Anda di halaman 1dari 27

PERPAJAKAN LANJUTAN

CHAPTER VI
(ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN & PERLAKUAN AKUTANSI PEMBUKUAN)

Diajukan oleh:
Taftani Aprilito (123011901070)
Camelia Mayang Susanti (12311911013)
Johanna Della (12311911033)

Program Studi Magister Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Trisakti
2020

1. Investasi Asing (PMA)


Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur
penanaman modal di Indonesia, termasuk untuk PMA. Lebih lanjut dalam beleid
disebutkan penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing,
baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan
penanam modal dalam negeri. Penanam modal asing mengacu pada perseorangan, badan
usaha, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di Tanah Air,
sedangkan modal asing sebagai modal yang dimiliki oleh negara, perseorangan warga
negara, badan usaha, badan hukum asing dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian
atau seluruh modalnya dimiliki pihak asing.

Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk 2 hal, yaitu


untuk mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif dan mempercepat
peningkatan penanaman modal. Dalam praktiknya, pemerintah tidak membedakan
perlakuan antara PMDN dan PMA.

Sebagai penanam modal asing, pemerintah memberikan fasilitas tambahan bagi


warga negara asing, seperti pemberian izin tinggal terbatas selama 2 tahun, pemberian
alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap jika sudah tinggal di Indonesia
selama 2 tahun berturut-turut, pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali
perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dengan masa berlaku 1 tahun terhitung
sejak izin tinggal terbatas diberikan, pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali
perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dengan masa berlaku 2 tahun terhitung
sejak izin tinggal terbatas diberikan, dan pemberian izin masuk kembali untuk beberapa
kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap dengan masa berlaku 2 tahun terhitung
sejak izin tinggal tetap diberikan.

Syarat Mendirikan Perusahaan Penanaman Modal Asing

Berikut beberapa syarat yang perlu dilengkapi oleh penanam modal asing saat
ingin mendirikan perseroan terbatas di Indonesia:

1. Memiliki kelengkapan akta pendirian perseroan terbatas, Surat Keputusan Menteri


Hukum dan HAM untuk pengesahan badan hukum perseroan terbatas, dan NPWP
perusahaan.
2. Penanam modal memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp10 miliar yang tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp50 miliar.
3. Memiliki total nilai investasi lebih dari Rp10 miliar.
4. Penanam modal asing wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sesuai dengan
sektor bisnis perusahaan.

Perbedaan Penanaman Modal Asing dan Modal Dalam Negeri


Ada beberapa poin terkait yang membedakan PMA dengan PMDN, seperti yang
tertera di bawah ini:

1. Dilihat dari Subjek Penanam Modal

Seperti yang sudah disebutkan di atas, PMA mendapatkan modal dari warga
negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan
penanaman modal di wilayah Indonesia. Penanaman modalnya bisa berupa investasi
langsung atau skema lainnya. Sedangkan untuk PMDN, modal didapat dari WNI,
badan usaha Indonesia, negara Indonesia, atau daerah lain yang melakukan
penanaman modal di wilayah Indonesia.

2. Dilihat dari Sektor Bidang Usaha

Pemerintah Indonesia tidak menutup penanaman modal asing untuk


melakukan investasinya di berbagai sektor bidang usaha, namun memberikan
batasan-batasan tertentu seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Penanaman
modal asing wajib terbuka untuk semua jenis usaha kecuali bidang usaha tertutup
seperti produksi senjata, mesiu, alat peledak, peralatan perang, dan bidang usaha yang
secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

3. Dilihat dari Sektor Ketenagakerjaan

Meski modalnya dari asing, perusahaan PMA memiliki kewajiban untuk


merekrut tenaga kerja Indonesia sebagai prioritasnya. Keberadaan PMA membuka
lapangan kerja baru yang tentunya bermanfaat bagi warga negara tempat mereka
mengembangkan bisnisnya, dalam hal ini di Indonesia. PMA wajib untuk
meningkatkan kompetensi tenaga kerjanya melalui berbagai pelatihan guna
meningkatkan kemampuan karyawan yang bersangkutan.

Kebijakan Pajak untuk PMA

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2008 yang


merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan disebutkan dalam Pasal 31A kepada wajib pajak yang melakukan
penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu diberikan fasilitas
perpajakan dalam bentuk:

1. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang
dilakukan.
2. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.
3. Kompensasi kerugian yang lebih lama, tapi tidak lebih dari 10 tahun.
4. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
sebesar 10%, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku
menetapkan lebih rendah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1967 TENTANG


PENANAMAN MODAL ASING

PASAL 15

Kepada perusahaan-perusahaan modal asing diberikan kelonggaran-


kelonggaran perpajakan dan pungutan lainnya sebagai berikut:

