Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

FISIOTERAPI PADA STEVEN JOHNSON SYNDROME

Oleh:

Gusti Ayu Alit Triwahyuni

NIM. 1602541030

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI SARJANA FISIOTERAPI DAN PROFESI
FISIOTERAPI
2020
A. PENGERTIAN
Steven jhonson syndrome merupakan dermatitis akut maupun berat dengan
karakter hilangnya epidermis dan multisite muskositis yang berbuhungan dengan
gangguan sistemik (Creamer et al., 2016). Stevan jhonson syndrome biasa terjadi
pada kulit, selaput lender (seperti rongga mulut) dan mata (Fitriany & Alratisda,
2019).

B. PATOFISIOLOGI
Steven jhonson syndrome dapat disebabkan oleh obat, bakteri, virus,
penyakit keganasan, vaksin, kehamilan, radioterapi, penyakit kolagen vascular.
Patogenesis steven johnson syndrome saat ini belum jelas, menurut Fitriany &
Alratisda (2019) steven johnson syndrome disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe
III dan IV.
1. Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan
menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi
sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
di dalam pembuluh darah atau jaringan. Reaksi tipe ini mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau
kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut
dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-
enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut

2. Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi


berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan
sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini terjadi pengaktifan sel T sebagai
penghasil limfokin suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Pada beberapa kasus dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3,
dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa karier/ hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Karier/hapten tersebut dapat berupa faktor penyebab (seperti virus, partikel
obat atau metabolitnya). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah
kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator
yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis
lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas
mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga
mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan
epidermis.

Proses hipersensitivitas, akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit


seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress
hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.

C. KLASIFIKASI STEVEN JOHNSON SYNDROME

Steven jhonson syndrome diklasifikasikan menjadi 3 menurut luas lesi pada


body surface area (BSA) dan mukosa yaitu,
1. Steven Jhonson Syndrome dengan luas lesi <10%
2. Stven jhonson syndrome – toxic epidermal necrolysis overlap dengan luas lesi
10% - 30%
3. Toxic epidermal necrolysis dengan luas lesi >30%
Ste
Reaksi ven Reaksi
Gambar 1. Perbedaan SSJ, SSJ-TEN overlap, TEN

Hipersen Joh
( Sumber: Witarini, 2019)
Hipersensiti
sitivitas nso vitas Tipe IV
Keru
n
Tipe III Limfosit T
Fase saka
Syn
Fase Fase
Terbentu yang
n
dro
Aku Reha
Eme
knya tersintesisas
Pad
me
komplek
rgen t i bilita
berkontak
a
antigen
t Fase kembali
tif
Kulit
Gambar 2. SJS-TEN pada palmar Gambar 3. SJS-TEN pada leher,
antibody akut
(Sumber: Creamer, 2016) dengan
dada, dan perut
Inter
Ata Beru (Sumber: Creamer, 2016)

yang antigen yang


u mer
pa vensi
mikro sama
Res
presitipas
upa
Luka pada
kemudian
Bak
kan fase
i usta limtokin
tif
sehingga fase reha
dilepaskan
Pad
terjadi beri bilita
sebagai
aktifitas
a
D. MASALAH FISIOTERAPI kutn reaksi
tif
Pada kasus steven jhonson syndrome, menurut McDonald et. al. (1989)
sistem
fase ya radang.
inten
fisioterapi dibutuhkan pada kasus yang berat. Manifestasi klinis yang disebabkan

komplem Adanya
sindrom ini memiliki karakteristik yang sama dengan luka bakar. Permasalahan

dari sif
ini
fisioterapi yang didapat pada kasus steven jhonson syndrome antara lain:

en. Hal
1. Edema
reaksi imun
inte
2. Gangguan mobilitas
fase pada
ini
3. Gangguan status respirasi
sitotoksik
rven eme
4. Penurunan aktifitas fungsional

menyeba juga
:
E. INTERVENSI FISIOTERAPI
bkansi rgen -Scar
mengakibatk
Manajemen luka bakar karena steven jhonson syndrome menurut guideline

difo
siklus t
1. Fase Emergent Atau Resustatif anman
Bringham and Womans Hospital dibagi menjadi tiga fase yaitu :
apoptosis
Pada fase ini intervensi difokuskan pada positioning hingga pasien stabil.
kusk
peradang sam ajem
keratinosit
2. Fase Akut
an an pai yang
ent
Fase akut merupakan fase berikutnya dari fase emergent sampai luka
tertutup. Fase ini memerlukan intervensi yang komprehensif yaitu (Procter,
berkelanj
pad
2010) luka akhirnya
-
utan a. Positioning

tert menyebabka
Rang
a Positioning dilakukan mulai hari pertama. Positioning sangat

n kerusakan
penting untuk meminimalisir efek samping dari scar tissue yang

posi utu e of
memungkinkan terjadinya keterbatasan ROM atau menghambat

epidermis.
berkurangnya ROM. Positioning ini juga dapat disebut anti-

tioni p.
contracture positioning.
moti
Anti-contracture position ini dapat didukung dengan penggunaan

ng Fase on
splint. Splint sangat disarankan pada pasien yang mengalamai nyeri
yang tidak dapat ditahan.

