Anda di halaman 1dari 17

Keperawatan Gerontik

LAPORAN PENDAHULUAN LANSIA DENGAN HIPERTENSI


DI PUSKESMAS KARUWISI MAKASSAR

OLEH :
YENI FATMAWATI
14420192105

CI INSTITUSI CI LAHAN

(.............................) (..........................)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut WHO saat ini ada sekitar 600 juta orang di dunia berumur di atas 60
tahun. Dan tahun 2025 diperkirakan akan meningkat dua kalinya dan di
proyeksikan akan mencapai 2 miliar atau 21% dari total semua populasi. Pada
tahun 2025 di negara-negara seperti China, Brazil dan Thailand proporsi dari
orang tua akan di atas 15%, sementara di Indonesia, Colombia dan Kenya akan
meningkat 400% pada 25 tahun mendatang, hamper 8 kali lebih tinggi
dibandingkan Negara Eroa Barat.
Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 11,3 juta jiw
(6,4%) meningkat menjadi 15,3 juta (7,4%) pada tahun 2000. Diperkirakan pada
tahun 2010 akan sama dengan jumlah anak balita yaitu sekitar 24 juta jiwa
(9,77%) dari seluruh jumlah penduduk. pada tahun 2020 diperkirakan jumlah
lansia akan meningkat menjadi 28,8 juta (11,34%) dari total jumlah penduduk.
Hipertensi adalah kondisi kronis tersering yang terjadi pada lansia. WHO
menyebutkan bahwa hipertensi merupakan penyebab tersering kematian pada
negara berkembang. Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi. Selain itu,
akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertansi,
merupakan salah satu faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian
penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sering tidak menunjukkan
gejala, sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti
gangguan fungsi jantung atau stroke. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara
tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan
keluhan lain.
Tekanan darah berubah berdasarkan umur. Tekanan Darah Sistolik (TDS)
meningkat dan Tekanan Darah Diastoik (TDD) menurun dengan bertambahnya
umur, menyebabkan meningkatnya tekanan nadi pada usia lanjut. Prevalensi
Isolated Systolic Hypertension ISH) atau Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST)
juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Tekanan nadi seperti juga
TDD, adalah salah satu faktor terpenting untuk memprediksi morbiditas dan
mortalitas dari penyakit kardiovaskular. Perubahan tekanan darah ini disebabkan
karena meningkatnya kekakuan pembuluh darah arteri (arterial stiffnes), yang
menyebabkan terjadinya penurunan compliance elastisitas arteri besar.
Perubahan vascular dan neuro-humoral dengan semakin meningkatnya umur
sangat berperan pada terjadinya hipertensi pada usia lanjut, dan perubahan TDS
dan TDD pada lansia merupakan konsekuensi relative untuk terjadinya arterial
stiffnes (kekakuan arteri) dan resistensi. Faktor-faktor yang berperan untuk
terjadinya hipertensi adalah meningkatnya kekakuan arteri (khususnya pada arteri
besar), neurohormonal dan disregulasi autonom, disfungsi endotel, proses
menuanya ginjal (menurunnya kemampuan untuk mengeluarkan sodium,
rendahnya plasma renin) dan resistensi insulin.

B. Tujuan
Tujuannya adalah untuk menambah wawasan tentang penyakit hipertensi pada
lansia.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Medis
1. Defenisi hipertensi
Hipertensi secara umum dapat didefinisikan sebagai tekanan sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan diatolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan
darah manusia secara alami berfluktuasi sepanjang hari. Tekanan darah tinggi
menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten. Tekanan darah
tersebut membuat sistem sirkulasi dan organ yang mendapat suplai darah
(termasuk jantung dan otak) menjadi tegang.
Definisi hipertensi sendiri pada lansia adalah sesuai dengan pembagian
dari JNC VII, yaitu hipertensi adalah tekanan darah ≥140/90 mmHg, rata-rata
dari 2 atau lebih pengukuran, dari dua atau lebih kunjungan. Di Indonesia
istilah untuk kelompok usia lanjut belum baku, ada yang menggunakan istilah
usia lanjut ada yang memakai istilah lanjut usia.

2. Klasifikasi Hipertensi
JNC-VII mengklasifikasikan hipertensi pada usia lanjut menjadi tiga, yaitu
sebagai berikut :
a. Hipertensi sistolik saja (isolated systolic hypertension)
b. Hipertensi diastolic (Diastolic hypertension)
c. Hipertensi sistolik-diastolik.