A. Pembebasan dari:
1. Pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka waktu tertentu yang tidak melebihi
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha tersebut mulai berproduksi;
2. Pajak dividen atas bagian laba yang dibayarkan kepada pemegang saham, sejauh
laba tersebut diperoleh dalam jangka waktu yang tidak melebihi waktu 5 (lima)
tahun dari saat usaha tersebut dimulai berproduksi.
3. Pajak perseroan atas keuntungan termaksud dalam pasal 19 sub a, yang ditanam
kembali dalam perusahaan bersangkutan di Indonesia, untuk jangka waktu
tertentu yang tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat
penanaman kembali;
4. Bea masuk pada waktu pemasukan barang-barang perlengkapan tetap ke dalam
wilayah Indonesia seperti mesin-mesin, alat-alat kerja atau pesawat-pesawat yang
diperlukan untuk menjalankan perusahaan itu;
5. Bea Meterai Modal atas penempatan modal yang berasal dari penanaman modal
asing.
B. Keringanan:
1. Atas pengenaan pajak perseroan dengan suatu tarip yang proporsionil setinggi-
tingginya lima puluh perseratus untuk jangka waktu yang tidak melebihi 5 (lima)
tahun sesudah jangka waktu pembebasan sebagai yang dimaksud dalam ad a,
angka 1 tersebut di atas;
2. Dengan cara memperhitungkan kerugian yang diderita selama jangka waktu
pembebasan yang dimaksud pada huruf a angka 1, dengan keuntungan yang harus
dikenakan pajak setelah jangka waktu tersebut di atas;
3. Dengan mengizinkan penyusutan yang dipercepat atas alat-alat perlengkapan
tetap.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 78 TAHUN 2019

Pasal 3 Ayat 1 Huruf A


Fasilitas pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari nilai
Penanaman Modal diberikan secara bertahap selama 6 (enam) tahun, yaitu setiap
tahunnya sebesar 5% (lima persen) dari jumlah nilai Penanaman Modal berupa perolehan
aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang dipergunakan untuk Kegiatan Usaha Utama.

Fasilitas ini sifatnya mengurangi penghasilan neto (dalam hal mendapat keuntungan
usaha) atau menambah kerugian fiskal (dalam hal mendapat kerugian usaha).

Contoh:

PT A melakukan Penanaman Modal sebesar Rp 100.000.000.000,- (seratus miliar) berupa


pembelian aktiva tetap berupa tanah, bangunan dan mesin. Terhadap PT A dapat
diberikan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) x Rp
100.000.000.000,- (seratus miliar) = Rp 30.000.000.000,- (tiga puluh miliar).
Pembebanannya dilakukan secara merata setiap tahunnya selama 6 (enam) tahun atau
setiap tahun dibebankan sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima miliar).

Pasal 3 Ayat 1 Huruf C

Investor dari negara X, memperoleh dividen dari Wajib Pajak badan dalam negeri
yang telah ditetapkan memperoleh fasilitas berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Apabila investor X tersebut bertempat kedudukan di negara yang belum memiliki
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Pemerintah Republik Indonesia,
atau bertempat kedudukan di negara yang telah memiliki P3B dengan Pemerintah
Republik Indonesia dengan tarif pajak dividen untuk Wajib Pajak Luar Negeri 10%
(sepuluh persen) atau lebih, maka atas dividen tersebut hanya dikenakan Pajak
Penghasilan di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen).

Namun apabila investor X tersebut bertempat kedudukan di suatu negara yang


telah memiliki P3B dengan Pemerintah Republik Indonesia dengan tarif pajak dividen
lebih rendah dari 10% (sepuluh persen) maka atas dividen tersebut dikenakan Pajak
Penghasilan di Indonesia sesuai dengan tarif yang diatur dalam P3B tersebut.

Pasal 3 Ayat 1 Huruf D

Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, kerugian fiskal pada suatu tahun pajak, dapat dikompensasikan dengan
keuntungan yang diperoleh dalam 5 (lima) tahun pajak berikutnya.

Dalam rangka mendorong Penanaman Modal, jangka waktu kompensasi kerugian


tersebut dapat diberikan lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun. Jumlah penambahan jangka waktu kompensasi kerugian tersebut dapat diberikan
dalam hal dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini.

Yang dimaksud dengan "infrastruktur sosial" merupakan sarana dan prasarana


untuk kepentingan umum dan tidak bersifat komersial.

Yang dimaksud dengan "menambah paling sedikit 300 (tiga ratus) atau 600 (enam
ratus) orang tenaga kerja Indonesia" merupakan penambahan tenaga kerja baru paling
sedikit 300 (tiga ratus) atau 600 (enam ratus) orang tenaga kerja terhitung sejak
keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, yang dapat dipenuhi secara
bertahap dan jumlah minimal tenaga kerja dimaksud harus dipertahankan dalam jangka
waktu 4 (empat) tahun berturut-turut.

