Anda di halaman 1dari 169

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara pa­ling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii | Agenda yang Belum Selesai


AGENDA YANG BELUM SELESAI:

REFLEKSI ATAS BERBAGAI


KEBIJAKAN PERTANAHAN

Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono., S.H., MCL., MPA

Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
2020

Maria SW Sumardjono | iii


Agenda yang Belum Selesai:
Refleksi atas Berbagai Kebijakan Pertanahan
©2020 Maria SW Sumardjono

Penulis:
Maria SW Sumardjono
Penyunting:
Fajri M. Muhammadin
Abimanyu Farras
Layouter:
Ipunk Wardoyo
Desain Cover:
Ipunk Wardoyo
Foto Cover:
Suherman

Diterbitkan oleh:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Yustisia No.1 Bulaksumur, Depok, Sleman
D.I.Yogyakarta, 55281
Telp/Fax. (0274) 512781
Website: http://law.ugm.ac.id/

ISBN: 978-602-187-758-6

Cetakan Pertama
April 2020, xii + 156 / 12 x 17,5 cm

Hak cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

iv | Agenda yang Belum Selesai


KATA PENGANTAR

Pada tanggal 24 September 2020, Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA) berusia 60 (enam puluh) tahun. Upaya
penyempurnaan UUPA, me­luruskan tafsir terhadap
ketentuan-ketentuan UUPA, dan meminimalkan
ketidakharmonisan antara UU sektoral dengan
UUPA, telah ditempuh dua kali namun mengalami
kegagalan.
Pada pembahasan Rancangan Undang-Un­
dang Pertanahan (selanjutnya disebut RUUP) yang
pertama, penundaan terjadi pada bulan September
2014, sedang­kan penundaan proses pembahasan
RUUP yang kedua terjadi pada tanggal 23 Sep­
tember 2019.
Berbeda dengan alasan penundaan RUUP pada
tahun 2014, penundaan pembahasan RUUP pada
23 September 2019 lebih dinamis dan dramatis

Maria SW Sumardjono | v
karena digaungkan oleh berbagai elemen masyara-
kat sipil (akademisi, organisasi non pemerintah,
selanjutnya disebut ornop, dan lain-lain) yang tak
sepakat ter­hadap berbagai isu krusial dalam RUUP
yang jelas bertentangan dengan tujuan pemben-
tukan RUUP, di samping substansinya berpotensi
bertentangan dengan konsepsi dan asas-asas/
prinsip UUPA, prinsip-prinsip Pembaruan Agraria-
Pengelolaan Sumberdaya Alam (selanjutnya dise-
but PA-PSDA) yang dimuat dalam Ketetapan MPR
RI No. IX/TAP/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (selanjutnya
disebut TAP MPR No. IX/2001), bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI
Tahun 1945) dan putusan Mahkamah Konstitusi
yang relevan
Dalam pada itu, berbagai kebijakan pertanah­
an yang diterbitkan tidak memberikan kepastian
hukum, tetapi justru sebaliknya. Hal ini antara lain
dapat dilihat pada PermenATR/Ka BPN Nomor
21 Tahun 2015 tentang Pendayagunaan Tanah
Negara untuk Pedagang Kaki Lima; PermenATR/
Ka BPN Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas

vi | Agenda yang Belum Selesai


Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian
oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia;
dan PermenATR/Ka BPN Nomor 18 Tahun 2019
tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Berbagai kebijakan tersebut dibentuk tanpa
pema­haman yang mendalam dan komprehensif
ten­tang konsepsi yang melandasinya dan mene­
rapkan asas hukum pertanahan secara keliru.
Ironisnya, barangkali hal ini dianggap sebagai
pemikiran yang “out of the box”(?), tetapi di
sisi lain tetap tidak berani menun­jukkan sikap
objektif terhadap keberadaan masyarakat hukum
adat sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945. Kiranya perlu cara berpikir reflektif
dengan dilandasi pemahaman yang mendalam dan
komprehensif tentang konsep, prinsip, dan asas-
asas hukum pertanahan dan bidang hukum terkait
yang relevan dalam merancang setiap kebijakan
pertanahan. Jika hal ini tidak ditempuh, kebijakan
pertanahan yang diterbitkan berpotensi kontra
produktif, tak imple­mentatif dan tak bermanfaat
bagi siapa pun.
Buku ini disusun dengan mengumpulkan
ber­bagai tulisan maupun artikel yang barangkali

Maria SW Sumardjono | vii


dapat membantu untuk merefleksikan berbagai
kebijakan pertanahan saat ini, dengan harapan
bahwa kebijakan pertanahan ke depan dapat
disusun berdasarkan ba­ngunan konsep dan asas
hukum pertanahan dan bidang hukum lain yang
terkait secara taat asas.
Selamat membaca.

Yogyakarta, 23 April 2020

Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA

viii | Agenda yang Belum Selesai


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................... iv


DAFTAR ISI ....................................................... v
DAFTAR BAGAN ...............................................

BAB I MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN


HAK ULAYAT ..................................... 1
A. Pengakuan Hak Ulayat yang
Akomodatif........................................... 1
1. Pengakuan Menurut Pasal 18B
ayat (2) UUD Negara Republik
Indonesia 1945 dan Analoginya
dengan Pengakuan terhadap Bekas
Hak-hak Indonesia atas Tanah ....... 4
2. Analogi Pengakuan Hak Perorang-
an Atas Tanah (Bekas) Hak Milik
Adat terhadap Pengakuan Hak
Ulayat MHA..................................... 7
B. Hak Ulayat: Kembali ke Telaah Awal... 12

Maria SW Sumardjono | ix
1. Hak Ulayat: Kedaulatan MHA atas
Wilayah Tertentu ............................ 16
2. Objek Hak Ulayat ............................ 18
3. Subjek Hak Ulayat dan Kewenang-
annya ............................................... 22
4. Hubungan Hukum dengan Pihak
Ketiga .............................................. 30
C. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
dan Hak Perorangan Warga Masyara-
kat Hukum Adat Berdasarkan Perda-
sus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun
2008 dalam Konsepsi tentang Hak
Ulayat . ................................................. 32
1. Umum . ............................................ 32
2. Ragaan Konstruksi Hukum terkait
Tanah Negara, Tanah Hak, dan
Tanah (Hak) Ulayat dalam
Hubungan antara Negara dengan
Tanah dalam sistem Hukum Tanah
Nasional . ......................................... 37
3. Catatan terhadap Perdasus No. 23
Tahun 2008 ..................................... 48
4. Akselerasi Pendaftaran Tanah
dalam Wilayah Hak Ulayat MHA ... 52

x | Agenda yang Belum Selesai


BAB II PERMASALAHAN TANAH YANG
AKTUAL .............................................. 55
A. Pemantapan RUU Pertanahan . .......... 55
B. Pertaruhan RUU Pertanahan . ............ 68
C. “Omnibus Law” Sumberdaya Alam .... 80
D. Kompleksitas Tanah Negara ............... 86
E. RUU Cipta Kerja dan Pertanahan . ..... 93

BAB III ISU PERTANAHAN DALAM RUU
CIPTA KERJA .................................... 103
A. Pengantar . ........................................... 103
B. Analisis berbagai Isu Krusial terkait
dengan Pengaturan di bidang Perta-
nahan dalam RUU ............................... 108
1. Pengaturan tentang Pengadaan
Tanah (Pasal 120-121) .................... 108
2. Pengaturan terkait Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelan-
jutan (PLP2B) .................................. 115
3. Pengaturan tentang Pertanahan .... 118
4. Isu Terkait Lainnya.......................... 129
C. Kesimpulan dan Rekomendasi ........... 141

DAFTAR PUSTAKA ........................................... 145


TENTANG PENULIS ......................................... 149

Maria SW Sumardjono | xi
DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Ragaan Konstruksi Hukum terkait


Tanah Negara, Tanah Hak, dan
Tanah (Hak) Ulayat dalam Hubung-
an antara Negara dengan Tanah
dalam Sistem Hukum Nasional...... 37
Bagan 2. Hak Ulayat....................................... 46
Bagan 3. Pengakuan Keberadaan MHA dan
Hak Ulayat....................................... 47
Bagan 4. Kepastian Hukum Hak Ulayat........ 47

xii | Agenda yang Belum Selesai


BAB I

MASYARAKAT HUKUM ADAT


DAN HAK ULAYAT

A. Pengakuan Hak Ulayat yang Akomodatif*)


Sebagaimana layaknya setiap klaim atas sebi­
dang tanah, ketika berbicara tentang hak ulayat
Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut
“MHA”), fokus uta­manya adalah: (a) siapa subjek/
pemegang haknya; (b) di mana objeknya (letaknya,
luasnya, batas-batasnya); dan (c) apa hubungan
hukum antara subjek dengan objek tersebut.
Jika menyangkut tentang klaim orang atas
sebi­dang tanah, peraturan perundang-undangan
sudah cukup mengaturnya. Mengingat bahwa

*)
Disampaikan sebagai Pengantar pada FGD “Kondisi Aktual
Penguasaan Tanah Ulayat dan Implikasinya terhadap Kebijakan
Pengakuan dan Pendaftarannya”, FH UGM, Yogyakarta, 23
April 2019.

Maria SW Sumardjono | 1
menurut Pasal 2 UUPA dan ditegaskan lebih lanjut
dalam Penjelasan Umum II.2 itu terdapat 3 (tiga)
entitas tanah dalam hubungan hukum antara
negara dengan tanah; tampaknya yang sama sekali
belum tuntas adalah pembahasan tentang tanah
(hak) ulayat.
Ketidaktuntasan pembahasan itu antara
lain dapat dilihat pada: (a) fokus pembahasannya
adalah pada penga­kuan keberadaan hak ulayat;
(b) mayoritas pem­bahasan dan/atau peraturan
perundang-undangan mengawali eksistensi hak
ulayat dengan penentuan subjek hak ulayat.
Pembahasan yang berkutat pada masalah teknis
itu kemudian menjebak alam pikiran menjadi
pertama, bahwa pengakuan itu merupakan
syarat keberadaan hak ulayat dan harus ada
wadah untuk pengakuan tersebut dalam bentuk
Peraturan Daerah (lihat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang
hak ulayat MHA). Kedua, persyaratan tentang
keberadaan itu pada umumnya menafikan aspek
sosio-antropologis suatu MHA. Ketiga, belum
dipahaminya secara utuh tentang pemilahan hak
ulayat berdasarkan kewenangan yang dipunyai
oleh MHA-nya; bahwa ada hak ulayat yang kewe­

2 | Agenda yang Belum Selesai


nangan MHA-nya berunsur publik sekaligus
privat, dan ada yang hanya berunsur privat
semata. Kelompok yang pertama mempunyai
kewe­­nangan untuk mengatur secara bersama
hubungan hukum dan perbuatan hukum terkait
tanah ulayat yang bersangkutan. Kewenangan
privatnya ada pada pene­kanan bahwa hak ulayat
itu merupakan kepunyaan bersama. Adapun ke­
lompok kedua menegaskan bahwa kewenangan
privat semata itu merupakan kewenangan untuk
bersama-sama menguasai dan memanfaatkan hak
bersama itu. Keempat, ketidak­tepatan anggapan
bahwa objek hak ulayat itu hanya berupa tanah.
Hak ulayat sebagai ruang hidup MHA meliputi
tanah dan segala sesuatu yang ada di atas tanah
tersebut (hutan, tebat, dll). Kebuntuan dalam
siklus berpikir ini telah berdampak pada “maju-
mundurnya” upaya pengaturan tentang MHA
dalam bentuk Undang-Undang (selanjutnya dise­
but UU) di suatu pihak, dan dipihak lain peraturan
perundang-undangan di bawah UU diterbitkan
sesuai dengan kepentingan sektoral yang sering
justru menimbulkan kebingungan (antara lain,
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015

Maria SW Sumardjono | 3
Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
yang berada dalam Kawasan Tertentu) atau juga
tidak kunjung mengaturnya secara tuntas dengan
alasan ”menunggu” UU terkait MHA (Peraturan
Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penye­
lesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hu­tan).
Bisa jadi, berputar-putarnya pembahasan ten­
tang hak ulayat MHA berpangkal pada masalah:
apakah sebetulnya yang dimaksudkan dengan
“pengakuan” hak ulayat dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945? Barangkali dengan
menggunakan cara berpikir analogi dengan meng­
gunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) dan peraturan pelak­
sanaannya sebagai landasan hukum, dapat diusul­
kan jalan keluarnya.

1. Pengakuan Menurut Pasal 18B ayat (2) Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
dan Analoginya dengan Pengakuan terhadap
Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah.
Pasal 18B ayat (2) menyebutkan bahwa Negara
mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan

4 | Agenda yang Belum Selesai


MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI”
Dari rumusan tersebut makna “pengakuan”
oleh Negara adalah dalam arti “declaratoir”, yakni
menyata­kan sesuatu yang sudah ada.
Bagaimana analoginya dengan bekas hak-hak
In­do­nesia atas tanah, atau lebih sering disebut
sebagai (bekas) hak milik adat? UUPA, melalui
Pasal II, Pasal VI, Pasal VII dan Pasal IX ketentuan
Konversi, telah mende­klarasikan/menyatakan bah­
wa dengan berlakunya UUPA, hak-hak atas tanah
adat dengan nama apapun demi hukum, menjadi
Hak Milik atau Hak Pakai sesuai ketentuan UUPA.
Intinya adalah, UUPA mengakui bahwa hak atas
tanah adat yang dipunyai oleh orang perseorangan
itu sudah ada sebelum terbitnya UUPA dan
dengan terbitnya UUPA, hak-hak sedemikian itu
dikonversi atau dirubah menjadi Hak Milik atau
Hak Pakai sesuai UUPA.
Bagaimana UUPA menindaklanjuti pengakuan
tersebut dalam rangka menghormati hak atas
tanah dari orang perseorangan tersebut agar
terhindar dari gangguan pihak lain dan dengan
demikian pemegang hak dapat menjalankan

Maria SW Sumardjono | 5
hak dan kewajibannya sesuai kewenangan yang
melekat pada isi hak atas tanahnya tersebut?
Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri
Pertanahan dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962
tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran
Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah (selanjutnya
disebut PMPA 2/1962).
Tujuan utama PMPA adalah penuntasan proses
administrasi hak atas tanah adat tersebut. Hak atas
tanahnya sudah ada, tetapi proses administrasinya
perlu dituntaskan. Belum didaftarkannya hak atas
tanah adat itu tidak meniadakan keberadaannya.
Secara garis besar, sebagai tindak lanjut Ketentuan
Konversi terkait, PMPA 2/1962 membedakan an­
tara penegasan hak dan pengakuan hak. Meka­
nisme penegasan hak ditempuh jika hak-hak adat
itu telah diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah
yang dibuat berdasarkan peraturan tertentu, dan/
atau jika hak itu tidak diuraikan dalam suatu surat
tanah, maka permohonan penegasan disertai de­
ngan tanda bukti hak (surat pajak hasil bumi/
Verponding Indonesia atau bukti surat pemberian
hak oleh instansi yang berwenang (Pasal 2 dan
Pasal 3 PMPA 2/1962).

6 | Agenda yang Belum Selesai


Bagaimana jika di atas hak tersebut tidak
ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya? Pasal
7 PMPA 2/1962 memberikan jalan keluar, yakni
atas permohonan yang bersangkutan diberikan
pengakuan hak berdasarkan hasil pemeriksaan
Panitia A yang kemudian setelah diumumkan tidak
ada keberatan terkait haknya, siapa yang empunya
maupun letak, luas dan batas-batas tanahnya.
Dengan perkataan lain, terpenuhi kelengkapan
data yuridis dan data fisik bidang tanah yang
bersangkutan. Mekanisme penegasan dan penga­
kuan hak ini kemudian ditegaskan dalam Pera­
turan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP
24/1997).

2. Analogi Pengakuan Hak Perorangan Atas Tanah


(Bekas) Hak Milik Adat terhadap Pengakuan Hak
Ulayat MHA
Tiga hal dapat disimpulkan dari proses dan
meka­nisme konversi hak adat atas tanah dengan
terbitnya UUPA, yakni
1. Hak tanah adat itu sudah ada sebelum
terbitnya UUPA dan kenyataan itu diakui oleh
UUPA melalui Ketentuan Konversi.

Maria SW Sumardjono | 7
2. Untuk menghormati hak yang sudah ada itu,
maka keberadaannya ditindaklanjuti dengan
pendaf­taran haknya, melalui mekanisme
“penegasan hak” atau “pengakuan hak”. Be­
lum didaftarkannya hak atas tanah itu tidak
meniadakan haknya. Pendaftaran tanah ber­
fungsi untuk menuntaskan proses admi­nis­
trasinya.
3. Dalam praktiknya, jika semula proses pen­
daftaran haknya ditempuh atas inisiatif pemo­
hon, dalam perkembangannya mela­lui pen­
daftaran tanah sis­tematis pemerin­tah dapat
mengambil inisiatif untuk pendaf­tarannya.
Bagaimana jika konsepsi tentang pengakuan
terha­dap hak-hak atas tanah adat yang dipunyai
oleh orang perseorangan itu diterapkan untuk
pengakuan hak ulayat MHA? Bertumpu pada tiga
hal penting yang disimpulkan di atas dan konsep
pengakuan hak menurut PMPA dan peraturan
perundang-undangan terkait, tampaknya ter­ha­
dap pengakuan hak ulayat dapat ditempuh meka­
nisme serupa.
Pertama, Pasal 18B ayat (20) sebagaimana
UUPA, mengakui keberadaan hak ulayat MHA
yang sudah ada sebelum Proklamasi 17 Agustus

8 | Agenda yang Belum Selesai


1945. Kedua, untuk penuntasan pengakuan
MHA, dapat dilakukan atas inisiatif MHA yang
bersangkutan dan/atau atas inisiatif pemerintah
daerah. Kepastian tentang subjek hak ulayat
ditempuh melalui proses sosio-anthropologis, dan
tidak melulu melalui proses yang yuridis-meka­
nistis. Harus ditempuh dua pendekatan itu untuk
menemukenali subjek hak ulayat sesuai dengan
realitas yang ada.
Inisiatif MHA dapat berujung pada pen­
daftaran tanah ulayat yang dapat berupa: (1)
sertifikat hak milik bersama atas tanah ulayat yang
berunsur privat belaka; atau (2) pendaftaran tanah
yang tidak berbentuk sertifikat terhadap tanah
ulayat yang berunsur publik dan privat. Dalam
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masa­lah Hak Ulayat MHA (selanjutnya disebut
Permenag/Kepala BPN 5/1999), disebutkan bahwa
keberadaan tanah ulayat MHA yang masih ada
dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah
dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan
apabila memungkinkan menggambarkan batas-
batas serta mencatatnya dalam daftar tanah.

Maria SW Sumardjono | 9
Ketiga, jika pengakuan hak milik adat kepu­
nyaan orang perorangan itu dituangkan dalam
sertifikat, maka terhadap hak ulayat yang berunsur
privat belaka, pengakuan dituangkan dalam ser­
tifikat tanah (milik) bersama.
Bagaimana dengan tanah ulayat yang berunsur
publik sekaligus privat? Karena hak ulayat ini berisi
kewenangan untuk mengatur hubungan hukum
dan perbuatan hukum terkait hak ulayatnya
yang meliputi wilayah tertentu yang merupakan
yurisdiksinya, maka kiranya dapat dipahami jika
disamping keberadaannya dicatat dalam daftar
tanah, deklarasi tentang subjek (MHA) dan objek
hak ulayat (letak, luas, dan batas-batasnya) dapat
dituangkan dalam bentuk Keputusan Kepala
Daerah karena sudah menunjuk subjek dan objek
hak ulayat tersebut. Bagaimana dengan Peraturan
Daerah (selanjutnya disebut Perda) tentang Hak
Ulayat? Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa
Perda/Peraturan Kepala Daerah (selanjutnya dise­
but Perkada) itu bersifat mengatur, dengan demi­
kian materi muatannya menya­takan hal-hal yang
umum terkait hak ulayat.
Jika MHA dan/atau Pemerintah Daerah siap
untuk melaksanakan proses pengakuan MHA

10 | Agenda yang Belum Selesai


secara partisipatif maka tidak ada masalah ketika
seluruh proses itu telah ditempuh kemudian
dikuatkan dengan Surat Keputusan (selanjutnya
disebut SK) Kepala Daerah, khususnya untuk hak
ulayat yang beraspek publik sekaligus privat.
Terkait dengan Pendaftaran Tanah Sistematik
Lengkap (selanjutnya disebut PTSL) yang objeknya
tanah ulayat, dapat dimaknai sebagai “jembatan”
untuk pengakuan hak ulayat MHA melalui pen­
dekatan iden­tifikasi objek yang dilengkapi dengan
pengenalan subjek hak ulayat. Proses ini bersifat
menyatukan, tanpa harus bertahan pada keharusan
pengakuan subjeknya terlebih dahulu. Ada dua
catatan terkait PTSL dengan objek tanah ulayat.
Pertama, seyogianya tidak perlu menunggu
Perda untuk menindaklanjuti pemetaan objeknya.
Beker­jasama dengan pemerintah daerah, proses
ini dapat didorong, baik berujung pada SK Kepala
Daerah tentang hak ulayat MHA tertentu yang
dilampiri dengan peta Hak Ulayat, maupun yang
berujung pada sertifikat tanah milik bersama MHA
yang berunsur privat belaka.
Kedua, hendaknya dipahami bahwa hak Ulayat
MHA itu sudah ada sejak sebelum Proklamasi 17
Agustus 1945; Konstitusi menegaskan bahwa

Maria SW Sumardjono | 11
negara mengakui Hak Ulayat yang sudah ada
itu. Perda/Perkada/SK Kepala Daerah itu tidak
menjadikan hak ulayat itu ada (konstitutif), tetapi
hanya menyatakan (declaratoir) bahwa hak ulayat
sudah ada walaupun tanpa melalui Perda/Perkada/
Keputusan Kepala Dae­rah. Keputusan Kepala
Daerah bagi hak ulayat yang beraspek publik dan
privat, atau sertifikat tanah milik bersama MHA
bagi hak ulayat yang beraspek privat belaka itu
merupakan penuntasan proses administrasi pe­
nga­kuan MHA.

B. Hak Ulayat: Kembali ke Telaah Awal*)


Pertanyaan pertama ketika membaca tema
dan subtema seminar adalah, apakah kita berbicara
dalam bahasa yang sama ketika berpikir tentang
hak ulayat secara utuh?
Pilihan tema dan subtema mengisyaratkan
bahwa fokus bahasan adalah “tanah ulayat” (karak­
teristik, subjek, objek, permasalahan, dan solusi);
secara lebih rinci yang diharapkan muncul dalam

*)
Pokok-Pokok pikiran disampaikan dalam Seminar Nasional “Ka­
rak­teristik Subjek, Objek, dan Permasalahan dan Solusi Tanah
Ulayat/Adat dalam Pembangunan Pertanahan,” diselenggarakan
oleh STPN,Yogyakarta,16 Juli 2019.

