Agenda Yang Belum Selesai Refleksi Atas Berbagai Kebijakan Pertanahan
Agenda Yang Belum Selesai Refleksi Atas Berbagai Kebijakan Pertanahan
Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
2020
Penulis:
Maria SW Sumardjono
Penyunting:
Fajri M. Muhammadin
Abimanyu Farras
Layouter:
Ipunk Wardoyo
Desain Cover:
Ipunk Wardoyo
Foto Cover:
Suherman
Diterbitkan oleh:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Yustisia No.1 Bulaksumur, Depok, Sleman
D.I.Yogyakarta, 55281
Telp/Fax. (0274) 512781
Website: http://law.ugm.ac.id/
ISBN: 978-602-187-758-6
Cetakan Pertama
April 2020, xii + 156 / 12 x 17,5 cm
Maria SW Sumardjono | v
karena digaungkan oleh berbagai elemen masyara-
kat sipil (akademisi, organisasi non pemerintah,
selanjutnya disebut ornop, dan lain-lain) yang tak
sepakat terhadap berbagai isu krusial dalam RUUP
yang jelas bertentangan dengan tujuan pemben-
tukan RUUP, di samping substansinya berpotensi
bertentangan dengan konsepsi dan asas-asas/
prinsip UUPA, prinsip-prinsip Pembaruan Agraria-
Pengelolaan Sumberdaya Alam (selanjutnya dise-
but PA-PSDA) yang dimuat dalam Ketetapan MPR
RI No. IX/TAP/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (selanjutnya
disebut TAP MPR No. IX/2001), bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI
Tahun 1945) dan putusan Mahkamah Konstitusi
yang relevan
Dalam pada itu, berbagai kebijakan pertanah
an yang diterbitkan tidak memberikan kepastian
hukum, tetapi justru sebaliknya. Hal ini antara lain
dapat dilihat pada PermenATR/Ka BPN Nomor
21 Tahun 2015 tentang Pendayagunaan Tanah
Negara untuk Pedagang Kaki Lima; PermenATR/
Ka BPN Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas
Maria SW Sumardjono | ix
1. Hak Ulayat: Kedaulatan MHA atas
Wilayah Tertentu ............................ 16
2. Objek Hak Ulayat ............................ 18
3. Subjek Hak Ulayat dan Kewenang-
annya ............................................... 22
4. Hubungan Hukum dengan Pihak
Ketiga .............................................. 30
C. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
dan Hak Perorangan Warga Masyara-
kat Hukum Adat Berdasarkan Perda-
sus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun
2008 dalam Konsepsi tentang Hak
Ulayat . ................................................. 32
1. Umum . ............................................ 32
2. Ragaan Konstruksi Hukum terkait
Tanah Negara, Tanah Hak, dan
Tanah (Hak) Ulayat dalam
Hubungan antara Negara dengan
Tanah dalam sistem Hukum Tanah
Nasional . ......................................... 37
3. Catatan terhadap Perdasus No. 23
Tahun 2008 ..................................... 48
4. Akselerasi Pendaftaran Tanah
dalam Wilayah Hak Ulayat MHA ... 52
Maria SW Sumardjono | xi
DAFTAR BAGAN
*)
Disampaikan sebagai Pengantar pada FGD “Kondisi Aktual
Penguasaan Tanah Ulayat dan Implikasinya terhadap Kebijakan
Pengakuan dan Pendaftarannya”, FH UGM, Yogyakarta, 23
April 2019.
Maria SW Sumardjono | 1
menurut Pasal 2 UUPA dan ditegaskan lebih lanjut
dalam Penjelasan Umum II.2 itu terdapat 3 (tiga)
entitas tanah dalam hubungan hukum antara
negara dengan tanah; tampaknya yang sama sekali
belum tuntas adalah pembahasan tentang tanah
(hak) ulayat.
Ketidaktuntasan pembahasan itu antara
lain dapat dilihat pada: (a) fokus pembahasannya
adalah pada pengakuan keberadaan hak ulayat;
(b) mayoritas pembahasan dan/atau peraturan
perundang-undangan mengawali eksistensi hak
ulayat dengan penentuan subjek hak ulayat.
Pembahasan yang berkutat pada masalah teknis
itu kemudian menjebak alam pikiran menjadi
pertama, bahwa pengakuan itu merupakan
syarat keberadaan hak ulayat dan harus ada
wadah untuk pengakuan tersebut dalam bentuk
Peraturan Daerah (lihat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang
hak ulayat MHA). Kedua, persyaratan tentang
keberadaan itu pada umumnya menafikan aspek
sosio-antropologis suatu MHA. Ketiga, belum
dipahaminya secara utuh tentang pemilahan hak
ulayat berdasarkan kewenangan yang dipunyai
oleh MHA-nya; bahwa ada hak ulayat yang kewe
Maria SW Sumardjono | 3
Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
yang berada dalam Kawasan Tertentu) atau juga
tidak kunjung mengaturnya secara tuntas dengan
alasan ”menunggu” UU terkait MHA (Peraturan
Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penye
lesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan).
Bisa jadi, berputar-putarnya pembahasan ten
tang hak ulayat MHA berpangkal pada masalah:
apakah sebetulnya yang dimaksudkan dengan
“pengakuan” hak ulayat dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945? Barangkali dengan
menggunakan cara berpikir analogi dengan meng
gunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) dan peraturan pelak
sanaannya sebagai landasan hukum, dapat diusul
kan jalan keluarnya.
Maria SW Sumardjono | 5
hak dan kewajibannya sesuai kewenangan yang
melekat pada isi hak atas tanahnya tersebut?
Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri
Pertanahan dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962
tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran
Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah (selanjutnya
disebut PMPA 2/1962).
Tujuan utama PMPA adalah penuntasan proses
administrasi hak atas tanah adat tersebut. Hak atas
tanahnya sudah ada, tetapi proses administrasinya
perlu dituntaskan. Belum didaftarkannya hak atas
tanah adat itu tidak meniadakan keberadaannya.
Secara garis besar, sebagai tindak lanjut Ketentuan
Konversi terkait, PMPA 2/1962 membedakan an
tara penegasan hak dan pengakuan hak. Meka
nisme penegasan hak ditempuh jika hak-hak adat
itu telah diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah
yang dibuat berdasarkan peraturan tertentu, dan/
atau jika hak itu tidak diuraikan dalam suatu surat
tanah, maka permohonan penegasan disertai de
ngan tanda bukti hak (surat pajak hasil bumi/
Verponding Indonesia atau bukti surat pemberian
hak oleh instansi yang berwenang (Pasal 2 dan
Pasal 3 PMPA 2/1962).
Maria SW Sumardjono | 7
2. Untuk menghormati hak yang sudah ada itu,
maka keberadaannya ditindaklanjuti dengan
pendaftaran haknya, melalui mekanisme
“penegasan hak” atau “pengakuan hak”. Be
lum didaftarkannya hak atas tanah itu tidak
meniadakan haknya. Pendaftaran tanah ber
fungsi untuk menuntaskan proses adminis
trasinya.
3. Dalam praktiknya, jika semula proses pen
daftaran haknya ditempuh atas inisiatif pemo
hon, dalam perkembangannya melalui pen
daftaran tanah sistematis pemerintah dapat
mengambil inisiatif untuk pendaftarannya.