2. Pembukuan Dalam Perpajakan

Pasal 28 UU 16 Tahun 2009 tentang KUP

1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan

2. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah WP
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
netto dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto dan WP orang
pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

Tujuan Pembukuan

• Untuk menghitung pajak yang terutang pada setiap tahun pajak berakhir

• Mempermudah WP dalam mengisi SPT

• Mempermudah perhitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak

• Mempermudah penghitungan besarnya Pajak Keluaran, Pajak Masukan dan PPN


yang harus disetor

• Untuk mengetahui posisi keuanagan dan hasil yang diperoleh selama satu periode
kegiatan usaha WP
PENYELENGGARAAN PEMBUKUAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA
ASING DAN SATUAN MATA UANG SELAIN RUPIAH

Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak dengan persetujuan Menteri Keuangan dalam rangka:

1. Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan Peraturan


Perundangan

2. Dalam rangka kontrak karya yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah
Republik Indonesia, selain pertambangan, minyak dan gas bumi

3. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerjasama yang beroperasi berdasarkan ketentuan


Perundangan Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi

4. Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak


Berganda (P3B) terkait.

5. Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di


Bursa Efek Luar Negeri

6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksa dana dalam denominasi
satuan mata uang dolar

7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri

Persyaratan/Ketentuan Pembukuan

a) Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau


kegiatan usaha yang sebenarnya.

b) Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan


mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan.

c) Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

d) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat
diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

e) Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

f) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban,


modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
g) Dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan serta dokumen
lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Dasar Hukum Pembukuan

• Undang-undang no 6 tahun 1983

• Keputusan mentri keuangan Nomor 609/KMK.04/1994

• Keputusan mentri keuangan Nomor 629/KMK.04/1997

• Keputusan mentri keuangan Nomor 533/KMk.04/2000

• Surat Edaran diriktur jendral pajak Nomor SE -11/P J.3/1996

• Surat Edaran diriktur jendral pajak Nomor SE -01/PJ.31/1996

• Surat Edaran diriktur jendral pajak Nomor SE -45/PJ.42/1999

3. Hubungan Istimewa

Transaksi pihak-pihak dalam hubungan istimewa dewasa ini mendapat


perhatian yang sangat serius baik dari  dalam kalangan dunia bisnis maupun dari
pihak otoritas perpajakan. Pada dasarnya transaksi antar pihak yang mempunyai
hubungan istimewa adalah suatu kesepakatan atau pengaturan bisnis yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang saling tidak bebas satu dengan lainnya untuk tujuan tertentu.
Unsur kesepakatan dalam menentukan harga transaksi adalah hal yang paling menjadi
perhatian, karena kesepakatan dalam penentuan harga dapat membawa dampak
keuntungan maupun kerugian bagi pihak-pihak terkait (stake holder).

Stake holder  yang perlu mendapat informasi yang transparan dari transaksi  di
atas antara lain, investor, kreditor, pemegang saham (share holder). Jika menyangkut
kewajiban perpajakan, keterbukaan juga diperlukan untuk otoritas perpajakan, dan
dalam hal perusahaan adalah suatu perusahaan terbuka (go public), keterbukaan juga
diperlukan bagi masyarakat luas. Dengan keterbukaan atas transaksi ini maka
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Stake Holder akan didasarkan pada
informasi yang benar. Demikian juga bagi otoritas perpajakan, adanya keterbukaan
dalam pengungkapan transaksi pihak-pihak dalam pengaruh hubungan istimewa,
dapat menjadi dasar penetapan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3.1. Definisi Transaksi Hubungan Istimewa :


Berdasarkan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 7
tentang Pengungkapan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan istimewa,
diberikan definisi sebagai berikut:

Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah pihak-pihak


yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai
kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh
signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional.

Transaksi antara pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa


adalah suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga
diperhitungkan.

Dalam penjelasan definisi tersebut diuraikan lebih lanjut bahwa termasuk


sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah perusahaan
dibawah pengendalian satu atau lebih perantara (intermediaries), perusahaan
asosiasi (associated company); perorangan yang memiliki hak suara yang
berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat ; karyawan kunci; 
dan  perusahaan yang dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh
setiap orang yang berpengaruh signifikan.

Definisi yang sama juga diberikan oleh International Financial Statement


Standar   sebagai berikut : 

A related party is a person or entity that is related to the entity that is


preparing its financial statements (referred to as the 'reporting entity') [IAS
24.9].

A related party transaction is a transfer of resources, services, or


obligations between related parties, regardless of whether a price is charged.
[IAS 24.9]

Dalam Standar Laporan Keuangan Internasional juga mensyaratkan


adanya pengungkapan (Disclosure ) jika terjadi transaksi hubungan istimewa,
sebagai berikut,Regardless of whether there have been transactions between a
parent and a subsidiary, an entity must disclose the name of its parent and, if
different, the ultimate controlling party. If neither the entity's parent nor the
ultimate controlling party produces financial statements available for public use,
the name of the next most senior parent that does so must also be disclosed. [IAS
24.16]
Transaksi hubungan istimewa dapat terjadi antara pihak-pihak dalam
wilayah suatu negara (domestic transaction) atau melewati lintas batas negara
(cross border transaction). Transaksi secara domestik terjadi jika terjadi transfer
sumberdaya atau kewajiban antara satu pihak dengan pihak yang lain, keduanya
masih berada dalam hanya dalam lingkup batas wilayah suatu negara. Karena
masih dalam wilayah kedaulatan suatu negara, tentunya masih tunduk pada
ketentuan hukum dan peraturan yang sama. Lain halnya jika transaksi melintasi
batas wilayah negara, akan membawa permasalahan yang lebih kompleks,
mengingat pada suatu transaksi tersebut akan bersentuhan dengan aturan hukum
dari negara-negara yang berbeda.

