Anda di halaman 1dari 24

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lanjut Usia (Lansia)

Terdapat banyak batasan mengenai definisi lansia. Menurut World

Health Organization (WHO) lansia dibagi menjadi empat yaitu usia pertengahan

(45 - 59 tahun), lanjut usia (60 - 74 tahun), lanjut usia tua (old) (75 - 90 tahun) dan

usia sangat tua (very old) (90 tahun ke atas). Sedangkan menurut Undang Undang

no 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yaitu Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 lansia

didefinisikan sebagai seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas

(BKKBN, 2014).

2.2 Gangguan Kognitif pada Lansia

Penurunan fungsi kognitif pada lansia merupakan penyebab terbesar

terjadinya ketidakmampuan dalam melakukan aktifitas normal sehari-hari dan

merupakan alasan tersering yang menyebabkan terjadinya ketergantungan

terhadap orang lain untuk merawat diri sendiri. Proses penuaan menyebabkan

kemunduran kemampuan otak (Suharnan, 2005).

2.2.1 Domain Kognitif yang Terganggu pada Lansia

Kemampuan kognitif yang menurun secara linier atau seiring dengan

proses penuaan adalah: daya ingat (memori), berupa penurunan kemampuan

penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah

tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory).


2

Intelegensia dasar (fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak bagian

kanan yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal, pemecahan

masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan perhatian dan

konsentrasi (Suharnan, 2005).

Kemunduran fungsi kognitif pada lansia secara umum dapat berupa mudah

lupa (forgetfulness) yaitu bentuk gangguan kognitif yang paling ringan; gangguan

ini diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia berusia 50 - 59 tahun, meningkat

menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Pada fase ini seseorang

secara fungsional masih normal namun mulai sulit mengingat kembali informasi

yang telah dipelajari, tidak jarang ditemukan pada orang setengah baya

(Kusumoputro dan Sidiarto, 2001). Jika penduduk berusia lebih dari 60 tahun di

Indonesia berjumlah 7% dari seluruh penduduk, maka keluhan mudah lupa

tersebut diderita oleh setidaknya 3% populasi di Indonesia. Mudah lupa ini bisa

berlanjut menjadi gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI)

sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat. Demensia adalah

suatu kemunduran intelektual berat dan progresif yang mengganggu fungsi sosial,

pekerjaan dan aktivitas harian seseorang (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyebab demensia paling sering,

ditemukan pada 50-60% pasien demensia. Penderita AD diperkirakan berjumlah

35.6 juta di seluruh dunia pada tahun 2010, yang akan meningkat mencapai 65.7

juta di tahun 2030 dan menjadi 115.4 juta di tahun 2050, sehingga di antara

penduduk usia lanjut dunia yang mencapai 1.2 milyar di tahun 2025, penyakit AD

diderita oleh setidaknya 5% populasi (Alzheimer’s Disease International, 2010).


3

Penyebab demensia lainnya meliputi gangguan vaskuler (10 - 30%), alkoholik,

gangguan metabolik, infeksi otak, trauma otak, anoksia dan lain-lain (WHO,

2002).

2.2.2 Etiologi Gangguan Kognitif pada Lansia

Penuaan pada lansia membawa perubahan yang signifikan pada struktur

otak. Perubahan struktur otak ini mempengaruhi terjadinya gangguan kognitif

pada lansia dengan hilangnya sirkuit neuron dan neuroplastisitas otak (Craik dan

Salthouse, 2000). Disamping perubahan tersebut pada lansia juga terjadi stress

oksidatif menyebabkan kerusakan DNA, perubahan biokimia yang ditandai

dengan perubahan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin dan glutamat, serta

perubahan gen (Lu dkk., 2004; Keller dkk., 2005). Perubahan terakhir yang terjadi

pada lansia adalah perubahan neuropsikologis yang menyebabkan perubahan

orientasi, atensi, memori pada lansia (Carrier dkk., 2010). Ketiganya dianggap

paling berperanan pada terjadinya gangguan kognitif pada lansia (Carrier dkk.,

2010).

2.2.2.1 Perubahan Struktur Otak pada Lansia

Penelitian pada lansia dengan Computed Tomography scan (CT scan)

kepala mendapatkan pelebaran ventrikel serebri akibat usia yang disebut

ventrikulomegali. Penelitian dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga

secara konsisten menunjukkan penurunan volume otak pada lansia. Penurunan

volume regional cukup bervariasi diperkirakan otak mengkerut 1% setiap

tahunnya sepanjang hidup. Otak sangat kompleks dan terdiri dari berbagai area

yang berbeda. Tiap area memiliki fungsi yang berbeda. Otak terdiri dari
4

substansia putih dan abu-abu. Substansia abu terdiri dari badan sel dan nukleus

subkortikal sedangkan substansia putih terdiri dari akson bermyelin yang

menghubungkan berbagai neuron pada korteks serebri satu sama lain dan dengan

perifer (Craik dan Salthouse, 2000).

