Melaksanakan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land rent) yang kemudian
meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang.
Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah. Oleh karena
itu, sudah selayaknya rakyat menjadi penyewa dengan membayar pajak sewa dari
tanah yang diolahnya.
Pajak dipungut perorangan, meski dalam praktiknya per desa. Jumlah pungutannya
disesuaikan dengan jenis dan produktivitas tanah.
Beban pajak ini memberatkan rakyat. Yang tak sanggup membayar dengan uang, membayar
dengan beras.
Pajak yang dibayar dengan uang diserahkan kepada kepala desa untuk kemudian disetorkan
ke kantor residen. Sedangkan pajak yang berupa beras dikirim ke kantor residen setempat
oleh yang bersangkutan atas biaya sendiri.
Kebijakan pemungutan pajak ke residen itu untuk mengurangi ulah penguasa setempat yang
sering memotong atau mengurangi penyerahan hasil panen.
Sebab, para pejabat pribumi sudah dialihfungsikan menjadi pegawai pemerintah yang digaji.
- Bagi petani yang tak punya tanah juga diwajibkan membayar pajak kepala.
- Penerapan sistem perdagangan bebas
Pada 1836 Van Bosch bertujuan menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat eksportir produk
pertanian yang nanti keuntungannya dikantongi oleh Belanda. Tanam paksa yang dilakukan
memang untuk memenuhi permintaan pasar di luar negeri.
Seperti produk kopi, gula, indigo, tembakau, teh, lada, kayu manis yang dihasilkan dari
berbagai wilayah di Indonesia. Belanda tidak berinteraksi langsung dengan petani, mereka
menggunakan bupati dan kepala desa untuk berkoordinasi proyek ini.
Petani saat itu juga memproses hasil taninya, jadi tidak hanya mentah. Petani juga
mengelola pabrik yang sebenarnya sudah dibangun oleh Belanda. Kemudian para petani
juga mendapatkan bayaran dengan sistem fluktuasi harga jual di pasaran.
(https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5135230/sejarah-ekonomi-indonesia-
sejak-zaman-belanda-dan-pascakolonial?single=1)
Hal ini karena sistem ekonomi Indonesia yang sudah dijalankan sebelum merdeka berhenti
dan membutuhkan arah baru. Mulai dari perkebunan yang pernah jadi andalan, pertanian
yang pernah swa sembada merosot tajam dan semakin bertambah sehingga semakin
memperbesar tekanan terhadap sumber-sumber bahan pangan.
(G. Moedjanto. 1988. Indonesia Abad ke-20. Yogyakarta : Kanisius. hlm. 19-20
2)
(A. Daliman. 2001. Sejarah Indonesia Abad 19- Awal Abad 20. Yogyakarta : FIS
UNY. hlm. 47)
- Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Agraria tahun 1870, yang isinya :
a. Di satu pihak Undang Undang Agraria itu bertujuan melindungi petani-petani
Indonesia terhadap kehilangan hak milik atas tanah mereka terhadap orang-
orang asing,
b. di pihak lain Undang-Undang tersebut membuka peluang bagi orang-orang asing
untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia bagi kepentingan perkebunan.
- Demikianlah sejak tahun 1870 industri-industri perkebunan Eropa mulai masuk ke
Indonesia.
- Dengan dibebaskannya kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintah
serta penghapusan unsur paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong
perkembangan ekonomi Hindia-Belanda. Undang- undang Agraria tahun 1870
membuka Jawa bagi perusahaan swasta.
- Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Hanya orang-orang
Indonesialah yang dapat memiliki tanah, tetapi orang-orang asing diperkenankan
menyewanya dari pemerintah sampai selama tujuh puluh lima tahun atau dari para
pemilik pribumi untuk masa paling lama antara lima dan dua puluh tahun.
- Perkebunan swasta kini dapat berkembang di Jawa maupun di daerah-daerah luar
Jawa.
- Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran dengan
kapal uap dari waktu itu mendorong lebih lanjut perkembangan swasta dengan
semakin membaiknya sistem perhubungan dengan Eropa.
- Perbaikan sistem perkapalan juga dapat memperlancar transportasi. Mulai tahun
1877 dibangun adanya pelabuhan, jalur kereta api, pengembangan lalu lintas, dan
telekomunikasi. Namun demikian, semua itu bagi rakyat Indonesia hanya menjadi
titik awal eksploitasi ekonomi baru oleh kaum kapitalis (modal swasta).
- Zaman liberal mengakibatkan penetrasi ekonomi yang masuk lebih dalam lagi
kedalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Jawa. Penduduk pribumi di
Jawa mulai menyewakan tanah-tanah mereka kepada pihak swasta Belanda untuk
dijadikan perkebunan-perkebunan besar.
