Makalah Krim Hidrokortison A.

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMASI INDUSTRI

Oleh:
Albana Wintara, S.Farm (2002001)
Auliana Huwaida Nurulhuda, S.Farm (2002004)
Asnila, S.Farm (2002003)
Desmariani, S.Farm (2002007)
Faricha Ulfa, S.Farm (2002013)
Fitra Annisa, S.Farm (2002014)
Gema Ananda Surya, S.Farm (2002015)
Joel Lam Parulian, S.Farm (2002019)
Rohil Suci Febriyani, S.Farm (2002028)
Sherina Putri, S.Farm (2002029)
Windy Gusdilla, S.Farm (2002035)
Wulan Suci Ningrum, S.Farm (2002036)
Yoenda Octavina Putri, S.Farm (2002037)

Dosen Pengampu:
Dr. apt. Gressy Novita. M.Farm

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV UNIV RIAU
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

1.1 Latar Belakang.................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................

1.3 Tujuan..............................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................

2.1. Krim.............................................................................................................

2.1.1 Syarat Sediaan Krim............................................................................

2.1.2. Penggolongan Krim.............................................................................

2.1.3. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Krim.....................................

2.1.4. Komponen Krim..................................................................................

2.1.4. Stabilitas Sediaan Krim........................................................................

2.1.4. Evaluasi Mutu Sediaan Krim...............................................................

2.2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT).................................................................

2.2.1 Prinsip KLT...............................................................................................

2.2.2 Fase Diam KLT.........................................................................................

2.2.3. Fase Gerak KLT.......................................................................................

2.3. Hidrokortison...............................................................................................

BAB III METODOLOGI...........................................................................................

3.1 Evaluasi Sediaan Krim.....................................................................................

3.1.1 Uji Organoleptis........................................................................................

3.1.2 Homogenitas.............................................................................................

3.1.3 Stabilitas....................................................................................................
3.1.4 pH.............................................................................................................

3.1.4 Keseragaman Sediaan..............................................................................

3.1.4 Uji Batas Mikroba....................................................................................

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................

4.1 Hasil.................................................................................................................

4.2 Pembahasan......................................................................................................

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................


5.1 Kesimpulan......................................................................................................

5.2 Saran.................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Krim (cremores) adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang mengandung
satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dan
mengandung air tidak kurang dari 60%. Secara tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan
setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam
minyak (a/m) atau minyak dalam air (m/a). Sediaan krim ada dua tipe yaitu krim tipe minyak
dalam air (M/A) dan tipe air dalam minyak (A/M). Krim yang dapat dicuci dengan air (M/A)
ditujukan untuk penggunaan kosmetik dan estetika. Krim juga dapat digunakan untuk pemberian
obat melalui vagina. (Anief, 2010). Kualitas dasar krim meliputi berbagai aspek seperti,
kestabilan, kelunakan bahan, mudah dalam pemakaian dan terdistribusi merata. Kestabilan yaitu
selama masih dipakai untuk pengobatan maka krim harus bebas dari inkopatibilitas dan harus
tetap stabil saat ditempatkan pada suhu dan kelembapan yang ada dalam kamar. Kelunakan
bahan yaitu semua zat yang ada harus dalam keadaan halus, lunak dan homogen. Mudah dipakai
umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit.
Terdistribusi merata, obat harus terdispersi merata melalui dasar krim padat atau cair pada
penggunaannya. (Anief, 2010)
Dalam penggunaannya sediaan krim memiliki beberapa kelebihan seperti, mudah
menyebar rata pada bagian tubuh, praktis, mudah dibersihkan atau dicuci dengan menggunakan
air, cara kerjanya berlangsung pada jaringan setempat, tidak lengket dikulit terutama tipe m/a
(minyak dalam air), memberikan rasa dingin (cold cream) pada kulit seperti tipe a/m (air dalam
minyak). Namun sediaan krim juga memiliki beberapa kekurangan seperti susah dalam
pembuatannya karena pembuatan krim harus dalam keadaan panas, mudah pecah bila dalam
pembuatan formula bahannya tidak pas, mudah kering dan mudah rusak khususnya tipe a/m (air
dalam minyak) hal ini disebabkan bila sediaan krim terganggu sistem campurannya terutama
perubahan suhu dan perubahan komposisi karena penambahan salah satu fase secara berlebihan
atau pencampuran dua tipe krim jika zat pengemulsinya tidak tercampurkan satu sama lain.
Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika diketahui pengencer yang cocok. Krim yang sudah
diencerkan harus digunakan dalam waktu satu bulan. (Anief, 2010)

