Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rohmat Arif

NPM : 21601012010

Prodi : AS A

Mata Kuliah : Sosiologi Hukum

Dosen : H. Khoirul Asfiyak, M.Hi

Pencuri Cacing Di Kawasan TNGGP Dalam Perspektif Teori


Formalisme Jhon Austin

A. Artikel Rumusan Mazhab Formalisme Jhon Austin

Hukum adalah perintah dari penguasa (law is command of a lawgiver ), yang berarti
perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Menurut
Austin (1790-1859), hukum adalah “perintah yang dibebankan” untuk mengatur makhluk
berfikir, perintah yang dikeluarkan oleh mahluk berfikir yang memegang dan mempunyai
kekuasaan. Selanjutnya menurutnya hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap
dan bersifat tertutup (closed logical system), dank arena ajarannya dinamakan Analitical
Jurisprudence hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai
yang baik dan buruk. Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada
karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi
tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya
hanya oleh perintah- perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk
bertindak untuk menaati hukum tersebut, Dalam bukunya The Province of Jurisprudence
Determined (1790-1859), Austin menyatakan, hukum adalah perintah yang mengatur orang
perorang. Hukum berasal dari pihak superior (penguasa) untuk mengikat atau mengatur pihak
inferior. hukum adalah perintah yang memaksa dan mengikat, yang dapat saja bijaksana dan
adil, atau sebaliknya. Austin membagi hukum menjadi dua bentuk yakni:

1. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine law);


2. Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
a. Hukum yang sebenarnya (hukum positif), seperti
i. Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan
pemerintah dan lain-lain;
ii. Hukum yang dibuat oleh rakyat secara individual, misalnya hak wali terhadap
orang yang berada dibawah perwalian
b. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dianggap sebagai hukum
karena tidak ditetapkan oleh penguasa/badan yang berdaulat seperti ketentuan-
ketentuan yang dibuat oleh badan keolahragaan atau mahasiswa.

Konsep yang mendasar terhadap hukum yang analitik adalah yang memuat ketentuan
perintah, sanksi dan kedaulatan. Pertama, perintah menghendaki orang lain untuk melakukan
kehendaknya. Kedua, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan (sanksi) bagi yang
tidak melaksanakannya. Ketiga, perintah tersebut adalah pembedaan kewajiban anatara yang
diperintah dengan yang memerintah. Keempat, perintah tersebut hanya akan terlakasana jika
pihak yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.

Dalam memberikan rumusan tentang hukum, Austin menggantikan “cita-cita tentang


keadilan (ideaof justice) dengan “perintah yang berdaulat” (comend of sovereign)
sebagaimana dijelaskan oleh Austin “Positif law… is the set by sovereign person, or a
sovereign body of person, to members of independent political society wherein that person or
bady is sovereign pr supreme”

Pada akhirnya, pokok-pokok pikiran dari analytical jurisprudence dapat disimpulkan sebagai
berikut:

1. Tidak mendasarkan pada penilaian baik dan buruk, karena penilaian tersebut berada
diluar bidang hukum;
2. Memisahkan antara moral dan hukum;
3. Pandangannya bertolak belakang dari mazhab sejarah dan mazhab hukum alam;
4. Hakikat dari hukum adalah perintah dari kekuasaan yang berdaulat;
5. Kedaulatan berada diluar hukum, baik didalam politik dan sosiologis masyarakat yang
tidak perlu dipersoalkan karena merupakan sebuah kenyataan;
6. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan ruang bagi hukum yang hidup dalam
masyarakat.

Menurut analitycal jurisprudence, hukum merupakan perintah dari penguasa yang


tertinggi, begitu pula halnya hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia yang berupa undang-
undang, undang-undang tersebut dibuat oleh DPR bersama dengan Presiden. Dalam hal ini,
undang-undang berlaku di seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia. Begitu pula dengan suatu
peraturan yang berlaku di suatu wilayah tertentu dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, yakni
Perda. Perda dibuat oleh DPRD tingkat I berserta Gubernur. Jadi, antara analitycal
yurisprudence dan hukum positif Indonesia memiliki keterkaitan.