12 | Agenda yang Belum Selesai


Seminar Nasional (selanjutnya disebut Semnas)
adalah pendaftaran tanah ulayat, peman­faatannya
untuk berbagai kepentingan pem­bangunan,
penataan ruang, dan konflik tanah ulayat.
Pilihan fokus ”tanah ulayat” ini disadari atau
tidak mengisyaratkan pendekatan sektoral dalam
berpikir tentang hak ulayat. Bagi Kementerian
Agraria dan Tata Ruang (selanjutnya disebut ATR/
BPN), bidang pertanahan memang merupakan
tugas dan fungsinya dan urusan terkait tanah
ulayat itu merupakan isu strategis.
Namun demikian, apakah masih tersedia
ruang pikir untuk menelaah kembali tentang hak
ulayat secara kom­prehensif sebelum “memilahnya”
sesuai dengan kepen­tingan internal masing-ma­
sing sektor?
Berpikir komprehensif dan reflektif tentang
hak ulayat itu diperlukan ketika hampir semua
pembicaraan tentang hak ulayat sudah terkotak-
kotak dalam bingkai pemikiran yang “tidak saling
sapa” dengan segala dam­paknya.
Kotak-kotak itu misalnya, bisa berdasarkan
bidang hukum (hukum dan anthropologi-sosio­
logi), kepen­tingan (politik, bisnis, dll), juga dari

Maria SW Sumardjono | 13
segi kewe­nangan penguasaan dan pemanfaatannya
(sektoral).
Sektoralisme pengaturan Sumber Daya Alam
(selan­jutnya disebut SDA) termasuk didalamnya
me­nyangkut MHA, sudah diamanatkan agar sege­
ra dilakukan harmo­nisasi terhadapnya melalui
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA (selan­
jutnya disebut TAP MPR RI No. IX/2001).
Kajian komprehensif tentang tumpang tindih,
bahkan pertentangan antar berbagai UU Sektoral
itu telah diinisiasi, difasilitasi dan diterbitkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya
disebut KPK). Hasilnya dapat dijadikan rujukan
dalam meminimalisasi sekat-sekat sektoralisme
perundang-undangan SDA - LH (Lingkungan
Hidup), terlebih dengan adanya putusan MK
terkait uji materi berbagai UU sektoral tersebut.
Walaupun komitmen nyata untuk menempuh
upaya harmonisasi belum tampak, seyogianya
pembahasan tentang hak ulayat tidak dilakukan
dengan cara mengulang kesalahan di masa yang
lalu. Khusus terkait dengan pengaturan hak
ulayat, dari hasil kajian tersebut, UU sektoral tidak
menjamin rasa keadilan bagi MHA, khususnya

14 | Agenda yang Belum Selesai


terkait perlindungan haknya sebagaimana tampak
dalam UU di kelompok perhutanan, pertanian dan
perkebunan, serta kelompok pertambangan dan
energi.1
Pendekatan sektoralistik yang menjadi fokus
seminar (tanah ulayat) berpotensi memicu sektor
di luar pertanahan untuk berpikir dan menyusun
peraturan sesuai dengan “bagiannya” yang bisa
jadi tak sejalan dengan konsepsi yang utuh tentang
hak ulayat. Sebagai contoh, bisa jadi orang berpikir
bahwa masalah tentang tanah ulayat itu tidak ada
kaitannya atau terpisah dengan masalah tentang
hutan ulayat/hutan adat.2
Untuk meminimalisasi pendekatan sektoral
dalam pembahasan tentang hak ulayat, uraian
berikut dibagi dalam beberapa bagian, yakni: (1)
pengertian hak ulayat; (2) objek hak ulayat; (3)
subyek hak ulayat dan kewenangannya; dan (4)
hubungan hukum dengan pihak ketiga.


1
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Kajian Harmonisasi
Undang-Undang di Bidang SDA-LH” Jakarta, 2018.

2
Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No.1 Tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan bahwa hutan adat itu sebelumnya
disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya.

Maria SW Sumardjono | 15
1. Hak Ulayat: Kedaulatan MHA atas Wilayah
Tertentu
Dalam berbagai definisi tentang hak ulayat,
pada umumnya ditekankan bahwa hak ulayat itu
menunjuk pada wilayah tertentu.
Pasal 1 butir 1, Permenag/Kepala BPN 5/1999
meru­muskan hak ulayat sebagai berikut: ”Hak
Ulayat dan yang serupa itu dari MHA (untuk
selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh MHA
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari SDA, termasuk tanah dalam wilayah
tersebut, bagi kelanjutan hidup dan kehi­dupannya,
yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara
MHA tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”
(garis bawah oleh penulis).
Dari definisi tersebut dapat dicatat beberapa
hal penting, yaitu:
1) bahwa wilayah tertentu tersebut dengan se­
ga­la isinya yang terdapat di atasnya adalah
“ruang hidup” atau Lebensraum bagi MHA
yang bersang­kutan.

16 | Agenda yang Belum Selesai


2) bahwa MHA mempunyai kewenangan untuk
menga­tur secara bersama-sama pengelolaan
dan peman­faatan SDA yang terdapat dalam
wilayah tersebut.
3) kewenangan itu timbul dari hubungan yang
tidak terputus anatara MHA dengan wilayah
tertentu.
Pengertian hak ulayat yang serupa dengan
definisi tersebut di atas juga dirumuskan dalam
Pasal 1 huruf s Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua (selanjutnya disebut UU 21/2001) sebagai
berikut:
“Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang
dipunyai oleh MHA tertentu atas suatu wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan
tanah, hutan, air serta isinya sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan”(garis bawah
oleh penulis).
Dalam definisi tersebut di atas, penggunaan
istilah “hak persekutuan” menekankan bahwa hak
ulayat itu merupakan hak bersama MHA ter­tentu
(dan jelas bukan hak individual) untuk meman­
faatkan SDA yang berada di wilayah tertentu.

Maria SW Sumardjono | 17
Berdasarkan definisi hak ulayat tersebut,
diper­oleh pemahaman bahwa hak ulayat itu
menunjuk pada suatu wilayah tertentu, sebagai
ruang hidup MHA yang dengan kewenangannya
mempunyai hak untuk mengambil manfaat SDA
dalam wilayah itu.

2. Objek Hak Ulayat


Kewenangan MHA untuk mengatur dan me­­
man­faatkan secara bersama-sama SDA yang ter­
dapat di atas wilayah tertentu itu berlaku atas
tanah yang sudah maupun yang belum diusahakan;
perairan (termasuk sungai dan jalur-jalur sepan­
jang pantai), tanaman yang tumbuh secara alamiah
(hutan) serta satwa yang hidup liar.3
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
titik sentral kehidupan MHA adalah wilayah seba­
gai ruang hidupnya. Sebagaimana dilaporkan da­
lam penelitian Godlief JW Kawer, wilayah adat
MHA Nambluong, kelompok suku Nimboran
di kampung Berap dike­lompokkan menjadi dua
kelompok besar, yakni: (1) tempat berburu dan


3
Maria SW Sumardjono, “Puspita Serangkum, Aneka Masalah
Hukum Agraria”, Andi Offset, Yogyakarta, 1982.

18 | Agenda yang Belum Selesai


mencari makan, dibagi dalam pembagian wilayah
berdasarkan: a) jenis hutan (ada 4 jenis); dan b)
berdasarkan potensi dan permukiman terdiri dari
15 jenis mulai dari wilayah dataran tinggi, kaki
gunung, lembah, dan seterusnya sampai dengan
lokasi pemukiman. (2) wilayah tempat berkebun/
lahan pertanian dan perkebunan yang dibagi
dalam: a) untuk pemanfaatan sehari-hari terdiri
dari 9 jenis kebun; dan b) wilayah yang digunakan
untuk fasilitas umum (jalan, jalan raya, jalan
setapak, dan jembatan).4
Di kalangan suku Arfak, Papua Barat, dila­
porkan tentang pola penggunaan tanah berda­
sarkan penataan ruang MHA terdiri dari: (1)
kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan
permukiman, perladangan/kebun, dan kawasan
untuk berburu, meramu, dan sumber bahan obat-
obatan tradisional; (2) kawasan konservasi yakni
kawasan hutan yang masih asli; dan (3) kawasan
lainnya mulai dari pegunungan, pesisir sampai tepi


4
Godlief J. William Kawer, “Studi Tenurial Komunitas Masya­
rakat Adat Nambluong Kampung Berap, Distrik Nimboran,
Kabupaten Jayapura”, Laporan Penelitian, CIFOR, Bogor, 2006,
hlm.46-48.

Maria SW Sumardjono | 19
sungai/danau.5
Dalam literatur tidak dijumpai bahwa kewe­
nangan untuk memanfaatkan SDA oleh MHA itu
termasuk SDA yang terdapat di dalam bumi (lihat
definisi Ter Haar, misalnya). Hal ini masuk akal
karena berdasarkan asas pemisahan horizontal
maka hak ulayat itu berlaku atas SDA yang berada
di atas wilayah tersebut.
Bagaimana dengan SDA yang berada di dalam
bumi yang berada dalam wilayah MHA yang
bersangkutan? Pasal 8 UUPA menggariskan bahwa
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
tidak termasuk dalam kewenangan pemegang hak
atas tanah. Demikian pula, ditegaskan oleh MK
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-
021-022/PUU-I/2003 tentang Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
(selanjutnya disebut UU 20/2002), bahwa cabang
produksi yang penting dan menguasai hayat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. MK
menjabarkan frasa ”cabang produksi yang penting

5
Robert K.R. Hammar, “Implikasi Penataan Ruang terhadap
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manokwari
Provinsi Papua Barat”, Ringkasan Disertasi Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2011, hlm. 84.

20 | Agenda yang Belum Selesai


dan menguasai hajat hidup orang banyak” itu
dalam 3 (tiga) kriteria. Dengan demikian, SDA yang
terdapat di dalam bumi utamanya pertambangan
mineral, minyak, gas, batubara, dan sumber daya
energi potensial lainnya, tidak termasuk dalam
objek hak ulayat MHA. Namun demikian, MHA
yang bersangkutan berhak untuk memperoleh
manfaat dan pembagian keuntungan dari alokasi
dan pemanfaatan SDA di dalam bumi yang berada
diwilayah MHA tersebut.6
Oleh karena tanah, air/perairan, hutan, dan
lain-lain itu merupakan objek hak ulayat yang
terdapat dalam wilayah suatu MHA, seyogianya
cara berpikir komprehensif yang dikedepankan
ketika berbicara tentang hak ulayat. Dengan demi­
kian, diharapkan bahwa pemahaman dan penga­
turan tentang hak ulayat MHA yang terkotak-
kotak itu dapat diminimalisasi karena berpotensi
mendorong sektor-sektor untuk mengatur penge­
lolaan dan pemanfaatan “sebagian” dari SDA di
atas wilayah MHA sesuai kepentingan sektor ma­
sing-masing, yang belum tentu harmonis dengan
kepentingan sektor lain, dan yang jelas berdampak


6
Maria SW Sumardjono, “Hak Masyarakat Hukum Adat,” Opini
SKH Kompas, 19 Juni 2013.

Maria SW Sumardjono | 21
terhadap keadilan terkait dengan perlindungan
hukum bagi/MHA yang merupakan subjek hak
yang berwenang atas pemanfaatan SDA dalam
wilayah tertentu itu.
Sebagai catatan, bahwa ketika berbicara
tentang hak ulayat itu pada umumnya fokusnya
adalah hak ulayat yang berada di daratan. Seyo­
gianya tidak dilu­pakan bahwa pada wilayah
tertentu Negara Kesatuan Republik Indonesia (se­
lanjutnya disebut NKRI) dikenal, hidup, dan ber­
langsung hak ulayat laut.7

3. Subjek Hak Ulayat dan Kewenangannya


a. Subyek Hak Ulayat
Berbagai peraturan perundang-undangan
ten­tang hak ulayat mengatur tentang kriteria
ke­beradaan MHA sebagai subjek hak ulayat.
Untuk menyebut beberapa UU sebelum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
misalnya, hal tersebut diatur dalam Pasal 67
ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

7
Ary Wahyono et.al, “Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indo­
nesia,” Media Pressindo, Jakarta, 2000; Daud Djubedi,” Pene­
rapan Hak Ulayat Laut MHA Dalam Perspektif Otonomi Daerah
di Kabupaten Halmahera Selatan”, Tesis, Sekolah Pasca Sardjana
UGM, Yogyakarta, 2008.

22 | Agenda yang Belum Selesai


tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU
41/1999). Khususnya dalam Penjelasan 67 ayat (1)
UU 41/1999 disebutkan tentang unsur-unsur yang
menentukan keberadaan MHA, yakni:
(a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyub­
an (rechtsgemeenschap);
(b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
pengu­asa adatnya;
(c) ada wilayah hukum adat yang jelas;

(d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya


pera­dilan adat, yang masih ditaati; dan
(e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan
di wila­yah hutan sekitarnya unyuk pemenuhan
ke­bu­­tuhan hidup sehari-hari.
Jelas bahwa jiwa/semangat Penjelasan Pasal
67 ayat (1) UU 41/1999 itu adalah mempersulit
penga­kuan masyarakat hukum adat, utamanya
terkait dengan syarat (d) “ada pranata dan perang­
kat hukum, khusus­nya peradilan adat, yang masih
ditaati” (apakah yang dimaksud dengan peradilan
adat disini?) dan syarat (e) “masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan seki­
tarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari”.

Maria SW Sumardjono | 23
Bagaimana bila masyarakat hukum adat tidak
bisa lagi memungut hasil hutannya karena hutan
(adat) mereka sudah dikuasai oleh pihak lain baik
dengan izin resmi yang diterbitkan oleh instansi
kehutanan atau tanpa izin?
Hal ini sangat mungkin terjadi karena sebelum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/
PUU-X/2012 hutan adat termasuk dalam kategori
hutan negara sehingga instansi Kehutanan dapat
dan sudah mem­berikan izin, bahkan sudah pula
diberikan suatu hak atas tanah kepada pihak lain
di atas hutan yang bisa jadi merupakan hutan
ulayat MHA yang bersangkutan.
Singkat kata, Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU
41/1999 jelas bertentangan dengan semangat
kon­stitusi untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak masyarakat hukum adat atas hutan
adatnya.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengusahaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (selanjutnya disebut UU PWP-3K)
merumuskan masya­rakat (hukum) adat dalam
Pasal 1 butir 33 sebagai berikut: “Masyarakat adat
adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis

24 | Agenda yang Belum Selesai


tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Definisi tentang MHA yang mirip dengan
definisi UU PWP-3K adalah definisi yang dimuat
dalam Pasal 1 butir 31 Undang Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup (selan­jutnya disebut UULH).
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masya­
rakat yang secara turun temurun bermu­kim diwi­
layah geografis tertentu karena adanya ikatan
pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem
nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial, dan hukum.
Diantara tiga UU tersebut, tindak lanjut penga­
tur­an tentang kriteria keberadaan MHA diwu­
judkan dalam suatu Pedoman yang diterbitkan
oleh Kementerian Ling­kungan Hidup (selanjutnya
disebut Kementerian LH) pada tahun 2011 tentang
“Pedoman Tata Cara Inven­tarisasi Pengakuan
Keberadaan MHA, Kearifan Lokal, dan Hak-hak

Maria SW Sumardjono | 25
Masyarakat yang terkait dengan Pengelolaan dan
Perlindungan LH.”
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012, penjabaran kriteria tentang
MHA dimuat dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU
Desa). Dalam konteks desa adat, MHA yang bisa
ditetapkan sebagai desa adat adalah MHA yang
memenuhi syarat-syarat berikut:
a) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik
yang bersifat teritorial, genealogis, maupun
yang bersifat fungsional;
b) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradi­sionalnya dipandang sesuai dengan
perkem­bang­an masyarakat; dan
c) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradi­sionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesa­tuan Republik Indonesia
Pasal 92 ayat (2) menyebutkan bahwa kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
yang masih hidup, sebagaimana dimaksud pada
Pasal 97 (1), huruf a harus memiliki wilayah dan
paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan

26 | Agenda yang Belum Selesai


unsur-unsur sebagai berikut: (garis bawah oleh
penulis)
a. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan
ber­sama dalam kelompok;
b. Pranata pemerintah adat;
c. Harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/
atau
d. Perangkat norma hukum adat
Pasal 93 ayat (3) menyebutkan bahwa “Kesa­
tuan masyarakat hukum adat beserta hak tra­
disionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan
masyarakat apabila:
a. Keberadaannya telah diakui berdasarkan un­
dang-undang yang berlaku sebagai pencer­
minan per­kem­bangan nilai yang dianggap
ideal dalam masya­rakat dewasa ini, baik
undang-undang yang bersifat umum maupun
bersifat sektoral; dan
b. Substansi hak tradisional tersebut diakui dan
dihormati oleh warga kesatuan masyarakat
yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih
luas serta tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia.

Maria SW Sumardjono | 27
Pasal 97 ayat (4) menyatakan bahwa “Suatu
kesa­tuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia apabila masyarakat hukum
adat tersebut tidak meng­ganggu keberadaan
Negara Kesatuan Republik Indo­nesia sebagai se­
buah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:
a. Tidak mengancam kedaulatan dan integritas
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
b. Subtansi norma hukum adatnya sesuai dan
tidak bertentangan dengan ketentuan pera­
turan perun­dang-undangan.
Sebagai catatan, diantara berbagai kriteria
kebera­daan MHA, pengaturannya dalam UU Desa
memung­kinkan untuk menerapkan sebagian dari
berbagai kriteria tersebut [Pasal 92 ayat (2)] dalam
rangka penetapan keberadaan MHA.
Secara yuridis-formal pengaturan tentang
kriteria keberadaan MHA tersebut dapat dikatakan
mencu­kupi karena mencakup tentang subjek,
objek, dan kewenangan yang dipunyai oleh subjek.
Namun demikian untuk operasionalisasinya
di lapangan tidaklah sederhana. Pedoman yang

28 | Agenda yang Belum Selesai


diterbitkan oleh Kementerian LH tahun 2011
tampaknya tidak dimanfaatkan sesuai dengan
harapan. Menemukenali MHA di lapangan memer­
lukan kerja-kerja yang penye­lesaiannya tidak dapat
ditentukan berdasarkan target karena komplek­
sitasnya. Diperlukan suatu pedoman untuk mener­
jemahkan kriteria legal- formal tersebut untuk
menemukenali MHA bersama dengan ruang hidup
dan hak pemanfaatan yang dipunyainya. Pedoman
penelitian lapangan tentang MHA beserta objek
hak dan jenis haknya dapat dijumpai dalam
Pedoman Pengum­pulan Data sebagaimana ditulis
oleh Yando Zakaria.8
Ketika pedoman telah tersedia, sumberdaya
ma­nu­­sia pelaksana kajian haruslah benar-benar
mema­hami metodologi yang sudah ditetapkan dan
mampu mengek­sekusinya di lapangan.

b. Kewenangan MHA, Pengakuan Hak


Ula­yat dan Kepastian Hukum atas
Hak Ulayat
Uraian lengkap tentang ketiga isu tersebut
dimuat dalam tulisan “Pengakuan Hak Ulayat yang

8
R. Yando Zakaria, “Etnografi Tanah Adat, Konsep-konsep Dasar
dan Pedoman Kajian Lapangan” ARC Books, Jakarta, 2018.

Maria SW Sumardjono | 29
Akomodatif” oleh penulis.9

4. Hubungan Hukum dengan Pihak Ketiga


Penjabaran lebih lanjut Pasal 2 UUPA dalam
hubungan antara Negara dengan tanah menunjuk
ada­nya 3 (tiga) entitas, yakni tanah negara, tanah
ulayat, dan tanah hak. Dalam RUU Pertanahan
dirumuskan bahwa di atas tanah ulayat MHA dapat
diberikan suatu hak atas tanah, dengan perjanjian
yang berbentuk otentik antara pihak ketiga dengan
MHA yang bersang­kutan, sesuai dengan tata cara
hukum adat MHA yang bersangkutan.
Dengan demikian tidak diperlukan lagi proses
pelepasan tanah hak ulayat untuk selama-lamanya
jika di atas tanah ulayat tersebut disepakati untuk
diberikan suatu hak atas tanah kepada pihak
ketiga.
Gagasan ini sebenarnya sudah diangkat oleh
Permenag/Kepala BPN 5/1999, yakni dalam Pasal
4 ayat (2) terkait dengan “penyerahan penggunaan
tanah untuk jangka waktu tertentu”. Dengan
demikian rumusan dalam RUUP merupakan

9
Maria SW Sumardjono,” Pengakuan Hak Ulayat yang Akomoda­
tif”. Pengantar FGD” Kondisi Aktual Penguasaan Tanah Ulayat
dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengakuan dan Pendaf­
tarannya,”Yogyakarta, 23 April 2019.

30 | Agenda yang Belum Selesai


tindak lanjut Pasal 4 ayat (2) Permenag/Kepala
BPN 5/1999 tersebut.

Penutup
Keluaran yang diharapkan dari seminar
nasional ini adalah tersedianya bahan sebagai
rekomendasi bagi penyusunan kebijakan terkait
Hak Ulayat MHA. Hendaknya cara berpikir
komprehensif yang digunakan ketika berbicara
tentang hak ulayat. Pembicaraan tentang tanah
ulayat seyogianya dimaksudkan sebagai tanah
yang berada diseluruh wilayah MHA tertentu.
Penyusunan kebijakan dalam semua bentuk
peraturan perundang-undangan wajib dilandasi
de­ngan suatu naskah kebijakan (policy paper)
berupa hasil kajian normatif maupun empiris
terkait fokus kebijakan yang bersangkutan.
Pemahaman yang utuh terhadap isu pokok yang
hendak diatur memerlukan penguasaan terkait
konsep dan asas-asasnya sebelum menuangkan
normanya dalam rumusan peraturan perundang-
undangan. Tanpa naskah kebijakan, tidak akan
jelas benang merah suatu kebijakan karena tidak
di­sertai kajian tentang falsafah yang melandasi­nya,
harmonisasinya dengan peraturan perundang-

Maria SW Sumardjono | 31
un­dangan terkait, dan dampak sosialnya jika
peraturan perundang-undangan tersebut berlaku
dalam masya­rakat.
Jika suatu peraturan perundang-undangan
disu­sun tanpa landasan dalam bentuk naskah
kebijakan (apapun sebutannya), tidak mustahil
akan menuai dua hal, yakni diragukan kesahihan/
kepastian hukumnya dan berpotensi menjadi
“aturan di atas kertas belaka”, atau menuai resis­
tensi relatif keras untuk tidak dilanjutkan pro­
sesnya atau direvisi.

C. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan


Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum
Adat Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus
Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 dalam
Konsepsi tentang Hak Ulayat*)
1. Umum
a. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak
Ulayat
Hak ulayat menurut batasan dalam Pasal 1
huruf s UU 21/2001 adalah “hak persekutuan yang
*)
Makalah disampaikan dalam Semiloka “Quo Vadis Pengaturan
Pertanahan di Tanah Papua,” diselenggarakan oleh Pemerintah
Provinsi Papua, Jayapura,22 Juli 2019.

32 | Agenda yang Belum Selesai


dipunyai oleh MHA tertentu atas suatu wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan
tanah, hutan, air serta isinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” (garis bawah
oleh penulis).
Berdasarkan definisi di atas terma hak ulayat
me­nunjuk pada tiga hal, yaitu:
(1) Subjek hak ulayat adalah MHA sebagai perse­
kutuan;
(2) MHA tertentu itu mempunyai kedaulatan
atas wilayah tertentu sebagai ruang hidup
(Lebensraum) untuk mengambil manfaat dari
SDA yang ada di atas wilayah tertentu itu;
(3) Di dalam wilayah tertentu itu terdapat tanah,
hutan, air, dan SDA yang ada di atasnya (objek
hak ulayat).
Dua hal harus dicatat terkait dengan objek
hak ulayat.
Pertama, jika disebut tentang tanah ulayat
hen­daknya dimaknai sebagai “seluruh bidang
tanah yang berada dalam wilayah tertentu suatu
MHA tertentu”. Dengan demikian, tanah, hutan,

Maria SW Sumardjono | 33
dan perairan adalah bagian dari kesatuan wilayah
MHA tertentu yang disebut sebagai hak ulayat.
Kedua, bagaimana dengan SDA yang berada
di dalam bumi yang berada dalam wilayah MHA
yang bersangkutan?
Pasal 8 UUPA menggariskan bahwa kekayaan
alam yang terkandung di dalam bumi tidak
termasuk dalam kewenangan pemegang hak atas
tanah. Demikian pula, ditegaskan oleh Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut MK) melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUU-I/2003 tentang UU 20/2002, bahwa
cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
MK menjabarkan frasa ”cabang produksi yang
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak”
itu dalam 3 (tiga) kriteria. Dengan demikian,
SDA yang terdapat di dalam bumi, utamanya
pertambangan mineral, minyak, gas, batubara,
dan sumber daya energi potensial lainnya, tidak
termasuk dalam objek hak ulayat MHA. Namun
demikian, MHA yang bersangkutan berhak untuk
memperoleh manfaat dan pembagian keuntungan

34 | Agenda yang Belum Selesai


dari alokasi dan pemanfaatan SDA di dalam bumi
yang berada di wilayah MHA tersebut.

b. Pengaturan Hak Ulayat Berdasarkan


Ke­wenangan MHA
Berdasarkan kewenangan MHA, terdapat dua
ke­lom­pok hak ulayat, yakni:
(1) Kewenangan MHA yang beraspek publik
sekaligus perdata. Kewenangan publik adalah
kewenangan MHA untuk mengatur secara
bersama peng­gunaan dan pemanfaatan objek
hak ulayat, hu­bungan hukum yang timbul
dari hak ulayat, dan perbuatan hukum terkait
dengan objek hak ulayat. Kewenangannya
yang bersifat privat menegaskan bahwa hak
ulayat itu merupakan kepunyaan bersama.
(2) Kewenangan MHA yang bersifat privat
belaka di­mak­sudkan sebagai kewenangan
untuk secara ber­sama-sama mempunyai dan
memanfaatkan hak bersama itu (hak komu­
nal).

