Anda di halaman 1dari 5

1.

Struktur Kepribadian
Erikson (Alwisol, 2009:85-88) menyatakan bahwa struktur kepribadian
manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Ego Kreatif
Ego kreatif adalah ego yang dapat menemukan pemecahan kreativitas
atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemukan
hambatan atau konflik pada suatu fase, ego tidak menyerah tetapi
bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan
kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego yg sempurna memiliki 3
dimensi, yaitu faktualisasi, universalitas dan aktualitas.

1. Faktualisasi adalah kumpulan sumber data dan fakta serta metode


yang dapat dicocokkan atau diverifikasi dengan metode yang sedang
digunakan pada suatu peristiwa. Dalam hal ini, ego berisikan kumpulan
hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang dikemas dalam
bentuk data dan fakta.
2. Universalitas adalah dimensi yang mirip dengan prinsip realita yang
dikemukakan oleh Freud. Dimensi ini berkaitan dengan sens of
reality yang menggabungkan pandangan semesta/alam dengan sesuatu
yang dianggap konkrit dan praktis.
3. Aktualitas adalah metode baru yang digunakan oleh individu untuk
berhubungan dengan orang lain demi mencapai tujuan bersama. Dalam
hal ini, ego merupakan realitas masa kini yang berusaha
mengembangankan cara baru untuk dapat memecahkan masalah yang
dihadapi, menjadi lebih efektif, progresif, dan prospektif.
Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego yang ada
pada individu bersifat tak sadar, mengorganisir pengalaman yang terjadi
pada masa lalu dan pengalaman yang akan terjadi pada masa
mendatang. Dalam hal ini, Erikson menemukan tiga aspek yang saling
berhubungan, yaitu body ego, ego ideal dan ego identity, yang umumnya
akan mengalami perkembangan pesat pada masa dewasa meskipun
ketiga aspek tersebut terjadi pada setiap fase kehidupan.
1. Body ego merupakan suatu pengalam individu terkait dengan tubuh
atau fisiknya sendiri. Individu cenderung akan melihat fisiknya berbeda
dengan fisik tubuh orang lain.
2. Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang
sempurna. Individu cenderung akan berimajinasi untuk memiliki konsep
ego yang lebih ideal dibanding dengan orang lain.
3. Ego identity merupakan gambaran yang dimiliki individu terkait
dengan diri yang melakukan peran sosial pada lingkungan tertentu.
2. Ego Otonomi Fungsional
Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada penyesuaian ego
terhadap realita. Contohnya yaitu hubungan ibu dan anak. Meskipun
Erikson sependapat dengan Freud mengenai hubungan ibu dan anak
mampu memengaruhi serta menjadi hal terpenting dari perkembangan
kepribadian anak, tetapi Erikson tidak membatasi teori teori hubungan id-
ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Erikson
(Alwisol, 2009:86) menganggap bahwa proses pemberian makanan pada
bayi merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan lingkungan
sosialnya.

Lapar adalah menifestasi biologis, dan konsekuensinya akan


menimbulkan kesan terhadap dunia luar bayi ketika mendapat pemuasan
id yang dilakukan oleh ibu. Bayi belajar untuk mengantisipasi interaksi
dalam bentuk basic trust  pada saat diberi makan oleh ibunya. Basic
trust yang dimaksud yaitu suatu kepercayaan dasar anak yang
memandang kontak dengan manusia dan dunia luar adalah hal yang
sangat menyenangkan karena pada masa lalu (bayi) hubungan tersebut
menimbulkan rasa aman dan menyenangkan terhadap dirinya.
3. Pengaruh Masyarakat
Pengaruh masyarakat adalah pembentuk bagian tersebesar ego,
mesikipun kapasitas yang dibawa sejak lahir oleh individu juga penting
dalam perkembangan kepribadian. Erikson mengemukakan faktor yang
memengaruhi kepribadian yang berbeda dengan Freud. Meskipun Freud
menyatakan bahwa kepribadian dipengaruhi oleh biologikal, Erikson
memandang kepribadian dipengaruhi oleh faktor sosial dan historikal.
Erikson (Alwisol, 2009:88) menyatakan bahwa potensi yang dimiliki
individu adalah ego yang muncul bersama kelahiran dan harus ditegakkan
dalam lingkungan budaya. Anak yang diasuh dalam budaya masyakarat
berbeda, cenderung akan membentuk kepribadian yang sesuai dengan
nilai-nilai dan kebutuhan budaya sendiri.

