Anda di halaman 1dari 13

ASY’ARI DAN ASY’ARIYAH

Oleh: Kusnadi

A. Pendahuluan
Sejarah pemikiran Islam menunjukkan, bahwa dalam bidang tionlogi Islam
terjadi berbagai pemahaman dan pemikiran yang berkembang dan kemudian menjadi
satu aliran tertentu dan bervariasi. Berkaitan dengan banyaknya pemahaman
munjullah faham yang bernama Al- Asy’ariah. Yang kemunculannya setelah tidak
merasa sesuai lagi dengan pemaham Mu,tazilah.
Maka untuk mengetahui bagaimana lahirnya aliran ini, bagaimana pemikiran
mereka mengenai akal dan wahyu, bagaimana pendapat mereka masalah sifat Tuhan,
iman dan kufur, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia, serta perbedaannya dengan
tokah-tokoh selanjutnya, (al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Gazali). Untuk itu maka
akan pemakalah tuankan permasalahannya didalam sebuah makalah dalam mata
kuliah Sejarah Pemikiran dalam Islam dengan pokok pembahasan Al-Asy’ari dan Al-
Asy’Ariah. Diharapkan agar pembahasan ini dapat menambah pengetahuan kita
terutama pengetahuan penulis sendiri. Dan pemakalah juga mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk pemakalah.

B. Sejarah dan Latar Belakan Lahirnya Al-Asy’ariah


Asy’ariyah yang dinisbahkan kepada nama Abu Al- Hasan Ali Ibn Ismail Ibn
Abi Basyar Ishaq Ibn Salim Ibn Isma’il Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi
Burdah Ibn Abdullah Abi Al- Asy’ari. Beliau dilahirkan di basrah pada tahun 260 H/
873 M dan wafat dibagdat pada tahun 324 H/ 935 M.
Kalau dilihat dari segi silsilah keturunannya diatas maka ternyata Abu Hasan
Al-Asy’ari adalah keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulallah
SAW yang pada waktu terjadi persengketaan antara pihak pemerintahan Ali dengan
pihak Mu’wiyah dialah yang menjadi utusan tahkim dari pihak Ali bin Abi Thalib.1
Pada mulanya Abu Hasan adalah murid Jubba’i, dia merupakan salah seorang tokoh
terkemuka dikalangan golongan Mu’tazilah. Dikarnakan Abu Hasan mempunyai
1
. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Asfeknya, (Jakarta: Pres, 1997), h. 4o

1
kemampuan berdebat yang tangguh, maka dia sering diberi tugas oleh Jubba’i untuk
terjung kegelanggang perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Ayah Asy’ari
orang yang paham Sunnah dan ahli Hadist. Ia wafat sewaktu Asy’ari masih kecil.
Sebelum wafat ia berwasiat kepada salah seorang sahabatnya yang bernama
Zakariyah bin yahya as- Saji agar mendidik Asy’ari. Setelah ayah Asy’ari meningal
ibu Asy’ari menikah lagi dengan tokoh Mu’tazilah yaitu Abu Ali al- Jubb’i, ayah
kandung Abu Hasim al- Jubb’i. Pada usia beliau mencapai 40 tahun, Asy’ari keluar
dari Mu’tazilah dan menyusun suatu tiologi Islam yang bertentangan dengan
Mu’tazilah. Karena aliran Mu’tazilah yang selalu mengagungkan ketinggian akal dari
pada naqal untuk memahami akidah Islam, karena hal tersebut sulit dipahami oleh
orang yang pemikirannya masih tradisional, akhirnya ia meninggalkan golongan
Mu,tazilah. Sedangkan pemikiran Asy,ari berdasar kepada nash naqal, mendahulukan
pungsi naqal dari pada akal.
Aliran Asy’ariah muncul pada sekitar tahun 916 M, yakni menjelang gurunya
meninggal.2 Maka dengan demikian dapat penulis simpulkan, bahwa Asy,ariyah pada
awalnya adalah pengikut muktazilah yang bercorak pemahamannya lebih
mendahulukan akial dari pada naqal. Dengan tidak sepaham lagi dengan pemahaman
mu’tazilah maka dia membentuk satu aliran yang berpegang kepada Al-Qur’an dan
Al- Hadist yang mudah dapat dipahami.
Kasus berobahnya Asy’ari setelah ia begitu lama menjadadi pemuka
Mu’tazilah, ternyata menarik perhatian. Para sarjana tidak bisa menunjukkan
kesepakatan apa penyebabnya, kendati ada golongan Asy’ariyah yang mengutip kisah
yang berkenaan dengan keluarnya Asy’ari dari Mu’tazilah yaitu:
Kisah tentang pengalaman mimpi yang dialami oleh Asy’ari. Dalam mimpinya
itu Nabi Muhammad SAW berkata kepadanya bahwa golongan Mu’tazilah salah dan
yang benar adalah pendirian yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Kisah yang menyatakan adanya ketidak puasan Asy’ari dalam kasus dialoknya
dengan Jubba’i tentang masalah kedudukan mukmin, kafir, dan anak kecil diakhirat.3
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa mutefasi
yang mendorong keluarnya Asy’ari dari Mu’tazilah ada dua hal yaitu. Pertama.

