Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota

vol. 28, tidak. 1, hlm. 1-15, April 2017 DOI:


10.5614 / jrcp.2017.28.1.1

Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata


Berkelanjutan Berbasis Kelembagaan Lokal
Widhianthini 1
0F
[Diterima: 1 Maret 2016; diterima dalam versi final: 17 Januari 2017]

Abstrak. Pembangunan daerah meliputi optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah secara terpadu dan harmonis. Pembangunan wilayah ini
diwujudkan melalui pendekatan komprehensif yang mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Integrasi aspek-aspek
tersebut akan mengarah pada pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut. Namun pembangunan saat ini sering dilihat hanya dari segi fisik
sehingga konsep keberlanjutan hanya ada di atas kertas dan tidak melibatkan kelembagaan lokal di daerah, seperti dalam program pembangunan
desa wisata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan aspek fisik / lingkungan, ekonomi, dan sosial dengan kelembagaan
lokal di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali dalam mewujudkan desa wisata berkelanjutan. Data primer dan sekunder digabungkan melalui
kuesioner dan wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis sistem dinamik. Pencantuman ketiga aspek tersebut menghasilkan model baru
dinamika sistem dan dapat menunjukkan bahwa aspek kelembagaan daerah merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam merancang model
pembangunan berkelanjutan di suatu daerah atau daerah. Hal ini agar permasalahan yang muncul dapat diatasi sedini mungkin dan dapat
diperoleh alternatif kebijakan yang harus diambil oleh pengambil kebijakan, diperkuat dengan peraturan daerah (awig-awig) dan peraturan
pemerintah daerah. Pencantuman ketiga aspek tersebut menghasilkan model baru dinamika sistem dan dapat menunjukkan bahwa aspek
kelembagaan daerah merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam merancang model pembangunan berkelanjutan di suatu daerah atau
daerah. Hal ini agar permasalahan yang muncul dapat diatasi sedini mungkin dan dapat diperoleh alternatif kebijakan yang harus diambil oleh
pengambil kebijakan, diperkuat dengan peraturan daerah (awig-awig) dan peraturan pemerintah daerah. Pencantuman ketiga aspek tersebut
menghasilkan model baru dinamika sistem dan dapat menunjukkan bahwa aspek kelembagaan daerah merupakan aspek yang harus
diperhatikan dalam merancang model pembangunan berkelanjutan di suatu daerah atau daerah. Hal ini agar permasalahan yang muncul dapat diatasi sedini mungkin dan dap

Kata kunci. Pembangunan wilayah, kelembagaan lokal, desa wisata berkelanjutan, sistem dinamis, awig-awig.

[Diterima: 1 Maret 2016; disetujui dalam bentuk akhir: 17 Januari 2017]

Abstrak. Pengembangan wilayah merupakan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki suatu wilayah secara
terpadu dan serasi. Pengembangan wilayah ini diwujudkan melalui pendekatan yang berwawasan cakupan aspek
fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Keterpaduan aspek ini akan mengarah pada pembangunan
berkelanjutan di suatu wilayah. Namun, ukuran pembangunan saat ini sering dilihat secara fisik dan konsep
berkelanjutan hanya sebatas di atas kertas saja dan tidak melibatkan kelembagaan lokal di suatu kawasan,
seperti pada program pengembangan kawasan desa wisata. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
keterkaitan aspek-aspek fisik / lingkungan, ekonomi, sosial denganagaan lokal di Kabupaten Tabanan, Propinsi
Bali dalam mewujudkan kawasan desa wisata yang berkelanjutan. Data primer dan sekunder digabungkan
melalui kuesioner dan wawancara. Penelitian ini dianalisis dengan sistem dinamik. Dengan memasukkan ketiga
aspek tersebut maka akan didapatkan model baru dalam sistem dinamik dan dapat dilihat bahwa aspek
kelembagaan lokal merupakan aspek yang harus diperhitungkan dalam pembuatan model pembangunan
berkelanjutan di suatu wilayah atau kawasan sehingga permasalahan- permasalahan yang timbul dapat dieliminir
sedini mungkin dan diperoleh alternatif-alternatif

1 Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Bali, Indonesia, Email: wiwin_purantara@yahoo.com

ISSN 2502-6429 online © 2017 ITB, ASPI dan IAP


2 Widhianthini

Kebijakan yang harus diambil oleh para pengambil kebijakan untuk masing-masing daerah yang menerapkan
aturan-aturan lokal (awig-awig) dan aturan pemerintah daerah.

Kata kunci. Pengembangan wilayah, kelembagaan lokal, kawasan desa wisata berkelanjutan, sistem dinamik,
awig-awig.

pengantar

Latar Belakang

Pembangunan daerah saat ini diwujudkan melalui pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai aspek. Ini
mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Integrasi aspek-aspek ini akan mengarah pada
pembangunan berkelanjutan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Noer (2008) menjelaskan bahwa strategi
perencanaan daerah juga belum mengakomodir dimensi sosial (hubungan sosial) dan politik (kewenangan) dalam
budaya lokal ke dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks ini, pendekatan sistem dinamis memiliki prospek yang sangat baik sebagai alat untuk mengatasi pergeseran
paradigma dalam penataan ruang. Dari aspek konsistensi perencanaan dan pemanfaatan ruang, misalnya melalui
pendekatan ini diharapkan dapat meramalkan dampak implementasi berbagai skenario kebijakan terhadap pembangunan
wilayah, baik spasial maupun non spasial.