1.2 Rumusan Masalah


1. Pemeriksaan mutu yang dilakukan baik sesuai farmakope dan non farmakope dari
sediaan krim hidrokortison.
2. Contoh data hasil pemeriksaan sediaan krim hidrokortison.

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pemeriksaan mutu yang dilakukan terhadap sediaan krim
hidrokortison.
2. Untuk mengetahui contoh data hasil pemeriksaan sediaan krim hidrokortison.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut
atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan
untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi
air dalam minyak atau minyak dalam air (Anonim, 2014). Krim mengandung air tidak kurang
dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar tubuh (Anonim, 1979).
Krim merupakan sistem emulsi sediaan semi padat dengan penampilan tidak jernih..
Konsistensi dan sifatnya tergantung pada jenis emulsinya, apakah jenis air dalam minyak atau
minyak dalam air (Lachman, dkk., 1994). Pengemulsi sediaan krim dapat berupa surfaktan
anionik, kationik dan non ionik. Untuk krim tipe air dalam minyak biasanya digunakan span,
adeps lanae, kolesterol, cera dan untuk krim tipe minyak dalam air yang biasa digunakan yaitu
digunakan trietanolamin, natrium stearat, kalium stearat, amonium stearat. Untuk pensabil krim
ditambahkan zat antioksidan dan zat pengawet. Zat pengawet yang sering digunakan adalah
nipagin 0,12-0,18% dan nipasol 0,02-0,05% (Anief, 2010).
Krim merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan ke bagian kulit
badan. Obat luar adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui mulut, kerongkongan, dan kearah
lambung. Menurut definisi tersebut yang termauk obat luar adalah obat luka, obat kulit, obat
hidung, obat mata, obat tetes telinga, obat wasir dan sebagainya (Anief, 1994).

2.1.1 Syarat Sediaan Krim


Suatu sediaan krim harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Widodo,
2013):
a. Stabil. Selama masih dipakai untuk mengobati. Maka dari itu krim harus bebas dari
inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada di dalam kamar.
b. Lunak. Semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan
homogen.
c. Mudah dipakai. Umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan
dihilangkan dari kulit.
d. Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui dasar krim padat
atau cair pada penggunan.

2.1.2 Penggolongan Krim


Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asamasam lemak
atau alkohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk
pemakaian kosmetika dan estetika. Ada dua tipe krim, yaitu:
a. Tipe a/m, yaitu air terdispersi dalam minyak. Misalnya cold cream adalah sediaan
kosmetika yang digunakan untuk maksud memberikan rasa dingin dan nyaman pada
kulit, sebagai krim pembersih, berwarna putih dan bebas dari butiran. Cold cream
biasanya mengandung mineral oil dalam jumlah besar.
b. Tipe m/a, yaitu minyak terdispersi dalam air. Misalnya pada vanishing cream,
vanishing cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud
membersihkan, melembabkan dan sebagai alas bedak. Vanishing cream sebagai
pelembab (moisturizing) meninggalkan lapisan berminyak atau film pada kulit
(Widodo, 2013).

2.1.3 Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Krim


Sama seperti sediaan bentuk lain, krim juga memiliki keuntungan dan kerugiaan dalam
penggunaannya.
a. Keuntungan Penggunaan Krim
Beberapa keuntungan dari penggunaan sediaan krim, antara lain :
 Mudah menyebar rata
 Praktis
 Mudah dibersihkan atau dicuci
 Cara kerja berlangsung pada jaringan setempat
 Tidak lengket, terutama tipe m/a
 Memberikan rasa dingin (misalnya cold cream), terutama tipe a/m
 Digunakan sebagai kosmetik dan
 Bahan untuk pemakaian topikal, jumlah yang diabsorpsi tidak cukup beracun.
b. Kerugian Penggunaan Krim
Adapun kerugian dari penggunaan sediaan krim, antara lain :
 Menyebabkan iritasi pada kulit
 Mudah hilang karena melekat pada pakaian
 Hanya untuk penggunaan luar dan tidak dapat digunakan disekitar mata