Maria SW Sumardjono | 35
c. Bagaimana dengan Hak Perseorangan
dalam Konteks Hak Ulayat?
Secara teknis-yuridis, hak perseorangan yang
berasal dari hak ulayat itu, apapun nama atau
sebutan­nya, oleh UUPA diatur dalam Ketentuan
Konversi Pasal II, Pasal VI, Pasal VII dan Pasal IX.
Intinya, UUPA mengakui bahwa hak perseorangan
atas tanah adat itu sudah ada sebelum UUPA
terbit dan dengan berlakunya UUPA pada tanggal
24 September 1960, hak-hak sedemikian itu
dikonversi atau dirubah menjadi Hak Milik atau
Hak Pakai sesuai dengan UUPA. Pengakuan oleh
UUPA tersebut ditindaklanjuti dengan upaya
pendaftaran atau pengadministrasian Hak Milik
Adat (perseorangan) melalui PMPA 2/1962
juncto Pera­turan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan
Pelaksanaannya (selan­jutnya disebut PP 24/1997).

36 | Agenda yang Belum Selesai


2. Ragaan Konstruksi Hukum terkait Tanah Negara,
Tanah Hak, dan Tanah (Hak) Ulayat dalam
Hubungan antara Negara dengan Tanah dalam
sistem Hukum Tanah Nasional

PENGUASAAN TANAH DALAM KONSEPSI HUBUNGAN


ANTARA NEGARA DENGAN TANAH

UUD NRI Tahun 1945


Pasal 33 ayat (3)

Negara

Tanah

Tanah Ulayat Tanah Hak


Tanah Negara (Hak Ulayat) (HM, HGU, HGB, HP)
Subyek : Negara Subjek : Masyarakat Hukum Adat Subyek : Orang, BH ( pdt & pub)
Dasar Hukum : Pasal 2 UUPA Dasar Hukum : Pasal 3 UUPA Dasar Hukum : Pasal 4 jo Pasal 16 UUPA
Kewenangan : Publik Kewenangan : Publik dan Perdata Kewenangan: Perdata

HPL adalah
HMN yang kewenangan
pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan
kepada pemegang HPL

a
Fungsi Publik Fungsi Publik Fungsi Perdata

1. PP 40/1996 1. PERMENDAGRI 1/1967


1. PP 8/1953
2. PERMENAG 9/1999 2. PERMENDAGRI 5/1973
2. PERMENAG 9/1965
3. PERMENAG 1/1966 3. PERMENDAGRI 5/1974
b 4. UU 16/1985 / UU 20/2011 :
RUSUN

a. Landasan Hukum Penguasaan Tanah


Penjelasan Umum II.2 UUPA
Adapun, kekuasaan negara yang dimaksudkan
itu mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa,
jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang mau­

Maria SW Sumardjono | 37
pun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai
tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu
hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang
mempunyai untuk menggunakan haknya sampai
disitulah batas kekuasaan negara tersebut.
Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-
pemba­tasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan
pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam
BAB II.
Kekuasaan negara atas tanah yang tidak
dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang
atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.
Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan
diatas Negara dapat memberikan tanah yang
demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum
dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-
usa­ha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau
mem­berikannya dalam pengelolaan kepada sesu­
atu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau
Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi
pelak­sanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat
4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-
tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh
hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat

38 | Agenda yang Belum Selesai


hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak
ulayat itu masih ada, hal mana akan diuraikan
lebih lanjut dalam nomor 3 dibawah ini.

b. Pengertian Tanah Negara


Tanah-tanah yang tidak dilekati dengan sesu­
atu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak penge­
lolaan, serta tanah ulayat dan tanah wakaf
(Maria S.W. Sumardjono, SH.,MCL.,MPA, Kebijak­
an Per­tanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
cetakan 6, 2009)
Tanah negara adalah tanah yang langsung
dikuasi negara sebagaimana dimaksud dalam Un­
dang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pera­
turan Dasar-Dasar Pokok Agraria.
(Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Per­tanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan)
Tanah negara atau tanah yang langsung
dikuasi negara adalah tanah yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah.
(Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah)

Maria SW Sumardjono | 39
c. Ruang Lingkup Tanah Negara
1. Tanah-tanah yang belum pernah diberikan
dengan sesuatu hak atas tanah.
2. Tanah-tanah yang pernah dikuasai/dimiliki
de­ngan sesuatu hak atas tanah tetapi menjadi
tanah negara.
a. Tanah yang diserahkan secara sukarela
oleh pemiliknya;
b. Tanah–tanah yang berakhir jangka
waktunya dan tidak diperpanjang lagi,
kecuali Hak Guna Bangunan (selanjutnya
disebut HGB) dan Hak Pakai (selanjutnya
disebut HP) yang diterbit­kan atas tanah
Hak Milik;
c. Tanah–tanah yang pemegang haknya me­
ning­gal dunia tanpa ahli waris;
d. Tanah–tanah yang diterlantarkan (Pera­
turan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998
tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Ter­lan­tar juncto Peraturan Peme­
rintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Penda­yagunaan Tanah
Terlantar )
e. Tanah–tanah yang diambil untuk kepen­
ting­an umum sesuai dengan tata cara

40 | Agenda yang Belum Selesai


pencabutan hak yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah
dan Benda-benda yang Ada di Atasnya
(selanjutnya disebut UU 20/1961) dan
pengadaan tanah yang diatur dalam:
1) Pembelian tanah untuk Pemerintah
mela­lui Panitia Bijblad 11372 jo.
12476;
2) Pembebasan tanah menurut Per­
atur­an Men­teri Dalam Negeri (selan­
jutnya dise­but PMDN) Nomor 15
Tahun 1975 ten­tang Ketentuan-
keten­tuan Mengenai Tata Cara Pem­
bebasan Tanah;
3) Pengadaan tanah menurut PMDN
Nomor 2 Tahun 1985 tentang
Tata Cara Penga­daan Tanah untuk
Keper­luan Proyek Pem­bangunan di
Wilayah Keca­matan;
4) Pengadaan Tanah menurut Kepu­
tusan Presiden (selanjutnya disebut
Keppres) Nomor 55 Tahun 1993
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Peraturan Presiden (selan­

Maria SW Sumardjono | 41
jutnya disebut Perpres) Nomor
36 Tahun 2005 tentang Penga­
daan Tanah Bagi Pelaksanaan Pem­
bangunan Untuk Kepentingan
Umum Jo. Perpres Nomor 65 Tahun
2006 tentang Perubahan Pera­turan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pe­
lak­sanaan Pembangunan Untuk Ke­
pentingan Umum;
5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pemba­ng­un­an Untuk Kepentingan
Umum.
3. Tanah-tanah yang menjadi tanah negara ka­
rena peraturan perundang-undangan.
a. Tanah–tanah Milik Perusahaan Belanda
yang terkena UU Nasionalisasi (Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan
Milik Belanda)
b. Penguasaan tanah–tanah oleh Bala Ten­
tara Dai Nippon (Jepang) dan telah
diberikan ganti kerugian;

42 | Agenda yang Belum Selesai


c. Penguasaan Tanah–tanah Negara ber­
dasar­kan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-
Tanah Negara;
d. Tanah–tanah yang dikuasai menurut
Pera­turan Pemerintah Pengganti Un­
dang-Undang (selan­jutnya disebut Per­
pu) Nomor 3 Tahun 1960 tentang Pe­
nguasaan Benda-Benda Tetap Milik
Per­seorangan Warga Negara Belanda yang
tidak terkena Undang-Undang Nomor
86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
yang pemiliknya telah meninggalkan RI;
e. Tanah–tanah yang dikuasai menurut
Pera­turan Presiden Kabinet Dwikora Re­
publik Indonesia Nomor 5/Prk/Tahun
1965 tentang Penegasan Status Rumah/
Tanah Kepunyaan Badan–badan Hukum
yang Ditinggalkan Direksi/pengurusnya.
f. Tanah–tanah yang dikuasai menurut
Pene­tapan Presiden (selanjutnya disebut
Penpres) Nomor 6 Tahun 1964 tentang
Penguasaan dan Pengurusan Perusahaan–
perusahaan Milik Inggris di Indonesia

Maria SW Sumardjono | 43
tanggal 26 – 11 – 1964 jo. Surat Edaran
Menteri Agama Nomor DHK/29/5 tang­
gal 22 – 12 – 1964 tentang Larangan
Pembuatan Akta Tanah yang ber­maksud
mengalihkan atau memindahkan Hak
Atas Tanah (selanjutnya disebut HAT)
tanpa berikut bangunan di atasnya milik
eks. perusa­haan Inggris.
g. Tanah Negara yang berasal dari Pelak­
sanaan Un­dang-Undang Nomor 1 Tahun
1958 ten­tang Peng­hapusan Tanah–tanah
Partikelir (yang telah diberikan ganti keru­
gian semula meru­pa­kan/berupa tanah par­
tikelir dengan hak–hak pertuanan, ta­nah
usaha dan tanah kongsi)
h. Tanah–tanah Negara yang berasal dari
Tanah Bekas/eks. Swapradja berdasarkan
Diktum Ke IV Huruf A dan B UUPA,
kecuali Sultan Grond (selanjutnya disebut
SG) dan Pakualaman Grond (selanjutnya
disebut PAG) di Yogyakarta (Un­dang-
Undang Nomor 13 Tahun 2012 ten­tang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogya­
karta).

44 | Agenda yang Belum Selesai


4. Tanah negara yang berasal dari pelepasan
kawasan hutan dan belum dimohon Hak atas
Tanah.
5. Tanah negara yang terjadi karena peristiwa
alam (tanah timbul).
6. Tanah negara yang terjadi karena usaha
manusia (tanah reklamasi).
7. Tanah negara yang berasal dari tanah kelebihan
batas maksimum dan tanah absentee.
8. Tanah negara yang berasal dari bekas pertam­
bangan.

d. Pengertian Tanah Hak


Tanah hak adalah (bidang) tanah yang dipu­
nyai oleh orang perseorangan (baik sendiri maupun
ber­sama-sama dengan orang lain) dan badan
hukum (privat maupun publik) dengan suatu hak
atas tanah menurut UUPA (Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai)

Maria SW Sumardjono | 45
Bagan 2.
Hak Ulayat

Tanah Ulayat

Kewenangan publik-privat Kewenangan privat

Kewenangan publik adalah kewenangan un­


tuk mengatur secara bersama hak ulayat terkait
dengan:
1. penggunaan, pemanfaatan, persediaan dan
peme­liharaan hak ulayat MHA yang bersang­
kutan;
2. hubungan hukum antara MHA dengan hak
ulayat;
3. hubungan hukum dan perbuatan hukum ter­
kait hak ulayat.
Kewenangan privat adalah kewenangan untuk
secara bersama-sama menggunakan dan meman­
faatkan tanah dan SDA di atas wilayah MHA yang
bersangkutan.

46 | Agenda yang Belum Selesai


Bagan 3.

Pengakuan Keberadaan MHA dan Hak Ulayat

TANAH NEGARA Kewenangan publik- Kewenangan privat TANAH HAK


kewenangan privat Kepemilikan-bersama
mengatur /komunal

Pengukuhan Keberadaan
MHA dan hak Ulayat

● Pengukuhan melalui Penetapan Tidak memerlukan


yang bersifat declaratoir penetapan
● Pedoman pengaturan (subjek, objek,
mekanisme, hak dan kewajiban, dll)
dalam Perda
● Keberadaan MHA tertentu beserta
wilayahnya dalam SK Kepala Daerah

Bagan 4.

Kepastian Hukum Hak Ulayat

TANAH NEGARA TANAH HAK


kewenangan Kewenangan publik- Kewenangan Kepemilikan-
mengatur privat privat bersama
/komunal

Kepastian Hukum
Hak Ulayat MHA

● Didaftarkan : ● Didaftarkan :
dinyatakan dalam peta dasar sebagai kepemilikan-bersama.
pendaftaran tanah dengan ● Diterbitkan sertifikat.
membubuhkan suatu tanda kartografi,
dan apabila memungkinkan,
menggambarkan batas-batasnya serta
mencatatnya dalam daftar tanah.
● Tidak diterbitkan sertifikat.

Maria SW Sumardjono | 47
3. Catatan terhadap Peraturan Daerah Khusus
Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan
Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah
Pertama, terkait definisi hak ulayat MHA
atas tanah (Pasal 1 butir 6) dan hak perorangan
warga MHA atas tanah (Pasal 1 butir 7). masing-
masing definisi rancu, apakah yang dimaksudkan
itu untuk membatasi objek hak ulayat yakni
“tanah” saja sebagai salah satu objek hak ulayat,
atau tanah beserta segala isinya, yang terdapat di
wilayah tertentu?
Agar supaya tidak rancu, seyogianya dalam
Pasal 1 ditambahkan definisi tentang hak ulayat
secara utuh sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
1 huruf s UU 21/2001. Setelah itu, definisi tentang
“hak ulayat MHA atas tanah” dan “hak perorangan
MHA atas tanah” perlu dirumuskan kembali
berdasarkan tujuan Perdasus.
Kedua, ketika merumuskan tentang hak
ulayat MHA, apakah yang dimaksudkan itu hak
ulayat yang berisi kewenangan publik sekaligus
privat? Jika memang demikian, barangkali dapat
ditambahkan ayat tentang kewenangan MHA
dalam Pasal 2.

48 | Agenda yang Belum Selesai


Ketiga, terkait dengan Panitia Peneliti (Pasal
3) seyogianya untuk Pasal 3 ayat (2) huruf a “para
pakar hukum adat” ditambahkan dengan “pakar
bidang yang terkait”.
Untuk Pasal 3 ayat (2) huruf c “lembaga swa­
daya masyarakat”, barangkali perlu ditambah­kan
dengan batasan “yang mempunyai pengalaman
atau bergerak di bidang yang terkait dengan hak
ulayat MHA”.
Keempat, terkait penelitian yang dilakukan
oleh panitia sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 4, seyogianya Peraturan Daerah Khusus
(selanjutnya disebut Perdasus) dilampiri dengan
Pedoman Pengum­pulan Data Lapangan (lihat a l.
“Etnografi Tanah Adat, Konsep-konsep Dasar dan
Pedoman Kajian Lapangan”, oleh R. Yando Zakaria,
ARC Books, 2018).
Kelima, terkait dengan kepastian hukum
atas tanah (hak) ulayat, perlu ditegaskan bahwa
terhadap hak ulayat yang beraspek publik sekaligus
privat, dila­kukan pemetaan dan didaftar, tetapi
tidak diterbitkan sertifikatnya.
Jika dalam lingkup hak ulayat MHA juga
terdapat hak-hak yang dipunyai bersama yang

Maria SW Sumardjono | 49
bersifat privat (hak komunal), maka hak itu dapat
didaftarkan sebagai tanah milik-bersama (apapun
status hak atas tanahnya menurut UUPA) yang
diterbitkan sertifikatnya.
Keenam, terkait dengan pengelolaan tanah
ulayat MHA, khususnya Pasal 8 ayat (3) huruf b,
“memin­jamkan sebagian atau seluruh hak ulayat
MHA” perlu disesuaikan dengan rumusan dalam
Pasal 4 ayat (2) Permenag/Kepala BPN 5/1999
dengan mengganti kata “meminjamkan” dengan
“menyerahkan sebagian atau seluruh hak ulayat
MHA untuk jangka waktu tertentu”.
Masih dalam Pasal 8, tentang keharusan
pihak yang memerlukan tanah baik yang berasal
dari MHA maupun perorangan warga MHA
untuk memperoleh izin lokasi dari Pemerintah
Kabupaten/Kota, seyogianya ditinjau kembali
dengan mencermati ketentuan tentang izin lokasi
(d k i. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2015
tentang Izin Lokasi).
Ketujuh, cacatan untuk Pasal 11 ayat (1)
terkait istilah “meminjamkan” sama dengan
catatan untuk Pasal 8 ayat (3) huruf b.

50 | Agenda yang Belum Selesai


Konstruksi hukum ini perlu didorong pember­
la­kuannya karena memberikan posisi tawar yang
kuat kepada MHA karena tidak perlu melepaskan
hak ulayat­nya untuk selama-lamanya.
Kedelapan, terkait dengan hak ulayat yang
dise­rahkan penguasaannya kepada warga MHA
untuk dikuasai sebagai hak perorangan, atas
permohonan yang bersangkutan dapat diberikan
dengan Hak Milik (selanjutnya disebut HM) kepada
yang bersangkutan. Seyogianya di dalam sertifikat
tanah HM tersebut dibubuhi catatan bahwa
“Perbuatan hukum terkait HM yang bersangkutan
perlu mendapat persetujuan dari MHA yang
menyerahkan penguasaan tanah kepada yang
bersangkutan tersebut”. Hal ini antara lain untuk
meminimalisasi permasalahan peralihan HM
atas nama perorangan kepada pihak ketiga yang
dituntut kembali penguasaannya oleh MHA yang
telah melepaskan hak ulayat tersebut. Disamping
itu seyogianya proses penyerahan penguasaan
tanah kepada perorangan tersebut dimuat dalam
berita acara yang menjadi salah satu persyaratan
untuk diserahkan dalam pengajuan permohonan
HM yang bersangkutan.

Maria SW Sumardjono | 51
4. Akselerasi Pendaftaran Tanah dalam Wilayah
Hak Ulayat MHA
Untuk memberikan jaminan kepastian hu­
kum, sekaligus sebagai upaya untuk meminimali­
sasi konflik terkait batas wilayah hak ulayat MHA
disamping konflik tentang kepemilikan suatu hak
ulayat, kegiatan pendaftaran tanah perlu terus di-
dorong.
Pertama, pemetaan wilayah adat dapat
meng­­gunakan hasil pemetaan partisipatif yang
sudah ada untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan
peta tematik dan selanjutnya melakukan kegiatan
pendaftaran tanah sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kedua, untuk pemetaan wilayah adat dan tin­
dak lanjutnya yang tidak menggunakan pemetaan
parti­sipasif wilayah adat, sudah diatur dalam
Pasal 7 Peraturan Daerah Khusus (selanjutnya
disebut Per­dasus) Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak
Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas
Tanah.
Beberapa butir penting dalam pemetaan
wilayah adat adalah sebagai berikut:

52 | Agenda yang Belum Selesai


a. Memetakan seluruh wilayah adat, baik yang
dipu­nyai oleh suku, klan, maupun perorangan,
masing-masing dilampiri dengan nama se­
luruh anggota dan ketua/pimpinannya;
b. Dalam pelaksanaannya perlu melibatkan
pihak-pihak lain yang letak tanahnya berba­
tasan untuk memperoleh konfirmasi terhadap
batas wilayah masyarakat adat (contradictoire
delimitatie);
c. Pemetaan juga menggambarkan wilayah adat
ber­dasarkan fungsinya: kawasan pertanian,
kawa­san berburu, kawasan pemungutan kayu
dan tanaman obat-obatan, hutan cadangan,
kawasan perikanan, dan lain-lain (peta tema­
tik);
d. Pemuatan dalam Daftar tanah berisi: (1) Nama
pemilik, (2) Penguasaan, (3) Penggunaan ber­
da­sarkan fungsi, dan (4) Pemanfaatannya.
Melihat urgensinya, pemetaan wilayah adat
dapat dilakukan baik ketika tidak ada kebutuhan
maupun ketika ada kebutuhan (prioritas). Meng­
ingat bahwa pemetaan wilayah adat sangat mung­
kin meliputi bidang tanah yang secara de jure
merupakan kawasan hutan (negara), diperlukan

Maria SW Sumardjono | 53
koordinasi antara Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup, Kementerian ATR/BPN, dan
Gubernur Papua serta Papua Barat dalam bentuk
Peraturan Bersama. Peran Pemerintah Daerah
sangat penting dalam proses penetapan MHA
beserta wilayahnya.

54 | Agenda yang Belum Selesai


BAB II

PERMASALAHAN TANAH YANG AKTUAL

A. Pemantapan RUU Pertanahan*)


RUU Pertanahan (RUUP) inisiatif DPR yang mulai
dibahas pada 24 September 2018 masuk (lagi) dalam
Prolegnas 2019. Pemerintah mengusulkan beberapa
norma baru dengan mencabut secara tegas 23 pasal
UU No.5 Tahun 1960 (UUPA).
Pemerintah, diwakili oleh Kementerian
ATR/BPN, mengajukan Daftar Isian Masalah
(selanjutnya disebut DIM) versi November 2017
sebagai bahan pembahasan. Tiga hal dapat dicatat
dari usulan Pemerintah, yakni (1) penegasan
pengaturan untuk menjawab keraguan atau ham­
batan yang ada; (2) introduksi norma baru; dan (3)
pengaturan yang memerlukan koordinasi dengan
Kementerian/Lembaga di luar ATR/BPN.
*)
Kompas, 16 November 2018.

Maria SW Sumardjono | 55
Beberapa usulan yang termasuk kelompok
per­tama, misalnya terkait dengan kedudukan
hak, hapus­nya hak atas tanah, sistem pendaftaran
tanah, dan pengadilan pertanahan. Ketentuan
yang menyebutkan bahwa Hak Milik (selanjutnya
disebut HM) yang diberikan di atas tanah Hak
Pengelolaan (selanjutnya disebut HPL) untuk
perumahan dan transmigrasi berakibat bahwa
bagian tanah HPL yang bersangkutan menjadi
hapus itu merupakan hal yang positif karena
kedudukan HM adalah yang paling “kuat” dan
“penuh” jika dibandingkan dengan hak atas tanah
lainnya. Lagipula, HM dan HPL itu tidak dibatasi
jangka waktunya. Penghapusan Hak Sewa Untuk
Bangunan (selanjutnya disebut HSUB) dapat
dipahami karena akan rancu dengan peraturan
bahwa HGB dan HP dapat diberikan di atas tanah
HM. Tetapi, menggantikan HSUB dengan Hak
Sewa Tanah (selanjutnya disebut HST) sebagai
salah satu jenis hak atas tanah yang dapat dicatat
dalam data pendaftaran tanah justru menimbulkan
pertanyaan, yakni: (1) apakah perjanjian sewa
menyewa tanah itu menimbulkan suatu hak atas
tanah; (2) apa pertimbangan hukumnya bahwa
HST perlu dicatat; dan (3) apa akibat hukumnya

56 | Agenda yang Belum Selesai


jika HST tidak dicatat.
Perumusan tentang pencabutan hak atas
tanah sebagai salah satu sebab hapusnya hak
atas tanah namun dengan frasa ”dilepas dan
dicabut” untuk kepen­tingan umum menunjukkan
adanya kerancuan karena ada perbedaan prinsip
antara konsepsi tentang ”pelepasan hak” dan
“pencabutan hak” dalam konteks perolehan tanah
untuk kepentingan umum.
Untuk menjamin kepastian hukum perlu
didukung penerapan sistem pendaftaran tanah
positif di samping pemberlakuan lembaga
rechtsverwerking terkait hilang­nya hak untuk
menuntut pembatalan sertifikat. Kehati-hatian
dalam penentuan jangka waktu mulai berlakunya
ketentuan tersebut dan keberadaan lembaga
penjamin sertifikat merupakan keniscayaan.
Gagasan pembentukan pengadilan pertanah­
an perlu mempertimbangkan kompetensi absolut
pera­dilan khusus itu dan dukungan sumber daya
manusia yang menguasai hukum pertanahan yang
multi aspek. Namun, pengaturan tentang penga­
dilan pertanahan dalam RUUP itu tidak tepat
karena pembentukan badan peradilan khusus itu
harus diatur dengan undang-undang tersendiri

Maria SW Sumardjono | 57
seperti halnya UU tentang Pengadilan HAM, Pajak,
Tipikor, Niaga, dan Agama.

