Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN DALAM ISLAM

Tentang

SYI’AH

(ZAIDIYAH, IMAMIYAH, GHULAT)

Dipresentasikan dalam mata kuliah Sejarah pemikiran dalam Islam

Oleh:

Muhammad Zakir
NIM. 088 10 1363

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA

KONSENTRASI SYARIAH PROGRAM PASCASARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) IMAM BONJOL
PADANG
1431 H/2010 M

1
SYI’AH
( Zaidiyyah, Imamiyyah, dan Ghulat)

A. Pendahuluan
Perbedaan pendapat, pandangan dan pemikiran adalah suatu yang fitrah
dan lumrah. Tentunya perbedaan tersebut harus dilandasi oleh azas kebenaran. Al-
Qur’an sebagai kalam Allah diyakini oleh umat Islam sebagai sumber kebenaran
yang absolut. Ternyata Al-Qur’an tidak datang dalam bentuk yang rinci seperti
layaknya peraturan lalu lintas. Hal ini membuka peluang ijtihad yang seluas-
luasnya untuk merinci penjelasan tersebut. Bahkan dalam suatu kasus tidak
ditemukan nashnya baik didalam Al-Qur’an maupun di dalam Hadits, tentu
manusia berupaya untuk mencari solusi yang terbaik melalui ijtihad. Berangkat
dari pandangan di atas lumrah kiranya jika di dalam sejarah umat Islam terjadi
perdebatan dalam memandang suatu persoalan. Keberagaman pendapat tersebut
memupuk subur pertumbuhan dinamika peradaban umat Islam sehingga menuai
berbagai mazhab dan aliran, termasuk syi’ah.
Syi’ah pada dasarnya lahir sebagai mazhab politik yang menyuarakan Ali
Ibn Abi Thalib sebagai Khalifah. Perkembangan dinamika keberagaman
pemikiran syi’ah melahirkan berbagai sekte yang inti ajarannya berkisar pada
persoalan imamah. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dari ajaran imamah
inilah mereka berangkat menuju teologi. Walaupun dalam realitasnya ada sekte
yang masih berpegang pada prinsip-prinsip Islam dan ada pula sekte yang telah
keluar dari prinsip-prinsip Islam, ada yang masih tetap bertahan sampai sekarang,
dan ada pula yang telah hilang ditelan sejarah.

Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa masalah tentang syi’ah yaitu:


Pengertian syi’ah, asal usul, ajaran pokok, sekte Zaidiyyah, Imamiyyah, dan
Ghulat dan ajarannya, serta menyajikan analisa perbandingan ketiga ajaran sekte
tersebut. Meskipun amat disadari bahwa topik-topik ini hayalah segelintir

2
pembahasan tentang syi’ah, namun penulis berharap pembahasan ini representatif
untuk dijadikan bahan diskusi.

B. Pengertian
Secara bahasa syi’ah berarti pengikut dan penolong.1 Ada juga yang
mengartikan dengan kelompok, jama’ah, dan golongan.2 Sehingga dapat
dikatakan bahwa setiap golongan atau kelompok yang mempunyai pengikut dan
memberikan bantuan kepada imamnya disebut dengan syi’ah. Lebih lanjut,
sebagaimana yang dikutip oleh al-Qifariy, Al-Azhariy mengartikan syi’ah dengan
kelompok yang mengikuti sebagian yang lain dan tidak semua mereka sepakat
dengan apa yang diikutinya.3 Artinya dalam hal tertentu mereka sependapat,
namun dalam hal lain mereka berbeda pendapat, sehingga terdapat sekte-sekte
dalam satu golongan. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat kata syi’ah yang pada
intinya bermakna kelompok atau golongan, contohnya firman Allah dalam surat
al-‘An’am ayat 159:

......‫ان الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah agamanya mereka terpecah


menjadi beberapa golongan.”
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah telah dikenal kata
syi’ah. Akan tetapi penyebutan syi’ah tidak saja ditujukan pada kelompok Ali
namun kelompok mu’awiyyah juga disebut dengan syi’ah,4 namun dalam agama
Islam kata syi’ah identik dengan pengikut Ali. Nama syi’ah digunakan untuk
golongan yang mengagungkan Ali ibn Abi Thalib dan ahli al-bait.5

1
Ahmad Worson Munawir (selanjutnya disebut dengan Munawir), kamus Al-Munawir
Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Proggresif, 1997) Cet. Ke-16, h. 809
2
Louis Ma’luf, Munjid fi Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah, (Bairut: Dar al-Masyruq,
2000), h.709
3
Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali al-Qifariy, Masalah al-Taqrib baina ahli al-Sunnah wa al-
syi’ah (selanjutnya disebut dengan al-Qifariy, al-Taqrib). (Riayadh, Dar Thibah, 1418 H), h.119
4
Umar Abduh dan Kartos Away (Ed.), Mengapa kita Menolak Syari’ah, (Jakarta: LIPPI,
1998), h. 3
5
Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali al-Qifariy, Ushul Mazhab Al-Syi’ah Al-Imamiyah Itsna
Asyarairah ‘Ardh wa Naqd (selanjutnya disebut dengan al-Qifariy, ushul Mazhab), (Riayadh, Dar
Thibah, 1994), jilid 1, h.30

