Anda di halaman 1dari 5

Sepasang Mata ayah

Ardina mendapati wajah orang tuanya begitu geram sekali kepadanya. Selama

ini apapun yang diminta Ardin pasti dituruti, pasti tercapai tanpa perlu merengek-

rengek terlebih dahulu, maklum anak semata wayang. Tapi ulah Ardina kali ini sudah

keterlaluan, mencoreng nama baik keluarga keluh Papanya dalam hati.

Ibunda Ardin yang masih keturunan darah biru itu, keturunan bangsawan,

sibuk mengipasi tubuhnya yang justru berkeringat dingin. Ardina yang manis, Ardina

yang imut dan masih begitu remaja, kok bisa tertimpa musibah seperti ini. Tapi mulut

wanita jawa itu justru terdiam, komat kamitpun tidak, resah telah merampoknya sejak

lama, kesadaran pun telah terjarah, seolah yang tertinggal hanyalah tubuh dan gerak

reflek tanpa perlu keinginan untuk menggerakkan.

Papa Ardin berhenti mondar-mandir tepat di wajah anaknya. Dipandanginya

Ardina yang pucat pasi. Angin berhembus diluar, daun-daun rontok, jendela

bergoyang dan “Besok kau harus menikah Ardin, secepatnya, jika bisa, malam ini

juga, dengan Aditya tentunya” udara berdesis, mata Ardin berkunang-kunang, Ardin

pingsan tanpa bisa membalas perkataan papanya, sekalipun serombongan kata telah

bersiap terlontar.

Malang 27 April 2000, dua bulan lalu. Saat itu Selorejo tengah menampakan

kemilau pesonanya yang gemericik penuh keindahan dengan desau angin sendu

merindu. Danau yang dikelilingi bukuit-bukit hijau. Ardina tengah menikmati berada

dekat di punggung Reno. Menikmati tangannya yang melingkar di pinggang Reno,

angin yang berdesis lirih dan daun-daun yang berbisik. Motor mereka melaju pelan

sepanjang jalan disisi Selorejo. Adegan seperti ini telah lama dinantikan Ardina dalam
hidupnya. Seperti halnya di film-film romantis buatan korea maupun dalam negeri. Ini

adalah sore yang sempurna dan tangan Ardina melingkar semakin erat sekaligus

mengusir hawa dingin angin liar. Pipi Ardina menempel di punggung pria itu,

menggosok halus punggung kekasihnya. Reno memang sosok yang selama ini

diidamkan olehnya. Wajahnya bulat putih dengan bola mata hitam yang tajam,

berdada bidang dan sangat atletis. Banyak sekali yang salah mengira kalau Reno itu

Indo, padahal tidak. Parfume yang dipakai Reno merasuk melalui lubang hidung

Ardina yang dianggapnya sebagai bau lelaki. Entah aroma apa.

Reno menghentikan motornya lalu mengajak Ardina turun ke rerumputan,

mencari tempat duduk yang enak sambil meninkmati kemilau cahaya matahari sore

terpantul permukaan air yang tenang.

“kapan Re kamu pindah?”

“secepatnya, ini kemauan papa, beliau dipindahtugaskan ke Jakarta”

“Ohh” Ardina mendesah kecewa.

“Aku mencintaimu Ren”

“Aku juga Ardina”

“Lalu?” ucap Ardin

“lalu?“ Reno balik bertanya sambil mengangkat bahunya. Mendadak Ardina kesal

sekali kepada pria itu. Lagaknya seperti tidak berdosa dan begitu mudah bilang

selamat tinggal. Ia ngeloyor pergi meninggalkan Reno.

***

“Hoekkkk….. Hoekk…. Hoekkkk” Ardina sedang muntah-muntah dikamar

mandinya. Matanya berair, hidungnya berair dan pikirannya kacau. Ia terus berfikir
tentang Reno. Segera menemui Reno adalah satu-satunya hal yang sangat

diinginkannya saat itu. Rasanya dunia sedang berkomplot melakukan segala hal buruk

kepada Ardina, Reno satu-satunya tempat berlindung. Reno yang kuat, Reno yang

tampan, Reno yang sempurna.

Hari-hari berikutnya diisi Ardin dengan mengurung diri dalam kamar. Kamar

Ardin yang bercat serba Pink tiba-tiba menjadi begitu membosankan dan perlahan

semakin mirip penjara. Pintu yang sengaja dikunci dari dalam kini mulai digedor-

gedor Papa dan ibunya.