Selain itu pengelompokan hipertensi tersebut, terdapat juga hipertensi


sekunder. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadinya karena
penggunaan obat-obatan, berbagai penyakit neurologic, gangguan ginjal,
endokrin, dan lain-lain.
3. Etiologi
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya
perubahan-perubahan pada :
a. Elastisitas dinding aorta menurun
b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunya kontraksi dan volumenya.
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kekurangan
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

4. Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi terdapat pada mekanisme yang mengatur atau
mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
vasonator. Pada medulla otak, dari pusat vasomotor inilah bermula jarak saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna,
medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre ganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion
kepembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi.
Individu dengan hipertensi sangan sensitive terhadap norepinefrin, meski
tidak diketahui dengan jelas mengapa bisa terjadi hal tersebut.
Pada saat yang bersamaan, sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang. Hal ini mengakibatkan tambahan aktifitas vasokontriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin yang menyebabkan vosi kontriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortidol dan steroid lainnya untuk memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi mengakibatkan penurunan
aliran ke ginjal dan memicu pelepasan renin. Pelepasan renin inilah yang
merangsang pembentukan angiotensin I yang akan diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat yang nantinya akan merangsang
sekresi sldosteron oleh korteks adrenal. Hormone aldosteron ini menyebabkan
retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, sehingga terjadi peningkatan
volume intra vascular. Semua faktor ini dapat mencetus terjadinya hipertensi.
Pada keadaan gerontologist dengan perubahan structural dan
fungsional sistem pembluh perifer bertanggung jawab terhadap perubahan
tekanan darah usia lanjut. Pembuluh itu antara lain aterosklerosis hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh
darah. Akibatnya akan mengurangi kemampuan aorta dan arteri besar dalam
mengakomodasi volume darah yang di pompa oleh jantung (volume
sekuncupnya) dan curah jantung pun ikut menurun, sedangkan tahanan perifer
meningkat.

5. Patoflowdiagram / penyimpangan KDM

Faktor predisposisi : usia, jenis kelamin, merokok, stress, kurang olahraga,


genetic, alkohol, konsentrasi garam, obesitas

Hipertensi

Kerusakan vaskuler pembuluh darah

Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah

Vasokontriksi

Gangguan sirkulasi → otak → resistensi pembuluh
↓ darah otak ↑
Pembuluh darah ↓
↓ Nyeri akut
Sistemik (Nyeri kepala)

Vasokontriksi

Penurunan ← Afterkoad ↑
Curah jantung ↓
Fatigue

Intoleransi Aktivitas

6. Manifestasi klinik / tanda & gejala


Hupertensi sering tidak diikuti dengan gejala, atau gejala yang timbul
bersifat samara tau tersembunyi. Diagnosis seringkali didapatkan pada saat
melakukan assesmen geriatric atau general check-up. Apabila hipertensi
terdeteksi dengan tatacara pemeriksaan yang baik dan benar, pemeriksaan
menyeluruh pada penderita harus dikerjakan baik pemeriksaan fisik, sosial
ekonomi, psikologik dan lingkungan) sehingga penatalaksanaan
berkesinambungan pada penderita dapat dikerjakan.
Manifestasi klinis hipertensi pada lansia secara umum adalah:
a. sakit kepala
b. Perdarahan hidung
c. Vertigo
d. Mual-muntah
e. Perubahan penglihatan
f. Kesemutan pada kaki dan tangan
g. Sesak napas
h. Kejang atau koma
i. Nyeri dada.

7. Komplikasi
a. Stroke
b. Infark miokard
c. Gagal ginjal
d. Gagal jantung
e. ensefalopati

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengidentifikasikan faktor resiko seperti :
hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN/ kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal.
3) Glukosa : hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal
dan ada DM.
b. CT scan : mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. EKG : dapat menunjukkan pola regangan, dimana luas, peninggi
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti batu ginjal,
perbaikan ginjal.
e. Photo dada : menunjukkan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.