3
Penggunaan makna syi’ah secara bahasa sebenarnya tidak tepat, walaupun
al-Zabidiy telah menjelaskan bahwa syi’ah identik dengan golongan yang
mengagungkan Ali ibn Abi Thalib dan ahli al-bait, karena apabila ada orang yang
mengatakan bahwa Abu Bakar lebih utama dari pada Ali, maka ia disebut dengan
syi’ah (dalam pengertian pengikut Abu Bakar). Akan tetapi realitas sejarah telah
merubah makna kamus, sehigga apabila disebut syi’ah, maka pengertiannnya
mengacu pada pengikut Ali dan ahli al-bait. Sehingga Al-Syarastaniy juga
mendefenisikan syi’ah dengan pengikut Ali saja.6

C. Asal Usul Syi’ah

Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa syi’ah adalah mazhab politik


tertua di dalam Islam yang lahir pada akhir pemerintahan Utsman ibn Affan dan
berkembang pesat pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib 7. Harun Nasution
menyebutkan bahwa syi’ah lahir dari peristiwa arbitrase, dimana peristiwa ini
memunculkan dua pandangan yang berbeda dari pihak Ali. Pertama golongan
yang menolak arbitrase yang disebut dengan Khawarij (keluar dari kelompok Ali).
Kedua golongan yang tetap dalam barisan Ali yang disebut dengan syi’ah.
Sehingga peristiwa arbitrase ini telah melahirkan tiga kelompok Islam, yaitu
Khawarij, syi’ah, dan mu’awiyyah.8. Dua pendapat di atas harus dianalisa
kembali, sebab mengenai asal-usul kelahiran syi’ah terdapat beragam pendapat,
baik pendapat yang berasal dari pengikut syi’ah sendiri maupun pendapat selain
syi’ah, berikut uraiannya:

6
Abi Al-fath Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastaniy (selanjutnya
disebut dengan Al-Syahrastaniy), al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), h. 118
7
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (penterjemah:
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, judul asli : Tarikh Al-Mazdahib al-Islamiyyah), (Jakarta:
Logos, 1996), h. 36
8
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI-Press 2001), jilid I,
h. 89-90

4
1. Pendapatan pengikut syi’ah
a. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah lahir sejak sebelum
diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Abi Hasan
mengatakan bahwa kepemimpinan Ali telah tertulis di dalam mushhaf
para nabi sebelumnya: “tidak diutus seorang Rasul kecuali Muhammad
SAW dan mewasiatkan Ali as sebagai khalifah.9 Sebagaimana
dijelaskan di sebagian ayat al-Qur’an bahwa para Nabi terdahulu
diutus untuk menyeru kepada mentauhidkan Allah SWT dan tidak ada
satu ayat pun yang menjelaskan tentang wasiat Ali sebagai khalifah.
Seperti firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 59:
‫لقدارسلنا نوحاالى قومه فقال يا قوم اعبدوا هللا مالكم من اله غيره‬

Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya


lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah
sesunggunya tidak ada Tuhan bagimu selain Ia…”.10
b. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah ada pada zaman Nabi
SAW, dengan alasan bahwa pada masa Nabi telah banyak para sahabat
menjadi pengikut Ali (tasyi’). Al-Qimiy mengatakan bahwa: syi’ah Ali
telah ada sejak zaman Nabi dan setelahnya, adapun para sahabat yang
mengakui keimaman Ali di antaranya adalah: al-Miqda ibn Aswad,
Salman al-Farisi, abu zar Jundib ibn Janadah al-Gaffariy, dan Ammar
ibn Yasar al-Madzhajiy. Salman al-Farisi adalah Amil kahlifah Umar
di Kuffah dan Ammar ibn Yasar di beberapa kota, diartikan sebagai
pengikut setia Ali dan menolak kekhalifan sebelumnya (al-Rafidhah),
maka tentu kedua sahabat di atas tidak akan menjadi amil
pemerintahan Umar ibn Khattab.

c. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah lahir pada waktu


peperangan Jamal. Ibn Nadim berkata: “Ali memerangi Thalhah dan
Zubair untuk membunuh keduanya, maka orang yang ikut membantu

9
al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit, h. 57
10
Al-A’raf ayat 65 menjelaskan tentang Nabi Nuh As. Al-A’raf ayat 73 menjelaskan
tentang Nabi Shaleh As. Al-A’raf ayat 85 menjelaskan tentang Nabi Syu’aib As.

5
Ali dalam peperangan itu disebut dengan syi’ah”11 Disini kata syi’ah
dimaknai oleh ibn Nadim dengan pengikut atau penolong Ali, maka
pertolongan pertama yang diberikan oleh pengikut Ali adalah pada
peperangan Jamal.

