Kepulauan Pasifik memiliki 21 entitas politik dengan luas teritorial yang beragam. Secara historis,
sebagian besar negara di wilayah Kepulauan Pasifik baru memeroleh kemerdekaan pada periode 1970-an
sehingga Kepulauan Pasifik merupakan kawasan jajahan yang mengalami proses dekolonisasi paling akhir. Hal
ini dilatarbelakangi oleh proses transisi sistem politik yang berlangsung lambat. Kendati demikian, transisi dari
negara koloni menjadi negara merdeka di Kawasan Pasifik cenderung berlangsung dengan damai dan
demokratis. Layaknya kekayaan budayanya, sistem politik di Kepulauan Pasifik pun beragam, mulai dari
monarki, parlementer, presidensial, militer hingga beberapa bentuk administrasi teritori (Fairbairn dkk., 1991).
Mayoritas negara di Kepulauan Pasifik mengadopsi sistem pemerintahan yang merupakan hasil dari kombinasi
gaya parlementer pemerintah kolonial dan tradisi-tradisi lokal yang berkembang. Pola ini dapat dilihat pada
bekas koloni Inggris yang menerapkan kerangka konstitusional seperti Inggris dengan sejumlah modifikasi.
Hampir semua negara Kepulauan Pasifik bekas jajahan Inggris memiliki parlemen yang dipilih, tetapi dengan
pengaturan pemilihan umum yang beragam. Di negara-negara yang menerapkan sistem pemerintahan
sedemikian rupa, kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen (Fairbairn dkk., 1991).
Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa pola kultural sistem politik di Polinesia dan Melanesia tidak jauh
berbeda. Pola kultural sistem politik di Polinesia memiliki pemimpin (chief) yang diyakini sebagai bentuk
evolusi dari pola big men dalam pola kultural sistem politik di Melanesia (Sahlins, 1963). Model
kepemimpinan chief di Polinesia yang cenderung didasarkan pada sisi historis cukup berbeda dengan model
kepemimpinan big men di kawasan Melanesia yang membutuhkan usaha layaknya sebuah kompetisi dan
penilaiannya diserahkan kepada masyarakat setempat. Terpilihnya seseorang menjadi big men juga dipengaruhi
oleh kemampuan finansial yang dapat digunakan untuk mengakses kekuasaan. Pada umumnya, orang-orang
Melanesia menyebut big men sebagai ‘man of importance’ atau ‘man of renown’ (Sahlins, 1963). Serupa
Dian Nurul Fazirah_071711233091_Jurnal Minggu ke-3
dengan model kepemimpinan di kawasan Melanesia, model kepemimpinan di kawasan Mikronesia sebagian
besar juga dipengaruhi oleh sistem tradisional yang mendasari sistem modern dengan kekuatan kepala adat yang
bervariasi dari satu budaya ke budaya lainnya. Terkait dengan hal ini, orang-orang Mikronesia percaya bahwa
kepemimpinan tradisional akan membantu melestarikan warisan budaya di Mikronesia sehingga sebelum
melakukan implementasi kebijakan, biasanya para ‘pemimpin’ akan berkonsultasi dengan para kepala adat
untuk memastikan komunitas yang seimbang demi dukungan publik dan kebaikan rakyat (Haglegam, 1998).
Melihat pola big men yang sempat berkembang, dapat dipahami bahwa isu ras memiliki posisi tersendiri
dalam perpolitikan Kepulauan Pasifik. Hal ini ditunjukan dalam penilaian wibawa seseorang dalam konsiderasi
pemilihan pemimpin, khususnya di wilayah Melanesia (Sahlins, 1963). Keberadaan pemimpin ini menjadi
bentuk egaliter otentik masyarakat Melanesia. Masyarakat yang kompleks dengan sejarah perubahan sosial
dinamis sering kali memunculkan adanya kebencian ras, berujung dengang adanya kekacauan. Merujuk pada
sejarah, penggunaan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik telah mengakar pada mayoritas
kelompok masyarakat Kepulauan Pasifik. Dekolonisasi merupakan aspek penting dalam menghimpun kekuatan
dari sekelompok ras (Sahlins, 1963). Sebagai contoh, isu sekelompok masyarakat Papua Barat yang
menganggap diri mereka bukan bagian dari Indonesia dan menginginkan untuk memeroleh kedaulatan.
Pergerakan untuk memeroleh kemerdekaan secara aktif dapat berpotensi dalam meningkatkan kekerasan dan
ketidakstabilan domestik. Berbeda halnya di Vanuatu, para pemimpin politik dapat mobilisasi komunitas ras
untuk membentung upaya pemberian kritik kepada rezim yang ada. Hal yang sama juga terjadi di Fiji, Tonga,
dan Samoa, bahwa hal serupa merupakan bentuk penghormatan kepada pemimpin yang ada di dalam ras
mereka (Shibuya, 2003). Berkenaan dengan keterlibatan militer dalam sitem pemerintahan beberapa negara di
Kepulauan Pasifik, penting untuk diketahui bahwa peran militer di kawasan Kepulauan Pasifik banyak
dipengaruhi oleh kekuatan eksternal, seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Prancis. Hanya
beberapa negara yang memiliki pasukan militer sendiri, seperti Fiji, Papua Nugini, dan Tonga. Fiji adalah satu-
satunya negara Pasifik Selatan yang memiliki pasukan militer terbesar (Shibuya, 2003).
Referensi:
Fairbairn, Teo I.J., dkk., 1991. “Pacific Island Politics”, dalam The Pacific Islands: Politics, Economies, and
International Relations. Honolulu: East-West Centre International Relations Programs.
Sahlins, Marshall D., 1963. “Poor Man, Rich Man, Big-Man, Chief: Political Types in Melanesia and
Polynesia”, dalam Comparative Studies in Society and History, 5 (3): 285-303. Cambridge University
Press.
Shibuya, Erie, dan Rolfe Jim, 2013. Security in the Oceania in the 21th Century. Honolulu, Asia-Pacific Centre
for Security Studies.