2
. Ahmad Hanafi, Pengantar Tiolog Islam, (Jakarta: Jaya Murni, 1994) h. 128
3
. Harun Nasution, Tiologi Islam, (Jakarta: UI, 1972) h. 62

2
Karena tidak merasa puas terhadap konsep aliran yang dipakai oleh Mu’tazilah.
Kedua, melihat perpecahan dikalangan kaum muslimin yang akan mengakibatkan
lemahnya mereka, jika tidak cepat diakhiri, al- Asy’ari sangat khawatir apabila Al-
Qur’an dan Hadist Nabi menjadi korban paham-paham Mu’tazilah yang menurut
pendapatnya tidak dapat dibenarkan. Ketidak benaran itu didasarkan atas pemujaan
akal.

C. Pemikiran-Pemikiran Al-Asy’ariah
1. Akal dan Wahyu
Manusia merupakan makhluk Alla SWT yang paling terbaik dibandingkan
dengan makhluk Allah yang lain, yang membuat manusia merupakaan mahluk
yang paling baik diantara makhluk-makhluk ciptaannya adalah Allah SWT
mempasilitaskan kepada manusia berupa akal. Dengan kelebihan akal yang
diberikan kepada manusia, manusia dituntut untuk memikirkan sesuatu ciptaan
Allah SWT. Namun dengan kelebihan akal yang diberikan, tidak dipergunakan
kepada sesuatu yang diperintahkan oleh Allah, maka manusia bisa menjadi makhluk
ciptaan Allah yang lebih rendah kedudukannya.
Bahwa didalam kitap suci Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menganjur
manusia mempergunakan akalnya dan mengejek orang-orang yang tidak
mempergunakan akal seperti yang terdapat dalam surat Al-Bagarah ayat 44 yaitu
Wahyu merupakan kalam Allah yang diturun kan kepada Nabi Muhammad
SAW padam malam qadar kelangit pertama melalui Jibril dan diturunkan kepada
Nabi Muhammad secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun atau 23 tahun. Dan
sekaligus merupakan Mu’jizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad SAW. Dan
wahyu yang merupakan Mu’jizat, telah dibukukan kedalam satu kitab yang bernama
Al-Qur’an, yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam diatas pentas dunia
sekarang ini.
Munculnya pemahaman Asy’ari masalah akal dan wahyu dikarnakan aliran
Mu’tazilah lebih mementingkan akal dari pada wahyu. Sejalan dengan itu maka akal
mengetahui tentang adanya Alla SWT. Namun dengan akalnya manusaia tidak
dapat mengetahui sesuatu perbuatan itu wajib atau tidak, karena kewajiban hanya
dapat diketahui melalui imformasi dari wahyu. Demikian pula akal tidak dapat