Norma Baru RUUP


Sebagai dampak perubahan rencana tata
ruang, diper­kenalkan lembaga insentif dan
disin­sentif yang berbeda dengan konsepsi yang
dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Pena­taaan Ruang (selanjutnya
disebut UUPR). Pada prinsipnya insentif diberikan
untuk kegiatan yang sejalan dengan rencana tata
ruang sedangkan disin­sentif diberikan untuk
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan
rencana tata ruang. Usulan Pemerintah jika terjadi
perubahan rencana tata ruang maka, (1) diberikan
insentif berupa ganti kerugian jika perubahan itu
berdampak terhadap pemanfaatan tanah dari yang
bersifat produktif menjadi non-budidaya, misalnya
dari areal penggunaan lain menjadi kawasan
lindung; (2) diberikan disinsentif jika berdampak
terhadap perubahan pemanfaatan tanah yang
justru memberikan nilai tambah, misalnya dari
perdesaan menjadi perkotaan, yakni 50 persen
dari luasan yang berubah pemanfaatannya itu
wajib diserahkan kepada Pemerintah dengan

58 | Agenda yang Belum Selesai


diberikan ganti kerugian. Di samping perhitungan
ganti kerugian yang adil, pemanfaatan tanah yang
diserahkan kepada Pemerintah itu harus ditegaskan
penggunaanya, utamanya diperuntukkan bagi
program Reforma Agraria (selanjutnya disebut
RA).
Usulan norma baru yang berpotensi terhadap
ketidakpastian hukum, yang pertama terkait
dengan pengaturan HPL. Dalam rumusannya, di
satu bagian HPL diindikasikan sebagai ”fungsi”
publik, tetapi di bagian lain lebih dikesankan
sebagai hak atas tanah. Subjek HPL dikelompokkan
menjadi dua, yakni: (1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah (selanjutnya disebut Pemda); dan (2)
Bank Tanah, Badan Layanan Umum (selanjutnya
disebut BLU), Badan Usaha Milik Negara/Daerah
(selanjutnya disebut BUMN/D), Badan Hukum
Milik Negara/Daerah (selanjutnya disebut
BHMN/D). Secara eksplisit tanah HPL kelompok
subjek yang kedua dapat dikerjasamakan dengan
pihak ketiga. Hak atas tanah yang diberikan di
atas tanah HPL itu dapat dialihkan, dibebani
dengan Hak Tanggungan dan dapat diperpanjang
atau diperbaharui dengan persetujuan tertulis

Maria SW Sumardjono | 59
pemegang HPL. Bagi kelompok subjek HPL yang
pertama, hanya disebutkan bahwa pemberian
HPL itu adalah untuk pelaksanaan tugas dan
fungsi. Dalam kenyataannya, bagian tanah HPL
Pemerintah/Pemda juga dapat dimanfaatkan
oleh pihak ketiga sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/
Daerah (selanjutnya disebut BMN/D). Lebih lan­
jut disebutkan bahwa HPL dapat dilepaskan
atau dialihkan dengan cara tukar bangun. Di sini
tampak kerancuan pengaturan HPL. Jika beraspek
publik, maka HPL harus dilepaskan agar tanahnya
dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak
lain. Jika HPL dialihkan secara langsung, maka
terkesan bahwa HPL dianggap sebagai hak atas
tanah. Seyogianya prosedur yang dirumuskan
sebagai “peralihan” itu dapat ditempuh melalui
pelepasan HPL dengan tujuan tertentu yakni
untuk diberikan kepada pihak yang telah bersedia
menukar bagian tanah HPL itu dengan bangunan.
Untuk pertama kali, HGU dapat diberikan di atas
tanah HPL. Ketentuan ini perlu disinkronkan
dengan peraturan terkait pencatatan aset untuk

60 | Agenda yang Belum Selesai


mencegah kerancuan jika di atas bidang tanah HPL
diberikan HGU yang masing-masing merupakan
aset dari pemegang hak yang sama.
Kedua, pengaturan tentang hak ulayat. Pengu­
kuhan hak ulayat dalam Perda dilakukan setelah
ditetapkan batas wilayah dan dipetakan secara
kadastral. Untuk mencegah kesalahpahaman,
seyo­gia­nya dite­gaskan bahwa yang memerlukan
pengukuhan itu adalah hak ulayat yang beraspek
publik dan privat, dan bahwa pada intinya setiap
Perda harus dilampiri dengan peta wilayah. Da­
lam kenyataannya, hampir semua Perda belum
dilengkapi dengan pemetaan wila­yah­nya sehing­ga
terhadap Perda yang sudah ada itu perlu diprio­
ritaskan pemetaan wilayahnya. Jika dalam RUUP
dirumuskan bahwa pengukuhan dilakukan dalam
Perda, bagaimana dengan pengukuhan hak ulayat
yang telah banyak dilakukan melalui keputusan
Gubernur atau Bupati? Lebih lanjut, perumusan
bahwa di atas tanah ulayat dapat diberikan HM
dan HPL itu perlu dicermati. Di atas tanah ulayat
yang beraspek privat belaka itu dapat diterbitkan
sertifikat atas hak kepemilikan bersama. Namun
menjadi janggal jika kepada masyarakat hukum
adat (MHA) diberikan HPL. Di satu pihak, sesuai

Maria SW Sumardjono | 61
dengan Pasal 2 UUPA dan Penjelasan Umum II.2,
tanah ulayat itu merupakan entitas tersendiri, di
samping tanah negara dan tanah hak. Di lain pihak,
HPL itu terjadi karena konversi atau pemberian
di atas tanah negara. MHA itu bukan subjek HPL
dan dalam Pasal 8 ayat (1) juncto Pasal 10 RUUP
disebutkan bahwa HM, HGU, HGB, dan HP dapat
diberikan diatas tanah ulayat secara langsung
dengan kesepakatan antara MHA dan pihak
ketiga melalui perjanjian tertulis. Bahkan, lebih
lanjut dalam Pasal 41 ayat (5)c ditegaskan bahwa
Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya
disebut PNBP) menjadi hak MHA jika di atas
tanah ulayatnya diberikan suatu hak atas tanah.
Inkonsistensi terjadi lagi ketika dalam Pasal 24
ayat (4) disebutkan bahwa jika HGU akan diberikan
di atas tanah ulayat, maka tanah ulayat harus
berstatus HPL terlebih dahulu, sedangkan dalam
Pasal 10 disebutkan bahwa HGU dapat diberikan
di atas tanah ulayat secara langsung.
Ketiga, pengaturan tentang HGU, HGB
dan HP. HGU diberikan untuk jangka waktu 35
tahun, dapat diperpanjang untuk 25 tahun dan
diperbaharui selama 35 tahun. Klausula bahwa
untuk kebutuhan tertentu Menteri dapat menam­

62 | Agenda yang Belum Selesai


bah jangka waktu HGU itu perlu diper­timbang­
kan kembali untuk menjamin kepastian hukum.
Dengan alasan untuk menarik investor dan
meningkatkan ekonomi sektor pertanahan dan
perumahan, untuk pertama kali Warga Negara
Asing (selanjutnya disebut WNA) dapat menjadi
subjek HGB untuk pemilikan rumah tempat
tinggal/hunian berupa apartemen. Usulan ini
tampaknya diambil sebagai jalan keluar dari
hambatan pemilikan tanah - bersama dalam kon­
sep­si tentang rumah susun (selanjutnya dise­but
rusun) yang tidak membuka kemungkinan bagi
WNA untuk memiliki apartemen jika rumah susun
berdiri di atas tanah HGB. Hal ini sekaligus meru­
pakan upaya untuk membatalkan berlakunya Per­
aturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun
2016 yang salah kaprah. Secara a contrario, jika
peng­gunaannya di luar hunian berupa satuan
rumah susun (selanjutnya disebut sarusun),
maka WNA bukanlah subjek HGB. Tampaknya
pemilikan sarusun bagi WNA itu memperoleh
perlakuan khusus. Disebutkan bahwa jangka
waktu HGB adalah 25 tahun, dapat diperpanjang
selama 20 tahun dan diperbaharui untuk 25

Maria SW Sumardjono | 63
tahun. Ketentuan ini juga berlaku terhadap HGB
yang diberikan di atas tanah HM. Akan tetapi,
untuk rusun jangka waktu diberikan untuk 30
tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan
diperbaharui selama 40 tahun {Pasal 30 ayat (3)
dan (5)}. Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu
30 tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan
diperbaharui untuk 30 tahun. Perumusan Pasal 34
ayat (2) bahwa WNA dapat diberikan HP untuk
rumah tempat tinggal/hunian baik berupa rumah
tunggal atau rusun itu membingungkan, karena
bagi WNA terbuka kemungkinan untuk memilih
berlakunya Pasal 29 ayat (2) juncto Pasal 30 ayat (3)
dan (5) yang jelas lebih “menguntungkan” ketika
berniat memiliki apartemen. Di samping itu apa
pertimbangan hukumnya bahwa untuk pemilikan
rumah tunggal kepada WNA diberikan HP?
Di luar inkonsistensi terhadap tiga hal
tersebut di atas terdapat rumusan tentang batas
maksimum penguasaan dan pemilikan tanah {Pa­
sal 13 ayat (1)}. Namun demikian, dalam Pasal
13 ayat (2) dibuka kemungkinan untuk mem­
buat pengecualian dari ketentuan batas maksi­
mum tersebut. Pengecualian itu harus dirinci lebih
lanjut sedemikian rupa sehingga tidak mem­­buka

64 | Agenda yang Belum Selesai


ruang tafsir yang lebih luas. Kesan “maju-mundur”
juga tampak dalam Pasal 13 ayat (4) yang menye­
butkan bahwa jika pemilikan dan pengua­saan
tanah melampuai batas, terbuka alternatif untuk
melepaskan kelebihan tanahnya atau membayar
pajak progresif. Pertanyaannya adalah, apa yang
men­jadi landasan filosofis pemba­tasan pemilikan
dan penguasaan tanah itu? Apakah alternatif
itu ber­laku untuk semua jenis penguasaan dan
pemilikan tanah? Bagaimana menerapkan asas
”ekonomi yang ber­keadilan” dalam ketentuan
yang membuka alternatif ini? Terhadap jenis
pengua­saan dan pemilikan tanah yang rentan ter­
hadap ketimpangan akses dalam per­olehan dan
pemanfaatan tanah yang sering kali ber­ujung pada
konflik/sengketa, khususnya berkenaan dengan
tanah HGU, seyogianya diterapkan ketentuan
untuk melepaskan kelebihan maksimum tanah­
nya. Rasanya tidak adil jika pemegang hak diper­
bolehkan membayar pajak progresif sedang­kan
untuk pemilikan dan penguasaan tanah per­
tanian yang melampaui batas maksimum dike­
nai ketentuan untuk melepaskan tanah kelebih­an
maksimumnya sesuai dengan keten­tuan ten­tang
landreform. Perlu juga diingat, bahwa Pera­turan

Maria SW Sumardjono | 65
Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria menyebutkan bahwa tanah kelebihan
maksimum itu merupakan salah satu objek RA
yang dapat diredistribusikan kepada penerima
yang memenuhi syarat.

Reaktif vs Proaktif
Dua hal perlu dicatat terkait kewenangan antar
sektor. Pertama, Pasal 51 menyebutkan bahwa
objek pendaftaran tanah meliputi semua bidang
tanah dan kawasan. Berdasarkan statusnya, yang
didaftar itu adalah tanah negara, tanah hak, dan
tanah ulayat yang beraspek publik sekaligus privat
sesuai dengan Permenag/Kepala BPN 5/1999.
Pengertian “didaftarkan” itu merupakan suatu
proses yang tidak selalu berujung pada terbitnya
sertifikat hak atas tanah. Pendaftaran tanah
negara, yakni tanah yang tidak dilekati dengan
suatu hak atas tanah, dilakukan dengan cara
membubuhkan bidang tanah tersebut dalam daftar
tanah. Terhadap tanah negara tidak disediakan
Buku Tanah dan oleh karena itu tidak diterbitkan
sertifikatnya. Dengan demikian, jika suatu ka­
wasan didaftarkan, maka itu didaftar sebagai
tanah negara. Oleh karena itu terhadap tanah yang

66 | Agenda yang Belum Selesai


berada dalam kawasan tidak perlu diberikan HP
atau HPL. Pendaftaran bidang tanah dan kawasan
dilakukan untuk memberikan kepastian hukum.
Kedua, ketika Pasal 3 menyebutkan bahwa Pre­
siden merupakan pelaksana kewenangan Hak
Menguasai Negara atas tanah dan kawasan di
seluruh wilayah RI dan bahwa kewenangan terse­
but dapat didelegasikan kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan di bidang agraria/
pertanahan dan tata ruang, hal ini seyogianya
dimaknai sebagai norma umum sesuai dengan
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dalam
kenyataannya, kewenangan menteri terbatas pada
tujuh bidang sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. Dengan demikian, kewenangan penge­
lolaan, penataan, pengen­dalian, termasuk pem­
berian izin di atas tanah negara pada kawasan
tersebut ada pada Menteri sektor terkait.
Perubahan UUPA dapat dilakukan sepanjang
politik hukum pertanahannya tetap ditujukan
pada terwujudnya amanat Pasal 33 ayat (3) UU
1945 terutama terkait dengan frasa “sebesar-
besar kemakmuran rakyat”, yakni bahwa kemak­
muran masyarakat yang diutamakan dan bukan
kemakmuran orang seorang. Mengingat bahwa

Maria SW Sumardjono | 67
hukum itu merupakan suatu sistem, usulan
norma baru seyogianya didukung dengan naskah
kebijakan yang komprehensif sehingga distorsi,
kontestasi, dan reduksi norma dapat dihindari.

B. Pertaruhan RUU Pertanahan*)


Pernyataan Pemerintah dan Ketua Panitia Kerja
(Panja) RUU Pertanahan (RUUP) bahwa RUUP
akan disahkan pada akhir September 2019 menuai
reaksi dari berbagai kalangan untuk menunda
pengesahannya. Substansi RUUP dinilai bermasalah,
disamping belum mengakomodasikan kepentingan
kelompok masyarakat yang seharusnya dijangkau
oleh RUUP.
RUUP hasil pembahasan panjang tanggal 21-
23 Juni 2019 belum mengakomodasikan usulan
ketentuan tentang Hak Bangsa. Bumi, air, dan
keka­yaan alam yang terkandung di dalamnya itu
adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
Bangsa Indo­nesia. Negara “menguasai” bumi,
dan sebagainya itu untuk menjalankan amanah
dan dengan demikian bertanggung jawab kepada
bangsa, agar tercapai sebesar-besar kemakmuran

*)
Kompas, 15 Agustus 2019.

68 | Agenda yang Belum Selesai


rakyat. RUUP juga me­negasikan pluralisme hukum
karena menghapus keten­tuan tentang prinsip
penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan
hukum adat. Hal ini membuka peluang untuk
menafsirkan secara bebas berbagai asas misalnya,
asas pemisahan horisontal dengan berbagai
implikasi hukumnya.

Isu krusial
Berbagai isu krusial masih ditemukan dalam
RUUP, antara lain pertama, kewenangan atas
tanah, ruang, dan kawasan (tanpa diberikan
defi­nisinya) dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemda. Bagaimana dengan Pemerintah Desa
dan masyarakat hukum adat (MHA)? Menurut
UU Desa, desa itu mempunyai kewenangan ber­
dasarkan hak asal-usul, antara lain: mengatur dan
mengurus sumber daya alam, tanah ulayat, dan
tanah desa.
Demikian juga dalam lingkup wilayah MHA,
ada kewenangan MHA yang beraspek publik yakni
mengatur tanah, perairan, hutan, dan SDA (objek
hak ulayat) di atas wilayah tersebut terkait dengan
pemanfaatan, hubungan hukum dan perbuatan
hukum mengenai objek hak ulayat.

Maria SW Sumardjono | 69
Kedua, kedudukan Hak Pengelolaan. HPL
yang semula berkedudukan sebagai ”fungsi”
(publik) penge­lolaan itu dalam RUUP dikukuhkan
sebagai “hak” yang bersifat keperdataan. Hak atas
tanah pihak ketiga yang diberikan di atas tanah
HPL itu dapat dialihkan dan dijadikan jaminan
utang dengan dibebani Hak Tanggungan. HPL
juga dapat dialihkan dan dilepaskan kepada pihak
lain. Perlu dipahami bahwa jika tanah HPL itu
merupakan aset, maka hubungan keperdataan
antara pemegang HPL dengan pihak ketiga/mitra
tunduk pada aturan hukum tentang pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) sebagai
lex specialis. Pelepasan dan pemindahtanganan
tanah HPL sebagai aset juga sudah diatur. Jika
perbuatan hukum terkait dengan aset melanggar
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan peraturan terkait
pengelolaan BMN/D (Peraturan Pemerintah No­
mor 27 Tahun 2014) itu berdampak terhadap
keru­gian negara, maka akibat hukumnya sudah
jelas. RUUP itu tidak diposisikan untuk merancang
aturan yang menyimpangi peraturan tentang aset.
Ketiga, pengukuhan keberadaan hak ulayat

70 | Agenda yang Belum Selesai


MHA diusulkan oleh Pemda dan ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri. Perlu ditegaskan bahwa
penetapan subjek hak ulayat dikoordinasikan oleh
Pemda dengan dibantu oleh kepanitiaan multi
pihak; tetapi kepastian hukum tentang objek hak
ulayat itu merupakan tanggung jawab Kementerian
ATR/BPN. Sinergi antara dua kementerian diwu­
judkan dalam suatu Penetapan Kepala Daerah
(selanjutnya disebut SK) sesuai dengan ruang
lingkup wilayah hak ulayat, yang proses penetap­
annya dapat ditempuh secara simultan. Rumusan
bahwa pengukuhan keberadaan Hak Ulayat MHA
dilaksanakan setelah dilakukan penetapan batas
dan pemetaannya itu tidak tepat. Berbagai Perda
atau SK Kepala Daerah yang sudah terbit pada
umumnya belum dilengkapi dengan pemetaan
wilayah hak ulayat. Intinya adalah, bahwa dalam
setiap penetapan pengukuhan keberadaan Hak
Ulayat, harus dilampiri dengan peta wilayah hak
ulayat MHA yang bersangkutan.
RUUP menghapus ketentuan tentang pem­
berian HGU dan HGB di atas tanah ulayat. Artinya
tanah (hak) ulayat MHA tidak diakui sebagai enti­
tas, disamping tanah negara dan tanah hak (Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak

Maria SW Sumardjono | 71
Pakai) sesuai Pasal 2 UUPA dan Penjelasan Umum
II.2. Ini merupakan langkah mundur, dibandingkan
dengan rintisan yang dibuka melalui Pasal 4 ayat
(2) Permenag/Kepala BPN 5/1999. Merupakan
suatu ironi, ketika ketentuan tentang kedudukan
HPL yang ”salah kaprah” justru diperkuat, tetapi
pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat
MHA yang dijamin oleh Konstitusi [(Pasal 18B
ayat (2)] justru diperlemah melalui peng­hapusan
ketentuan tentang pemberian HGU dan HGB di
atas tanah hak ulayat secara langsung. Hak Milik
(HM) dapat diberikan kepada perseorangan di
atas tanah ulayat melalui pelepasan bagian tanah
ulayat yang akan diberikan dengan HM (Pasal 12).
Keempat, pemerintah menetapkan batas
mak­simum penguasaan tanah. Luasan maksimum
seyo­gianya ditetapkan setelah melalui kajian
karena perbedaan karakter hak atas tanah, besaran
modal, skala usaha, jenis usaha, dan lain-lain.
Luasan yang telah ditetapkan dalam peraturan
pelaksanaan UU itu pun pada suatu saat bisa
berubah karena kemajuan teknologi dan lain-lain.
Pemegang hak yang menguasai dan memi­
liki tanah melebihi batas maksimum, harus me­
lepaskan kelebihan tanahnya atau dikenakan

72 | Agenda yang Belum Selesai


pajak progresif. Ketentuan tentang opsi itu tidak
adil ketika dibandingkan dengan ketentuan land
reform yang menyebutkan bahwa pemegang hak
milik atas tanah pertanian yang melebihi batas
maksimum wajib melepaskan tanah kelebihannya.
Pengaturan tentang perubahan rencana tata
ruang juga rancu. Dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3)
disebutkan bahwa jika terjadi perubahan tata ruang,
pemegang hak atas tanah wajib menyesuaikan
haknya dan jika hal ini tidak dilakukan maka
Pemerintah atau Pemda dapat mengambil alih
tanah yang bersangkutan dengan ganti kerugian.
Ketegasan tersebut menjadi rancu ketika dalam
Pasal 22 ayat (4) dinyatakan bahwa dalam hal
tanahnya masih dikuasai dan dimanfaatkan oleh
pemegang hak dengan menyesuaikan hak atas
tanahnya, maka pemegang hak atas tanah wajib
menyerahkan 50 persen dari luas bidang tanah
yang terkena perubahan rencana tata ruang
kepada Pemerintah atau Pemda dengan ganti
kerugian. Apa bedanya melakukan penyesuaian
hak dan tidak, karena jika taat aturan pun tetap
harus melepaskan 50 persen luas bidang tanahnya
yang terkena perubahan rencana tata ruang.

Maria SW Sumardjono | 73
Kelima, sebagaimana halnya dengan HPL,
di atas HM dapat diberikan HGU. Ketentuan ini
jelas melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA.
Ketika HPL dan HM disamakan dengan tanah
negara, artinya Pasal 2 UUPA serta Penjelasan
Umum II.2 sudah dihapus. Pengaturan tentang
HGU di atas tanah HPL memperkuat dugaan
tentang pemberian status hak keperdataan HPL
agar HPL dapat dijadikan dasar untuk pemberian
semua jenis hak atas tanah. Bisa jadi, lama
kelamaan tanah negara sudah tidak ada lagi dan
digantikan dengan HPL. Pemberian HGU yang
tanahnya berada dalam kawasan hutan didahului
dengan pelepasan kawasan hutan supaya menjadi
tanah negara yang diberikan dengan HPL atas
nama Kementerian ATR/BPN. Di atas tanah HPL
itulah diberikan HGU. Selama ini HGU diberikan
di atas tanah negara. Tanah HPL itu berbeda
dengan tanah negara, karena itu mengingat Pasal
5 ayat (2) RUUP tentang kewenangan pemegang
HPL dan peraturan tentang pengelolaan BMN/D,
pemberian hak di atas tanah HPL itu tidak dapat
menggunakan konstruksi hukum pemberian hak
atas tanah di atas tanah negara.