9. Penatalaksanaan/ terapi Pengobatan


Adanya perdebatan tentang perlu tidaknya pengobatan hipertensi pada
usia lanjut menimbulkan beberapa persepsi. Namun demikian, penelitian di
Australia, Amerika dan Eropa menunjukkan bahwa menurunkan tekanan
darah pada hipertensi akan menurunkan kompikasi akibat hipertensi. Karena
terjadinya komplikasi dan adanya penyakit komorbid pada berbagai organ
membuat penatalaksanaan hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih rumit.
Beberapa terapi non farmakologik yang dilaksanakan pada penderita usia
lanjut meliputi :
a. Asupan garam dikurangi
b. Berhenti merokok
c. BB diturunkan bagi yang berlebihan
d. Berhenti mengonsumsi alkohol

Pengobatan hipertensi pada usia lanjut berfungsi untuk menurunkan


tekanan darah dengan memperhatikan terdapatknya penyakit komorbid dan
komplikasi organ target yang telah terjadi. Target penurunan tekanan darah
pada lansia yang sehat tetap adalah sistlik ≤ 130 mmHg, diastolic ≤ 70 mmHg
akan tetapi sasaran yang lebih realistic adalah ≤140/80-85 mmHg. Pemilihan
obat-obatan harus didasarkan pula pada kemungkinan efek samping yang
dapat memperberat gangguan pada organ target atau penyakit komorbidnya.

10. Prognosis
Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan mengonsumsi alkohol,
hiperkolestroemia, intoleransi glukosa dan berrat badan, semuanya
mempengaruhi prognosis dari semua penyakit hipertensi esensial pada lansia.
Semakin muda seseorang terdiagnosis hipertensi pertama kali, maka semakin
buruk perjalanan penyakitnya apalagi bila tidak ditangani. Di Amerika
Serikat, ras kulit hitam mempunyai angka morbiditas dan mortalitas empat
kali lebih besar dari pada ras kulit putih. Prevalensi hipertensi pada wanita
pre-menopause tampaknya lebih sedikit dari pada laki-laki dan wanita yang
telah menopause. Adanya faktor menpause independen (seperti
hiperkolestrolemia, intoleransi glukosa dan kebiasaan merokok) yang
mempercepat proses aterosklerosis meningkatkan angka mortalitas hipertensi
dangan tidak memperhatikan usia, ras dan jenis kelamin.

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko, antara lain : kegemukan, riwayat
keluarga positif, peningkatan kadar lipid serum, merokok sigaret berat,
penyakit ginjal, terapi hormone kronis, gagal jantung, kehamilan.
b. Aktivitas/Istirahat, gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup
monoton. Tanda : frekuansi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea.
c. Sirkulasi, gejala : riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung
koroner/katup dan penyakit cerebrovaskuer, episode palpitasi. Tanda :
kenaikan TD, denyutan nadi jelas dari karotis, jugularis, radialis, takikardi,
murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit pucat, sianosis,
suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian kapiler mungkin lambat/
tertunda.
d. Integritas ego, gejala : riwayat perubahan kepribadian, ansietas, faktor
stress multiple (hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan).
Tanda : letupan suasana hati, gelisah, penyempitan continue perhatian,
tangisan meledak, otot muka tegang, pernapasan menghela, peningkatan
pola bicara.
e. Eliminasi, gejala : gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau
riwayat penyakit ginjal pada masa yang lalu).
f. Makanan/cairan, gejala : makanan yang disukai yang mencakup makanan
tinggi garam, lemak serta kolestrol, mual, muntah dan perubahan BB
akhir-akhir ini (meningkat/menurun) dan riwayat penggunaan diuretic.
Tanda : barat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria.
g. Neursensori, gejala : keluhan pening/pusing, berdenyut, sakit kepala, sub
oksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontan setelah
beberapa jam), gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,
epistaksis). Tanda : status mental, perubahan keterjagaan, orientasi,
pola/isi bicara, efek, proses pikir, penurunan kekuatan genggaman tangan.
h. Nyeri/ ketidaknyamanan, gejala : angina (penyakit arteri koroner/
keterlibatan jantung), sakit kepala.
i. Pernapasan, gejala : dispnea yang berkaitan dari aktivitas/kerja takipnea,
ortopnea, dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat
merokok. Tanda : distress pernapasan/penggunaan otot aksesori
pernapasan, bunyi napas tambahan (krakties/mengi), sianosis.
j. Keamanan, gejala : gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokontriksi, hipertrofi/rigiditas ventrikuler, iskemia miokard
b. Nyeri akut (nyeri kepala) berhungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen.
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa intervensi
Keperawatan
1. Penurunan Observasi
curah jantung 1. Identifikasi tanda atau gejala primer penurunan
curah jantung (meliputi dispnea, kelelahan, edema,
ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea,
peningkatan CVP)
2. Identifikasi tanda atau gejala sekunder penurunan
curah jantung (meliputi peningkatan berat badan,
hepatomegali, distensi vena jugularis, palpitasi,
ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor intake dan output cairan
5. Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang
sama
6. Monitor saturasi oksigen
7. Monitor keluhan nyeri dada (misalnya intensitas,
lokasi, radiasi, durasi, previsitasi yang mengurangi
nyeri)
8. Monitor EKG 12 sedapan
9. Monitor aritmia (kelainan dan frekuensi jantung).
10. Monitor nilai laboraturium jantung (elektrolt, enzim
jantung, BNP, NT pro-BNP)
11. Monitor fungsi alat pacu jnatung
12. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (misalnya: beta blocker, ACE
inhibitor, calelum channel blocker, digoksin)
Terapeutik
13. Posisikan semi fowler atau fowler dengan kaki ke
bawah atau posisi nyaman
14. Berikan diet jantung yang sesuai (misalnya: batasi
asupan kafein, natrium, kolestrol, dan makanan
tinggi lemak)
15. Gunakan stocking elastis atau pneumatic intermiten,
sesuai indikasi
16. Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi
gaya hidup sehat
17. Berikan terapi reaksasi untuk mengurangi stress,
jika diperlukan
18. Berikan dukungan emosional dan spiritual
19. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen
Edukasi
20. Anjurkan aktivitas fisik sesuai toleransi
21. Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
22. Anjurkan berhenti merokok
23. Anjurkan pasien dan keluarga mengukur berat
badan harian
24. Anjurkan pasien dan keluarga mengukur intake dan
output harian
Kolaborasi
25. Kolaborasi pemberian antiaritmia
26. Rujuk ke program rehabilitasi jantung