3
menentukan sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tidak dapat mengetahu
bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjahui perbuatan jahat adalah wajib. 4
Dan pandangan Asy’ari yang lain masalah akal dan wahyu adalah bahwa akal
manusia tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turunnya wahyu.
Semua kewajiban berdasarkan wahyu. Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan
keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang taat dan pemberian
siksa bagi orang yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu bukan akal.5
Dan pendapat yang lain yang bersangkutan dengan akal dan wahyu ini adalah
bahwa akal itu dipakai untuk meneliti, sebagai alat pelaksana, bukan untuk
menentukan hukum sesuatu. Akan tetapi dalam menetapkan hukum, ini halal ini
haram, ini pahala ini dosa, dan menetapkan hal-hal yang terjadi dialam gaib, seperti
surga dan neraka, hari berhisab dan hari pembalasan. Semuanya itu ditentukan oleh
Syariat dan Tuhan. Karena agama itu punya Tuhan, bukan punya akal.6
Dari beberapa pandangan Asy’ari tentang masalah akal dan wahyu diatas
ketiga-tiganya sama-sama benar tapi yang membedakannya cara redaksinya saja
maksud dan tujuannya sama. Disamping itu penulis berkesimpulan bahwa akal dan
wahyu sama-sama saling membutuhkan satu sama lain, tetapi salah satunya
mempunyai tugas masing-masing. Bila dikatakan mana yang lebih kuat akal atau
wahyu dalam menentukan hukum, maka dalam hal ini penulis lebih cenderung
kepada wahyu, karena segala hal yang menjadi kewajiban manusia tidak bisa
ditangkap oleh akal. Yang bisa menyelesaikan masalah itu adalah wahyu. Kalau
seandainya akal bisa menentukan suatu hukum atau kewajiban maka dunia Islam
akan amburadur, pemikiran kita pada hari ini akan berbeda dengan hari sesudahnya,
dan akal orang yang premitif tidak sama dngan akal orang yang telah mempunyai
ilmu pengetahuan. Ringkasnya bahwa akal tidak bisa menentukan suatu hukum
apakah ini wajib, apa haram dan sebagainya.
2. Sipat Tuhan
Sipat tuhan merupakan topik pembahasan yang sangat penting dalam tiologi
Islam. Dengan mengetahui pandangan-pandangan dari masing-masing aliran tiologi
4
. Duskiman Sa’ad Aliran Dalam Islam, Perbedaan Pemahaman Dalam Kajian Thiologi
Islam, (Padang: IAIN-IB Press) h. 82
5
. Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani, Studi Tentang Persamaan Dan Perbedaannya
Dengan Al-Asy’ari, (Yokyakarta: PT Tiara Wacana Yogya) h. 115
6
. Sirajuddin Abas, I’qtikad Ahlussnnah Wal-Jama,ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah) h.184

