Anda di halaman 1dari 8

Makalah Fiqh dan Ushul Fiqh

ISTISHAB

DOSEN PEMBIMBING
Hj. Dr. Nurjannah Ismail, M.Ag.

DISUSUN OLEH
Sofiya Zahra
NIM : 190702045

PRODI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa saya panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas untuk mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh dengan judul “Istishab’”.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselaikan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan penegetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, saya
mengharapkan segala bentuk kritik yang membangun dari berbagai pihak.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan
hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak
disepakati dan salah satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu
Istishab.

            Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga
sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

B.      Rumusan Masalah
            Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pengertian Istishab
2. Rukun istishab
3. Syarat-syarat Istishab
4. Pembagian dan Kehujjahan Istishab
BAB  II
PEMBAHASAN
ISTHISHAB
A.    Pengertian Istishab
            Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((‫استصحب‬ dalam
shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرار الصحبة‬. Kalau kata ‫الصحبة‬ diartikan “sahabat” atau
“teman”, dan ‫استمرار‬  diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi
artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.
            Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan
oleh para ulama, di antaranya ialah:
1.      Imam Isnawi
            Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan
karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2.      Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
            Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa
yang sebelumnya tiada.
3.      Abdul-Karim Zaidan
            Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama
belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
            Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu,
diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum
ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.

B. Rukun istishab
1. Ada atau tidak adanya sesuatu
Ada atau tidaknya hukum yang berlaku pada sesuatu
2. Masa lalu
Adanya hukum asal pada masa lalu
3. Masa sekarang
Adanya hukum sekarang yang merubah dari hukum asal pada masa lalu
4. Berlanjut
Suatu hukum bersifat berlanjut dan akan berlaku selamanya
5. Tidak ada yang bisa menghentikan
Suatu hukum yang sudah berlaku bersifat mengikat dan tidak ada yang bisa mengganti hukum
tersebut dengan hukum yang lainya.
a. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contoh: Telah terjadi perkawinan antara
laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang
berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu mak B ingin kawin dengan laki-laki
C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat perkawinan dengan A
dan nelum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B,
adalah hukum yang ditetapkan dengan Istishab.
b. Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya.
Contoh: Menurut firman Allah SWT yang artinya:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (manusia).” (QS. Al-
Baqarah (2): 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan
dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu
ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang
mengubah atau mengecualikannya.
c. Hukum yang ditetapkan dengan yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh hukum yang
ditetapkan dengan ragu-ragu.

C. Syarat-syarat istishab
1.      Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak
yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
2.      Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak
terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk
mentsabitkan.

D. Pembagian dan Kehujjahan Istishab

Muhammad abu Zahra menyebutkan 4 macam istishab seperti berikut:[3]


1. Istishab, al ibahah al-ashliyah. Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu
ya yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hokum di
bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang menyatakan, bahwa hokum
dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehiddupan manusia selama tidak
ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh tumbuhan, dan
lain lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh
dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 surat Al-Baqarah:
29: ‫هو الذي خلق لكم ما في االرضي جميعا(البقرة‬

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…. (QS.Al-
baqarah:2/29)
Ayat tersebut memnegaskan bahwa seala yang ada di bumi di jadikan untuk umat manusia
dalam pengrtian boleh di makan makananya atau boleh di lakukan hal-hal yang membawa
manfaat bagi kehidupan manusia.
2. Istishab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada
dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah
statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya
itu.
3. Istishab al-hmukm , yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukumyang sudah
ada selama tidak ada bukti uang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang
tanah, atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama
tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau
dihibahkanya kepada pihak lain.
4. Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang
dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah
wafat.

Kehujjahan Istishab

Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil
syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:

Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-
akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan
hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu
adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak
akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah
ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.

Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum
yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk
menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula
berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan
hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan
suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang
diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum
yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan
suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi
hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang dalil
mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama
tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka
semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada
perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum.
Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-
hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW.

Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah,


Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan
pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai
keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan
kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan
wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi
kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena
penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini
adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang
hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya
(menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).
BAB 111
PENUTUP
Kesimpulan

Setelah membaca dan memahami penjelasan diatas dapat kami ambill kesimpulan bahwa
Istishab dapat digunakan sebagai dasar hukum setelah Al-qur’an,As-sunnah,Ijma’ dan
Qiyas.Karena “Pangkal sesuatu itu adalah boleh”Selama belum ada dalil yang merubah
ketetapan hukum tersebut,maka sesuatu itu tetap dihukumi boleh.Dengan catatan selama tidak
bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah.
Kedudukan istishhab secara umum dapat dikatakan sebagai salah satu pijakan dan
metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun
dalam beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal
itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhab dalam Fikih Islam.

Anda mungkin juga menyukai