Gambaran MRI otak lansia menunjukkan penipisan korteks disertai

penurunan jumlah substansia abu-abu pada dewasa dan usia tua, sedangkan

substansia putih bertambah pada usia 19 - 40 tahun dan kemudian berkurang.

Penelitian menggunakan Voxel-based Morphometry mengidentifikasi insula dan

girus parietal superior sebagai bagian substansia abu-abu yang paling berubah

akibat penuaan. Pada usia awal dekade keenam terjadi penurunan secara drastis

substansia abu-abu terutama lobus dorsal, frontal, dan parietal kedua hemisfer.

Daerah lain seperti girus singulate dan korteks oksipital juga terkena. Pada korteks

temporal posterior penipisan terjadi lebih berat pada hemisfer kiri dibandingkan

kanan termasuk korteks bahasa posterior. Fungsi bahasa seperti word retrieval

dan produksi kata lebih berlokasi ke anterior sedangkan korteks bahasa anterior

lebih cepat berdegenerasi dibandingkan posterior. Dilaporkan juga luasnya sulkus

berbanding lurus dengan bertambahnya usia dan juga memberatnya gangguan

kognitif pada lansia (Sowell dkk., 2003).

Plastisitas otak adalah kemampuan otak untuk berubah struktur dan fungsi.

Ini sesuai dengan kalimat "if you don't use it, you lose it". Otak akan memberikan

ruang somatotropik sesuai penggunaannya. Mekanisme ini dikaitkan dengan

regulasi kalsium. Perubahan kemampuan terhadap kalsium akan mempengaruhi


5

neuronal firing dan kemampuan menghasilkan aksi potensial yang akan

mempengaruhi fungsi dan struktur otak (Burnes dan Burke, 2006).

Area di otak sangat kompleks dan berbeda fungsinya. Terdapat dua sirkuit

yang paling berperan pada kognitif yaitu sirkuit hipokampus dan neokortikal.

Gangguan kognitif terkait usia tidak disebabkan kematian neuron namun

gangguan sinaptik. Penelitian pada hewan menyebutkan defisit kognitif terkait

faktor fungsional dan biokimia seperti perubahan aktivitas enzim, bahan kimia

dan ekspresi gen pada sirkuit kortikal (Hof dan Morrison, 2004).

Defisit kognitif pada lansia tidak disebabkan kematian neuronal atau

kematian sel namun akibat perubahan spesifik morfologi neuron pada regio yang

kecil. Dendritic arbors dan dendritic spines pada neuron piramidal korteks

menurun jumlah dan ukurannya pada regio yang spesifik dan lapisan korteks

primata manusia dan hewan akibat usia (Burnes dan Burke, 2006).

Neuropatologis terkait umur yaitu neurofibrillary tangles pada AD,

Parkinson, diabetes, hipertensi dan arteriosklerosis sulit dibedakan dengan

gambaran normal. Perbedaan terpenting antara proses penuaan dan patologis

adalah lokasi dari neurofibrillary tangles. Neurofibrillary tangles dibentuk oleh

sepasang filamen heliks, normalnya berjumlah sedikit tiap sel dan terbatas pada

nukleus olfaktorius, girus parahippokampal, amigdala dan korteks entorhinal.

Proses neurodegeneratif lain yang ditemukan pada AD adalah plak amiloid yang

tidak umum ditemukan pada gambaran penuaan yang normal (Anderton, 2002).
6

2.2.2.2 Stress Oksidatif pada Otak

Gangguan kognitif pada lansia terjadi akibat adanya stress oksidatif, reaksi

inflamasi, dan perubahan mikrovaskular serebral. Mekanisme gangguan kognitif

akibat stress oksidatif ini belum jelas namun paling dapat dikontrol. Merriam-

Webster Medical Dictionary mendefinisikan stress oksidatif sebagai stress

fisiologis dari tubuh yang menyebabkan akumulasi radikal bebas yang tidak dapat

dinetralisir secara adekuat oleh antioksidan yang berhubungan dengan usia.

Radikal bebas yang dihasilkan oleh proses oksidatif menimbulkan kerusakan pada

sel (Keller dkk., 2005).

Otak merupakan jaringan tubuh yang sensitif terhadap kerusakan oksidatif.