4
Islam, maka dapat diketahui aliran mana yang benar–benar mempertahankan
keesaan Allah Swt dan mana yang tidak.
Dalam masalah sifat tuhan ini Asy’ari berpendapat bahwa tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti sifat mengetahui, hidup, berkuasa, mendengar, melihat, dan lain-
lain. Tuhan mustahil mendengar, melihat, mengetahui dengan zay-Nya. 7 Dalam
keterangan diatas terkandung pengertian bahwa sifat-sifat tuhan bukanlah zat tuhan.
Sifat-sifat tuhan adalah sesuatu yang lain dari pada zat.
Asy’ari juga berpendapat tuhan itu mempunyai sipat seperti, ilmu, hayat,
sama’ dan basr. Sifat-sifat tersebut bukanlah zatnya. Menurutnya Allah mempunyai
ilmu karena alam yang diciptakan demikian teratur tidak tercita kecuali diciptakan
oleh tuhan yang mempunyai ilmu. Demikian pula menurutnya Allah mempunyai
qudrad, hayat dan sebagainya. Sifat- sifat Allah berdiri dengan sendirinya.8
Asy’ri juga berpendapat tuhan itu mempunyai sifat seperti ilmu, hayat, sama’
bashar dan qudrat. Sifat-sifat tersebut bukanlah zatnya. Mustahil kata Asy’ari,
Tuhan mengetahui dengan zat-Nya.karena kalau demikian berarti zat-Nya adalah
pengetahuan. Tuhan bukanlah ilmu (pengetahuan) melainkan ‘alim (yang
mengetahui). Dengan kata lain tuhan mengetahui dengan sifat ilmunya,
berkehendek dengan sifat kehendaknya, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut
bukanlah edentik dengan zat-Nya, sifat berdiri dengan sendiri dan zat berdiri dengan
sendiri.9
Asya’ari juga berpendapat kita harus percaya seyakin-yakinya bahwa Tuhan
itu ada dan mempunyai banyak sifat. Boleh dikatakan bahwa tuhan mempunyai
sekalian sifat jamal (keindahan) sifat Jalal (kebesaran) dan sifat kamal
(kesempurnaan). Tetapi yang wajib diketahui dengan teperinci oleh setiap umat
Islam yang sudah baligh dan ber’akal, adalah dua pulih sifat yang wajib dan dua
puluh sifat yang mustahil dan satu yang harus. 10 Dan dalil yang dijadikan alasan
bahwa Allah SWT mempunyai sifat oleh Asy’ari adalah firman Allah dalam surat
AL- Hasyar ayat 22

ِ ‫ هُ َو هَّللا ُ الَّ ِذي اَل إِلَهَ إِاَّل هُ َو َعالِ ُم ْال َغ ْي‬.‫َّحي ُم‬
‫ب َوال َّشهَا َد ِة‬ ِ ‫هُ َو الرَّحْ َم ُن الر‬
7
. Abdul Azis Dahlan, Teologi Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN-IB Press) h.144
8
. Ibid. h. 43
9
. Ibid. h. 81
10
. Ibid. h. 37

5
Artinya: “ Dialah Tuhan, tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahu yang tersembunyi
dan yang terang. Dia yang pengasih dan penyayang” (Q.S. Al- Hasyar:
22)

Dan firman Allah dalam surat Al- Hasyar ayat 24

  َ ‫ئ ْال ُم‬
. ‫ص ِّو‬ ِ َ‫ق ْالب‬
ُ ‫ار‬ ُ ِ‫هُ َو هَّللا ُ ْال َخال‬

Artinya: ‘ Dialah Tuhan, yang mengadakan sesuatu, pencipta dan pembentuk rupa “
( QS. Al- Hasyar: 24)

Dari beberapa pendapat Asy’ari tentang masalah sifat Tuhan diatas maka
penulis lebih tertarik kepada pendapat yang terakhir, karena disamping mudah
dipahami dan Asy’ari mengungkapkan pula satu dalil yang berkenaan dengan sifat
Allah tersebut. Bukan berarti bahwa penulis tidak menyetujui pendapat yang
lainnya, diantara pendapat yang dikemukakan oleh Asy’ari dalam masalah sifat
tuhan ini semuanya benar dan ada hubungannya satu samalain. Disamping itu
poenulis juga sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat, sifat itu
berdiri dengan sendirinya, dengan kata lain bahwa sifat bukanlah zat.