Pendekatan ini dapat menjadi sistem peringatan dini bagi pelaksanaan kebijakan pembangunan suatu daerah,
memungkinkan pemilihan skenario kebijakan yang optimal, serta mengantisipasi sedini mungkin konsekuensi dari
penerapan kebijakan tersebut sehingga dapat menjaga konsistensi (Sterman et al. al., 2007).

Pesatnya pertumbuhan sektor pariwisata ternyata berdampak negatif terhadap tata ruang di Bali, seperti alih fungsi
lahan. Konversi lahan pertanian pada tahun 2013 terjadi secara pesat di berbagai kabupaten. Dari total sembilan
kabupaten dan satu kota di Bali, sebagian besar konversi lahan pertanian pada tahun 2013 terjadi di lima kabupaten
yaitu, Tabanan dimana konversi lahan pertanian mencapai 15.577 ha, Buleleng 7.196 ha, Gianyar 4.585 ha,
Karangasem 4.256 ha, dan Klungkung 1.337 ha (Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, 2014).

Pelanggaran terhadap konsep penataan ruang menggambarkan bahwa model penataan ruang di Provinsi Bali pada
umumnya dan di Tabanan pada khususnya telah mulai menggeser konsepsi pembangunan daerah yang berbasis pada
pembangunan berkelanjutan dan kelembagaan lokal. Salah satu program yang dirancang oleh Pemerintah Provinsi Bali
untuk mengatasi alih fungsi lahan adalah perencanaan desa wisata berkelanjutan.

Jones (2005) menjelaskan bahwa pengembangan desa wisata berwawasan lingkungan (ecotourism) harus
memasukkan unsur modal sosial dari masyarakat setempat. Modal sosial berperan dalam pembentukan desa wisata
dan perbaikan lingkungan yang terancam karena modal sosial juga berperan sebagai penggerak daya dukung suatu
daerah. Menurut Scheyvens (2009), desa wisata juga dapat berhasil jika masyarakat lokal memiliki kendali atas desa
tersebut dan jika mereka dapat memperoleh manfaat yang sama secara adil dari kegiatan tersebut. Shikida dkk. (2010)
menjelaskan bahwa di Jepang, desa wisata tidak terbatas pada wisata berbasis alam, tetapi juga mencakup pariwisata
yang menitikberatkan pada gaya hidup lokal, belajar tentang budaya dan sejarah lokal, serta mendukung industri lokal.
Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata yang Berkelanjutan 3

Adanya sistem pengelolaan irigasi untuk persawahan Subak dan institusi lokal lainnya seperti Pakraman desa
juga terancam oleh konversi lahan pertanian. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Bali berencana
mengembangkan desa wisata berkelanjutan sebagai salah satu langkah untuk mengatasi alih fungsi lahan
pertanian (persawahan) menjadi non pertanian. Antisipasi ini diambil karena tatanan tata ruang di Bali yang kian
semrawut dan semakin berkurangnya ruang bagi masyarakat lokal untuk bertahan hidup di wilayahnya sendiri.

Objek penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis keterkaitan aspek fisik / lingkungan, ekonomi, sosial dengan
kelembagaan lokal di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali dalam mewujudkan pembangunan desa wisata berkelanjutan. Secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) membuat model pembangunan berkelanjutan di kawasan desa wisata berbasis
kelembagaan daerah dan (2) menganalisis arahan kebijakan pemerintah daerah dan lembaga daerah dalam perencanaan
desa wisata berkelanjutan berbasis kelembagaan daerah.

Tinjauan Literatur

Konsep Desa Wisata Berkelanjutan

Keterlibatan masyarakat lokal atau adat dalam pembangunan suatu daerah atau negara dapat terwujud apabila ruang
yang diberikan sebanding dengan yang dimiliki pemerintah. Visualisasi peran masyarakat lokal atau tradisional dalam
pembangunan berkelanjutan awalnya dimulai dari pembangunan desa. Pembangunan desa merupakan cikal bakal
penataan ruang suatu daerah.

Sutoro (2012) menjelaskan bahwa beberapa desa di benua Eropa atau Paroki di Britania Raya atau bahkan di
Indonesia tergolong dalam kelompok masyarakat yang berpemerintahan sendiri. Komunitas dengan
pemerintahan sendiri adalah komunitas lokal yang membentuk dan memelihara pemerintahannya sendiri
berdasarkan institusi lokal, bersifat non-pemerintah dan otonom, dan tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal atau
terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara. Masyarakat lokal atau tradisional memiliki
mekanisme kelembagaan yang berbeda untuk setiap daerah. Misalnya, di Thailand, irigasi di pedesaan dikelola
secara otonom oleh lembaga tradisional melalui sistem irigasi Montane. Lembaga adat ini memiliki aturan sendiri
dan keberadaannya merupakan salah satu cara untuk menghindari konversi lahan (Larsen et al., 2011).
Umumnya,

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa upaya pengembangan desa wisata berkelanjutan akan melibatkan beberapa aspek,
antara lain masyarakat setempat, pengembangan kualitas produk desa wisata, dan dukungan kelompok pengusaha lokal.
Prinsip pembangunan desa wisata berkelanjutan merupakan produk wisata alternatif. Penataan ruang dapat memberikan
dorongan bagi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dan memiliki prinsip-prinsip pengelolaan yang meliputi:

