Anda di halaman 1dari 91

CASE STUDY REPORT

BANGSAL NEUROLOGI
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. M. HATTA BUKITTINGGI
Periode 18 Februari – 26 Februari 2021

“Cardiovascular desease stroke iskemik dan Diabetes melitus hipertensia”

Disusun oleh :

Rohil Suci Febriyanti, S.Farm 2002028

Wanda Caesaria Reja, S.Farm 2002034

Yoni Ardiani Edra, S.Farm 2002038

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iv
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3
2.2 Diabetes Melitus...............................................................................................24
2.2.1 Definisi.....................................................................................................24
2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus.....................................................................24
2.2.3 Patogenesis...............................................................................................25
2.2.4 Faktor Resiko...........................................................................................25
2.2.5 Patofisiologi.............................................................................................28
2.2.6 Manifestasi klinis.....................................................................................28
2.2.7 Terapi.......................................................................................................29
2.3 Hipertensi.........................................................................................................15
2.3.1 Definisi.....................................................................................................15
2.3.2 Hipertensi Krisis dan Klasifikasinya...............................................................15
2.3.3. Hipertensi Resistensi......................................................................................19
2.3.4 Patofisiologi Hipertensi............................................................................20
2.3.5. Terapi.......................................................................................................22
BAB III............................................................................................................................34
TINJAUAN KASUS........................................................................................................34
3.1 Identitas pasien.................................................................................................34
3.2 Pemeriksaan fisik.............................................................................................35
3.3 Pemeriksaan laboratorim..................................................................................36
3.4 Pemeriksaan penunjang....................................................................................37
3.6 Terapi...............................................................................................................37
3.7 Lembanr penggunaan obat...............................................................................39
3.9 Analisis Drug Related Problem.......................................................................44
3.11 Lembar Monitoring Efek Samping Obat..........................................................53
BAB IV............................................................................................................................67

ii
PEMBAHASAN..............................................................................................................67
4.1 Pembahasan......................................................................................................67
BAB V.............................................................................................................................72
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................................72
5.1 Kesimpulan......................................................................................................72
5.2 Saran................................................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................73

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji dan syukur kehadirat Allah
Subhanahuwata’ala atas berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Studi Kasus Praktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit . Sholawat dan salam selalu diucapkan kepada
baginda Rasullulah Muhammad Salallahu’alaihi Wasalam. Adapun tugas studi
kasus ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker di Sekolah
Tinggi Ilmu Farmasi Riau dengan harapan sebagai calon Apoteker mendapatkan
gambaran secara jelas mengenai Pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan
farmasi klinis di rumah sakit yang merupakan salah satu tempat pengabdian
profesi apoteker.
Dalam penyelesaian tugas studi kasus ini tidak terlepas dari do’a, dukungan,
dan bantuan dari berbagai pihak yang bersangkutan. Penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam menyusun tugas studi kasus ini. Perkenankanlah Penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Kedua Orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan
do’a yang tiada hentinya selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA).
2. Bapak apt. Enda Mora, M. Farm sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Riau bersama Pembantu Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.
3. Ibu apt. Andriani Susanty, M.Farm sebagai Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.
4. Ibu apt. Ratna Sari Dewi, M.Farm selaku dosen pembimbing PKPA di
rumah sakit.
5. Bapak Khairil Armal, S.Si, Apt.SpFRS selaku Pembimbing PKPA di rumah
sakit otak di Bukittinggi.

iv
Penulis menyadari bahwa laporan ini memiliki banyak kekurangan, akan
tetapi kami sebagai penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
untuk pengembangan ilmu kefarmasian di bidang farmasi rumah sakit
khususnya.

Bukittinggi, Februari 2021.

