempunyai densitas yang berbeda akan menunjukkan perbedaan tingkat
radioaktivitas Formasi yang densitasnya lebih rendah akan terlihat sedikit lebih radioaktif.
Respon GR log setelah dilakukan koreksi terhadap lubang bor dan sebagainya sebanding dengan
berat konsentrasi unsur radioaktif yang ada di dalam formasi (Schlumberger,1989).
Dimana
Peralatan
GR sonde memiliki detektor untuk mengukur radiasi gamma yang terjadi pada formasi di dekat
sonde. Detektor scintillation umumnya digunakan untuk pengukuran ini (Schlumberger,1989).
Detektor ini lebih efisien dibandingkan dengan detektor Geiger-Mueller yang digunakan di masa
lalu (Schlumberger,1989). Panjang detektor ini hanya beberapa inchi sehingga detil formasi bisa
diperoleh dengan baik.
Prinsip Pengukuran
Tampilan Log
Log spektral merekam jumlah potassium, thorium, dan uranium yang ada di dalam formasi
(Schlumberger,1989). Unsur – unsur tersebut biasanya ditampilkan di dalam Track 2 dan 3 dari
log . Konsentrasi thorium dan uranium ditampilkan dalam bentuk berat per juta (bpj) sedangkan
konsentrasi potassium ditampilkan dalam bentuk persentase (Schlumberger,1989).
Jumlah total ketiga unsur radioaktif tersebut direkam di dalam kurva GR yang ditampilkan di
Track 1 (Schlumberger,1989). Respon total tersebut dideterminasi berdasarkan kombinasi linear
dari konsentrasi potassium, uranium, dan thorium (Schlumberger,1989). Kurva GR standar
ditampilkan dalam bentuk API units. Jika diperlukan, nilai CGR juga bisa ditampilkan (lihat
gambar 4.3). Nilai tersebut merupakan jumlah sinar gamma yang berasal dari potassium dan
thorium saja, tanpa uranium (Schlumberger,1989).
4.3 Log SP
Log SP adalah rekaman perbedaan potensial listrik antara elektroda di permukaan yang tetap
dengan elektroda yang terdapat di dalam lubang bor yang bergerak turun naik (Harsono,1997).
Potensial listrik tersebut disebut ‘potentiels spontanes’, atau ‘spontaneous potentials’ oleh Conrad
Schlumberger dan H.G. Doll yang menemukannya (Rider,1996). Supaya SP dapat berfungsi,
lubang harus diisi oleh lumpur konduktif.
Secara alamiah, karena perbedaan kandungan garam air, arus listrik hanya mengalir di sekeliling
perbatasan formasi di dalam lubang bor (Harsono,1997). Pada lapisan serpih, tidak ada aliran
listrik sehingga potensialnya konstan. Hal ini menyebabkan kurva SP-nya menjadi rata dan
menghasilkan garis yang disebut sebagai garis dasar serpih (shale base line) (lihat gambar 4.4).
Kurva SP akan menunjukkan karakteristik yang berbeda untuk tiap jenis litologi (lihat gambar
4.5)
Gambar 4.4 Pergerakan kurva SP di dalam lubang bor
Saat mendekati lapisan permeabel, kurva SP akan mengalami defleksi ke kiri (negatif) atau ke
kanan (positif). Defleksi ini dipengaruhi oleh salinitas relatif dari air formasi dan lumpur
penyaring (Harsono,1997). Jika salinitas air formasi lebih besar daripada salinitas lumpur
penyaring maka defleksi akan mengarah ke kiri sebaliknya apabila salinitas lumpur penyaring
yang lebih besar daripada salinitas air formasi maka defleksi akan mengarah ke kanan
(Harsono,1997).
Penurunan kurva SP tidak pernah tajam saat melewati dua lapisan yang berbeda melainkan selalu
mempunyai sudut kemiringan (Harsono,1997). Jika lapisan permeabel itu cukup tebal maka kurva
SP menjadi konstan bergerak mendekati nilai maksimumnya sebaliknya bila memasuki lapisan
serpih lain maka kurva akan bergerak kembali ke nilai serpih secara teratur (Harsono,1997).