2. Pendapat selain Syi’ah


a. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah muncul setelah wafatnya
Nabi, ketika mencuat isu bahwa Ali-lah yang berhak menjadi khalifah
pengganti Nabi. Ahmad Amin mengatakan bahwa benih pertama
kelahiran syi’ah adalah ketika wafatnya Nabi bahwa ahli al-bait adalah
orang-orang yang utama untuk menggantikan Nabi, dan yang utama
dari kalangan ahli al-bait adalah Ali ibn Abi Thalib.12
b. Syi’ah muncul setelah terbunuhnya Utsman dan munculnya Abdullah
ibn Saba'13. Abdullah ibn Saba’ adalah orang yang pertama kali
menanamkan benih syi’ah. Ia adalah orang Yahudi yang berpura-pura
masuk Islam pada akhir pemerintahan Utsman. Dialah yang pertama
kali mengisukan bahwa yang berhak menggantikan Nabi adalah Ali,
dan ia juga yang mengobarkan api peperangan antara Ali dan
Mu’awiyyah (perang Siffin), dan Aisyah (perang Jamal).14

Di antara pendapat-pendapat di atas, secara umum dapat diurutkan sesuai


dengan perjalanan sejarah, yaitu: (1) sebelum diutusnya Nabi, (2) pada masa Nabi,
(3) setelah wafatnya Nabi, (3) pada masa Nabi akhir kekhalifahan Ustman. Dan
pendapat ketiga dapat pula dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) pada peperangan jamal
(b) pada peristiwa arbitrase (perang Siffin), dan (c) munculnya Abdullah ibn
Saba’.

11
Ibid. h. 67
12
Ahmad Amin, Fajru al-Islam. (Mesir: Maktabah Al-Nahdhah. 1965). h. 266
13
al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit., h.71. 71. Lihat: Muhammad Kami al-Hayimi, Hakikat
Aqidah Syi’ah, (Penterjemah: H. M. Rasjidi, Judul Asli: Aqaid Syi’ah fi al-Mizan), (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1989). h. 13
14
Umar Abduh dan Kartos Away, op.cit., h.4-5

6
Jika disimak secara objektif dan konferhensif, sebenarnya kajian tentang
asal-usul syi’ah dapat dilihat dari dua aspek, pertama syi’ah sebagai suatu
pandangan (syi’isme) dan kedua syi’ah sebagai suatu mazhab atau aliran (dalam
arti telah terbentuknya mazhab syi’ah). Dari perjalanan sejarah, pandangan yang
mengarah pada pengagungan Ali sudah ada sejak zaman Rasulullah – namun
pandangan tentang adanya isyarat syi’ah sebelum diutusnya Rasulullah amat sulit
diterima, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan alasan 15,
bahwa:
1. Ali Ibn Thalib adalah orang yang memberikan dukungannya kepada
Nabi tatkala Nabi mendapat cemoohan.
2. Ali adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan
pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya. Seperti, ia pernah
tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit
ketika Rasulullah SAW hendak berhijrah ke Madinah, dan
kepahlawanannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar.
3. Ali pernah diangkat oleh Nabi sebagai wakilnya di Madinah ketika Nabi
melakukan ekspansi ke Tabuk. Dan lain-lain.

Semua peristiwa di atas terjadi pada masa Nabi sehingga ia menjadi


sebagian alasan bagi segelintir kalangan untuk mengutamakan Ali. Selain itu Ali
adalah keturunan dekat Nabi. Sehingga keistimewaan Ali menjadi legitimasi atas
munculnya syi’isme. Dan tidak salah kiranya pandangan ini berkembang dan
menuntut realisasi setelah Nabi wafat. Sesaat setelah Nabi wafat terjadi peristiwa
saqifah bani sa’idah. Peristiwa ini menjadi event penting yang perlu
digarisbawahi karena pengangkatan khalifah Abu bakar oleh kaum anshar dan
Muhajirin, dianggap sebagai perampasan hak Ali. Ini menunjukkan bahwa setelah
Nabi wafat baru lahir syi’ah sebagai suatu pandangan.

15
S.H.M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah: dari Saqifah sampai
Imamah, (Penterjemah: Meth Keirana, judul asli: Origin and Early Development of Shi’a Islam),
(Bandung: Pustaka Hidayat, 1995), h. 48-49. Lihat Fuad Moch. Fachruddin, syi’ah Suatu
Pengamatan Kritikal, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), 4-5

7
Kelahiran syi’ah sebagai suatu mazhab tidak terlepas dari pandangan di
atas, oleh karena itu kita bisa mengklaim satu pendapat yang benar. Pendapat
umum mengatakan bahwa syi’ah sebagai suatu mazhab lahir pada masa akhir
pemerintahan Utsman ibn Affan, hal ini pun masih diperselisihkan. Jika ibn
Nadim mengatakan bahwa syi’ah sebagai suatu mazhab lahir pada waktu
peperangan Jamal, juga dapat dibenarkan, dimana ibn Nadim memahami syi’ah
sebagai pengikut atau penolong Ali, maka pertolongan pertama yang diberikan
oleh pengikut Ali adalah pada peperangan Jamal. Namun tidak semua pengikut
dan penolong Ali pada peperangan Jamal setuju dengan peristiwa tahkim.
Pengikut dan penolong Ali yang setia tentu yang sependapat dengannya. Jika
demikian, maka peristiwa tahkimlah yang memutuskan hitam dan putihnya
kelahiran syi’ah sebagai suatu mazhab. Sedangkan kemunculan Abdullah ibn
Saba’ adalah pewarna bagi perkembangan syi’ah serta telah melahirkan corak
teologi syi’ah yang ekstrim.

