Anda di halaman 1dari 10

HUKUM KEPEGAWAIAN (A)

Problem Solving Penundaan


Penyelenggaraan Pilkada Ditengah
Pandemi Covid-19 di Tahun 2020

Penyusun :

WILDAN MA’RUF NURWACHID (170710101173)

Dosen Pengampu :
IWAN RACHMAD SOETIJONO, S.H, M.H.
NIP: 197004101998021001

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2020

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pandangan politik, keberlangsungan pemilihan 2020 adalah
mata air di kemarau ketidakpastian pandemik. Penyelenggaraan pemilihan
menjawab semua ikhtiar politik para calon kepala daerah. Usaha
komunikasi politik sebelum pandemik Covid-19 akan terjawab dengan
sendirinya. Dengan demikian, calon peserta pemilihan bisa mengurangi
pengeluaran yang berlebih saat pandemik. Karena anggaran kompetisi
politik tidak mencapai surplus maksimal. Meskipun begitu, calon
penguasa lokal tetap mengeluarkan biaya tak terduga. Biaya politik
pilkada akan bertambah yang berhubungan langsung dengan kebutuhan
pokok para pemilih. Meskipun ada pilihan memperkuat aturan politik
uang. Sulit dipercaya ada pengurangan biaya tidak terduga para calon
kepala daerah. Karena, kehidupan pemilih tergantung pada kebijakan
ekonomi nasional dan kepedulian sosial setiap orang .
Dilain sisi, potensi gugatan teknis penyelenggaraan akan memasuki
arena penegakan hukum. Ruwet juga membingungkan. Perselisihan antar
peserta dengan peserta, masalah peserta dengan Penyelenggara, persoalan
administrasi, pidana pemilihan, perselisihan hasil, dan juga penegakan
etika Penyelenggara Pemilu. Hukum saat pandemik adalah hukum luar
biasa. Tergantung penafsiran yang merasa dirugikan. maju. Dalam setiap
masyarakat, hukum lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam
masyarakat dan penjaminan struktur sosial yang diharapkan oleh
masyarakat. Namun demikian, dalam masyarakat yang sudah maju, hukum
menjadi lebih umum, abstrak, dan lebih berjarak dengan konteksnya.
Menurut teori hukum, bahwasanya hukum memainkan peranan yang
penting dalam suatu masyarakat, dan bahkan mempunyai multifungsi
untuk kebaikan masyarakat, demi mencapai keadilan, kepastian hukum,
ketertiban, kemanfaatan, dan lain-lain tujuan hukum.
Akan tetapi, keadaaan sebaliknya dapat terjadi bahkan sering
terjadi, dimana penguasa negara menggunakan hukum sebagai alat untuk
menekan masyarakat, agar masyarakat dapat dihalau ketempat yang
diinginkan oleh penguasa negara. Perubahan sosial dalam hubungannya
dengan sektor hukum merupakan salah satu kajian penting dari disiplin
Sosiologi Hukum. Hubungan antara perubahan sosial dan sektor hukum
tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh
perubahan sosial terhadap perubahan sektor hukum sementara di lain
pihak perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu perubahan
sosial. Perubahan hukum yang dapat memengaruhi perubahan sosial.
Merujuk ke dalam kajian hukum tata negara darurat, penetuan
keadaan darurat ini masih dalam lingkup staatsnoodrecht, dimana negara
diwajibkan mengeluarkan kebijakan untuk menghadapi situasi darurat
(Asshiddiqie, 2012). Implementasi kebijakan tersebut tertuang kedalam
penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar berupaPembatasan-
pembatasan yang mulai dilakukan dan himbauan untuk menghindari
kegiatan yang melibatkan orang banyak mulai diterapkan. Yang baru-baru
ini pemerintah menetapkan kebijakan larangan mudik guna memutus mata
rantai penyebaran wabah pandemic covid-19.
Jika melihat secara masif dan komprehensif, akibat dari pandemi
ini ternyata berdampak keberbagai lini sektor, salah satunya ialah sektor
ketatanegaraan. Kebijakan penundaan agenda ketatanegaraan mulai
dilakukan dan menjadi pertimbangan. Dalam hal ini, yang menjadi sorotan
adalah ketika pandemi datang pada saat tahun politik yakni agenda
pemilihan kepala daerah.

a) Rumusan Masalah
1. Apakah pemilihan saat pandemi covid-19 bisa diselenggarakan??

b) Tujuan
1. Mengetahui penjelasan mengenai pelaksaan pilkada saat pandemi
covid-19.

. BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesepakatan Politik
Dalam pandangan politik, keberlangsungan pemilihan 2020 adalah
mata air di kemarau ketidakpastian pandemik. Penyelenggaraan pemilihan
menjawab semua ikhtiar politik para calon kepala daerah. Usaha
komunikasi politik sebelum pandemik Covid-19 akan terjawab dengan
sendirinya. Dengan demikian, calon peserta pemilihan bisa mengurangi
pengeluaran yang berlebih saat pandemik. Karena anggaran kompetisi
politik tidak mencapai surplus maksimal. Meskipun begitu, calon
penguasa lokal tetap mengeluarkan biaya tak terduga. Biaya politik
pilkada akan bertambah yang berhubungan langsung dengan kebutuhan
pokok para pemilih.
Meskipun ada pilihan memperkuat aturan politik uang. Sulit
dipercaya ada pengurangan biaya tidak terduga para calon kepala daerah.
Karena, kehidupan pemilih tergantung pada kebijakan ekonomi nasional
dan kepedulian sosial setiap orang (baca: calon kepala daerah). Dilain sisi,
potensi gugatan teknis penyelenggaraan akan memasuki arena penegakan
hukum. Ruwet juga membingungkan. Perselisihan antar peserta dengan
peserta, masalah peserta dengan Penyelenggara, persoalan administrasi,
pidana pemilihan, perselisihan hasil, dan juga penegakan etika
Penyelenggara Pemilu. Hukum saat pandemik adalah hukum luar biasa.
Tergantung penafsiran yang merasa dirugikan.
Teori tentang perubahan sosial dalam hubungannya dengan sektor
hukum merupakan salah satu teori besar dalam ilmu hukum. Hubungan
antara perubahan sosial dengan sektor hukum tersebut merupakan
hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial
terhadap perubahan sektor hukum, sementara di pihak lain, perubahan
hukum juga berpengaruh terhadap suatu perubahan sosial. Perubahan
hukum yang dapat mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah
satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial,
atau sarana merekayasa masyarakat (social engineering). Jadi, hukum
merupakan sarana rekayasa masyarakat (a tool of social engineering),
suatu istilah yang pertama dicetuskan oleh ahli hukum Amerika yang
terkenal yaitu Roscou Pound.1
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran
Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada
”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam
masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi
tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological
Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis
sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum
(positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap
pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi
hukum.2
Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk
menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan
perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban
sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi
utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang
dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk
melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum
saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga,
pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur
ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan
positivistik. Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah
sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk
kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian
hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang
memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu,
melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya
1
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prennamdeia
Group, 2013), hal 248
2
Ibid.,
terletak pada konsep “kepentingan”. Ia mengatakan bahwa sistem hukum
mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-
kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas
kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan
serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak positif serta
dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha
menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui
dan ditetapkan.
Oleh sebab itu, perlu kesepakatan politik. Sekurangkurangnya,
pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Tri Patrit Penyelenggara
Pemilu, lembaga peradilan yang berhubungan dengan pilkada, penggiat
dan pengamatan pemilihan, serta penguasa jagat media sosial yang maha
benar. Kesepakatan politik yang dianggap sama-sama memastikan
demokrasi lokal berjalan dengan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa
serta benar. Baik untuk semua dengan cara yang benar.
Kesepakatan politik juga penting bagi sesama peserta politik. Baik
kandidat yang didukung oleh partai politik. Maupun calon perseorangan
atau calon tunggal. Merekalah aktor utama yang bisa berperan sebagai
tokoh yang baik atau penjabat di perfilman demokrasi lokal. Jika aktor
politik bersepakat. Setengah dari masalah administrasi, proses, hasil, dan
etika pemilihan bisa diselesaikan.

B. Kualitas Demokrasi.
Akan tetapi, kesepakatan politik harus mendahulukan keinginan
dalam menyelamatkan demokrasi lokal. Maksudnya, kesepakatan politik
tidak boleh melanggar apa yang dilarang. Oleh karena itu, kesepakatan
politik dari aktor-aktor politik membutuhkan jiwa negarawan sejati. Jiwa
pancasilais yang mendahulukan kepentingan pemilihan demokratis.
Sebuah mimpi yang sulit tercapai, bahkan dalam kondisi biasa-biasa saja.
Kualitas demokrasi lokal tergantung pada tiga aspek utama.
Pemilih yang bisa menggunakan hak pilihnya. Peserta pemilihan
yang mendapatkan ruang politiknya. Serta, penyelenggara pemilihan yang
menjamin teknis tahapan dan hasil sesuai dengan landasan pemilihan yang
demokratis. Indikator pertama, pemilih yang terdaftar tanpa terkecuali
adalah syarat utama. Kemudian, pemilih yang mendapatkan informasi
terbaik. Lalu, pemilih yang menggunakan hak pilihnya dan suaranya
dihitung penuh tanpa ada suara yang tidak sah. Itu adalah mimpi berat
yang harus diusahakan oleh peserta dan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa negara harus secara cepat dan sigap
untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tentang Penundaan Pilkada. Hal ini setidaknya memberikan status
legalitas penundaan dan menjamin adanya suatu kepastian hukum dalam
proses ketatanegaraan.
Maka apabila negara sudah tepat secara responsif menanggapi
penundaan pilkada melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
-Undang dengan segala pertimbangan hukum dan berbagai bidang kajian
lainnya. Maka hukum telah dapat berjalan sebagaimana fungsi yang
menurut Mochtar Kusuma Adtmaja bahwa “hukum harus bisa dijadikan
sarana untuk memecahkan problematika dalam penyelenggaraan Negara”
(Kusumaatmadja, 2002).

Daftar Pustaka
Jurnal:
 Buana, Dana Riksa, "Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia dalam
Menghadapi Pandemi Virus Corona (Covid-19) dan Kiat Menjaga
Kesejahteraan Jiwa," Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, Volume 7,
No. 3 (2020).
 Harian Republika pada 20 Maret 2020
http://perludem.org/2020/03/20/opsi-penundaan-pilkada-oleh-titi-
anggraini/ Maggalatung, A.S.; Aji, A.M.; Yunus, N.R. How The Law
Works, Jakarta: Jurisprudence Institute, 2014.
 Yunus, N.R.; Rezki, Annissa. "Kebijakan Pemberlakuan Lock Down
Sebagai Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19," Salam: Jurnal
Sosial dan Budaya Syar-i, Volume 7, No. 3 (2020).
 Asshiddiqie, J. (2012). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:
Rajawali Press.

Anda mungkin juga menyukai