- Berkembangnya perkebunan-perkebunan tersebut memberikan peluang kepada
rakyat Indonesia untuk bekerja sebagai buruh perkebunan.
- Selain itu juga penetrasi di bidang eksport import tekstil yang mematikan kegiatan
kerajinan tenun di Jawa. Perkembangan pesat perkebunan-perkebunan teh, kopi,
tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya berlangsung antara 1870-
1885.
- Selama masa ini mereka mampu meraup keuntungan yang besar dari penjualan
barang-barang ini di pasar dunia.
(M. C. Ricklef. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : UGM Press. hlm. 190)
DAFTAR PUSTAKA :
- Daliman. 2001. Sejarah Indonesia Abad 19- Awal Abad 20. Yogyakarta : FIS UNY
- G. Moedjanto. 1988. Indonesia Abad ke-20. Yogyakarta : Kanisius
- M. C. Ricklef. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : UGM Press
https://www.kompasiana.com/rifqialfian/menilik-liberalisme-dalam-sejarah-perekonomian-
indonesia-pada-tahun-18701914_54f92114a33311ba078b46c3
Kondisi Ekonomi pada Masa Penjajahan Jepang Dengan adanya penyerahan tanpa
syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten kepada tentara ekspedisi Jepang di
Bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura pada 8 Maret 1942 menandai
berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia sekaligus menandai
dimulainya masa pendudukan militer Jepang.
Jepang membentuk pemerintahan sementara dengan membagi wilayah Indonesia
menjadi tiga wilayah pemerintahan militer yang masing-masing berpusat di
Bukittinggi, Jakarta, dan Makassar. Sesuai dengan Osamu Serei (Undang-undang
yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenambelas) No. 1, pasal 1, tahun 1942,
jabatan Gubernur Jenderal pada masa pemerintahan Hindia Belanda dihapuskan
dan segala kekuasaannya dipegang oleh panglima tentara Jepang di Jawa. Dilihat
dari undang-undang tersebut, pemerintah militer Jepang ingin terus menggunakan
pemerintahan sipil yang lama beserta para pegawainya. Hal ini ditujukan agar
pemerintahan dapat dijalankan terus dan kekacauan dapat dicegah. Bedanya
hanyalah bahwa pimpinan dipegang oleh tentara Jepang, baik pusat ataupun di
daerah. Gunseibu atau koordinator pemerintahan militer setempat memiliki tugas
untuk memulihkan ketertiban dan keamanan serta menanamkan kekuasaan yang
sementara lowong. Mereka juga diberi wewenang untuk memcat para pegawai
Belanda dan membentuk pemerintahan setempat. Usaha ini berjalan kurang lancar
dikarenakan Jepang mengalami kekurangan tenaga pemerintahan, sehingga
mereka terpaksa mengangkat pegawai-pegawai bangsa Indonesia, seperti di Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Dengan demikian, pihak Indonesia memperoleh
keuntungan berupa pengalaman pemerintahan. Dengan diangkatnya pegawai-
pegawai Indonesia, pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan undang-undang
tentang peraturan gaji pegawai negeri dan lokal. Gaji para pegawai tersebut
mendapat potongan yang cukup besar dan ditetapkan pula untuk tidak memberikan
gaji kepada pegawai Indonesia melebihi f.500. Selain itu, diberlakukan peraturan lain
yang sifatnya men”jepangkan” Indonesia seperti bendera Jepang yang boleh
dipasang pada hari-hari besar, lagu kebangsaaan yang boleh diperdengarkan
hanyalah Kimigayo, serta diberlakukannya waktu (jam) Jepang dan tarikh Sumera.
Dalam hal keuangan, ditetapkan bahawa untuk kepentingan jual beli dan
pembayaran lainnya, mata uang yang berlaku adalah uang rupiah Hindia Belanda.