2.1.4 Basis Krim


Seperti salep, krim juga mengandung basis atau bahan dasar tertentu. Ada beberapa
bahan dasar yang sering digunakan dalam pembuatan krim, diantaranya sebagai berikut :
a. Fase minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak dan bersifat asam.
Contohnya, asam stearat, adepslanae, paraffin liquidum, paraffin solidum, minyak
lemak, cera, cetaceum, vaselin, setil alkohol, stearil alkohol, dan sebagainya.
b. Fase air, yaitu bahan obat yang larut dalam air dan bersifat basa. Contohnya, Na
tetraborat, NaOH, KOH dan sebagainya.
c. Pengemulsi. Bahan pengemulsi yang digunakan dalam sediaan krim disesuaikan
dengan jenis dan sifat krim yang akan dibuat atau dikehendaki. Misalnya, emulgide,
lemak bulu domba, setaseum, setil alkohol, stearil alkohol dan sebagainya.
d. Pengawet, yaitu bahan yang digunakan untuk meningkatkan stabilitas sediaan. Bahan
pengawet yang sering digunakan umumnya metil paraben (nipagin) 0,12-0,18 % dan
propil paraben (nipasol) 0,02-0,05 %.
e. Pendapar, yaitu bahan yang digunakan untuk mempertahankan pH sediaan.
f. Antioksidan, yaitu bahan yang digunakan untuk mencegah ketengikan akibat oksidasi
oleh cahaya pada minyak tak jenuh.
g. Zat berkhasiat

2.1.5 Komponen Krim


2.1.5.1 Setil alkohol
Setil alkohol berupa wax, serpihan putih, granul, kubus. Sedikit beraroma dan memilki
rasa yang lemah. Setil alkohol memliki titik didih 316-344oC dan titik leleh 45-52oC (Rowe
dkk., 2009). Setil alkohol mudah larut dalam etanol (95%) dan eter, kelarutan akan meningkat
dengan meningkatnya suhu, praktis tidak larut dalam air, dapat bercampur saat dilelehkan
dengan lemak, paraffin padat dan cair, dan isopropil mistat. Setil alkohol berfungsi sebagai
stiffening agent (2-10%) (Rowe dkk., 2009).
Setil alkohol merupakan alkohol dengan bobot molekul yang tinggi yang biasa digunakan
juga sebagai penstabil untuk emulsi minyak dalam air. Penggunaan yang kurang tepat akan
menyebabkan sediaan krim menjadi terlalu keras, kental dan berubah warna menjadi gelap,
sehingga menimbulkan rasa kurang nyaman saat penggunaan (Ansel, 1989).
2.1.5.2 Asam stearat
Asam stearat mempunyai rumus molekul C18H36O2. Berbentuk kristal padat atau
serbuk, berwarna putih atau sedikit kuning, keras, berbau lemah, dan rasanya member kesan
berlemak. Asam stearat praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam benzene, karbon
tetraklorida, kloroform dan eter, larut dalam etanol (95%), heksan dan propilen glikol. Tiitik
lebur ≥ 54 oC (Rowe dkk., 2009).
Pada sedian topikal, asam stearat digunakan sebagai bahan pengemulsi dan pelarut. Asam
stearat biasanya digunakan dalam pembuatan krim dengan netralisasi menggunakan bahan
alkalis yang digunakan dalam pembuatan krim seperti trietanolamin. Penampilan dan kekenyalan
krim ditentukan dari jumlah bahan alkalis yang digunakan. Konsentrasi yang biasa digunakan
sebagai bahan pengemulsi dalam sediaan krim yaitu 1-20% (Rowe dkk., 2009).
2.1.5.3 Metil paraben
Metil paraben disebut juga nipagin, dengan rumus molekul C8H8O3. Digunakan secara
luas sebagai pengawet dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi lainnya. Dapat
digunakan tunggal atau dikombinasikan dengan senyawa paraben lainnya atau dengan zat
antimikroba lainnya (Rowe dkk., 2009).
Metil paraben berupa kristal berwarna atau serbuk kristal putih, tidak berbau atau hampir
tidak berbau dan memilki rasa seperti terbakar. Memiliki titik lebur 125-128 oC. Praktis tidak
larut dalam minyak mineral, larut dalam etanol, eter dan propilen glikol, agak sukar larut dalam
gliserin, sukar larut dalam minyak kacang dan air. Konsentrasi yang digunakan dalam sediaan
topikal sebagai antimikroba yaitu 0,02-0,3% (Rowe dkk., 2009)
2.1.5.4 Propil paraben
Propil paraben disebut juga nipasol, dengan rumus molekul C10H12O3. Digunakan
secara luas sebagai antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasetikal
lainnya. Penggunaannya dapat tunggal atau dikombinasikan dengan ester paraben lainnya atau
dengan zat antimikroba lainnya (Rowe dkk., 2009).
Propil paraben berbentuk kristal, berwarna putih, tidak berbau, dan serbuk yang tidak
berasa. Titik didih 295 oC. Propil paraben mudah larut dalam aseton dan eter, larut dalam etanol
dan propilen glikol, agak sukar larut dalam minyak kacang, sukar larut dalam propilen glikol
(50%) dan gliserin, sangat sukar larut dalam minyak mineral dan air. Konsentrasi yang
digunakan dalam sediaan topikal sebagai antimikroba yaitu 0,01-0,6% (Rowe dkk., 2009).
2.1.5.5 TEA (Trietanolamin)
Rumus molekul C6H15NO3. Berupa cairan kental jernih, tidak berwarna hingga
berwarna kuning pucat dan memilki bau seperti amoniak. Titik didih 335oC, titik leleh 20-21oC
dan sangat higroskopis. Trietanolamin dapat bercampur dengan aseton, karbon tetraklorida,
metanol dan air, larut dalam benzene dan agak sukar larut dalam etil eter. Trietanolamin
berfungsi sebagai agen pengemulsi dengan konsentrasi 2-4% (Rowe dkk., 2009).