Peningkatan kerusakan oksidatif berhubungan dengan penyakit neurodegeneratif

dan gangguan kognitif ringan. Pada penuaan yang normal stress oksidatif

melibatkan berbagai kontributor seperti oksidasi protein, peroksidasi lipid dan

modifikasi oksidatif pada nukleus dan DNA mitokondrial (Keller dkk., 2005).

Stress oksidatif dapat merusak replikasi DNA dan menghambat perbaikan DNA

melalui proses yang kompleks termasuk pemendekan telomer pada DNA. Setiap

replikasi sel somatik maka komponen DNA memendek. Panjang pendek telomer

diturunkan secara genetik sehingga onset gangguan kognitif akan berbeda secara

individual (Harris dkk., 2006).

Penelitian menunjukkan berbagai ekspresi gen berubah dengan usia. Gen

yang mengalami downregulated setelah usia 40 tahun antara lain GluR1 AMPA

receptor subunit, NMDA R2A receptor subunit (terkait dalam proses belajar),

subunits of the GABA-A receptor, gen yang terlibat dalam potensiasi jangka
7

panjang seperti calmodulin 1 dan CAM kinase II alpha, calcium signaling genes,

synaptic plasticity genes, synaptic vesicle release dan recycling genes. Gen yang

mengalami upregulated antara lain gen yang berhubungan dengan respon stress

dan perbaikan DNA yaitu antioxidant defence genes (Lu dkk., 2004).

Penelitian pada otak mamalia secara konsisten pada 25 penelitian

menunjukkan akumulasi kerusakan DNA sesuai umur. Kerusakan DNA meliputi

teroksidasinya oxidized nucleoside 8-hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG),

pecahnya rantai tunggal dan ganda, DNA-protein crosslinks dan peningkatan

malondialdehyde. Misalnya pada tikus putih usia 4 hari terjadi 3000 pecahnya

rantai tunggal dan 156 rantai ganda sedangkan pada tikus dua tahun tingkat

kerusakan meningkat 7400 sekitar rantai tunggal dan 600 rantai ganda per neuron

(Lu dkk., 2004).

Profil transkripsional pada korteks frontal manusia usia 26 - 106 tahun

mendapatkan ada seperangkat gen yang berubah setelah usia 40 tahun. Perubahan

ini dikaitkan dengan kerusakan DNA sehingga ekspresi gen yang mempengaruhi

proses belajar, memori dan kehidupan neuronal yang membentuk penuaan otak

(Lu dkk., 2004).

Penuaan otak dipengaruhi oleh perubahan biokimia yang sangat luas.

Neuron berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan pembawa kimia yang

spesifik disebut neurotransmitter. Terjadi perubahan pada regio berbeda dari otak

pada penuaan yang normal. Neurotransmitter yang berperan dalam fungsi kognitif

tersebut antara lain dopamin, serotonin dan glutamat (Mobbs dan Hof, 2009).
8

Berbagai studi menunjukkan perubahan sintesis, lokasi ikatan dan jumlah

reseptor dopamin terkait usia. Studi dengan menggunakan Positron Emission

Tomography (PET) pada manusia menunjukkan sintesis dopamin yang sangat

menurun terkait usia terutama pada striatum dan region ekstrastriatum (kecuali

pada mesensefalon). Reseptor dopamin D1 , D2 , dan D3 juga menurun secara

signifikan. Penurunan ikatan reseptor D1 dan D2 secara spesifik ditemukan pada

nukleus kaudatus dan putamen. Penurunan reseptor dopamin D2 dan D3

ditemukan di korteks singulat anterior, korteks frontal, korteks temporal lateral,

hipokampus, korteks temporal medial, amigdala, talamus medial dan lateral. Studi

lain juga mendapatkan hubungan terbalik antara usia dengan ikatan dopamin pada

korteks oksipital (Mobbs dan Hof, 2009).

Penurunan kadar reseptor dan transporter serotonin pada studi dengan PET

dilaporkan terjadi pada nukleus kaudatus, putamen, dan korteks serebri lobus

frontal sesuai usia. Penurunan kapasitas ikatan reseptor juga ditemukan pada

korteks serebri lobus frontal, di thalamus dan mesensefalon. Studi postmortem

pada manusia mendapatkan penurunan kapasitas ikatan serotonin dan penurunan

jumlah reseptor pada korteks lobus frontal dan hipokampus serta putamen (Mobbs

dan Hof, 2009).

Glutamat adalah neurotransmitter lain yang menurun dengan

bertambahnya usia. Berbagai studi menunjukkan penurunan konsentrasi glutamat

pada korteks motorik lansia dibandingkan usia muda. Penurunan ini terutama

didapatkan pada basal ganglia dan sedikit di daerah frontal. Penurunan ini tidak

hanya pada penuaan normal namun juga ditemukan pada gangguan kognitif akibat
9

penyakit neurodegeneratif sehingga glutamat dapat dipakai sebagai penanda yang

penting (Mobbs dan Hof, 2009).

