Anda di halaman 1dari 18

ABU YAZID AL-BUSTAMI DAN AL-HALLAJ

Oleh: Taufik Hidayat

A. Pendahuluan
Berbicara masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh
tasawuf itu sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk
memperoleh pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf
ibarat induk jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai
dengan faham dan tokoh yang merintis jalan tersebut faham tersebut. Jadi bagi yang
ingin memilih jalan Tasawuf sebagai Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa
memilih jalan mana yang baik menurutnya.
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan
kepada Allah yang bermacam-macam, ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul
Adawiyah), Ma'rifah (Ghazali), dan lain-lain.
Adapun tokoh yang akan penulis kemukakan adalah dua orang tokoh sufi
fenomenal dan controversial yang memiliki corak tasawuf yang sejalan dari segi
tujuan, berupa kedekatan atau lebih khususnya penyatuan diri manusia secara
bathiniyah dengan Allah, namun memiliki konsep yang berbeda. Abu Yazid Al-
Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-
hal yang berada diluar nalar manusia biasa. Di dalamnya akan dibahas sejarah
hidupnya serta ajarannya yang sangat terkenal fana’ baqa dan Ittihad, serta Al-Hallaj
dengan garis kehidupan dan konsepnya yang kontroversi terhadap pandangan ulama’
dan pemimpin waktu itu sehingga mengakhiri hidupnya di dunia, dukungan oleh
banyak pengikutnya dari berbagai kalangan, serta penjelasan tentang Hululnya.
Semoga pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan
wawasan terhadap kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang, tidak dilihat dari
sudut pandang yang lain.

1
B. Abu Yazid Al-Bustami
a. Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-
Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M1. Al Bustami adalah
nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat kelahiranya, Busthan sebuah
kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama
kecilnya adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama
Majusi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar
Figih mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu
hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai alam fana. 2
Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih
memilih hidup sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu
Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya,
Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan
yang diragukan kehalalannya3.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang
pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada
orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang
berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang
untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha
memenuhi setiap panggilan Allah4.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan
tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah
menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal

1
M.Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung, Pustaka Setia, 2003) hal 79
2
Duski Samad, Studi Tasawuf Sejarah Tokoh dan Pemikiranya, (Padang,2004),h.190-191
3
M.Solihin, op.cit, h. 79
4
Ibid

2
adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu
lainnya kepada Abu Yazid.5
Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang
yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa
pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu melihat
seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau ia
sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat
bagaimana ia mengikuti suruh dan menghentikan larangan dan menjaga batas-batas
syari’at.6
Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat
hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa
dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu
Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah
yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di
kota kelahiranya Busthan. 7

b. Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-Ittihad Abu Yazid


Ajaran al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan.
Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau
lenyap. Keadaan dari Syai’ (sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya
suatu keadaan telah berakhir, dikatakan bahwa ia telah mencapai fana8.
Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M)
mendefinisikannya : "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada
pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya

5
Ibid, h.80
6
Duski Samad, op.cit,h. 191. Mengutip dari : Muhammad Ghalab, Tasawuf Al-Muqarin, (Kairo,
Maktabah Nahdah, tt),h.54
7
Loc. cit
8
Khan Shahib Khaja Studies In Tasawuf (terjemah), (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993) hal 91

3
dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu”9.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari
dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk
lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya10 .
Di antara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan
dengan mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’
al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah
serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain
disekitarnya disebut Fana’ al-nafs11.
Menurut Al-Thusi : Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang
terhadap tindankan-tindakannya.12
Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi, yaitu :
.‫ه‬FF‫ة ل‬FF‫اال نهاي‬FF‫ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا م‬
‫يعنى قد غابت المحاضر وتلفت االشياء فليس شيء يوجد وال يحس بشيء يفقد‬
Hilangnya daya kesadaran qalbudari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya
sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya
sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara slilih berganti sehingga
tiada lagi yang disadaridan dirasakan oleh indera13.