2.1.6 Stabilitas Sediaan Krim


Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam batas
yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan karakteristiknya
sama dengan yang dimilki pada saat produk dibuat. Krim yang stabil berarti bahwa sifat-sifat
fisika dan kimia dari suatu sediaan krim tidak berubah secara berarti selama periode waktu yang
cukup lama (Lachman dkk., 1994).
Penyimpanan krim dalam waktu yang lama akan mengakibatkan kerusakan krim atau
stablitas krim berkurang. Ketidakstabilan suatu sediaan emulsi tersebut dapat digolongkan
sebagai berikut: (Anief, 2010)
a. Fokulasi dan creaming Creaming merupakan terpisahnya emulsi menjadi beberapa lapis
cairan, dimana masing-masing lapis mengandung fase dispers yang berbeda. Creaming
bersifat reversible artinya bila dikocok perlahan-lahan akan homogen kembali.
b. Koalesen dan pecahnya emulsi (cracking atau breaking) Cracking yaitu pecahnya emulsi
karena film yang meliputi partikel sudah rusak dan butir-butir minyaknya akan
berkoalesen. Cracking bersifat tidak dapat kembali, pengocokkan sederhana akan gagal
untuk mengemulsi kembali butirbutir tetesan dalam bentuk emulsi yang stabil.
c. Inverse Inverse adalah peristiwa berubahnya sekonyong-konyongan tipe emulsi M/A ke
tipe A/M atau sebaliknya.