Bagaimana jika konsepsi tentang pengakuan
terhadap hak-hak atas tanah adat yang dipunyai
oleh orang perseorangan itu diterapkan untuk
pengakuan hak ulayat MHA? Bertumpu pada tiga
hal penting yang disimpulkan di atas dan konsep
pengakuan hak menurut PMPA dan peraturan
perundang-undangan terkait, tampaknya terha
dap pengakuan hak ulayat dapat ditempuh meka
nisme serupa.
Pertama, Pasal 18B ayat (20) sebagaimana
UUPA, mengakui keberadaan hak ulayat MHA
yang sudah ada sebelum Proklamasi 17 Agustus
Maria SW Sumardjono | 9
Ketiga, jika pengakuan hak milik adat kepu
nyaan orang perorangan itu dituangkan dalam
sertifikat, maka terhadap hak ulayat yang berunsur
privat belaka, pengakuan dituangkan dalam ser
tifikat tanah (milik) bersama.
Bagaimana dengan tanah ulayat yang berunsur
publik sekaligus privat? Karena hak ulayat ini berisi
kewenangan untuk mengatur hubungan hukum
dan perbuatan hukum terkait hak ulayatnya
yang meliputi wilayah tertentu yang merupakan
yurisdiksinya, maka kiranya dapat dipahami jika
disamping keberadaannya dicatat dalam daftar
tanah, deklarasi tentang subjek (MHA) dan objek
hak ulayat (letak, luas, dan batas-batasnya) dapat
dituangkan dalam bentuk Keputusan Kepala
Daerah karena sudah menunjuk subjek dan objek
hak ulayat tersebut. Bagaimana dengan Peraturan
Daerah (selanjutnya disebut Perda) tentang Hak
Ulayat? Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa
Perda/Peraturan Kepala Daerah (selanjutnya dise
but Perkada) itu bersifat mengatur, dengan demi
kian materi muatannya menyatakan hal-hal yang
umum terkait hak ulayat.
Jika MHA dan/atau Pemerintah Daerah siap
untuk melaksanakan proses pengakuan MHA
Maria SW Sumardjono | 11
negara mengakui Hak Ulayat yang sudah ada
itu. Perda/Perkada/SK Kepala Daerah itu tidak
menjadikan hak ulayat itu ada (konstitutif), tetapi
hanya menyatakan (declaratoir) bahwa hak ulayat
sudah ada walaupun tanpa melalui Perda/Perkada/
Keputusan Kepala Daerah. Keputusan Kepala
Daerah bagi hak ulayat yang beraspek publik dan
privat, atau sertifikat tanah milik bersama MHA
bagi hak ulayat yang beraspek privat belaka itu
merupakan penuntasan proses administrasi pe
ngakuan MHA.
*)
Pokok-Pokok pikiran disampaikan dalam Seminar Nasional “Ka
rakteristik Subjek, Objek, dan Permasalahan dan Solusi Tanah
Ulayat/Adat dalam Pembangunan Pertanahan,” diselenggarakan
oleh STPN,Yogyakarta,16 Juli 2019.
Maria SW Sumardjono | 13
segi kewenangan penguasaan dan pemanfaatannya
(sektoral).
Sektoralisme pengaturan Sumber Daya Alam
(selanjutnya disebut SDA) termasuk didalamnya
menyangkut MHA, sudah diamanatkan agar sege
ra dilakukan harmonisasi terhadapnya melalui
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA (selan
jutnya disebut TAP MPR RI No. IX/2001).
Kajian komprehensif tentang tumpang tindih,
bahkan pertentangan antar berbagai UU Sektoral
itu telah diinisiasi, difasilitasi dan diterbitkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya
disebut KPK). Hasilnya dapat dijadikan rujukan
dalam meminimalisasi sekat-sekat sektoralisme
perundang-undangan SDA - LH (Lingkungan
Hidup), terlebih dengan adanya putusan MK
terkait uji materi berbagai UU sektoral tersebut.
Walaupun komitmen nyata untuk menempuh
upaya harmonisasi belum tampak, seyogianya
pembahasan tentang hak ulayat tidak dilakukan
dengan cara mengulang kesalahan di masa yang
lalu. Khusus terkait dengan pengaturan hak
ulayat, dari hasil kajian tersebut, UU sektoral tidak
menjamin rasa keadilan bagi MHA, khususnya
1
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Kajian Harmonisasi
Undang-Undang di Bidang SDA-LH” Jakarta, 2018.
2
Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No.1 Tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan bahwa hutan adat itu sebelumnya
disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya.
Maria SW Sumardjono | 15
1. Hak Ulayat: Kedaulatan MHA atas Wilayah
Tertentu
Dalam berbagai definisi tentang hak ulayat,
pada umumnya ditekankan bahwa hak ulayat itu
menunjuk pada wilayah tertentu.
Pasal 1 butir 1, Permenag/Kepala BPN 5/1999
merumuskan hak ulayat sebagai berikut: ”Hak
Ulayat dan yang serupa itu dari MHA (untuk
selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh MHA
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari SDA, termasuk tanah dalam wilayah
tersebut, bagi kelanjutan hidup dan kehidupannya,
yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara
MHA tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”
(garis bawah oleh penulis).
Dari definisi tersebut dapat dicatat beberapa
hal penting, yaitu:
1) bahwa wilayah tertentu tersebut dengan se
gala isinya yang terdapat di atasnya adalah
“ruang hidup” atau Lebensraum bagi MHA
yang bersangkutan.
Maria SW Sumardjono | 17
Berdasarkan definisi hak ulayat tersebut,
diperoleh pemahaman bahwa hak ulayat itu
menunjuk pada suatu wilayah tertentu, sebagai
ruang hidup MHA yang dengan kewenangannya
mempunyai hak untuk mengambil manfaat SDA
dalam wilayah itu.
3
Maria SW Sumardjono, “Puspita Serangkum, Aneka Masalah
Hukum Agraria”, Andi Offset, Yogyakarta, 1982.
4
Godlief J. William Kawer, “Studi Tenurial Komunitas Masya
rakat Adat Nambluong Kampung Berap, Distrik Nimboran,
Kabupaten Jayapura”, Laporan Penelitian, CIFOR, Bogor, 2006,
hlm.46-48.
Maria SW Sumardjono | 19
sungai/danau.5
Dalam literatur tidak dijumpai bahwa kewe
nangan untuk memanfaatkan SDA oleh MHA itu
termasuk SDA yang terdapat di dalam bumi (lihat
definisi Ter Haar, misalnya). Hal ini masuk akal
karena berdasarkan asas pemisahan horizontal
maka hak ulayat itu berlaku atas SDA yang berada
di atas wilayah tersebut.
Bagaimana dengan SDA yang berada di dalam
bumi yang berada dalam wilayah MHA yang
bersangkutan? Pasal 8 UUPA menggariskan bahwa
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
tidak termasuk dalam kewenangan pemegang hak
atas tanah. Demikian pula, ditegaskan oleh MK
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-
021-022/PUU-I/2003 tentang Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
(selanjutnya disebut UU 20/2002), bahwa cabang
produksi yang penting dan menguasai hayat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. MK
menjabarkan frasa ”cabang produksi yang penting
5
Robert K.R. Hammar, “Implikasi Penataan Ruang terhadap
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manokwari
Provinsi Papua Barat”, Ringkasan Disertasi Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2011, hlm. 84.