3.2. Aspek Perpajakan dalam Transaksi hubungan istimewa

Dalam ketentuan peraturan perpajakan, transaksi hubungan  istimewa


mendapat perhatian yang khusus, terlebih jika transaksi tersebut disinyalir
dilakukan untuk tujuan penghindaran pajak dengan cara melaporkan penghasilan
kurang dari yang semestinya atau pembebanan biaya yang tidak wajar. Transaksi
hubungan istimewa dapat juga menyebabkan penentuan harga penyerahan sebagai
dasar perhitungan Pajak Pertambahan Nilai menjadi lebih kecil dari yang
semestinya. Walaupun sebenarnya ketentuan perpajakan kurang berimbang,
karena hanya menitikberatkan pada transaksi yang berakibat berkurangnya
potensi penerimaan pajak, akan tetapi tidak mengatur jika transaksi hubungan
istimewa tersebut mengakibatkan penghasilan menjadi lebih besar atau
pembebanan biaya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan transaksi dengan
menggunakan harga pasar wajar.

Hubungan Istimewa menurut ketentuan peraturan perundang-undangan


pajak diatur dalam:

1. Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai
telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 28 Tahun 2007 sebagai
berikut:

Hubungan istimewa dianggap ada apabila:

 Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung


paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
 Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
 terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

2. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 8 tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2010, sebagai berikut:

Hubungan istimewa dianggap ada apabila:

 Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar


25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha lain, atau
hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih pada dua pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan
antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir
 Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha
berada di bawah penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; atau
 Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat

3. Pasal 9 ayat (1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan


mitra perjanjian, antara lain sebagai berikut:

Perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, apabila:

(a) suatu perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan turut
berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen,
pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara Pihak lainnya pada
Persetujuan, atau

(b) Terdapat orang/badan yang sama yang turut berpartisipasi secara langsung
maupun tidak langsung dalam manajemen, pengawasan, atau modal suatu
perusahaan dari Negara Pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari
Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, dan dalam tiap kasus di atas, terdapat
kondisi-kondisi yang dibuat atau diberlakukan diantara kedua perusahaan
dimaksud dalam hubungan dagang atau hubungan keuangannya yang berbeda
dengan kondisi-kondisi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan yang
mempunyai kedudukan bebas, maka atas laba yang karena kondisi- kondisi
tadi, tidak diakui, dapat ditambahkan pada laba perusahaan tersebut dan
dikenakan pajak.

Ketentuan perpajakan terhadap wajib pajak, pengusaha atau


perusahaan yang memiliki transaksi hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud di atas adalah:

a. Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam melakukan


transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
b. Mengungkapkan transaksi-transaksi yang dilakukannya dalam lampiran
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh
c. Wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan perhitungan kembali
apabila Transaksi hubungan istimewa tidak menerapkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha secara benar.
3.3. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle) dalam
transaksi Hubungan Istimewa
Wajib Pajak dalam melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa harus menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's
length principle). Dalam Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha penetapan harga dan
laba transaksi haruslah sama dan sebanding antara transaksi dengan pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa dengan pihak-pihak yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa. Sama dan sebanding tidaklah dalam arti sama persis, akan tetapi terdapat
batasan-batasan rentang yang wajar.

Batasan rentang wajar memang tidak diberikan batasan yang pasti, tapi kalau
merujuk pada ketentuan umum seperti yang di tetapkan dalam PSAK, batasan wajar
dapat diartikan dalam batasan yang tidak material (immaterial items). Batasan ini
dapat juga diartikan sebagai jumlah yang tidak signifikan terhadap keseluruhan
transaksi. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 43/PJ/2010 tanggal 6
November 2010 menetapkan batasan material adalah transaksi yang tidak melebihi
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak perlu dilakukan penerapan prinsip
penerapan kewajaran dan kelaziman usaha, tapi cukup dengan membukuan seperti
cara biasa.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 43/PJ/2010 tanggal 6


November 2010 diatur langkah-langkah dalam penerapan-penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha, sebagai berikut :

a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;


b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis
kesebandingan  dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi
yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba
Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Analisis kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi
dalam kedua jenis transaksi dimaksud. Dalam langkah ini juga ditentukan data
pembanding yang berupa data pembanding internal dan eksternal. Data pembanding
internal didapatkan dari data perusahaan sendiri atas transaksi yang tidak dipengaruhi
hubungan istimewa, dan data eksternal adalah data perusahaan lain atas transaksi
sejenis yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Penetapan Transaksi sejenis
dilakukan dengan memperhatikan kondisi materialitas dan signifikan. Data
pembanding internal lebih diprioritaskan penggunaannya dibandingkan data
pembanding eksternal.