Sebelum sampai kepada al-ittihad seorang sufi terlebih dahulu


menghancurkan dirinya, selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, ia tidak
dapat bersatu dengan Tuhan. Itu se babnya al-fana’ sebagai proses awal lalu

9
Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas (Jakarta: Paradigma, 2001), h. 44
10
Rivay Siregar, , Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 147
11
M. Solihin Op cit hal 81
12
Abu al Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (terjemah) (Bandung, Pustaka
1997) hal 106
13
Rivay Siregar, op cit hal 146-147

4
kemudian dilanjutkan dengan al-baqa yang satu dengan yang lain merupakan
kembar yang tidak dapat dipisahkan. Yang dimaksud dengan hancurnya jiwa suci
bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan menimbulkan kesadaran sufi
terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut dengan al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah,
yaitu kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbulah kesadaran diri Tuhan.
Dengan terjadinya fana otomatis baqa akan datang sendiri dalam kondisi seperti itu
ittihad pun terjadi pula. Abu Yazid membawa pengertian yang berbeda dengan
Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai Tuhan. 14
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi
dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi
keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya (fana an
nafs)15.
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak
disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan
ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani16.
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan
Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan,
sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian
materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam
sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia
tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentang wujudnya sendiri
dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut
kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan
sebagaimana ungkapan mereka:“Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka
yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.

14
Duski Samad, op.cit, h.192-193
15
Rivay Siregar,Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002)
hal 146
16
Ibid

5
Dengan demikian bisa dikatakan pencapaian Abu Yazid ketahap fana'
dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT.
Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah disamping
mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan
perantaraan zikir, dalam kitab hikam diterangkan:
‫والذكر أعظم باب أنت داخله‬
‫هلل فأجعل له األنفاس حراسا‬

Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan
makrifah) pada Allah; maka masukilah, sertailah setiap keluar masuknya nafas
dengan zikir 17

Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya


menatap Tuhan. la bertanya, "Bagaimana caranya agar aku sampai pada- Mu?
Tuhan menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah. "Abu Yazid sendiri
sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya:
ُ ‫أعرفه بى حتى فنيت ث ّم عرفته به فحيّي‬
‫ْت‬
Artinya:
"Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana', kemudian aku
tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.18
Kehancuran (fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-
Ma'rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.
Adapun baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap.
Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada
Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan dengan paham fana' karena keduanya
merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana',
ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'19.

17
Simuh,Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997) hal
109
18
M. Solihihin,Op cit hal 82
19
Abu Muslim, Tasawuf Abu Yazid Al Bustami
http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/tasawwuf-abu-yazid.html

6
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah
sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan)
yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan
dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun20.
Paham Fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep
pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju
pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan firman Allah SWT yang bunyinya :
         
          
    

“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka


hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia


menempuhi tahapan fana dan baqa'. Disebutkan oleh Abdul Razaq Al-Katsani :
‫التحاد هو شهود الوجود الحق الواحد المطلق الذى الكل به موجود بالحق فيتحد به الكل من حيث كون كل‬
21
‫أن له وجوداً خاصا ً اتحد به فإنه محال‬
ّ ‫ ال من حيث‬،‫شيء موجوداً به معدوما بنهسه‬
:Artinya
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam
ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan,
karena fananya tak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.

Usaha untuk mencapai fana’, baqa’ dan ittihad itu bagi Abu Yazid, seperti
sufi lainya, juga diawali dengan zuhud. Ia berkata ketika seseorang bertanya
kepadanya, tentang perjuangan mencapai ittihad. Ia menjawab tiga tahun sedang
umurnya pada waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan kata lain setelah
ia berumur tujuh puluh tahun ia mencapai maqam ittihad. Ia juga berkata hari
pertama aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud

20
http://giotugi.blogspot.com/2008/12/abu-yazid-al-bustami-1.html
21
Abdul Razaq Al-Katsani, ‫( إصطالحات الصوفية القسم األول والثانى‬Kairo, Darul Manar, 1992) hal 49

7
terhadap akhirat dan segala yang akan terjadi disana, dan pada hari ketiga aku zuhud
terhadap apa saja selain Allah.22
Seorang sufi dipandang telah mencapai station ittihad adalah ketika ia dalam
keadaan mabuk (sakr atau trance). Ucapan-ucapan seperti itu juga diucapkan oleh
Abu Yazid, antara lain ia berkata: “manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak, aku
hannya mengucapkan tiada Tuhan selain Allah”23
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad
disampaikannya dalam ungkapan "pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan, lalu Ia berkata: "Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin
memandangmu. Aku menjawab: "Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi
jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku
dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka
akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku
tidak berada di hadapan mereka itu. Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Abu
Yazid telah dekat dengan Tuhan, tetapi ittihad belum ia capai, ittihad tercapai ketika
ia mengucapkan sebagai berikut:
"Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-
Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah
Engkau. Konversasi ; terputus Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu.
Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai
aku. Ia berkata, "Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata,
Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku." Pernyataan di atas
menunjukan bahwa Abu Yazid mengucapkan “aku” bukan sebagai gambaran
dirinya, tetapi sebagai gambaran Tuhan. Hal ini terjadi karena Abu Yazid sedang
mengalami ittihad. 24
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya
ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan
hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia
22
Duski Samad, op.cit, h. 194
23
Ibid
24
Ibid, h.195