1. Dinamika Kepribadian
Feist dan Feist (2008, 215-217) menyatakan bahwa perwujudan dinamika
kepribadian adalah hasil interaksi antara kebutuhan biologis yang
mendasar dan pengungkapannya melalui tindakan-tindakan sosial. Hal ini
berarti bahwa perkembangan kehidupan individu dari bayi hingga dewasa
umumnya dipengaruhi oleh hasil interaksi sosial dengan individu lainnya
sehingga membuat individu menjadi matang baik secara fisik maupun
secara psikologis. Erikson (Alwisol, 2009:87) menyatakan bahwa ego
adalah sumber kesadaran diri indvidu. Ego mengembangkan perasaan
yang berkelanjutan diri antara masa lalu dengan masa yang akan datang
selama proses penyesuaian diri dengan realita.

Friedman dan Schustack (2006, 156) mengemukakan bahwa ego


berkembang mengikuti tahap epigenik, artinya tiap bagian dari ego
berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam rentang waktu
tertentu. Menurutnya, semua yg berkembang mempunyai rencana dasar,
dan dari perencanaan ini muncul bagian-bagian, masing-masing bagian
mempunya waktu khusus utk menjadi pusat perkembangan, sampai
semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi.
1. Tahap Perkembangan
Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang saling
berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap bergantung pada hasil
tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah
pentingnya bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus
mengembangkan kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi tiap
tuntutan penyesuaian dari masyarakat (Berk, 2003). Berikut adalah
delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson (Berk,
2003):

1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)


Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan
dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang
anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan
mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan,
individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa
percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan
dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya.
2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas
tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya
untuk mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan
perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak, tepatnya otonomi.
Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-
aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka
mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan. Alwisol (2009:93)
melanjutkan bahwa apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka
anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya
dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya.

3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)


Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan
melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini
akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat
keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri
yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia
dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka
keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.

4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)


Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan
kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik.
Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang
dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh.
Keterampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak
yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu
mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior.
5. Tahap V : Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun)
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis
seperti orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di
lain pihak anak dianggap dewasa tetapi di sisi lain dianggap belum
dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari
identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua
sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun
peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Apabila anak tidak sukses
pada fase ini, maka akan membuat anak mengalami krisis identitas,
begitupun sebaliknya.

6. Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30


tahun)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi
dengan orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk
membentuk ikatan sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila
individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego yang
diperoleh adalah cinta.

7. Tahap VII: Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah,


30-65 tahun)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai
balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan
sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa
depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan
menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan
membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka
ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian, sedangkan bila individu
tidak sukses melewatinya maka akan merasa bahwa hidupnya tidak
berarti.

8. Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65


tahun ke atas)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa
lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu
itu terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk
mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun.
Apabila individu sukses melewati faase ini maka akan timbul perasaan
puas akan diri, sedangkan apabila mengalami kegagalan dalam melewati
tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa putus asa.

1. Kelebihan dan Kekurangan


Kelebihan:

1. Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri


dengan pengaruh sosial.
2. Erikson memandang ego sebagai struktur kepribadian yang otonom,
serta berfokus pada kualitas ego yang muncul di setiap periode
perkembangan.
3. Tahap perkembangan lebih kompleks karena mengembangkan teori
insting Freud. Namun Erikson tidak memusatkan seks sebagai hal yg
mendasari manusia.
4. Menekankan bahwa perubahan pada setiap tahap perkembangan
sangat penting sehingga individu berusaha semampu mungkin untuk
melewatinya.
Kekurangan

1. Nilai ilmiah penelitian yang dilakukan Erikson tidak begitu akurat.


Observasi dan analisis penelitian hanya dilakukan secara subjektif
seperti halnya tokoh psikoanalisis yang lain.

Anda mungkin juga menyukai