1. Melindungi lingkungan, seperti dengan tidak mengubah fungsi penggunaan lahan (mencegah atau meminimalkan
konversi lahan, terutama lahan pertanian)
2. Memanfaatkan sarana dan prasarana masyarakat setempat
3. Memberi manfaat bagi komunitas lokal
4. Berskala kecil untuk memfasilitasi hubungan timbal balik dengan masyarakat setempat
5. Melibatkan masyarakat lokal
6. Menerapkan pengembangan produk pariwisata pedesaan
4 Widhianthini

Dinamika Sistem

Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan masalah yang dimulai dengan identifikasi dan analisis
kebutuhan dan diakhiri dengan sistem operasi yang efektif. Pendekatan sistem ini mempunyai beberapa unsur
antara lain metodologi perencanaan dan pengelolaan yang multidisiplin dan terorganisir, mampu berpikir secara
non kuantitatif, menggunakan model matematis, meliputi teknik simulasi dan optimasi, serta dapat diterapkan
pada komputer (Eriyatno, 2012).

Dinamika sistem merupakan representasi dari tingkah laku suatu sistem yang memiliki hubungan yang saling bergantung dan berubah
seiring dengan waktu. Sistem dinamis adalah struktur umpan balik yang saling terkait yang bergerak menuju keseimbangan. Dalam
tahap ini, faktor-faktor penentu yang mempengaruhi dan mempengaruhi telah ditentukan berdasarkan hasil survei. Tahapan
pengembangan model adalah sebagai berikut (Sterman et al., 2007):

1. Menentukan batasan model


Model tersebut perlu diberi batasan agar sistem tidak terlalu luas tetapi masih dapat merepresentasikan
kondisi nyata. Batasan model ini diturunkan dari tujuan penelitian dan juga didasarkan pada identifikasi
variabel pada tahap sebelumnya.

2. Mengidentifikasi loop kausal


Proses ini perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel. Setelah batasan model diterapkan, langkah
selanjutnya adalah menambahkan hubungan interdependen antar variabel. Hubungan ini akan menunjukkan variabel
mana yang mempengaruhi dan mempengaruhi serta variabel yang meningkatkan dan menurunkan konversi sawah.

3. Membuat loop kausal


Setelah proses identifikasi, langkah selanjutnya adalah membuat loop sebab akibat. Dalam proses ini, semua variabel
dihubungkan menggunakan panah di setiap ujungnya dan diberi tanda positif dan negatif. Tanda positif berarti menambah
variabel lain sedangkan tanda negatif menunjukkan pengurangan variabel lain.

4. Merumuskan model
Setelah membuat causal loop, langkah selanjutnya adalah membuat formulasi untuk model. Tujuannya agar
model dapat dieksekusi dan bermakna.

5. Simulasi dan validasi model dinamika sistem


Setelah didapat formulasi untuk masing-masing variabel, maka langkah selanjutnya adalah menjalankan atau mensimulasikan
model yang telah dibuat. Pada saat simulasi, model akan menampilkan grafik untuk setiap variabel. Setelah proses simulasi,
langkah selanjutnya adalah memeriksa apakah model sudah sesuai atau belum. Jika model yang telah dirumuskan tidak valid,
maka tahap perumusan model perlu dicermati untuk melihat apakah terdapat kesalahan dalam merumuskan model. Jika model
sudah valid maka dimungkinkan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya.

6. Simulasi perubahan kondisi dan skenario


Setelah model dianggap valid, maka langkah selanjutnya adalah melakukan simulasi perubahan kondisi dengan
memberikan perlakuan berbeda pada beberapa variabel yang dianggap penting. Ini dilakukan untuk menemukan kebijakan
yang tepat. Proses ini dijalankan dalam beberapa skenario simulasi terkait kebijakan yang diambil dalam perencanaan desa
wisata berkelanjutan berbasis kelembagaan lokal.
Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata yang Berkelanjutan 5

Institusi lokal

Koentjaraningrat (2009) menjelaskan bahwa kelembagaan adalah suatu sistem tingkah laku sosial yang bersifat formal
atau terdiri dari adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku beserta segala ketentuannya untuk memenuhi
kebutuhan manusia dalam masyarakat. Penelitian Syahyuti (2003) tentang kelembagaan DAS menunjukkan bahwa
kelembagaan atau organisasi terdiri dari dua aspek, yaitu aspek kelembagaan (aspek budaya) dan aspek organisasi (aspek
struktural). Aspek budaya merupakan aspek dinamis yang mengandung hal-hal yang abstrak dan membentuk jiwa
lembaga. Aspek budaya adalah nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, gagasan, konsep, doktrin, keinginan, kebutuhan,
orientasi, dll. Sedangkan aspek struktural bersifat statis tetapi lebih bersifat visual yaitu berupa struktur, peran,
keanggotaan, relasi. antar peran, integrasi antar bagian, struktur otoritas, hubungan antara kegiatan dengan tujuannya,
aspek solidaritas, profil, pola kekuasaan, dll. Kombinasi keduanya akan membentuk perilaku kelembagaan atau kinerja
kelembagaan. Perilaku atau kinerja kelembagaan dapat ditelusuri melalui efektivitas kelembagaan.

Kelembagaan lokal adalah organisasi sosial tingkat lokal yang ada antara individu dalam kehidupan pribadinya dan dengan
lingkungannya (Munawar, 2009). Kelembagaan lokal tidak hanya mengatur cara hidup masyarakat tetapi juga memegang
peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kelembagaan daerah adalah sistem sosial yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dan menitikberatkan pada perilaku
yang melekat pada nilai, norma, dan aturan, serta mempunyai bentuk dan wilayah kegiatan.