8
dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan,
suatu tingkatan di mana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam
keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga
ia berbicara atas nama Tuhan.
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang
sufi diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat
Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan
ucapannya sendiri. Perkataan yang diucapkanya dalam kondisi begini tidak akan
terucap dalam kondisi normal, bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri .25
Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 :

         
          
    
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya".

Ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang
kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat
dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya.

C. Al-Hallaj
1. Biografi Al-Hallaj

25
Ibid,h.196

9
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Mughist Al-Husain ibn Mansyur ibnu
Muhammad Al- Baidhawi. Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di
kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 244 H/ 858 M. Ia bukan orang Arab, melainkan
keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang Majusi dari silsilah Abi’ Ya’qub26.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas
(penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya).
Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar.
Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas
bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan
Kufah.27
Ia mulai belajar Al-Qur’an pada Qura’ Al Qur’an mazhab Hambali dan dan
sudah hafal pada usia dini, tahun 260 H/ 873 M, dia pindah ke Tustar dan menjadi murid
Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi pengembara yang ketat dalam pengamalan
tasaufnya. Dari al-Tusturi ia belajar mengenai teori Nur Muhammad (The light of
Muhammad) yang selanjutnya sangat menentukan arah pemikiran al-Hallaj dikemudian
hari. Setelah belajar 2 tahun dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah lalu melanjutkan
perjalanan ke Baghdad. Di Basrah ia balajar dengan Amir Makki (w.279/909) salah
seorang murid al-Junaid, di Baghdad ia menuntut ilmu dan berada di bawah asuhan sufi
Abu Ya’kub al-Aqtha juga murid al-Junaid dan ia kawin dengan putri gurunya Umm al-
Husain.28
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali
selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj
tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari
dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan
praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya
kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi
oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran
26
M. Solihin opcit hal 86
27
http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj
28
Duski Samad, op.cit, h.182

10
baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini
dengan para sufi lainnya.
Banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang
kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali
ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid.
Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Sehingga
hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau
mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang
masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang.
Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan
surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan
nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk
menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Al-Hallaj meninggalkan kehidupan sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus
mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik
pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya
kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-
guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan
Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka
gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia
tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah
tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati
jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar, (Hallaj berarti seorang penggaru
sedangkan Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu) yang berarti sang penggaru segenap
rahasia atau Kalbu.29.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan
ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan
perjalanan ini, ia mutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di

29
http://irdy74.multiply.com/recipes/item/68

11
Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya
mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang
Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara
wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama
enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya.
Jumlah pengikutnya makin bertambah30.
Ia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara kebetulan
ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan
sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong
sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik
terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash al-
Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak
memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja31.
Karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran
syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan
memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot
dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap
bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-
haq" (akulah yang maha benar)32.
Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia
dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati
kepadanya. Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah ia
bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301 H / 930 M ditangkap kembali
dan dimasukkan lagi ke penjara hampir sembilan tahun lamanya. Selama itu ia terjebak
dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian
pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya
disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan
30
Ibid
31
M. Solihin op cit hal 86
32
http://irdy74.multiply.com/recipes/item/68, lok cit

12
pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya pada tahun 309
H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah
al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia
dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib,
sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan
tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar
dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.33
Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku.
Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit
dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.
Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-
kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu
'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber
muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.34

2. Pemikiran Hulul Al Hallaj


Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari warna tasawuf lainya,
dan hulul ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan
dikalangan sufi sendiri.