74 | Agenda yang Belum Selesai


HGU untuk perorangan diberikan dalam
jangka waktu 25 tahun dan untuk badan hukum
selama 35 tahun. Perpanjangan diberikan satu
kali. Untuk kebutuhan tertentu Menteri dapat
menambah jangka waktu tersebut, tanpa penje­
lasan tentang penambahan jangka waktu itu
(alasannya, mekanisme, jangka waktunya). Jika
jangka waktu HGU berakhir dan tidak diper­
panjang atau perpanjangan jangka waktu bera­
khir, maka tanahnya menjadi tanah negara dan
dikuasai oleh Kementerian dengan HPL. Ada
kecenderungan bahwa jika hak atas tanah yang
semula diberikan di atas tanah negara itu haknya
hapus karena suatu sebab dan tanahnya kembali
menjadi tanah negara, maka statusnya menjadi
tanah HPL atas nama Kementerian. Jika HGU
itu hapus karena pemegang hak menguasai tanah
secara fisik melebihi luasan pemberian haknya,
maka tanahnya menjadi tanah negara dengan
status HPL atas nama Kementerian. Bagaimana
jika luasan tanah yang melebihi pemberian HGU
itu ternyata merupakan kawasan hutan, atau hak
ulayat MHA, atau ternyata tumpang tindih dengan
perijinan sektor lain (pertambangan, kehutanan,
dan lain-lain)? Apakah hal itu bisa secara otomatis

Maria SW Sumardjono | 75
dianggap sebagai tanah negara dengan status HPL
atas nama Kementerian?
Terhadap HGB dan HP juga hanya dapat di­
be­rikan satu kali perpanjangan. Dalam keada­an
tertentu HGB dan HP dapat diberikan perpan­
jangan kedua. Klausula ”keadaan tertentu” itu me­
nimbulkan ketidakpastian hukum karena penge­
cualian itu menunjukkan tidak adanya kete­gasan.
Berbeda dengan HGU, HGB, dan HM, HP dapat
diberikan di atas tanah ulayat secara lang­sung
dengan persetujuan MHA. Tidak ada kon­sistensi
RUUP terkait pengaturan pemberian hak atas
tanah di atas tanah ulayat.
Keenam, pengaturan tentang pemilikan
sar­usun (Hak Milik atas Satuan Rumah Susun/
selanjutnya disebut HMSRS) menunjukkan penaf­
siran manasuka tentang asas pemisahan horison­
tal. Dalam konsep rumah susun, pemilikan atas
unit/flat/apartemen bersifat individual sekaligus
pemilikan bersama yang tak terpisahkan atas
tanah, bagian, dan benda. Tanda bukti HMSRS
adalah sertifikat HMSRS yang diterbitkan oleh Ke­
menterian ATR/BPN. RUUP menyebutkan bahwa
ketika HMSRS dibebani dengan Hak Tanggungan
jaminannya tidak termasuk tanah-bersama itu

76 | Agenda yang Belum Selesai


jelas bertentangan dengan konsepsi pemilikan
satuan rumah susun. Gagasan tentang jaminan
fidusia atas HMSRS tanpa tanah-bersama jika
pemiliknya WNA atau badan hukum asing dan
bahwa tanah-bersama yang di atasnya HMSRSnya
dimiliki oleh WNA atau badan hukum asing ber­
ubah secara otomatis menjadi tanah negara,
semakin menunjukkan jalan keluar yang dicari-
cari ketika hendak mengakomodasikan pemilikan
HMSRS oleh WNA atau badan hukum asing karena
terbentur pada status tanah-bersama yang pada
umumnya berbentuk HGB. Jika status tanah-
bersama adalah HP, permasalahan itu tidak perlu
terjadi.
Konsepsi pemilikan sarusun “tanpa” tanah-
bersama itu bukan ranah pengaturan RUUP, tetapi
ranah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun. Penyediaan rumah bagi
masyarakat berpenghasilan rendah (selanjutnya
disebut MBR) dimungkinkan dengan cara mem­
bangun rumah susun dengan cara menyewa
tanah aset Pemerintah/Pemda atau tanah wakaf,
dengan jangka waktu sewa selama 60 tahun.
Karena tanahnya merupakan tanah sewa, maka
yang dapat dimiliki hanya rumah susun beserta

Maria SW Sumardjono | 77
bagian-bersama dan benda-bersama, tanpa ta­
nah-bersama. Tanda bukti kepemilikannya beru­pa
Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (selan­
jutnya disebut SKBG) yang diterbitkan oleh ins­
tansi teknis kabupaten/kota urusan bangunan
gedung. SKBG dapat dijadikan jaminan utang de­
ngan fidusia. Rumusan dan gagasan yang diatur
dalam RUUP itu jelas merambah kewenangan
sektor lain secara diam-diam.
Ketujuh, ketentuan tentang Bank Tanah
(selan­jutnya disebut BT) terkait kelembagaan,
tugas dan fungsinya perlu dibicarakan dengan
Kemen­terian Keuangan karena terkait dengan
penge­lolaan aset agar tidak rancu dengan lembaga
yang sudah ada. Ketentuan bahwa BT dapat me­
nge­lola aset secara mandiri dengan antara lain
melakukan kerjasama dengan pihak ketiga ber­
potensi untuk diprioritaskan ketimbang melak­
sanakan tugas dan fungsi utamanya untuk menye­
diakan dan mendistribusikan tanah agar terjamin
ketersediaan tanah untuk kepentingan umum,
kepentingan sosial, dan lain-lain. Karena tugas
dan fungsi utamanya itu maka tidak tepat jika BT
menjadi subjek HPL.

78 | Agenda yang Belum Selesai


Berpacu dengan Waktu
Mencermati berbagai kelemahan RUUP
ditam­bah dengan kebutuhan untuk berdialog
dan mengako­modasikan masukan terkait dengan
antara lain, reforma agraria dan penyelesaian
konflik agraria lintas sektor yang berskala dan
berdampak luas, pengarusutamaan gender dalam
penguasaan dan pemilikan tanah, penjabaran
tentang fungsi ekologis tanah dalam pasal-pasal
RUUP, serta masukan dari dunia usaha terkait ke­
pentingan investasi itu memerlukan waktu untuk
menuntaskannya. Akomodasi berarti me­mi­lah dan
memilih, menerima dan menolak usul­an disertai
dengan alasannya dari segi konsep, falsafah, asas,
sinkronisasinya dengan undang-un­dang lain yang
relevan serta dampak sosial yang ditimbulkan dari
ketentuan itu. Perbaikan kele­mahan ditambah
dengan akomodasi substansi yang diusulkan
berbagai pihak itu harus disusun kembali menjadi
satu kesatuan yang utuh dan terpadu dalam RUUP
beserta Penjelasannya.
Jika RUUP yang dihasilkan melalui konsultasi
publik yang transparan dan partisipatif itu mampu
memberikan jaminan untuk tercapainya keadilan
agraria dan kepastian hukum serta perlindungan

Maria SW Sumardjono | 79
hukum, keberadaannya akan didukung oleh ma­
syarakat.

C. “Omnibus Law” Sumberdaya Alam*)


Pemerintah berencana menaikkan peringkat investasi
saat ini (73) menjadi 50 pada tahun 2021. Guna
memangkas hambatan berusaha, saat ini omnibus law
investasi, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan
UMKM tengah disiapkan. Apakah Omnibus law
investasi dapat berjalan sendiri?
Investasi memerlukan kepastian, keamanan,
dan kenyamanan berusaha. Tahapan kemudahan
berusaha setelah izin diperoleh, adalah perolehan
tanah dan kepastian hukumnya (registering
property). Pada tahap inilah hambatan bisa terjadi.
Untuk memperoleh tanah yang berkepastian
hukum, diperlukan status bidang tanah yang clean
and clear, artinya bebas dari klaim atau beban dari
pihak mana pun; dan lokasi, luas, serta batas-
batasnya pasti. Status clean and clear mensyaratkan
bahwa bidang tanah tersebut bebas dari sengketa/
konflik.

*)
Kompas, 28 November 2019.

80 | Agenda yang Belum Selesai


Di Indonesia, konflik agraria yakni konflik
struk­tural sebagai akibat dari suatu kebijakan
atau keputusan pejabat yang melibatkan instansi
Pemerintah atau korporasi dengan sekelompok
masyarakat, yang ber­dam­pak luas serta bersifat
lintas sektor telah ber­lang­sung sejak masa Orde
Baru (selanjutnya disebut Orba), melewati Pasca
Reformasi hingga saat ini. Kompleksitas per­
masalahannya membuat konflik agraria belum
dapat diselesaikan secara tuntas. Terus ber­lang­
sungnya konflik itu tentu dijadikan pertim­bangan
oleh investor yang mencari kemudahan berusaha.
Pada tahun 2018, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (selanjutnya disebut YLBHI)
mena­ngani 300 kasus konflik dan Konsorsium
Pembaruan Agraria (selanjutnya disebut KPA) 410
kasus. Kantor Staf Presiden (selanjutnya disebut
KSP) mencatat laporan 666 konflik, paling banyak
muncul pada masa Orba diikuti konflik pada era
desentralisasi. Data tersebut tentu merupakan
puncak gunung es, meng­ingat konflik lama tak
terselesaikan, sedangkan setiap tahun jumlah
kasus baru yang diadukan relatif besar. Jenis
konflik beragam meliputi berbagai sektor, yakni
perkebunan, properti, pertanian, pertambangan,

Maria SW Sumardjono | 81
kehutanan, infrastruktur, pesisir/kelautan, dan
lain-lain.
Karena sifatnya yang kompleks, konflik agra­
ria tidak tepat untuk diselesaikan melalui lembaga
peradilan. Penyelesaian secara musyawarah juga
jarang berhasil. Rekomendasi yang dikeluarkan
jarang dilaksanakan karena merupakan kewajiban
moral yang tak ada sanksinya.

Tumpang Tindih UU sektoral


Pengaruh politik-ekonomi Orba dapat dicer­
mati dalam berbagai UU sektoral (Kehutanan,
Pertam­bangan, dan lain-lain) yang berawal pada
akhir tahun 60an. Pembangunan yang ditopang
oleh investasi di bidang sumberdaya alam (SDA)
membuka peluang eksploitasi SDA besar-besaran
yang difasilitasi oleh undang-undang sektoral
yang tumpang tindih, bahkan bertentangan satu
sama lain. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) yang 15 pasalnya dimaksudkan sebagai
lex generalis bagi pengaturan UU sektoral (lex
specialis) tidak pernah dijadikan landasan hukum
pembentukannya. Eksploitasi besar-besaran itu
ber­dam­pak terhadap degradasi SDA dalam kualitas

82 | Agenda yang Belum Selesai


mau pun kuantitasnya. Tanah sebagai kebutuhan
dasar manusia diperebutkan antara pemodal
dan masya­rakat, termasuk masyarakat hukum
adat (MHA). Persaingan yang tak seimbang itu
melahirkan ketim­pangan dalam struktur pemilikan,
penguasaan, peng­gunaan, dan pemanfaatan ta­
nah. Ketidakadilan dalam akses perolehan dan
pemanfaatan tanah dan SDA itu berujung pada
konflik agraria yang tak pernah diselesaikan
secara tuntas dan terus berlangsung hingga saat
ini. Perintah Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (selanjutnya disebut MPR RI)
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
(selanjutnya disebut DPR) untuk melaksanakan
Reforma Agraria (RA) melalui Ketetapan MPR RI
No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (selanjutnya
disebut PA-PSDA) itu ditegaskan kembali melalui
Keputusan MPR RI No.V Tahun 2003 yang pada
intinya menugaskan kepada Presiden dan DPR
untuk membentuk UU tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan SDA yang akan berfungsi sebagai
lex generalis, dan membentuk lembaga independen
untuk menyelesaikan konflik agraria sehingga
keadilan agraria dapat dirasakan oleh kelompok

Maria SW Sumardjono | 83
petani, MHA, dan rakyat pada umumnya sehingga
konflik dan kekerasan yang mengiringinya dapat
dicegah dan ditanggulangi.
Sekitar tahun 2003 telah disusun Naskah
Aka­demik (selanjutnya disebut NA) dan RUU
tentang Sum­berdaya Agraria dan RUU tentang
Pengelolaan Sum­berdaya Alam yang berfungsi
sebagai lex generalis, yang karena satu dan lain hal
tidak berlanjut.
Mandat TAP MPR No. IX/2001 untuk meng­
kaji ulang UU sektoral yang tidak sinkron satu
sama lain itu juga belum dijalankan oleh Presiden
dan DPR. Dalam melaksanakan salah satu rencana
aksi terkait analisis tumpang tindih perizinan di
bidang SDA yang diinisiasi oleh KPK, dibentuk
Tim Kajian yang bekerja sejak tahun 2015,
dan pada tahun 2017 menyelesaikan “Kajian
Harmonisasi UU di Bidang Sumberdaya Alam-
Lingkungan Hidup”.Dua puluh enam UU sektoral
dikaji harmonisasinya berdasarkan tolok ukur
yang disarikan dari prinsip-prinsip PA, yang
terdiri dari 7 kriteria yang selanjutnya dijabarkan
dalam berbagai indikator. Setiap UU dianalisis
mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai

84 | Agenda yang Belum Selesai


pengawasan. Disamping 7 kriteria tersebut, UU
tersebut dikaji dari segi semangat melaksanakan
HAM dan anti korupsi. Potensi tumpang tindih
dicermati dari segi kewenangan, hak dan
kewajiban, perlindungan dan kelestarian lingkunga
hidup, serta pengawasan dan penegakan hukum.
Temuan kajian itu menyatakan bahwa pada semua
UU, prinsip-prinsip PA-PSDA belum sepenuhnya
diterapkan. UU sektoral sebagai lex specialis, tidak
saling merujuk walaupun lingkup pengaturannya
sama, bahkan bertentangan satu sama lain.
Walaupun kajian itu belum sempurna, setidak­
nya dari hasil kajian itu masing-masing sektor dapat
memanfaatkannya sebagai NA untuk membenahi
undang-undangnya agar selaras dengan prinsip-
prinsip PA-PSDA sehingga inkonsintensi antar UU
sektoral dapat diminimalisasi.

Saling Mendukung
Sudah saatnya mempertimbangkan penyu­
sunan Omnibus Law SDA. NA dan RUU yang
disusun pada tahun 2003 dapat digunakan sebagai
pijakan awal penyusunan Omnibus Law terkait
Penguasaan dan Pengelolaan SDA.

Maria SW Sumardjono | 85
Implementasi Omnibus Law investasi itu
tidak akan maksimal jika perolehan tanah rentan
terhambat konflik agraria. Namun, pembentukan
Omnibus Law SDA tidak mencukupi. Restrukturisasi
ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
melalui redistribusi tanah dalam rangka RA perlu
terus diupayakan dan UU tentang Hak MHA perlu
segera diterbitkan seraya membentuk lembaga
independen untuk penyelesaiaan konflik agraria
yang kompleks dan masif itu. Perlu upaya simultan
untuk melaksanakan agenda RA itu sehingga
keadilan agraria dapat tercapai dan perolehan
tanah yang berkepastian hukum untuk keperluan
investasi terjamin.

D. Kompleksitas Tanah Negara*)


Konstruksi hukum tanah negara menjadi penting
dalam kaitannya dengan penentuan kapan terjadi
dan hapusnya suatu hak atas tanah. Penafsiran yang
tidak tepat dapat membawa konsekuensi hukum.
Pengertian tanah negara menurut PP 24/1997
adalah “tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu
hak atas tanah”. Dalam tataran empiris, cakupan
*)
Kompas, 27 Desember 2019.

86 | Agenda yang Belum Selesai


tanah negara itu tidak meliputi tanah hak, tanah
ulayat, tanah wakaf, dan tanah-tanah yang dikuasai
secara sah walaupun belum bersertifikat.
Secara garis besar ruang lingkup tanah negara
meliputi dua kategori, yakni (1) tanah yang belum
pernah dilekati dengan sesuatu hak atas tanah,
dan (2) tanah yang sudah pernah dilekati dengan
sesuatu hak atas tanah, tetapi karena suatu
perbuatan hukum, peristiwa hukum, atau undang-
undang, kembali menjadi tanah negara. Ada
juga tanah negara yang terjadi karena peristiwa
alam, misalnya tanah timbul, atau karena buatan
manusia (tanah reklamasi). Demikian juga, tanah-
tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan
dan belum dimohonkan hak atas tanah, tanah
bekas tambang, dan tanah kelebihan maksimum
dan absentee termasuk dalam pengertian tanah
negara.

Terjadinya dan hapusnya Hak


Hak atas tanah dapat terjadi karena pene­
tapan pemerintah atas dasar permohonan suatu
hak atas tanah di atas tanah negara. Setelah
semua syarat dipenuhi, terbitlah SK Pemberian
hak. Sejak kapan hak itu timbul? Hak atas tanah

Maria SW Sumardjono | 87
timbul karena adanya hubungan hukum antara
subyek/pemegang hak dan objek/hak atas tanah,
yang melahirkan kewenangan bagi pemegang
hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum
terhadap tanahnya (Pasal 2 ayat (2) huruf b dan c,
yis Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) UUPA).
SK Pemberian Hak membebankan kewajiban bagi
pemohon untuk mendaftarkan tanahnya. Kapan
pemegang hak mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap tanah­
nya? Pada saat hak atas tanah sudah didaftar
(terbit sertifikatnya), saat itulah pemegang hak
berwenang melakukan perbuatan hukum terkait
hak atas tanahnya karena sudah ada kepastian
hukum terkait pemegang hak, macam hak, dan
objek hak (letak, luas, dan batas-batasnya).
Hak atas tanah dapat juga terjadi karena Un-
dang-Undang, misalnya karena ketentuan kon­
versi menurut UUPA. Berbeda dengan pene­tapan
pemerintah, konversi adalah perubahan dari hak
atas tanah yang sudah ada sebelum UUPA men-
jadi suatu hak atas tanah sesuai dengan UUPA.
Dalam hal ini, haknya atau hubungan hukumnya
sudah ada, tetapi karena perintah UU harus di-
ubah menjadi suatu hak atas tanah sesuai dengan

88 | Agenda yang Belum Selesai


UU (yang baru). Demikian juga untuk tanah-tanah
(bekas) hak milik adat. Hubungan hukumnya su-
dah ada,tetapi untuk penuntasan administras-
inya dibedakan an­tara tanah yang ada dan tidak
ada bukti haknya. Terhadap tanah yang ada bukti
haknya, diberikan SK Penegasan Hak, dan terha-
dap tanah yang tidak ada bukti haknya hubungan
hukum antara yang bersangkutan dengan tanah­
nya didasarkan pada penguasaan fisik tanah dan
pemenuhan kriteria sesuai peraturan perundang-
undangan. Kepada yang bersangkutan diberikan
SK Pengakuan Hak.
Perjanjian juga dapat menimbulkan hak atas
tanah, misalnya pemberian Hak Milik (HM), Hak
Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) di atas
tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan pemberian HGB
atau HP di atas tanah HM.
Hapusnya hak atas tanah disebabkan oleh
ber­bagai hal, yakni karena: (1) jangka waktu ber­
akhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui; (2)
dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir
karena suatu syarat tidak dipenuhi; (3) dilepaskan
sebelum jangka waktunya berakhir; (4) dicabut
untuk kepentingan umum; (5) ditelantarkan; (6)
tanahnya musnah; dan (7) melanggar ketentuan

Maria SW Sumardjono | 89
Undang-undang, misalnya karena ketidak sesuaian
antara pemegang hak dan hak atas tanahnya.
Dengan hapusnya hak atas tanah, maka tanahnya
menjadi tanah negara; hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanahnya sudah
tidak ada lagi. Tetapi karena hukum tanah nasional
menganut azas pemisahan horizontal, hubungan
hukum antara bekas pemegang hak dengan benda-
benda yang ada di atas tanah yang bersangkutan
masih ada.

Isu Krusial
Pertama, ganti kerugian untuk pengadaan
tanah yang diberikan kepada bekas pemegang hak,
dengan bukti sertifikat yang sudah berakhir haknya
(Pasal 23 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Ke­
pen­tingan Umum). Perpres mengkategorikan
bekas pemegang hak sebagai pihak yang menguasai
tanah negara dengan itikad baik. Yang menjadi
masalah adalah, dalam hal tersebut di atas, hu­
bungan antara bekas pemegang hak dengan
tanahnya sudah tidak ada lagi. Bekas pemegang
hak itu sudah tidak mempunyai kewenangan

90 | Agenda yang Belum Selesai


untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
tanahnya, sehingga logikanya yang bersangkutan
tidak berhak menerima ganti kerugian. Ganti
kerugian hanya diberikan kepada pihak yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya;
bisa dibuktikan dengan sertifikat, atau surat
sewa-menyewa tanah, SK Landreform, Surat izin
Garapan atau surat penunjukan kavling peng­
ganti. Termasuk bagi pihak yang menguasai dan
menggunakan tanah dengan itikad baik secara
turun temurun dalam jangka waktu sesuai ke­
tentuan peraturan perundang-undangan dapat
diberikan ganti kerugian. Kata kuncinya adalah,
ganti kerugian diberikan kepada pihak yang masih
mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya.
Pemberian ganti kerugian kepada yang berhak
sebagai akibat berlakunya suatu Undang-Undang
(Landreform, Nasionalisasi, dan lain-lain) itu
didasarkan pada masih adanya hubungan hukum
antara pemegang hak dengan tanahnya. Jika
hubungan hukum antara pemegang hak dengan
tanahnya berakhir, maka hak (keperdataan) atas
tanahnya sudah berakhir, tetapi hubungan hukum­
nya dengan benda-benda yang ada di atas tanah
yang bersangkutan, masih ada.

Maria SW Sumardjono | 91
Kedua, lamanya waktu penguasaan tanah
dengan itikad baik yang melahirkan suatu hak.
Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah menyebutkan jangka waktu 20 tahun atau
lebih secara berturut-turut penguasaan bidang
tanah, disamping harus didasari dengan itikad baik
dan persyaratan lain. Peraturan Presiden Nomor
62 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Dampak
Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan
Tanah untuk Pembangunan Nasional, dalam
Pasal 5 disebutkan persyaratan penguasaan tanah
secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus
menerus bagi pihak yang menguasai tanah negara,
atau tanah yang dimiliki oleh pemerintah/pemda,
BUMN/D dan memenuhi kriteria serta persyaratan
tertentu, diberikan santunan. Terdapat perbedaan
jangka waktu antara yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah (selanjutnya disebut PP) dan Perpres.
Ketiga, dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a
Peraturan Presiden Nomor 86 Thaun 2018 tentang
Reforma Agraria (RA) disebutkan bahwa terkait
dengan HGU dan HGB yang sudah berakhir jangka
waktunya dan tidak dimohonkan perpanjangan
atau pembaruannya, dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun setelahnya baru dapat efektif berlaku seba­

92 | Agenda yang Belum Selesai


gai objek RA. Ketentuan ini hendaknya dimaknai
sebagai pemberian kesem­patan kepada bekas
pemegang HGU/HGB untuk mengosongkan ta­
nah­nya, dan tidak ditafsirkan lain.
Berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa
pera­turan yang tidak dilandasi dengan konsep
yang objektif-rasional dan yang tidak konsisten
itu berpotensi menyulitkan para pelaksana di
lapangan, sehingga perlu diluruskan. Dalam rang­
ka menyamakan interpretasi tentang tanah ne­
gara, sudah saatnya Pemerintah me­nerbitkan
per­aturan tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Tanah Negara.

E. RUU Cipta Kerja dan Pertanahan*)


RUU Cipta Kerja (Ciptaker) diserahkan ke DPR
RI tanggal 12 Februari 2020. Ketertutupan dalam
proses pe­nyu­sunannya menimbulkan teka-teki ten­
tang substan­sinya, bahkan sempat menimbulkan ke­
gaduhan, karena kekhawatiran bahwa aspirasi pihak
yang terdampak tak diakomodasi dalam RUU. Ada
juga kekhawatiran bahwa “penyederhanaan” regulasi

*)
Kompas, 22 Februari 2020.

Maria SW Sumardjono | 93
berpotensi “menyimpang” dari konsep, filo­sofi, dan
prinsip atau asas dari UU asalnya.
Dalam Rapat Terbatas (selanjutnya disebut
RaTas) di Bogor tanggal 27 Desember 2019, Pre­
siden telah mengingatkan agar RUU Cipta La­
pangan Kerja (RUU) tidak dijadikan tempat untuk
menampung keinginan kementerian dan lem­
baga, dan tidak menerjemahkan Visi Indonesia
sebagaimana disampaikan dalam Pidato Presiden
tanggal 14 Juli 2019 di Sentul International
Convention Center, Bogor.
Perihal ketertutupan dalam proses penyusun­
an­­nya, hal ini tak sesuai dengan Keputusan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No­
mor 378 Tahun 2019 tentang Satuan Tugas Ber­
sama Pemerintah dan KADIN untuk Konsultasi
Publik Omnibus Law. Pasal 2 SK menegaskan
bahwa tugas Satuan Tugas (selanjutnya disebut
satgas) adalah melakukan konsultasi publik cipta
lapangan kerja dan perpajakan dan melakukan
inventarisasi masalah dan memberikan masukan
untuk penyempurnaan RUU hasil konsultasi
publik. Keterlibatan pemangku kepentingan dan
pihak lain yang terkait dibuka melalui Pasal 4.