D. Ajaran Syi’ah
Pengikut syi’ah mengatakan bahwa persoalan Imamah dan khilafah
mestilah ditetapkan berdasarkan pencalonan dan penunjukan baik terbuka maupun
tertutup. Mereka meyakini bahwa persoalan Imamah haruslah berasal dari
keluarga Ali, jika Imamah itu pernah berada dari selain keluarga Ali hal itu
merupakan kekeliruan yang dilakukan oleh pihak lain di pihak imam yang benar.
Imamah bukanlah masalah sipil yang dapat diselesaikan melalui pemilihan yang
dilakukan oleh publik, akan tetapi ia adalah masalah yang pokok; ia merupakan
rukun agama. Oleh karenanya tidak boleh bagi Rasul menyepelekannya apalagi
menyerahkan pada publik, ia bahkan wajib bagi Rasul menentukannya.16
Selain itu syi’ah berkeyakinan bahwa para Nabi dan imam ma’sum
terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, demikian juga dengan imam-imam
sesudahnya. Ali ditunjuk oleh Nabi sebagai penggantinya melalui wasiat, oleh
karena itu syi’ah meyakini bahwa imam dipilih melalui wasiat imam

16
al-Syarastaniy, op.cit., h.118. lihat juga: Ahmad Amin, h. 267

8
sebelumnya.17 Secara tegas dapat dikatakan bahwa imam adalah perantaraan
Tuhan dan manusia. Ia berfungsi sebagai pemimpin agama (spiritual) dan nagara
(politik).18 Oleh karena itu, bagi syi’ah, imam diletakkan sebagai salah satu rukun
iman yang wajib di ikuti dan ditaati.

E. Sekte-sekte Syi’ah dan Ajarannya


Menurut al-Syahrastaniy, syi’ah terdiri dari lima sekte, yaitu: Kaisaniyyah,
Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah.19 Dalam sub-bab ini, sesuai
dengan silabus, penulis hanya akan membahas tiga sekte yaitu: Zaidiyyah,
Imamiyyah, Ghulat.
1. Zaidiyyah
Golongan Zaidiyyah merupakan pengikut Zaid Ibn Ali ibn al-Husain
ibn Ali ibn Abi Thalib. Mereka berpegang bahwa Imamah menjadi milik
keturunan Fathimah dan tidak boleh dipegang oleh orang lain. Tetapi
mereka mengakui semua golongan Fathimah yang terpelajar shaleh, berani
dan dermawan sebagai imam yang wajib ditaati, apakah ia dari keturunan
Hasan ataupun Husain. Oleh karena itu golongan Zaidiyyah juga mengakui
keimaman Imam Muhammad dan Imam Ibrahim anak dari Abdullah ibn
Hasan yang memberontak pada pemerintahan Mansur. Mereka juga
menolak kemunkinan dua imam pada dua daerah yang berbeda, kecuali
kedua imam tersebut memiliki syarat di atas.20
Zaid memandang bahwa ada kemungkinan seseorang yang kurang
utama (al-mafdhul) untuk menjadi Imam, meskipun ada orang yang lebih
utama (afdhal) darinya. Zaid berpendapat bahwa Ali Ibn Abiy Thalib
adalah orang yang lebih utama dari para sahabat, namun khalifah pertama
dipercayakan kepada Abu Bakar, hal ini karena pertimbangan mashlahah,

17
Ibid
18
Yahya Jaya, teologi Agama Islam Klasik. (Padang: Angkasa Raya, 2000), h. 89
19
al-Syahrastaniy, op.cit.
20
Ibid. h. 164

9
dan kaedah agama yang mereka perpegangi, yaitu untuk membendung
timbulnya fitnah, serta untuk menenangkan hati rakyat. Peperangan diikuti
Ali pada zaman Nabi, masih terniang di pikiran orang Quraisy dan orang
kafir lainnya, maka dikhawatirkan akan adanya penuntutan balas kepada
Ali, sehingga walaupun Ali lebih utama dari yang lain sulit untuk diterima
secara politik, maka amat sangat bijaksana kiranya bila jabatan Imam
diberikan kepada Abu Bakar sebagai orang yang dikenal dan diterima
masyarakat baik hati, paling awal masuk Islam serta dekat dengan Nabi.
Ketika Abu Bakar menyerahkan jabatan Imam kepada Umar, sementara
Ali dalam kondisi sakit, prosesi transisi tersebut dianggap suatu hal yang
bijaksana. Singkat kata, syi’ah Zaidiyyah mengakui khalifah Abu Bakar
dan Utsman. Ketika pendapat Zaid di atas didengar oleh pengikut syi’ah di
Kuffah mereka menolak Zaid sepanjang hayat. Dan karena alasan inilah ia
disebut dengan penganut Rafidhah.21
Aliran Zaidiyyah berkeyakinan bahwa seorang imam tidak ditunjuk
langsung oleh Nabi, akan tetapi ditentukan oleh Nabi sifat-sifatnya saja,
diantaranya berasal dari Bani Hasyim, wara’, (saleh, menjauhkan diri dari
dosa), bertakwa, membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka
sehingga rakyat mengakui ia sebagai imam. Oleh karena alasan inilah
bahwa Ali lah yang berhak menjadi imam, sebab Ali memenuhi sifat-sifat
tersebut. Dan adapun yang berhak menjadi imam setelah Ali diisyaratkan
pula harus berasal dari keturunan Fathimah. 22 Selain itu, bagi Syi’ah
Zaidiyyah, Imamah tidak boleh bersifat anak-anak dan tidak pula bersifat
ghaib. Ia harus memiliki kemampuan dalam memimpin perang suci,
mempertahankan masyarakat, dan seorang mujtahid.23 Ketaatan kepada
imam hanyalah dalam kebaikan. Imam yang baik, taat, dan adil wajib
ditaati.24

