Anda di halaman 1dari 27

WRAP UP BLOK MPT SKENARIO 2

GATAL DAN BENTOL MERAH DISELURUH TUBUH

Kelompok : A3
Ketua : Hanif Hajjaj Miftah Fathan 1102017101
Sekretaris : Fadilah Dirayati 1102017080
Anggota : Natasya Puspita Dewi 1102015162
Suryantio Jiwandono 1102015232
Bella Angela 1102017048
Danya Mutiara Larasati 1102017060
Galda Feriyalda Galeb 1102017096
Muhammad Febrian Aldaromi 1102017148
Sitti Nur Arafah Wakan 1102017221

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018/2019
Jl. Letjen Suprapto RT.10 RW.05, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, 10510.
Telp. +62 21 4206675 / Fax. +62 21 4243171
Daftar Isi
Daftar Isi ............................................................................................................... 2
Skenario ................................................................................................................ 3
Kata-Kata Sulit .................................................................................................... 3
Pertanyaan ............................................................................................................ 3
Jawaban ................................................................................................................ 3
Hipotesis ................................................................................................................ 4
Sasaran Belajar .................................................................................................... 5
LO 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas ..................................... 6
LI 1.1 Definisi ............................................................................................ 6
LI 1.2 Etiologi ............................................................................................ 6
LI 1.3 Jenis Hipersensitivitas...................................................................... 7
LI 1.3.1 Hipersensitivitas Tipe I ................................................................ 7
LI 1.3.2 Hipersensitivitas Tipe II................................................................ 9
LI 1.3.3 Hipersensitivitas Tipe III ............................................................. 14
LI 1.3.4 Hipersensitivitas Tipe IV ............................................................. 18

LO 2. Memahami dan Menjelaskan Anti Histamin dan Kortikosteroid


LI 2.1 Farmakodinamik.............................................................................. 19
LI 2.2 Famakokinetik…............................................................................. 22
LI 2.3 Indikasi .......................................................................................... 24
LI 2.4 Kontra-indikasi .............................................................................. 24
LI 2.5 Efek Samping ................................................................................ 25
Daftar Pustaka .................................................................................................... 27

2
Skenario
GATAL DAN BENTOL MERAH DI SELURUH TUBUH
Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan demam dan
sakit menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotika golongan penisilin.
Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merag yang hampir merata
di seluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali
berobat ke dokter. Pada pemereiksaan fisik didapatkan angioedem di mata dan di bibir, dan
urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti histamin dan kortikostreiod.
Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat.

Kata Sulit
1. Urtikaria: kelainan kulit berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab
oleh reaksi alergi dengan ciri-ciri kulit eritema (kemeraha) dengan sedikit penonjolan
(elevasi) kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor
presipitasi dan menghilang perlahan-lahan.
2. Angioedem : reaksi vaskular dermis bagian dalam atau jaringan subkutan atau
mukosa.
3. Antihistamin: zat yang menurunkan efek histamin terhadap tubuh dengan cara
memblok reseptor histamin.
4. Alergi: reaksi menyimpang dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda yang
secara normal tidak berbahaya bagi tubuh dan melibatkan Immunoglobulin E.
5. Hipersensitivitas: keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi tubuh
berupa respon imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap benda asing.
6. Kortikosteroid: setiap steroid yang dikeluarkan oleh korteks adrenal (tidak termasuk
hormone seks) atau setiap hormone sintetik yang setara dengan steroid ini.
7. Gatal: sensasi kulit yang memicu refleks untuk menggaruk pada area tertentu tubuh.
8. Bentol: timbulan padat di permukaan kulit yang diameternya kurang dari 1cm.
Pertanyaan
1. Mengapa reaksi alergi muncul setelah penderita minum obat?
2. Apa saja tipe-tipe hipersensitivitas?
3. Mengapa dokter memberikan antihistamin dan kortikosteroid?
4. Bagaimana mekanisme hipersensitivitas?
5. Apa saja macam-macam gejala alergi?
6. Mengapa didapat angioedema di mata dan bibir?
7. Mengapa gatal-gatal muncul pada reaksi alergi serta bentol-bentol merah?
8. Bagaimana pandangan Islam tentang pemberian obat?
9. Bagaimana cara dokter untuk menegakkan diagnosis pasien tersebut?
10. Apa saja penyebab timbulnya reaksi alergi?
11. Apa efek samping dari pemberian antihistamin dan kortikosteroid?
12. Apakah ada gejala selain urtikaria dan angioedema?
13. Apakah reaksi alergi dapat menyebabkan kematian?
Jawaban

