Referat THT Tonsilitis Jhuvan
Referat THT Tonsilitis Jhuvan
TONSILITIS
Disusun oleh:
Jhuvan Zulian Fernando, S.Ked
NIM : 712018004
Pembimbing:
dr. Meilina Wardhani Sp. THT-KL
DEPARTEMEN THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
TONSILITIS
Oleh:
Jhuvan Zulian Fernando, S.Ked
NIM : 712018004
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Palembang
Periode 21 Septtember s.d. 27 September 2020
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Tonsilitis”. Referat ini disusun sebagai
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen THT-KL Rumah
Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Muhammadiyah
Palembang.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan referat ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan referat ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1) dr. Meilina Wardhani Sp. THT-KLselaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan referat ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan
dukungan material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya
dalam menyelesaikan referat ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... ii
KATA PENGANTAR............................................................................................... iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 3
ANATOMI F........................................................................................................ 3
TONSILITIS......................................................................................................... 5
DEFINISI......................................................................................................... 5
EPIDEMIOLOGI............................................................................................. 6
ETIOLOGI....................................................................................................... 7
PENATALAKSANAAN................................................................................. 19
PENCEGAHAN.............................................................................................. 32
PROGNOSIS................................................................................................... 33
KOMPLIKASI................................................................................................. 33
BAB III PENUTUP................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 35
4
BAB I
PENDAHULUAN
Mukosa nasofaring sama seperti mukosa hidung dan sinus paranasalis yaitu
terdiri dari epitel pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa
kelenjar mukus di bawah selaput (membrana) mukosa terdapat jaringan
fibrosa faring sebagai tempat melekatnya mukosa. Ruang nasofaring yang
relatif kecil mempunyai beberapa sturktur penting :
Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang kadang disebut
tonsilofaringea atau tonsil nasofaringeal, yang terletak di garis tengah
dinding anterior basis sphenoid.
Torus tubarius atau tuba faringotimpanik, merupakan tonjolan
berbentuk seperti koma di dinding lateral nasofaring, tepat di atas
perlekatan palatum molle dan satu sentimeter di belakang tepi posterior
konka inferior.
Resesus faringeus terletak posterosuperior torus tubarius, dikenal
sebagai fossa Rosenmuler, merupakan tempat predileksi karsinoma
faring
Muara tuba eustachius atau orifisium tube, terletak di dinding lateral
nasofaring, dan inferior torus tubarius, setinggi palatum molle
Koana atau nares posterior1
B. Orofaring
Merupakan kelanjutan dari nasofaring pada tepi bebas dari palatum molle.
Batasnya :
Superior : Palatum molle
Inferior : Bidang datar yang melalui tepi atas epiglotis
Anterior : Berhubungan dengan kavum oris melalui isthmus
Posterior : Vertebra servikalis 2 dan 3 bersama dengan otot-otot
prevertebra.
Isthmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus kanan dan kiri. Arcus
pharyngeus sendiri dibentuk oleh pilar tonsilaris yang pada bagian anterior
terdapat m. palatoglossus dan bagian posterior terdapat m.
palatopharyngeus. Diantara kedua pilar tersebut terdapat fossa/ruang
tonsilaris, berisi jaringan limfoid yang disebut tonsila palatina.
C. Laringofaring
Terletak di belakang dan sisi kiri dan kanan laring yang disebut sinus
atau fossa piriformis. Dimulai dari segitiga valecula yang merupakan batas
orofaring dengan laringofaring, sampai setinggi tepi bawah kartilago
krikoid, tempat masuknya sphingter krikofaringeus. Batas-batas lainnya :
Superior : Bidang datar melewati tepi atas epiglotis atau setinggi
valecula
Inferior : Tepi bawah cartilago cricoid
Anterior : Aditus laring
Posterior : Vertebrae cervicalis 3 sampai 6.1
Valecula sendiri merupakan suatu cekungan yang dangkal dengan batas-
batas :
Anterior : Basis lidah
Posterior : Facies epiglotis anterior
Lateral : Plica faringoepiglotika
Medial : Plica glossoepiglotika Fossapiriformis mempunyai
batas-batas :
Medial : Plica ariepiglotika
Lateral : cartilago tiroid dan membran tirohioid
Ga
mbar. Adenoid
Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke
dalam kelenjar jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal,
cabang N IX serta N. Vagus. Tubal tonsil dibentuk terutama oleh perluasan
nodulus limfatikus faringeal tonsil ke arah anterior mukosa dinding lateral
nasofaring. Nodulus-nodulus tersebut terutama ditemukan pada mukosa
tuba eustachius dan fossa rossenmuler. Jaringan limfoid ini disebut juga
Gerlach’s Tonsil.