Dalam analisis kesebandingan ada faktor-faktor yang mempengaruhi


kesebandingan yaitu karakteristik barang/harta dan jasa, fungsi masing-masing pihak
yang melakukan transaksi ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, keadaan
ekonomi, dan strategi usaha. Karakteristik barang dan jasa merupakan sifat fisik dan
karakternya. Sifat ini harus dapat dibandingkan secara signifikan untuk mendapatkan
data sebanding. Fungsi masing-masing pihak harus dapat mendeskripsikan apa kaitan
penyerahan antar pihak tersebut, dapat dari rangkaian fungsi produksi sampai
distribusi dan penyediaan jasa. Dalam melakukan penilaian dan analisis atas
kontrak/perjanjian harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko,
dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang
meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis. Keadaan Ekonomi yang relevan, seperti
keadaan geografis, luas pasar, tingkat persaingan, tingkat permintaan dan penawaran,
serta tingkat ketersediaan barang atau jasa pengganti pada transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, juga dapat
menjadi faktor analisa kesebandingan. Dan yang terakhir dilakukan analisa terhadap
strategi usaha antara lain dengan mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk
baru, tingkat diversifikasi barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-
kebijakan usaha lainnya, yang terjadi pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar diberikan panduan
metode mana yang tepat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Metode
Penentuan Harga Transfer yang dapat diterapkan adalah :

a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable


uncontrolled price/CUP);
b. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-
plus (cost plus method/CPM);
c. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method/TNMM).

Penerapan metode-metode ini wajib dilakukan secara berurutan sesuai urutan


prioritasnya. Prioritas pertama dimulai dengan menerapkan metode perbandingan
harga antar pihak yang independen. Jika metode ini tidak tepat maka diterapkan
metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus
tergantung mana yang lebih sesuai untuk diterapkan. Dalam hal metode ini juga tidak
tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan metode pembagian laba atau metode laba
bersih transaksional.

Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antar


pihak yang independen adalah:

a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam
kondisi yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau
memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang
akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.

Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode penjualan kembali  adalah :

a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan
atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.

Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya-plus adalah:

a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan


Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility
agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.

Metode pembagian laba secara khusus hanya dapat diterapkan dalam


kondisi sebagai berikut :

a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait


satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara
terpisah; atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi
yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.

Dalam hal kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method/TNMM) dapat diterapkan.

Penerapan metode-metode diatas akan menghasilkan harga atau laba


wajar. Harga atau laba  wajar dapat berbentuk harga tunggal (single price) atau
dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length
range/ALR). Rentang Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar dapat terbentuk jika
pengujian data pembanding diperoleh dari banyak data pembanding. Jika yang
digunakan adalah rentangan, maka ditentukan harga wajar atau laba wajar dalam
antara kuartil pertama dan ketiga yang harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :

a. transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan


b. didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa penetapan
harga atau laba tunggal tidak dapat dilakukan.

Dalam hal persyaratan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka digunakan


Harga Wajar atau Laba Wajar tunggal.

Dalam hal transaksi jasa yang dipengaruhi hubungan istimewa, Prinsip


Kewajaran dan Kelaziman Usaha juga wajib diterapkan. Persyaratan transaksi
jasa memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah:

a. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;


b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial dari perolehan jasa; dan
c. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang
sebanding.
Langkah-langkah dalam penentuan Harga jasa wajar atau laba wajar
dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas. Akan tetapi ada kalanya Jasa
dimanfaatkan tidak hanya oleh wajib pajak sendiri, tetapi secara bersama-sama
jasa tersebut juga dimanfaatkan oleh pihak lain yang memiliki hubungan
istimewa, akan tetapi tidak dapat diidentifikasi nilai transaksi jasa yang diterima
masing-masing. Dalam hal demikian maka beban jasa harus dialokasikan
berdasarkan manfaat yang diterima oleh masing-masing pihak . Pengalokasian
beban jasa harus terukur dan berdasarkan perhitungan yang dapat diandalkan. Hal
ini juga berlaku sama atas transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud.

3.4. Pengungkapan Transaksi Hubungan Istimewa.

Wajib Pajak diwajibkan melaporkan setiap transaksi yang dipengaruhi


hubungan Istimewa dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan. Mulai Tahun
Pajak 2009, selain transaksi hubungan istimewa ditambahkan kewajiban
melaporkan transaksi dengan pihak yang merupakan penduduk negara tax heaven
country. Kriteria tax heaven country yaitu:

a. Negara yang mengenakan tarif pajak rendah atau negara yang tidak
mengenakan PPh; Negara yang mengenakan tarif rendah adalah negara yang
mengenakan tarif pajak atas penghasilan lebih rendah 50% dari tarif badan di
Indonesia. (untuk tahun 2009 lebih rendah dari 14% dan untuk tahun 2010
lebih rendah dari 12,5%). Atau
b. Negara yang menerapkan kebijakan kerahasiaan bank dan tidak melakukan
pertukaran informasi. Negara yang menerapkan kebijakan kerahasiaan bank
dan tidak melakukan pertukaran informasi adalah negara atau jurisdiksi yang
berdasarkan perundang-undangannya melarang pemberian informasi
nasabahnya, termasuk untuk keperluan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan.