Penulis

v
BAB I

PENDAHULUAN

Stroke tetap menjadi permasalahan kesehatan yang utama sampai saat ini.
Stroke mampu mempengaruhi kehidupan manusia dan ekonomi. Insidensinya
diperkirakan > 700.000 di Amerika Serikat setiap tahun dan menyebabkan >
160.000 orang meninggal tiap tahunnya, dengan sekitar 4,8 juta orang penderita
stroke yang dapat bertahan sampai saat ini. Meskipun terdapat 60% angka
penurunan pada mortalitas akibat stroke selama 29 tahun ini sejak 1968 sampai
dengan 1996, rata–rata penurunan baru dimulai pada tahun 1990 secara lambat
dan kemudian mengalami stabilitas. Walaupun secara keseluruhan telah terjadi
penurunan sebesar 3,4 % dari jumlah mortalitas pada penderita stroke antara tahun
1991 hingga 2001, namun jumlah kematian sebenarnya akibat stroke sekitar 7,7%.
Stroke menempati peringkat ketiga penyebab kematian. Insidensi stroke mungkin
meningkat.

Sejak tahun 1988 hingga 1997, rata-rata penderita stroke yang dirawat di
rumah sakit meningkat 18,6% (dari 560 menjadi 664 per 100.000), sedangkan
total dari penderita stroke yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
meningkat 38,6% (dari 592.811 menjadi 821.760 tiap tahunnya). Pada tahun
2004, biaya yang diperlukan untuk perawat¬an stroke diperkirakan sekitar 53,6
milyar dolar (biaya langsung dan tidak langsung), dengan rata–rata biaya yang
dikeluarkan sekitar 140.048 dolar seumur hidup. (AHA, 2004).
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecenderungan
meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir.
Terdapat kecenderungan menyerang generasi muda yang masih produktif. Hal ini
akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat
mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga. Tidak dapat dipungkiri
bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia identik dengan lifestyle
masyarakat, di antaranya olahraga, merokok, minum alkohol, pola makan,
kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau kolesterol yang melanda di
seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, stroke merupakan penyakit
nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei

1
tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh
penjuru Indonesia. Stroke juga menjadi penyebab utama dari gangguan
fungsi¬onal, 20% dari penderita stroke yang dapat bertahan membutuhkan
perawatan pada insitusi khusus selama 3 bulan dan 15%-30% menjadi kecacatan
permanen.
Stroke menyebabkan perubahan pola hidup yang berpengaruh tidak hanya
pada penderitanya namun juga pada seluruh keluarga dan orang yang merawatnya.
Analisis manfaat menunjukkan bahwa lebih dari separuh stroke memberi risiko
yang lebih buruk daripada kematian. Walaupun telah di¬temu¬kan pengobatan
yang berguna pada pasien dengan stroke iskemik akut menggunakan aktivator
plasminogen intravena dan terapi lain untuk fase akut yang cukup menjanjikan,
tindakan prevensi yang efektif merupakan pengobatan terbaik untuk mengurangi
risiko stroke. Prevensi primer sangat penting karena >70% dari stroke merupakan
serangan pertama. Insidensi stroke pada umur tertentu di Oxfordshire, United
Kingdom, menurun sampai 40% selama 20 tahun berhubungan dengan
peningkatan penggunaan terapi preventif dan pengendalian faktor risiko. Seperti
yang telah didiskusikan sebelumnya,individu dengan risiko tinggi atau yang
cenderung mengalami stroke saat ini dapat dididentifi¬kasi dan ditargetkan untuk
mendapat perhatian khusus. (Adams et.al, 2005).
Stroke merupakan suatu kematian secara tiba-tiba dari sel-sel pada area
otak yang spesifik yang disebabkan oleh aliran darah yang tidak adekuat. Stroke
terjadi ketika aliran darah ke suatu bagian dari otak terhambat, baik oleh karena
pembuluh darah di otak pecah maupun karena adanya sumbatan oleh gumpalan
darah.  Tergantung pada daerah kerusakan yang ditimbulkan, stroke dapat
menyebabkan paralysis, kehilangan penglihatan, gangguan ber¬bicara, kehilangan
daya ingat dan daya pikir, koma, atau kematian.
Menurut WHO stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi
serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat,
dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut,
tanpa ditemukannya penyebab selain gangguan vaskuler