Kurva SP tidak dapat direkam di dalam lubang bor yang diisi dengan lumpur non-konduktif, hal
ini karena lumpur tersebut tidak dapat menghantarkan arus listrik antara elektroda dan formasi
(Harsono,1997). Selanjutnya apabila resistivitas antara lumpur penyaring dan air formasi hampir
sama, defleksi akan sangat kecil dan kurva SP menjadi tidak begitu berguna (Harsono,1997).
4.4 Log Densitas
kuarsa. Apabila porositasnya 10%, bulk density batupasir tersebut tinggal 2,49g/cm , hasil rata –
3
rata dari 90% butir kuarsa (densitasnya 2,65g/cm ) dan 10% air (densitasnya 1,0g/cm )
3 3
(Rider,1996).
Prinsip Kerja
Sebuah sumber radioaktif yang diarahkan ke dinding bor mengeluarkan sinar gamma berenergi
sedang ke dalam formasi (Schlumberger,1989). Sinar gamma tersebut bertumbukan dengan
elektron yang ada di dalam formasi. Pada tiap kali tumbukan, sinar gamma kehilangan sebagian
energinya yang diserap oleh elektron (Schlumberger,1989). Sinar gamma tersebut terus bergerak
dengan energinya yang tersisa. Jenis interaksi ini dikenal sebagai hamburan Compton
(Schlumberger,1989). Hamburan sinar gamma tersebut kemudian ditangkap oleh detektor yang
ditempatkan di dekat sumber sinar gamma. Jumlah sinar gamma yang kembali tersebut kemudian
digunakan sebagai indikator dari densitas formasi (Schlumberger,1989).
Nilai hamburan Compton dipengaruhi oleh jumlah elektron yang di dalam formasi
(Schlumberger,1989). Sebagai akibatnya, respon density tool dibedakan berdasarkan densitas
elektronnya (jumlah elektron tiap centimeter kubik). Densitas elektron berhubungan dengan true
bulk density yang bergantung pada densitas matriks batuan, porositas formasi, dan densitas fluida
yang mengisi pori (Schlumberger,1989).
Perlengkapan
Log Neutron digunakan untuk mendeliniasi formasi yang porous dan mendeterminasi
porositasnya (Schlumberger,1989). Log ini mendeteksi keberadaan hidrogen di dalam formasi.
Jadi pada formasi bersih dimana pori – pori telah terisi oleh air atau minyak, log neutron
merefleksikan porositas yang terisi oleh fluida (Schlumberger,1989).
Zona gas juga dapat diidentifikasi dengan membandingkan hasil pengukuran log neutron dengan
log porositas lainnya atau analisis core (Schlumberger,1989). Kombinasi log neutron dengan satu
atau lebih log porositas lainnya dapat menghasilkan nilai porositas dan identifikasi litologi yang
lebih akurat dibandingkan dengan evaluasi kandungan serpih (Schlumberger,1989).
Prinsip Kerja
Neutron merupakan bagian dari atom yang tidak memiliki muatan namun massanya ekuivalen
dengan inti hidrogen (Schlumberger,1989). Neutron berinteraksi dengan material lain melalui dua
cara, yaitu melalui kolisi dan absorbsi: kolisi umumnya terjadi pada tingkat energi tinggi
sedangkan absorbsi terjadi pada tingkat energi yang lebih rendah (Schlumberger,1989).
Jumlah energi yang hilang setiap kali terjadi kolisi tergantung pada massa relatif inti yang
betumbukan dengan neutron tersebut (Schlumberger,1989). Kehilangan energi terbesar terjadi
apabila neutron bertumbukan dengan material lain yang memiliki massa sama dengannya,
misalnya inti hidrogen (Schlumberger,1989) . Tumbukan dengan inti yang berat tidak akan terlalu
memperlambat laju dari neutron. Jadi, penurunan terbesar jumlah neutron yang kembali
ditentukan oleh seberapa besar kandungan air di dalam formasi batuan tersebut
(Schlumberger,1989).
Dalam waktu beberapa mikrodetik, neutron yang telah diperlambat melalui kolisi akan bergerak
menyebar secara acak tanpa kehilangan banyak energi (Schlumberger,1989). Neutron tersebut
baru akan berhenti apabila ditangkap oleh inti dari atom seperti klorin, hidrogen, atau silikon
(Schlumberger,1989).