2.1.7 Evaluasi Mutu Sediaan Krim


Agar sistem pengawasan mutu dapat berfungsi dengan efektif, harus dibuatkan
kebijaksanaan dan peraturan yang mendasari dan ini harus selalu ditaati. Pertama, tujuan
pemeriksaan semata-mata adalah demi mutu obat yang baik. Kedua, setia pelaksanaan harus
berpegang teguh pada standar atau spesifikasi dan harus berupaya meningkatkan standart dan
spesifikasi yang telah ada (Anief, 1994).
Beberapa pengujian yang dilakukan dalam proses evaluasi mutu krim, antara lain
organoleptik, homogenitas, pH, keseragaman sediaan, stabilitas, dan uji batas mikroba (Widodo,
2013).
a. Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan pancaindra. Komponen yang
dievaluasi meliputi bau, warna, tekstur sediaan, dan konsistensi. Adapun
pelaksanaanya menggunakan subjek responden (dengan kriteria tertentu) dengan
menetapkan kriteria pengujiannya (macam dan item), menghitung persentase masing-
masing kriteria yang diperoleh, serta mengambil keputusan dengan analisis statisik
(Widodo, 2013).
b. Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah pada saat proses
pembuatan krim bahan aktif obat dengan bahan dasarnya dan bahan tambahan lain
yang diperlukan tercampur secara homogen. Persyaratannya harus homogen,
sehingga krim yang dihasilkan mudah digunakan dan terdistribusi merata saat
penggunaaan pada kulit (Anief, 1994).
Alat yang digunakan untuk pengujian homogenitas adalah roller mill, colloid mill,
homogenizer tipe katup. Dispersi yang seragam dari obat yang tak larut dalam basis
maupun pengecilan ukuran agregat lemak dilakukan dengan melalui homogenizer
atau mill pada temperatur 30-40◦C. Krim harus tahan terhadap gaya gesek yang
timbul akibat pemindahan produk maupun akibat aksi dari alat pengisi (Anief, 1994).
c. Stabilitas
Stabilitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam
batas yang ditetapkan dan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan,sifat dan
karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat produk dibuat (DitjenPOM,
1995).
Tujuan pemeriksaan kestabilan obat adalah untuk menjamin bahwa setiap batch obat
yang didistribusikan tetap memenuhi persyaratan yang ditetapkan meskipun sudah
cukup lama dalam penyimpanan. Pemeriksaan kestabilan digunakan sebagai dasar
penentuan batas kadaluarsa, cara-cara penyimpanan yang perlu dicantumkan dalam
label (Lachman, 1994). Ketidakstabilan formulasi dapat dideteksi dengan pengamatan
pada perubahan penampilan fisik, warna, bau, rasa, dan tekstur dari formulasi
tersebut, sedangkan perubahan kimia yang terjadi hanya dapat dipastikan melalui
analisis kimia (Anshel, 1989).
d. pH
Harga pH merupakan harga yang diberikan oleh alat potensiometrik (pH meter) yang
sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang mampu mengukur harga
pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektroda indikator yang peka terhadap
aktifitas ion hidrogen, elektroda kaca, dan elektroda pembanding yang sesuai seperti
elektroda kalomel atau elektroda perak-perak klorida. Pengukuran dilakukan pada
suhu 25º ± 2º, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi (Ditjen POM,
1995).
e. Keseragaman sediaan
Keseragaman sediaaan dapat ditetapkan dengan menggunakan dua metode, yaitu
keseragaman bobot dan keseragaman kandungan. Persyaratan ini digunakan untuk
sediaan yang mengandung suatu zat aktif dan sedian yang mengandung dua atau lebih
zat aktif. Persyaratan keseragaman bobot diterapkan pada produk yang mengandung
zat aktif 50 mg atau lebih yang merupakan 50% atau lebih, dari bobot satuan sediaan.
Keseragaman dari zat aktif lain, jika dalam jumlah kecil ditetapkan dengan
persyaratan keseragaman kandungan (DitjenPOM, 1995).
f. Uji Batas Mikroba
Uji batas mikroba dilakukan untuk memperkirakan jumlah mikroba viable di dalam
semua jenis perbekalan farmasi mulai ari bahan baku sampai sediaan jadi, untuk
menyatakan perbekalan farmasi tersebut bebas dari spesies mikroba tertentu.
Otomatis dapat digunakan sebagai pengganti uji yang akan disajikan, dengan
ketentuan bahwa cara tersebut sudah divalidasi sedemikian rupa hingga menunjukkan
hasil yang sama atau lebih baik. Selama menyiapkan dan melakukan pengujian,
spesimen harus ditangani secara aseptik.
g. Penandaan
Penandaan berisi informasi yang lengkap dan objektif yang dapat menjamin
penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman. Penandaan adalah keterangan yang
lengkap mengenai obat jadi, khasiat, keamanan serta cara penggunaanya, tanggal
kadaluarsa bila ada, yang dicantumkan pada etiket, brosur dan kotak yang disediakan
pada obat jadi. Seperti tanggal kadaluarsa merupakan waktu yang menunjukkan batas
terakhir obat masih memenuhi syarat baku dan dinyatakan dalam bulan dan tahun
(Anief, 1997).