Institusi lokal yang diteliti dalam penelitian ini antara lain Subak dan desa tradisional / Pakraman. Peraturan
Daerah Provinsi Bali No.02 / PD / DPRD / l972 tentang
Subak menerangkan bahwa Subak adalah masyarakat hukum adat yang bercirikan sosio-agraria-religius. Ini adalah asosiasi petani
yang mengelola irigasi di sawah. Subak juga merupakan salah satu pemangku kepentingan yang terlibat dalam penataan ruang di
wilayahnya. Sebagai bagian dari tugasnya, Subak
selalu berkoordinasi dengan desa adat / Pakraman. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Desa Adat, mencatat bahwa desa adat merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang
mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama dalam kehidupan sosial masyarakat Hindu, secara turun temurun.
dalam ikatan Kahyangan Tiga ( candi) dengan wilayah tertentu dan memiliki kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Salah satu peran desa adat / Pakraman adalah melindungi tanah desa adat
agar kepemilikannya tidak terkikis oleh pihak di luar desa adat.

Metode penelitian

Waktu dan Tempat Pembelajaran

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai dengan Januari 2014. Lokasi penelitian terdiri dari dua desa yaitu
Desa Jatiluwih di Kecamatan Penebel dan Candi Kuning di Baturiti, Kabupaten Tanaban Provinsi Bali. Penelitian ini
dilakukan di Kabupaten Tabanan karena kabupaten ini merupakan penghasil utama beras di Bali terkait dengan
keberlanjutan program lahan pertanian.

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Pemilihan sampel dilakukan melalui purposive sampling. Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu
data primer dan data sekunder. Data sekunder berasal dari Badan Pusat Statistik, Bappeda Bali, Bappeda
Kabupaten Tabanan, Dinas Pertanian Kabupaten Tanaban, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanaban,
Tanaban.
6 Widhianthini

Dinas Pariwisata Kabupaten, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Tanaban, Kantor Kepala Desa Jatiluwih Kecamatan
Penebel, dan Kantor Kepala Desa Candi Kuning Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan. Data tersebut meliputi kondisi fisik
(tanah dan air), kondisi ekonomi, kondisi sosial, dan data lain yang berkaitan dengan tata ruang kabupaten dan desa. Data
yang digunakan adalah data deret waktu selama periode lima tahun (2009-2013). Pengumpulan data dilakukan berdasarkan
implementasi program kawasan desa wisata baru yang dimulai pada awal tahun 2009. Data tersebut disimulasikan selama
21 tahun (2009-2030 tahun) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten Tanaban. Data primer diperoleh dari
wawancara dengan kepala dinas masing-masing, kepala desa,

pekaseh, kelian adat dan masyarakat lokal tentang peran mereka dalam penataan ruang, efektivitas kelembagaan
lokal dalam memelihara sawah, serta data lain yang terkait dengan penataan ruang.

Pendekatan Metodologis

Model perencanaan desa wisata berkelanjutan dan pembahasan arahan kebijakan dianalisis melalui dinamika sistem dengan
menggunakan software Powersim Studio 10. Sistem dinamis merupakan representasi dari tingkah laku suatu sistem yang memiliki
hubungan yang saling bergantung dan berubah seiring dengan waktu. Sistem dinamis adalah struktur umpan balik yang saling
terkait yang bergerak menuju keseimbangan (Sterman et al., 2007):

Validasi Model

Menurut Daalen dan Thissen (2001), validasi pemodelan dinamika sistem dapat dilakukan dengan beberapa cara yang
meliputi pengujian struktur langsung tanpa menjalankan model, pengujian perilaku berorientasi struktur untuk mengoperasikan
model, dan membandingkan perilaku model dengan sistem nyata. (perbandingan pola perilaku kuantitatif). Validasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah AME (Absolute Mean Error) dan AVE (Absolute Variation Error). AME merupakan
simpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) simulasi hasil simulasi dengan nilai sebenarnya. AVE merupakan simulasi
varians terhadap situasi aktual. Deviasi batas yang dapat diterima adalah antara 1-10 persen.

AME = [(Si - Ai) / Ai] Si


= Si N, dimana S = nilai simulasi Ai
= Ai N, di mana A = nilai aktual N
= interval waktu pengamatan

AVE = [(Ss - Sa) / Sa] Ss


= [(Si - Si) 2 N] = nilai simpangan simulasi Sa
= [(Ai - Ai) 2 N] = nilai deviasi aktual

Basis Simulasi

Simulasi dilakukan pada dua desa terkait aspek kelembagaan lokal (tradisi), yaitu desa Jatiluwih dan desa
Candi Kuning, di Kabupaten Tabanan. Kabupaten ini memiliki 38 desa wisata dengan daya tarik berbasis
pertanian dan agrowisata, alam (pantai, air terjun, hutan), serta seni budaya. Diantara 38 desa wisata
tersebut, dua desa yang difokuskan pada wisata pertanian (persawahan dan agrowisata) yaitu desa Jatiluwih
sebagai penghasil utama beras merah organik yang masih mampu mempertahankan keberadaan
persawahan. Kedua, Desa Candi Kuning sebagai lokasi agrowisata buah-buahan yang mengalami alih fungsi
lahan pertanian selama sepuluh tahun terakhir.
Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata yang Berkelanjutan 7

Simulasi ini bertujuan untuk melihat perkembangan kelembagaan lokal di kedua desa (dikaitkan juga dengan aspek
fisik, ekonomi, dan sosial Kabupaten Tabanan) dalam memelihara lahan pertanian untuk desa wisata berkelanjutan
selama 21 tahun (2009-2030). tahun). Rentang waktu 21 tahun sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kabupaten Tabanan.