6
Maria SW Sumardjono, “Hak Masyarakat Hukum Adat,” Opini
SKH Kompas, 19 Juni 2013.
Maria SW Sumardjono | 21
terhadap keadilan terkait dengan perlindungan
hukum bagi/MHA yang merupakan subjek hak
yang berwenang atas pemanfaatan SDA dalam
wilayah tertentu itu.
Sebagai catatan, bahwa ketika berbicara
tentang hak ulayat itu pada umumnya fokusnya
adalah hak ulayat yang berada di daratan. Seyo
gianya tidak dilupakan bahwa pada wilayah
tertentu Negara Kesatuan Republik Indonesia (se
lanjutnya disebut NKRI) dikenal, hidup, dan ber
langsung hak ulayat laut.7
Maria SW Sumardjono | 23
Bagaimana bila masyarakat hukum adat tidak
bisa lagi memungut hasil hutannya karena hutan
(adat) mereka sudah dikuasai oleh pihak lain baik
dengan izin resmi yang diterbitkan oleh instansi
kehutanan atau tanpa izin?
Hal ini sangat mungkin terjadi karena sebelum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/
PUU-X/2012 hutan adat termasuk dalam kategori
hutan negara sehingga instansi Kehutanan dapat
dan sudah memberikan izin, bahkan sudah pula
diberikan suatu hak atas tanah kepada pihak lain
di atas hutan yang bisa jadi merupakan hutan
ulayat MHA yang bersangkutan.
Singkat kata, Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU
41/1999 jelas bertentangan dengan semangat
konstitusi untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak masyarakat hukum adat atas hutan
adatnya.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengusahaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (selanjutnya disebut UU PWP-3K)
merumuskan masyarakat (hukum) adat dalam
Pasal 1 butir 33 sebagai berikut: “Masyarakat adat
adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis
Maria SW Sumardjono | 25
Masyarakat yang terkait dengan Pengelolaan dan
Perlindungan LH.”
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012, penjabaran kriteria tentang
MHA dimuat dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU
Desa). Dalam konteks desa adat, MHA yang bisa
ditetapkan sebagai desa adat adalah MHA yang
memenuhi syarat-syarat berikut:
a) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik
yang bersifat teritorial, genealogis, maupun
yang bersifat fungsional;
b) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat; dan
c) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 92 ayat (2) menyebutkan bahwa kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
yang masih hidup, sebagaimana dimaksud pada
Pasal 97 (1), huruf a harus memiliki wilayah dan
paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan
Maria SW Sumardjono | 27
Pasal 97 ayat (4) menyatakan bahwa “Suatu
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia apabila masyarakat hukum
adat tersebut tidak mengganggu keberadaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai se
buah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:
a. Tidak mengancam kedaulatan dan integritas
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
b. Subtansi norma hukum adatnya sesuai dan
tidak bertentangan dengan ketentuan pera
turan perundang-undangan.
Sebagai catatan, diantara berbagai kriteria
keberadaan MHA, pengaturannya dalam UU Desa
memungkinkan untuk menerapkan sebagian dari
berbagai kriteria tersebut [Pasal 92 ayat (2)] dalam
rangka penetapan keberadaan MHA.
Secara yuridis-formal pengaturan tentang
kriteria keberadaan MHA tersebut dapat dikatakan
mencukupi karena mencakup tentang subjek,
objek, dan kewenangan yang dipunyai oleh subjek.
Namun demikian untuk operasionalisasinya
di lapangan tidaklah sederhana. Pedoman yang
Maria SW Sumardjono | 29
Akomodatif” oleh penulis.9
Penutup
Keluaran yang diharapkan dari seminar
nasional ini adalah tersedianya bahan sebagai
rekomendasi bagi penyusunan kebijakan terkait
Hak Ulayat MHA. Hendaknya cara berpikir
komprehensif yang digunakan ketika berbicara
tentang hak ulayat. Pembicaraan tentang tanah
ulayat seyogianya dimaksudkan sebagai tanah
yang berada diseluruh wilayah MHA tertentu.
Penyusunan kebijakan dalam semua bentuk
peraturan perundang-undangan wajib dilandasi
dengan suatu naskah kebijakan (policy paper)
berupa hasil kajian normatif maupun empiris
terkait fokus kebijakan yang bersangkutan.
Pemahaman yang utuh terhadap isu pokok yang
hendak diatur memerlukan penguasaan terkait
konsep dan asas-asasnya sebelum menuangkan
normanya dalam rumusan peraturan perundang-
undangan. Tanpa naskah kebijakan, tidak akan
jelas benang merah suatu kebijakan karena tidak
disertai kajian tentang falsafah yang melandasinya,
harmonisasinya dengan peraturan perundang-
Maria SW Sumardjono | 31
undangan terkait, dan dampak sosialnya jika
peraturan perundang-undangan tersebut berlaku
dalam masyarakat.
Jika suatu peraturan perundang-undangan
disusun tanpa landasan dalam bentuk naskah
kebijakan (apapun sebutannya), tidak mustahil
akan menuai dua hal, yakni diragukan kesahihan/
kepastian hukumnya dan berpotensi menjadi
“aturan di atas kertas belaka”, atau menuai resis
tensi relatif keras untuk tidak dilanjutkan pro
sesnya atau direvisi.
Maria SW Sumardjono | 33
dan perairan adalah bagian dari kesatuan wilayah
MHA tertentu yang disebut sebagai hak ulayat.
Kedua, bagaimana dengan SDA yang berada
di dalam bumi yang berada dalam wilayah MHA
yang bersangkutan?
Pasal 8 UUPA menggariskan bahwa kekayaan
alam yang terkandung di dalam bumi tidak
termasuk dalam kewenangan pemegang hak atas
tanah. Demikian pula, ditegaskan oleh Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut MK) melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUU-I/2003 tentang UU 20/2002, bahwa
cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
MK menjabarkan frasa ”cabang produksi yang
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak”
itu dalam 3 (tiga) kriteria. Dengan demikian,
SDA yang terdapat di dalam bumi, utamanya
pertambangan mineral, minyak, gas, batubara,
dan sumber daya energi potensial lainnya, tidak
termasuk dalam objek hak ulayat MHA. Namun
demikian, MHA yang bersangkutan berhak untuk
memperoleh manfaat dan pembagian keuntungan
Maria SW Sumardjono | 35
c. Bagaimana dengan Hak Perseorangan
dalam Konteks Hak Ulayat?
Secara teknis-yuridis, hak perseorangan yang
berasal dari hak ulayat itu, apapun nama atau
sebutannya, oleh UUPA diatur dalam Ketentuan
Konversi Pasal II, Pasal VI, Pasal VII dan Pasal IX.
Intinya, UUPA mengakui bahwa hak perseorangan
atas tanah adat itu sudah ada sebelum UUPA
terbit dan dengan berlakunya UUPA pada tanggal
24 September 1960, hak-hak sedemikian itu
dikonversi atau dirubah menjadi Hak Milik atau
Hak Pakai sesuai dengan UUPA. Pengakuan oleh
UUPA tersebut ditindaklanjuti dengan upaya
pendaftaran atau pengadministrasian Hak Milik
Adat (perseorangan) melalui PMPA 2/1962
juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan
Pelaksanaannya (selanjutnya disebut PP 24/1997).