2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


2.2.1 Prinsip KLT
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu bentuk kromatografi planar, dimana fase
diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh pelat
aluminium, pelat plastik, atau lempeng kaca. Fase gerak yang digunakan pada KLT adalah
larutan pengembang yang akan bergerak sepanjang fase diam secara menaik (ascending) atau
menurun (descending) (Hanani 2015) .
Prinsip metode ini yaitu memisahkan komponen-komponen dari campuran berdasarkan
perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah pengaruh larutan pengembang.
Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi atau analisis kualitatif adalah nilai Rf
atau faktor retensi. Nilai Rf merupakan hasil bagi dari jarak zona awal substansi ke depan fase
gerak (Stahl, 1985) . Dua senyawa dikatakan identik apabila memiliki nilai Rf yang serupa jika
diukur pada kondisi KLT yang sama (Hanani, 2015).
2.2.2 Fase Diam KLT
Fase diam yang digunakan pada KLT berupa penjerap berukuran kecil dengan diameter
partikel antara 10-30 µm. Ukuran partikel fase diam menentukan kinerja KLT. Semakin kecil
dan sempit ukuran partikel fase diam, maka efisiensi dan resolusi KLT semakin baik (Hanani,
2015) .Sejauh ini silika gel merupakan fase diam yang paling sering digunakan, sementara
mekanisme sorpsi yang utama adalah partisi dan adsorpsi. Terjadinya pemisahan disebabkan
oleh adanya ikatan hidrogen atau interaksi dipol dengan permukaan gugus silanol (SiOH) . Silika
gel mampu mengikat tiga lapisan molekul air dan 2 lapisan teratas dapat dihilangkan secara
reversible dengan cara dipanaskan pada suhu 120 oC dan secara irreversible pada suhu lebih dari
200 oC. Polaritas suatu senyawa berperan penting dalam laju migrasi senyawa tersebut pada
silika gel. Semakin polar suatu senyawa, maka semakin lambat laju migrasinya pada plat silika
yang bersifat polar, dan sebaliknya semakin non polar suatu senyawa akan mempercepat laju
migrasi dari senyawa tersebut (Hanani, 2015) .
2.2.3 Fase Gerak KLT
Umumnya fase gerak dapat dipilih dari pustaka, namun dapat juga dipilih dengan
pendekatan trial-and-error. Sistem yang paling sederhana ialah campuran antara 2 pelarut
organik karena daya elusi campuran dapat diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat
optimal. Berikut adalah petunjuk yang digunakan untuk melakukan optimasi fase gerak(12) : 1.
Memiliki kemurnian yang sangat tinggi. 2. Daya elusi harus diatur sedemikian rupa agar nilai Rf
terletak di antara 0,2- 0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. 3. Polaritas fase gerak akan
menentukan kecepatan migrasi solut, yang juga akan menentukan nilai Rf. 4. Campuran pelarut
sebagai fase gerak sebaiknya digunakan untuk solut-solut ionik dan solut-solut polar.

2.3 Hidrokortison

Menurut farmakope edisi 5, uraian umum hidrokortison sebagai berikut :


Rumus molekul : C21H30O5
Berat molekul : 362, 46
Pemerian : serbuk hablur, putih sampai praktis putih; tidak berbau.
Kelarutan : sangat sukar larut dalam air dan dalam eter; agak sukar larut dalam aseton
dan dalam etanol; sukar larut dalam kloroform.
Titik lebur : Melebur pada suhu lebih kurang 215OC disertai penguraian.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Evaluasi Sediaan Krim