Saat konsentrasi hidrogen di dalam material yang mengelilingi sumber neutron besar, sebagian
besar neutron akan bergerak semakin lambat dan dapat ditangkap pada jarak yang dekat dengan
sumber (Schlumberger,1989). Sebaliknya, apabila konsentrasi hidrogennya sedikit, neutron akan
bergerak jauh dari sumbernya baru kemudian ditangkap oleh inti atom lain (lihat gambar 4.6).
Berdasarkan hal tersebut maka kandungan hidrogen di dalam suatu formasi batuan dapat
ditentukan (Schlumberger,1989).
http://www.easternutd.com/pulseneutronlogging
Peralatan
Tampilan Log
Gambar 4.6 Tampilan log densitas dan log neutron (Ellis & Singer,2008).
Log resistivitas adalah rekaman tahanan jenis formasi ketika dilewati oleh kuat arus listrik,
dinyatakan dalam ohmmeter (Schlumberger,1989). Resistivitas ini mencerminkan batuan dan
fluida yang terkandung di dalam pori-porinya. Reservoar yang berisi hidrokarbon akan
mempunyai tahanan jenis lebih tinggi (lebih dari 10 ohmmeter), sedangkan apabila terisi oleh air
formasi yang mempunyai salinitas ringgi maka harga tahanan jenisnya hanya beberapa ohmmeter
(Schlumberger,1989). Suatu formasi yang porositasnya sangat kecil(tight) juga akan
menghasilkan tahanan jenis yang sangat tinggi karena tidak mengandung fluida konduktif yang
dapat menjadi konduktor alat listrik (Schlumberger,1989). Menurut jenis alatnya, log ini dibagi
menjadi dua yaitu laterolog, dipakai untuk pemboran yang menggunakan lumpur pemboran yang
konduktif dan induksi yang digunakan untuk pemboran yang menggunakan lumpur pemboran
yang fresh mud (Harsono,1997). Berdasarkan jangkauan pengukuran alatnya, log ini dibagi
menjadi tiga yaitu dangkal (1-6 inci), medium (1,5-3 feet) dan dalam (>3 feet).
1. Alat Laterolog
Alat DLT memfokuskan arus listrik secara lateral ke dalam formasi dalam bentuk lembaran tipis
(Harsono,1997). Ini dicapai dengan menggunakan arus pengawal (bucking current) yang
berfungsi untuk mengawal arus utama (measured current) masuk ke dalam formasi sedalam-
dalamnya. Dengan mengukur tegangan listrik yang diperlukan untuk menghasilkan arus listrik
utama yang besarnya tetap, resistivitasnya dapat dihitung dengan hukum Ohm
(Schlumberger,1989).
Sebenarnya alat DLT terdiri dari dua bagian, bagian pertama mempunyai elektroda yang berjarak
sedemikian rupa untuk memaksa arus utama masuk sejauh mungkin ke dalam formasi dan
mengukur LLd, resistivitas laterolog dalam (Harsono,1997). Bagian lain mempunyai elektroda
yang berjarak sedemikian rupa membiarkan arus utama terbuka sedikit, dan mengukur LLs,
resistivitas laterolog dangkal (Harsono,1997). Hal ini tercapai karena arus yang dipancarkan
adalah arus bolak-balik dengan frekuensi yang berbeda. Arus LLd menggunakan frekuensi 28kHz
sedangkan frekuensi arus LLs adalah 35 kHz (Harsono,1997).
Bila alat DLT mendekati formasi dengan resistivitas sangat tinggi atau selubung baja, bentuk arus
DLT akan terpengaruh (Harsono,1997). Hal ini akan mengakibatkan pembacaan yang terlalu
tinggi pada LLd. Pengaruh ini dikenal dengan sebutan efek Groningen (Harsono,1997).
DLT generasi baru telah dilengkapi dengan suatu rangkaian elektronik yang mampu mendeteksi
dampak Groningen ini dengan menampilkan kurva LLg (Harsono,1997). Bila terdapat efek
Groningan biasanya pembacaan LLg tidak sama dengan LLd pada jarak anatara titik sensor dan
torpedo kabel logging (Harsono,1997).