94 | Agenda yang Belum Selesai


Disayangkan bahwa hal itu tidak ditempuh dalam
proses penyusunan RUU.

Penyederhanaan yang Taat Asas


Penyederhanaan regulasi yang ditempuh
RUU dilakukan dengan mengubah, menghapus,
atau mene­tapkan pengaturan baru dari 80an UU
dengan tujuan untuk memberikan kemudahaan
berinvestasi. Karena substansi yang dirubah/
dihapus itu hanya sebagian dari UU asal, bagian
yang tak dirubah atau diganti masih tetap
berlaku. Perubahan, penghapusan, dan penetapan
pengaturan baru (penyederhanaan) itu ada aturan
mainnya, sehingga tidak dapat dilakukan secara
serampangan.
Mengapa? UU itu merupakan produk hukum,
dan hukum itu merupakan sistem, artinya hukum
itu merupakan kesatuan yang utuh yang terdiri
dari unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama
lain. Setiap unsur tidak berdiri sendiri, tetapi
berkaitan dengan unsur lainnya. Setiap unsur
tidak berarti jika berada di luar kesatuan (Sudikno
Mertokusumo, “Mengenal Hukum”). Dengan
demi­kian, perubahan yang dilakukan terhadap

Maria SW Sumardjono | 95
suatu ketentuan yang dibangun berdasarkan
filosofi, konsepsi, dan asas/prinsip tertentu tidak
dapat dilakukan dengan mengubah/mengganti
filosofi, konsepsi, dan prinsip dasarnya. Setiap
perubahan harus dilakukan secara taat asas. Bila
hal ini dilanggar, maka yang terjadi adalah ketidak­
pastian hukum.
Mencermati penyederhanaan pengaturan di
bidang pertanahan dalam RUU tampak bahwa isu-
isu krusial dalam RUU Pertanahan (RUUP) versi 9
September 2019 yang antara lain menjadi penyebab
ditundanya pembahasan RUUP pada tanggal 23
September 2019, dimunculkan (kembali) dalam
RUU (lihat “Pemantapan RUU Pertanahan” dan
“Pertaruhan RUU Pertanahan” dalam Opini Kom­
pas, 16/11/2018 dan 15/8/2019). Pengaturan
tentang Bank Tanah dalam Pasal 123 s/d Pasal 128
RUU sama dengan pengaturannya dalam RUUP
(Pasal 75 s/d Pasal 79); pengaturan tentang Hak
Pengelolaan dalam Pasal 129 s/d Pasal 135 RUU
dapat dijumpai dalam Pasal 5 s/d Pasal 9 RUUP;
ketentuan tentang Rumah Susun dalam Pasal 136
s/d Pasal 138 RUU tak berbeda dengan ketentuan
dalam Pasal 46 RUUP.

96 | Agenda yang Belum Selesai


Pengaturan substansi tersebut dalam RUU
tetap melanggengkan masalah yang tak dise­
lesaikan dengan ditundanya pembahasan RUUP.
Pertama, terkait pem­bentukan Badan Bank
Tanah, setidaknya belum jelas: (1) filosofi, lan­
dasan hukum, dan prinsip dasar/asas-asasnya;
(2) urgensi pembentukannya; (3) asal tanah; dan
(4) siapa pihak yang paling diuntungkan dengan
keberadaan Badan ini? Kedua, pengaturan
tentang Hak Pengelolaan (HPL) bukan ditujukan
untuk meluruskan konsep HPL sebagai “fungsi”
pengelolaan, tetapi justru memantapkannya
sebagai “hak” yang bersifat keperdataan sebagai­
mana tampak dalam judul “Penguatan Hak Pe­
ngelolaan”. Isu krusialnya antara lain: (1) me­lang­
gar Pasal 28 UUPA, karena mengatur bahwa HGU
dapat diberikan di atas tanah HPL; (2) penga­
turan hubungan hukum antara pemegang HPL
dan pihak ketiga yang memanfaatkan sebagian
tanah HPL beserta kewenangannya, menafikan
pengaturan tentang kedudukan HPL sebagai aset
(BMN/D atau BUMN/D); (3) jangka waktu hak
atas tanah di atas tanah HPL diberikan sekaligus
selama 90 tahun dan dalam keadaan tertentu
pemberian hak atas tanah di atas tanah HPL dapat

Maria SW Sumardjono | 97
diberikan perpanjangannya sekaligus. Ketiga,
RUU membuka peluang bagi WNA untuk memiliki
Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang berdiri di
atas tanah HGB itu melanggar konsepsi universal
tentang Rumah Susun (Strata Title). Kepemi­likan
HMSRS secara individual merupakan kesatuan
yang tak terpisahkan dengan kepemilikan atas
tanah-bersama, benda-bersama, dan bagian-ber­
sama tempat rumah susun berdiri. Lebih lanjut,
pengaturan yang salah kaprah ini juga melanggar
ketentuan UUPA tentang kaitan antara subjek hak
dan hak atas tanah yang dapat dipunyai seseorang.
Pengaturan substansi tersebut di atas dalam
RUU jelas merupakan pelanggaran terhadap
filosofi, konsepsi, prinsip/asas UUPA, disamping
juga melang­gar Konstitusi sebagaimana telah
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/
PUU-V/2007.
Perumusan yang tak taat asas itu jelas me­
nim­­bulkan masalah ketidakpastian hukum dan
menun­jukkan ketidakpahaman makna bahwa
hukum itu merupakan suatu sistem yang utuh.
UU dapat dirubah, akan tetapi perubahan itu tidak
dapat dilakukan dengan menghalalkan segala

98 | Agenda yang Belum Selesai


cara. Perubahan yang tidak dilakukan secara taat
asas itu tidak dapat dicari pembenarannya melalui
adagium lex specialis (RUU) derogat legi generali
(UUPA dan peraturan pelak­sanaan­nya). UU umum
dapat dikesampingkan oleh UU khusus dengan
syarat bahwa asas-asas dalam UU umum tidak
dirubah atau tetap dipertahankan dalam UU yang
khusus. Jika filosofi, konsepsi, dan prinsip dasar/
asas dalam UU umum dirubah, yang terjadi bukan
menye­derhanakan, tetapi mengganti UU dengan
cara menyim­pang dari UU asalnya.

Menyempurnakan dan Membulatkan


Terkait dengan substansi di bidang perta­
nahan, alternatif jalan keluarnya adalah dengan
cara berpikir progresif-konseptual. Misalnya,
pertama, terkait Ba­dan Bank Tanah. Sepanjang
dapat diberikan penje­lasan tentang filosofi,
landasan hukum, dan prinsip-prinsip dasar Bank
Tanah, dapat dibentuk Bank Tanah yang secara
khusus ditujukan untuk akselerasi program
redistribusi tanah. Mengapa? Karena RUU memfo­
kuskan pada kemudahan berinvestasi, sehingga
untuk mengimbanginya perlu keberanian untuk
memberikan jalan bagi tercapainya keadilan

Maria SW Sumardjono | 99
agraria melalui penye­diaan tanah khusus untuk
program Reforma Agraria.
Meningkatkan daya tarik investasi dengan
mem­­berikan hak atas tanah 90 tahun atau per­
panjangan hak sekaligus dengan pemberiannya,
itu jelas melanggar Konstitusi. Kemudahan dapat
diberikan melalui penye­derhanaan administrasi,
misalnya permohonan per­pan­jangan hak dapat
dilakukan 5 tahun sebelum hak berakhir (lihat
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
BPN Nomor 7 Tahun 2017 Pengaturan dan Tata
Cara Penetapan Hak Guna Usaha) untuk diproses
SKnya, akan tetapi perpanjangan haknya diberikan
bersamaan dengan pendaftarannya.
Kedua, mengembalikan HPL sebagai “fungsi”
pengelolaan yang bersifat publik, harus dilakukan
dengan: (1) penegasan bahwa HM, HGB, dan Hak
Pakai dapat diberikan di atas HPL, tetapi HGU
tetap hanya dapat diberikan di atas tanah negara
sesuai dengan UUPA; (2) kewenangan pihak ketiga
untuk melakukan perbuatan hukum melalui pe­
manfaatan sebagian tanah HPL, diserahkan kepada
ketentuan tentang pemanfaatan HPL sebagai aset
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, di luar rezim hukum pertanahan.

100 | Agenda yang Belum Selesai


Ketiga, terkait dengan pemilikan HMSRS
oleh WNA, agar supaya konsepsi dan prinsip dasar
tidak dilanggar, perlu dipikirkan kemungkinan
untuk menga­tur bahwa untuk pembangunan ru­
mah susun diberikan Hak Pakai, disertai aturan
per­alihannya terkait rumah susun yang sudah ada.
Pandangan negatif terhadap Hak Pakai sebagai hak
yang tidak bankable harus diluruskan, karena sesuai
dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah (selanjutnya disebut UU 4/1996), Hak
Pakai itu dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
Dalam jangka panjang, sesuai dengan hukum adat
sebagai dasar dari hukum agraria, perlu dipikirkan
kembali gagasan tentang penyederhanaan jenis
hak atas tanah menjadi dua, yakni Hak Milik dan
Hak Pakai sebagaimana pernah diusulkan dalam
RUU Pertanahan versi tahun 2000an dan dalam
RUU tentang Sumberdaya Agraria (2004).
Akhirnya, RUU tidak dapat berjalan dengan
baik jika Pemerintah tidak melengkapinya dengan
har­monisasi UU di bidang sumberdaya alam.
Investasi yang adil, berkepastian hukum, demo­
kratis, dan berke­lanjutan perlu didukung dan

Maria SW Sumardjono | 101


pada saat yang bersa­maan harus diupayakan
terbitnya peraturan mau­pun upaya-upaya dalam
rangka implementasi Pem­baruan Agraria mela­
lui redistribusi tanah, pemenuhan hak-hak
masyarakat hukum adat, dan penyelesaian konflik
agraria (“Omnibus Law” Sumber Daya Alam, Kom­
pas, 28/11/2019). Penyederhanaan regulasi dan
perizinan tidak akan efektif jika tidak didukung
dengan pelayan­an publik yang profesional dan
bersih atau bebas dari pungutan liar sebagaimana
ditekankan dalam Visi Indonesia, khususnya visi
ketiga dan keempat.

102 | Agenda yang Belum Selesai


BAB III

ISU PERTANAHAN
DALAM RUU CIPTA KERJA

A. Pengantar
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
(se­lan­jut­nya disebut RUU Cipta Kerja) disusun
dengan mem­fokuskan pada prasyarat investasi,
yakni: (1) stabilitas politik dan keamanan; (2)
efisiensi pasar (kebijakan, aspek legal, pajak, dan
akses ke sumber daya alam/SDA); (3) besarnya
pasar domestik; (4) kondisi dan stabilitas makro
ekonomi; dan (5) infrastruktur, tenaga kerja, dan
pasar keuangan. Tampaknya, dari kelima prasyarat
itu, dengan pertimbangan bahwa peraturan dan
perijinan itu rumit dan tumpang tindih, dipilih
jalan pembentukan undang-undang dengan me­
tode omnibus law dengan bertumpu pada pra­syarat
kedua dan kelima.

Maria SW Sumardjono | 103


Intinya, overregulated dan ijin yang tumpang
tindih harus disederhanakan dengan cara meng­
ganti dan/atau mencabut ketentuan dalam UU,
atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam
UU ke dalam suatu UU (tematis).
Namun, penyusun RUU alpa mempertimbang­
kan faktor adanya hambatan utama bagi investasi
di Indo­nesia.
Berdasarkan Global Competitiveness Report
2017-2018, terdapat 16 hambatan investasi; ham­
batan nomor satu adalah korupsi (13,8%), disusul
dengan birokrasi Pemerintahan yang tidak efisien
(11,1%). Kebijakan yang tidak pasti berada pada
urutan kelima (18,6%), dan permasalahan terkait
dengan ketenagakerjaan berada pada urutan ke­
delapan, kesebelas dan ketigabelas. Laporan ter­
sebut menegaskan bahwa hambatan utama inves­
tasi itu terkait dengan masalah kelembagaan.
Sebagai contoh masalah kelembagaan berupa
biro­krasi pemerintahan yang tidak efisien, dapat
disimak dari Laporan Pelayanan Publik oleh Om­
budsman RI Tahun 2019. Dari 8 (delapan) jenis
laporan masyarakat, peringkatnya adalah sebagai
berikut :

104 | Agenda yang Belum Selesai


1. Pertanahan (871 Laporan)
2. Kepegawaian (749 Laporan)
3. Pendidikan (658 Laporan)
4. Kepolisian (536 Laporan)
5. Administrasi Kependudukan (249 Laporan)
6. Ketenagakerjaan (188 Laporan)
7. Peradilan (168 Laporan)
8. Bantuan Sosial (150 Laporan)
Khusus untuk bidang pertanahan, maladmi­
nistrasi disebabkan oleh: (1) penundaan penye­
lesaian yang berlarut-larut; (2) tidak memberikan
pelayanan (pu­ngutan liar, informasi sulit diak­ses,
dan aduan tidak ditin­dak­lanjuti); (3) penyimpang­
an prosedur, dan lain-lain.
Jika penghambat utama investasi itu tidak
mem­peroleh perhatian dan tindakan yang diper­
lukan secara bersungguh-sungguh, sedang­kan
substansi RUU ini bermasalah, maka jika RUU ini
dipaksakan berlakunya, sulit dibayangkan imple­
mentasinya.
Dilihat dari konstruksi hukum penyusunan
rumus­an pasal-pasal terkait pertanahan, tampak
ada­nya ketidaktaatasasan pada pemenuhan sya­
rat formil dan materiil pembentukan UU. Seti­
daknya RUU ini melanggar asas formil sebagai

Maria SW Sumardjono | 105


berikut: (1) tidak jelas tujuan pembentukan RUU
(untuk peningkatan inves­tasi atau peningkatan
kesejahteraan pekerja?); (2) seberapa mendesaknya
RUU ini dibuat (RUU dibuat dengan tergesa-gesa
tetapi tidak jelas derajat kemen­desakannya);
(3) tidak jelas landasan filosofis, yuridis, dan
sosiologisnya. Naskah Akademik (NA) disusun
secara sumir dan jelas tidak mudah menyusun ketiga
landasan tersebut untuk RUU yang dimaksudkan
untuk menyederhanakan 79 UU yang terdiri dari
1239 pasal dari berbagai bidang yang masing-
masing mempunyai landasan filosofis dan tujuan
yang khas. Dengan demikian ada keraguan besar
apakah RUU dapat dilaksanakan; (4) RUU tidak
memenuhi asas keterbukaan karena dibuat secara
tertutup/tak trans­paran sehingga tak terjangkau
oleh publik; dan (5) RUU mempermudah investasi
tetapi mengabaikan aspek lingkungan, HAM, dan
lain-lain.
Adapun persyaratan materiil yang tak dipe­
nuhi oleh RUU, setidaknya adalah sebagai beri­kut:
1. Asas keadilan. RUU membuka peluang seluas-
luasnya untuk investasi, dan pada saat yang
sama tidak memberikan perhatian yang
seimbang pada kelompok yang potensial

106 | Agenda yang Belum Selesai


terdampak (masyarakat hukum adat, dan
kelompok-kelompok rentan lainnya).
2. Asas ketertiban dan kepastian hukum.
RUU ”memotong” berbagai persyaratan yang
esen­sial untuk melaksanakan suatu kegiatan
demi mem­berikan kemudahan berusaha ke-
pada investor tanpa kajian yang melandasi
alasan-alasan “pemotongan” tersebut beserta
dampak­nya. Rumusan RUU yang mengha-
pus persyaratan esensial dan menambahkan/
merubah suatu keten­tuan tanpa alasan yang
jelas itu rawan dengan permasalahan kepas-
tian hukum.
Ditambah lagi, RUU memerintahkan penga­
tur­an lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah
(PP) dan Perpres tanpa rambu-rambu yang
jelas dalam rumusan RUU berpotensi melen­
ceng dari maksud RUU.
3. Penyusunan RUU, khususnya terhadap bidang
pertanahan, melanggar asas dalam UU asalnya
(UUPA) disamping melanggar konstitusi se­
bagai­mana putusan Mahkamah Konstitusi,
dan me­lang­gar konsepsi yang mendasari UU
asalnya.

Maria SW Sumardjono | 107


Untuk pengaturan pertanahan, dalam Naskah
Akademik disebutkan bahwa landasan hukum
RUU adalah “RUU” Pertanahan (RUU P) yang telah
ditunda pembahasannya pada 23 September 2019
karena berbagai isu krusial, tetapi justru isu krusial
yang kontroversial itu dimuat ulang dalam RUU.
Penyebutan alasan perumusan sebagai “norma”
baru itu jelas melanggar syarat formil maupun
materiil penyusunan UU. Disamping itu, ketentuan
terkait pertanahan tidak relevan dengan tujuan
penyederhanaan undang-undang dan kemudahan
perijinan sebagai tujuan RUU, tetapi lebih
dimaksudkan untuk “menyelundupkan” substansi
yang telah ditolak dalam RUUP untuk diloloskan
dalam RUU10.

B. Analisis berbagai Isu Krusial terkait dengan


Pengaturan di bidang Pertanahan dalam
RUU.
1. Pengaturan tentang Pengadaan Tanah (Ps 120-
121)

Pernyataan Menteri ATR/Ka BPN. Pembahasan RUU “Sapu


10

Jagat” jadi penentu lahirnya Bank Tanah, finance detik.com/


property/d-4868161,21 Januari 2020.

108 | Agenda yang Belum Selesai


a. Perluasan Jenis Kegiatan dalam
Katego­ri Kepentingan Umum
Perluasan jenis kegiatan yang termasuk
dalam kategori kepentingan umum yang semula
terdiri dari 18 (delapan belas) jenis kegiatan
pembangunan, diperluas dengan 5 (lima) jenis
kegiatan pembangunan, yakni: 1) kawasan hulu
dan hilir industri migas; 2) kawasan ekonomi
khusus/KEK; 3) kawasan pariwisata; 4) kawasan
industri; 5) kawasan lain yang diprakarsai dan/atau
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemda, BUMN
atau BUMD yang ditetapkan dengan Perpres;
Pertanyaaannya adalah, mengapa untuk pe­
nga­­daan tanah bagi pelaksanaan program-pro­
gram Reform Agraria (RA) baik perkotaan maupun
perdesaan, khu­susnya terkait dengan redistribusi
tanah tidak dican­tumkan dalam perluasan jenis
kegiatan yang masuk dalam kategori kepentingan
umum?
Sebagaimana diketahui, tak mudah untuk
melak­sanakan program redistribusi tanah jika
hanya harus mengandalkan pada tanah-tanah
bekas HGU dan tanah terlantar, disamping tanah
yang berasal dari pelepasan kawasan hutan
produksi yang tidak produktif dan lain-lain objek

Maria SW Sumardjono | 109


RA sebagaimana diatur dalam Perpres 86/2018
tentang Reforma Agraria.
Sebagai perbandingan, di Afrika Selatan, se­
suai dengan Konstitusi Afrika Selatan Tahun 1996
(Undang-Undang Nomor 108 Tahun 1996) dalam
Pasal 25 ayat (4) disebutkan sebagai berikut:
a) the public interest includes the nation’s com-
mitment to landreform, and to reform to
bring about equitable access to all South Af-
rica’s natural resource; and
b) property is not limited to land
Di Afrika Selatan, merupakan kewajiban
negara untuk membentuk peraturan perundang-
undangan dan kebijakan yang membuka kemung­
kinan bagi masyarakat untuk memperoleh akses
terhadap tanah secara adil. Tidak dicantumkannya
RA sebagai kegiatan yang termasuk kepentingan
umum menjadi penanda bahwa RUU kurang peka
terhadap pelaksanaan redis­tribusi tanah dalam
rangka RA

b. Ganti kerugian
Dalam Penjelasan RUU disebutkan sebagai
contoh penerima ganti kerugian pemakai tanah

110 | Agenda yang Belum Selesai


negara yang tidak melanggar peraturan per­
undang-undangan, misal­nya: “bekas pemegang
hak yang telah habis jangka waktunya yang masih
meng­gunakan atau meman­faatkan tanah yang
bersangkutan”.
Pertanyaannya, bukankah sesuai dengan
ke­ten­tuan UUPA dengan telah habis atau ber­
akhirnya jangka waktu hak atas tanah karena tidak
diperpanjang atau diperbaharui maka hubungan
hukum antara (bekas) pemegang hak dengan
tanahnya seketika itu demi hukum juga menjadi
hapus? Akibatnya kepada yang bersangkutan tidak
dapat diberikan ganti kerugian, karena tanahnya
sudah menjadi tanah negara, kecuali, apabila ada
klausula bahwa yang bersangkutan sedang dalam
proses menunggu terbitnya SK Perpanjangan/
Pembaharuan Hak.
Tampaknya ada “kebingungan” yang berkem­
bang dalam praktik administrasi pertanahan yang
tidak jelas landasan hukumnya, yang beranggapan
bahwa walaupun hak atas tanah seseorang itu
hapus (dan menjadi tanah negara), pihak yang
bersangkutan masih mempunyai hubungan
hukum dengan tanahnya (padahal, tidak ada hak,
berarti tak ada (lagi) hubungan hukumnya). Hal itu

Maria SW Sumardjono | 111


tampak dengan adanya praktik untuk tetap minta
“pelepasan hak” dari “bekas” pemegang hak(?)
yang hak atas tanahnya sudah hapus. Bagaimana
seseorang yang sudah tidak mempunyai hubungan
hukum dengan tanahnya itu masih diminta untuk
“melepaskan” haknya yang memang sudah hapus?
Barangkali hal itu ditempuh untuk “mengamankan
diri” para pelaksana jika seandainya bekas peme­
gang hak mengajukan tuntutan (atas dasar apa?).
Terkait dengan ganti kerugian untuk tanah
ulayat. Pertama, RUU seharusnya memperbaiki
definisi yang keliru dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 yo Pasal
Ps 22 ayat (1) Perpres yang menyebutkan syarat
keberadaan MHA sebagai subjek hak, padahal
yang dirinci, merupakan copy paste Pasal 2 ayat (2)
Permenag/Kepala BPN 5/1999 itu adalah syarat
keberadaan hak ulayat (objek hak). Seyogianya
dalam RUU disusun kriteria tentang MHA sebagai
subjek hak ulayat yang berhak menerima ganti
kerugian
Kedua, Pasal 22 ayat (2) Perpres menyebutkan
bahwa: “MHA keberadaannya diakui setelah dilak­
sanakan penelitian dan ditetapkan dengan Perda
setempat”.