3.1.1 Uji Organoleptis
Pemeriksaan dilakukan secara organoleptik yaitu, bentuk, bau dan warna.
3.1.2 Homogenitas
Sejumlah krim diletakkan diatas objek gelas, lalu diambil objek gelas yang lain kemudian
tekan hingga rata, amati homogenitasnya secara visual.
3.1.3 Stabilitas
Uji stabilitas dilakukan dalam jangka pendek selama enam bulan dengan kondisi pada
suhu kamar yaitu 20-25°C. Interval pengujian dilakukan pada bulan ketiga dan keenam.
Kemudian apakah krim tersebut memisah atau tidak, cara kerja yaitu ± 10 g massa krim
dimasukkan kedalam tabung centrifuge, putar 15 menit.
3.1.4 pH
Ditimbang seksama krim hydrocortisone 3,00057 g, lalu dimasukkan kedalam gelas
beaker. Ditambahkan 30 mL akuades sedikit demi sedikit, diaduk sampai homogen.Diukur pH-
nya dengan pH meter yaitu dengan mencelupkan anoda dan katoda kedalam larutan tersebut
kemudian lihat pada LCD display sampai tanda “drift” pada layar hilang dan catat hasilnya.
3.1.5 Keseragaman Sediaan
Dihubungkan steaker alat dengan stop kontak. Dihidupkan alat dengan menekan
tombol.Dibuka kaca penutup timbangan, di dalamnya diletakkan piringan timbangan.Ditekan
“Tare” untuk menolkan.Ditimbang 10 tube berisi, lalu timbang satu persatu.Ditimbang 10 tube
yang kosong krim hydrocortisone, lalu timbang satu persatu.Dihitung bobot rata- rata isi tube
(berat netto).
3.1.6 Uji Batas Mikroba
 Pembuatan media TSB (Tryptone Soya Broth)
Ditimbang 3 g TSB (Tryptone Soya Broth) .Dilarutkan dalam 300 mL air murni. Diaduk
sampai homogen. Dipanaskan sambil diaduk diatas hot plate sampai suhu
1000C.Disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.
 Pembuatan media PCA (Pseudomonas Cetrimide Agar)
Ditimbang 11,36 g PCA.Dilarutkan dalam 125 mL air murni. Dipanaskan sambil di aduk
di atas hot plate sampai suhu 1000C. Disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210C
selama 15 menit.
 Pembuatan media MSA (Mannitol Salt Agar)
Ditimbang 13,5 g MSA.Dilarutkan dalam 125 mL air murni. Dipanaskan sambil diaduk
di atas hot plate sampai suhu 1000C. Disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 1210C
selama 15 menit.
 Prosedur Kerja
Dimasukkan 1 g krim hydrocortisone. Diaduk hingga homogen.Dimasukkan kedalam
autoklaf dengan suhu 121 0C selama 15 menit.Diinkubasi selama 2 hari pada suhu 35-
370C.
 Pemeriksaan Staphylococus Aureus
Disiapkan 3 cawan petri yang masing-masing telah diisi dengan 15 mL MSA. Pada
cawan pertama diambil satu ose dari media uji yang telah diinkubasi, digores pada media
MSA. Pada cawan kedua diambil satu ose biakan bakteri staphylococus aureus, digores
pada media MSA. Pada cawan ketiga digunakan sebagai kontrol.Diinkubasi ketiga cawan
tersebut pada suhu 35-370C. Amati perubahan yang terjadi.
 Pemeriksaan Pseudomonas Aeruginosa
Disiapkan 3 cawan petri yang masing-masing telah diisi dengan 15 mL. Pada cawan
pertama diambil satu ose dari media uji yang telah diinkubasi, digores pada media PCA.
Pada cawan kedua diambil satu ose biakan bakteri pseudomonas aeruginosa, digores pada
media PCA. Pada cawan ketiga digunakan sebagai kontrol. Diinkubasi ketiga cawan
tersebut pada suhu 35-370C. Amati perubahan yang terjadi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Telah dilakukan uji evaluasi mutu krim Hydrocortisone 2,5% dengan menggunakan
beberapa metode. Hasil pengujian yang diperoleh yaitu :
4.2 Pembahasan
Evalusi mutu krim hydrocortisone 2,5% dilakukan terhadap satu batch yaitu A60077T.
Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa mutu krim hydrocortisone produksi PT. Kimia
Farma (Persero) Tbk. Memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Evaluasi pertama adalah uji organoleptis, evaluasi yang dilakukan dengan cara
mengamati sediaan krim tersebut dengan dilihat bentuk, bau, warna sediaan krim hydrocortisone.