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke

2.1.1 Defenisi Stroke

Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap

gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya

aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan

secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang lebih lama dan

masih sering digunakan adalah cerebrovascular accident (CVA). Namun istilah

ini sulit dipertahankan secara ilmiah karena patologi yang mendasari biasanya

sudah ada sejak lama dan mudah diidentifikasi. Karena itu, proses bagaimana

berbagai gangguan patologik (misalnya, hipertensi dan diabetes melitus)

menyebabkan stroke merupakan hal yang dapat diduga, reproducible, dan bahkan

dapat dimodifikasi (Price dan Wilson, 2006)

2.1.2 Epidemiologi

Stroke adalah penyebab kematian tersering ketiga pada orang dewasa di

Amerika Serikat. Angka kematian setiap tahun akibat stroke baru atau rekuren

adalah lebih dari 200.000. Insiden stroke secara nasional diperkirakan adalah

750.000 per tahun, dengan 200.000 merupakan stroke rekuren Menurut

Balitbangkes Kemenkes RI, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi

diindonesia sejak tahun 2014.

3
2.1.3 Klasifikasi Stroke

Sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke menjadi tiga kategori

berdasarkan penyebab: trombotik, embolik, dan hemoragik. Kategori ini sering

didiagnosis berdasarkan riwayat perkembangan dan evolusi gejala. Dengan

teknik-teknik pencitraan yang lebih baru seperti CT scan dan MRI, kita dapat

mendiagnosis perdarahan subaraknoid dan intraserebrum dengan tingkat kepastian

yang tinggi. Perbedaan antara trombus dan embolus sebagai penyebab suatu

stroke iskemik masih belum tegas sehingga saat ini keduanya digolongkan ke

dalam kelompok yang sama ''stroke iskemik". Dengan demikian, dua kategori

dasar gangguan sirkulasi yang menyebabkan stroke adalah iskemia-infark dan

pendarahan intrakranium, yang masing-masing menyebabkan 80% sampai 85%

dan 15% sampai 20% dari semua kasus stroke. (Price dan Wilson, 2006)

Berdasarkan etiologinya, stroke diklasifikasikan sebagai stroke

iskemik dan stroke hemoragik.

1. Stroke Iskemik / Non Hemorogik

Stroke iskemik terjadi karena aliran darah ke otak terhenti karena

aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah.

2. Stroke Hemorogik

Diakibatkan karena pembuluh darah pecah atau aneurisma spontan atau

sekunder akibat trauma, sehingga menghambat aliran darah yang normal dan

darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya disebabkan oleh

pecahnya pembuluh darah (Wittenauer, 2012).

4
2.1.4 Stroke Iskemik

2.1.4.1 Defenisi

Stroke iskemik (87% dari semua stroke) disebabkan oleh pembentukan

trombus lokal atau emboli yang menyumbat arteri serebral. Aterosklerosis

serebral adalah penyebab dalam banyak kasus, tetapi 30% memiliki etiologi yang

tidak diketahui. Emboli muncul dari intra- atau ekstrakranial arteri. Dua puluh

persen dari stroke iskemik muncul dari jantung.

 Plak aterosklerotik karotis bisa pecah, menyebabkan pajanan kolagen,

trombosit agregasi, dan pembentukan trombus. Gumpalan tersebut dapat

menyebabkan oklusi lokal atau terlepas dan melakukan perjalanan ke

distal, akhirnya menutupi pembuluh otak.

 Pada emboli kardiogenik, stasis aliran darah di atrium atau ventrikel

menyebabkan pembentukan gumpalan lokal yang dapat terlepas dan

berjalan melalui aorta ke serebral sirkulasi.