21
Ibid. h. 165
22
Muhammad Abu Zahrah, op.cit,. h.47
23
Yahya Jaya, op.cit., h. 94
24
Ibid. h. 95

10
Zaid Ibn Ali pernah belajar teologi kepada Washil ibn Atha’,
seorang pemuka mu’tazilah, konon pengikutnya Zaid menjadi orang
mu’tazilah. Hubungan Zaid dan Washil membuat kemarahan pengikutnya,
karena Washil ragu-ragu dalam menentukan posisi Ali dalam perang
Jamal. Washil tidak sepenuhnya yakin bahwa Ali berada dalam pihak yang
benar.25 Oleh karena itu pemikiran Zaid banyak dipengaruhi oleh gurunya.
Contoh keyakinannya adalah bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Al-
Qur’an adalah makhluk, dan tidak menerima takdir begitu saja. 26 Orang
yang melakukan dosa besar tidak kekal di dalam neraka, selama mereka
belum bertaubat dengan taubat sebenar-benarnya.27
Dalam perkembangan selanjutnya syi’ah Zaidiyyah terpecah
menjadi empat kelompok, yaitu: Jarudiyyah pengikut Abu al-Jarud Ziyad
ibn Abu Ziyad, Sulaimaniyyah pengikut Sulaiman ibn Jarir, Shalihiyyah
pengikut Hasan ibn Shalih ibn Hayy, dan Bitriyyah pengikut Katsir al-
Hawa al-Abtar.28
Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa Zaidiyyah dalam
perkembangannya terbagi menjadi dua, pertama para penganut Zaidiyyah
generasi pertama, dipandang tidak ekstrim karena mengakui keimaman
Abu Bakar dan Umar, kedua pengikut Zaidiyyah generasi belakangan,
dipandang ekstrim karena tidak mengakui keimaman Abu Bakar dan
Umar.29
2. Imamiyyah
Disebut Imamiyyah karena yang menjadi paham dasar aqidah
mereka adalah imamah. Sekte ini juga dikenal dengan syi’ah istna al-
asyariah (syi’ah 12), karena mereka meyakini imam yang dua belas, 30
sebagaimana terdapat dalam silsilah di atas. Selain itu, ia juga dinamakan

25
Al-Syahrastaniy, loc.cit.
26
Yahya Jaya, loc.cit.
27
Muhammad Abu Zahrah, loc,cit.
28
Al-Syahrastaniy, op.cit. h. 157-161
29
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 50
30
Yahya Jaya, op.cit., h. 91

11
dengan Ja’fariyyah yang dinisbatkan pada ja’far al-Shadiq (imam ke
enam).31
Ada beberapa ajaran pokok syi’ah imamiyyah, di antaranya:
a. Imamah
Golongan ini percaya bahwa setelah Nabi Imamah menjadi hak Ali
atas dasar nash yang jelas dan penunjukan nyata. Mereka
mengatakan bahwa tidak ada yang lebih penting dari pada
penunjukan Imam dalam agama dan dalam Islam. Rasul diutus
untuk meghilangkan perselisihan dan mencipkatan keharmonisan.
Nabi tidak boleh memecah persatuan umat dan meninggalkan
mereka dalam perselisihan pendapat. Oleh karena itu, Nabi harus
menunjuk penggantinya dan penggantinya itu adalah Ali Ibn Abi
Thalib.32
Mereka berdalil, dengan sabda Nabi yang berbunyi:
‫أقضاكم علي‬
(hakim yang paling baik di antara kamu adalah Ali).
Berdasarkan hadits di atas, mereka mengatakan bahwa Imamah
adalah hakim utama dalam setiap kasus, dan hakim menjadi
penengah bagi orang yang berselisih. Maka ini merupakan
implementasi dari firman Allah:
.... ‫وأطيعو هللا واطيعو الرسول و اولى االمر منكم‬
Mereka menjelaskan bahwa ulil amri dalam ayat di atas
adalah orang yang dipercayakan kepadanya pengadilan dan
pemerintahan.33
Keberadaan imam berfungsi sebagai penjaga syari’at,
menerangkan dan memeliharanya dari penyimpangan dan
kesesatan. Seorang imam adalah hujjah Allah yang berlaku hingga

31
Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. (Semarang:
Ramadhaniy, 1980), h.99
32
Al-Syahrastaniy, loc.cit.
33
Ibid., h. 132