“Ardin sayang, buka pintunya nak, kamu kenapa sayang?” suara ibunya. Ardin tidak

menjawab.

“Ardin, kau belum keluar kamar sejak pagi, belum makan, keluarlah Nak!!!”suara

Papanya. Ardin Diam.

“Ayolah Nak, bicarakan baik-baik jika punya masalah, ceritakan pada kami orang

tuamu, kamu minta apapun akan kami berikan!!!” suara Papanya lagi. Kali ini Ardin

tersenyum, “betulkah Papa?apapun yang kuminta bakal dikabulkan?” suara Ardin

menjawab, seketika Papanya sumringah, “Iya Ardin, apapun, apapun sayang”

Ardin membuka kamar, memperlihatkan wajah pucat pasi karena sejak pagi belum

makan dan muntah-muntah beberapa kali.

Papa Ardin melipat tangan, menunggu dengan cemas apa yang diinginkan

putrinya serta permasalahan apa yang sedang dihadapinya. Ibu Ardin, telah menjadi

kebiasan untuk berkipas-kipas disaat resah, semacam bahasa tubuh yang dipelajari

dari ibunya yang masih seorang Roro.

Ardin menarik nafas, menahannya, lalu mengeluarkan dua kata, “Aku hamil” .

Ia terdiam menunggu reaksi Papanya. Sudut matanya mencuri-curi pandang, tidak


berani langsung bertatap mata. Papanya masih melipat tangan dan ibunya masih

kipas-kipas. “Lalu?”akhirnya suara Papa keluar, sambil mengangkat bahu.

“Lalu apa?” Ardin balik bertanya tidak mengerti.

“begini saja, gugurkan kandunganmu lalu menikahlah dengan Aditya, anak teman

Papa, dia bakal setuju dan menerima kamu, Papa yakin” usul Papanya enteng.

“Paaa,…” Suara Ardin menyentak. “Ardin ingin bayi ini dan Ardin bakal menikah

dengan Reno”

“Ardinnnn,…” kali ini Papanya naik pitam, balas menyentak bahkan lebih keras.

“pokoknya kamu harus menikah dengan Aditya, malam ini kalau perlu, semakin cepat

semakin baik sebelum perutmu itu tambah besar”. Ardin masih ingin balas

menyentak, tapi tubuhnya tidak kuat lagi, ia pingsan.

***

“Ardin, bangun Ardin Papa sudah menelpon Aditya beserta keluarganya,

penghulu juga sedang dalam perjalanan kesini, kamu bakal menikah, cepatlah

bangun!” Ibu Ardin menepuk-nepuk pipi anaknya sambil sesekali memercikkan air.

Perlahan mata Ardin terbuka juga. Papanya betul-betul serius dengan

ucapannya, malam ini menikah, bagaimana mungkin. Dengan kalut Ardina

mengambil pisau dan meletakkannya di pergelangan tangan, mengancam bunuh diri

jika tidak mengijinkannya kawin dengan Reno. “pokoknya harus Reno Papa, aku

tidak mau sama yang lain, aku mau Reno” Papanya yang berada di sudut pintu

tergagap “oke oke kalau itu maumu, Papa telpon Ujang buat menjeput Reno, letakkan

dulu pisaunya Ardin sayang”. Papa Ardin memencet nomor telpon Ujang dan

berbicara dengannya sejenak sambil meyakinkan Ardin, segera menyuruhnya

menjemput Reno.
Ruangan tamu membisu. Ardin telah meletakkan pisaunya. Ia berdandan

sekenanya tetapi cantik. Ruangan ditata rapi untuk sebuah pernikahan.

Lampu sorot mobil menyilaukan mata Ardina yang sedang menunggu dalam

cemas. Ujang turun dengan tergesa-gesa membuka pintu belakang, ia menyeret

sesosok tubuh yang berlumuran darah. Jantung Ardin berdegub semakin kencang.

“Dia melarikan diri tadi, celakanya langsung tertabrak sedan, dua kakinya remuk”

kata Ujang. Nafas Reno tersenggal-senggal, bajunya morat-marit, berlumuran darah

dan pastinya lumpuh.

Ardina tertegun pahit, memandang berkeliling, sampai pandangan matanya

berhenti pada sepasang mata hitam, tenang dengan sekilas sinar ketegaan didalamnya,

yang kemudian balas memandangnya, “Menikahlah dengan Aditya”.

Anda mungkin juga menyukai