1. Alat Induksi
Terdapat beberapa jenis alat Induksi yaitu: IRT (Induction Resistivity Tool), DIT-D (Dual
Induction Type-D), dan DIT-E (Dual Induction Type-E) (Harsono,1997). Alat-alat tersebut
menghasilkan jenis log yang berbeda pula. IRT menghasilkan ISF (Induction Spherically
Focussed), DIT-D menghasilkan DIL (Dual Induction Log) sedangkan DIT-E menghasilkan
PI (Pahsor Induction) (Harsono,1997).
Prinsip ISF Log
Sonde terdiri dari dua set kumparan yang disusun dalam batangan fiberglass non-konduktif
(Harsono,1997). Suatu rangkaian osilator menghasilkan arus konstan pada kumparan pemancar.
Berdasarkan hukum fisika kita tahu bahwa bila suatu kumparan dialiri arus listrik bolak-balik
akan menghasilkan medan magnet, sebaliknya medan magnet akan menimbulkan arus listrik pada
kumparan (Harsono,1997). Hal ini menyebabkan arus listrik yang mengalir dalam kumparan alat
induksi ini menghasilkan medan magnet di sekeliling sonde (Harsono,1997). Medan magnet ini
akan menhasilkan arus eddy di dalam formasi di sekitar alat sesuai dengan hukum Faraday.
Formasi konduktif di sekitar alat bereaksi seperti kumparan-kumparan kecil (Harsono,1997). Bisa
dibayangkan terdapat berjuta-juta kumparan kecil di dalam kimparan yang menghasilkan arus
eddy terinduksi (Harsono,1997). Arus eddy selanjutnya menghasilkan medan magnet sendiri
yang dideteksi oleh kumparan penerima. Kekuatan dari arus pada penerima sebanding dengan
kekuatan dari medan magnet yang dihasilkan dan sebanding dengan arus eddy dan juga
konduktivitas dari formasi (Harsono,1997).
Hampir setiap alat pengukur resistivitas saat ini dilengkapi dengan alat pemfokus. Alat tersebut
berfungsi untuk mengurangi pengaruh akibat fluida lubang bor dan lapisan di sekitarnya
(Harsono,1997). Dua jenis alat pungukur resistivitas yang ada saat ini: induksi dan laterolog
memiliki karakteristik masing-masing yang membuatnya digunakan untuk situasi yang berbeda
(Harsono,1997).
Log induksi biasanya direkomendasikan untuk lubang bor yang yang menggunakan lumpur bor
konduktif sedang, non-konduktif (misalnya oil-base muds) dan pada lubang bor yang hanya berisi
udara (Harsono,1997). Sementara itu laterolog direkomendasikan pada lubang bor yang
menggunakan lumpur bor sangat konduktif (misalnya salt muds) (Harsono,1997).
Alat induksi, karena sangat sensitif terhadap konduktivitas baik digunakan pada formasi batuan
dengan resistivitas rendah sampai sedang (Harsono,1997). Sedangkan laterolog karena
menggunakan peralatan yang sensitif terhadap resistivitas sangat akurat digunakan pada formasi
dengan resistivitas sedang sampai tinggi (Harsono,1997).
.
BAB V
APLIKASI WELL LOGGING DALAM EVALUASI FORMASI
Indikator yang paling dapat dipercaya terhadap keberadaan reservoar adalah dengan melihat
pergerakan dari log densitas dan log neutron, yaitu ketika log densitas bergerak ke kiri (densitas
rendah) dan bersinggungan atau bersilangan dengan kurva neutron (Darling, 2005). Pada
reservoar klastik, hampir tiap keberadaan reservoar dihubungkan dengan log gamma ray. Pada
sejumlah kecil reservoar, log GR tidak dapat digunakan sebagai indikator pasir karena kehadiran
mineral radioaktif di dalam pasir. Serpih dapat dengan jelas dikenali sebagai suatu zona ketika
log densitas berada di sebelah kanan dari log neutron, dicirikan dengan nilai unit porositas
sebesar 6 atau lebih (Darling, 2005).