Sampai saat ini belum didapatkan peraturan penetapan negara-negara yang


masuk dalam kriteria tax heaven country. Dapat disadari bahwa penentuan suatu
negara kedalam kriteria tax heaven country bukanlah hal yang sederhana.
Penentuan kriteria dengan memuat secara definitif suatu negara ke dalam
kriteria tax heaven country dirasa kurang etis, dan dapat menimbulkan keberatan
dari negara yang bersangkutan. Penetapan hanya diberikan pada batasan-
batasan tax heaven country,tanpa menunjuk secara definitif negara mana yang
dimaksud.

Dalam pengungkapan disclosure transaksi dengan pihak yang memiliki


hubungan istimewa, Wajib Pajak diwajibkan mengisi dan melampirkan formulir
lampiran khusus yaitu:
1. Pernyataan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa (Lampiran Khusus 3A/3B), yang berisi :

a. Daftar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, meliputi:

Nama, alamat, NPWP (Tax Identification Number), Kegiatan Usaha  lawan


transaksi, dan bentuk hubungan dengan Wajib Pajak

b. Rincian Transaksi Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa,


meliputi Nomor Urut Transaksi berdasarkan urutan waktu,  Nama Mitra
Transaksi, Jenis Transaksi ,Nilai Transaksi , dan metode penetapan harga.

Metode Penetapan Harga adalah metode yang diplih untuk digunakan dalam
menentukan harga transfer wajar dalam transaksi dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Metode yang diperkenankan
adalah Comparable Uncontrolled Price, Cost Plus Method, Resale Price
Method,Transactional Net Margin Method,dan Profit Split Method  serta
alasan penggunaan metode tersebut.

2. Dokumentasi Penetapan Harga Wajar (Lampiran Khusus 3A-1/3B-1)


Dalam lampiran ini Wajib Pajak memberikan pernyataan tentang  dibuat
tidaknya dokumentasi penetapan harga wajar, dan menyatakan:
a. membuat catatan-catatan khusus sebagai mendukung bahwa transaksi yang
dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan Istimewa telah sesuai
dengan prinsip kewajaran (arm's length principle) dan kelaziman
b. Gambaran Perusahaan Secara Rinci
c. Catatan rinci mengenai Transaksi
d. Catatan Hasil Analisis Kesebandingan
e. Catatan Mengenai Penentuan Harga Wajar
3. Transaksi Dengan Pihak Yang Merupakan Penduduk Tax Haven
Country   (.Lampiran Khusus 3a-2/3b-2)

Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang


merupakan penduduk tax haven country wajib melaporkan:

a. Nama, pihak yang merupakan penduduk tax haven country, Jenis


Transaksi, Negara pihak lawan transaksi, dan Nilai Transaksi
b. Pernyataan bahwa nilai transaksi telah atau tidak ditetapkan dengan harga
pasar wajar atau kelaziman usaha.
3.5. Wewenang Direktur Jenderal Pajak dalam penetapan transaksi yang
dipengaruhi oleh hubungan Istimewa.
Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan diatur bahwa Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.
Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan dilakukan dengan
mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar
yang diterapkan oleh Wajib Pajak .

Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba


Wajar dalam transaksi hubungan istimewa apabila:

 Wajib Pajak tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman usaha sesuai
ketentuan yang berlaku
 Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau
menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha.

Penetapan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain
dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh
Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang KUP melalui Pemeriksaan Pajak. Kewenangan ini tidak dilakukan
apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam
transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
Demikian juga dalam hal terdapat indikasi sebagai tindak pidana di bidang
perpajakan atas transaksi hubungan istimewa maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-
Undang KUP.

Dalam hal terjadi koreksi atas suatu harga atau laba transaksi hubungan
istimewa terhadap wajib pajak, maka koreksi tersebut akan mempengaruhi harga
perolehan atau harga transfer lawan  transaksinya. Jika terjadi suatu koreksi atas
wajib pajak maka Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
penyesuaian (correlative adjustment)terhadap penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment) yang
dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan
pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya yang menjadi
lawan transaksi Wajib Pajak. Demikian juga jika koreksi dilakukan oleh otoritas
pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan
oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam
negeri Indonesia. Khusus dalam hal penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak
negara lain, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian
penghitungan pajaknya.

3.6. Hak-hak Wajib Pajak sehubungan dengan Penentuan harga transfer yang
dipengaruhi hubungan istimewa.

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan


Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam
P3B. Termasuk dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan
oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan
transaksinya. Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement adalah hasil yang telah
disepakati oleh Pejabat yang Berwenang dari Indonesia dan Negara Mitra P3B.
Dengan adanya MAP akan ditentukan harga transfer yang disepakati antara Wajib
pajak yang ada pada kedua negara dan otoritas perpajakan kedua negara.