Pemakaian mata uang lain dilarang. Keluarnya UU No. 27 (tentang aturan
pemerintahan daerah) dan UU No. 28 (tentang aturan pemerintahan syu dan
tokubetsu syi) menunjukkan berakhirnya masa pemerintahan sementara. Menurut
UU No. 27, seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta
dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur pada masa pemerintahan Belanda dihapuskan. Sebagai gantinya
ditetapkan daerah pemerintahan tertinggi ialah syu, dengan jumlah di pulau Jawa
ada 17, terdiri dari Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan,
Semarang, Banyumas, dan lain-lain. Meskipun luas daerah syu sama dengan
karsidenan dahulu, namun fungsi dan kekuasaannya berbeda. Seorang pemimpin
syu memiliki kekuasaan yang sama dengan gubernur, walaupun daerahnya seluas
residentie. Sedangkan di Sumatra terbentuk 10 karesidenan (syu), yakni Aceh,
Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang,
Lampung, dan Bangka Biliton. Perang Pasifik semakin melemahkan Angkatan
Perang Jepang membuat mereka mengubah sikapnya terhadap negeri-negeri yang
didudukinya. Jepang memberikan kesempatan kepada orang-orang Indonesia untuk
turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Dibentuk juga Badan
Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), sidang pertama menghasilkan jawaban
berupa kehendak Pemerintah Pendudukan Jepang supaya seluruh potensi kerja dan
produksi dikerahkan guna kepentingan perang guna mnecapai kemenangan dalam
“Perang Asia Timur Raya”. Pada masa inilah kekayaan rakyat dikuras habis.
Keadaan ekonomi sangat parah, segala hasil produksi disedot untuk kepentingan
perang. Kemelaratan berkecamuk dan kelaparan berjangkit hampir seluruh
Indonesia. Jepang memerlukan banyak tenaga kasar untuk membangun prasarana
perang seperti kubu-kubu, jalan raya, lapangan udara, dan lain-lain. Selain itu
dibutuhkan juga tenaga kasar untuk bekerja di pabrik-pabrik dan pelabuhan.
Tenaga-tenaga itulah yang disebut dengan romusha. Pada mulanya tugas-tugas
yang dilakukan itu bersifat sukarela dan pengerahan tenaga tidak sukar dilakukan,
karena masih terpengaruh oleh propaganda “untuk kemakmuran bersama Asia
Timur Raya”. Namun, semakin lama pengerahan tenaga ini berubah menjadi
paksaan. Mereka pada umumnya adalah para petani desa, sehinggal hal ini
berpengaruh terhadap keadaan ekonomi desa. Kesehatan para tenaga tersebut
tidak dijamin, makanan yang tidak cukup, dan pekerjaan yang terlalu berat. Timbul
ketakutan di kalangan penduduk, hal ini membuat Jepang membuat propaganda
dengan menjuluki mereka “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja” yang
digambarkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tuga sucinya untuk
memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pengerahan tenaga romusha tersebut
telag membawa akibat jauh pada struktur sosial di Indonesia. Banyak pemuda yang
lari dari desa menuju kota untuk menghindari romusha. Keluarnya para pemuda
tersebut memberikan pandangan baru kepada mereka tentang dunia di luar
desanya. Jepang menganggap Asia Tenggara (yang disebut Jepang “Wilayah
Selatan”) sangatlah penting karena terdapat sumber-sumber bahan mentah untuk
industri perang, terutama minyak bumi. Jepang membagi “Wilayah Selatan” menjadi
wilayah A dan B dengan maksud menguasai wilayah tersebut dan memotong garis
perbekalan musuh pada wilayah tersebut. Rencana ini dilaksanakan dalam dua
tahap, tahap pertama berupa penguasaaan dan tahap kedua merupakan rencana
jangka panjang, yaitu menusun kembali struktur ekonomi wilayah tersebut di dalam
rangka pemenuhan kebutuhan bahan-bahan untuk perang. Struktur ekonomi yang
direncanakan akan bertumpu kepada wilayah ekonomi yang sanggup memnuhi
kebutuhan sendiri, yang diberi nama Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih semua kegiatan dan
pengendalian ekonomi. Langkah pertama adalah rehabilitasi prasarana ekonomi
seperti jembatan, alat-alat transpor, telekomunikasi, dan lainnya yang bersifat fisik.
Beberapa peraturan yang bersifat kontrol terhadap kegiatan ekonomi dikeluarkan,
termasuk didalamnya pengawasan peredaran barang dan pengawasan harga. Harta
milik bekas musuh atau harta yang dibiayai dengan modal musuh seperti pabrik,
bank, pertambangan, dan perusahaan menjadi milik Jepang. Kopi, teh, dan
tembakau diklasifikasikan sebagai barang kenikmatan yang kurang berguna bagi
usaha perang. Maka, perkebunan ketiga jenis tanaman ini diganti dengan tanaman
penghasil bahan makanan dan tanaman jakarak untuk pelumas. Perkebunan seperti
kina dan karet sangat diperhatikan oleh Jepang karena dianggap vital bagi perang.