 Pembentukan trombus dan emboli menyebabkan oklusi arteri, menurunkan

serebral aliran darah dan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark distal

ke oklusi (Dipiro, 2015)

2.1.4.2 Etiologi
Pada trombus vaskular distal, bekuan yang terbentuk didalam suatu

pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal dapat terlepas, atau mungkin

terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui

sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyebab stroke

trombotik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, arteritis, keadaan

hiperkoagulasi, dan penyakit jantung struktural. Namun, trombosis yang menjadi

5
penyulit aterosklerosis merupakan penyebab pada sebagian besar kasus stroke

trombotik, dan embolus dari pembuluh besar atau jantung merupakan penyebab

tersering stroke embolik (Smith et al.,2001).

Sumbatan aliran di arteria karotis interna pada sebagaian besar kasus

merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut yang mengalami

pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan

atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis komunis

bercabang menjadi arteria karotis interna dan ekstema) merupakan tempat

tersering terbentuknya aterosklerosis. Darah terdorong melalui sistem vaskular

oleh gradien tekanan, tetapi pada pembuluh yang menyempit, aliran darah yang

lebih cepat melalui lumen yang lebih kecil akan menurunkan gradien tekanan di

tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai suatu tingkat kritis tertentu,

maka meningkatnya turbulensi di sekitar penyumbatan akan menyebabkan

penurunan tajam kecepatan aliran. Secara klinis, titik kritis stenosis pada manusia

adalah 80% sampai 85% dari luas potongan melintang lumen. Penyebab lain

stroke iskemik adalah vasospasme, yang sering merupakan respons vaskular

reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan pia mater

meningen. Sebagian besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena

jaringan otak tidak peka terhadap nyeri. Namun, pembuluh besar di leher dan

batang otak memiliki banyak reseptor nyeri, dan cedera pada pembuluh-pembuluh

ini saat serangan iskemik dapat menimbulkan nyeri kepala. Dengan demikian,

pada pasien dengan stroke iskemik disertai gambaran klinis berupa nyeri kepala

perlu dilakukan uji-uji diagnostik yang dapat mendeteksi cedera.

6
2.1.4.3 Patofisiologi
Stroke iskemik terjadi akibat oklusi arteri serebral, yang menyebabkan

untuk penurunan aliran darah otak. Normal aliran darah otak rata-rata 50 mL / 100

g per menit, dan ini benar dipertahankan selama berbagai tekanan darah (tekanan

arteri rata-rata 50-150 mm Hg) dengan proses yang disebut autoregulasi serebral.

Pembuluh darah serebral melebar dan mengerut sebagai respons terhadap

perubahan dalam tekanan darah, tetapi proses ini dapat terganggu oleh

aterosklerosis, hipertensi kronis, dan cedera akut, seperti stroke. Arteri oklusi

menyebabkan penurunan parah dalam aliran darah otak yang menyebabkan infark.

Jaringan yang iskemik yang mempertahankan integritas membrane disebut

sebagai penumbra iskemik karena biasanya mengelilingi inti infark. Penumbra ini

berpotensi dapat diselamatkan (Dipiro, 2017)