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi
dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval,
merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula.
Di sebelah medial terdapat m. buccinator, sementara pada bagian
posteromedialnya terdapat m. pterigoideus internus dan bagian atas
terdapat fasikulus longus m. temporalis. Bila terjadi abses hebat pada
daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit
yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses
peritonsilar.
Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
A. palatina asendens, cabang a. fasialis memperdarahi bagian postero
inferior
A. tonsilaris, cabang a. fasialis memperdarahi daerah antero inferior
A. lingualis dorsalis, cabang a. maksilaris interna memperdarahi
daerah anteromedia
A. faringeal asendens, cabang a. carotis eksterna memperdarahi daerah
postero superior
A. palatina desendens dan cabangnya, a. palatina mayor dan minor
memperdarahi daerah antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke v.
lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke v.
jugularis interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang
bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring.
Inervasi Tonsil
Terutama melalui N. palatina mayor dan minor (cabang N. V) dan N.
lingualis (cabang N. IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga,
hal ini terjadi karena N. IX juga mempersarafi membran timpani dan
mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s Nerve”.
Histologi Tonsil
Kapsul tonsil terutama terdiri dari jaringan ikat dan serabut elastin
yang meliputi dua pertiga bagian permukaan lateral tonsil. Kapsul ini pada
beberapa tempat masuk menjorok ke dalam tonsil, membentuk kerangka
penyokong struktur di dalam tonsil yang disebut ‘trabekula’. Trabekula
merupakan tempat lewatnya pembuluh darah, pembuluh limfatik eferen,
dan saraf. Di dalam kapsul dapat dijumpai serabut-serabut otot serta pulau-
pulau kartilago hialin, yang merupakan sisa jaringan embrional arkus
brakialis. Membrana mukusa tonsil terdiri dari epitel berlapis gepeng dan
pada beberapa tempat, lapisan mukosa ini akan mengadakan invaginasi ke
dalam massa tonsil, membentuk saluran buntu yang disebut kripta. Kripta
ini berbentuk tidak teratur dan bercabang- cabang. Lapisan epitel mukosa
kripta lebih tipis bila dibandingkan dengan epitel mukosa tonsil, bahkan
pada bebrapa tempat, kripta ini tidak dilapisi mukosa sam sekali.
Komposisi terbesar dari jaringan tonsil adalah jaringan limfoid yang pada
beberapa tempat berkelompok, berbentuk bulat atau oval yang disebut
folikel, dengan diameter sekitar 1-2 cm. Didalam folikel, terdapat sel-sel
limfosit dalam berbagai stadium pertumbuhan, dengan pusat
pertumbuhannya disebut ‘sentrum germinativum’. Kadang- kadang
disepanjang epitel dapat ditemukan sel-sel limfosit yang bermigrasi atau
mengadakan infiltrasi melalui mukosa yang tipis.
A. Fase Volunter
Fase persiapan oral
Meliputi gerakan mengunyah yang melibatkan kordinasi dari :
1. Penutupan bibir untuk menahan makanan dalam mulut bagian anterior
2. Tekanan dari otot labial dan buccal untuk menutup sulkus anterior dan
lateral
3. Gerakan memutar dari rahang untuk mengunyah
4. Gerakan memutar ke lateral dari lidah untuk menempatkan posisi
makanan di atas gigi selama proses mastikasi
5. Palatum molle bulging ke belakang mendorong cavum oris ke
belakang dan melindungi jalan nafas, serta persiapan untuk menelan.
Pada akhir dari fase ini dan persiapan untuk fase oral, lidah mendorong
makanan menjadi bolus dan menahan dengan gaya kohesif pada palatum
durum.
Fase Oral
Fase oral masih merupakan proses menelan secara mekanik, dimana
makanan dipindahkan dari belakang cavum oris ke anterior faucial arches
untuk memulai proses menelan. Pada fase ini, lidah memegang peranan
yang sangat penting, dimana dengan lidah dapat mengangkat dan menekan
bolus ke belakang dan ke dapan palatum durum, sehingga makanan dapat
memenuhi bagian anterior faucial arches. Tekanan otot-otot bucal juga
berperan dalam mendorong bolus ke belakang namun tidak sekuat
dorongan lidah. Setelah makanan berada di anterior faucial arches, terjadi
presipitasi rfleks menelan melalui nn. glossofaringeus. faucial arches,
terjadi presipitasi rfleks menelan melalui nn. glossofaringeus.3
B. Fase Involunter
Aspek refleks dalam menelan sangat penting karena jalan nafas harus
terlindungi selama proses ini. Fase persiapan oral dan fase oral dapat
dipersingkat dengan merubah konsistensi makanan menjadi cari,
meletakkan makanan pada bagian belakang mulut, atau dengan mengubah
posisi kepala ke belakang sehingga gaya gravitasi dapat membawa
makanan ke faring. Namun fase faringeal atau fase reflek ini tidak dapat
dipersingkat. Reflek menelan dirangsang di formatio retikularis pada otak
yang berdekatan dengan pusat respirasi. Terdapat koordinasi dari kedua
pusat ini dimana respirasi berhenti untuk memberikan waktu beberapa
detik selama proses menelan berlangsung. Terdapat juga rangsang
kortikal untuk merangsang gerakan menelan melalui bentuk gerakan lidah
pada fase oral dari menelan.
Aktifitas Neuromuskular
Pada waktu reflek menelan terjadi, pusat menelan di pusat otak
memprogram 4 aktifitas neuromuscular, yaitu :
Penutupan velofaringeal untuk mencegah refluk dari makanan ke
rongga hidung
Peristaltik faringeal untuk menyiapkan bolus melalui faring
Proteksi jalan nafas, dimana melibatkan elevasi dan penutupan laring
Sphingter cricopharyngeal atau esophagus bagian atas membuka
sehingga bolus
dapat masuk ke esophagus
Proteksi jalan nafas
Proteksi jalan nafas akibat adanya elevasi dan penutupan laring.
Elevasi disebabkan oleh kontraksi dari strap muscle, dimana posisi
laring ke atas dan ke belakang lidah pada saat basis lidah retraksi
diakhir fase oral dari menelan. Laring akan ke atas dan berada diluar
jalur yang dilalui makanan pada saat melalui basis lidah.
Peristaltik Faringeal
Peristaltik faringeal bertanggung jawab dalam membersihkan
material makanan dari resesus faringeal, termasuk valekula dan sinus
piriformis setelah proses menelan.
Krikofaringeal
Otot krikofaringeal bekerja bekerja berlawanan dengan mekanisme
otot konstriktor dari faring. Pada saat istirahat mm. konstriktor relaksasi
dan mm. krikofaringeus atau sphingter esophagus menutup untuk
mencegah masuknya udara ke dalam esophagus bersamaan dengan inhalasi
ke paru-paru. Bila bolus telah melalui daerah krikofaringeus maka dimulai
faseesophageal. Sepertiga bagian atas dari esophagus terdiri dari campuran
otot volunter dan involunter, sedang dua pertiganya secara keseluruhan
merupakan otot volunter. Sphingter esophageal bawah berfungsi sebagai
katup bagi lambung. Katup inirelaksasi pada saat bolus masuk ke dalam
lambung.
Fungsi Faring (Tonsil) dalam Proses Pertahanan Tubuh
A. Fisiologi Tonsil
Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting
dalam fase- fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari
udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu
menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-
A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen.
Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis,
barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan
kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai
indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa
pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi.
Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.
C. Tonsilitis Membranosa
- Tonsilitis difteri : Bakteri Crynebacterium diphteriae
- Tonsilitis septik : Streptokokus hemolitikus
- Angina Plaut Vincent : Bakteri Spirochaeta atau Triponema
- Penyakit kelainan darah
2.6 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut.
Amandel atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang
berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi
terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel
sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinik
tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila
bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris.
Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi
parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas,
bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub
mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit,
sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih
membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan
terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya
berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran
semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan
parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfe submandibula.
Klasifikasi tonsilitis
A. Tonsilitis akut
a. Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah
virus Epstein Barr. Hemophilus influenzae merupakan penyebab
tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxsackie, maka
pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A
streptokokus B hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumokokus, streptokokus viridan dan streptokokus piogenes.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak detritus ini menjadi satu membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat
melebar sehingga terbentuk semacam membran semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Masa inkubasi 204 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan
suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak
nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga
ini karena nyeri alih melalui saraf n. glossofaringeus (N. IX).
B. Tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis difteri
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang
termasuk Gram positif. Gambaran klinis dibagi dalam 3 golongan yaitu
gejala umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.
- Gejala umum yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, keluhan nyeri
menelan.
- Gejala lokal berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama meluas membentuk membran semu. Membran
semu ini mudah berdarah. Jika infeksi berjalan terus, kelenjar limfa
leher akan membengkak sehingga leher menyerupai leher sapi
(bullneck).
- Gejala akibat eksotoksin, menimbulkan kerusakan jaringan tubuh
yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio
cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.
b. Tonsilitis septik
Penyebab tonsilitis septik adalah Streptokokus hemolitikus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi.
c. Angina Plaut Vincent
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau
treponema yang didapat pada penderita dengan higiene mulut yang
kurang dan defisiensi vitamin C. Gejalanya demam sampai 39˚C,
nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang terdapat gangguan
pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah
berdarah.
d. Mononukleosis infeksiosa
Adalah infeksi yang disebabkan oleh virus mononukleosis
infeksiosa yang penyebarannya terjadi melalui droplet. Dengan
ditemukannya antibodi VEB melalui tes diagnostik Paul Bunnel
merupakan bukti bahwa terdapat hubungan antara virus Epstein-Barr
dengan mononukleosis infeksiosa. Pada pemeriksaan klinik didapat
tonsilofaringitis membranosa dengan limfadenopati servikalis,
bercak-bercak urtikaria pada rongga mulut, kadang-kadang
ditemukan hepatomegali atau splenomegali dan setelah minggu
pertama hitung jenis leukosit mencapai 10.000- 15.000/mm3 dengan
50% diantaranya adalah limfosit. Tonsilektomi dilakukan pada kasus
berat dengan gejala lokal seperti obstruksi jalan nafas, disfagia dan
demam yang menetap.
C. Tonsilitis kronik
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari
semua penyakit tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya
tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisk
dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat
disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus,
Streptococcus viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis
bervariasi dan diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi. Gambaran
klinis pada tonsilitis kronis bervariasi, dan diagnosis pada umunya
bergantung pada inspeksi. Pada umumnya terdapat dua gambaran yang
termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:
2.8 Penatalakasanaan
Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan
gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang
lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte
tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak
mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang. 5,7
Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam
mengurangi dan mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan
penetrasi antibiotik ke dalam parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan
antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang efektif bergantung pada
identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil. Pemeriksaan apus
permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim tonsil,
walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan
aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes
diagnostik yang menjanjikan.6
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium
tahun 1995 menetapkan : Indikasi tonsilektomi menurut The American
Academy of Otolaryngology, Head and Neck Surgery:5,8
a) Indikasi absolut:
i) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas,
disfagia menetap,
gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar.
ii) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial
iii) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak hilang
dengan pengobatan. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.
iv) Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
v) Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai
keganasan)
b) Indikasi relatif :
i) Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam
setahun
meskipun dengan terapi yang adekuat
ii) Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis
kronis tidak
responsif terhadap terapi media
iii) Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus
yang resisten
terhadap antibiotik betalaktamase
iv) Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
c) Kontra indikasi :
i) Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
ii) Usia di bawah 2 tahun
iii) Infeksi saluran nafas atas yang berulang
iv) Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak
terkontrol.
v) Celah pada palatum
2.9 Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar
keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk
air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah
2.10 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat
dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat
membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan
demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.6
Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi
yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang,
tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik
atau
pneumonia.6
2.11 Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa abses peritonsilitis, faringitis, retraksi uvula, otitis
media, rhinitis kronik, sinusitis secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh
terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul uveitis,
iridosiklitis, endokarditis, miositis, nefritis, arthritis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkolosis.5
BAB III
PENUTUP
1. Adams GL, Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT BOEIS Edisi
keenam: Anatomi dan Fisiologi Faring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.1997.
2. Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna Restuti. 2007. Tonsilitis. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 78-85.
3. Ganong, William. 2008. Pendengaran dan Keseimbangan dalam: Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC; 179-185.
4. Soepardi EA, Rusmarjono. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher : faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid.
Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007. H : 223-1.
5. Rusmarjono, Soepardi EA.2001. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring.
Buku Ajar Ilmu THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI (1)
6. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H.
Adam Malik Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal
Repository. [Accessed from: http://repository.usu.ac.id/] (2)
7. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea
(OSA) Pada Anak. Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009. (3)
8. Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F,
Allen Ed. EMedicine.com.inc.2002 : 1-10 (4)