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga


Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagai upaya menghindari
permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Kesepakatan Harga
Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah perjanjian tertulis antara Direktur
Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan
otoritas perpajakan negara lain.

4. Transfer Pricing
4.1. Dasar Hukum
a. Pasal 18 ayat 4 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan
b. Per-Dirjen Pajak No. PER- 32/PJ/2011 tentang Perubahan atas Per-Dirjen Pajak
No. PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa
4.2. Pengertian Transfer Pricing
Transfer pricing adalah suatu kebijakan yang diatur oleh perusahaan untuk
menentukan harga transfer atas suatu transaksi, baik harga atas barang, jasa, harta
tak berwujud, ataupun transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan.
Transfer pricing bisa juga diartikan sebagai besaran harga yang dibebankan
satuan usaha individu pada perseroan multi satuan atas transaksi yang terjadi di
antara mereka. 
4.3. Tujuan Transfer Pricing
Apa sih sebenarnya tujuan dari penerapan transfer pricing? Ada 7 hal
yang menjadi tujuan dari transaksi ini, di antaranya: 
a. Pengoptimalan atas penghasilan global setelah dipotong pajak.
b. Evaluasi kinerja cabang perusahaan mancanegara.
c. Mengupayakan keamanan posisi kompetitif.
Upaya keamanan ini bertujuan untuk memaksimalkan penghasilan global,
mengamankan posisi kompetitif cabang perusahaan, mengevaluasi kinerja cabang
perusahaan mancanegara, menghindari pengendalian devisa, mengurangi risiko
moneter, mengatur arus kas cabang perusahaan, membina hubungan baik dengan
administrasi setempat, mengurangi risiko pengambilalihan oleh pemerintah,
mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk.
d. Mengurangi risiko keuangan.
e. Mengatur arus kas pada cabang perusahaan.
f. Mengurangi risiko pengambilalihan pemerintah.
g. Mengurangi beban tanggungan pajak dan bea masuk

4.4. Jenis dan Aspek Transfer Pricing


Berdasarkan pihak yang terlibat di dalamnya, transaksi ini dapat
dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Intercompany transfer pricing
Intercompany transfer pricing yaitu Transaksi yang terjadi antara dua
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Intercompany transfer pricing
sendiri dibagi menjadi dua yaitu:
1) International Transfer Pricing
International Transfer Pricing yaitu Transaksi yang terjadi antara dua
perusahaan dalam dan luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa
2) Domestic Transfer Pricing
Domestic Transfer Pricing yaitu Transaksi yang terjadi antara dua
perusahaan dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa
b. Intracompany transfer pricing
Intracompany transfer pricing yaitu transaksi yang terjadi antar divisi dalam suatu
perusahaan.

4.5. Kegiatan Transfer Pricing


Direktorat Jenderal Pajak, melalui Surat Edaran Dirjen Pajak N0. SE-
04/PJ.7/1993 Tanggal 3 Maret 1993 menyebutkan bahwa kekurang-wajaran dari
adanya praktek transfer pricing dapat terjadi atas:
a. Harga penjualan
b. Harga pembelian
c. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
d. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
(shareholder loan)
e. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
f. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
g. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak
mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company
atau reinvoicing center)

4.6. Contoh Kegiatan Transfer Pricing


Contoh Contoh kegiatan Transfer pricing diantaranya yaitu:
a. Sebuah perusahaan—X Corp—berkedudukan di negara X memiliki anak
perusahaan di Indonesia, yaitu PT ABC, yang bergerak di bidang industri
mainan. Untuk memproduksi mainan yang dijual di Indonesia, PT ABC
mengimpor bahan baku dari X Corp. Harga wajar bahan baku tersebut di
pasar misal US$10/pcs. Tapi, dalam transaksi antara X Corp dengan PT
ABC, harga bahan baku yang sama dijual dengan harga US$30/pcs.
Sehingga ada mark up sebesar US$20/pcs. Harga US$10/pcs ini tidak akan
mungkin terjadi jika transaksi tersebut dilakukan dengan perusahaan yang
bukan dalam satu grup atau tidak mempunyai hubungan istimewa.
Sehingga tidak terjadi prinsip harga pasar wajar pada transaksi ini (arm’s
length price principle).H Ltd Hongkong memiliki 25% saham PT B. PT B
mengimpor barang produksi
b. PT ABC seharusnya bisa menjual produk mainannya ke pasar dengan
harga US$20/pcs tetapi terlebih dahulu menjualnya ke S Co yang masih
merupakan grup perusahaan yang berada di negara S yang mempunyai tarif
pajak yang lebih rendah (tax heaven country) dengan harga US$12/pcs.
Kemudian S Co baru menjual mainan tersebut dengan harga USD20/pcs ke
Z Corp yang merupakan pihak independen (tidak mempunyai hubungan
istimewa/bukan grup perusahaan). Mainan itu sendiri tidak dikirimkan oleh
PT ABC ke S Co melainkan dikirimkan langsung ke Z Corp (transaksi
antara PT ABC dengan S Co hanya berupa transaksi invoice saja).
Akibatnya keuntungan yang diperoleh oleh PT ABC menjadi hilang atau
berkurang yang efeknya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh PT
ABC ke negara juga menjadi hilang atau berkurang
c. X Corp tidak bertransaksi langsung dengan anak perusahaan di Indonesia,
tetapi menjual dulu kepada anak perusahaan yang berkedudukan di
Filipina. Lalu, dari Filipina barang tersebut dijual ke perusahaan yang ada
di Malaysia, baru setelah itu perusahaan di Malaysia melakukan transaksi
dengan perusahaan di Indonesia. Sehingga ketika sampai di Indonesia,
harganya sudah naik berkali-kali lipat. Dengan begitu, jelas saja PT ABC
yang berkedudukan di Indonesia akan menderita kerugian karena ia harus
membayar bahan baku dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga
wajar. Sehingga potensi pajak yang seharusnya dibayarkan oleh PT ABC
ke negara menjadi hilang karena PT ABC mencatat kerugian atau
keuntungannya mengecil karena praktik transfer pricing.