Intervensi terapeutik dan dinilai segera sebelum endovascular intervensi

dengan stent retriever. Pengurangan pemberian nutrisi ke sel iskemik akhirnya

menyebabkan penipisan fosfat berenergi tinggi (misalnya, adenosine trifosfat

[ATP]) dan akumulasi kalium ekstraseluler, natrium intraseluler, dan air,

menyebabkan pembengkakan sel dan akhirnya lisis. Peningkatan kalsium

intraseluler yang mengikuti menghasilkan aktivasi lipase, protease, dan

endonuklease serta pelepasan asam lemak bebas dari membran fosfolipid. Selain

itu, ada pelepasan asam amino eksitatori, seperti glutamat dan aspartat, yang

mengabadikan kerusakan saraf dan akumulasi gratis asam lemak, termasuk asam

arakidonat, dan menghasilkan pembentukan prostaglandin, leukotrien, dan radikal

bebas. Pada iskemia, besarnya produksi radikal bebas melebihi pemulungan

normal sistem, meninggalkan molekul reaktif ini untuk menyerang membran sel

dan berkontribusi pada peningkatan asidosis intraseluler. Semua kejadian ini

7
terjadi dalam 2 sampai 3 jam setelah onset iskemia dan berkontribusi pada

kematian sel pamungkas. Target selanjutnya untuk intervensi dalam proses

patofisiologi terlibat setelah iskemia serebral termasuk peradangan dan apoptosis,

atau kematian sel terprogram, terjadi beberapa jam setelah akut menghina dan

dapat mengganggu pemulihan dan perbaikan jaringan otak. (Dipiro, 2017).

2.1.5 Manifestasi Klinis

a. Pasien tidak dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya, karena

penurunan kemampuan kognitif atau bahasanya. Informasi ini perlu

didapatkan dari anggota keluarga atau saksi lain.

b. Pasien mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan

berbicara, kehilangan melihat , vertigo, atau jatuh. Stroke iskemia

biasanya tidak menyakitkan, tapi sakit kepala dapat terjadi dan lebih parah

pada stroke pendarahan

c. Pasien biasanya memiliki berbagai pertanda disfungsi sistem syaraf pada

pemeriksaan fisik. Penurunan spesifik bergantung pada daerah otak yang

berpengaruh. Penurunan demi hemi atau monoparesis dan hemisensori

biasa terjadi. Pasien dengan pengaruh sirkulasi posterior dapat mengalami

vertigo dan diplopia. Stroke sirkulasi anterior biasanya terjadi dalam

aphasia. Pasien juga dapat mengalami dysarthria, kerusakan daerah

penglihatan dan perubahan tingkat kesadaran (Sukandar Elin Yulinah dkk,

2009).

2.1.6 Diagnosis
a. Tes laboratorium untuk keadaan hiperkoagulabilitas harus dilakukan

hanya ketika penyebab stroke tidak dapat ditentukan berdasarkan adanya

factor risiko yang diketahui. Protein C, protein S dan antitrombin III

8
paling baik diukur pada kondisi stabil daripada pada tahap akut. Antibodi

antifosfolipid memiliki hasil yang lebih tinggi tetapi harus dicadangkan

untuk pasien berusia kurang dari 50 tahun dan penderita yang memiliki

beberapa kejadian trombotik vena atau arteri atau livedo reticularis.

b. Computerized tomography (CT) adalah metode pencitraan yang paling

berguna segera dalam mengidentifikasi/membedakan pendarahan otak dari

infark. Namun, selama beberapa jam pertama setelah stroke iskemik, CT

dapat menunjukkan hanya perubahan halus atau sering tidak sama sekali.

Pemindaian kepala tomografi terkomputasi (CT) akan mengungkapkan

area hiperintensitas (putih) di area perdarahan dan akan menjadi normal

atau hipointense (gelap) di area infark. Area infark mungkin tidak terlihat

pada CT scan selama 24 jam (dan jarang lebih lama). Skala penilaian

stroke yang digunakan bersama dengan CT dapat membantu

menyelesaikan ketidakpastian akibat pemindaian yang tidak meyakinkan.

