Anda di halaman 1dari 5

TUGAS RESUME AIK AKHLAK

MILAD 108 TAHUN MUHAMMADIYAH


MENEGUHKAN GERAKAN KEAGAMAAN HADAPI PANDEMI DAN
MASALAH NEGERI

DOSEN PENGAMPU: Asfal Fuad, M.Pd

OLEH

NAMA : HANJRAHING PUSPITO ARUM


NIM : 18.0354.F
KELAS : FARMASI 5B

PRODI SARJANA FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN
2020
“Meneguhkan Gerakan Keagamaan Hadapi Pandemi dan Masalah
Negeri”

Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M)


merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan
Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian
sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan
yang didirikan oelh seorang kyai alim, cerdas, dam berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad
Dahlan atau Muhammadiyah Darwis dari kota santi Kauman Yogyakarta.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”.


Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan)
dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H.
Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan
asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan
melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama
Islam. Dengan demikian ajaran islam yang suci dan benar itu dapat memberi naas bagi
kemajuan umat islam dan bangsa indonesia pada umumnya.”

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan
merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan
(Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci
dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih
pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru
kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih
dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti
Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh,
dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi
Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih
ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan
justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000:
13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan
rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang
dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung
ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi
Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut,
merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak
diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi
bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan
papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu
umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330
Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama
”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20
Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur
Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu,
tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak
mencantumkan tanggal Hijriyah.

Tema milad Muhammadiyah adalah meneguhkan gerakan keagamaan hadapi pandemi


dan permasalahan bangsa, jadi kita pada era sekarang sedang fokus bagaimana pandemi ini
tidak terlalu berdampak negatif dan luas terhadap masyarakat Indonesia.

Menghadapi pandemi COVID-19, peran tokoh agama dan eleman organisasi


keagamaan mempunyai peran sentral untuk meningkatkan kesadaran publik serta sebagai
rujukan penting yang diharapkan dapat menjembatani sains dan agama. Pada tahun 2001,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pernyataan tentang pendapat kolektif para
cendekiawan agama Islam, yang menyatakan bahwa produk medis turunan hewan, termasuk
vaksin, dianggap bersih. Terlepas dari pernyataan WHO tersebut, tidak semua orang yang
beragama Islam mempercayainya. Seringkali isu kesehatan dan pengobatan dan agama
dianggap berpotongan. Tidak terkecuali di Indonesia, sebagai negara Muslim terbanyak di
dunia. Secara resmi, pelayanan kesehatan di berikan secara sekuler di negara dengan penduduk
248 juta, dengan 80% penganut Islam. Selain pengobatan modern, penduduk juga mencari
layanan kesehatan alternatif dari tabib dan dukun. Islam sebagai agama mayoritas memainkan
peran penting dalam hal-hal seperti vaksinasi, disinformasi saat pandemi, serta beberapa terapi
pengobatan.

Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Dari sisi
pelayanan pendidikan, sosial dan kesehatan, Muhammadiyah menjadi salah satu gerakan
Muslim paling berpengaruh di Indonesia. Teologi Al-Maun menjadi nafas dalam gerakan
kemanusiaan dalam konteks aktualisasi beragama seluruh warga persyarikatan, baik elemen
organisatoris, ortom, dan juga warga kultural.

Menurut ketua umum pusat muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.,
Menghadapi Pandemi Covid-19, Muhammadiyah sejak awal berkomitmen dengan
mengaktifkan Muhammadiyah Covid-19 Comand Center (MCCC) dan Aisyiyah serta seluruh
komponennya untuk melakukan optimalisasi dalam menghadapi pandemi dengan baik.
Harapannya, tentu pada suatu saat bisa keluar dari Pandemi. Gerak ini merupakan ikhtiar dan
doa tentunya. Ada bagian negara, lewat kebijakan yang semakin hari semakin baik, juga
masyarakat dengan disiplinnya mengikuti protokol kesehatan. Wabah Covid-19 ini belum
berakhir. Bahkan, ada yang angka korbannya naik. Koban kematian sudah lebih dari 1,2 juta
orang meninggal, di Indonesia 15 ribu orang lebih yang meninggal.

Muhammadiyah ingin mengajak, kita harus menjadi aktor atau pelaku yang memberi
solusi. Jangan malah sebaliknya. Setidaknya, kalau diantara masyarakat tidak bisa beri solusi,
dia atau siapapun dia, jangan sampai membikin masalah, karena dampaknya besar dan luas.
Selanjutnya, Haedar juga meminta agar masyarakat dan pemerintah bisa disiplin menjalankan
protokol kesehatan. Sehingga akhirnya, Pandemi ini mengecil, dan suatu saat berakhir. Kita
beragama akan lebih leluasa. Menjaga nyawa dan harta penting. Apalagi, dampak bagi
ekonomi, terutama masyarakat kecil juga nyata. Juga menjaga keturunan.

Prof Dadang mengatakan, Muhammadiyah prihatin melihat ketidaktaatan protokol


kesehatan yang dilakukan oleh kelompok pemerintah yang menggelar pilkada dan kelompok
keagamaan yang menggelar upacara-upacara keagamaan saat pandemi Covid-19. Padahal,
Muhammadiyah sudah semaksimal mungkin berkorban untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Muhammadiyah telah menyiapkan 75 rumah sakit, banyak tenaga dokter, memberikan
santunan sosial, dan sudah ratusan miliar uang yang digunakan untuk menanggulangi pandemi
Covid-19. Oleh karena itu perjuangan untuk hadapi pandemi tetap akan Muhammadiyah
lakukan. Dan Muhammadiyah dengan sangat antusias terus mengawal perlawanan terhadap
Covid-19 termasuk saat vaksin ini sudah ada.

Prof Dadang juga menyampaikan harapan Muhammadiyah untuk internal


Muhammadiyah. Ia mengingatkan bahwa sekarang Muhammadiyah sedang menghadapi
tantangan yang lebih luas di era 4.0 maupun 5.0. Era ini merupakan era yang sangat berbeda
dengan era yang lalu. Maka, Muhammadiyah bersiap-siap untuk beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan itu di sektor muamalah keduniawian. Karena itu kepada semua anggota
Muhammadiyah diingatkan untuk lebih mengantisipasi, adaptasi dan melakukan langkah-
langkah inovasi untuk menghadapi perubahan itu. Terhadap sesama warga negara Indonesia
mari kita menjadikan negara ini menjadi negara yang maju, aman, damai dan tidak ada lagi
unsur politik dan permusuhan dan kita fokus membangun supaya menjadi Indonesia
berkemajuan.

Anda mungkin juga menyukai