2.2.2.3 Perubahan Neurofisiologis pada Lansia

Pada proses penuaan terjadi perubahan neurofisiologis yang akhirnya

sangat berperan dalam kemunduran kognitif pada lansia. Perubahan

neurofisiologis tersebut meliputi perubahan orientasi, perubahan atensi dan

perubahan memori. Orientasi adalah kesadaran diri dalam hubungan dengan

lingkungannya. Orientasi diperiksa dengan melihat kesadaran lansia terhadap

tempat, waktu dan orang. Gejala gangguan orientasi ini sering merupakan gejala

penyakit otak, sehingga memerlukan evaluasi medis dan neuropsikologis

menyeluruh. Penelitian menunjukkan hanya 92% lansia (65 - 84 tahun) yang sehat

memiliki orientasi yang baik, dan sisanya sudah mengalami gangguan orientasi.

Sebaliknya, orang sehat dengan usia yang lebih muda hampir tidak mengalami

masalah orientasi ini (Carrier dkk., 2010).

Perubahan neurofisiologis lain yang dialami lansia adalah perubahan

atensi. Lansia mengalami gangguan kemampuan atensional. Atensi didefinisikan

sebagai kemampuan kognitif yang memungkinkan kita memilih informasi untuk

diproses lebih lanjut terkait keterbatasan kemampuan pengolahan oleh otak

manusia. Otak memiliki keterbatasan sumber daya sehingga otak perlu

memusatkan atensi pada stimulasi yang spesifik dan membatasi yang lain. Lansia

cenderung memiliki atensi yang kurang dibandingkan usia yang lebih muda. Studi

lain juga menyebutkan lansia lebih lambat dalam time encoding dan mengambil

kembali informasi ketika atensinya terbagi. Pengaruh sensoris yang menurun


10

dikatakan turut berperan pada gangguan atensi pada lansia antara lain gangguan

pendengaran dan penglihatan yang mengakibatkan kesulitan dalam atensi visual

dan verbal (Carrier dkk., 2010).

Perubahan lain yang terjadi pada lansia adalah perubahan memori.

Terdapat berbagai tipe memori pada manusia seperti episodik, semantik, strategik,

working, source spatial, dan non-deklaratif. Penelitian menunjukkan fungsi

memori terutama berhubungan dengan lobus temporal medial sangat menurun

pada lansia. Studi lain yang menggunakan metode lain seperti histologis, imaging

struktural, imaging fungsional, dan ikatan reseptor mendapatkan gangguan pada

lobus frontal dan jalur dopaminergik frontal-striatal yang sangat terkait perubahan

memori pada lansia (Carrier dkk., 2010).

2.2.3 Instrumen untuk Mengukur Gangguan Kognitif pada Lansia

Menilai gangguan kognitif terutama pada lansia dapat dipergunakan

berbagai alat. Alat yang sering dipakai untuk skrining fungsi kognitif adalah

Montreal Cognitif Assesment (MoCA) yang sudah dimodifikasi menjadi MoCA-

Ina. MoCA-Ina sangat tinggi sensivitas dan spesifisitasnya untuk mengukur Mild

Cognitif Impairment (MCI) dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit.

Penelitian menunjukkan MoCA-Ina dengan poin cut of 26 memiliki sensivitas

90%, lebih tinggi dibandingkan Mini Mental State Examination (MMSE) yang

hanya 18%, sedangkan spesifisitas MoCa-Ina adalah sebesar 87% untuk

mendeteksi MCI (Smith dkk., 2007).

Validasi MoCA-Ina telah dilakukan di Indonesia dan didapatkan nilai

Kappa total dua orang dokter adalah 0,820. Didapatkan kesimpulan bahwa MoCA
11

versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi transkultural

sehingga dapat digunakan (Husein dkk., 2010).

MoCA-Ina terdiri dari 30 poin yang diujikan untuk menilai beberapa

domain kognitif yaitu eksekutif, visuospasial, bahasa, delayed recall, atensi,

abstraksi dan orientasi. Fungsi eksekutif dinilai dengan trail making B (satu poin),

phonemic fluency test (satu poin) dan two item verbal abstraction (satu poin).

Visuospasial dinilai dengan clock drawing test (tiga poin) dan menggambarkan

kubus tiga dimensi (satu poin). Fungsi bahasa dinilai dengan menyebutkan tiga

nama binatang (singa, unta, badak (tiga poin), mengulang dua kalimat (dua poin),

kelancaran berbahasa (satu poin). Delayed recall dinilai dengan menyebutkan

lima kata (5 poin), menyebutkan kembali setelah lima menit (5 menit).