hing ini (RO


ga me M)
pasi mer dan
stab n k
il. inte stret
b. Stretching & Early Mobilization
rven ching
Stretching dan early mobilization dilakukan pada area yang sehat
dan sakit (kondisional). Hal ini dilakukan agar tidak terjadi stiffness

si -
karena efek imobilisasi. Stretching dapat dilakukan secara aktif pada
area yang sehat dan passive / assistive pada area yang sakit dengan

kom Latih
ROM maksimal yang bisa dilakukan pasien. Stretching & early
mobilization dapat dilakukan 5-10 repetisi atau semampu pasien.

c. Scar management
pre an
hen mobi
Scar management dilakukan dengan pressure therapy dengan
menggunakan pressure garment. Preaseure garment dapat digunakan

sif litas
secepatnya dan digunakan selama 23 jam serta dilepas jika akan
dicuci atau luka berair.

d. Edukasi yait -
Edukasi dapat diberikan kekeluarga pasien maupun pasien agar
u: Eduk
motivasi pasien untuk sembuh meningkat. Motivasi yang baik pada
pasien dapat mempercepat pemulihan.
- asi
e. Menjaga Respirasi Pasien

Posi -
Menjaga respirasi pasien dalam kondisi baik agar suplai oksigen
ke area luka tetap ada/ meningkat. Latihan respirasi dapat dilakukan
tioni Latih
dengan Breathing Exercise berupa deep breathing exercise dimana
pasien diminta menarik nafas panjang kemudian ditahan 3- 5 detik
lalu dihembuskan keluar (Lewis et.al., 2012).
ng an
3. Fase Rehabilitatif
- aktifi
Intervensi pada fase rehabilitative intensif pada (Procter, 2010):
a. Scar dan Skin Management
Stre tas
Skin management dilakukan dengan mengaplikasikan moisturizer
dan massage. Massage yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien,
diantaranya: tchi fungs
ng ional
-
Mo
bilit
- y
Bekas luka bakar tebal dan menggelembung taerisi cairan akan
menyebabkan plastisitas, pada kasus ini dapat dilakukan deep

-
-
firm massage untuk mengurangi cairan diarea bekas luka.
Bekas luka bakar mengandung 4x lebih banyak kolagen

Skin
dibandingkan bekas luka yang lainnya yang akan meningkatkan
kepadatan dan ketebalan pada bekas luka. Pada kasus ini dapat

-
&
diberikan deep massage.
Pada kasus luka bakar juga dapat terjadi gangguan sensoris dan

scar
perubahan sensasi cutaneus. Regular massage akan membantu
bekas luka yang desensitasi/ hipersensitif.

man
b. Menjaga Range of Motion (ROM) dan Stretching
Latihan ROM difase ini sudah dapat dilakukan secara assistive
age
maupun aktif oleh pasien dan dilakukan sebanyak 5-10 repetisi atau
semampu pasien.
, men
c. Latihan aktifitas fungsional dan Latihan Ambulasi
t
Latihan ini bertujuan meningkatkan aktivitas pasien dan transfer
posisi pasien

d. Edukasi,
-
Edu
Edukasi dapat diberikan pada pasien agar mau membuka diri
terhadap kehidupan sosial seperti sebelumnya. Edukasi juga diberikan

kasi
pada keluarga pasien agar memberikan motivasi pada pasien dan
membantu pasien untuk rehabilitasi sosial.

-
Bala
nce
-
End
nce
-
D. ALGORITMA STEVEN JHONSON SYNDROME

Kon
disi
resp
irasi

DAFTAR PUSTAKA

Brigham and Women’s Hospital. Standar of Care: Inpatient Physical Therapy


Management of Patients with Burns

Creamer D., Waish WA., Dzlewulski P., et, al. 2016. U.K. Guideline For The
Management of Stevens-Jhonson Syndrome/ Toxic Epidermal Necrolysis in Adult
2016. British Journal of Dermatology

Fitriany J., Alratisda F.. 2019. Stevens Jhonson Syndrome. Jurnal Averrous

Lewis LK., Williams WT., & Olds TS. 2012. The active cycle of breathing technique: A
systematic review and meta-analysis. Respiratory Medicine, 106(2),
McDonald K., Jhonson B., Prasad JK., et, at. 1989. Rehabilitative Considerations for
Patiens with Severe Stevens-Jhonson Syndrome or Toxic Epidermal Necrolysis A
Case Report. Journal of Burn Care & Rehabilitation

Procter F. 2010. Rehabilitation of The Burn Patient. Indian J Plast Surg

Witarini KA. 2019. Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Stevens-Jhonson (SJS) Pada
Anak Tinjauan Pustaka. Intisari Sains Medis 2019

Anda mungkin juga menyukai