Jadi crossover antara log densitas dan log neutron lebih baik digunakan untuk mengidentifikasi
reservoar. Zona gas akan menunjukkan nilai crossover yang lebih besar daripada zona air dan
minyak (Darling, 2005). Log densitas dan log neutron merupakan hasil pengukuran statistik
(diukur berdasarkan waktu kedatangan sinar gamma pada detektor yang bersifat acak) sehingga
tampilannya dapat tetap meliuk-liuk walaupun berada pada litologi yang homogen (Darling,
2005). Oleh karena itu sangat berbahaya apabila kita membuat aturan ketat bahwa kurva densitas
harus berpotongan dengan kurva neutron untuk menyatakan bahwa lapisan tersebut adalah net
sand. Untuk sebagian besar reservoar, Darling (2005) menyarankan aturan – aturan berikut ini:
Menentukan pembacaan rata-rata GR pada clean sand (GR ) dan nilai serpih (GR ).
sa sh
Jangan gunakan nilai pembacaan terbesar yang teramati tapi gunakan kenampakan secara
umum yang teramati.
Menentukan volume serpih, V sebagai (GR-GR )/(GR -GR ). Dengan membandingkan
sh sa sh sa
V terhadap respon densitas dan neutron, tentukan nilai V yang akan digunakan
sh sh
Perhitungan porositas tergantung pada jenis fluida yang ada di dalam formasi sehingga penting
bagi kita untuk tahu mengenai prinsip keberadaan dan kontak fluida tersebut di dalam formasi
(Darling, 2005). Jika tersedia informasi regional mengenai posisi gas/oil contact (GOC)
atau oil/water contact (OWC), hubungkan kedalaman OWC atau GWC tersebut terhadap
kedalaman sumur yang kita amati lalu tandai posisinya pada log (Darling, 2005).
Hal pertama yang dilakukan adalah membandingkan densitas dan pembacaan paling besar dari
log resistivitas untuk mengetahui kehadiran hirokarbon. Pada classic response, resistivitas dan
densitas akan terlihat seperti tremline (bergerak searah ke kiri atau ke kanan) untuk pasir yang
mengandung air dan membentuk kenampakan seperti cermin ( bergerak berlawanan arah, yang
satu ke kiri dan yang satu kanan) pada pasir yang mengandung hidrokarbon (Darling, 2005).
Meskipun demikian Menurut Darling (2005) tidak semua zona air dan hidrokarbon tidak
menunjukkan kenampakan seperti itu karena:
Ketika salinitas air formasi sangat tinggi, resistivitas clean sand juga akan turun
Pada shally sand zones yang mempunyai proporsi zat konduktif tinggi, resestivitasnya
akan tetap kecil walaupun berfungsi sebagai reservoar.
Jika pasir tersebut merupakan laminasi tipis yang terletak diantara serpih, maka
resistivitasnya akan tertutupi oleh resistivitas serpih sehingga nilainya akan tetap kecil
Jika sumur telah dibor dengan jauh melebihi kesetimbangan normal (very high
overbalance) maka invasi dapat menutupi respon hidrokarbon
Bila air formasi sangat murni (Rw tinggi) resistivitasnya dapat terlihat seperti
hidrokarbon padahal merupakan water-bearing zones.
Sangat penting untuk melihat nilai absolut dari resistivitas dibandingkan sekedar melihat
kenampakan kurva densitas. Bila resistiviasnya lebih besar daripada resistivitas air maka apapun
bentuk kurvanya kita patut menduga bahwa di daerah itu berpotensi mengandung hidrokarbon
(Darling,2005).
Apabila kita masih ragu di daerah tersebut ada hidrokarbon atau tidak maka kita bisa mengujinya
dengan data mud log. Meskipun demikian data mud log tidak selalu bisa digunakan untuk
mengetahui keberadaan hidrokarbon, khususnya bila pasirnya tipis danoverbalance tinggi
(Darling, 2005). Selain itu beberapa gas minor akan terlihat hanya sebagai water
bearing (Darling, 2005).