Pemeriksaan atensi dinilai dengan kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan

(3 poin), digit fordward and backward (masing-masing 1 poin). Abstraksi dinilai

dengan menyebutkan kesamaan suatu benda (2 poin) dan orientasi berupa

menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari, tempat dan kota (masing-masing 1 poin)

(Nasreddine dkk., 2005; Smith dkk., 2007).

2.3 Peran Serotonin pada Gangguan Kognitif Lansia

Serotonin merupakan neurotransmitter/transmitter saraf yang berfungsi di

dalam pengaturan suhu tubuh, nafsu makan, kualitas tidur, daya ingat, daya pikir,

mood, kontraksi otot, serta fungsi peredaran darah dan pengaturan hormon.

Sebanyak 90% serotonin dihasilkan dan terdapat di usus, sementara sisanya

terdapat pada sistem saraf pusat yaitu otak dan saraf tulang belakang. Meski
12

belum diketahui detail mekanismenya, kadar serotonin otak diduga kuat

berpengaruh penting terhadap kondisi emosi/kejiwaan kita, karena

neurotransmitter ini ditemukan secara konsisten dalam jumlah kurang dari normal

pada cairan cerebrospinal dan jaringan otak penderita depresi (Sadock dan

Sadock, 2003).

2.3.1 Sintesis, Metabolisme dan Ekskresi Serotonin

Serotonin tersebar di seluruh tubuh, terutama di saluran cerna, trombosit

dan otak. Berbagai organ tersebut mempunyai reseptor serotonin, dengan subtipe

yang berbeda-beda tergantung organ tempatnya berada dan fungsi organ tersebut.

Terdapat tujuh subtipe reseptor serotonin (Asmitia, 1999; Pusponegoro, 2007).

Selain mempunyai reseptor serotonin, dinding usus dan trombosit juga

mempunyai mekanisme transfer yang disebut sebagai Serotonin Transporter

(SERT) untuk mengambil atau melepas serotonin sesuai kebutuhan (Pusponegoro,

2007).

Serotonin disimpan pada tiga tipe sel utama yaitu neuron serotonergik

pada susunan saraf pusat, sel enterokromafin pada mukosa saluran cerna dan

terakhir pada trombosit. Neuron serotonergik dan sel enterokromafin dapat

mensintesis serotonin dari prekursornya asam amino L-tryptophan, sementara

trombosit mengambil serotonin untuk disimpan. Neuron serotonergik juga

memiliki kapasitas mengambil amino dengan transporter serotonin. Serotonin

juga disintesis pada glandula pineal sebagai prekursor subsekuen pembentukan

enzim pineal yaitu melatonin (N-acetyl-5-methoxytryptamine) (Gustavo et al.,

2001; Pusponegoro, 2007).


13

Jalur biokimia sintesis serotonin dimulai dari L-tryptophan sampai 5-

hydroxytryptophan dengan enzim L-tryptophan hydroxylase (TPH) yang

ditemukan pada sitosol dan fraksi sel otak. TPH memberikan rate-limiting step

untuk sintesis serotonin. Sintesis norepinefrin dan dopamin pada neuron

adrenergik dan dopaminergik dikontrol enzim terkait yaitu L-tyrosine hydroxylase

yang mengubah L-tyrosine menjadi L-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA).

Penghambat TPH (misalnya α-propyldopacetamide) juga aktif menghambat

tyrosine hydroxylase, dimana p-chlorophenylalanine lebih selektif terhadap TPH.

Meskipun p-chloroamphetamine dan fenfluramin juga dapat menghambat TPH,

aksi yang penting (termasuk efek neurotoksik) termasuk proses regulasi fungsi

neuronal serotonergik. Identifikasi dua enzim yaitu TPH1 dan TPH2 tampaknya

berhubungan secara selektif dengan jaringan perifer dan otak (Meltzer et al.,

1998; Gustavo et al., 2001; Sadock dan Sadock, 2003).

Tahapan subsekuen metabolik pada sintesis serotonin (juga norepinefrin

atau dopamin) melibatkan dekarboksilasi 5-hydroxytryptophan dan L-DOPA oleh

enzim sitosol L-aromatic amino acid decarboxylase. Penghambat enzim ini antara

lain benserazide dan carbidopa, tidak melalui sawar darah otak dan secara klinis

mencegah dekarboksilasi L-DOPA di perifer. Obat-obatan ini diberikan sebagai

prekursor pembentukan dopamin di sentral pada Parkinson (Sadock dan Sadock,

2003).