Evaluasi ini dilakukan agar mengetahui sediaan yang dibuat sesuai dengan standar krim yang
ada, dalam arti sediaan krim tersebut stabil dan tidak menyimpang dari standar krim. Hasil
pengujian yang diperoleh adalah tidak ada perubahan pada pengamatan yang dilakukan terhadap
sediaan krim hydrocortisone.
Evaluasi kedua yaitu uji homogenitas. Uji ini dilakukan dengan tujuan agar mengetahui
sediaan yang dibuat homogen atau tidak, karena sediaan krim baik harus homogen dan bebas
dari partikel-partikel yang masih menggumpal. Cara kerja pada uji ini yaitu dengan mengoleskan
sedikit sediaan krim diobjek gelas dan amati adakah partikel yang masih menggumpal atau tidak
tercampur sempurna. Jika tidak berarti larutan dikatakan homogen. Hasil pengujian yang
diperoleh dari uji homogenitas adalah homogen, tidak terdapat partikel-partikel kasar pada krim
hydrocortisone.
Evaluasi ketiga yaitu uji pH. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah krim yang di uji
sesuai dengan persyaratan yang ditentukan yaitu 6,50- 8,50. Hasil uji pH yang diperoleh yaitu
8,10 sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Evaluasi keempat yaitu keseragaman sediaan. Keseragaman sediaan krim
hydrocortisoneditetapkan dengan cara keseragaman bobot. Persyaratan keseragaman bobot untuk
krim hydrocortisone adalah 5,00-5,20 g. Hasil pengujian keseragam bobot yang diperoleh pada
percobaan yang dilakukan memenuhi syarat yaitu 5,10 g.
Evaluasi kelima yaitu stabilitas. Tujuan pemeriksaan kestabilan obat adalah untuk
menjamin bahwa setiap batch obat yang didistribusikan tetap memenuhi persyaratan yang
ditetapkan meskipun sudah cukup lama dalam penyimpanan. Cara kerja pada uji ini yaitu ± 10 g
massa krim dimasukkan kedalam tabung centrifuge, putar 15 menit. Hasil uji yang diperoleh
memenuhi persyaratan yaitu tidak memisah.
Evaluasi keenam yaitu uji batas mikroba. Uji batas mikroba dapat menentukan apakah
suatu produk memenuhi standar kandungan mikroba atau tidak. Berdasarkan hasil uji batas
mikroba dapat disimpulkan bahwa krim hydrocortisonememenuhi syarat yaitu bebas dari
kandungan mikroba Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Beberapa pengujian yang dilakukan dalam proses evaluasi mutu krim, antara lain
organoleptik, homogenitas, pH, keseragaman sediaan, stabilitas, dan uji batas mikroba.
2. Berdasarkan evaluasi terhadap mutu krim hydrocortisone 2,5% produksi PT. Kimia
Farma (Persero) Tbk Plant Medan, diperoleh hasil yang memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia Edisi V mulai dari uji organoleptik, homogenitas,
stabilitas, pH,keseragaman sediaan dan uji batas mikroba.

5.2 Saran
Uji suatu sediaan krim setidaknya dilakukan dengan berbagai metode misalnya
menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) agar dapat dibandingkan
hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2010. Ilmu Meracik Obat. Cetakan Ke-15. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Anonim. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Penerbit Universitas
Indonesia: Jakarta.

Anief, M. 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 62, 113, 125-
126, 132.

Anief, M. 1997. Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit. Yogyakarta Gadjah
Mada University Press. Hal. 58-74.

Hanani, E., 2015, Analisis Fitokimia, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Lachman, L., Lieberman, H.A., Kanig, J.L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi
Ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 1077.

Rowe, R.C. et Al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed, The Pharmaceutical
Press, London

Stahl, E., dan Michigan., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Terjemahan
Padmawinata, ITB Press, Bandung.

Widodo, H. 2013. Ilmu Meracik Obat untuk Apoteker. Yogyakarta: Penerbit Medika. Hal. 168,
172.

Anda mungkin juga menyukai