Negara
Tanah
HPL adalah
HMN yang kewenangan
pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan
kepada pemegang HPL
a
Fungsi Publik Fungsi Publik Fungsi Perdata
Maria SW Sumardjono | 37
pun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai
tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu
hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang
mempunyai untuk menggunakan haknya sampai
disitulah batas kekuasaan negara tersebut.
Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-
pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan
pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam
BAB II.
Kekuasaan negara atas tanah yang tidak
dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang
atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.
Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan
diatas Negara dapat memberikan tanah yang
demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum
dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-
usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada sesu
atu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau
Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat
4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-
tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh
hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat
Maria SW Sumardjono | 39
c. Ruang Lingkup Tanah Negara
1. Tanah-tanah yang belum pernah diberikan
dengan sesuatu hak atas tanah.
2. Tanah-tanah yang pernah dikuasai/dimiliki
dengan sesuatu hak atas tanah tetapi menjadi
tanah negara.
a. Tanah yang diserahkan secara sukarela
oleh pemiliknya;
b. Tanah–tanah yang berakhir jangka
waktunya dan tidak diperpanjang lagi,
kecuali Hak Guna Bangunan (selanjutnya
disebut HGB) dan Hak Pakai (selanjutnya
disebut HP) yang diterbitkan atas tanah
Hak Milik;
c. Tanah–tanah yang pemegang haknya me
ninggal dunia tanpa ahli waris;
d. Tanah–tanah yang diterlantarkan (Pera
turan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998
tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar juncto Peraturan Peme
rintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar )
e. Tanah–tanah yang diambil untuk kepen
tingan umum sesuai dengan tata cara
Maria SW Sumardjono | 41
jutnya disebut Perpres) Nomor
36 Tahun 2005 tentang Penga
daan Tanah Bagi Pelaksanaan Pem
bangunan Untuk Kepentingan
Umum Jo. Perpres Nomor 65 Tahun
2006 tentang Perubahan Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pe
laksanaan Pembangunan Untuk Ke
pentingan Umum;
5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
3. Tanah-tanah yang menjadi tanah negara ka
rena peraturan perundang-undangan.
a. Tanah–tanah Milik Perusahaan Belanda
yang terkena UU Nasionalisasi (Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan
Milik Belanda)
b. Penguasaan tanah–tanah oleh Bala Ten
tara Dai Nippon (Jepang) dan telah
diberikan ganti kerugian;
Maria SW Sumardjono | 43
tanggal 26 – 11 – 1964 jo. Surat Edaran
Menteri Agama Nomor DHK/29/5 tang
gal 22 – 12 – 1964 tentang Larangan
Pembuatan Akta Tanah yang bermaksud
mengalihkan atau memindahkan Hak
Atas Tanah (selanjutnya disebut HAT)
tanpa berikut bangunan di atasnya milik
eks. perusahaan Inggris.
g. Tanah Negara yang berasal dari Pelak
sanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1958 tentang Penghapusan Tanah–tanah
Partikelir (yang telah diberikan ganti keru
gian semula merupakan/berupa tanah par
tikelir dengan hak–hak pertuanan, tanah
usaha dan tanah kongsi)
h. Tanah–tanah Negara yang berasal dari
Tanah Bekas/eks. Swapradja berdasarkan
Diktum Ke IV Huruf A dan B UUPA,
kecuali Sultan Grond (selanjutnya disebut
SG) dan Pakualaman Grond (selanjutnya
disebut PAG) di Yogyakarta (Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogya
karta).
Maria SW Sumardjono | 45
Bagan 2.
Hak Ulayat
Tanah Ulayat
Pengukuhan Keberadaan
MHA dan hak Ulayat
Bagan 4.
Kepastian Hukum
Hak Ulayat MHA
● Didaftarkan : ● Didaftarkan :
dinyatakan dalam peta dasar sebagai kepemilikan-bersama.
pendaftaran tanah dengan ● Diterbitkan sertifikat.
membubuhkan suatu tanda kartografi,
dan apabila memungkinkan,
menggambarkan batas-batasnya serta
mencatatnya dalam daftar tanah.
● Tidak diterbitkan sertifikat.
Maria SW Sumardjono | 47
3. Catatan terhadap Peraturan Daerah Khusus
Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan
Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah
Pertama, terkait definisi hak ulayat MHA
atas tanah (Pasal 1 butir 6) dan hak perorangan
warga MHA atas tanah (Pasal 1 butir 7). masing-
masing definisi rancu, apakah yang dimaksudkan
itu untuk membatasi objek hak ulayat yakni
“tanah” saja sebagai salah satu objek hak ulayat,
atau tanah beserta segala isinya, yang terdapat di
wilayah tertentu?
Agar supaya tidak rancu, seyogianya dalam
Pasal 1 ditambahkan definisi tentang hak ulayat
secara utuh sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
1 huruf s UU 21/2001. Setelah itu, definisi tentang
“hak ulayat MHA atas tanah” dan “hak perorangan
MHA atas tanah” perlu dirumuskan kembali
berdasarkan tujuan Perdasus.
Kedua, ketika merumuskan tentang hak
ulayat MHA, apakah yang dimaksudkan itu hak
ulayat yang berisi kewenangan publik sekaligus
privat? Jika memang demikian, barangkali dapat
ditambahkan ayat tentang kewenangan MHA
dalam Pasal 2.
Maria SW Sumardjono | 49
bersifat privat (hak komunal), maka hak itu dapat
didaftarkan sebagai tanah milik-bersama (apapun
status hak atas tanahnya menurut UUPA) yang
diterbitkan sertifikatnya.
Keenam, terkait dengan pengelolaan tanah
ulayat MHA, khususnya Pasal 8 ayat (3) huruf b,
“meminjamkan sebagian atau seluruh hak ulayat
MHA” perlu disesuaikan dengan rumusan dalam
Pasal 4 ayat (2) Permenag/Kepala BPN 5/1999
dengan mengganti kata “meminjamkan” dengan
“menyerahkan sebagian atau seluruh hak ulayat
MHA untuk jangka waktu tertentu”.
Masih dalam Pasal 8, tentang keharusan
pihak yang memerlukan tanah baik yang berasal
dari MHA maupun perorangan warga MHA
untuk memperoleh izin lokasi dari Pemerintah
Kabupaten/Kota, seyogianya ditinjau kembali
dengan mencermati ketentuan tentang izin lokasi
(d k i. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2015
tentang Izin Lokasi).
Ketujuh, cacatan untuk Pasal 11 ayat (1)
terkait istilah “meminjamkan” sama dengan
catatan untuk Pasal 8 ayat (3) huruf b.
Maria SW Sumardjono | 51
4. Akselerasi Pendaftaran Tanah dalam Wilayah
Hak Ulayat MHA
Untuk memberikan jaminan kepastian hu
kum, sekaligus sebagai upaya untuk meminimali
sasi konflik terkait batas wilayah hak ulayat MHA
disamping konflik tentang kepemilikan suatu hak
ulayat, kegiatan pendaftaran tanah perlu terus di-
dorong.