3
1. Terdapat substrat dalam Parasetamol yang memicu reaksi alergi
2. Hypersensitivitas menurut coombs :
a. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 (reaksi cepat/alergi)
b. Reaksi hipersensitivitas tipe 2 (sitoksik)
c. Reaksi hipersensitivitas tipe 3 (kempleks imun)
d. Reaksi hipersensitivitas tipe 4 (reaksi lambat)
Menurut pembagian waktu
a. Reaksi cepat
b. Reaksi intermediet
c. Reaksi lambat
3. Antihistamin untuk menghentikan reaksi alergi untuk menurunkan produksi histamin,
sedangkan kortikosteroid untuk penggantian hormon, agen anti inflamasi, dan
menekan respon imun.
4. Antigen masuk → sel B berperan menghasilkan → sel B plasma dan sel B memori
Sel B plasma → memproduksi antibodi, misalnya IgE → IgE menempel pada sel mast
→ sel mast terdapat banyak granula → granula pecah → keluar dari jaringan →
produksi histamin meningkat → hipersensitivitas.
5. Demam, batuk, pilek, bersin, urtikaria, odem, gatal, radang.
6. Histamin berfungsi untuk vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan meningkatkan
permeabilitas sehingga menyebabkan edema karena banyak cairan keluar ke
ekstravaskular.
7. Gatal-gatal dapat disebabkan diproduksinya histamin yang berlebihan.
8. Diperbolehkan karena untuk kemaslahatan orang banyak.
9. Anamnesis, pemeriksaan fisik pemeriksaan penunjang, seperti serologi dan skin prick
test.
10. Timbul jika terpajan dengan faktor pencetus, misalnya debu, makanan, obat-obatan
tertentu.
11. Efek samping antihistamin: lelah, insomnia, penglihatan kabur sementara
Efek samping kortikosteroid: gangguan psikologis, hipertensi, gangguan pertumbuhan
pada anak
12. Demam, batuk, pilek, bersin, urtikaria, odem, gatal, radang.
Hipotesis
Reaksi alergi dapat terjadi secara cepat maupun lambat yang dapat disebabkan jika terpajan
dengan faktor pencetus, misalnya debu, makanan, atau obat-obatan tertentu. Reaksi alergi
ditandai dengan batuk, pilek, bersin, urtikaria, odem, gatal, radang dan dilakukan
penatalaksanaan dengan pemberian antihistamin dan kortikosteroid.

4
SASARAN BELAJAR

LO 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas


LI 1.1 Definisi
LI 1.2 Etiologi
LI 1.3 Jenis HIpersensitivitas
LI 1.3.1 Hipersensitivitas Tipe I
LI 1.3.2 Hipersensitivitas Tipe II
LI 1.3.3 Hipersensitivitas Tipe III
LI 1.3.4 Hipersensitivitas Tipe IV
LI 1.4 Manifestasi Klinis
LO 2. Memahami dan Menjelaskan Anti Histamin dan Kortikosteroid
LI 2.1 Farmakokinetik
LI 2.2 Farmakodinamik
LI 2.3 Indikasi
LI 2.4 Kontra-indikasi
LI 2.5 Efek Samping

5
L.O. 1 Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas
L.I. 1.1 Memahami dan menjelaskan Definisi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas saat tubuh bereaksi terhadap


respons imun yang berlebihan atau tidak tepat terhadap sesuatu yang dianggap benda
asing. Hasil reaksi ini dapat berupa sutu lesi yang berbentuk ringan sebagai inflamasi
lokal sampai syok menyuluruh. Hipersensitivitas terhadap antigen tubuh sendiri disebut
penyakit autoimun.
(Dorland, 2010)