12
kiamat. Ali mengatakan bahwa bumi ini tidak pernah kosong dari
hujjah Allah baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.34
Imam bagi syi’ah Imamiyyah merupakan suatu hal yang
prinsip dan pokok. Bagi mereka imamah bagaikan kalimat
syahadat yang apabila diingkari sama saja mengingkari kalimat
syahadat.35 Sehingga dapat dikatakan bahwa keyakinan terhadap
imam sederajat dengan Rasul. Tidak heran bila mereka
menganggap bahwa imam adalah ma’sum, dijaga oleh Allah baik
dari dosa besar maupun dosa kecil.
b. Ishmah
Imam menurut syi’ah adalah ma’sum (suci) terpelihara dari
dosa besar dan dosa kecil. Kema’suman seorang imam bagaikan
seorang Nabi, ia terpelihara dari segala bentuk kesalahan dari
kanak-kanak sampai akhir hayatnya. Jika tidak demikian maka
sebagai pemimpin agama, tentu ia akan melakukan kesalahan
dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai imam.
Para imam berhak untuk melakukan tahksish terhadap
nash-nash yang bersifat umum dan melakukan taqyid terhadap
nash-nash yang bersifat mutlaq.36 Hal ini merupakan implikasi dari
kema’suman imam, yang diakui sederajat dengan Nabi, jadi imam
mempunyai otoritas untuk membuat syari’at seperti layaknya
seorang Nabi.
Kema’suman seorang imam menurut syi’ah bersifat lahir
dan bathin, sebelum dan sesudah ia menjadi Imam. Kema’suman
seorang imam hanya dapat diketahui dari keadaannya sebelum
menjadi imam, yaitu dari perkataannya yang dapat dijadikan
hujjah. Atas dasar ini ia mesti ma’sum sebelum menjadi imam. Jika
demikian maka ia akan dijauhi.37

34
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., h. 68
35
Muhammad Kamil al-Hasyimiy, op. cit., h. 18
36
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 54
37
Ibid.,

13
c. Mahdiyyah
Mahdi menurut kacamata syi’ah adalah imam yang ke-12,
yaitu Muhammad ibn Hasan al-Azkariy yang disebut dengan
Muhammad Mushthafa dengan nama al-Mahdiy al-Munthazar
yang lahir pada tahun 255 H, dan wafat 260 H, mereka
berkeyakinan bahwa dia tidak meninggal dan sewaktu-waktu akan
kembali ke bumi guna menegakkan keadilan, menghukum orang-
orang yang zhalim terhadap ahli al-bait.38
Keyakinan akan adanya mahdi didasari oleh ajarannya yang
disebut dengan raj’ah. raj’ah berarti kembali, mereka
berkeyakinan bahwa sebagian manusia yang telah meninggal dapat
dihidupkan kembali oleh Allah, karena suatu hikmah. Kemudian di
hidupkan kembali bersama manusia dihari kiamat.
d. al-Taqiyyah
Di antara prinsip ajaran syi’ah Imamiyyah adalah taqiyyah.
Taqiyah artinya perlindungan, orang syi’ah demi untuk melindungi
dirinya boleh berbohong.39 Dalam kata lain taqiyyah adalah
seseorang menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
dirahasiakannya (di dalam hatinya). Bagi mereka taqiyyah adalah
rukun agama, bahkan tiang agama dan dengan tiang itu agama
dapat berdiri.40
‫ال دين لمن ال تقية له‬
“Tidak beragama seseorang tanpa taqiyyah”
Muhammad Kamil al-Hasyimiy mengatakan taqiyyah
berarti bohong. Bohong dan taqiyyah adalah dua hal yang tidak
berbeda. Karena syi’ah lahir berdasarkan kebohongan demi
kebohongan. Kaum syi’ah telah menciptakan kebohongan terhadap

38
Abdul Mun’in al-Nimr, Syi’ah Imam Mahdi dan Duruz sejarah dan fakta. (Jakarta:
Qasthi Press, 2003), h. 71-72
39
Muchtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat. (Palembang: Widyadara, 2001), jilid
IV, h. 4
40
Muhammad Kamil al-Hasyimiy, op.cit., h. 135

14
kebenaran dan kesucian. Karena syi’ah memberikan kedustaan
terhadap sesuatu yang mereka simpan.41

3. Ghulat
Ghulat, dalam bahasa Indonesia berarti berlebih-lebihan atau
ekstim. Sehingga syi’ah Ghulat sering juga disebut dengan syi’ah
ekstrimis. Atau dalam bahasa al-Syahrastaniy adalah orang-orang yang
berlebih-lebihan di dalam menilai imam-imam mereka sehingga penilaian
tersebut keluar dari batas-batas sifat penciptaan, dan menganggap imam-
imam mereka mempunyai sifat ke Tuhanan. Kadangkala mereka
menyamakan seorang imam dengan Tuhan, dan menyamakan Tuhan
dengan manusia (tasybih), ajaran mereka seperti layaknya ajaran Yahudi
dan Nasrani, orang yahudi menyamakan Tuhan dengan manusia,
sedangkan orang Nashrani menyamakan manusia dengan Tuhan.42
Keekstriman golongan ini didasarkan pada empat doktrin yang
mereka perpegangi, yaitu: al-tasybih (antropomorfisme), al-bada’
(perubahan pikiranTuhan), al-raj’ah, al-tanasuhk (reinkarnasi).43 Paham
tasybih menganggap Tuhan serupa dengan mahkluk, dalam arti
mempunyai anggota tubuh. Paham bada’ adalah keyakinan yang
mengatakan bahwa Tuhan dapat merubah apa yang dikehendaki-Nya
sesuai dengan ilmu-Nya. Paham ini menimbulkan kesan adanya
keterbatasan ilmu Tuhan, padahal Tuhan alim dan khabir. Paham raj’ah
ialah hidupnya sebagian manusia yang sudah meninggal. Sedangkan
paham tanasuhk ialah menjelmanya roh Nabi atau para imam ke dalam
orang-orang tertentu, seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibn Amr Ibn
Harb bahwa roh Muhammad ibn Hanifah menjelma dalam drinya.44
Kelompok syi’ah ekstrimis, menurut al-Syahrastaniy terbagi
menjadi 12 kelompok, yaitu: Saba’iyyah, Kalimiyyah, al-Ba’iyyah,