B. Kronologi Kasus

Didin (48) warga kampong rarahan, desa cimacan, kecamatan cipanas, sehari-hari
menghidupo keluarganya dengan berdagang asongan di kebun raya Cibodas. Dia menjual
jagung, kopi tubruk, dan kupluk. Namun belakangan nasibnya tidak beruntung, karena gara-
gara cacing dia ditahan dan teranca hukuman 10 tahun penjara.

Semula berawal saat Didin mencari dan mengambil cacing sonari untuk obat di kawasan
Taman Nasional Gunung Gede Pangarango (TNGGP). Biasanya didin mencari cacing hanya
untuk keperluan pengobatan, tapi kemudian ada orang yang datang padanya untuk dicarikan
cacing dan akan di beli seharga Rp 40 ribu per cacing. Selang beberapa hari rumah didin
didatangi oleh 10 petugas kehutanan dan didampingi apparat kepolisian, mereka
menggeledah di dalam dan luar rumah, akhirnya mereka menemukan bukti ember yang berisi
cacing sonari, akhirnya didin dibawa ke polres cianjur dan istrinya mendarangani surat
penahanan yang berisi bahwa didin dituduh sebagai pelaku perusak hutan dengan aktivitas
mencari cacing.

Namun apa daya, dia di tuduh merusak hutan dengan menebang pohon saat mencari
cacing sonari itu, namun kepala seksi perancanaan perlindungan dan pengawetan balai besar
TNGGP aden mahyar menyebutkan bahwa yang di persoalkan bukan aktivitas, melainkai
status kawasan. Didin dianggap melanggar pasal 78 (5) dana tau ayat (12) jo pasal 50 ayat (3)
huruf e dana tau huruf m undang undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Didin pun
teranca hukuan 10 tahun penjara dan di tahan di markas Polres cianjur 24 maret 2017 sambil
menjalani proses hukum.

Dedi mulyadi selaku bupati purwakarta ikut turun tangan terkait kasus ini karena
meningat didin adalah warga yang kurang mampu, Dedi memberikan pendapingan hukum
kepada tersangka, dan juga menjamin hidup keluarga didin selama menjalani proses hukum,
Selang beberapa bulan Dedi mengajukan penagguhan ke kejaksaan negeri cianjur dan
akhirnya kejaksaan mengabulkan penangguhan penahanan Didin. Akhirnya 23 mei 2017
Didin menjadi tahanan kota, dan Dedi menjamin Didin tidak akan melarikan diri dan tidak
mengulangi perbuatannya.
C. Analisis kasus

Pada proses pelimpahan berkas perkara hingga menjalani proses persidangan, prinsip-
prinsip kepastian hukum lebih diutamakan. Dalam pandangan hukum memang jelas bahwa
78 (5) dana tau ayat (12) jo pasal 50 ayat (3) huruf e dana tau huruf m undang undang nomor
41 tahun 1999 tentang kehutanan “setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang” jika dilihat dalam undang undang dan melihat hakim memakai mazhab
formalisme, memang jelas bahwa dia bersalah telah memasuki taman nasional, namun jika di
teliti lebih dalam, Didin sebatas mengambil cacing sonari yang bukan termasuk satwa
dilindungi, cacing tersebut sejatinya bukan untuk di jual melainkan untuk dijadikan obat,
Didin berdalih bahwa dia mengambil cacing soneri yang ada di atas tanah dan tidak merusak
apapun apalagi merusak ekosistem.

Namun dalam sisi kemanusiaan sejatinya Didin seharusnya di lakukan pembinaan tanpa
ada pelipahan hukum karena sifatnya pelanggaran bukan tindak pidana, namun persidangan
tetap berlangsung tanpa melakukan pendekatan kemanusian dan rasa keadilan masyarakat.
Mereka seakan di paksa oleh hukum untuk menjalani proses tersebut, disini hukum sekaan
tidak memihak rakyak kecil, namun apa daya, hakim menggunakan mazhab formalisme yang
mengeyapingkan moral dan hukum, hakim lebih mementingkan apa yang di perbuat dan
mengadilinya secara tertulis yang ada di dalam undang undang. Namun penahanan didin
akhirnya di alihkan menjadi tahanan kota, namun mengingat kasus yang di lakukannya,
seharusnya di berlakukan pembinaan tanpa proses hukum penahanan,

Anda mungkin juga menyukai