Pertama, pemetaan wilayah adat dapat
menggunakan hasil pemetaan partisipatif yang
sudah ada untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan
peta tematik dan selanjutnya melakukan kegiatan
pendaftaran tanah sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kedua, untuk pemetaan wilayah adat dan tin
dak lanjutnya yang tidak menggunakan pemetaan
partisipasif wilayah adat, sudah diatur dalam
Pasal 7 Peraturan Daerah Khusus (selanjutnya
disebut Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak
Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas
Tanah.
Beberapa butir penting dalam pemetaan
wilayah adat adalah sebagai berikut:
Maria SW Sumardjono | 53
koordinasi antara Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup, Kementerian ATR/BPN, dan
Gubernur Papua serta Papua Barat dalam bentuk
Peraturan Bersama. Peran Pemerintah Daerah
sangat penting dalam proses penetapan MHA
beserta wilayahnya.
Maria SW Sumardjono | 55
Beberapa usulan yang termasuk kelompok
pertama, misalnya terkait dengan kedudukan
hak, hapusnya hak atas tanah, sistem pendaftaran
tanah, dan pengadilan pertanahan. Ketentuan
yang menyebutkan bahwa Hak Milik (selanjutnya
disebut HM) yang diberikan di atas tanah Hak
Pengelolaan (selanjutnya disebut HPL) untuk
perumahan dan transmigrasi berakibat bahwa
bagian tanah HPL yang bersangkutan menjadi
hapus itu merupakan hal yang positif karena
kedudukan HM adalah yang paling “kuat” dan
“penuh” jika dibandingkan dengan hak atas tanah
lainnya. Lagipula, HM dan HPL itu tidak dibatasi
jangka waktunya. Penghapusan Hak Sewa Untuk
Bangunan (selanjutnya disebut HSUB) dapat
dipahami karena akan rancu dengan peraturan
bahwa HGB dan HP dapat diberikan di atas tanah
HM. Tetapi, menggantikan HSUB dengan Hak
Sewa Tanah (selanjutnya disebut HST) sebagai
salah satu jenis hak atas tanah yang dapat dicatat
dalam data pendaftaran tanah justru menimbulkan
pertanyaan, yakni: (1) apakah perjanjian sewa
menyewa tanah itu menimbulkan suatu hak atas
tanah; (2) apa pertimbangan hukumnya bahwa
HST perlu dicatat; dan (3) apa akibat hukumnya
Maria SW Sumardjono | 57
seperti halnya UU tentang Pengadilan HAM, Pajak,
Tipikor, Niaga, dan Agama.
Maria SW Sumardjono | 59
pemegang HPL. Bagi kelompok subjek HPL yang
pertama, hanya disebutkan bahwa pemberian
HPL itu adalah untuk pelaksanaan tugas dan
fungsi. Dalam kenyataannya, bagian tanah HPL
Pemerintah/Pemda juga dapat dimanfaatkan
oleh pihak ketiga sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/
Daerah (selanjutnya disebut BMN/D). Lebih lan
jut disebutkan bahwa HPL dapat dilepaskan
atau dialihkan dengan cara tukar bangun. Di sini
tampak kerancuan pengaturan HPL. Jika beraspek
publik, maka HPL harus dilepaskan agar tanahnya
dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak
lain. Jika HPL dialihkan secara langsung, maka
terkesan bahwa HPL dianggap sebagai hak atas
tanah. Seyogianya prosedur yang dirumuskan
sebagai “peralihan” itu dapat ditempuh melalui
pelepasan HPL dengan tujuan tertentu yakni
untuk diberikan kepada pihak yang telah bersedia
menukar bagian tanah HPL itu dengan bangunan.
Untuk pertama kali, HGU dapat diberikan di atas
tanah HPL. Ketentuan ini perlu disinkronkan
dengan peraturan terkait pencatatan aset untuk
Maria SW Sumardjono | 61
dengan Pasal 2 UUPA dan Penjelasan Umum II.2,
tanah ulayat itu merupakan entitas tersendiri, di
samping tanah negara dan tanah hak. Di lain pihak,
HPL itu terjadi karena konversi atau pemberian
di atas tanah negara. MHA itu bukan subjek HPL
dan dalam Pasal 8 ayat (1) juncto Pasal 10 RUUP
disebutkan bahwa HM, HGU, HGB, dan HP dapat
diberikan diatas tanah ulayat secara langsung
dengan kesepakatan antara MHA dan pihak
ketiga melalui perjanjian tertulis. Bahkan, lebih
lanjut dalam Pasal 41 ayat (5)c ditegaskan bahwa
Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya
disebut PNBP) menjadi hak MHA jika di atas
tanah ulayatnya diberikan suatu hak atas tanah.
Inkonsistensi terjadi lagi ketika dalam Pasal 24
ayat (4) disebutkan bahwa jika HGU akan diberikan
di atas tanah ulayat, maka tanah ulayat harus
berstatus HPL terlebih dahulu, sedangkan dalam
Pasal 10 disebutkan bahwa HGU dapat diberikan
di atas tanah ulayat secara langsung.
Ketiga, pengaturan tentang HGU, HGB
dan HP. HGU diberikan untuk jangka waktu 35
tahun, dapat diperpanjang untuk 25 tahun dan
diperbaharui selama 35 tahun. Klausula bahwa
untuk kebutuhan tertentu Menteri dapat menam
Maria SW Sumardjono | 63
tahun. Ketentuan ini juga berlaku terhadap HGB
yang diberikan di atas tanah HM. Akan tetapi,
untuk rusun jangka waktu diberikan untuk 30
tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan
diperbaharui selama 40 tahun {Pasal 30 ayat (3)
dan (5)}. Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu
30 tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan
diperbaharui untuk 30 tahun. Perumusan Pasal 34
ayat (2) bahwa WNA dapat diberikan HP untuk
rumah tempat tinggal/hunian baik berupa rumah
tunggal atau rusun itu membingungkan, karena
bagi WNA terbuka kemungkinan untuk memilih
berlakunya Pasal 29 ayat (2) juncto Pasal 30 ayat (3)
dan (5) yang jelas lebih “menguntungkan” ketika
berniat memiliki apartemen. Di samping itu apa
pertimbangan hukumnya bahwa untuk pemilikan
rumah tunggal kepada WNA diberikan HP?
Di luar inkonsistensi terhadap tiga hal
tersebut di atas terdapat rumusan tentang batas
maksimum penguasaan dan pemilikan tanah {Pa
sal 13 ayat (1)}. Namun demikian, dalam Pasal
13 ayat (2) dibuka kemungkinan untuk mem
buat pengecualian dari ketentuan batas maksi
mum tersebut. Pengecualian itu harus dirinci lebih
lanjut sedemikian rupa sehingga tidak membuka
Maria SW Sumardjono | 65
Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria menyebutkan bahwa tanah kelebihan
maksimum itu merupakan salah satu objek RA
yang dapat diredistribusikan kepada penerima
yang memenuhi syarat.
Reaktif vs Proaktif
Dua hal perlu dicatat terkait kewenangan antar
sektor. Pertama, Pasal 51 menyebutkan bahwa
objek pendaftaran tanah meliputi semua bidang
tanah dan kawasan. Berdasarkan statusnya, yang
didaftar itu adalah tanah negara, tanah hak, dan
tanah ulayat yang beraspek publik sekaligus privat
sesuai dengan Permenag/Kepala BPN 5/1999.