Gula juga menjadi industri yang diusahakan oleh Jepang. Gula di Jawa di ekspor ke
Jepang dan Taiwan. Persediaan gula yang dianggap cukup dan menghasilkan
surplus ekspor, maka produksi gula dikurangi setiap tahunnya. Pada bidang
moneter, peemrintah pendudukan Jepang berusaha untuk mempertahanan nilai
gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya agar harga barang-barang yang
dapat dipertahankan seperti sebelum perang dan untuk mengawasi lalulintas
permodalan dan arus kresdit. Berdasarkan UU No. 13/1942, bank-bank bekas
musuh dilikuidasi seperti De Javasche Bank, Nederlansche Handels Maatschappij,
Nederlands-Indische Escompto Bank dan Batavia Bank. Kedudukan bank yang telah
dilikuidasi tersebut digantikan oleh bank-bank Jepang yaitu Yokohama Ginko, Mitsui
Ginko, Taiwan Ginko dan Kana Ginko, dibawah supervise Nanpo Keihatsu Kenso
(Perbendaharaan untuk Kemajuan wilayah Selatan). Pada bidang perpajakan
diadakan pemungutan dari berbagai sumber, termasuk diantaranya pajak
penghasilan. Antara orang Eropa dengan orang Cina terdapat perbedaan
pemungutan pajaknya, yaitu berbanding 70 dan 35 kali dari jumlah yang dibayarkan
pada masa Hindia Belanda. Selain itu, pada periode ini perdagangan mengalami
kelumpuhan akibat menipisnya persediaan. Jepang membagi jenis barang menjadi
dua golongan: golongan pertama adalah barang-barang yang langsung
kegunaannya bagi usaha perang, sedangkan golongan kedua adalah barang yang
menyangkut kehidupan dan kebutuhan rakyat. Pada masa perang, sector impor dan
ekspor lumpuh akibat dari blockade yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Salah satu
ciri dari ekonomi perang adalah adanya pembatasan-pembatasan dan penguasaan
factor-faktor produksi oleh pemerintah. Puncaknya pada tahun 1944, ketika perang
menginjak tingkat yang kritis, tuntutan kebutuhan bahan baku meningkat. Pada
tingkat inilah pengerahan kebutuhan perang meningkat. Jepang mengadakan
kampanye pengerahan barang untuk menambah tenaga perang. Salah satu
usahanya untuk memperbesar produksi hasil bumi. Dengan jalan membuka tanah
baru terutama bekas perkebunan dan memanfaatkan tanah lainnya untuk ditanami.
Akibatnya terjadi pengrusakan hutan-hutan. Di beberapa daerah terdapat kewajiban
untuk menanam padi dan diserukan untuk menebang tanaman kenikmatan seperti
kopi dan teh. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah Jepang memberikan
bimbingan kepada para petani melalui para penyuluh pertanian, sehingga secara
tidak langsung memperkenalkan cara bertani modern. Rakyat dituntut untuk
menyetor padi dan menaikkan produksi padi, mereka masih dibebani pekerjaan
tambahan yang bersifat wajib seperti menanam dan memelihara jarak. Tak jarang
banyak dari mereka yang melakukan perlawanan. Mereka juga dipaksa untuk
menjadi romusha. Akibatnya, rakyat mengalami kesengsaraan yang berlipat ganda,
penyakit akibat kekurangan gizi merajalela, ditambah timbulnya bencana alam.
Pemasukan pemerintah Jepang terbatas hanya pada pungutan pajak dan penjualan
hasil perkebunan. Sedangkan, pengeluaran untuk kebutuhan perang begitu besar.
Sehingga, untuk menutupnya, pemerintah Jepang mengeluarkan uang baru.
Sirkulasi uang yang begitu besar membuat pemerintah Jepang mengadakan
kampanye menabung, untuk menyedot sebagian uang beredar yang selanjutnya
akan digunakan untuk keperluan perang. Selanjutnya, bidang perdagangan
dimonopoli oleh perusahaan swasta Jepang, seperti Mitsui Kabushiki Kaisha, Osaka
Reina Kabushiki Kaisha. Monopoli dilakukan terhadap pembelian, penjualan,
pembagian barang-barang yang berasal dari kumiai. Para pedagang pribumi diawasi
secara keras, barang yang dijual harus didaftar dan dilaporkan hasil penjualannya.
Masa penjajahan Jepang adalah yang terburuk dibandingkan masa penjajahan
Belanda. Pada masa ini, berbagai kebijakan dibuat yang berakibat pada
kesengsaraan yang dialami oleh rakyat Indonesia. Keberadaan Jepang di Indonesia
hanya untuk menguras habis baik sumber daya alam maupun manusinya yang
digunakan untuk kepentingan mereka di Perang Asia Timur Raya.