2. Nyeri akut Observasi


1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi,
kualitasdan intensitas nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat nyeri
5. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
6. Monitor efek sampaing pemberian analgetik
Terapeutik
7. Berikan tekhnik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
8. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
9. Fasilitasi istirahat dan tidur
10. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
11. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
12. Jelaskan strategi pereda nyeri
13. Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
14. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
15. Ajarkan tekhnik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
16. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

3. Intoleransi Observasi
aktivitas 1. Identifikasi gangguan tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
2. Monitor kelelahan fisik dan emotional.
3. Monitor pola dan jam tidur
4. Monitor lokasi dan ketidak nyamanan selama
melakukan aktitas
Terapeutik
5. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
6. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
7. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
8. Fasilitasi duduk disamping tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
9. Ajarkan tirah baring
10. Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
11. Ajarkan statergi koping untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
12. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan
asupan makanan

4. Evaluasi
a. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat : tekanan darah dalam
rentang yang dapat diterima dengan pengobatan terapi diet dan perubahn
gaya hidup, tidak menunjukkan gejala angina, palpitasi atau penurunan
englihatan, kadae BUN dan kreatinin serum stabil, dan teraba denyut nadi
perifer.
b. Mematuhi program asuhan dini : minum obat sesuai resep dan melporkan
setiap ada efek samping, mematuhi aturan diet sesuai yang dianjurkan :
pengurangan natrium, kolesteol dan kelori, berlatih secara teratur dan
cukup, mengukur tekanan darahnya sendiri secara teratur, berhenti
mengkonsumsi tembakau, kafein dan alkohol, melipiuti jadwal kunjungan
kinik atau dokter.
c. Bebas dari komplikasi : tidak terjadi penurunan ketajaman penglihatan,
dasar mata tidak memperlihatkan perdarahan retina, kecepatan napas
dalam batas normal, tidak terjadi dispnue atau edema, menjaga haluaran
urin sesuai dengan masukan cairan, pemeriksaan fungsi ginjal dalam batas
normal, tidak memperlihatkan defisik motorik, bicara atau sensorik, dan
tidak mengalamii sakit kepala, pusing atau perubahan cara berjalan.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Huda.Nurarif dan Hardi.Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta:Mediaction
Publishing
Manuntung. Alfeus.(2018).Terapi Perilaku Kognitif Pada Pasien Hipertensi.Malang:
Wineka Media.
Pikir S. B, dkk.(2015).Hipertensi: Manajemen Komprehensif.Surabaya: Airlangga
University Press (AUP).
PPNI, POKJA SDKI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI.
PPNI, POKJA SIKI. (2018). Stabdar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI.
PPNI, POKJA SLKI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Sarbini. Dwi, dkk.(2019).Gizi Geriatri.Surakarta: Muhammadiyah University press

Anda mungkin juga menyukai