41
Ibid.
42
Al-Syahrastaniy, op.cit., h. 139
43
Ibid.
44
Yahya Jaya, op.cit., h. 98

15
Mughiriyyah, al-Mansuriyyah, Khaththabiyyah, Kayyaliah, Hisyamiyyah,
Nu’maniyyah, Yunisiyyah, Nusiriyyah, dan Ishaqiyyah. Untuk melihat
gambaran keekstrimannya berikut akan penulis paparkan beberapa
kelompok disertai dengan ciri khas ajarannya yang ekstrim:
a. Saba’iyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Abdullah ibn Saba’,
seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam pada masa khalifah
Utsman. Ia berkata kepada Ali: “Engkau adalah engkau” yakni
“Engkau adalah Tuhan. Dia adalah orang pertama yang mengatakan
bahwa imam yang pertama yang berhak ialah Ali. Dan dari ibn Saba’
inilah golongan ekstrim muncul. Menurutnya Ali masih hidup, dan di
dalam diri Ali terdapat unsur ke Tuhanan.45
b. Al-kamiliyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Abu Kamil, ia
mengatakan bahwa semua sahabat kafir karena tidak memberikan
sumpah setia kepada Ali. Imamah merupakan cahaya yang berpindah
dari seseorang kepada orang lain. Cahaya yang satu menjadi
nubuwwah dan pada diri yang lain menjadi imamah. Selain itu
mereka percaya bahwa Tuhan ada di setiap tempat, berbicara melalui
setiap lidah, dan terdapat dalam setiap individu, inilah yang
dimaksud dengan hulul.46
c. ‘Alba’iyyah
Kelompok ini adalah pengikut al-‘Alba’ ibn Zira’ al-Dausi,
atau oleh sebagian orang disebut juga dengan al-Asdi. Ia mengatakan
bahwa Ali lah yang mengutus Muhammad, dan Ali adalah Tuhan.
Muhammad telah salah, karena seharusnya Muhammad menyeru
kepada Ali, bukan pada dirinya sendiri.47

45
Al-Syahrastaniy, loc .cit., h. 140
46
Ibid.
47
Ibid. h. 143-144

16
d. Al-Mughiriyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Mughirah ibn Said al-‘Ijli.
Mereka percaya akan adanya tasybih, Allah memiliki bentuk dan
badan dan memiliki bagian-bagian sebagaimana huruf hijaiyyah.
Bentuk Allah seperti bentuk manusia yang terbuat dari cahaya dan
di atas kepalanya terdapat mahkota cahaya. Dan Allah juga memiliki
hati yang memancarkan hikmah.48
e. Al-Mansuriyyah
Golongan ini adalah pengikut Abu Mansur al-Ijliy. Salah satu
ajaran ekstrim yang dipertahankan oleh Abu Mansur ialah bahwa Ali
adalah sesuatu yang jatuh dari surga. Dan sesuatu yang jatuh dari
surga adalah Allah. Ia juga mempertahankan bahwa rasul tidak akan
terputus selamanya. Selain itu ia juga mengatakan bahwa surga
adalah seorang manusia, dimana kita diperintahkan untuk bergabung
bersamanya, ia adalah imam zaman. Neraka adalah seorang manusia
dimana kita diperintahkan untuk meninggalkannya, ia adalah musuh
imam.49

E. Analisa dan Perbandingan


Persoalan pokok dalam kajian syi’ah adalah persoalan Imamah, sehingga
dari ajaran tersebut muncullah berbagai ajaran-ajaran yang mengarah pada
teologi. Analisa perbandingan yang dapat disimpulkan dari ketiga sekte tersebut
tentang imamah adalah: Bagi aliran Zaidiyyah Imam tidaklah merupakan wasiat
dari Nabi kepada seseorang seperti pandangan aliran Imamiyyah, akan tetapi Nabi
menentukan sifat-sifatnya. Selain itu bagi Zaidiyyah, orang yang tidak utama bisa
saja menjadi imam, sehingga pandangan ini memunculkan adanya pengakuan
terhadap keimaman Abu Bakar, Umar, dan Usman.
Bagi aliran Imamiyyah, imam merupakan wasiat dari Nabi, karena jika
tidak maka rakyat akan terpecah menurut kehendak dan pendapatnya masing-