Pengertian “didaftarkan” itu merupakan suatu
proses yang tidak selalu berujung pada terbitnya
sertifikat hak atas tanah. Pendaftaran tanah
negara, yakni tanah yang tidak dilekati dengan
suatu hak atas tanah, dilakukan dengan cara
membubuhkan bidang tanah tersebut dalam daftar
tanah. Terhadap tanah negara tidak disediakan
Buku Tanah dan oleh karena itu tidak diterbitkan
sertifikatnya. Dengan demikian, jika suatu ka
wasan didaftarkan, maka itu didaftar sebagai
tanah negara. Oleh karena itu terhadap tanah yang
Maria SW Sumardjono | 67
hukum itu merupakan suatu sistem, usulan
norma baru seyogianya didukung dengan naskah
kebijakan yang komprehensif sehingga distorsi,
kontestasi, dan reduksi norma dapat dihindari.
*)
Kompas, 15 Agustus 2019.
Isu krusial
Berbagai isu krusial masih ditemukan dalam
RUUP, antara lain pertama, kewenangan atas
tanah, ruang, dan kawasan (tanpa diberikan
definisinya) dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemda. Bagaimana dengan Pemerintah Desa
dan masyarakat hukum adat (MHA)? Menurut
UU Desa, desa itu mempunyai kewenangan ber
dasarkan hak asal-usul, antara lain: mengatur dan
mengurus sumber daya alam, tanah ulayat, dan
tanah desa.
Demikian juga dalam lingkup wilayah MHA,
ada kewenangan MHA yang beraspek publik yakni
mengatur tanah, perairan, hutan, dan SDA (objek
hak ulayat) di atas wilayah tersebut terkait dengan
pemanfaatan, hubungan hukum dan perbuatan
hukum mengenai objek hak ulayat.
Maria SW Sumardjono | 69
Kedua, kedudukan Hak Pengelolaan. HPL
yang semula berkedudukan sebagai ”fungsi”
(publik) pengelolaan itu dalam RUUP dikukuhkan
sebagai “hak” yang bersifat keperdataan. Hak atas
tanah pihak ketiga yang diberikan di atas tanah
HPL itu dapat dialihkan dan dijadikan jaminan
utang dengan dibebani Hak Tanggungan. HPL
juga dapat dialihkan dan dilepaskan kepada pihak
lain. Perlu dipahami bahwa jika tanah HPL itu
merupakan aset, maka hubungan keperdataan
antara pemegang HPL dengan pihak ketiga/mitra
tunduk pada aturan hukum tentang pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) sebagai
lex specialis. Pelepasan dan pemindahtanganan
tanah HPL sebagai aset juga sudah diatur. Jika
perbuatan hukum terkait dengan aset melanggar
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan peraturan terkait
pengelolaan BMN/D (Peraturan Pemerintah No
mor 27 Tahun 2014) itu berdampak terhadap
kerugian negara, maka akibat hukumnya sudah
jelas. RUUP itu tidak diposisikan untuk merancang
aturan yang menyimpangi peraturan tentang aset.
Ketiga, pengukuhan keberadaan hak ulayat
Maria SW Sumardjono | 71
Pakai) sesuai Pasal 2 UUPA dan Penjelasan Umum
II.2. Ini merupakan langkah mundur, dibandingkan
dengan rintisan yang dibuka melalui Pasal 4 ayat
(2) Permenag/Kepala BPN 5/1999. Merupakan
suatu ironi, ketika ketentuan tentang kedudukan
HPL yang ”salah kaprah” justru diperkuat, tetapi
pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat
MHA yang dijamin oleh Konstitusi [(Pasal 18B
ayat (2)] justru diperlemah melalui penghapusan
ketentuan tentang pemberian HGU dan HGB di
atas tanah hak ulayat secara langsung. Hak Milik
(HM) dapat diberikan kepada perseorangan di
atas tanah ulayat melalui pelepasan bagian tanah
ulayat yang akan diberikan dengan HM (Pasal 12).
Keempat, pemerintah menetapkan batas
maksimum penguasaan tanah. Luasan maksimum
seyogianya ditetapkan setelah melalui kajian
karena perbedaan karakter hak atas tanah, besaran
modal, skala usaha, jenis usaha, dan lain-lain.
Luasan yang telah ditetapkan dalam peraturan
pelaksanaan UU itu pun pada suatu saat bisa
berubah karena kemajuan teknologi dan lain-lain.
Pemegang hak yang menguasai dan memi
liki tanah melebihi batas maksimum, harus me
lepaskan kelebihan tanahnya atau dikenakan
Maria SW Sumardjono | 73
Kelima, sebagaimana halnya dengan HPL,
di atas HM dapat diberikan HGU. Ketentuan ini
jelas melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA.
Ketika HPL dan HM disamakan dengan tanah
negara, artinya Pasal 2 UUPA serta Penjelasan
Umum II.2 sudah dihapus. Pengaturan tentang
HGU di atas tanah HPL memperkuat dugaan
tentang pemberian status hak keperdataan HPL
agar HPL dapat dijadikan dasar untuk pemberian
semua jenis hak atas tanah. Bisa jadi, lama
kelamaan tanah negara sudah tidak ada lagi dan
digantikan dengan HPL. Pemberian HGU yang
tanahnya berada dalam kawasan hutan didahului
dengan pelepasan kawasan hutan supaya menjadi
tanah negara yang diberikan dengan HPL atas
nama Kementerian ATR/BPN. Di atas tanah HPL
itulah diberikan HGU. Selama ini HGU diberikan
di atas tanah negara. Tanah HPL itu berbeda
dengan tanah negara, karena itu mengingat Pasal
5 ayat (2) RUUP tentang kewenangan pemegang
HPL dan peraturan tentang pengelolaan BMN/D,
pemberian hak di atas tanah HPL itu tidak dapat
menggunakan konstruksi hukum pemberian hak
atas tanah di atas tanah negara.
Maria SW Sumardjono | 75
dianggap sebagai tanah negara dengan status HPL
atas nama Kementerian?
Terhadap HGB dan HP juga hanya dapat di
berikan satu kali perpanjangan. Dalam keadaan
tertentu HGB dan HP dapat diberikan perpan
jangan kedua. Klausula ”keadaan tertentu” itu me
nimbulkan ketidakpastian hukum karena penge
cualian itu menunjukkan tidak adanya ketegasan.
Berbeda dengan HGU, HGB, dan HM, HP dapat
diberikan di atas tanah ulayat secara langsung
dengan persetujuan MHA. Tidak ada konsistensi
RUUP terkait pengaturan pemberian hak atas
tanah di atas tanah ulayat.
Keenam, pengaturan tentang pemilikan
sarusun (Hak Milik atas Satuan Rumah Susun/
selanjutnya disebut HMSRS) menunjukkan penaf
siran manasuka tentang asas pemisahan horison
tal. Dalam konsep rumah susun, pemilikan atas
unit/flat/apartemen bersifat individual sekaligus
pemilikan bersama yang tak terpisahkan atas
tanah, bagian, dan benda. Tanda bukti HMSRS
adalah sertifikat HMSRS yang diterbitkan oleh Ke
menterian ATR/BPN. RUUP menyebutkan bahwa
ketika HMSRS dibebani dengan Hak Tanggungan
jaminannya tidak termasuk tanah-bersama itu
Maria SW Sumardjono | 77
bagian-bersama dan benda-bersama, tanpa ta
nah-bersama. Tanda bukti kepemilikannya berupa
Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (selan
jutnya disebut SKBG) yang diterbitkan oleh ins
tansi teknis kabupaten/kota urusan bangunan
gedung. SKBG dapat dijadikan jaminan utang de
ngan fidusia. Rumusan dan gagasan yang diatur
dalam RUUP itu jelas merambah kewenangan
sektor lain secara diam-diam.