Suatu keadaan dengan respons sistem imun yang menyebabkan reaksi berlebihan atau
tidak sesuai yang membahayakan hospesnya sendiri. Pada orang tertentu, reaksi-reaksi
tersebut secara khas terjadi setelah kontak kedua dengan antigen spesifik (alergen).
Kontak pertama adalah kejadian pendahulu yang diperlukan yang dapat menginduksi
sensitasi terhadap antigen spesifik tersebut.
(Jawetz et al. 2008 )
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
(Karnen Garna, 2014)

L.I. 1.2 Memahami dan Menjalaskan Tentang Etiologi Hipersensitivitas


1. Autoimunitas
Secara normal, sistem imun tidak bekerja untuk melawan antigen individu sendiri.
Fenomena ini disebut “self-tolerance”, yaitu kita mentoleransi antigen kita sendiri.
Terkadang terjadi kegagalan pada self-tolerance, yang mengakibatkan reaksi melawan
sel tubuh dan jaringan sendiri dan ini disebut autoimunitas.

2. Reaksi melawan mikroba


Terdiri dari banyak tipe reaksi melawan antigen mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit. Dalam beberapa kasus, reaksi muncul berlebihan atau antigen mikroba tetap
ada. Jika antibody dibentuk melawan antigen tersebut, maka antibody akan mengikat
antigen mikroba dan membentuk kompleks imun, yang dapat mengendap apda
jaringan dan memicu inflamasi. Sel T merespon melawan mikroba yang akan
meningkatkan inflamasi hingga parah, terkadang dengan adanya formasi granuloma
yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan di tuberculosis dan penyakit infeksi
lainnya.

3. Reaksi melawan antigen di lingkungan


Sebagian besar individu sehat tidak bereaksi secara kuat untuk melawan zat yang
umum pada lingkungan (contoh : serbuk, bulu binatang, debu), tetapi hampir 20%
dari populasi alergi terhadap zat tersebut. Alergi adalah penyakit yang disebabkan
oleh berlebihannya respon imun terhadap beberapa beberapa jenis yang tidak
infeksius yang sebaliknya tidak berbahaya. (Lichtman, 2005)

6
LI 1.3 Memahami dan Menjelaskan Jenis Hipersensitivitas
Hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Menurut waktu timbulnya reaksi
a. Reaksi Cepat
Terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam dua jam. Ikatan silang antara allergen
dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi
reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik dan anafilaksis berat.
b. Reaksi Intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan
pembentukan kompleks imun igG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen
dan/atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet berupa:
 Reaksi transfusi darah (eritroblastosis fetalis, dan anemia hemolitik autoimun)
 Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis, artritis rheumatoid dan LES)
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan penjamu yang disebabkan
oleh sel neutrophil atau sel NK.
c. Reaksi Lambat
Terlihat sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi
oleh sel Th. Pada Delayed Type Hypersensitivity, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan
sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah
dermatitis kontak, reaksi M. tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur. (Imunologi Dasar
FKUI)
b. Menurut Gell & Coombs
a. Hipersensitivitas Tipe I
Suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau reaksi anafilaksis alergi mengikuti
kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih dahulu diikat pada permukaan sel
mast dan basofil.
b. Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik. Terjadi
karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari
penjamu. Antibodi bereaksi dengan determinan antigen pada permukaan sel yang
menimbulkan kerusakan sel/kematian melalui lisis dengan bantuan komplemen atau
ADCC (Antibody Dependent Cell (mediated) Cytotocity).
c. Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah
reaksi imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan
komplemen sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.
d. Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol
sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV
telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis
yang terjadi melalui sel CD8+ (Bratawidjaja, 2012).

L.I. 1.3.1 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I


Definisi
Reaksi patologis yang disebabkan oleh pelepasan mediator dari sel mast. Reaksi ini
kebanyakan dipicu oleh produksi antibodi IgE terhadap antigen lingkungan dan ikatan IgE
dengan sel mast pada berbagai jaringan (Imunologi Dasar Abbas)

7
Etiologi
Jenis Alergi Alergen Umum Gambaran
Edema dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi
Anafilaksis Obat, serum, kacang-kacangan
trakea, kolaps sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian
Urtikaris akut Sengatan serangga Bentol merah
Rinitis alergi Polen, tungau debu rumah Edema dan iritasi mukosa nasal
Konstriksi bronkial, peningkatan
Asma Polen, tungau debu rumah produksi mukus, inflamasi saluran
nafas
Kerang, susu, telur, ikan, bahan Urtikaria yang gatal dan potensial
Makanan
asal gandum menjadi anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang terasa
Polen, tungau debu runah,
Ekzem atopi gatal, biasanya merah dan ada
beberapa makanan
kalanya vesikular
Mekanisme
1. Paparan pertama terhadap alergen
2. Aktivasi Th2 dan sel T helper folikuler (Tfh) pensekresi IL-4
yang merangsang produksi antibodi IgE sebagai respons terhadap antigen  produksi
IgE
3. Pengikatan IgE pada reseptor Fc spesifik sel mast
4. Pada paparan antigen berikutnya pengkaitan silang IgE yang
terikat oleh antigen, dan pelepasan mediator sel mast.
Beberapa mediator sel mast menyebabkan peningkatan cepat permeabilitas vaskuler
dan kontraksi otot polos, menimbulkan banyak gejala dalam reaksi. Morfologi dari reaksi
cepat ditandai dengan vasodilatasi, kongesti dan edema

Manifestasi Klinis
a. Reaksi Lokal: Reaksi hipersensitivitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau
organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat allergen masuk.
Kecendrungan untuk menunjukkan reaksi tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi.
Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalu IgE seperti rhinitis
alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan
menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum
(darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi
alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas, misalnya:
b. Urtikaria: suatu kelainan yang terbatas pada bagian superfisial kulit berupa bentol
(wheal) yang berbatas jelas dengan dikelilingi daerah yang eritematous. Pada bagian
tengah bentol tampak kepucatan. Biasanya kelainan ini bersifat sementara (transient),
gatal dan bisa terjadi dimana pun di seluruh permukaan kulit.
c. Angiodema: edema lokal dengan batas jelas yang melibatkan lapisan kulit yang
lebih dalam (jaringan subkutan), bila dibandingkan pada urtikaria dan terasa nyeri
bukannya gatal. Bisa terjadi di manapun tetapi paling sering pada daerah mulut,
kelopak mata dan genitalia.
d. Kontraksi spasmodik bronkus yang disebabkan alergi dengan allergen tertentu.
Pada asthma bronkial didapat batuk mengi, bunyi khas saat ekspirasi (wheezing).
e. Reaksi sistemik – anafilaksis: Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal
dan terjadi dalam beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell
dan Coombs tipe I atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat

8
mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai
mediator. Reaksi dapat dipicu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-
kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan
anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
f. Reaksi Pseudoalergi atau anafilaktoid: Reaksi pseudoalergi adalah reaksi
sistemik umum yang melibatkan penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak
melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun.
Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe 1 sperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya
sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan
pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan
antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan
pelemas otot.

L.I. 1.3.2 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II


Definisi
Reaksi Hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.
Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian
dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel
dilibatkan. (Karnen, 2006)
Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik terjadi karena dibentuknya antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai
dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau
antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.
Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.
Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu organ misalnya tiroid. Kejadian ini dapat
terjadi pada:
 Reaksi obat: Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan
eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik.
Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan
menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat
mengikat leukosit, phenacetin dan chloropromazin mengikat eritrosit.
 Aglutinin pada transfusi darah yang inkompatibel
 Antigen rhesus: Reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat
pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+
dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+
maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu
partus. Hanya ibu yang sudah disensitisasi yang akan membentuk anti Rh (IgG)
dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena
IgG dapat melewati plasenta. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus
dan bayi lahir kuning.

Mekanisme

9
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek
toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel
NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal.
Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan
mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc
neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM
mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang
dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit
teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet
reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya. Jika antibodi terikat
pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan
dihancurkan oleh fagosit penjamu.
Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan jejas
jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat menghambat fungsi
reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin
menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat
mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves’ disease, dimana
antibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon
tiroid.

Reaksi yang bergantung pada


Komplemen
Hipersensitivitas Reaksi yang bergantung pada ADCC
Tipe II
Disfungsi Sel akibat Antibodi

a. Reaksi Yang Bergantung Pada Komplemen

Sel normal terinfeksi oleh antigen →IgG berikatan dengan antigen →Sel diopsonisasi
agar mudah di fagosit →Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B dan C4B
yang dapat meningkatkan fagositosis → Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc receptor
→ Sel di fagositosis oleh makrofag dan neutrofil

10
Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau matriks) →
Pengaktifan komplemen → Menghasilkan C5a dan C3a C5a menarik neutrofil dan
monosit → Leukosit aktif melepaskan bahan perusak → Kerusakan Jaringan

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga
berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan
perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan
jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ
grafts.

b. Reaksi Yang Bergantung Pada Adcc

Pertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen ditangkap
oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma. Lalu sel
plasma menghasilkan antibody. Antibody akan berikatan dengan sel killer yang
memiliki reseptor antibody. Sel killer bersana dengan antibody yang menempel di
permukaannya selanjutnya menyerang sel target yang memasang antigennya di
permukaannya. Antibody berikatan dengan antigen di permukaan dan selanjutnya
menyebabkan sel target tersebut lisis

11
c. Disfungsi Sel Akibat Antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan
sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi.
Contohnya yaitu pada penyakit miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor
asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot. Jadi antibodi mem-block reseptor asetikolin
yang berfungsi dalam kontraksi otot.

Contoh lainnya yaitu yang terjadi pada Graves disease. Graves disease adalah
penyakit yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja
mirip TSH pada kelenjar tiroid. Akibatnya, Sel tiroid akan memproduksi hormon
tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme). (Kumar,2005)

Jenis-jenis reaksi Hipersensitivitas Tipe 2


a. Reaksi transfusi

Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi
reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang
menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat
cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat
ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan
hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar
tinggi bersifat toksik.

12
b. Hemolytic diseases of the newborn (HDN)

Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG


yang berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin
dan melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas
tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai
janin dengan Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat
persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru
pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat
menembus placenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan
eritrosit janin (eritroblastosis fetalis).
c. Anemia hemolitik

Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi


nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif. (Karnen, 2006)

13
Manifestasi Klinis

L.I. 1.3.1 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III


Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe III ini disebut juga kompleks imun. Dalam keadaan normal
kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan disana
dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan
komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dn cepat
dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimausnhakan,
karena itu dapat berada dalam sirkulasi. Didga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan
salah satu penyebab kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada
di dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan
timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan. (Karnen, 2006)

Etiologi

Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten
(malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik)
atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam
jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi persisten: Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat
kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

14
2. Autoimunitas: Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks
mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik: Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan.
Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.

Mekanisme
Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN.
Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati.
Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks
imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di
pembuluh darah atau jaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan
yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) ata dari
jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disetai antigen dalam jumalh
yang berlebihan,tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Makrofag ang
diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag
dirangsng terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak
jaringan.

Kompleks imun yang terdiri atas antigen sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat juga
IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal yang
menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat
menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan bahan
kemotaktik serta influksi neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat
menimbulkan kerusakan jaringan setempat.

2. Kompleks imun mengendap di jaringan


Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah
ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat,
antara lain karena histamin yang dilepas sel mast. (Karnen, 2006)

15
Penyakit Spesifitas antibody Mekanisme Manifestasi
klinopatologi

Lupus eritematosus DNA, nucleoprotein Inflamasi diperantarai Nefritis, vaskulitis,


komlplemen dan arthritis
reseptor Fc

Poliarteritis nodosa Antigen permukaan Inflamasi diperantarai Vaskulitis


virus hepatitis B komplemen dan reseptor
Fc

Glomreulonefritis Antigen dinding sel Inflamasi diperantarai Nefritis


post-streptokokus streptokokus komplemen dan reseptor
Fc

Manifestasi klinik
Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu
setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal
tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa
vaskulitis dengan nekrosis.
Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat
kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan
di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai

16
faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi.
Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran
darah. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-
bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit
sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

A. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness


Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme
sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang
tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut
mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak
kerusakan jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-
mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

Dari mekanisme diatas, beberapa hari – minggu setelah pemberian serum asing akan mulai
terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa
bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis sistemik (arteritis),
glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.

L.I. 1.3.4 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV


Definisi
Hipersensitivitas tipe IV merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol
sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah
dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi
melalui sel CD8+ (Bratawidjaja, 2012).

17
Etiologi
Penyebab utama reaksi hipersensitivitas seluler adalah autoimunitas dan respons yang
berlebihan atau berlangsung terus terhadap antigan lingkungan. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV telah dibagi menjadi:
b. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Merupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat
disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi
dari bawah kulit.
c. T Cell Mediated Cytolysis
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung.
Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor
spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan
zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar
seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di
permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti
reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau
bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi
sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang
terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh
kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung
antigen itu (sel target).

Mekanisme
Sel T dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit melalui 2 mekanisme:
1. Inflamasi yang dicetuskan oleh sitokin yang dihasilkan oleh sel
+
T CD4 di mana kerusakan jaringan disebabkan karena makrofag yang teraktivasi dan
sel inflamasi, APC, Antigen Presenting Cell.
2. Pembunuhan langsung sel sasaran diperantarai limfosit T
sitotoksik CD8+ (CTLs).
LI 5.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi khas : dermatitis kontak, lesi tuberculosis dan penolakan tandur.
d. Dematitis kontak: Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan
bahan yang tidak berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut
(contoh reaksi DTH).
e. Hipersensitivitas tuberkulin: Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat
(ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit
(intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat
suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberculosis,
kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh
sel CD4+.
f. Reaksi Jones Mote: Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan
infiltrasi basofil yang mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut
sebagai hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari
setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan.
Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.

18
g. Penyakit CD8+: Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung
membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya
tidak sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis.
h. Diabetes mellitus dependen-insulin (tipe I): Sel T yang merusak khususnya sel islet
atau antigen yang dikenal oleh sel tersebut, yaitu hormon insulin, enzim asam glutamat
dekarboksilase, dll. Manifestasi klinisnya berupa destruksi sel beta pada Langerhans,
tanda diabetes, dan inflamasi kronik pada sel islet/ insulitis.

LO 2 Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid


2.1 Farmakodinamik
ANTI HISTAMIN
a. Antagonis Reseptor H1 (AH1)
1. Antagonis terhadap histamin. AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah,
bronkus, dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamine endogen
berlebihan
2. Otot polos. AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos usus dan bronkus
3. Permeabilitas kapiler, Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine, dapat
dihambat dengan efektif oleh AH1.
4. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi autacoid
lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda-
beda, tergantung beratnya gejala akibat histamine
5. Kelenjar Eksokrin. Efek perangsang histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat
dihambat oleh AH1. AH1dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin
lain akibat histamine.
6. Susunan syaraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadangpkadang terlihat dengan dosis AH 1 biasanya adalah insomnia,
gelisah, dan eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan
gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan, dam waktu reaksi yang lambat.
7. Anastesi local. AH1 yang baik untuk anastesi local adalah prometazin dan prilamin. Akan
tetapi untuk menibulkan efek tersebut dibutuhkan kadat yang beberapa kali lebih tinggi
daripada sebagai antihistamin.
8. Antikolinergik. Dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi
dan impotensi.
9. Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti
pada system kardiovaskular.

Penggolongan Antihistamin (AH1)

Golongan dan Contoh Dosis Dewasa Masa Kerja Aktivitas


Obat Antikolinergik
ANTIHISTAMIN GENERASI I
Etanolamin
- 4-8 mg 3-4 jam +++
Karbinoksamin
- 25-50 mg 4-6 jam +++
Difenhidramin

19
- 50 mg 4-6 jam +++
Dimenhidrinat
Etilenediami
n
-Pirilamin 25-50 mg 4-6 jam +
- 25-50 mg 4-6 jam +
Tripelenamin
Piperazin
-Hidroksizin 25-100 mg 6-24 jam ?
-Siklizin 25-50 mg 4-6 jam -
-Meklizin 25-50 mg 12-24 Jam -
Alkilamin
- 4-8 mg 4-6 jam +
Klorfeniramin
- 4-8 mg 4-6 jam +
Bromfeniramin
Derivat
Fenotiazin
-prometazin 10-25 mg 4-6 jam +++
Lain-Lain
- 4 mg ± 6 jam +
siprogeptadin
-mebhidrolin 50-100 mg ± 4 jam +
napadisilat
ANTIHISTAMIN GENERASI II
-astemizol 10 mg < 21 jam -
-faksofenadin 60 mg 12-24 jam -
Lain-Lain
-loratadin 10 mg 24 jam -
-setirizin 5-10 mg 12.24am

b. Antagonis Reptor H2 (AH2)


Antagonis reseptor H2 berkerja menghambat sekresi asam lambung. Burimamin dan metiamid
merupakan antagonis resptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan
diklinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidine, famotidine, dan
nizatidin.
1. Simetidin dan Ranitidin

20
Simetidin dan renitidin menghambat reseptro H2 secara selektif dan reversible. Perangsang
reseptor H2 akan merangsang sekresi asal m=lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau
ranitidine sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan ranitidine terhadap
resptor H2 lainnya =, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung
pada keadaan basal, simetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi asam lambung akibat
perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan ranitidine juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
2. Famotidine
Sama halnya dengan simitidin dan ranitidine, famotidine merupakan AH 2 sehingga dapat
menghambat sekresi asam labung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh
pentagastrin. Famotidine 3x lebih poten daripada ranitidine dan 20x lebih poten dari pada simetidin.
3. Nizatidine
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidine.

KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga


mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid
dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi,
sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
a) Efek pada mineral kortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan
pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.

b) Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.


c) Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
d) Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
e) Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

a. Kortikosteroid diabsorbsi cukup baik pada pemberian oral. Untuk mencapai kadar tinggi
dengan cepat dalam cairan tubuh diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang
lama, diberikan secara IM. Glikokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus
konjungtiva dan ruang synovial.
b. Biotransformasi terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif
atau berpotensi rendah. Proses reduksi dan menjadi lebih mudah larut yang kemudian
dieksresikan terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.

Berikut tabel penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis:


Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate

21
Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate
Ultravate cream

Golongan II: (potensi tinggi) Cyclocort ointment 0,1% amcinonide


Diprosone ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel

2.2 Farmakokinetika
ANTI HISTAMIN

1. AH1
Setelah pemberian oral atau parental, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-
30 menitsetelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1
generasi I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat
pada paru-paru sedangkan limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya rendah. Tempat
utama biotransfarmasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal.
AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
2. AH2
a. Simetidin
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70 %. Sama dengan setelah pemberian IV atau
IM. Ikatan protein plasmanya hanyalah 20 %. Absorpsi simetidin diperlambat oleh
makanan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan
maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SPP dan kadarnya
dalam cairan spinal 10-20 % dari kadar serum. Sekitar 50-80 % dari dosis IV dan 40
% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa peruh
eliminasinya sekitar 2 jam.

b. Renitidin

22
Biovailabilitas renitidin yang diberikan secara oral sekitar 50 % dan meningkat pada
pasien penyakit hati. Masa [paruhnya kira-kira 1,7 – 3 jam pada orang dewasa, dan
menmanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati
masa paruh ranitidine juga memanjang menskipun tidak sebesar pada gagal ginjal.
Kada puncak pada plasma dicapai 1.3 ja setalah penggunana 150 mg ranitidine secara
oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine mengalami metabolisme
lintas utama dihati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Rranitidin dan
metabolitnya dieksresi rerutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari
ranitidine yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral dieksresi dalam
urin dalam bentuk asal.

c. Famotidin
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2 jam setelah
penggunaanan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailibitas 40-50%.
Metabolit utama adalah famotidine-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25%
dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin.npada pasien gagal ginjal berat masa
paruh eliminasi dapat melebnihi 20 jam.
d. Nizatidin
-Bioavailibitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau
antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut.
-Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oraldicapai dalam 1 jam, masa paruh
plasma
sekitar satu setengah jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin
disekresikan
terutama melalui ginjal; 90 % dari dosis yang digunakan ditemukan diurin dalam 16
jam.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid diabsorbsi cukup baik pada pemberian oral. Untuk mencapai kadar
tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek
yang lama, diberikan secara IM. Glikokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus
konjungtiva dan ruang synovial.
Biotransformasi terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan senyawa
inaktif atau berpotensi rendah. Proses reduksi dan menjadi lebih mudah larut yang
kemudian dieksresikanterutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.

2.3 Indikasi
ANTI HISTAMIN
a. Antagonis reseptor H1 (AH1)
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.

b. Antagonis reseptor H2 (AH2)

23
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat
penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.

KORTIKOSTEROID
Indikasi utama adalah untuk reaksi alergi akut berat yang dapat membahayakan kehidupan,
seperti status asmatikus, anafilaksis, dan dermalitis exfoliativa. Selain itu, juga untuk reaksi
alergi berat yang tidak membahayakan kehidupan tetapi sangat mengganggu, misalnya
dermatitis kontak berat, serum sickness, dan asma akut yang berat.
Indikasi lain adalah untuk penyakit alergi kronik berat sambil menunggu hasil pengobatan
konvensional, atau untuk mengatasi keadaan eksaserbasi akut pada pasien yang memakai
kortikosteroid dosis rendah jangka panjang, harus dinaikkan dosisnya bila terjadi eksaserbasi.
2.4 kontraindikasi
ANTI HISTAMIN
a. Antihistamin H1 : bayi premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing
peptic uloer, hipertropi prostat simptomatik, gejala saluran nafas atas, pasien tua,
pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI)
b. Antihistamin H2 : kehamilan dan ibu menyusui.

KORTIKOSTEROID
a. Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang
mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada
keadaan yang mengancam jiwa pasien

b. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi
relative yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau
gangguan system kardiovaskular lainnya.

2.5 Efek samping


ANTI HISTAMIN
A. AH1
Efek yang palingsering adalah sedaso, yang justru menguntungkan pasien yang dirawat di RS
atau pasien yang perlu banyak tidur. Tapi efek ini menggangu bagi pasien yang memerlukan
kewaspadaan tingkat tinggi. Sehingga kemungkinan terjadi nya kecelakaan.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo, tinnitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphora, gelisah, insomnia, dan tremor. Efek
samping yang paling sering juga nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada
epigastrium, konstipasi atau diar; efek samping ini akan berkurang jika AH1 diberikan
sewaktu makan.

24
Efek samping yang mungkin timbul oleh AH1 adalah mulut kering, dysuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan. AH1 bisa menimbulkan aleri pada
pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local berupa dermatitis alergik.
Demam dan fotosensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi AH1 jarang menimbulkan
komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.
B. AH2
A. Simetidin dan Ranitidin
Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, myalgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido, dan impoten.
B. Famotidin
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala,
pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan renitidin, famotidine nampaknya
lebih baik dari simetidin karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik
C. Nizatidin
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan saluran
cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum ditemukan
pada beberapa pasien yang nampaknnya tidak menimbulkan gejala klinik yang
bermakna.

KORTIKOSTEROID

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus


dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadapbanyaknya efek pada setiap
bagian organism ini. Efek utama yang tidakdiinginkan dari glukokortikoidnya dan
menimbulkan gambaran klinik sindromcushing iatrogenik. Sindrom cushing iatrogenik
disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk
alasan yang bervariasi

Efek samping jangka pendek

1. Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)


2. Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
3. Peningkatan tekanan darah
4. Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang
5. Efek samping jangka panjang.

6. Katarak
7. Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga
mudah patah.
8. Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
9. Menstruasi tidak teratur
10. Mudah terinfeksi
11. Penyembuhan luka yang lama

25
26
Daftar Pustaka
Baratawidjaja & Rengganis I. (2012). Imunologi Dasar Edisi 10. Jakarta: FKUI.
Braunwald E et al. (2001). Harrison's principles of internal medicine 15th edition. New
York: McGraw-Hill
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2012). Farmakologi dan Terapi Edisi V.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Marc D & Olson K. (2009). Hypersensitivity Reactions and Methods of Detection.
NeuroScience. 30;1-4
Parham P. (2009). The Immune System 3rd edition. New York: Garland Science.
Baratawidjaja, K.G., I. Rengganis. (2014). Imunologi Dasar. Edisi ke 11. Jakarta, Badan
Penerbit Fakultas Keedokteran Universitas Indonesia.
Dorland, W.A.N. (2008). Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
http://pionas.pom.go.id/book/ioni-bab-3-sistem-saluran-napas-34-antihistamin-
hiposensitisasi-dan-kedaruratan-alergi/341
Syarif, A., A. Estuningtyas, et al. (2012). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta, Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

27

Anda mungkin juga menyukai