3. Iman dan Kufur


Berbicara masalah iman dan kafir ini, maka tidak terlepas dari perbedaan
pendapat diantara aliran-aliran dalam pemikir-pemikir tiologi Islam tentang masalah
ini (iman dan kufur). Ada aliran dalam tiologi Islam yang berpendapat bahwa iman
itu bukan pengakuan dalam hati, tetapi cukup dengan mengucap dengan lisan saja,
dan amal ibadah menjadi rukun iman juga. Pendapat ini yang dipegangi oleh
golongan Khawarij. Mereka menghukum kafir terhadap orang yang tidak
melakukan ibadah yang telah ditentukan sebagai kewajiban bagi mereka. Dan aliran
lain berpendapat bahwa iman itu cukup diakui dalam hati saja, walaupun tidak
diikrarkan dengan liasan. Pendapat inilah yang dipegangi oleh aliran Jabariyah.
Permasalahan ini tidak penulis perpanjangkan karena tidak sebagai objek

6
permasalahan yang akan dibahas. Yang menjadi pembahasan penulis adalah
pandangan Iman Asy’ari terhadap masalah iman dan kufur.
Sebangaimana penulis kutip dalam sebuah buku karangan Sarajuddin Abas
bahwa Asy’ari berpendapat bahwa Iman adalah mentasdikkan dengan hati,
mengikrarkan dengan lisan dan mengerjakan dengan anggota. Berarti kalau
seseorang telah membenarkan dalam hatinya bahwa Tuhan ada dan tunggal, bahwa
Nabi Muhamad Rasulnya, sesudah itu diucapkan dengan lisan, maka orang itu
sudah muslim dan mukmin dan berlaku baginya sekalian hukum yang bertalian
dengan orang mukmin, mereka hanya diminta mengucapkan syahadah.11 Sedangkan
kufir menurut pandangan Asy’ari adalah orang yang ragu atas adanya Allah, ragu
terhadap adanya Rasul, ragu terhadap bahwa Ai-Qur’an itu wahyu Allah, ragu
bahwa akan ada hari kiamat, akhirat, surga, ragu bahwa Nabi Muhammat isra’dan
Mi’raj dan lain-lain.
Pendapat lain Asy’ari masalah iman dan kafir adalah iman pengakuan hati
tentang keesaan Tuhan dan kebenaran Rasul-rasulnya serta pengakuan melalui lisan,
dan ketaatan dalam menjalankan perintah.12 Berarti ada dua posisi manusia, posisi
mukmin dan kafir. Orang yang sudah mengucapkan dua kalimat sahadat menurut
Asy’ari bila melakukan dosa besar tetap mukmin, ia menjadi mukmin yang fasik.
Orang yang kafir adalah orang yang mengingkari masalah I’tikad.
Dari beberapa pembahasan diatas maka dapat penulis ambil satu kesimpulan,
bahwa iman adalah ditasdik dalam hati dan diikrar dengan lisan disertai dengan
pengamalan. kafir adalah orang yang tidak mempercayai adanya tuhan dan masalah-
masalah I’tikad. Tetapi kalau seorang mukmin yang telah melakukan dosa besar
tetap sebagai mukmin tafi mukmin yang durhaka.

3. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia


Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatu yang
wasjib baginya. Tuhan bekehendak sekehendaknya. Tuhan tidak tunduk kepada
siapapun, tidak ada zat diatas Tuhan yang dapat membuat hukum-hukum dan