Metabolisme serotonin secara primer oleh enzim pada membran

mitokondria yaitu monoamine oxidase (MAO) yang terdiri dari dua subtipe

molekul MAO-A dan MAO-B. Kedua subtipe secara luas terjadi pada otak dan
14

jaringan perifer dan berbeda pada substrat spesifik dan sensitivitasnya terhadap

berbagai inhibitor. MAO-A lebih selektif pada oksidasi serotonin dengan afinitas

yang lebih tinggi terhadap substrat dibandingkan MAO-B. Pada penggunaan

klinis penghambatan aktivitas MAO-A untuk metabolisme serotonin pada susunan

saraf pusat terkait berbagai antidepresan yang selektif (contoh moklobemid) dan

non-selektif (contoh phenelzine). Studi imunohistokimia menyebutkan neuron

yang mengandung serotonin hanya terdiri dari MAO-B (Sadock dan Sadock,

2003).

Aktivitas MAO mengubah serotonin menjadi 5-hydroxyindole

acetaldehyde yang siap dimetabolisme melalui aldehyde dehydrogenase (ALDH2)

berlokasi di mitokondria untuk menghasilkan 5-hydroxyindole acetic acid yang

merupakan metabolit utama serotonin dan diekskresi ke dalam urin. Metabolisme

alternatif yang jarang melalui aldehyde reductase mengubah 5-hydroxyindole

acetaldehyde menjadi 5-hydroxytryptophol (Meltzer dkk., 1998; Sadock dan

Sadock, 2003; Pusponegoro, 2007). Sintesis dan metabolisme serotonin

selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2.1.


15

Gambar 2.1 Sintesis dan metabolisme serotonin (Meltzer dkk., 1998)

Serotonin dalam darah yang disebut sebagai serotonin perifer merupakan

produksi sel enterokromafin dinding usus. Sebagian di antaranya bekerja sebagai

neurotransmitter di sistem saraf usus, sedangkan sebagian lepas ke dalam darah.

Di dalam darah, sebagian besar diambil oleh trombosit menjadi platelet serotonin

sedangkan sisanya beredar bebas dalam plasma disebut sebagai free-serotonin. Sel

enterokromafin dapat memantau kadar serotonin dalam darah dan melepaskan

serotonin sesuai kebutuhan, kemungkinan melalui mekanisme SERT

(Pusponegoro, 2007).

Serotonin dalam otak disebut sebagai serotonin sentral. Pada otak

manusia, saraf serotonergik pertama kali ditemukan pada usia kehamilan lima

minggu dan meningkat secara cepat sampai minggu ke-10 kehamilan. Pada

minggu ke-15 kehamilan, sel saraf serotonergik sudah terintegrasi dalam berbagai

struktur otak. Sel saraf serotonergik mempunyai cekungan, di dalamnya berisi


16

banyak organ Golgi dan mikrokanalikuli. Di dalam vesikel, terdapat enzim

tryptophan hidroxylase dan asam amino aromatic decarboxylase, yang penting

bagi sintesis serotonin dari triptofan. Selain itu ada berbagai enzim neuropeptida

lain misalnya substansi P dan lain-lain. Dendrit dan akson dari sel saraf

serotonergik berhubungan luas dengan berbagai sel saraf lain, bahkan dengan

struktur non-saraf misalnya pembuluh darah dan ventrikel. Di dekat sel saraf

serotonergik terdapat astrosit yang mengandung sejenis protein yang disebut

sebagai S-100ß. Protein S-100ß berfungsi untuk mengembangkan saraf

serotonergik. Sel astrosit ini banyak ditemukan pada anak, jumlahnya semakin

berkurang pada orang dewasa. Sel saraf serotonergik mampu mengatur

perkembangannya sendiri, suatu fenomena yang disebut dengan autoregulasi atau

negative feedback. Kemampuan menstimulasi perkembangannya sendiri

diperantarai melalui pelepasan faktor tropik S-100â. Bila kadar serotonin cukup,

ia mengurangi produksi S-100â sehingga mampu menghambat pertumbuhan

terminal serotonergik. Hal ini berfungsi sebagai umpan balik negatif untuk

mencegah pertumbuhan berlebihan terminal serotonergik. Demikian pula,

pemberian berbagai bahan yang meningkatkan serotonin misalnya kokain atau

MAO inhibitor dapat menginhibisi lepasnya protein S-100β, sehingga

menyebabkan berkurangnya terminal saraf serotonergik (Pusponegoro, 2007).