33
http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj,lok cit
34
Loc. cit

13
Hulul secara leksikal merupakan kata benda abstrak (masdar) yang diderivisikan
dari kata (‫ )حل يحل حال ال حلو ال‬lalu di Indonesiakan menjadi menempati, bertempat tinggal
bahkan dalam bentuk plus alif-nun (‫ )حالة‬ia dapat berarti luluh atau larut menyatu. 35
Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan
perkembangan lanjut dari paham it-tihad. Konsepsi al hulul pertama kali ditampilkan
oleh Husen Ibn Mansur Al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada
tahun 308 H, karena paham yang disebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada
masa itu.36
Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat
kemanusiaan melalui fana atau eksate. Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai
sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut.
Demikian juga Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut dan sifat
insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah menghilangkan sifat kemanusiaanya dan
mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, Maka Tuhan akan mengambil
tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan antara manusia dengan Tuhan dan inilah
37
yang dimaksud dengan hulul.
Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan sebelumnya yakitu
Ittihad. Dalam terminologi Indonesia hulul dikenal sebagai : fusi penyerapan atau
penyatuan ; istilah ini digunakan dalam filsafat dengan berbagai macam pengertian.
a. Penyatuan substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),
b. Penyatuan ruh dengan tuhan dalam diri manusia,
c. Inherensi suatu aksi dalam substansinya,
d. Penyatuan bentuk -bentuk (shurat) dengan materi pertama dan
e. Hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .38
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul,
jasad al-Hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang
35
Duski Samad, op.cit, h.186
36
Rivay Siregar, op.cit, h.155
37
Ibid, h. 156. Mengutip dari R.A. Nicholson, The Mystic Of Islam, (Routledge & Kegan Paul: London,
1996), h.150
38
Duski Samad, op.cit, h.187

14
ada hanya diri Allah, dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul
ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamanya tentang proses kejadian
manusia. Al-Halaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptankan
Tuhan sebagai copy dari diri-Nya surah min nafsih dengan segenap sifat dan
kebesaranya, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam syairnya:39
Maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian pula padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.

Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan Al-Halaj pada firman Allah dalam surah
Al-Baqarah ayat 34.
        
    
Artinya: dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Menurut pemahamanya adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada Adam
itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah
sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dalam
ungkapan Al-Hallaj berikut ini:40
Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh terusik pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu dalam satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.

39
Rivay Siregar, Op. Cit, h.156-157 . Mengutip dari A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Syaofiyah fi al-
Islam, (Dar al-Fikri: Kairo, 1996), h.361
40
Ibid, h. 157-158. Mengutip dari A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Syaofiyah fi al-Islam, (Dar al-
Fikri: Kairo, 1996), h.358

15
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali
tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif,
bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat
Allah. Olej karena itu ucapan ana al haq yang meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia
maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan
kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj. Interpensi
ini sesuai pula dengan pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:41
Aku adalah rasia yang maha benar, aku bukanlah yang maha benar, aku
hanyalah yang benar, bedakanlah antara kami.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian
juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana
manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang
mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-
nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang
dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh42.
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat
ketuhanan. Ia mentakwilkan ayat:
}٣٤ : ‫يس أَبَى َوا ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْال َكافِ ِرينَ {البقرة‬ ْ ‫ُوا آل َد َم فَ َس َجد‬
َ ِ‫ُوا إِالَّ إِ ْبل‬ ْ ‫َوإِ ْذ قُ ْلنَا لِ ْل َمالَئِ َك ِة ا ْس ُجد‬
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-
Baqarah : 34).
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq"
bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil dalam dirinya.

41
Ibid
42
http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj,

16
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan
maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj
mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan dan
keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan
dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat
menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke
tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan
melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan43.

D. Penutup
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham
fana,baqa dan ittihad.
2. Al Hallaj Perbedaan adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham hulul
3. Antara al-Ittihad dengan al-Hulul
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri al-Bustami lebur dan yang
ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud
yang bersatu dalam satu tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Katsani, Razaq Abdul, ‫ إصطالحات الصوفية القسم األول والثانى‬Kairo, Darul Manar, 1992

Al-Ghanimi, al-Taftazani. Abul Wafa’, Sufi dari Zaman ke Zaman (terjemah) Bandung,
Pustaka 1997

43
ibid

17
Hadi, AbdulWM, Tasawuf Yang Tertindas: kajian hermeneutik karya-karya Hamzah
Fansuri Jakarta, Paramadina, 2001

Khaja, Shahib Khan Studies In Tasawuf (terjemah). Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspek. Jakarta Bulan Bintang, 1992

Siregar, Rivay,Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta, Raja Grafindo


Persada, 2002

Solihin, Muhammad, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung, Pustaka Setia, 2003

Simuh,Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997)

Siregar, Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002

http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/tasawwuf-abu-yazid.html

http://giotugi.blogspot.com/2008/12/abu-yazid-al-bustami-1.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj

http://irdy74.multiply.com/recipes/item/68

18

Anda mungkin juga menyukai