Seperti yang telah dinyatakan di awal, zona gas akan mempunyai crossover kurva neutron dan
densitas yang lebih besar daripada zona minyak (Darling, 2005). Pada very clean porous sand,
GOC akan relatif lebih mudah untuk diidentifikasi. Meskipun demikian, GOC hanya
teridentifikasi dengan benar pada sekitar 50% kasus (Darling,2005).Secondary gas caps yang
muncul pada depleted reservoir biasanya tidak bisa diidentifikasi dengan menggunakan cara ini
(Darling, 2005).. Formation pressure plotslebih bisa diandalkan untuk mengidentifikasi GOC
namun biasanya hanya berguna padavirgin reservoirs (Darling, 2005) . Berbagai variasi crossplot
diusulkan di masa lalu untuk mengidentifikasi zona gas meliputi log GR, densitas, neutron, dan
sonik namun semuanya tidak bisa dijadikan sebagai acuan (Darling,2005). Pada depleted
reservoir gas telah keluar melalui solution dari zona minyak dan tidak bisa lagi mencapai
kesetimbangan (Darling, 2005). Gas akan tetap dalam bentuk football-sized pockets yang
dikelilingi oleh minyak. Pada situasi seperti ini log dasar tidak akan bisa memberikan jawaban
yang tepat (Darling, 2005).
Cara yang paling tepat untuk mengidentifikasi zona gas adalah dengan menggunakanshear sonic
log yang dikombinasikan dengan compressional sonic (Darling, 2005). Jikacompressional
velocity (Vp) / shear velocity (Vs) diplotkan terhadap Vp, deviasi akan terlihat pada zona gas
karena Vp lebih dipengaruhi oleh gas dibandingkan Vs (Darling, 2005).
Menurut Schlumberger (1989), porositas dapat dihitung dari log densitas dengan menggunakan
persamaan:
ɸ=
dengan
Alat densitas bekerja dengan menginjeksikan sinar gamma ke dalam formasi batuan yang
kemudian menghasilkan efek Compton scattering (Schlumberger,1989). Sinar gamma tersebut
kemudian dideteksi oleh dua buah detektor. Terdapat perbedaan densitas elektron yang
disebabkan oleh perbedaan mineral sehingga sebaiknya dilakukan kalibrasi terhadap hasil
pengukuran densitas. Koreksi tersebut sebenarnya sangat kecil (kurang dari 1%) sehingga tidak
terlalu menjadi masalah (Schlumberger,1989).
Pada batupasir, rhom memiliki kisaran nilai antara 2,65 sampai 2,67 g/cc. Bila data core regional
tersedia, nilai tersebut dapat diambil dari nilai rata-rata pengukuran padaconventional core
plugs (Schlumberger,1989). Densitas fluida (rhom) tergantung pada tipe lumpur pemboran, sifat
fluida yang ada di formasi, dan sebagian invasi yang terlihat pada log densitas
(Schlumberger,1989).
Untuk menguji kelayakan nilai yang digunakan, Darling (2005) menyarankan tes berikut:
atau
S = [(R /R )*ɸ ]
w t w
m (-1/n)
dengan:
Pada porositas efektif, pengukurannya agak berbeda. Pengertian porositas efektif agak berbeda
untuk tiap orang namun menurut Darling (2005), “porositas efektif adalah porositas total
dikurangi dengan clay-bound water .“ Persamaan untuk menghitung porositas efektif adalah
sebagai berikut:
ɸ = ɸ * (1 – C*V )
eff total sh
Dengan C merupakan faktor yang tergantung pada porositas serpih dan CEC (caution exchange
capacity). Nilai C dapat diperoleh dengan menghitung porositas total dari serpih murni (Vsh=1)
dan mengatur agar ɸ menjadi nol (Darling, 2005). Meskipun demikian sejumlah ahli meragukan
eff
apakah pengkoreksian dengan menggunakan asusmsi pada serpih non-reservoar bisa digunakan
pada serpih yang bercampur pasir di reservoar (Darling, 2005). Hal ini menyebabkan sejumlah
ahli tidak merekomendasikan penghitungan porositas efektif sebagai bagian dari quicklook
evaluation (Darling, 2005).