Ketujuh, ketentuan tentang Bank Tanah
(selanjutnya disebut BT) terkait kelembagaan,
tugas dan fungsinya perlu dibicarakan dengan
Kementerian Keuangan karena terkait dengan
pengelolaan aset agar tidak rancu dengan lembaga
yang sudah ada. Ketentuan bahwa BT dapat me
ngelola aset secara mandiri dengan antara lain
melakukan kerjasama dengan pihak ketiga ber
potensi untuk diprioritaskan ketimbang melak
sanakan tugas dan fungsi utamanya untuk menye
diakan dan mendistribusikan tanah agar terjamin
ketersediaan tanah untuk kepentingan umum,
kepentingan sosial, dan lain-lain. Karena tugas
dan fungsi utamanya itu maka tidak tepat jika BT
menjadi subjek HPL.
Maria SW Sumardjono | 79
hukum, keberadaannya akan didukung oleh ma
syarakat.
*)
Kompas, 28 November 2019.
Maria SW Sumardjono | 81
kehutanan, infrastruktur, pesisir/kelautan, dan
lain-lain.
Karena sifatnya yang kompleks, konflik agra
ria tidak tepat untuk diselesaikan melalui lembaga
peradilan. Penyelesaian secara musyawarah juga
jarang berhasil. Rekomendasi yang dikeluarkan
jarang dilaksanakan karena merupakan kewajiban
moral yang tak ada sanksinya.
Maria SW Sumardjono | 83
petani, MHA, dan rakyat pada umumnya sehingga
konflik dan kekerasan yang mengiringinya dapat
dicegah dan ditanggulangi.
Sekitar tahun 2003 telah disusun Naskah
Akademik (selanjutnya disebut NA) dan RUU
tentang Sumberdaya Agraria dan RUU tentang
Pengelolaan Sumberdaya Alam yang berfungsi
sebagai lex generalis, yang karena satu dan lain hal
tidak berlanjut.
Mandat TAP MPR No. IX/2001 untuk meng
kaji ulang UU sektoral yang tidak sinkron satu
sama lain itu juga belum dijalankan oleh Presiden
dan DPR. Dalam melaksanakan salah satu rencana
aksi terkait analisis tumpang tindih perizinan di
bidang SDA yang diinisiasi oleh KPK, dibentuk
Tim Kajian yang bekerja sejak tahun 2015,
dan pada tahun 2017 menyelesaikan “Kajian
Harmonisasi UU di Bidang Sumberdaya Alam-
Lingkungan Hidup”.Dua puluh enam UU sektoral
dikaji harmonisasinya berdasarkan tolok ukur
yang disarikan dari prinsip-prinsip PA, yang
terdiri dari 7 kriteria yang selanjutnya dijabarkan
dalam berbagai indikator. Setiap UU dianalisis
mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai
Saling Mendukung
Sudah saatnya mempertimbangkan penyu
sunan Omnibus Law SDA. NA dan RUU yang
disusun pada tahun 2003 dapat digunakan sebagai
pijakan awal penyusunan Omnibus Law terkait
Penguasaan dan Pengelolaan SDA.
Maria SW Sumardjono | 85
Implementasi Omnibus Law investasi itu
tidak akan maksimal jika perolehan tanah rentan
terhambat konflik agraria. Namun, pembentukan
Omnibus Law SDA tidak mencukupi. Restrukturisasi
ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
melalui redistribusi tanah dalam rangka RA perlu
terus diupayakan dan UU tentang Hak MHA perlu
segera diterbitkan seraya membentuk lembaga
independen untuk penyelesaiaan konflik agraria
yang kompleks dan masif itu. Perlu upaya simultan
untuk melaksanakan agenda RA itu sehingga
keadilan agraria dapat tercapai dan perolehan
tanah yang berkepastian hukum untuk keperluan
investasi terjamin.
Maria SW Sumardjono | 87
timbul karena adanya hubungan hukum antara
subyek/pemegang hak dan objek/hak atas tanah,
yang melahirkan kewenangan bagi pemegang
hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum
terhadap tanahnya (Pasal 2 ayat (2) huruf b dan c,
yis Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) UUPA).
SK Pemberian Hak membebankan kewajiban bagi
pemohon untuk mendaftarkan tanahnya. Kapan
pemegang hak mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap tanah
nya? Pada saat hak atas tanah sudah didaftar
(terbit sertifikatnya), saat itulah pemegang hak
berwenang melakukan perbuatan hukum terkait
hak atas tanahnya karena sudah ada kepastian
hukum terkait pemegang hak, macam hak, dan
objek hak (letak, luas, dan batas-batasnya).
Hak atas tanah dapat juga terjadi karena Un-
dang-Undang, misalnya karena ketentuan kon
versi menurut UUPA. Berbeda dengan penetapan
pemerintah, konversi adalah perubahan dari hak
atas tanah yang sudah ada sebelum UUPA men-
jadi suatu hak atas tanah sesuai dengan UUPA.
Dalam hal ini, haknya atau hubungan hukumnya
sudah ada, tetapi karena perintah UU harus di-
ubah menjadi suatu hak atas tanah sesuai dengan
Maria SW Sumardjono | 89
Undang-undang, misalnya karena ketidak sesuaian
antara pemegang hak dan hak atas tanahnya.
Dengan hapusnya hak atas tanah, maka tanahnya
menjadi tanah negara; hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanahnya sudah
tidak ada lagi. Tetapi karena hukum tanah nasional
menganut azas pemisahan horizontal, hubungan
hukum antara bekas pemegang hak dengan benda-
benda yang ada di atas tanah yang bersangkutan
masih ada.
Isu Krusial
Pertama, ganti kerugian untuk pengadaan
tanah yang diberikan kepada bekas pemegang hak,
dengan bukti sertifikat yang sudah berakhir haknya
(Pasal 23 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Ke
pentingan Umum). Perpres mengkategorikan
bekas pemegang hak sebagai pihak yang menguasai
tanah negara dengan itikad baik. Yang menjadi
masalah adalah, dalam hal tersebut di atas, hu
bungan antara bekas pemegang hak dengan
tanahnya sudah tidak ada lagi. Bekas pemegang
hak itu sudah tidak mempunyai kewenangan
Maria SW Sumardjono | 91
Kedua, lamanya waktu penguasaan tanah
dengan itikad baik yang melahirkan suatu hak.
Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah menyebutkan jangka waktu 20 tahun atau
lebih secara berturut-turut penguasaan bidang
tanah, disamping harus didasari dengan itikad baik
dan persyaratan lain. Peraturan Presiden Nomor
62 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Dampak
Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan
Tanah untuk Pembangunan Nasional, dalam
Pasal 5 disebutkan persyaratan penguasaan tanah
secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus
menerus bagi pihak yang menguasai tanah negara,
atau tanah yang dimiliki oleh pemerintah/pemda,
BUMN/D dan memenuhi kriteria serta persyaratan
tertentu, diberikan santunan. Terdapat perbedaan
jangka waktu antara yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah (selanjutnya disebut PP) dan Perpres.