Mengukur Efektivitas Kelembagaan

Efektivitas lembaga lokal dianalisis menggunakan skor (skala likert). Semakin tinggi nilainya, semakin tinggi
efektivitas lembaga lokal ( Desa Dinas, Pakraman, Subak) dan sebaliknya, semakin rendah skor yang dihasilkan,
semakin tidak efektif lembaga lokal tersebut. Skor dihitung sebagai berikut (Norken 2003):

1. (Mi + 2 Sdi) <x <(Mi + 3 Sdi) = Sangat efektif


2. (Mi + 1 Sdi) <x <(Mi + 2 Sdi) = Efektif
3. (Mi - 1 Sdi) <x <(Mi + 1 Sdi) = Cukup efektif
4. (Mi - 2 Sdi) <x <(Mi - 1 Sdi) = Tidak Efektif
5. (Mi - 3 Sdi) <x <(Mi - 2 Sdi) = Sangat tidak efektif

dimana:
Mi = rata-rata ideal = (1/2 x (skor ideal maksimum + skor ideal minimum))
Sdi = standar deviasi ideal = (1/6 x (skor ideal maksimum - skor ideal minimum)

Lembaga dianggap efektif dalam suatu kondisi atau situasi, dimana mereka memilih tujuan yang tepat untuk dicapai dan
menggunakan sarana yang tepat, serta memiliki kemampuan yang tepat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai
dengan hasil yang memuaskan (Boettke et al., 2008 ; Paraso, 2013). Institusi suka Pakraman desa dan Subak tidak akan
efektif dengan sendirinya. Kedua lembaga tersebut membutuhkan bantuan pemerintah daerah. Widhianthini dkk. (2006),
Mudhina (2009), dan Nunuk (2010) menjelaskan bahwa efektivitas Subak dan desa tradisional / Pakraman dapat dilihat dari
aspek situasi kelembagaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, manajemen, dan pembiayaannya. Efektivitas
kelembagaan lokal masuk dalam model dinamik dan dikaitkan dengan aspek fisik, ekonomi, dan sosial di Kabupaten
Tabanan. Dalam model dinamis, gambaran kondisi riil dapat digambarkan dalam skenario yang menggambarkan hubungan
sebab akibat antara beberapa sampel yang mewakili (misalnya desa) dengan variabel yang lebih luas di suatu daerah
(misalnya kabupaten).

Hasil dan Diskusi

Model Pembangunan Berkelanjutan di Desa Wisata Berbasis Kelembagaan Lokal

Model merupakan abstraksi untuk mendekati situasi aktual. Model desa wisata berkelanjutan berbasis
kelembagaan lokal melibatkan interaksi antar sub sistem yang saling terkait. Model perencanaan desa wisata
yang berorientasi pada keberlanjutan lahan pertanian di lokasi studi melibatkan aspek fisik, ekonomi, sosial,
dan kelembagaan yang saling mempengaruhi (Gambar 1). Aspek fisik meliputi peruntukan persawahan dan
peruntukan tata guna lahan lainnya (seperti peruntukan permukiman, kawasan keramat, dan bangunan
lainnya).
8 Widhianthini

SUB MODEL EKONOMI


MODEL SUB FISIK

Luas_Lahan
Pajak_Lahan_ FSNJ F_Landrent_Sawah
Permukiman FSar
Sawah

LandRent_Sawah
Nilai_Jual_Lahan
_Sawah Bangunan_Lain Rasio_Lahan_
Terbangun Sarana LPD

F_KS Per_LR
Produktivitas_
Sawah Penduduk
Produksi_Sawah

Kawasan_Suci
Total_Pengunaan Wisatawan
F_LS L_KS
_Lahan PDRB

Sawah F_RTH
Debet FWis
L_LS

Cara_ jalan_ RTH FPDRB


F_Penggunanaan F_Penggunanaan
ke_ sawah _Lahan L_RTH _Lahan Bantuan_
Lahan_yang_dapat Pemerintah
_Digunakan
FPend_Masy
Luas_Lahan
Luas_Laha Sarana_Pendidikan
Bnangunan_Lain
Permukiman L_BL

L_Permukiman F_BL FSarPddk


Air_Larian
F_LP Fraksi_Konsumsi Pendapatan_
LAL
_Air Konsumsi_Air Masyarakat
FLP_Pend TK_Pariwisata
FAL

MODEL SOSIAL DAN KELEMBAGAAN

Penduduk
Kelahiran TED_Subak FTPddk
Kematian
A_Kem TK_Pertanian
A_Kel
FTE_Subak

FTKPt
SALAH Angkatan_Kerja
Pertumbuhan_
FTKPr
TE_Desa TK_Pertanian
TK_Pariwisata Tingkat_Pendidikan
FTED FAP Penduduk_Miskin
Pengangguran FPM

Angkatan_Kerja
Pertumbuhan_TK Sarana_dan_
TnED_Pakraman Prasarana_
FTE_Pakrama _Pariwisata
Pariwisata

Gambar 1. Model Pembangunan Berkelanjutan di Desa Wisata Berbasis Kelembagaan Lokal