Darling (2005) mengemukakan sejumlah alasan mengenai kelemahan penggunaancrossplot log
densitas dan neutron di dalam menghitung porositas sebagai berikut:
Log neutron dan densitas merupakan statistical devices dan sangat dipengaruhi oleh
kecepatan logging, kondisi detektor, kekuatan sumber, dan efek lubang bor. Kesalahan
ketika dua buah alat yang bersifat acak tersebut dikomparasikan jauh lebih besar daripada
ketika digunakan sendiri-sendiri.
Neutron dipengaruhi oleh kehadiran atom klorin di dalam formasi. Klorin terdapat di
dalam air formasi dan pada mineral lempung. Hal ini menyebabkan porositas yang dibaca
oleh log neutron hanya akurat pada daerah yang tidak mengandung kedua hal tersebut.
Neutron juga dipengaruhi oleh kehadiran gas tertentu
Saat dua atau lebih fluida yang tidak bisa menyatu (misalnya air dan minyak) hadir dalam formasi
batuan, kedua fluida tersebut bergerak saling mengganggu (Schlumberger,1989). Permeabelitas
efektif aliran minyak (ko) atau aliran air (kw) kemudian menjadi berkurang (Schlumberger,1989).
Selain itu jumlah permeabelitas efektif selalu lebih rendah atau sama dengan jumlah
permeabilitas absolut (k). Permeabelitas efektif tidak hanya dipengaruhi oleh batuan itu sendiri
tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah dan karakteristik fluida yang ada di dalam pori batuan
(Schlumberger,1989).
Timur
k = 100 (ɸ /S )
1/2 2,25
wi
Coastes-Dumanoir
k = (300/w ) (ɸ /S )
1/2 4 3
wi
w
Coates
k = 70 ɸ (1-S ) / S
1/2
e
2
wi wi
dengan
k = permeabelitas
ɸ = porositas
dan
K = (S -S ) /(1-S )
ro w wi
2,1
wi
2
S merupakanirreducible water saturation; dan S merupakan saturasi air sebenarnya. Saturasi air
wi w
dan
k = k k
o ro
dimana k dan k merupakan permeabelitas efektif air dan minyak (md) dan k merupakan
w o
dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai S dari reservoar lain yang berdekatan
wi
dimana ɸ1 dan S merupakan nilai porositas dan irreducible water saturation dari reservoar yang
wi1
dari perbedaan ukuran dan sortasi butir (Schlumberger,1989). Cara tersebut tidak valid digunakan
pada konglomerat atau batuan yang mempunyai sistem porositas sekunder (Schlumberger,1989).
5.5 Menghitung Saturasi
Saturasi air merupakan fraksi (atau persentase) volume pori dari batuan reservoar yang terisi oleh
air (Schlumberger,1989). Selama ini terdapat asumsi umum bahwa volume pori yang tidak terisi
oleh air berarti terisi oleh hidrokarbon (Schlumberger,1989). Mendeterminasi saturasi air dan
hidrokarbon merupakan salah satu tujuan dasar dari well logging.
Formasi Bersih
Semua determinasi saturasi air dari log resistivitas pada formasi bersih dengan porositas
intergranular yang homogen didasarkan pada persamaan Archie atau turunannya
(Schlumberger,1989). Persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
= F R /R w t
Dimana
F = a / m
Untuk Sxo, saturasi air pada zona terbilas, persamaan tersebut menjadi :
= F R /R mf xo
Dimana
R = resistivitas lumpur penyaring
mf
R = resistivitas zona terbilas
xo
0,62/ (persamaan Humble) atau F = 0,81/ (bentuk sederhana dari persamaan Humble).
2,15 2
Akurasi dari persamaan Archie bergantung pada kualitas parameter fundamental yang
dimasukkan meliputi: R , F, dan R (Schlumberger,1989). Pengukuran resistivitas dalam (induksi
w t
atau laterolog) harus dikoreksi, meliputi lubang bor, ketebalan lapisan dan invasi
(Schlumberger,1989). Log porositas yang paling sesuai (neutron, densitas, atau yang lainnya)
atau kombinasi dari pengukuran porositas dan litologi harus digunakan untuk mendapatkan nilai
porositas (Schlumberger,1989). Akhirnya nilai Rw diperoleh dengan menggunakan berbagai cara:
perhitungan dari kurva SP, katalog air, perhitungan water-bearing formation, dan ukuran sampel
air (Schlumberger,1989).