Kadar serotonin di otak sangat tinggi pada dua tahun pertama kehidupan,

lalu menurun dan mencapai kadar dewasa pada umur 5 tahun. Pemeriksaan

dengan PET scan membuktikan bahwa kapasitas sintesis serotonin otak anak

normal lebih dari 200% dibandingkan orang dewasa normal, kemudian menurun
17

mencapai kadar dewasa pada usia 5 tahun. Dengan demikian, pengaruh serotonin

sangat nyata pada awal kehidupan, suatu periode kritis dari perkembangan otak

(Pusponegoro, 2007).

Sel saraf serotonergik bersifat sangat plastis. Kerusakan akan segera

disusul dengan terbentuknya percabangan baru disertai pulihnya fungsi yang

terganggu. Percabangan baru juga bisa berasal dari saraf serotonergik yang

berdekatan. Hal ini disebabkan adanya protein S-100â (Pusponegoro, 2007).

2.3.2 Mekanisme Serotonin yang Rendah Menyebabkan Gangguan Kognitif

pada Lansia

Sintesis serotonin menurun sesuai usia. Penurunan ini dihubungkan

dengan penurunan aktivitas enzim tryptophan hydroxylase di nukleus raphe akibat

proses neurodegeneratif (Olievera dkk. 2007). Neuron berkomunikasi satu sama

lain dengan menggunakan pembawa kimia yang spesifik disebut neurotransmitter.

Serotonin sebagai neurotransmitter bekerja langsung pada membran postsinaptik.

Defisiensi serotonin mengakibatkan komunikasi antar sel neuron terganggu

mengakibatkan gangguan fungsi kognitif (Mobbs dan Hof, 2009).

Peran serotonin pada fungsi kognitif disamping sebagai neurotransmitter

juga sebagai faktor tropik yang mengatur maturasi sel target secara langsung atau

melalui pembentukan protein S-100β. Fungsi yang kompleks ini ditunjang

anatomi yang kompleks dari sistem serotonergik. Defisiensi serotonin disamping

menimbulkan hilangnya sinap juga mengakibatkan menurunnya ekspresi

synaptophysin dan MAP-2, suatu penanda untuk sinap dan dendrit, serta
18

penurunan kadar S-100β. Mekanisme ini mengakibatkan gangguan maturasi

neuron yang mengakibatkan neuron menjadi imatur dan kehilangnya fungsinya.

Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.2 yang menunjukkan perubahan dinamik pada

morfologi neuron dengan atau tanpa adanya serotonin. MAP-2 adalah protein

terkait mikrotubulus yang membantu stabilisasi sitoskeleton pada dendrit.

Synaptophysin adalah glikoprotein vesikel pada akson (Azmitia, 1999).

Matured neuron Immatured neuron


Gambar 2.2. Peranan serotonin pada maturasi neuron (Azmitia, 1999)

Peranan utama serotonin dimainkan oleh protein terikat kalsium yaitu S-

100β yang dibentuk oleh astrosit. S-100β berfungsi untuk stabilisasi mikrotubulus

dan membentuk percabangan dendrit yang didapatkan pada neuron yang matur.

Penelitian menunjukkan pada tikus transgenik S-100β terjadi peningkatan

percabangan dendrit pada neuron hipokampus. Pada Sindrome Down didapatkan

gen S-100β terletak di kromosom 21 yang setelah usia enam bulan mengalami

kerusakan dan penurunan jumlah dendrit. Hal ini sering dijadikan model

terjadinya AD pada penderita Sindrome Down di usia pertengahan (Azmitia,

1999).
19

Pada lansia terjadi proses inflamasi kronis dan juga cerebrovascular

disease (CVD) yang secara keseluruhan berpengaruh pada semua proses

neurodegeneratif pada lansia (Keller dkk., 2005). Mekanisme serotonin yang

rendah meningkatkan gangguan kognitif pada lansia pada berbagai penelitian

selalu dihubungkan dengan kejadian depresi yang meningkat pada lansia (Austin

dkk., 2001; Papazacharias dan Nardini, 2012; Keefe dkk., 2014). Berbagai

penelitian secara konsisten mendapatkan gangguan kognitif pada depresi, dimana

terdapat perbedaan antara depresi rekuren dengan depresi yang pertama kali

terjadi pada lansia. Pada depresi pada lansia (late onset depression/late life

depression) terjadi disproporsi berhubungan dengan fungsi eksekutif dan defisit

atensi, sedangkan pada depresi awitan yang lebih awal defisit memori lebih

dominan (Balla dan Butters, 2011).