Aspek ekonomi terkait dengan sewa lahan (sewa lahan pertanian / persawahan karena pengembangan desa wisata), bantuan
pemerintah untuk desa wisata, dan Lembaga Perkreditan Desa. Lembaga Perkreditan Desa yang dikelola oleh desa adat
sekaligus berfungsi sebagai lembaga advokasi pariwisata yang membantu masyarakat sekitar memanfaatkan lembaga
keuangan tersebut dalam mengembangkan usaha penunjang pariwisata. Perkembangan usaha di bidang pariwisata dengan
tetap menjaga kelestarian lahan pertanian dapat mempengaruhi Produk Domestik Bruto Daerah Kabupaten Tabanan. Aspek
sosial yang relevan menjadi faktor pendorong di balik perubahan tata guna lahan seperti populasi yang meningkatkan
permintaan akan lahan untuk perumahan atau bangunan lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah pekerja di
bidang pertanian dan pariwisata, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan. Pergeseran penggunaan lahan dapat
dikendalikan melalui institusi lokal (tradisional), yaitu Subak dan desa tradisional / Pakraman dalam mencegah konversi lahan
pertanian.

Sub-sistem fisik menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk permukiman dan bangunan lain akan menyebabkan penurunan luas
sawah dari 22.465 hektar menjadi 21744,29 hektar pada akhir tahun 2030, atau pada
3,21 persen dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal desa Jatiluwih (Gambar 2) dan oleh
8,05 persen dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal desa Candi Kuning (Gambar 3).
Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata yang Berkelanjutan 9

35000

30000 Sawah
25000
Permukiman

Luas (Ha)
20000
Ruang terbuka hijau
15000
Daerah Suci
10000
Bangunan Lainnya
5.000

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030

Tahun

Gambar 2. Simulasi Pemanfaatan Lahan di Kabupaten Tabanan dengan Memasukkan Kelembagaan Lokal
Unsur Desa Jatiluwih

35000
30000
Sawah
25000
Luas (ha)

Permukiman
20000
Ruang terbuka hijau
15000
10000 Daerah Suci

5.000 Bangunan Lainnya

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030

Tahun

Gambar 3. Simulasi Pemanfaatan Lahan di Kabupaten Tabanan dengan Memasukkan Kelembagaan Lokal
Elemen Desa Candi Kuning

80000000
70000000
Pembuangan Air (m3)

60000000
50000000 Debit air
40000000
30000000
20000000
10.000.000

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

Gambar 4. Simulasi Debit Air di Kabupaten Tabanan dengan Memasukkan Lokal


Unsur Kelembagaan Desa Jatiluwih

Simulasi model menunjukkan debit air di Kabupaten Tabanan akan berkurang sebesar
55,78 persen dari tahun 2009 hingga 2030 dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal desa Jatiluwih
(Gambar 4). Berbeda dengan elemen kelembagaan lokal desa Candi Kuning yang akan menurunkan debit air
hingga 75,30 persen (Gambar 5).
10 Widhianthini

80000000
70000000
60000000

Pembuangan Air (m3)


air
50000000
Melepaskan
40000000
30000000
20000000
10.000.000

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030

Tahun

Gambar 5. Simulasi Debit Air di Kabupaten Tabanan dengan Memasukkan Lokal


Elemen Kelembagaan Desa Candi Kuning

Simulasi model sub sistem ekonomi PDRB menunjukkan peningkatan. Hasil simulasi (2009-2030)
menunjukkan nilai PDRB Kabupaten Tabanan, dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal desa Jatiluwih
meningkat sebesar 94,01 persen (Gambar 6) dan untuk unsur kelembagaan lokal desa Candi Kuning sebesar
90,13 persen (Gambar 7). ). Peningkatan ini disebabkan oleh tumbuhnya sektor pariwisata yang sejalan
dengan perkembangan desa wisata.

10.000.000
9000000
8000000
7000000 Regional
6000000 PDB
rupiah)

5000000
PDRB (x 1 juta

4000000
3000000
2000000
1000000
0
2009 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

Gambar 6. Simulasi PDRB Kabupaten Tabanan Dengan Memasukkan Daerah


Unsur Kelembagaan Desa Jatiluwih

10.000.000

8000000
Regional

6000000
PDB
rupiah)
PDRB (x 1 juta

4000000

2000000

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

Gambar 7. Simulasi PDRB Kabupaten Tabanan Dengan Memasukkan Daerah


Elemen Kelembagaan Desa Candi Kuning
Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata yang Berkelanjutan 11

Boettke dkk. (2008) menjelaskan bahwa institusi berperan dalam menurunkan persepsi subjektif tentang realitas
menjadi sebuah pilihan. Efektivitas kelembagaan Subak dan Desa Dinas di desa Candi Kuning cukup efektif
walaupun kurang efektif dibandingkan di desa Jatiluwih. Pakraman desa juga cukup efektif. Pakraman desa terus
menjalankan tugasnya di bidang agama dan masyarakat (Gambar 8-9).