Formasi Serpih
Serpih merupakan salah satu batuan paling penting di dalam analisis log. Selain efek porositas
dan permeabelitasnya, serpih mempunyai sifat kelistrikan tersendiri yang memberikan pengaruh
besar pada penentuan saturasi fluida (Schlumberger,1989).
Efek kehadiran serpih terhadap pembacaan log bergantung pada jumlah serpihnya dan sifat
fisiknya (Schlumberger,1989). Hal tersebut juga dipengaruhi oleh bagaimana pendistribusian
serpih di dalam formasi. Dalam Schlumberger (1989) disebutkan bahwa material yang
mengandung serpih dapat terdistribusi di dalam batuan melalui tiga cara yaitu:
1. Serpih dapat hadir dalam bentuk laminasi di antara lapisan pasir. Laminasi serpih tersebut
tidak mempengaruhi porositas dan permeabelitas dari pasir yang melingkupinya. Meskipun
demikian, bila kandungan laminasi serpih tersebut bertambah dan kandungan pori-pori
berukuran sedang berkurang, nilai porositas rata-rata secara keseluruhan akan berkurang.
2. Serpih dapat hadir sebagai butiran atau nodul dalam matriks formasi. Matriks serpih
tersebut dikenal dengan istilah serpih struktural. Matriks serpih tersebut biasanya dianggap
mempunyai sifat fisik yang sama dengan laminasi serpih dan serpih masif.
3. Material serpih dapat terdistribusi di antara pasir, secara parsial mengisi ruang antar butir.
Serpih yang terdispersi di dalam pori secara nyata mengurangi permeabelitas formasi.
Semua bentuk distribusi serpih di atas dapat hadir bersamaan di dalam formasi
(Schlumberger,1989). Selama beberapa tahun terakhir berbagai model telah dikembangkan untuk
mengakomodasi kehadiran serpih di dalam formasi. Sebagian besar model tersebut
dikembangkan dengan asumsi bahwa serpih hadir di dalam formasi dalam bentuk yang spesifik
(misalnya laminar, struktural, terdispersi). Semua model yang ada dikembangkan dengan
terminologi pasir bersih menurut Archie ditambah dengan terminologi serpih
(Schlumberger,1989).
Dalam persamaan ini R merupakan resistivitas dari lapisan serpih yang berdekatan dan
sh
V merupakan fraksi serpih yang didapat dari indikator serpih total (Schlumberger,1989).
sh
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari referat ini adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi formasi batuan adalah suatu proses analisis ciri dan sifat batuan di bawah tanah
dengan menggunakan hasil pengukuran lubang sumur
2. Well logging merupakan perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan yang
diperoleh melalui pengukuran pada sumur bor
3. Terdapat dua metode well logging yaitu wireline logging dan logging while drilling
4. Terdapat beberapa jenis log antara lain log Gamma Ray, log SP, log densitas, log neutron,
dan log resistivitas
5. Aaplikasi well logging dalam evaluasi formasi antara klain adalah untuk mengidentifikasi
reservoar, mengidentifikasi jenis fluida dan kontak antar fluida, menghitung porositas,
menentukan permeabelitas, dan menghitung saturasi
DAFTAR PUSTAKA
Bateman, R.M., 1985, Open-hole Log Analysis & Formation Evaluation, International Human
Resources Development Corporation, Boston.
Darling, T, 2005, Well Logging and Formation Evaluation, Gulf Freeway, Texas.
Ellis, D. V. & Singer, J. M., 2008, Well Logging for Earth Scientist 2nd Edition, Springer,
Netherlands.
Harsono, A, 1997, Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log, Schlumberger Oilfield Services, Jakarta.
Rider, M, 1996, The Geological Interpretation of Well Logs 2nd Edition, Interprint Ltd, Malta.
Schlumberger, 1989, Log Interpretation Principles/Aplication, Schlumberger Educational
Services, Texas.
http://hznenergy.com/loggingwhiledrilling
www.easternutd.com/pulseneutronlogging