112 | Agenda yang Belum Selesai


Rumusan ini menunjukkan ketidakpahaman
pe­rumus terhadap esensi Pasal 18B ayat (2) UUD
NRI 1945, yakni bahwa keberadaan MHA itu diakui,
pengu­kuhan penetapannya itu bersifat declaratoir
belaka, bukan konstitutif. Penetapannya juga
tidak harus dalam bentuk Perda. Jika memang ada
kehendak untuk mengakui keberadaan MHA secara
genuine, seharusnya RUU berani merumuskan
bahwa pengakuan MHA cukup dalam bentuk SK
Kepala Daerah.
Ketiga, terkait dengan bentuk ganti kerugian
terhadap tanah ulayat MHA, yakni: tanah
pengganti, pemukiman kembali, dan bentuk
lain yang disepakati (Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012) diberlakukan dalam RUU.
Seyogianya RUU mengoreksi bentuk ganti kerugian
terhadap tanah ulayat karena hilangnya tanah
ulayat menimbulkan kerugian ter­tentu bagi MHA,
yang jelas berbeda dengan tanah perorangan.
Kehilangan tanah ulayat sebagai ruang hidup
MHA berarti: (1) kehilangan tanah (pertanian,
pekarangan, akses ke hutan, dan sumber daya alam
lain, tanah bersama); (2) kehilangan bangunan; (3)
kehilangan penghasilan dan sumber penghidupan
karena ketergantungannya kepada hutan dan

Maria SW Sumardjono | 113


sumber daya alam lainnya; (4) kehilangan pusat
kehidupan dan budaya; (5) kehilangan kearifan
lokal; (6) kehilangan jejaring sosial di tempat
asalnya.
Bentuk ganti kerugiannya, dengan kesepa­
katan masyarakat yang bersangkutan, dapat berupa
peng­gantian untuk tanah kepunyaan bersama,
bangunan, akses ke sumber daya alam untuk
kehidupan sehari-hari. Sedangkan untuk ganti
kerugian berupa uang, penentuannya berbeda
dengan penilaian terhadap tanah non-masyarakat
hukum adat karena tanah ulayat itu disamping
mempunyai nilai ekonomis, juga berkaitan dengan
nilai sosial dan magis-religius. Praktik di negara
lain, misalnya untuk menetapkan ganti kerugian
bagi tanah masyarakat Aborigin, ganti kerugian
tanah ulayat diberikan berdasarkan perhitungan
nilai pasar ditambah sejumlah uang tertentu yang
disebut dengan solatium, yang jumlahnya bisa lebih
besar dari nilai pasar tanah yang bersangkutan.
Kekurangpekaan penyusun RUU terhadap
kebera­daan MHA dan potensinya sebagai pihak
terdampak kegiatan pengadaan tanah, tampak
dalam pengaturan tentang MHA yang tidak
mendalam, komprehensif dan progresif.

114 | Agenda yang Belum Selesai


2. Pengaturan terkait Perlindungan Lahan Pertani­
an Pangan Berkelanjutan (PLP2B)
UU ini dibentuk berdasarkan falsafah bahwa
lahan pertanian itu merupakan karunia Tuhan YME
dan penetapan Lahan Pertanian dan Pangan Berke­
lanjutan (selanjutnya disebut LP2B) adalah untuk
menjamin sumber pekerjaan dan penghidupan
yang layak khususnya bagi petani. Pertambahan
jumlah penduduk dan pengembangan ekonomi
serta industri telah berdampak terhadap degradasi,
alih fungsi, dan frag­mentasi lahan pertanian. Oleh
karena itu pengatur­an tentang LP2B adalah dalam
rangka menciptakan ke­man­dirian, ketahanan,
dan kedaulatan pangan. Demi­kian pula, sesuai
dengan tujuan Pembaharuan/Reforma Agraria
untuk redistribusi tanah, diperlukan LP2B yang
berkelanjutan (Konsiderans Undang-Undang No­
mor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (selanjutnya
disebut UU PLP2B).
Pasal 122 RUU merubah ketentuan Pasal 44
UU PLP2B, khususnya ayat (2) dengan menam­
bahkan frasa kepentingan umum dengan “Proyek
Strategis Nasional” (selanjutnya disebut PSN)
sehingga berbunyi sebagai berikut “Dalam hal

Maria SW Sumardjono | 115


untuk kepentingan umum dan/atau PSN, LP2B
dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-un­dang­
an”.
Beberapa catatan terkait ketentuan tentang
LP2B. Pertama, walaupun alih fungsi LP2B di
samping untuk kepentingan umum diperluas
dengan PSN, tetapi RUU tidak konsisten. Dalam
Pasal 120, kegiatan pembangunan untuk kepen­
tingan umum diperluas (lihat uraian butir 1) tetapi
dalam Penjelasan Pasal 122 masih menggunakan
definisi kepentingan umum sesuai UU tentang
PLP2B (tidak merubah macam/jenis kegiatan).
Pertanyaannya, karena inkonsisten, apakah untuk
dapat melakukan alih fungsi LP2B hanya terhadap
kegiatan kepentingan umum sebagaimana tercan­
tum dalam Penjelasan Pasal 122, atau, apakah
juga berlaku terhadap jenis kegiatan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 120?
Kedua, Pasal 44 ayat (3) UU dihapus oleh
RUU tanpa disebutkan alasannya. Padahal, Pasal
44 ayat (3) justru memuat persyaratan yang ketat
untuk pengalihfungsian lahan untuk kepentingan
umum, yakni:

116 | Agenda yang Belum Selesai


a. dilakukan kajian kelayakan strategis;
b. disusun rencana alih fungsi lahan;
c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik;
dan
d. disediakan lahan pengganti terhadap LP2B
yang dialihfungsikan.
Persyaratan itu wajib dipenuhi, satu dan lain
hal untuk tidak mempermudah alih fungsi LP2B
agar tujuan penetapan LP2B dapat terlaksana.
Tujuan penetapan LP2B adalah sebagai berikut:
(1) melindungi kawasan; (2) melindungi pemilikan
petani; (3) mening­katkan kesejahteraan petani dan
masyarakat; (4) mening­kat­kan penyediaan pangan
dan lapangan kerja; dan (5) mempertahankan
keseimbangan ekologis.
Dengan meniadakan persyaratan ini, luasan
LP2B terancam semakin susut dengan segala
dampaknya. Sebagai catatan, luas lahan baku sa­
wah terus menyusut. Luasan pada tahun 2017
adalah 7.75 juta Hektar, tetapi pada tahun 2018
menjadi 7,1 juta Hektar.11
Ketiga, UU PLP2B terbit sebelum Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Sumber : BPS (2018).
11

Maria SW Sumardjono | 117


Umum. Jika terjadi alih fungsi LP2B untuk ke­
pen­tingan umum, bagaimana bentuk ganti
keru­giannya agar tujuan penetapan LP2B tetap
terjaga? Dalam hal ini, seyogianya bentuk ganti
kerugiannya tetap mengikuti Pasal 46 UU PLP2B
yakni berupa lahan pengganti dengan kriteria yang
sudah ditetapkan karena Pasal 46 tidak dicabut.
Kriteria lahan pengganti menurut Pasal 46 adalah
sebagai berikut:
(1) - untuk lahan irigasi = 3 x luas
- reklamasi rawa pasang surut dan non
pasang surut = 2 x luas
- lahan tidak beririgasi = 1 x luas
(2) Harus sudah ada dalam RPT, RPJM dan RPJP
instansi terkait pada saat alih fungsi
Demikian juga, karena Pasal 45 UU PLP2B
juga masih berlaku, pemilik LP2B juga berhak
atas ganti kerugian, disamping penggantian nilai
investasi infra­struktur.

3. Pengaturan tentang Pertanahan


a. Bank Tanah (BT)
Pengaturan tentang BT dalam Pasal 123 RUU
pada prinsipnya sama dengan pengaturannya

118 | Agenda yang Belum Selesai


dalam Pasal 75 RUU Pertanahan (RUUP) dengan
sedikit perubahan terkait dengan: (1) nama: Badan
BT; dalam RUUP: Lembaga Pengelola Tanah; (2)
merupakan badan Khusus; dalam RUUP: BHMN;
(3) kekayaan negara yang dipisahkan; dalam
RUUP: kekayaan negara yang dipisahkan dan ber­
tanggungjawab kepada Menteri. Sedangkan dalam
RUU, Badan BT sebagai badan khusus mempunyai
aset tetapi tidak bertanggungjawab kepada
Menteri.
Pertanyaannya, jika aset BT berupa BMN,
apakah dikecualikan dari peraturan perundang-
undangan ter­kait dengan aset dan pengelolaannya?
Sebagai catatan, pengelola BUMN adalah Menteri
Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perben­daharaan Negara dan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan BUMN/D.
Pasal 124 RUU pada prinsipnya disalin dari
Pasal 76 RUUP ditambah dengan frasa ”ekonomi
berkeadil­an”, dan dengan menghilangkan kata
”keadilan agra­ria” dibelakang kata ”Reforma
Agraria”. Dalam NA disebutkan bahwa pemben­
tukan BT adalah dalam rangka memper­ce­pat
proses pengadaan tanah dalam rangka pemba­

Maria SW Sumardjono | 119


ngunan infrastruktur. Tetapi dalam ke­ten­­tuannya
disebutkan bahwa BT menjamin keterse­dia­an
tanah untuk:
a) kepentingan umum ;
b) kepentingan sosial;
c) kepentinganpembangunan;
d) pemerataan ekonomi;
e) konsolidasi lahan ; dan
f) Reforma Agraria
Pertanyaannya, bagaimana prioritas perun­
tuk­an tanah yang diserahkan oleh BT?
Pasal 125 RUU sejalan dengan Pasal 77 RUUP
tetapi kemudian berbelok arah dengan meng­
hilangkan kata ”non profit” dalam RUUP, sehingga
pengelolaannya hanya bersifat transparan dan
akuntabel. Dengan demikian, Badan BT menurut
sifatnya adalah lembaga yang boleh mengambil
untung. Pertanyaannya, apa bedanya dengan
lem­baga swasta yang menyediakan tanah, mema­
tangkan, dan kemudian menjualnya kepada konsu­
men, seperti perusahaan real estate, yang pastinya
mengambil untung? Atau, apakah kemudian pe­
ran­nya dapat dipersamakan dengan “makelar
tanah” yang pasti mengambil untung?

120 | Agenda yang Belum Selesai


Sumber kekayaan Badan BT (Pasal 126) sama
dengan Pasal 78 RUU demikian juga terkait penga­
turannya lebih lanjut Badan BT Pasal 128, sama
dengan Pasal 79 RUUP.
Isu yang relatif baru dirumuskan dalam
Pasal 127 yang intinya adalah: (1) Badan BT seba­
gai pemegang HPL (isu lama!); (2) di atas HPL
tersebut dapat diberikan HGU, HGB, dan HP; (3)
jangka waktu hak atas tanah di atas HPL adalah
90 (sembilan puluh tahun); (4) kewenangan Badan
BT adalah melakukan penyusunan rencana lokasi,
membantu memberikan kemudahan perijin­an
ber­usaha/persetujuan, melakukan penga­daan ta­
nah, menentukan tarif pelayanan. Pertanya­an­
nya, apakah ijin itu sama dengan persetujuan?
Jika Badan BT merupakan pemegang HPL, tentu
kewenangannya harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demi­
kian kewenangan Badan BT yang diatur dalam
Pasal 127 bertentangan dengan kewenangan pe­
megang HPL. Ada kerancuan tentang cara berpikir
terhadap BT sebagai suatu lembaga yang tampak
“dipaksakan” keberadaannya.
Terkait dengan pengaturan tentang jangka
waktu hak atas tanah, baik yang diberikan di atas

Maria SW Sumardjono | 121


tanah negara, maupun di atas tanah HPL adalah
sesuai dengan pengaturannya dalam UUPA dan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (se­
lanjutnya disebut PP 40/1996). Pemberian jangka
waktu di luar UUPA itu bertentangan dengan
konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007.
Pengaturan tentang bentuk, fungsi dan ke­
wenang­an Badan BT rancu karena filosofi, asas/
prinsip, dan tujuan pembentukannya tidak jelas.
Alasan pembentukannya yang disebutkan
seba­­gai “norma baru” dan landasan hukumnya
yang merujuk pada RUUP yang bermasalah,
menun­jukkan ketidak­taatan pada syarat formil
dan materiil pembentukan UU, serta merupakan
aturan yang tidak dibentuk atas konsensus karena
memang hanya ditujukan untuk kepentingan
mem­per­mudah investasi, khususnya dalam rangka
penye­diaan tanah untuk kegiatan investasi.

b. Penguatan Hak Pengelolaan (HPL)


Pada prinsipnya pengaturan tentang HPL

122 | Agenda yang Belum Selesai


dalam RUU dan RUUP terdapat kesamaan, dengan
sedikit perubahan terkait rumusan penyerahan
pemanfaatan bagian tanah HPL kepada pihak
ketiga, yakni terbatas pada pengaturan terkait
dengan bentuk penyerahan pemanfaatan tanah
HPL (Pasal 131 RUU; bandingkan dengan Pasal 7
RUUP).
Pasal 129 RUU mendefinisikan HPL; Pasal
130 RUU mengatur tentang subjek HPL dan
kewenangannya, yang pada garis besarnya sama
dengan pengaturan dalam Pasal 5 RUUP. Tetapi
RUU menghapus ketentuan Pasal 5 ayat (4) RUUP
terkait dengan kriteria penentuan tarif uang
pemasukan/ganti kerugian dan/atau uang wajib
tahunan dari pihak ketiga dalam 4 (empat) kriteria,
yakni kepentingan umum, kepentingan sosial,
kepentingan pembangunan, dan atau pemerataan
eko­nomi. Tidak ada penjelasan mengapa kriteria
tersebut dihapuskan dalam RUU dan bagaimana
dam­paknya. Perihal pembatalan tanah diatur
dalam Pasal 132 (sama dengan Pasal 8 RUUP),
terkait HM di atas HPL diatur dalam Pasal 133
yang bunyinya sama dengan Pasal 9 RUUP.
Dalam RUU dimuat Pasal 134 yang merupakan
hal baru, yakni pengendalian pemanfaatan hak

Maria SW Sumardjono | 123


atas tanah di atas HPL dengan frasa “dalam
waktu tertentu” dilakukan evaluasi. Tetapi tidak
dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan “waktu
tertentu” itu.
Dua hal yang menjadi permasalahan dalam
pengaturan tentang HPL adalah pertama,
bahwa HGU dapat diberikan di atas HPL. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 28 UUPA dan Pasal
2 UUPA beserta Penjelasan Umum II.2, karena
perumus menyamakan tanah negara dengan
tanah HPL dan mengubah HPL sebagai ”fungsi”
pengelolaan yang bersifat publik dan menggesernya
menjadi hak atas tanah yang bersifat perdata. HGB
dan HP, bahkan HM dapat terjadi di atas tanah
HPL, tetapi HGU tidak dapat diberikan di atas
tanah HPL.
Kedua, pengaturan dalam Pasal 131 ayat (3)
bahwa dalam keadaan tertentu pemegang HPL
dapat memberikan rekomendasi pemberian hak
atas tanah pertama kali dan perpanjangan diberikan
sekaligus atas persetujuan Pemerintah Pusat
(siapa? dalam RUUP: Menteri). Pemberian hak
dan perpanjangan hak sekaligus itu bertentangan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-
22/PUU-V/2017.

124 | Agenda yang Belum Selesai


Kemudahan administrasi dapat ditempuh
dengan memberikan kesempatan untuk menga­
jukan permo­honan perpanjangan hak 5 (lima)
tahun sebelum hak atas tanah berakhir sesuai
dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan
Dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha; PP
40/1996 memberikan jangka waktu per­mo­
honan perpanjangan hak 2 (dua) tahun sebe­lum
hak atas tanah berakhir. Surat Keputusan (SK)
Perpan­jangan Hak bisa terbit, tetapi perpanjangan
haknya diberikan ketika pendaftaran SK sesuai
tanggal mulai dan berakhirnya perpanjangan hak.
Frasa “keadaan tertentu” dalam RUU selain tidak
jelas kriterianya juga membuka peluang terjadinya
”moral hazard”.
Frasa serupa (“dalam keadaan tertentu”)
juga muncul dalam Pasal 132 (perumusannya
sama dengan Pasal 8 RUUP). Dalam keadaan
tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan
dan atau mencabut HPL sebagian atau seluruhnya.
Tidak ada penjelasan terha­dap makna ”keadaan
tertentu” itu sehingga hal ini dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum.

Maria SW Sumardjono | 125


c. Satuan Rumah Susun (Sarusun) un­
tuk Orang Asing
Ketentuan tentang Hak Milik Atas Sarusun
(HMSRS) diawali dengan perumusan/definisi
pemilik­an sarusun yang melanggar asas universal
tentang kepemilikan sarusun yang bersifat
individual, sekaligus pada saat yang bersamaan
juga tak terpisahkan kepe­milikannya terhadap
pemilikan bersama atas tanah, bangunan, dan
bagian. Definisi yang menyesatkan itu (Pasal 136)
dipasang untuk menghalalkan cara agar WNA
dapat memiliki HMSRS (unit/flat) satuan rumah
susun yang status tanah-bersamanya adalah HGB.
Pengaturan tentang Sarusun untuk WNA
dalam Pasal 136-138 RUU dalam garis besarnya
sama dengan pengaturannya dalam Pasal 46
RUUP. RUU dan RUUP mencampuradukkan subjek
yang dapat menjadi peme­gang HMSRS yang
terdiri dari WNI, WNA, Badan Hukum Indonesia
dan Perwakilan Negara Asing tanpa membedakan
status tanah - bersamanya. Jika WNA, badan
hukum asing dan Perwakilan Negara Asing hendak
memiliki HMSRS, tanah-bersamanya harus ber­
status Hak Pakai (HP), baik yang diberikan di atas
tanah negara, ataupun di atas tanah HPL.

126 | Agenda yang Belum Selesai


Agar supaya tidak terjadi kekacauan hukum
karena menabrak konsep tentang rusun yang
bersifat universal, seyogianya pembangunan
rusun diberikan di atas HP sehingga terbuka
kemungkinannya untuk dimiliki oleh berbagai
macam subjek hak. Jika hal ini ditempuh, maka
perlu aturan peralihan sepanjang diperlukan
untuk rusun yang hak atas tanah - bersa­manya
berstatus HGB menjadi berstatus HP. Perlu juga
disampaikan penjelasan kepada semua pihak yang
berkepentingan bahwa HP juga dapat menjadi
objek Hak Tanggungan (HT) sesuai dengan Pasal 4
ayat (2) UU 4 Tahun 1996.
Permasalahan lain dalam pengaturan tentang
sarusun untuk WNA adalah ketentuan Pasal 129
ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Pemberian
HGB bagi rusun dapat diberikan sekaligus dengan
perpanjangan haknya, setelah mendapat sertifikat
laik fungsi”. Pemberian dan perpanjangan hak
sekaligus itu berten­tangan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007.

Maria SW Sumardjono | 127


d. Pemberian Hak Atas Tanah/ Hak
Penge­lolaan pada Ruang Atas Tanah
dan Ruang Bawah Tanah
Ketentuan dalam Pasal 139 RUU serupa
dengan ketentuan dalam Pasal 47 RUUP dengan
catatan: ditambahkan HPL disamping HGB dan
HP. Konstruksi hukum ini dapat diterima sebagai
norma baru berdasarkan interpretasi ekstensif
atau analogi dengan pengertian hak atas tanah
dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dan penggunaan
asas pemisahan horisontal sebagai salah satu asas
dalam hukum tanah nasional.12
Dalam rangka mengantisipasi kemajuan
teknologi dan kebutuhan atas pemanfaatan ruang
yang berada di bawah air sebagaimana sudah
terjadi di beberapa negara dalam beberapa tahun
terakhir, seyogianya ditambahkan juga ketentuan
yang meliputi pemberian hak atas tanah di bawah
air.
Terkait dengan pengaturan tentang Pertanah­
an dapat disimpulkan bahwa :

Maria SW Sumardjono, “Aspek Hukum Pemanfaatan Ruang


12

Bawah Tanah/ Dalam Bumi, Ruang Bawah Air, dan Ruang Udara
di atas Tanah, Penerbit Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta,
2018.

128 | Agenda yang Belum Selesai


a) kecuali pengaturan tentang Pemberian Hak
Atas Tanah/HPL pada Ruang Atas dan Ruang
Bawah Tanah, pengaturan terkait Pengadaan
Tanah, LP2B dan Pertanahan mengandung
berbagai permasalahan yang sudah diberikan
jalan keluarnya.
b) kecuali pengaturan tentang Pengadaan Tanah
dan LP2B, pengaturan tentang BT, HPL,
Sarusun untuk Orang Asing dan Pemberian
Hak Atas Tanah/HPL pada Ruang Atas
dan Ruang Bawah Tanah, seyogianya tidak
ditempatkan dalam RUU ini karena tidak
berkaitan dengan penyederhanaan peraturan
dan perijinan. Substansi tersebut dengan
koreksinya sesuai dengan catatan yang sudah
diberikan, lebih tepat diatur dalam RUUP yang
dimaksudkan sebagai UU untuk melengkapi
UUPA, sekaligus meluruskan tafsir beberapa
ketentuan dalam UUPA.

4. Isu Terkait Lainnya


1) UU tentang Perkebunan (Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan)
Pasal 14 UU merumuskan tentang batasan luas

Maria SW Sumardjono | 129


maksimum dan luas minimum penggunaan lahan
untuk usaha perkebunan. RUU merubah bunyi
Pasal 14 ayat (2) yang justru merupakan rambu-
rambu/pedoman penetapan batas termaksud. RUU
hanya menyerahkan pengaturan selanjutnya pada
PP (tanpa rambu- rambu), sehingga berpotensi
bahwa ketentuan dalam PP dapat dibuat tanpa
mempertimbangkan pedoman yang dihapus dari
Pasal 14 ayat (2) tersebut
Adapun pertimbangan penetapan luas mak­
simum dan minimum menurut Pasal 14 adalah
sebagai berikut:
a) jenis tanaman;
b) ketersediaan lahan yang sesuai secara agro­
klimat;
c) modul;
d) kapasitas pabrik;
e) tingkat kepadatan penduduk;
f) pola pengembangan usaha;
g) kondisi geografis;
h) perkembangan teknologi; dan
i) kemanfaatan lahan berdasarkan fungsi Ruang
sesuai dengan ketentuan peraturan perun­
dang-undangan di bidang tata ruang.

130 | Agenda yang Belum Selesai


Jika pedoman ini dihapuskan dalam RUU,
bagai­mana kriteria penetapannya yang harus
diatur dalam PP?
Pasal 15 UU berisi larangan untuk memin­
dahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang
mengakibatkan satuan usaha yang kurang dari luas
minimum. Ketentu­an yang dimaksudkan untuk
mencegah fragmentasi itu justru dihapus oleh
RUU sehingga tidak sesuai dengan tujuan semula.
Pasal 16 UU juga dihapuskan oleh RUU.
Intisari Pasal 16 ayat (1) adalah kewajiban meng­
usahakan lahan perkebunan paling lambat 3 (tiga)
tahun setelah pemberian hak atas tanah minimal
30% dari luas hak atas tanah; dan paling lambat
6 (enam) tahun setelah pemberian hak atas tanah
wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah
yang secara teknis dapat ditanami Tanaman
Perkebunan. Pasal 16 ayat (2) menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat
(1) berakibat bahwa bidang tanah yang belum
diusahakan diambilalih oleh negara. Keten­tuan
yang dimaksudkan sebagai pengawasan dan
pengendalian oleh Pemerin­tah ini justru diha­
puskan oleh RUU sehingga berpo­tensi bahwa
pengusaha perkebunan dapat berbuat sekehendak

Maria SW Sumardjono | 131


hati setelah memperoleh hak atas tanah­nya, tanpa
khawatir tanahnya diambilalih oleh negara. Fungsi
kontrol dari negara berdasarkan hak menguasai
dari negara dihapus dari Pasal 16, sehingga hal
ini berpotensi melanggar konstitusi berdasarkan
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 18 ayat (2) UU yang berisi tentang jenis-
jenis sanksi administratif juga dihapus oleh RUU
dan hanya menyerahkan pengaturannya pada
PP tanpa rambu-rambu. Intisari Pasal 18 ayat
(2) yang dihapuskan oleh RUU adalah sebagai
berikut: “Sanksi administratif berupa denda, peng­
hentian sementara dari kegiatan usaha, dan/atau
pencabutan Usaha Perkebunan”. Ayat (3) menye­
rahkan pengaturan lebih lanjut tentang jenis,
besaran denda dan tata cara pengenaan sanksi
dalam PP. Dalam RUU, tidak ada pengaturan
tentang bentuk sanksi sehingga menjadi tidak
jelas apa bentuk sanksi yang akan diatur dalam PP.