11
. Sirajuddin Abas, Op. Cit, h. 88
12
Duskiman Sa’ad Op. Cit. h. 113

7
menentukan apa yang tidak boleh diperbuat dan apa yang boleh dikerjakan. 13 Disini
nampaklah Tuhan boleh saja memasukkan sekalian orang yang baik dan jahat
kedalam surga dan juga boleh memasukkan manusia kedalam neraka. Perbuatan
memasukkan oleh Tuhan orang yang jahat kedalam surga dan orang yang baik
kedalam neraka, bukan merupakan satu kewajiban, mengenakan satu kewajiban
kepada Allah sama artinya memberi Tuhan satu hukum maha suci Tuhan dari segala
hukum.
Maka dari keterangan diatas maka dapat penulis ambil satu pengertian bahwa
pendapat pokok Asy’ri dalam masalah perbuatan Tuhan adalah bahwa tidak ada
kewajiban bagi Tuhan ia berkehendak terhadap segala ciptaannya apa yang ia
kehendakai. Tuhan mempunyai kekuasaan yang mutlak. Tidak ada satu penciptapun
yang dapat menandingi perbuatan Tuhan.
Dan dalam masalah perbuatan manusia Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan
manusia bukan diwujudkan oleh manusia itu sendiri, tetapi diwujudkan oleh Tuhan;
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan itulah yang diperoleh (kasab) oleh manusia.
Asy’ari juga berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak akan terlepas dari
kekuasaan dan kehendak mutlak Allah. Manusia tidab mempunyai kemampuan
tampa ada izin dan kehendak Allah. Perbuatan baik dan buruk hanyalah terjadi
dengan kehendaknya. Perbuatan kafir adalah buruk, walaupun orang kafir ingin
supaya perbuatan kafir itu sebenarnya bersifat baik, apa yang dikehendaki orang
kafir ini tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan
sulit, walaupun orang mukmin itu ingin supaya perbuatan iman itu tidak berat dan
sulit. Namunn yang dikehendaki orang mukmin itu tidak dapat diwujudkan.14
Selain itu Asy’ri juga berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai pilihan
didalam perbuatanya, karena semua yang dilakun manusia berdasarkan ketentuan
Tuhan. Baginya tuhan menciptakan perbuatan manusia. Hakikatnya perbuatan itu
tidak akan terjadi kecuali diciptakan oleh orang yang menciptakannya.15
Dari keterangan diatas maka dapat penulis ambil satu pegertian segala model
perbuatan yang dilakukan oleh makhluk ciptaan Tuhan, tidak satupun yang mampu

13
. Toshiro Izutsu, Konsep Kepercayaan Dalam Tiologi Islam, (Yokyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1994) h. 243
14
. Ibid. h. 287
15
. Duskiman Sa’ad, Op, Cit. 83

8
menciptakan perbuatan. Karena pada hakiikatnya segala perbuatan dicptakan oleh
yang maha kekuasaan yaitu Tuhan. Manusia cuma memperoleh pemberian kekuatan
dari Tuhan. Yang diistilahkan dengan kasab.

D. Persamaan dan Perbedaan dengan Tokoh-tokoh Selanjutnya


1. Al- Baqillani
Nama lengkapnya Muhammad Ibn al- tayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-
Baqillani. Ia dilahirkan di M Basrah dan wafat di Baqdad, hidup dari tahun 338
H/950 M sampai 403 H/1013 M. ia salah satu tokoh terpenting yang mendukung
dan menyebar luaskan paham Asy’ari. Bila Asy’ari merupakan Tioloq yang dalam
bidang fikih bermazhab Syafi’i. maka Baqillani merupakan Tialog yang dalam
bidang fikih bermazhad Maliki.16
Sebagai tokoh yang berpegang kepada pemahaman Asy’ari, maka dapat kita
maklumi bahwa pada umumnya pendapat Baqillani sejalan dengan paham Asy’ari.
Namun setiap manusia tidak selalunya sepaham dalam memecahkan satu
masalah. Maka Baqillani tidak sepaham dengan Asy’ari tentang perbuatan manusia.
Menurutnya manusia mempunyai sumbangan yang efektif bagi terwujudnya satu
perbuatan. Memang Tuhan yang mewujudkan gerak yang terdapat pada manusia,
tetapi sipat dan bentuk gerak itu, seperti duduk, berdiri, bertinju, berjalan, dan lain-
lain, bukan tuhan yang mewujudkannya. Manusialah yang mewujudkan sifat dan
bentuk gerak tersebut. Dan pendapat Baqillani yang lain yang bertentangan dengan
Baqillani adalah bahwa Baqilli mengatakan sifat adalah hal.17
Dari keterangan diatas maka dapat penulis mengambil satu pengertian bahwa
pada umumnya pendapt Baqillani dalam bidang Tioloq sama dengan Asy’ari. Tapi
yang membedakan adalah perbuatan pada hakikatnya dari Tuhan tapi sifat dan
bentuk perbuan manusialah yang menwujudkannya.
2. Juwaini
Nama lenngkapnya adalah ‘Abd al- Malik al- Juwaini. Terkenal juga dengan
nama Iman al-Harmayn. Ia dilahirkan di Nasabur tahun 419 H/1028 M. ia digelari
Iman al-Harmain, karena pernah bermukim dan mengajar di dua kota suci, Mekkah
16
. Ali Mustafa Gurabi, Tarikh Al- Firaq Al- Islamiyyah Wa Naay’at ‘llm Al- Kalam ‘Ind
Al- Muslimin, (Kaio: 1979) h. 217
17
. Abd Azis, Op. Cit. 119