Ketiga, dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a
Peraturan Presiden Nomor 86 Thaun 2018 tentang
Reforma Agraria (RA) disebutkan bahwa terkait
dengan HGU dan HGB yang sudah berakhir jangka
waktunya dan tidak dimohonkan perpanjangan
atau pembaruannya, dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun setelahnya baru dapat efektif berlaku seba
*)
Kompas, 22 Februari 2020.
Maria SW Sumardjono | 93
berpotensi “menyimpang” dari konsep, filosofi, dan
prinsip atau asas dari UU asalnya.
Dalam Rapat Terbatas (selanjutnya disebut
RaTas) di Bogor tanggal 27 Desember 2019, Pre
siden telah mengingatkan agar RUU Cipta La
pangan Kerja (RUU) tidak dijadikan tempat untuk
menampung keinginan kementerian dan lem
baga, dan tidak menerjemahkan Visi Indonesia
sebagaimana disampaikan dalam Pidato Presiden
tanggal 14 Juli 2019 di Sentul International
Convention Center, Bogor.
Perihal ketertutupan dalam proses penyusun
annya, hal ini tak sesuai dengan Keputusan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No
mor 378 Tahun 2019 tentang Satuan Tugas Ber
sama Pemerintah dan KADIN untuk Konsultasi
Publik Omnibus Law. Pasal 2 SK menegaskan
bahwa tugas Satuan Tugas (selanjutnya disebut
satgas) adalah melakukan konsultasi publik cipta
lapangan kerja dan perpajakan dan melakukan
inventarisasi masalah dan memberikan masukan
untuk penyempurnaan RUU hasil konsultasi
publik. Keterlibatan pemangku kepentingan dan
pihak lain yang terkait dibuka melalui Pasal 4.
Maria SW Sumardjono | 95
suatu ketentuan yang dibangun berdasarkan
filosofi, konsepsi, dan asas/prinsip tertentu tidak
dapat dilakukan dengan mengubah/mengganti
filosofi, konsepsi, dan prinsip dasarnya. Setiap
perubahan harus dilakukan secara taat asas. Bila
hal ini dilanggar, maka yang terjadi adalah ketidak
pastian hukum.
Mencermati penyederhanaan pengaturan di
bidang pertanahan dalam RUU tampak bahwa isu-
isu krusial dalam RUU Pertanahan (RUUP) versi 9
September 2019 yang antara lain menjadi penyebab
ditundanya pembahasan RUUP pada tanggal 23
September 2019, dimunculkan (kembali) dalam
RUU (lihat “Pemantapan RUU Pertanahan” dan
“Pertaruhan RUU Pertanahan” dalam Opini Kom
pas, 16/11/2018 dan 15/8/2019). Pengaturan
tentang Bank Tanah dalam Pasal 123 s/d Pasal 128
RUU sama dengan pengaturannya dalam RUUP
(Pasal 75 s/d Pasal 79); pengaturan tentang Hak
Pengelolaan dalam Pasal 129 s/d Pasal 135 RUU
dapat dijumpai dalam Pasal 5 s/d Pasal 9 RUUP;
ketentuan tentang Rumah Susun dalam Pasal 136
s/d Pasal 138 RUU tak berbeda dengan ketentuan
dalam Pasal 46 RUUP.
Maria SW Sumardjono | 97
diberikan perpanjangannya sekaligus. Ketiga,
RUU membuka peluang bagi WNA untuk memiliki
Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang berdiri di
atas tanah HGB itu melanggar konsepsi universal
tentang Rumah Susun (Strata Title). Kepemilikan
HMSRS secara individual merupakan kesatuan
yang tak terpisahkan dengan kepemilikan atas
tanah-bersama, benda-bersama, dan bagian-ber
sama tempat rumah susun berdiri. Lebih lanjut,
pengaturan yang salah kaprah ini juga melanggar
ketentuan UUPA tentang kaitan antara subjek hak
dan hak atas tanah yang dapat dipunyai seseorang.
Pengaturan substansi tersebut di atas dalam
RUU jelas merupakan pelanggaran terhadap
filosofi, konsepsi, prinsip/asas UUPA, disamping
juga melanggar Konstitusi sebagaimana telah
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/
PUU-V/2007.
Perumusan yang tak taat asas itu jelas me
nimbulkan masalah ketidakpastian hukum dan
menunjukkan ketidakpahaman makna bahwa
hukum itu merupakan suatu sistem yang utuh.
UU dapat dirubah, akan tetapi perubahan itu tidak
dapat dilakukan dengan menghalalkan segala
Maria SW Sumardjono | 99
agraria melalui penyediaan tanah khusus untuk
program Reforma Agraria.
Meningkatkan daya tarik investasi dengan
memberikan hak atas tanah 90 tahun atau per
panjangan hak sekaligus dengan pemberiannya,
itu jelas melanggar Konstitusi. Kemudahan dapat
diberikan melalui penyederhanaan administrasi,
misalnya permohonan perpanjangan hak dapat
dilakukan 5 tahun sebelum hak berakhir (lihat
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
BPN Nomor 7 Tahun 2017 Pengaturan dan Tata
Cara Penetapan Hak Guna Usaha) untuk diproses
SKnya, akan tetapi perpanjangan haknya diberikan
bersamaan dengan pendaftarannya.
Kedua, mengembalikan HPL sebagai “fungsi”
pengelolaan yang bersifat publik, harus dilakukan
dengan: (1) penegasan bahwa HM, HGB, dan Hak
Pakai dapat diberikan di atas HPL, tetapi HGU
tetap hanya dapat diberikan di atas tanah negara
sesuai dengan UUPA; (2) kewenangan pihak ketiga
untuk melakukan perbuatan hukum melalui pe
manfaatan sebagian tanah HPL, diserahkan kepada
ketentuan tentang pemanfaatan HPL sebagai aset
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, di luar rezim hukum pertanahan.
ISU PERTANAHAN
DALAM RUU CIPTA KERJA
A. Pengantar
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
(selanjutnya disebut RUU Cipta Kerja) disusun
dengan memfokuskan pada prasyarat investasi,
yakni: (1) stabilitas politik dan keamanan; (2)
efisiensi pasar (kebijakan, aspek legal, pajak, dan
akses ke sumber daya alam/SDA); (3) besarnya
pasar domestik; (4) kondisi dan stabilitas makro
ekonomi; dan (5) infrastruktur, tenaga kerja, dan
pasar keuangan. Tampaknya, dari kelima prasyarat
itu, dengan pertimbangan bahwa peraturan dan
perijinan itu rumit dan tumpang tindih, dipilih
jalan pembentukan undang-undang dengan me
tode omnibus law dengan bertumpu pada prasyarat
kedua dan kelima.
b. Ganti kerugian
Dalam Penjelasan RUU disebutkan sebagai
contoh penerima ganti kerugian pemakai tanah
Bawah Tanah/ Dalam Bumi, Ruang Bawah Air, dan Ruang Udara
di atas Tanah, Penerbit Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta,
2018.