100

95
Efektivitas
Efektivitas (%)

90 Desa Pakraman
85 Efektivitas
Subak
80

75

70
2009 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

Angka 8. Simulasi Efektivitas Subak Pakraman Desa di Desa Jatiluwih

100

Efektivitas
80
Desa Pakraman
60
Efektivitas (%)

Efektivitas
Subak
40

20

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

Gambar 9. Simulasi Keefektifan Subak Pakraman Desa di Candi Kuning


Desa

Model Skenario Kebijakan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Desa Wisata

Terkait dengan penataan ruang, diperlukan model skenario untuk mengurangi dampak konversi lahan pertanian.
Berdasarkan model skenario pembangunan berkelanjutan desa wisata berbasis kelembagaan lokal, dilakukan
simulasi model skenario untuk faktor-faktor penting atau katalis sistem yang mempengaruhi konversi lahan
pertanian (persawahan). Dalam penelitian ini arahan kebijakan dilakukan dengan mengubah variabel
aksesibilitas, bantuan pemerintah, dan sarana dan prasarana pariwisata untuk pengembangan desa wisata
(berdasarkan wawancara dan observasi lapangan). Arahan kebijakan dalam model ini dibagi menjadi tiga
skenario, yaitu:

1. Skenario I: variabel aksesibilitas 70 persen, bantuan pemerintah 5 persen, sarana dan prasarana
pariwisata 85 persen.
2. Skenario II: variabel aksesibilitas 90 persen, bantuan pemerintah 6 persen, sarana dan prasarana
pariwisata 90 persen.
12 Widhianthini

3. Skenario III: variabel aksesibilitas 80 persen, bantuan pemerintah 5,5 persen, sarana dan prasarana
pariwisata 88 persen.

Aksesibilitas terdiri dari pembangunan jalan menuju persawahan. Saat ini aksesibilitas jalan di Desa Jatiluwih
baru mencapai 70 persen, sedangkan di Desa Candi Kuning sudah mencapai 90 persen.

Dilihat dari bantuan pemerintah, pemerintah Kabupaten Tabanan telah memberikan dana sebesar USD 200
juta / tahun / desa wisata. Dengan bertambahnya jumlah desa wisata, pemerintah Kabupaten Tabanan
menambah bantuan sebesar lima persen dari jumlah awal.

Variabel berikutnya yang digunakan dalam skenario adalah sarana dan prasarana pariwisata. Perencanaan desa wisata akan
menghasilkan tumbuhnya sarana dan prasarana pendukung pariwisata, seperti kebutuhan akan penginapan, transportasi, pemandu
wisata, dan lain sebagainya yang semuanya dikelola oleh masyarakat lokal melalui kelembagaan lokal yang ada di desa tersebut.
Pertumbuhan sarana dan prasarana tersebut akan menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian dan pariwisata.

22600
Skenario I
22400
Area Paddy Fielsd (ha)

22200 Skenario II

22000
Skenario III
21800

21600

21400

21200
2009 2010 2015 2020 2025 2030

Tahun

Gambar 10. Skenario I, II, III Bidang Sawah Dengan Memasukkan Unsur Kelembagaan Daerah
Desa Jatiluwih

23000
22500
22000
Area Paddy Fielsd (ha)

21500
21000
20500 Skenario I
20000
Skenario II
19500
19000 Skenario III
18500
18000
2009 2010 2015 2020 2025 2030

Tahun

Gambar 11. Skenario I, II, III Bidang Sawah Dengan Memasukkan Unsur Kelembagaan Daerah
Desa Candi Kuning
Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata yang Berkelanjutan 13

Untuk luas areal persawahan sebaiknya memilih skenario I. Penurunan luas persawahan skenario I unsur
kelembagaan lokal Desa Jatiluwih sebesar 3,21 persen dibandingkan skenario II (3,65 persen) dan skenario III
(3,43 persen). ) (Gambar 10). Sedangkan untuk unsur kelembagaan lokal desa Candi Kuning, skenario ini
memproyeksikan penurunan sawah sebesar 8,05 persen dibandingkan skenario II (11,91 persen) dan skenario III
(11,27 persen) (Gambar
11).

Berdasarkan PDRB, untuk kedua kasus dengan memasukkan elemen kelembagaan lokal desa Jatiluwih atau
elemen kelembagaan lokal desa Candi Kuning (Gambar 12-13), skenario II harus dipilih. Perubahan
peningkatan PDRB untuk kasus unsur kelembagaan lokal desa Jatiluwih lebih besar dari pada skenario I.

12000000

10.000.000
Skenario I
8000000
Skenario II
rupiah)

6000000
Skenario III
PDRB (x 1 juta

4000000

2000000

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

Gambar 12. Skenario I, II, III PDRB Kabupaten Tabanan Dengan Memasukkan Daerah
Unsur Kelembagaan Desa Jatiluwih

Skenario menunjukkan bahwa skenario I harus dipilih jika bertujuan untuk melindungi sawah (penurunan luas
sawah lebih kecil dari skenario II dan III). Jika PDRB menjadi prioritas maka skenario kedua dipilih. Dalam
pengembangan desa wisata berkelanjutan berbasis kelembagaan lokal, akses jalan menuju persawahan harus
dihentikan karena dengan terbukanya akses jalan menuju persawahan inilah yang dapat meningkatkan konversi
sawah.

10.000.000

8000000
Skenario I
6000000
rupiah)

Skenario II
PDRB (x 1 juta

4000000
Skenario III
2000000

0
2009 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

Gambar 13. Skenario I, II, III PDRB Kabupaten Tabanan Dengan Memasukkan Daerah
Elemen Kelembagaan Desa Candi Kuning

Efektivitas lembaga lokal ( Subak dan Pakraman desa) harus tetap dilestarikan. Keterlibatan institusi lokal
dapat memperlambat konversi lahan pertanian. Situasi ini terjadi karena kekuatan awig-awig ( aturan lokal) di
desa tradisional dan di
Subak dirinya dalam mengikat warga negara dan konsep Tri Hita Karana ( tiga penyebab kebaikan:
14 Widhianthini

keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, antara manusia, dan manusia dengan lingkungannya).