2) UU tentang Sistem Budidaya Pertanian


(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019
tentang Sistem Budidaya Pertanian)
RUU merubah Pasal 19 dengan cara meng­
hapus ketentuan pada ayat (3) yang berisi syarat

132 | Agenda yang Belum Selesai


pengalih­fungsian lahan budidaya Pertanian untuk
kepentingan umum, sebagai berikut:
a. dilakukan dengan kajian strategis;
b. disusun rencana alih fungsi lahan;
c. dibebaskan kepemilikan lahannya dari pemi­
lik; dan
d. disediakan lahan pengganti terhadap tanah
budi­daya Pertanian.
Penghapusan syarat-syarat itu berpotensi
peng­alih­fungsian lahan secara tidak terkontrol
dan dengan demikian dapat bertentangan dengan
tujuan untuk mempertahankan fungsi lahan
untuk budidaya Per­tanian. Tampaknya penyusun
RUU beranggapan bahwa penyederhanaan ijin itu
identik dengan peng­hapusan syarat esensial dalam
UU asalnya.

3) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan


Batu­Bara (“Minerba”).
Pasal 134 UU ayat (1) dan (2) dipertahankan
dalam RUU. Ayat (3) UU tersebut dimuat dalam
ayat (3) RUU tetapi substansinya merupakan
pengulangan bunyi ayat (2). Apakah hal ini meru­
pakan bukti ketergesaan penyusunan RUU?

Maria SW Sumardjono | 133


RUU menambah satu ayat yakni ayat (4) dalam
Pasal 134 terkait dengan penyelesaian tumpang
tindih antara kegiatan pertambangan dengan
kawasan hutan, rencana tata ruang, Perijinan
Ber­usaha/Persetujuan, dan/atau hak atas tanah
yang akan diatur dengan Perpres. Dalam RUU
tidak ada gambaran tentang sektor mana yang
akan diberi prioritas dan alasannya, sehingga
ketentuan ini dapat disebut seba­gai “cek kosong”
yang tidak menyiratkan jaminan kepas­tian
hukum. Bandingkan dengan Instruksi Presi­den
(selanjutnya disebut Inpres) Nomor 1 Tahun 1976
tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang
Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertam­
bangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum yang
memberikan gambaran tentang penyelesaian
tumpang tindih ter­sebut.
Pemberian “cek kosong” juga tampak dalam
Pasal 138A RUU yang menyebutkan bahwa “Peme­
rintah Pusat melakukan penyelesaian permasa­
lahan hak atas tanah untuk kegiatan usaha
pertambangan, dan ketentuan lebih lanjut di atur
dengan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan ini
juga tidak mencerminkan kepastian hukum dalam
berusaha ketika terjadi permasalahan terkait

134 | Agenda yang Belum Selesai


dengan hak atas tanah yang memang rentan
terjadi karena RUU tidak memberikan gambaran
tentang bagaimana upaya pemecahan masalahnya
oleh Pemerintah.

4) UU tentang Panas Bumi (Undang-Undang


Nomor 21 Tahun 2014)
Pasal 42 RUU merubah ketentuan Pasal 42 UU
hanya dengan menambahkan frasa “Pelaku Usaha
peman­faatan langsung atau pelaku usaha Panas
Bumi’ dalam pembukaan kalimat. Namun tetap
alpa mencan­tumkan secara eksplisit masyarakat
hukum adat sebagai pihak yang tanah ulayatnya
sebagian atau seluruhnya, akan digunakan oleh
pelaku usaha. Kealpaan ini dapat diartikan bahwa
perumus RUU tidak memahami esensi Pasal 18B
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 terkait pengakuan
masyarakat hukum adat.

5) UU tentang Ketenagalistrikan (Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 2009)
RUU hanya mengganti Pasal 30 UU dengan
frasa “pemegang izin usaha penyediaan tenaga
listrik” dengan frasa “pelaku usaha untuk kegiatan

Maria SW Sumardjono | 135


penyediaan tenaga listrik”. Yang tetap menjadi
masalah adalah ketidakjelasan pengaturan tentang
kompensasi sebagai akibat penggunaan tanah
secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha,
yang tidak disebutkan rambu-rambunya dalam
RUU dengan hanya menyerahkan pengaturan
selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah. Perta­
nyaannya adalah, bagaimana rumus per­hitungan
“berkurangnya nilai ekonomi” atas tanah, bangun­
an serta tanaman di atas tanah itu? RUU tidak
memperjelas ketentuan serupa dalam UU, dan hal
ini berpotensi merugikan pihak yang tanahnya
digunakan untuk usaha ketenagalistrikan secara
tidak langsung.

6) UU tentang Perumahan dan Kawasan Per­


mukiman (Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011)
Pasal 42 ayat (2) UU mensyaratkan pemasaran
rumah melalui Perjanjian Pendahuluan Jual Beli
(selanjutnya disebut PPJB) setelah memenuhi 5
(lima) persyaratan, yakni:
a) status pemilikan tanah;
b) hal yang diperjanjikan

136 | Agenda yang Belum Selesai


c) kepemilikan IMB Induk;
d) ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas
umum; dan
e) keterbangunan perumahan paling sedikit
20% (dua puluh persen)
RUU menghapus persyaratan kelima, yakni
“pro­sentase keterbangunan perumahan paling
sedikit 20%”, dengan hanya menjadi “keterba­
ngun­an peru­mahan”. Artinya, syarat minimal itu
ditiadakan. Pertanyaannya, bagaimana perlin­
dungan hukum bagi calon konsumen perumahan
jika syarat minimal keterbangunan peru­mahan
tidak ada?
Pasal 107 ayat (2) UU yang menyebutkan
ten­tang keputusan Gubernur atau bupati/wali­
kota tentang penetapan lokasi atau ijin lokasi,
diganti oleh RUU menjadi “penetapan lokasi atau
kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang”. Dengan
demikian ijin lokasi itu ditiadakan. Sebagai catatan
dapat dikemukakan bahwa ijin lokasi berbeda
dengan penetapan lokasi. Ijin lokasi adalah ijin yang
diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh
tanah yang berlaku pula sebagai ijin pemindahan
hak, dan untuk penggunakan tanah tersebut
guna keperluan usahanya. Sedangkan pene­tapan

Maria SW Sumardjono | 137


lokasi adalah penetapan atas lokasi pem­bangun­an
untuk kepentingan umum yang ditetapkan dengan
keputusan Gubernur.
Senada dengan Pasal 107 ayat (2) UU, dalam
Pasal 114 ayat (1) peralihan/pelepasan hak atas
tanah dila­kukan setelah badan hukum memperoleh
ijin lokasi. Dalam RUU ijin lokasi diganti dengan
kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Pasal 134 UU mengatur tentang larangan
menye­lenggarakan pembangunan perumahan jika
tidak mem­bangun sesuai persyaratan, yakni: kri­
teria/spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana
dan utilitas umum yang diperjanjikan. Dalam
RUU syarat “sarana dan utilitas umum yang diper­
janjikan” itu dihilangkan.
Dengan demikian, pengaturan dalam RUU
mem­permudah pelaku usaha tetapi mengurangi
hak dari konsumen. Apakah dengan demikian
pelaku usaha bebas untuk membangun atau tidak
membangun sarana dan utilitas umum?13

Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi


13

untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan


kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi (Pasal 1 angka 22 UU).
Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan
lingkungan hunian (Pasal 1 angka 23 UU)

138 | Agenda yang Belum Selesai


7) UU tentang Rumah Susun (Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2011)
Pasal 16 ayat (4) UU tentang persyaratan pem­
bangunan rumah susun (rusun) “umum” jika tidak
berada dalam satu lokasi kawasan rusun komersial
wajib dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/
kota yang sama, oleh RUUP diperlonggar dengan
menambah frasa “dalam satu daerah kabupaten/
kota yang berbatasan”.
Pasal 24 UU terkait dengan persyaratan pem­
bangunan rusun yang meliputi syarat administrasif,
teknis, dan ekologis. Dalam RUU, persyaratan
diganti dengan frasa “standar” yang diatur dengan
PP tanpa menyebutkan rambu-rambunya.
Pasal 26 ayat (2) UU yang menyatakan bahwa
“gambar dan uraian terkait dengan pemisahan
rusun yang menjadi dasar untuk menetapkan NPP,
SHM sarusun atau SKBG sarusun dan pengikatan
jual beli”, dihapus dalam RUU.
Pertanyaannya, sesuai dengan RUU apakah
fungsi gambar dan uraian tersebut? Dengan kata
lain, kepastian hukum terkait Nilai Perbandingan
Propor­sional (selanjutnya disebut NPP), Sertifikat
Hak Milik (selanjutnya disebut SHM) Sarusun atau

Maria SW Sumardjono | 139


SKBG atau perjanjian jual beli menjadi tidak ada
dasarnya.
Perubahan lain adalah menyangkut penggan­
tian Izin Medirikan Bangunan (selanjutnya disebut
IMB) dengan Persetujuan Bangunan Gedung, dan
semua putusan atau pengaturan selanjutnya dari
UU ditarik ke pusat. Sekali lagi, RUU mengabaikan
perlindungan konsumen demi memberikan kemu­
dahan bagi pengu­saha.

8) UU tentang Sumber Daya Air (Undang-Un­


dang Nomor 17 Tahun 2019)
Pasal 9 ayat (1) RUU menghapus Pemerintah
Daerah sebagai pihak yang diberi wewenang untuk
mengatur dan mengelola sumber daya air, sehingga
kewenangan tersebut hanya ada pada Pemerintah
Pusat.
Pengakuan tentang masyarakat hukum adat
dalam ayat (2) UU tidak dirubah, yakni tetap
dengan frasa “mengakui hak ulayat masyarakat
adat, dan hal yang serupa dengan itu sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Hal ini menunjukkan bahwa perumus RUU tidak

140 | Agenda yang Belum Selesai


memahami perkembangan hukum terkait penga­
kuan MHA sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945, termasuk kriterianya.14

C. Kesimpulan dan Rekomendasi


Tipologi kelemahan RUU terkait bidang yang
dikaji adalah sebagai berikut:
1. Tidak taat asas pada syarat formil dam materiil
pembentukan Undang-Undang.
2. Menarik kewenangan daerah menjadi kewe­
nangan Pusat tanpa memperhitungkan kon­
se­kuensinya.
3. Menghapus substansi yang terkait dengan
per­sya­ratan, yang justru berpotensi melang­
gar tujuan undang-undang asalnya, misalnya:
terkait dengan keberlanjutan lingkungan
hidup, jaminan kese­jah­teraan petani, pengua­
saan lahan yang melampaui batas, perlin­
dungan konsumen, dan lain-lain.
4. Menyerahkan pengaturan lebih lanjut pada
PP atau Perpres tanpa memberikan rambu-
rambunya yang berpotensi melenceng dari

Bandingkan dengan ketentuan serupa dalam UU No.1 Tahun


14

2014 tentang Desa.

Maria SW Sumardjono | 141


maksud RUU, yang substansinya juga “ber­
masalah”.
5. Tidak memberikan tempat bagi penguatan hak
masyarakat hukum adat dan kelompok rentan
lainnya, tetapi memberikan kemudahan bagi
dunia usaha sehingga berpotensi melanggar
kon­stitusi dan hak ekonomi serta sosial warga
masya­rakat.
6. Khusus untuk substansi terkait Pertanahan,
disamping menulis ulang permasalahan krusial
dan mendasar yang menjadi salah satu alasan
penundaan RUU Pertanahan, pemuatannya
da­lam RUU “salah tempat” karena tidak
berkaitan dengan penyederhanaan peraturan
dan perijinan.
Mengingat berbagai kelemahan dalam sub­
stansi RUU dan masukan positif dari berbagai pihak,
seyogianya Pemerintah menarik kembali RUU dan
merevisinya bersama elemen masyarakat. Jika
substansi tidak disusun kembali oleh Pemerintah
maka sulit untuk langsung membahasnya bersama
DPR yang mendasarkan pembahasan pada draf
yang diserahkan Pemerintah pada 12 Februari
2020. Akan menjadi permasalahan tersendiri jika
didalam proses pembahasan Pemerintah merubah

142 | Agenda yang Belum Selesai


draf RUUnya. Mundur selangkah jauh lebih baik
daripada membahas RUU yang “bermasalah”,
belum lagi sikap publik pasti tetap menentang
RUU dari sudut pandang masing-masing.

Maria SW Sumardjono | 143


144 | Agenda yang Belum Selesai
DAFTAR PUSTAKA

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2018,


“Kajian Harmonisasi Undang-Undang di Bi­
dang SDA-LH”, Jakarta.
Sumardjono, Maria S.W., 1982, ”Puspita Serangkum,
Aneka Masalah Hukum Agraria”, Andi Offset,
Yogya­karta.
Kawer, Godlief J. William, 2006, “Studi Tenurial
Komu­nitas Masyarakat Adat Nambluong
Kampung Berap, Distrik Nimboran, Kabupaten
Jayapura”, Laporan Penelitian, CIFOR, Bo­
gor.
Hammar, Robert K.R., 2011, ”Implikasi Penataan
Ruang Terhadap Hak ulayat Masyarakat Hu­
kum Adat di Kabupaten Manokwari Provinsi
Papua Barat”, Ringkasan Disertasi Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Maria SW Sumardjono | 145


Sumardjono, Maria S.W., ”Hak Masyarakat Hukum
Adat”, Opini SKH Kompas, 19 Juni 2013.
Wahyono, Ary et.al,2000 “Hak Ulayat Laut di
Kawasan Timur Indonesia,” Media Pressindo,
Jakarta.
Djubedi, Daud, 2008, ”Penerapan Hak Ulayat Laut
MHA Dalam Perspektif Otonomi Daerah di
Kabupaten Halmahera Selatan”, Tesis, Sekolah
Pasca Sardjana UGM, Yogyakarta.
Zakaria, R. Yando, 2018, “Etnografi Tanah Adat,
Konsep-konsep Dasar dan Pedoman Kajian
Lapangan” ARC Books, Jakarta.
Sumardjono, Maria S.W., ”Pengakuan Hak Ulayat
yang Akomodatif”, Pengantar FGD ”Kondisi
Ak­tual Penguasaan Tanah Ulayat dan
Implikasi­nya ter­hadap Kebijakan Pengakuan
dan Pendaf­tar­annya”, Yogyakarta, 23 April
2019.
Finance detik.com/property/d-4868161, Pernyata­
an Menteri ATR/Ka BPN, Pembahasan RUU
“Sapu Jagat” jadi penentu lahirnya Bank
Tanah, 21 Januari 2020).

146 | Agenda yang Belum Selesai


Sumardjono, Maria S.W., “Aspek Hukum Peman­
faatan Ruang Bawah Tanah/ Dalam Bumi,
Ruang Bawah Air, dan Ruang Udara di atas
Tanah”, Penerbit Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta, 2018.

Maria SW Sumardjono | 147


148 | Agenda yang Belum Selesai
TENTANG PENULIS

Prof. Dr. Maria S.W. Sumar­


djono, S.H., MCL., MPA. lahir
di Yogyakar­ta, 23 April 1943.
Menyelesaikan pendidikan di
Fakultas Hukum Uni­versitas
Di­ponegoro, Semarang, ta­
hun 1966. Ia mendapatkan ge­
lar Master of Comparative Law
(MCL) dari Southern Methodist University (SMU)
Dallas, Texas, tahun 1978. Selain itu ia juga men­
dapat­kan gelar Master of Public Administration
(MPA), tahun 1984 dan gelar Doktoral (Ph.D)
tahun 1988 dari University of Southern California
(USC), Los Angeles, California.
Bidang keahlian/minat penelitian: hukum
terkait pengelolaan sumberdaya alam, hak-hak
ma­sya­rakat hukum adat, pengadaan tanah dan
pemukiman kem­bali.

Maria SW Sumardjono | 149


Riwayat karirnya antara lain adalah sebagai
berikut: Dekan Fakultas Hukum UGM (1991 –
1997), Anggota Dewan Riset Nasional (1993 –
1995), Penasihat Ahli Menteri Negara Agraria/
Kepala BPN (1995 – 2000), Wakil Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (2002 –
2005), Anggota Tim Pakar Departemen Hukum
dan Perundang – undangan (1998 – 2000), Lead
Expert Land Administration Project (LAP) (1998),
Anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc I, BP MPR – RI
(Maret – Agustus 2001), Narasumber Panitia
Ad Hoc II, BP MPR – RI (2001), Anggota Dewan
Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) (Juli
2009 – sekarang), Konsultan Asian Development
Bank (ADB) untuk Capacity Building to Support
Decentralised Administrative Systems (CB SDAS)
(Februari 2000 – Januari 2001), Konsultan
Asian Development Bank (ADB) untuk National
Resettlement Policy Enhancement and Capacity
Building, (April – November 2001), Konsultan
untuk Environmental Sector Pro­gram (ESP) 2,
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) – DANIDA
(November 2008 – Februari 2009), Konsultan
untuk SEA in Policy Analysis and Environ­mental
Planning: Lesson Learned From Pilot Projects,

150 | Agenda yang Belum Selesai


Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) – DANIDA
(Agustus – September 2009), Konsultan untuk
SEA Applied in Development Planning and
Policy Analysis, KLH – DANIDA (November
2009 – April 2010), Dewan Pengawas Pusat
Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung
Karno (PPKGBK) (Desember 2009 – Desember
2014), Konsultan untuk SEA in Policy Analysis
and Environmental Planning, KLH – DANIDA
(April – Desember 2010). Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI) (sejak Juli 2011),
Narasumber/Pakar Implementasi NKB Percepatan
Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia, KPK
(sejak 2013), Konsultan Asian Development Bank
(ADB) untuk Sustainable Infrastructure Assistance
Program (25 Maret- 18 Juni 2015). Koordinator
Tim Kajian Harmonisasi Undang-Undang terkait
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (KPK,
2016), Konsultan Hukum Pertanahan PT Pelindo I /
Persero (sejak 2017), Ketua Kelompok Pakar Bidang
Hukum terkait Perizinan, Tanah dan Bangunan,
serta Ketenagalistrikan (BPHN, Februari-Oktober
2018). Tenaga Ahli Badan Pengusahaan Batam
(sejak 2 Januari 2020), Penasihat Kantor Staf
Presiden (sejak 3 Februari 2020).

Maria SW Sumardjono | 151


Koordinator Penyusun RUU Hak Tanggungan
(1993), Koordinator Penyusun RUU Ketransmi-
grasian (1995), Penyusun Naskah Akademik RPP
tentang Mediasi (1999), Penyusun Naskah Aka-
demik dan RUU tentang Pengambilalihan Tanah
untuk Kepentingan Pembangunan (2000), Ketua
Tim Penyusun Naskah Akademik dan Rancangan
Undang – Undang tentang Sumberdaya Agraria
(2003), Penyusun Naskah Akademik dan Rancan-
gan Peraturan Pemerintah tentang Hak Atas Ta-
nah Beserta Bangunan untuk Warga Negara As-
ing dan Badan Hukum Asing (2008), Koordinator
Penyusun Naskah Akademik dan Rancangan Per-
aturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Ka-
jian Lingkung­an Hidup Strategis (KLHS) (2010),
Penyusun Naskah Akademik dan Rancangan Pe-
rubahan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 ten-
tang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau
Kecil (UUPWP-3-K) (2011), Koordinator Penyusun
Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Un-
dang tentang Pertanahan (2013), Ketua Tim Ahli
Penyusunan RUU tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat (DPD RI, Februari - Agustus 2018)
Selain kegiatan-kegiatan di atas, ia banyak
menga­dakan penelitian, antara lain A Special

152 | Agenda yang Belum Selesai


Study on Policy Impact Assessment: Inland
Waterways Transport Project, tahun 1999, yang
disponsori oleh Asian Development Bank, Studi
tentang Eksistensi Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir (HP3) dalam UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau –
Pulau Kecil dan Implikasi Yuridisnya, tahun 2008,
kerja sama dengan Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia, Penelitian tentang
Pengelolaan Keluhan/Pengaduan dalam Pelayanan
Bidang Pertanahan, tahun 2008, Kerja sama Komisi
Ombudsman Nasional dan Fakultas Hukum UGM,
Penelitian tentang Kajian Kritis Pasal 33 UU No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kerja
sama KLH – DANIDA, tahun 2008/2009, Studi
tentang Pengembangan Peraturan Perundang-
undangan sebagai Instrumen Mengarusutamakan
KLHS, Kerja sama KLH – DANIDA, tahun 2009,
Studi tentang Penyusunan Kerangka Hukum
dan Pedoman Pengkajian KLHS, KLH – DANIDA
(2010), Kajian Sistem Penyediaan Dana Pengadaan
Tanah untuk Proyek Kerja sama Pemerintah dan
Swasta (KPS), Indonesia Infrastructure Initiative/
Aus AID (2010), Kajian tentang Penetapan Hak
Atas Tanah : Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna

Maria SW Sumardjono | 153


Bangunan (HGB), KPK (2013), Kajian Tata Kelola
Penetapan Hak Guna Usaha (HGU) dalam Konteks
Perizinan Usaha Perkebunan, UKP4 (2013), Kajian
tentang Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan
Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Papua,
UP4B (2013). Kajian tentang Penyelesaian Masalah
Penguasaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
untuk Perkebunan Sawit Rakyat (Yayasan Kehati,
Februari-Maret 2018), Kajian Tentang Penyusunan
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah atau
Land Acquisition And Resettlement Action Plan
(LARAP) untuk Peningkatan Kecepatan Kereta
Api Koridor Jakarta - Surabaya (Pusyantek BPPT,
Agustus -Desember 2018)
Kegiatan lain adalah memberikan legal opinion
untuk berbagai perusahaan swasta, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten.
Penghargaan yang diperoleh antara lain,
Satya Lencana Kesetiaan, 25 tahun pengabdian
sebagai staf pengajar UGM. dan Piagam Tanda
Kehormatan Bintang Jasa Pratama sebagai Pena­
sihat Ahli Menteri Negara Agraria, tahun 1998,
Cendekiawan Berdedikasi, penghargaan dari
Kompas, tahun 2009, serta Citra Bhumi Bhakti

154 | Agenda yang Belum Selesai


Adiguna, penghargaan atas jasa dan pengabdian
luar biasa, Badan Pertanahan Nasional RI, 2014.
Sampai saat ini ia masih aktif menulis di
media massa dan jurnal serta menjadi pembicara
dalam berbagai seminar. Ia menulis buku Kebijakan
Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi
(Penerbit Buku Kompas, cetakan ke 6, edisi revisi+,
2009), Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas
Tanah Beserta Bangunan bagi WNA dan Badan
Hukum Asing (Penerbit Buku Kompas, cetakan ke
2, 2008), Mediasi Sengketa Tanah, Potensi Penerapan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang
Pertanahan (Penerbit Buku Kompas, cetakan ke
2, 2008), Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (Penerbit Buku Kompas, cetakan
ke 2, 2009), dan Tanah untuk Kesejahteraan
Rakyat (Diterbitkan oleh Bagian Hukum Agraria
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2010),
Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia antara
yang tersurat dan tersirat: Kajian Kritis Undang-
Undang terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya
Alam (Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada bekerjasama dengan Gadjah Mada
University Press, cetakan ke-2, 2014). Semangat
Konstitusi dan Alokasi yang Adil atas Sumber Daya

Maria SW Sumardjono | 155


Alam, Penerbit Fakultas Hukum UGM, 2014,
Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah di Indonesia
dari Keputusan Presiden sampai Undang - Undang
(Penerbit Gadjah Mada University Press, 2015),
Regulasi Perta­nahan dan Semangat Keadilan Agraria
(Penerbit STPN Press, 2018), Pluralisme Hukum
Sumber Daya Alam dan Keadilan dalam Pemanfaatan
Tanah Ulayat (Penerbit Fakultas Hukum UGM,
2018), Aspek Hukum Pemanfaatan Ruang Bawah
Tanah/ Dalam Bumi, Ruang Bawah Air, dan Ruang
di Atas Tanah (Penerbit Fakultas Hukum UGM,
2018), di samping itu juga menjadi co-author buku
Beberapa Gagasan dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah di Indonesia (Penerbit Balai Pustaka, 2002)
dan Decentralization in Indonesia (redesigning the
state) (Asia Pacific Press at The Australian National
University 2003).

156 | Agenda yang Belum Selesai


9 786021 877586

Anda mungkin juga menyukai