4.7. Transfer Pricing dan Perpajakan di Indonesia


Untuk mengurangi praktek transfer pricing diIndonesia, maka Wajib Pajak
dalam melakukan transaksi transfer pricing dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
(Arm's Length Principle/ALP).
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP)
adalah Prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau
sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
yang menjadi pembanding.
Langkah-langkah untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha yaitu:
a. Melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. Menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. Menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke
dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau
Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
4.8. Metode Penentuan Harga Transfer
Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan
kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai
(The Most Appropiate Method). Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dapat diterapkan adalah:
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP)
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
dalam kondisi atau keadaan yang sebanding
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah
metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan
harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut
setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko,
atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang
dilakukan dalam kondisi wajar.
c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan
Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor
wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah
sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)
Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit
Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas
transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima
secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya
akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa
e. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan
Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor
wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah
sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
5. Transfer Pricing Documentation
5.1. Dasar Hukum
a. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/Pmk.03/2016
Tentang Jenis Dokumen Dan/Atau Informasi Tambahan Yang Wajib
Disimpan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak
Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Dan Tata Cara Pengelolaannya
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2017 tentang Tata cara
Pengelolaan Laporan Per Negara
5.2. Dokumen Penentuan Harga Transfer dibidang Perpajakan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
213/Pmk.03/2016, ada 3 jenis dokumen transfer pricing yang harus dipenuhi oleh
wajib pajak yang melakukan transfer pricing, yaitu:
a. Dokumen Induk
b. Doumen Lokal; dan/atau
c. Laporan per Negara
5.3. Wajib Pajak yang membuat dokumen Transfer Pricing.
Wajib Pajak yang wajib membuat Dokumen Induk dan Lokal yaitu wajib
pajak yang mempunyai:
a. nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak lebih
dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
b. nilai Transaksi Afiliasi Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak:
1) Lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi
barang berwujud; atau
2) Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing
penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud,
atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau
c. Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif Pajak
Penghasilan lebih rendah dari pada tarif Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17
Wajib Pajak Yang wajib membuat Dokumen Induk dan Lokal serta
Laporan Per Negara yaitu:
1) Wajib Pajak yang merupakan Entitas Induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki
peredaran bruto konsolidasi pada Tahun Pajak bersangkutan paling sedikit Rp
11.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah), atau
2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai anggota Grup Usaha
dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib
Pajak dalam negeri wajib menyampaikan laporan per negara sebagaimana
dimaksud sepanjang negara atau yurisdiksi tempat Entitas Induk berdomisili
a) tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
b) tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran
informasi perpajakan; atau
c) memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran
informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh
pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut.
5.4. Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal serta Laporan Per Negara
Dokumen Penentuan Harga Transfer Induk dan Lokal wajib dibuat
ikhtisar. Ikhtisar sebagaimana dimaksud wajib disampaikan sebagai lampiran
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak yang
bersangkutan. Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana berupa laporan
per negara untuk Tahun Pajak 2016 dan seterusnya wajib disampaikan sebagai
lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak
berikutnya.
Wajib Pajak Badan yang merupakan Entitas Konstituen atau yang
memiliki transaksi afiliasi harus menyampaikan Notifikasi ke DJP. Dalam hal
Wajib Pajak memiliki kewajiban penyampaian Laporan per Negara sebagaimana
dimaksud dalam Wajib Pajak dimaksud harus menyampaikan Laporan per Negara
yang dilampiri kertas kerja Laporan per Negara bersamaan dengan penyampaian
Notifikasi.
5.5. Batas waktu Ketersediaan Dokumen Transfer Pricing.
a. Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa Dokumen Induk dan Lokal,
harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
b. Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa Laporan Per Negara (CbCr),
harus tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai