Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERSAMAAN

POLA ASUH YANG DITERIMA ORANG TUA DENGAN


POLA ASUH DI ERA DIGITAL PADA ANAK
USIA PRASEKOLAH DI DESA SRIDADI
DUKUH NGAMPU REMBANG

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Keperawatan (S-1)
Oleh :
VICKY RIYAN PRANATA
NIM : 920173139
PEMBIMBING :
1. Indanah, M.Kep.,Ns.Sp.Kep.An
2. Sri Karyati, M.Kep.,Ns.Sp.Kep.Mat

JURUSAN S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN 2020
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Usia Prasekolah

1. Pengertian
Anak usia prasekolah adalah fase perkembangan individu sekitar 2 -
6 tahun, ketika anak memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau
wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal
beberapa hal yang dianggap berbahaya (Yusuf, 2011).
Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6
tahun, pada periode ini pertumbuhan fisik melambat dan perkembangan
psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai
mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan
lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar
dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune &
Ladner, 2011).
2. Perkembangan anak prasekolah
Menurut Yusuf (2011) mengemukakan beberapa perkembangan fisik
pada anak prasekolah yang meliputi perkembangan fisik, perkembangan
intelektual, perkembangan emosional, perkembangan bahasa,
perkembangan social, perkembangan bermain, perkembangan
kepribadian, perkembangan moral dan perkembangan kesadaran
beragama.
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan
perkembangan berikutnya. Perkembangan fisik yang baik ditandai
dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh, perkembangan sistem
syaraf pusat, dan berkembangnya kemampuan atau keterampilan
motorik kasar maupun halus (Yusuf, 2011).
b. Perkembangan Intelektual
Menurut Piaget (dalam Yusuf, 2011) perkembangan kognitif pada
usia ini berada pada tahap praoperasional, yaitu tahapan dimana anak
2 belum mampu menguasai operasional secara logis. Karakteristik
periode praoperasional adalah egosentrisme, kaku dalam berpikir dan
semilogical reasoning.
c. Perkembangan Emosional
Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak yaitu
takut, cemas, marah, cemburu, kegembiraan, kesenangan,
kenikmatan, kasihsayang, dan ingin tahu.Perkembangan emosi yang
sehat sangat membantu bagi keberhasilan anak belajar (Yusuf, 2011).
d. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa anak usia prasekolah dapat
diklasifikasikan ke dalam dua tahap (Yusuf, 2011):
1) Usia 2,0 tahun sampai 2,6 tahun yang bercirikan; anak sudah bisa
menyusun kalimat tunggal, anak mampu memahami
perbandingan, anak banyak bertanya nama dan tempat, dan
sudah mampu menggunakan kata-kata yang berawalan dan
berakhiran.
2) Usia 2,6 tahun sampai 6,0 tahun yang bercirikan; anak sudah
mampu menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya,
dan tingkat berpikir anak sudah lebih maju.
e. Perkembangan Sosial
Tanda-tanda perkembangan sosial menurut Yusuf (2011) adalah;
anak mulai mengetahui peraturan dan tunduk pada peraturan, anak
mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain, dan anak mulai
dapat bermain bersama anak-anak lain.
f. Perkembangan Bermain
Kegiatan bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan
kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan (Yusuf, 2011).
Dengan bermain anak akan memperoleh perasaan bahagia, dapat
mengembangkan kepercayaan diri dan dapat mengembangkan sikap
sportif.
g. Perkembangan Kepribadian
Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan untuk
memenuhi tuntutan dan tanggung jawab. Anak mulai menemukan
bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi orang lain.
h. Perkembangan Moral
Pada usia prasekolah berkembang kesadaran sosial anak, yang
meliputi sikap simpati dan murah hati yaitu kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain. Anak sudah memiliki dasar tentang sikap
moralitas terhadap kelompok sosialnya. Hal tersebut berkembang
melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain (Yusuf, 2011).
i. Perkembangan Kesadaran Beragama
Pengetahuan anak tentang agama terus berkembang berkat
mendengarkan ucapan-ucapan orangtua, melihat sikap dan perilaku
orangtua dalam mengamalkan ibadah, serta pengalaman dan meniru
ucapan dan perbuatan orangtuanya (Yusuf, 2011).
3. Tugas Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Menurut Gunarsa (dalam Pratisti, 2010), tugas-tugas perkembangan
anak usia dini (0-6 tahun) adalah sebagai berikut:
a. Belajar berjalan
Belajar berjalan terjadi pada usia antara 9 sampai 15 bulan, pada
usia ini tulang kaki, otot dan susunan syarafnya telah matang untuk
belajar berjalan.
b. Belajar memakan makanan padat
Hal ini terjadi pada tahun kedua, sistem alat-alat pencernaan
makanan dan alat-alat pengunyah pada mulut telah matang untuk hal
tersebut.
c. Belajar berbicara
Diperlukan kematangan otot-otot dan syaraf dari alat-alat bicara
untuk dapat mengeluarkan suara yang berarti dan menyampaikannya
kepada orang lain dengan perantara suara itu.
d. Belajar buang air kecil dan buang air besar
Sebelum usia 4 tahun, anak pada umunya belum dapat menahan
buang air besar dan kecil karena perkembangan syaraf yang mengatur
pembuangan belum sempurna, sehingga diperlukan pembiasaan untuk
memberikan pendidikan kebersihan.
e. Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin
Agar anak dapat mengenal jenis kelamin dengan baik, maka
orang tua perlu memperlakukan anaknya, baik dalam memberikan alat
mainan, pakaian maupun aspek lainnya sesuai dengan jenis kelamin
anak.
f. Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis
Untuk mencapai kestabilan jasmaniah, bagi anak diperlukan waktu
sampai usia 5 tahun. Dalam proses tersebut, orangtua perlu
memberikan perawatan yang intensif, baik menyangkut pemberian
makanan yang bergizi maupun pemeliharaan kebersihan.
g. Membentuk konsep sederhana tentang realitas sosial dan fisik
Dunia bagi anak merupakan suatu keadaan yang kompleks.
Perkembangan lebih lanjut, anak menemukan keteraturan dan
membentuk generalisasi.
h. Belajar melibatkan diri secara emosional dengan orangtua, saudara,
dan orang lain
Anak akan berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, cara
yang diperoleh dalam belajar mengadakan hubungan emosional
dengan orang lain, akan menentukan sikapnya di kemudian hari.
i. Belajar membentuk konsep tentang benar-salah sebagai landasan
membentuk nurani
Seiring berkembangnya anak, ia harus belajar pengertian baik-
buruk, benar dan salah, sebab sebagai makhluk social manusia tidak
hanya memperhatikan kepentingan sendiri saja, tetapi harus
memperhatikan kepentingan orang lain juga.
4. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Perdebatan tentang pengaruh lingkungan dengan pengasuhan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak sudah berlangsung lama.
Manakah faktor yang merupakan pengaruh yang lebih kuat dalam
pembentukan esensi seseorang? Lingkungan menggambarkan sifat-sifat
yang melekat di dalamnya. Pengasuhan anak diterima, budaya, atau
“waktu” di dalam kehidupan anak. Tampaknya keduanya secara intrinsik
berpengaruh. “Secara umum, gen bertanggung jawab atas untuk
membentuk semua sel (neuron) dan koneksi umum antara berbagai area
otak sementara pengalaman bertanggung jawab untuk memperbaiki hal itu
koneksi, membantu setiap anak beradaptasi dengan yang khusus dengan
lingkungan (geografis, budaya, keluarga, sekolah, peer group). Potensi
genetik diperlukan, tetapi DNA saja tidak dapat membuat anak untuk
berbicara (Ward & Hisley, 2015)
B. Konsep Pola Asuh di Era Digital

1. Pengertian Pola Asuh


Berdasarkan tata bahasannya, pola asuh terdiri dari dua suku kata
yakni “pola” dan “asuh”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata
pola berati model, sistem, dan cara kerja, bentuk (struktur yang tepat).
Sedangkan kata asuh mengandung arti menjaga, merawat, mendidik
anak agar dapat berdiri sendiri.18 Ketika mendapat awalan dan akhiran,
kata asuh memiliki makna yang berbeda. Pengasuh berati orang yang
mengasuh; wali (orang tua, dan sebagainya). Pengasuhan berati proses,
perbuatan, dan cara pengasuhan. Kata asuh mencakup segala aspek
yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan dan
bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara
sehat (Syaiful, 2014).
Pola asuh orang tua adalah pola prilaku yang ditetapkan pada anak
yang bersifat dari waktu kewaktu dan pola prilaku ini dapat dirasakan
oleh anak dari segi negatif maupun positif. (Syaiful, 2014)
2. Jenis Pola Asuh
Ayun (2017) membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi 3 macam
pola asuh orang tua yaitu :
a. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan
menggunakan standar yang mutlak dimana pemimpin menentukan
semua kebijakan, langkah dan tugas yang harus dijalankan. Pola asuh
otoriter mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan
cenderung diskriminatif. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai
dengan hukuman-hukuman yang dilakukan dengan keras, anak juga
diatur dengan berbagai macam aturan yang membatasi perlakuannya.
Perlakuan ini sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai
anak tersebut menginjak dewasa.
b. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang
tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak
selalu ketergantung kepada orang tua. Sedikit memberi kebebasan
kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Anak diberi
kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit
demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri.
c. Pola asuh permisif
Pola permisif adalah membiarkan anak bertindak sesuai dengan
keinginannya, orang tua tidak memberikan hukuman dan pengendalian.
Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada
anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, orang tua
tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan kepada anak,
sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri
walaupun terkadang bertentangan dengan norma sosial. Pola asuh ini
ditandai dengan cara orang tua mendidik anak yang cenderung bebas,
anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, anak diberi
kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang
dikehendaki.
3. Pola Asuh di Era Digital
Era digital (media baru) adalah era kecanggihan teknologi.
Penggunaan internet semakin menjadi kebutuhan primer bagi manusia dan
segala sesuatu acuan dasarnya adalah jaringan internet 36. Dengan kata
lain, di era kini jaringan internet menjadi produk primer yang tidak dapat
ditinggalkan dan ditanggalkan oleh manusia, terlepas di dalamnya ada
black zone dan white zone. (Kemenag, 2018)
Dari hasil penelitiannya terlihat bahwa: black zone atas era digital
tidak dapat serta merta hilang begitu saja, nyatanya pengaruh hitamnya
juga tinggi. Terutama berpengaruh negatif pada hubungan interaksi di
dalam keluarga serta berbahaya bagi perkembangan interaksi sosial bagi
anak. Anak yang terus menerus bermain teknologi digital akan lebih
memfokuskan diri pada media tersebut dan menyedikitkan berhubungan
dengan keluarga intinya apalagi dengan dunia luar. Belum lagi apabila
mereka sudah masuk pada zona pornografi dan sampai pada tingkat
kecanduan akan semakin memperburuk emosi dan pola pikir.
Pengawasan anak saat bermain dengan gadgetnya, ada beberapa
hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Menjadikan akun email pribadi orang tua sebagai akun utama anak-
anak sehingga semua kegiatan internet anak langsung terintegrasi dan
terpantau di akun email orang tua.
b. Untuk aplikasi social media, hanya ijinkan anak berteman dan
memfollow teman sebaya.
c. Membuat peraturan no gadget sampai jam sembilan malam karena ini
adalah prime-time efektif anak untuk belajar.
d. Untuk anak usia TK atau SD sebaiknya dibatasi anak bermain gadget
tidak lebih dari dua jam perhari.
e. Orang tua harus menjadi teladan dengan tidak menunjukkan intensitas
tinggi dalam memakai gadget.
f. Jangan memarahi anak-anak membabi buta saat mengetahui mereka
terpapar konten negatif didunia maya, sebaiknya memberi
pendampingan, pengarahan dan penjelasan yang sesuai dan mudah
dipahami oleh bahasa anak (Hasanah & Sugito, 2020; Joni, 2015).
4. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh di Era Digital
Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh terhadap anak adalah :
a. Pendidikan Orang Tua
Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam merawat akan
mempengaruhi persiapan mereka dalam menjalankan pengasuhan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk lebih siap dalam
menjalankan peran pengasuhan, antara lain: terlibat aktif untuk lebih
siap dalam menjalankan peran pengasuhan, antara lain: terlibat aktif
dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan
berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu
untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan
kepercayaan anak. Hasil riset dari Sir. Godfrey Thomson menunjukkan
bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu
untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen
didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap.
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
mustahil jika lingkungan jyga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan
yang diberikan orang tua terhadap anak.
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh
masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat di
sekitarnya dala mengasuh anak. Budaya dan kebiasaan masyarakat
dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap otang tua dalam
memberikan pola asuh terhadap anaknya (Nahnul Kholikun, 2017).

C. Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah tempat tinggal yang berpengaruh untuk
keberlangsungan makhluk hidup. Lingkungan hidup diharuskan terdapat
komponen biotik dan komponen abiotik di dalamnya. Komponen biotik adalah
kondisi alam yang berhubungan dengan makhluk hidup seperti manusia,
hewan, dan tumbuhan. Sedangkan komponen abiotik adalah suatu hal yang
berhubungan dengan benda mati seperti air, udara, tanah, angin, batu-batuan,
sinar matahari, dan lain sebagainya. Pengertian lingkungan dijelaskan dalam
Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 23 tahun 2007 yang berbunyi
kesatuan dengan semua hal ruang atau kesatuan makhluk hidup termasuk
manusia dan semua perilaku oleh mata pencaharian dan kesejahteraan
manusia dan makhluk hidup lain di sekitarnya. Secara etimologi, lingkungan
diartikan sebagai “Semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan
hewan”. Sedangkan secara terminologi oleh Abdul Aziz el-Qussiy, lingkungan
didefinisikan sebagai “Semua faktor yang mempengaruhi seseorang sejak
permulaan pertumbuhannya”. Definisi tersebut sangat umum, tentunya
mencakup aspek fisik dan aspek psikis, jadi lingkungan tidak hanya
merupakan lingkungan fisik, melainkan ada pula lingkungan yang berbentuk
psikis. Pendapat di atas dapat dilihat dengan jelas pada pengertian yang
dikemukakan oleh F. Patty yaitu “Segala sesuatu yang mengelilingi di dalam
hidupnya, baik dalam bentuk lingkungan fisik, seperti orang tuanya,
rumahnya, kawan-kawannya, masyarakat sekitarnya maupun dalam bentuk
lingkungan psikis, seperti misalnya perasaan yang dialaminya, cita-citanya,
persoalan yang dihadapinya, dan sebagainya”.
Lingkungan pengasuhan orangtua sering dikonseptualisasikan sebagai
suatu interaksi antara dua dimensi perilaku orangtua. Dimensi pertama
berkenaan dengan hubungan emosional antara orangtua dengan anak.
Dimensi ini mempunyai sebaran mulai dari sikap penerimaan responsif, dan
memusatkan perhatian pada anak hingga sikap penolakan terhadap anak,
perilaku tidak responsif, dan orangtua yang memusatkan perhatian kepada
kebutuhan dan keinginan diri sendiri. Dimensi kedua adalah cara-cara
orangtua dalam mengontrol perilaku anak-anaknya, meliputi kontrol orangtua
yang bersifat membatasi, permisif atau sama sekali tidak ada pembatasan
perilaku anak. Pola asuh merupakan suatu sistem atau cara pendidikan,
pembinaan yang diberikan oleh seseorang pada orang lain. Dalam hal ini
adalah pola asuh yang diberikan orang tua atau pendidik terhadap anak
adalah mengasuh dan mendidiknya penuh pengertian. Dan yang
mempengaruhi pola asuh yang diberikan orang tua adalah lingkungan sosial
eksternal dan internal. Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang
salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh
anaknya orangtua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di
samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam
memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut
tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda,
karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuhan itu
menurut Stewart dan Kloch dalam Tarsis Tarmuji terdiri dari tiga
kecenderungan pola asuh orangtua yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh
demokartis, dan pola asuh permisif (Tarsis Tarmuji, 2012).
Wibowo (2012:75) menguraikan bahwa keberhasilan keluarga dalam
mendidik anaknya sangat tergantung pada model dan jenis pola asuh yang
diterapkan para orang tua. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind
(dalam Wibowo, 2012:78) menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang
demokratis berkorelasi positif dengan perkembangan karakter anak, terutama
dalam hal kemandirian dan tanggung jawab. Pola asuh orang tua yang otoriter
amat sangat merugikan karakter dan tumbuh kembang anak. Selain membuat
anak kurang nyaman, merasa terkekang, tidak mandiri, kurang bertanggung
jawab, juga akan menyebabkan anak cenderung agresif, sedangkan pola
asuh orang tua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam
menyesuaikan diri di luar rumah. Adapun menurut Albert Bandura (dalam
Susanto, 2015:113) mengungkapkan bahwa perilaku agresif diperoleh dari
hasil pengamatan (observasi) perilaku agresif orang lain melalui modelling.
Selanjutnya perilaku agresif tersebut ditiru (imitated) oleh si anak atau
individu. Seorang anak dalam mengimitasi perilaku agresif tidak hanya
sekedar mencontoh dari modelnya saja, tetapi juga bergantung dari norma
dan nilai yang melingkupinya. Jika seorang anak diajarkan bahwa perilaku
agresif itu dapat diterima, maka perilaku tersebut akan bertambah luas. Akan
tetapi sebaliknya apabila pada anak diajarkan bahwa perilaku agresif adalah
jelek dan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, maka tentu saja
perilaku agresif pada anak tidak akan berkembang. Pengasuhan atau pola
asuh yang tepat terhadap anak, dapat mengoptimalkan tumbuh kembang
anak agar anak menjadi pribadi yang kuat dan mandiri yang tidak bergantung
pada orang lain. Tentu tidak terlepas dari peran orangtua yang mampu
menciptakan kondisi maupun lingkungan yang nyaman dan harmonis karena
tingkah laku anak adalah cerminan dari pengasuhan orangtua, semua perilaku
tidak terkecuali perilaku agresif yang merupakan hasil dari proses belajar dari
lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

D. Persamaan Pola Asuh


Pola asuh menurut Shohib (2010) adalah pola perilaku yang diterapkan
pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini
dapat dirasakan anak dari segi negatif maupun positif. Pengasuhan adalah
melaksanakan membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang
dimaksud di sini adalah mengasuh anak. Mengasuh anak memiliki arti
mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya,
dan keberhasilannya dalam peroide pertama sampai dewasa. Dengan
pengertian diatas dapatlah dipahami bahwa bahwa pengasuhan anak adalah
kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan
hidupnya (Shochib 2010).
Beberapa pola pengasuhan disiplin yang diterapkan orang tua dalam
mengasuh anak-anaknya, seperti:
1. Pola asuh otoriter
Pola ini merupakan pola pengasuhan yang memberikan banyak hal
tetapi menuntut banyak hal pula dari si anak. Pola pengasuhan ini
merupakan pola pengasuhan yang didasarkan kepada tuntutan dan nilai-
nilai yang bersifat absolute. Sehingga anak-anak tidak mampu dalam
proses pemupukan/pemebentukan pengekspresian dan kepercayaan diri
si anak dalam lingkungan keluarga.
2. Pola asuh demokrasi
Pola pengasuhan ini lebih memprioritaskan kepentingan anak, akan
tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola
pengasuhan ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada
rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua dengan tipe ini akan lebih
bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang
berlebihan yang melampaui kemampuan anak, dan akan menghargai hak-
hak anak seperti pendidikan, mendapatkan kasih sayang dan kebutuhan
dasarnya.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat di era digital sekarang
ini, menyebabkan nilai-nilai yang dilahirkan, baik positif maupun negatif
ikut juga mengalami kejutan yang luar biasa juga bagi manusia. Dari
kejutan tersebut, sehingga peran orang tua dalam mendidik anaknya ikut
juga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya. Di
era 80-an, orang tua dalam mendidik anaknya, pasti mengalami
perbedaan di era digital saat ini. Pola asuh orang tua yang pada awalnya
mengalami perbedaan dari orang tua lainnya, yang hanya menerapkan
tipe pola asuh otoriter, permisif, dan demokrasi sudah mengalami
keberhasilan dalam mendidik anak, tetapi di zaman era digital, maka
ketiga pola asuh tersebut tidak akan berhasil, jika tidak melakukan
sinkronisasi sesuai waktu situasi dan kondisi dalam hal mengasuh anak
(Yusuf, 2017).

E. Penelitian Yang Terkait


Penelitian yang dilakukan oleh, Melda Wama (2018), tentang Pengaruh
Pola Asuh Permisif di Era Digital Terhadap Sosial Emosional Anak Usia 5-6
tahun, di desa / kelurahan Sekincau, Kecamatan Sekincau, Kabupaten
Lampung Barat. Hasil penelitian menunjukkan nilai pola asuh permisif sebesar
57,788 dengan nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0,000. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi 0,05 (5%), nilai Sig.(2-tailed) ini lebih kecil 0,05 (5%). Artinya
terdapat pengaruh pola asuh permisif (X) terhadap perkembangan sosial
emosional anak (Y) usia 5-6 tahun di Desa Sekincau Kecamatan Sekincau
Kabupaten Lampung Barat. Kemudian, nilai koefisien determinasinya (R
Square) juga diketahui sebesar 0,865. Ini artinya semakin membuktikan
bahwa besar pengaruh pola asuh permisif di era digital terhadap
perkembangan sosial emosional anak sebesar 86,5% dan hanya sebesar
13,5% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Penelitian yang dilakukan oleh, Rizky Novitasari Suherman (2019),
tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Kecanduan Gadget
Pada Anak Prasekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
orang tua menerapkan pola asuh demokratis (84,6%) dan sebagian besar
anak tidak ketergantungan gadget (70,1%). Uji Spearman Rho menunjukkan
bahwa nilai r = 0,564 dengan nilai ρ=0,000 (ρ<α=0,05) yaitu ada hubungan
sedang antara pola asuh orang tua dengan tingkat kecanduan gadget.
Penelitian yang dilakukan oleh, Rosy Orriza (2017), tentang Peran Orang
Tua Dalam Membina Akhlak Anak Pada Era Digital di Desa Panggung Harjo
Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Hasil penelitian ini
yaitu pertama dalam membina akhlak anak orang tua harus berperan dengan
fungsinya. Ayah ibu harus saling membantu dan mendukung. Peran orang tua
adalah sebagai teladan, pembimbing dan motivator. Kedua, Faktor - faktor
yang mendukung dan menghambat dalam membina akhlak anak di Desa
Panggung Harjo Kecamatan Air Sigihan OKI, yaitu, faktor pendukung adalah
orang tua memberikan pendidikan agama, Disiplin, memberikan pengarahan
dan fasilitas yang dibutuhkan dan memberikan lingkungan yang baik agar
anak ikut menjadi baik. Sedangkan faktor penghambat adalah lingkungan
pergaulan memberikan pengaruh tidak baik pada anak saat bermain dan
pengaruh negatif media digital.
F. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Faktor Lingkungan : Pola asuh di


1. Sosial era digital
2. Pendidikan keluarga
3. Ekonomi
4. Teman
5. Budaya Faktor yang
mempengaruhi :
Persamaan Pola 1. Pendidikan
Asuh : orangtua
1. Otoriter 2. Lingkungan
2. Demokratis 3. Budaya
3. Permisif

Pengasuhan yang baik :


1. hubungan kasih sayang
2. kelekatan atau keeratan
hubungan Pada anak usia
3. hubungan yang tidak prasekolah
terputus
4. interaksi yang
memberikan rangsangan
5. hubungan dengan satu Perkembangan pada
orang anak usia prasekolah :
6. melakukan pengasuhan
anak di rumah sendiri. 1. Perkembangan
fisik
2. Perkembangan
inteltual
3. Perkembangan
bahasa
4. Perkembangan
Keterangan : emosional
5. Perkembangan
: Yang diteliti sosial
6. Perkembangan
bermain
: Yang tidak diteliti
7. Perkembangan
kepribadian
: Berhubungan 8. Perkembangan
moral
9. Perkembangan
beragama
Sumber : (Yusuf, 2017) , (Nahnul Kholikun, 2017).

Anda mungkin juga menyukai