48
Ibid.
49
Ibid. h. 143-144

17
masing, oleh karena itu Nabi wajib menunjuk penggantinya melalui wasiat. Selain
itu mereka berkeyakinan imam mempunyai posisi yang amat tinggi, bahkan
sederajat dengan nabi. Dari keyakinan ini memunculkan pandangan bahwa imam
adalah ma’sum seperti layaknya Nabi, baik sebelum atau sesudah menjadi imam.
Berangkat dari sikap fanatis terhadap imam melahirkan ajaran raj’ah. Dan dari
raj’ah ini pulalah mereka meyakini adanya imam mahdi (ajaran mahdiyyah) yang
akan datang di akhir zaman. Penulis berasumsi bahwa, adanya ajaran taqiyiah
dalam aliran syi’ah imamiyyah ini disebabkan oleh tidak mampunya mereka
memberikan alasan yang logis terhadap pendapat-pendapat mereka, sehingga
mereka menyembunyikan kebenaran. Seperti halnya wasiat, sebenarnya mereka
tahu bahwa wasiat Nabi kepada Ali tidak ada, namun demi untuk
mempertahankan hal tersebut mereka harus berdusta peristiwa ghadir khum.
Syi’ah Ghulat juga berangkat dari persoalan imamah. Jika syi’ah
imamiyyah menganggap bahwa imam sederajat dengan Nabi, maka bagi aliran
Ghulat imam sederajat dengan Tuhan, atau imam adalah Tuhan, Tuhan adalah
imam. Untuk mempertahankan doktrin ini maka muncullah ajaran tasybih, yakni
menyamakan Tuhan dengan manusia, bada’ Tuhan dapat merubah apa yang
dikehendaki-Nya, raj’ah, hidupnya sebagian manusia yang sudah mati, dan
tanasuhk, menjelmanya roh nabi atau para imam kedalam orang-orang tertentu.
Dapat dikatakan bahwa aliran syi’ah Zaidiyyah adalah aliran yang
moderat, karena selain alasannya dipandang rasional, ia juga terkontaminasi oleh
mu’tazilah. Syi’ah imamiyyah adalah aliran yang jumud di dalam berpendapat,
sementara syi’ah ghulat adalah aliran yang berlebih-lebihan (ektrimis), ini sesuai
dengan namanya, atau dipandang telah keluar dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

F. Kesimpulan
Dari uraian yang telah digambarkan dan dipaparkan sebelumnya, ada
beberapa kesimpulan yang dapat ditarik:
1. Syi’ah secara bahasa berarti pengikut dan penolong, sedangkan secara
istilah syi’ah berarti pengikut setia Ali Ibn Abi Thalib secara khusus.

18
2. Menurut pendapat umum dan terkuat bahwa syi’ah lahir pada akhir
masa kekuasaan Usman ibn Affan, tepatnya pada waktu terjadinya
peristiwa tahkim. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah
muncul sebelum Nabi diutus adalah pendapat bathil. Sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah dalam arti pandangan
(Syi’isme). Dan pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah muncul pada
saat perang Jamal, adalah syi’ah dalam arti penolong Ali, karena
pertolongan yang pertama yang diberikan oleh pengikut Ali pada waktu
perang Jamal.
3. Persoalan pokok dalam kajian syi’ah adalah persoalan Imamah,
sehingga dari ajaran tersebut muncullah berbagai ajaran-ajaran yang
mengarah pada teologi sebagai argumen dari masing-masing aliran atau
sekte. Sekte Zaidiyyah dianggap sebagai sekte yang moderat, sekte
imamiyyah adalah aliran yang jumud (ortodok), sementara syi’ah
ghulat adalah aliran yang berlebih-lebihan (ektrimis).

19
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Umar dan Kartos Away (Ed.), Mengapa kita Menolak Syari’ah, Jakarta: LIPPI,
1998

Aceh, Abu Bakar, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Semarang:
Ramadhniy, 1980

Amin, Ahmad, Fajru al-Islam. Mesir: Maktabah Al-Nahdhah. 1965

Effendi, Muchtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: Widyadara, 2001

Fachruddin , Fuad Moch., syi’ah Suatu Pengamatan Kritikal, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1992

al-Hayimi, Muhammad Kamil, Hakikat Aqidah Syi’ah, Penterjemah: H. M. Rasjidi, Judul


Asli: Aqaid Syi’ah fi al-Mizan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989

Jafri, S.H.M, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah: dari Saqifah sampai
Imamah, Penterjemah: Meth Keirana, judul asli: Origin and Early
Development of Shi’a Islam, Bandung: Pustaka Hidayat, 1995

Jaya, Yahya, teologi Agama Islam Klasik. Padang: Angkasa Raya, 2000

Ma’luf, Louis, Munjid fi Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah, Bairut: Dar al-Masyruq,


2000

Munawir, Ahmad Worson, kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya:


Pustaka Proggresif, 1997

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press 2001

al-Nimr, Abdul Mun’in, Syi’ah Imam Mahdi dan Duruz sejarah dan fakta. Jakarta:
Qasthi Press, 2003

al-Qifariy, Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali, Masalah al-Taqrib baina ahli al-Sunnah wa al-
syi’ah Riayadh, Dar Thibah, 1418

------------Ushul Mazhab Al-Syi’ah Al-Imamiyah Itsna Asyarairah ‘Ardh wa Naqd


Riayadh, Dar Thibah, 1994

Ousthaniah, Wilayah al-Faqih dalam Menjalankan Pemerintahan dalam Islam Menurut


Syi’ah Imamiyyah Itsna Asy’ariyyah. tesis, 2005

Al-Syahrastaniy, Abi Al-fath Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad, al-Milal
wa al-Nihal, Bairut: Dar al-Fikr, 1997

Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam penterjemah:
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, judul asli : Tarikh Al-Mazdahib al-
Islamiyyah, Jakarta: Logos, 1996

20

Anda mungkin juga menyukai