Komposisi multimalfungsi neurotransmisi sentral, dapat diperkirakan dari

besar derajat malfungsi neurotransmisi serotonergik. Multimalfungsi dari proses

neurotransmisi di otak (sentral) ini diduga kuat berkaitan erat dengan gangguan

jiwa jenis distres. Komposisi multimalfungsi neurotransmisi sentral yang berbeda-

beda secara individual, dapat dideteksi atau diperkirakan dari fungsi serotonin

serta perubahan struktur hipokampus, yang meliputi reduksi volume hipokampus

dan atrofi neuron piramidal area CA3 hipokampus (Gustavo dkk., 2001; Suparno,

2007; Balla dan Butters, 2011).

Gangguan jiwa jenis distres mempunyai hubungan erat dengan jenis stress

(fisik, kejiwaan, akut, kronis) dan terkait dengan perubahan fungsi dan struktur
20

hipokampus, serta terkait pula dengan konsentrasi interleukin-6 (IL-6) plasma

maupun kadar kortisol darah serta kadar serotonin otak (Suparno, 2007).

Stress menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dan struktur hipokampus,

melalui peran kortisol dan IL-6 plasma, yang terbukti dari peningkatan kadarnya

di plasma. IL-6 lebih responsif terhadap stress kejiwaan, mengingat

peningkatannya lebih tinggi (70,16%) dari pada peningkatan konsentrasi kortisol

plasma (45,98%) (Suparno, 2007).

Distribusi IL-6 dan kortisol hipokampus yang meningkat terbukti

meningkatkan juga distribusi transporter serotonin dan indeks apoptosis

hipokampus; mengingat korelasi yang kuat dan positif antara distribusi IL-6

hipokampus dengan distribusi transporter serotonin hipokampus (nilai korelasi r

=0,873), antara distribusi IL-6 hipokampus dengan indeks apoptosis hipokampus

(r = 0,881), antara distribusi kortisol hipokampus dengan distribusi transporter

serotonin hipokampus (r=0,864), antara distribusi kortisol hipokampus dengan

indeks apoptosis hipokampus (r=0,900). Peningkatan distribusi IL-6 hipokampus

meningkatkan distribusi transporter serotonin hipokampus (87,73%) dan indeks

apoptosis hipokampus (67,49%). Peningkatan distribusi kortisol hipokampus

meningkatkan distribusi transporter serotonin hipokampus 85,68% serta indeks

apoptosis hipokampus 114,00% (Suparno 2007).

Penelitian membuktikan kortisol secara langsung dapat mengakibatkan

perubahan struktur hipokampus. Penelitian juga membuktikan adanya komunikasi

multidireksional antara berbagai sistem imunitas, otonom, hormonal dan susunan

saraf pusat (Suparno, 2007). Hiperkortisolisme mengakibatkan gangguan


21

neurotransmisi serotonergik akibat peningkatan pengambilan serotonin.

Mekanisme ini melibatkan hubungan molekuler antara hiperfungsi sumbu

hypothalamus hipofise pada stress kronis dan disfungsi sistem serotonergik pada

depresi (Gustavo dkk. 2001).

Mekanisme yang mungkin meningkatkan risiko gangguan kognitif pada

lansia yang depresi dijelaskan pada gambar 2.3. Depresi pada lansia dikatakan

terkait dengan peningkatan kronik produksi adrenal glukokortikoid dan CVD.

Kedua faktor ini menyebabkan atrofi hipokampal dan iskemia menyeluruh.

Iskemia menyeluruh sering memiliki predileksi regio frontostriatal yang sering

menyebabkan episode depresi. Semuanya menurunkan brain/cognitive reserve

yang merupakan kunci dalam proses ini. Variasi gangguan kognitif yang terjadi

dapat dijelaskan dengan ambang reserve yang berbeda secara individual (Balla

dan Butters, 2011).

Gambar 2.3 Mekanisme depresi menimbulkan risiko AD


(Balla dan Butters, 2011)
22

Luaran kognitif yang terjadi pada lansia yang depresi dapat berupa kognisi

normal, MCI stabil, campuran AD dan CVD, dan demensia vaskular. Lima luaran

kognitif ini dapat dilihat pada gambar 2.4. Campuran AD dan CVD merupakan

luaran paling umum pada lansia dengan depresi. Memahami jalur hubungan

depresi dengan gangguan kognitif pada lansia penting pada pendekatan terapi

untuk memperlambat atau mencegah gangguan kognitif pada lansia. Rekomendasi

untuk mempertahankan atau meningkatkan brain/cognitive reserve pada lansia

(seperti aktivitas fisik dan kognitif, interaksi sosial, diet yang sehat dan

menurunkan stress) menjadi sangat penting pada lansia yang depresi (Balla dan

Butters, 2011).
23

Gambar 2.4 Jalur terkait hubungan depresi dengan lima luaran kognitif
yang mungkin akibat depresi (Balla dan Butters, 2011)
24

Anda mungkin juga menyukai