Kesimpulan dan saran

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:


1. Model dinamis adalah model hubungan yang saling bergantung (kausal) antara
aspek kelembagaan desa wisata lokal / tradisional dan aspek fisik, ekonomi, dan sosial di tingkat
kabupaten. Model ini secara signifikan menunjukkan bahwa efektivitas kelembagaan lokal dapat
memperlambat laju konversi lahan pertanian sehingga perencanaan desa wisata berkelanjutan dapat
terwujud.
2. Untuk menghentikan konversi lahan pertanian untuk penggunaan lain, implementasi skenario I diusulkan.
Skenario ini dibangun dengan konsep pengembangan desa wisata yang diarahkan pada pengurangan akses
jalan umum beraspal menuju persawahan, peningkatan dukungan pemerintah terhadap desa wisata, dan
dukungan sarana dan prasarana pariwisata berbasis lokal. Subak dan Pakraman desa.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, dalam merencanakan desa wisata berkelanjutan berdasarkan kelembagaan lokal, bagian berikut
berisi beberapa saran:
1. Penelitian ini menggunakan model dinamik yang merupakan representasi dari tingkah laku suatu sistem yang

memiliki hubungan yang saling bergantung dan berubah seiring waktu. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan

variabel lain dan input terkontrol dalam bentuk data time series yang dapat mengurangi atau menghentikan konversi lahan

pertanian (sawah).

2. Kelembagaan lokal harus diberi kewenangan dalam penataan desa wisata berkelanjutan, mulai dari tahap perencanaan
hingga evaluasi. Kewenangan ini juga harus diperkuat dengan peraturan daerah.

Referensi

Boettke, P., J. Christopher, dan TL Peter. (2008) Kelekatan Kelembagaan dan Baru
Ekonomi Pembangunan. Jurnal Amerika Ekonomi dan Sosiologi 67 (2), 331-358. Daalen, V. dan WAH
Thissen (2001) Model Kontinu Pemodelan Sistem Dinamika.
Faculteit Techniek, Bestuur en Management (TBM). Technische Universiteit Delft. Dinas Pertanian
Kabupaten Tabanan (2014) Laporan Tahunan Pertanian. Tabanan,
Propinsi Bali.
Eriyatno (2012) Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Surabaya:
Penerbit Guna Widya.
Koentjaraningrat (2009) Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Jones, S. (2005) Community Based Tourism: The Significance of Social Capital. Sejarah
Riset Pariwisata. 32 (2): 303–324.
Model Dinamis Perencanaan Desa Wisata yang Berkelanjutan 15

Larsen, RK, E. Calgaro, dan F. Thomalla (2011) yang Mengatur Bangunan Ketahanan di Thailand
Komunitas yang Bergantung pada Pariwisata: Mengkonseptualisasikan Badan Pemangku Kepentingan dalam Sistem Ekologi
Sosial. Perubahan Lingkungan Global 21 (2), 481-491. Mudhina (2009) Strategi Pemberdayaan Subak di Daerah Pengaliran Sungai
(DPS) Tukad
Unda. Skripsi, Universitas Udayana, Denpasar. Munawar, I. (2009) Organisasi dan Lembaga Serta
Perbedaannya. Dapat diunduh dari:
http://bit.ly/M1SeBt pada 13 Maret 2012. Noer, M. (2008) Peran Kelembagaan Lokal dalam Perencanaan Wilayah
Desentralistis (Kasus
Studi: Perencanaan Berbasis Nagari di Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat).
Disertasi, Ilmu Teknik, Institut Teknologi Bandung.
Norken (2003) Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Air Secara Terpadu dan
Berkelanjutan. Makalah disajikan pada Seminar Pengembangan Sumberdaya Air Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Denpasar.

Nunuk (2010) Partisipasi Subak Dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Pada
Daerah Irigasi Mambal Di Kabupaten Badung, Skripsi Pascasarjana, Denpasar: Universitas Udayana.

Paraso, A. (2013) Efektivitas Badan Permusyawaratan Desa Dalam Penyelenggaraan


Pengawasan Pemerintahan Di Desa Sereh (Suatu Studi Di Desa Sereh Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan
Talaud. Jurnal Eksekutif. [Internet]. [13 Februari 2014]. Diunduh dari
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/view/2693
Scheyvens, R. (2009) Ecotourism and The Empowerment of Local Communities. Pariwisata
Pengelolaan. Volume 20, Edisi 2, April 2009, halaman 245-249. Shikida, A., Y. Mami, K. Akiko, dan M. Masayuki
(2010) Model Hubungan Pariwisata dan
Perantara Manajemen Pariwisata Berkelanjutan. Universitas Hokkaido, Jepang.
Sterman, J., R. Henderson, E. Beinhocker, dan L. Newman (2007) Menjadi besar terlalu cepat: strategis
dinamika dengan keuntungan yang meningkat dan dibatasi secara rasional. Ilmu Manajemen 53 (4), 683-
696.
Sutoro (2012) Pengaturan tentang Desa. Makalah Kebijakan. Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD). Yogyakarta. Syahyuti (2003) Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi
Pengembangan dan Penerapannya
dalam Penelitian Pertanian. Dicetak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Widhianthini, IW Ginarsa, IK Suamba, dan IW Sudartha (2006) Pembangunan


Daerah dengan Pendekatan Perencanaan Partisipatif (Revisi). Proyek Pioner Pembangunan Pedesaan
(Provinsi Bali). Kerjasama antara Jasa Konsultasi Proyek Pengelolaan Irigasi Skala Kecil (III) dengan Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai