Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PERKEMBANGAN STATUS GIZI

BAYI/BALITA DI INDONESIA

DISUSUH OLEH :

1. Ayuda Maharani 19.10.001

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES PERMATA NUSANTARA
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Perkembangan Status Gizi
Bayi/Balita di Indonesia”.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak
untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangunkan. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................
A. Latar Belakang ...................................................................................................
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................
C. Tujuan ................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................
A. Pengertian Stunting....................................................................................................
B. Pentingnya Pemberian ASI Terhadap Gizi Bayi-Balita..........................................
C. Status Perkembangan Gizi Bayi/Balita Terkait Pemberian ASI di Indonesia......
D. Upaya Pemerintah dalam Peningkatan Gizi Bayi-Balita........................................

BAB III PENUTUP........................................................................................................


A. Kesimpulan........................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Di negara berkembang, kesakitan dan kematian pada anak balita banyak dipengaruhi
oleh status gizi (Supariasa, 2001). Status gizi balita perlu dipertahankan dalam status gizi
baik, dengan cara memberikan makanan bergizi seimbang yang sangat penting untuk
pertumbuhan (Paath, 2004).
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, salah satunya
yaitu mengenai persoalan Balita Pendek (stunting). Stunting dapat di diagnosis melalui indeks
antropometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang
dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat
dari gizi yang tidak memadai. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk
mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit infeksi
(ACC/SCN, 2000).
Secara umum gizi buruk disebabkan karena asupan makanan yang tidak mencukupi
dan penyakit infeksi. Terdapat dua kelompok utama zat gizi yaitu zat gizi makro dan zat gizi
mikro (Admin, 2008). Zat gizi makro merupakan zat gizi yang menyediakan energi bagi
tubuh dan diperlukan dalam pertumbuhan, termasuk di dalamnya adalah karbohidrat, protein,
dan lemak. Sedangkan zat gizi mikro merupakan zat gizi yang diperlukan untuk menjalankan
fungsi tubuh lainnya, misalnya dalam memproduksi sel darah merah, tubuh memerlukan zat
besi. Termasuk di dalamnya adalah vitamin dan mineral.
Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini berdasarkan
laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia masuk ke dalam 5 besar
negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2007). Hasil Riskesdas
2010, secara nasional prevalensi kependekan pada anak umur 2-5 tahun di Indonesia adalah
35,6 % yang terdiri dari 15,1 % sangat pendek dan 20 % pendek.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian stunting ?
2. Apa pentingnya pemberian ASI terhadap gizi bayi-balita?
3. Bagaimana status perkembangan gizi bayi-balita terkait pemberian ASI di Indonesia ?
4. Apa saja upaya pemerintah dalam peningkatan gizi bayi – balita ?

C. Tujuan
1. Mengetahui stunting dan faktor penyebab stunting.
2. Mengetahui dan memahami pentingnya pemberian ASI pada bayi-balita terhadap gizi
bayi-balita.
3. Mengetahui status perkembangan gizi bayi-balita terkait pemberian ASI di Indonesia.
4. Mengetahui upaya pemerintah dalam peningkatan gizi bayi – balita.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Balita Pendek (Stunting)


Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat
program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita
pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak menular.
Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek
menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok
Rencana Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 – 2019. Target penurunan prevalensi
stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28%
(RPJMN, 2015 – 2019). Oleh karenanya Infodatin yang disusun dalam rangka Hari Anak –
anak Balita tanggal 8 April ini mengangkat data yang terkait dengan upaya penurunan
prevalensi balita pendek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang
Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan
severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita
sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya
berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan
panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-
MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD
dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.

Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari
kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita
selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan,
namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi
kesehatan.
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan,
karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode
1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang
dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas
kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas",
"periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka
pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik,
dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang
dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes,
kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas
ekonomi.
Upaya intervensi tersebut meliputi:
1. Pada Ibu hamil
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi
stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam
keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu
diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat
tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap
dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.

2. Pada saat bayi lahir


Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI)
saja (ASI Eksklusif)
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan anak
memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar lengkap.
4. Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk
mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhanWalaupun remaja putri secara eksplisit
tidak disebutkan dalam 1.000 HPK, namun status gizi remaja putri atau pra nikah
memiliki kontribusi besar pada kesehatan dan keselamatan kehamilan dan kelahiran,
apabila remaja putri menjadi ibu.
5. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga
termasukmeningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga
kebersihan lingkungan.PHBS menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang
dapat membuat energi untukpertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh
menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuhdan terhambatnya pertumbuhan.

Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi disebabkan oleh banyak
faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Ada beberapa faktor utama penyebab stunting (UNICEF, 2007) yaitu :
a. Asupan makan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan
yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air)
b. Asupan ASI ekslusif kurang
c. Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)
d. Riwayat penyakit (UNICEF, 2007).

B. Pentingnya Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Terhadap Gizi Bayi-Balita


Air Susu Ibu merupakan sumber gizi yang paling sempurna, baik kualitas maupun
kuantitasnya dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan
pertumbuhan bayi. ASI bukan sekedar sebagai makanan melainkan juga sebagai suatu cairan
yang terdiri dari sel-sel yang hidup (seperti darah). ASI mengandung sel darah putih, antibodi,
hormon, faktor-faktor pertumbuhan, enzim, serta zat yang dapat membunuh bakteri dan virus.
Menggunakan tata laksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup
memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan (Roesli, 2005).
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-
kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI
eksklusif sejak lahir pada anak akan mempengaruhi masukan zat gizi anak sehingga
pertumbuhan anak juga akan berpengaruh. Dengan pemberian MP-ASI (Makanan Pengganti-
ASI) dini maka konsumsi energi dan zat gizi dari ASI akan menurun yang berdampak pada
kegagalan pertumbuhan bayi dan anak (Fikawati et al., 2015). Status gizi balita merupakan
hal penting yang harus diketahui oleh setiap orangtua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh
kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada usia emas ini
bersifat irreversible (tidak dapat pulih) (Marimbi, 2010).

C. Status Perkembangan Gizi Bayi-Balita Terkait Pemberian ASI di Indonesia


Gizi merupakan suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secaranormal
melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolismedan pengeluaran zat-
zat yang tidak digunakan serta menghasilkan energi, untukmempertahankan kehidupan,
pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ (Proverawati A, 2009).
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkatkesehatan antara
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaangizi normal tercapai bila
kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Salah satu upayayang ditempuh untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal yaitu denganpeningkatan status gizi masyarakat. Penilaian
status gizi dapat dilakukan secaralangsung dan tidak langsung, salah satunya pengukuran
antropometri (Budiyanto,2002).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan danpenggunaan
zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salahsatu faktor risiko untuk
terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baikbagi seseorang akan berkontribusi
terhadap kesehatannya dan juga terhadapkemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi
masyarakat dapat diketahuimelalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data
kuantitatif maupun kualitatif (Supariasa, 2001).
Status gizi erat kaitannya dengan pertumbuhan sehingga untuk mengetahui
pertumbuhan bayi, perlu memperhatikan status gizinya. Menurut pendapat Menteri Kesehatan
RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), status gizi Indonesia saat ini lebih baik. Hal
ini dibuktikan dengan meningkatnya cakupan ASI Eksklusif dan menurunnya angka Balita
pendek (stunting) di Indonesia.
Pemberian ASI eksklusif untuk bayi yang berusia kurang dari 6 bulan secara global
dilaporkan kurang dari 40%. Secara nasional cakupan ASI untuk bayi sampai umur 6 bulan
mengalami fluktuasi, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan
cakupan ASI eksklusif bayi 0-6 bulan pada tahun 2002 sebesar 40%, tahun 2007 sebesar 32%,
dan tahun 2012 sebesar 42% (Roesli, 2005; Depkes, 2014).
Namun, sekarang dunia kini mengakui bahwa Lancet Breastfeeding Series 2016
menyebutkan ASI Eksklusif kita meningkat dari sebelumnya 38% (Riskesdas, 2013) naik
menjadi 65%.
Sementara itu, keberhasilan lainnya adalah Indonesia berhasil menurunkan angka
stunting yang sebelumnya mencapai 37,2% (Riskesdas, 2013) menjadi 29,0% berdasarkan
hasil Pemantauan Status Gizi di 496 Kabupaten/Kota dengan melibatkan 165.000 balita
sebagai sampelnya. Hasil ini diperkuat juga dengan data UNICEF yang melakukan intervensi
selama tiga tahun sejak 2011-2014 di tiga Kabupaten di Indonesia (Sikka, Jayawijaya, Klaten)
dan berhasil menurunkan angka stunting sebesar 6%.
Perlu diketahui, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi. Anak dengan stunting memiliki kelemahan dan berkorelasi
terhadap : IQ yang rendah, tinggi badan dan berat badan tidak sesuai grafik perkembangan,
serta rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu, masyarakat utamanya para remaja harus
mengerti dan memahami bagaimana merencanakan keluarga, utamanya mengenai nutrisi.
Bagaimana kesiapannya untuk menikah, hamil dan memiliki anak, serta bagaimana agar dapat
menjaga kecukupan nutrisi anak tersebut dan dirinya sendiri.

D. Upaya Pemerintah Dalam Peningkatan Gizi Bayi-Balita


Upaya perbaikan gizi sebaiknya dilakukan melalui pendekatan continuum of care
dengan fokus yang diutamakan adalah 1000 hari pertama kehidupan, yaitu mulai dari masa
kehamilan sampai anak berumur 2 tahun.Pemerintah telah mengupayakan penanggulangan
masalah gizi dengan mengembangkan suatu program yaitu usaha perbaikan gizi keluarga
(UPGK). Kegiatan utama UPGK adalah penyuluhan gizi melalui pemberdayaan keluarga dan
masyarakat .
Ketiga masalah tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Pokok permasalahan yang menyebabkan kurang gizi pada balita
adalah kurangnya pemberdayaan wanita dalam keluarga dan kurangnya pemanfaatana
sumberdaya masyarakat berkaitan dengan faktor penyebab langsung dan tidak langsung
(Azwar A, 2004). Kegiatan pengabdian masyarakat berupa penyuluhan kesehatan tentang
KADARZI akan meningkatkan pengetahuan dan peranserta ibu tentang perilaku apa saja yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan gizi balitanya. Ibu akan dapat meningkatkan gizi balita
dan keluarganya dengan berperilaku sadar gizi, antara lain; memantau berat badan balita
secara teratur setiap bulan ke Posyandu, mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam,
hanya mengkonsumsi garam beryodium, memberikan hanya Asi saja kepada bayi sampai usia
6 bulan, serta mendapatkan dan memberikan makanan tambahan bagi balitanya.

Kegiatan penyuluhan ini juga dilakukan untuk membantu mengatasi masalah gizi
makro. Strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi makro adalah melalui
pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan dan gizi, subsidi loangsung berupa dana untuk
pembelian makanan tambahan dan penyuluhan pada ibu balita gizi buruk dan ibu hamil yang
mengalami kurang gizi kronis (Depkes RI, 2006).

Disamping upaya tersebut diatas, Pemerintah juga melakukan sosialisasi perbaikan


pola asuh pemeliharaan balita, seperti promosi pemberian ASI secara eksklusif pada bayi
sampai usia 6 bulan dan rujukan dini kasus gizi kurang. Karena sampai saat ini perilaku ibu
dalam menyusui secara eksklusif masih rendah yaitu baru mencapai 39% dari seluruh ibu
yang menyusui bayi 0 – 6 bulan. Hal tersebut merupakan penyebab tak langsung dari masalah
gizi pada anak balita.
Menurut WHO, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap
di rumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang di rawat
di rumah sakit, karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu,
karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi
sehari-hari. Alternatif untuk memecahkan masalah tersebutdengan melakukan
penatalaksanaan balita gizi buruk di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas. Oleh
karena itu Pemerintah membentuk Tim Asuhan Gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan,
ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga kesehatan yang lain. Diharapkan dapat memberikan
penanganan yang cepat dantepat pada kasus gizi buruk baik di tingkat puskesmas maupun di
rumah sakit, untuk membantu pemulihan kasus gizi buruk pada anak balita.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus selalu memberikan konseling dan penyuluhan
tentang pentingnya pemberian gizi yang tepat sesuai dengan usia dan perkembangannya.
Konseling tentang gizi balita bisa dilakukan ketika posyandu diadakan, ketika ibu balita
berkunjung ke bidan desa untuk menggunakan KB. Disamping itu hendaknya tenaga
kesehatan selalu memberikan penyadaran tentang pentingnya pemberian nutrisi tepat untuk
balitanya. Hal itu bisa dilakukan melalui penyuluhan rutin, penyebaran leaflet dan
pemasangan spanduk yang berhubungan dengan pemenuhan asupan nutrisi. Kegiatan ini
diupayakan dilakukan secara berkala dan terus menerus agar ibu termotivasi untuk
memberikan makanan tambahan sesuai dengan kebutuhan dan jadwal pemberian makanan .

Artikel mengenai peningkatan gizi bayi – balita di Indonesia :


Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya banyak pekerjaan rumah untuk
mengentaskan persoalan kesehatan dan gizi masyarakat. Sebab, persoalan ini akan berdampak
terhadap kualitas sumber daya manusia.

Dalam puncak peringatan Hari Gizi Nasional ke-55, sejumlah \kementerian dan
lembaga pemerintah mulai memetakan persoalan kesehatan dan gizi masyarakat. Sejumlah
program klasik seperti imunisasi, gerakan seribu hari kehidupan pertama sampai mendorong
ASI ekslusif mulai digeber lagi.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2014-2019), sejumlah


target ambisius disusun. Di situ, pemerintah menargetkan menekan angka kematian ibu per
100 ribu kelahiran dari 346 menjadi 306 pada 2019. Lalu, angka kematian bayi per 100 ribu
kelahiran dari 32 menjadi 24 pada 2019.

Pemerintah juga punya target menurunkan prevalensi anemia ibu hamil dari 37,1
persen menjadi 28 persen. Sedangkan bayi berat lahir rendah akan ditekan dari 10,2 persen
menjadi 8 persen. Kemudian, meningkatkan bayi mendapatkan ASI ekslusif dari 41,5 persen
menjadi 60 persen.

“Pemerintah juga berkomitmen menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita


dari 19,6 persen menjadi 17 persen pada 2019 mendatang. Mengurangi angka kurus dan
sangat kurus pada balita sampai 9,5 persen dari tahun 2014 sebesar 12 persen. Terakhir,
menurunkan prevalensi stunting (tubuh pendek) dari 32,9 persen menjadi 28 persen,” kata
Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek di Jakarta, awal pekan lalu.

Nila menambahkan, tahun ini pemerintah akan fokus pada penurunan angka stunting,
balita kurus, dan gencar sosialisasi ASI ekslusif. “Strategi percepatan perbaikan gizi tahap
awal adalah membangun komitmen dan kerjasama antara pemangku kepentingan,” katanya.

Para pemangku kepentingan yang ikut berkontribusi dalam percepatan perbaikan


kesehatan dan gizi di antaranya pemerintah daerah sebagai fasilitator. Lalu, dunia usaha untuk
mengembangkan nilai nutrisi dalam produk, dan organisasi masyarakat sebagai analisis
sekaligus pelaksana di tingkat masyarakat. Sayangnya, kementerian dan lembaga pemerintah
selama ini masih berjalan sendiri-sendiri sehingga menghambat percepatan perbaikan
kesehatan dan gizi.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani


mengatakan, penanganan kesehatan dan gizi yang terpisah-pisah jadi persoalan di
pemerintahan terdahulu. “Hari ini Pemerintahan Jokowi menginginkan semua lembaga terkait
punya satu visi. Sehingga tidak sendiri-sendiri jalannya dan keberlanjutan,” katanya.

Ke depan, seluruh program terkait penanganan kesehatan dan gizi akan berada di
bawah koordinasi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Pendataan termasuk konsep dan anggaran melalui pintu Bappenas.

“Itu yang mengatur dilakukan satu pintu di Bappenas. Kemudian kordinasikan dengan
kementerian terkait. Semua program itu berbasis dengan RPJMN,” lanjut Puan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia memiliki berbagai macam masalah dalam perkembangan gizi seperti
stunting atau balita pendek, pemberian ASI, dan berbagai kendala lainnya yang
mengancam keselamatan dan kesehatan anak usia bayi dan balita. Untuk mengatasi hal
tersebut perlu adanya upaya pencegahan dari pemerintah maupun masyarakat seperti
pemberian penyuluhan akan pentingnya gizi dan sosialisasi mengenai dampak negatif
kurang gizi bagi mmasyarakat.

B. Saran
1. Pemerintah perlu gencar dalam melakukan perbaikan gizi pada bayi dan balita
2. Pemerintah perlu meningkatkan mutu pangan pada masyarakat khusunya bagi bayi
dan balita agar berbagai masalah gizi bisa dicegah.
3. Pemerataan program bulan vitamin A di Puskesmas dan Posyandu di seluruh
Indonesia.
4. Pemberian penyuluhan kesehatan pada masa kehamilan bagi ibu hamil.
5. Meningkatkan kinerja program gizi dengan memperbaiki manajemen perencanaan,
pengadaan, distribusi, dan pengawasan bantuan 20 keranga kebijakan 1000 hari
pertama kehidupan suplemen tablet zat besi dan pemeberian makan tambahan.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.varia.id/2015/02/11/upaya-pemerintah-percepat-perbaikan-kesehatan-dan-gizi-
masyarakat/#ixzz4uUz0Xi00

http://adisubagio92.blogspot.co.id/2015/01/upaya-peningkatan-status-gizi-balita.html
Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI ISSN 2442-7659

Anda mungkin juga menyukai