9
dan Madinah. Ia cukup lama memimpin Madrasa Nizamiah di Nasabur, dan wafat
disana pada tahun 478 H/1085 M. Ia adalh Teoloq Asy’ari yang dalam bidang fikih
bermahab Syafi’i.18
Seperti halnya Baqillani, ternyata Juwaini juga tidak selalu sepaham dengan
ajaran Asy’ari tetapi pada umumnya pendapat dia sama dengan Asy’ri. Juma dia
berselisih pendapat tentang merasa perlu untuk mentakwilkan ayat-ayat tasybih,
seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Juwaini berpendapat bahwa tangan Tuhan
haruslah ditakwilkan (diartikan) kekuasaannya, wajah Tuhan diartikan dengan
wujudnya, dan keadaan Tuhan duduk di ‘arasy diartikan dengan berkuasa dan maha
tinggi. Dan pendapat Juwaini yang lain yang berberbeda dengan Asy’ari adalah
tentang masalah perbuatan manusia. Bahwa daya yang terdapat pada manusia
mempunyai efek. Efeknya itu serupa dengan efek yang terdapat pada hubungan
antara sebab dan akibat. Terwujudnya satu perbuatan tergantung pada daya yang
ada pada manusia; wujud daya itu tergantung pula kepada sebab yang lain, wujud
sebab ini tergantung pula kepada sebab yang lain sehingga berakhir wujud segala
sebab itu kepada tuhan.
Dari pengertian diatas maka dapat penulis mengambil satu pengertian bahwa
perbedaan pendapat antara Asy’ari dengan Juwaini dalam masalah tiologi Islam
Cuma dalam masalah bahwa Juwaini harus mentakwilkan ayat-ayat tasybih dan
perbuatan tuhan adanya sebab dan akibat.
3. Gazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali
al- Tusi. Ia dilahirkan di desa Gazaleh, termasuk kedalam kota Tus pada tahun 450
H/1058 M. selama delapan tahun dia berguru dan bergaul dengan Juwaini di
Nasabur, dan berhasil menjadi tokoh yang tak dapat ditandingi. Dari usia 33 sampai
38 tahun, ia memimpin perguruan tinggi Nizamiah, baqdad, dan semakin mashur
namanya. Setelah mengalami sakit dan tidak bisa berbicara selama enam bulan,
karena komplik batin antara tetap meneruskan karir akademik atau mengundurkan
diri untuk menjalani hidup kesupian akhirnya ia tinggalkan kota Baqdad pada tahun
488 H, mengembara keDamaskus, Yirusalem, Mekkah, Madinah dan kembali ke

18
. Harun Nasutian, Tiologi Islam Aliran-Aliran Analisa Perbandingan, (Jakarta: Pen. UI,
1986) h. 72

10
Tus. Dan beliau terkenal dengan orang yang pertama kali memadu tasawuf yang
moderat dengan tiologi, fikih dan etika.19 Namun walaupun ia merupakan salah satu
tokoh yang selalu berpegang kepada pendapat Asy’ari, tidak berarti bahwa diantara
dia dengan pemikiran Asy’ari tidak terdapat perbedaan. Pada umumnya pendapat
Gazali sama dengan pendapat Asy’ari. Dan mereka berbeda pendapat tentang
masalah sipat Tuhan dan perbuatan manusia. Al- Gazali berpendapat bahwa tuhan
mempunyai sifat yang berada diluar zat. Manusia tidak dapat mewujudkan
perbuatanya tapi Tuhanlah yang mewujudkan perbuatan manusia seluruhnya.

E. Kesimpulan
1. Akal dan wahyu tidak bisa dipisahkan tapi mempunyai kerja masing-masing tetapi
wahyu lebih diutamakan dari pada akal. Akal tidak bisa menentukan satu kewajiban
yang bisa menentukan satu kewajiban adalah wahyu.
2. Allah mempunyai sifat yang banyak seperti sifat ‘imu, basir, qudrat, hayat dan sipat-
sipat yang lain. Dan yang wajib diketahui bagi orang Islam yang baliq dan berakal
adalah dua puluh sifat yang wajib, dua puluh sipat yang mustahil dan satu yang
harus. Ringkasnya bahwa Tuhan mempunyai sifat.
3. Iman adalah ditasdikkan didalam hati, diikrar dengan lisan, serta disertai dengan
amal. Sedangkan kafir orang yang ragu dengan adanya Allah, ragu terhadap
Rasulallah, ragu terhadap ari kiamat, surga dan lain-lain.
4. Segala perbuatan semata-mata kehendak Allah tidk ada yang menciptakan perbuatan
kejuali Allah, tetapi Allah tidak mempunyai hukum semuanya dibuat dengan
sekehendaknya. Perbuatan kufur itu burauk, walaupun bagaimana orang kafir ingin
perbuatan itu baik namun dia tetap perbuatan jahat. Perbuatan muslim itu bagus,
tapi sulit, bagai manapun seseorang mukmin ingin perbutan itu tidak sulit maka
seorang mukmin tidak dapat menciptakannya, ringkasnya segala perbuatan
diciptakan oleh Alla SWT.
5. ketiga tokoh al-Asy’ariah mempunyai perbedaan pendapat tentang sifat Tuhan,
menurut al-Baqillani sifat Tuhan sama dengan hal, bila Tuhan Mengetahui, berarti
ia mengetahui keadaan mengetahui. Berbeda dengan al-juwaini yang berpendapat

19
. Ibid. h,83

11
bahwa harus mentakwilkan ayat-ayat mutasabihah. Sedangkan bagi al-Ghazali
Tuhan mempunyai sifat yang berada diluar zat.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai perbuatan manusia, bagi al-
Baqillani, manusia mempunyai kekuatan untuk menunjukkan perbuatannya, bagi al-
juwaini, perbuatan yang diwujudkan manusia tergantung pada daya manusia dan
daya itu tergantung pada sebab akibat yaitu Tuhan. Ringkasnya perbuatan manusia
diwujudkan oleh manusia dan Tuhan. Sedangkan bagi al-Ghazali manusia tidak bisa
menunjukkan perbuatannya tetapi yang menunjukkan perbuatan itu adalah Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi ahmad, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Jaya murni, 1994.

12
Azis Dahlan Abdul, Teologi Aqidah Dalam Islam, Padang: IAIN-IB-Press, 1979
Abbas Sirajuddin, I’qtikad Ahlussunnah Wal-jama’ah Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Harun Nasutian, Tiologi Islam Aliran-Aliran Analisa perbandingan Jakarta: Pen, UI
1986
Izutsu Toshiro, Konsep Kepercayaan Dalam Tioloigi Islam, Yokyakarta: PT. Tiara
Wacana 1994
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Press 1997
Sa’ad duskiman, Al-Baqillani Aliran Dalam Islam, Perbedaan Pemahaman Dalam
Tiologi Islam, Padang: IAIN, Press,
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani, Studi Tentang Persamaan dan
Pemberdayaannya, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya

13

Anda mungkin juga menyukai