Di sisi lain, magnetic resonance imaging (MRI) adalah metode investigasi

yang lebih disukai untuk stroke iskemik dan TIA. Kerugian MRI termasuk

kurangnya ketersediaan penyebaran luas dan waktu yang diperlukan untuk

memproses gambar, terutama karena fakta bahwa perawatan dalam

therapeutic window akut yang tersedia saat ini sangat penting untuk hasil

pasien yang baik. Angiografi MR atau CT menunjukkan pembuluh darah

otak dan dapat menambahkan informasi lebih lanjut seperti aneurisme,

penyempitan segmental atau penyumbatan lengkap pembuluh darah.

c. Pencitraan resonansi magnetic kepala akan mengungkapkan area iskemia

dengan resolusi lebih tinggi dan lebih awal dari CT scan. Pencitraan

9
dengan pembobotan difusi akan mengungkapkan infark yang berkembang

dalam beberapa menit.

d. Pemeriksaan sinar-X toraks merupakan prosedur standar karena

pemeriksaan ini dapat mendeteksi pembesaran jantung (kardiomegali) dan

infiltrat paru yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif.

e. Fungsi lumbal melibatkan pemeriksaan CSS yang sering memberi

petunjuk bermanfaat tentang kausa stroke, terutama apabila pasien datang

dalam keadaan tidak sadar dan tidak dapat memberikan anamnesis.

Sebagai contoh, mungkin terdapat darah di CSS pada stroke hemoragik,

terutama pada perdarahan subaraknoid. Informasi yang akan diperoleh

harus ditimbang terhadap risiko melakukan pungsi lumbal pada pasien

koma. Yaitu, pada peningkatan TIK, penurunan mendadak tekanan CSS di

tingkat spinal bawah dapat memicu gerakan ke bawah isi kranium disertai

herniasi ke dalam batang otak dan kematianmendadak.

f. Ultrasonografi karotis terhadap arteria karotis merupakan evaluasi standar

untuk mendeteksi gangguan aliran darah karotis dan kemungkinan

memperbaiki kausa stroke.

g. Angiografi serebrum dapat memberi informasi penting dalam

mendiagnosis kausa dan lokasi stroke. Secara spesifik, angiografi

serebrum dapat mengungkapkan lesi ulseratif, stenosis, displasia

fibromuskular, fistula arteriovena, vaskulitis, dan pembentukan trombus di

pembuluh besar. Saat ini, angiografi serebrum dianggap merupakan cara

paling akurat unluk mengidentifikasi dan mengukur stenosis arteriarteri

otak. Namun, kegunaan metode ini agak terbatas oleh penyulit yang dapat

10
terjadi pada hampir 12% pasien yang dicurigai mengidap stroke. Risiko

utama pada prosedur ini adalah robeknya aorta atau arteria karotis dan

embolisasi dari pembuluh besar ke pembuluh intrakranium. Dengan

demikian, keuntungan memperoleh informasi diagnostik yang penting

harus ditimbang terhadap kemungkinan meluasnya stroke saat medium

kontras yang disuntikkan menggantikan aliran darah. Secara umum,

angiografi birasanya dicadangkan untuk pasien dengan TIA di bagian

anterior sirkulus Willisi, karena kelainan penyebab mungkin dapat

diperbaiki secara bedah. Namun, angiografi sebaiknya tidak dilakukan

pada pasien dengan gejala dan tanda lesi sirkulasi posterior, karena lesi-

lesi ini tidak dapat diakses secara bedah (Wiederholt,2000).

h. Doppler transkranium, yaitu ultrasonografi yang menggabungkan citra dan

suara, memungkinkan kita menilai aliran di dalam arteri dan

mengidentifikasi stenosis yang mengancam aliran ke otak. Teknologi jenis

ini, yang disebut transcranial Doppler (TCD), juga dapat digunakan untuk

menilai aliran darah kolateral dan CBF total di aspek anterior dan posterior

sirkulus Willisi. Keunggulan prosedur ini adalah bahwa prosedur ini dapat

dilakukan di tempat tidur pasien, noninvasif, dan relatif murah; prosedur

ini juga dapat dilakukan secara serial untuk menilai perubahan dalam pola

CBF. Kemampuan yang terakhir ini sangat penting untuk memantau

awitan dan resolusi vasospasme arteri setelah perdarahan intrakranium

i. Pemindaian dengan positron emission tomography (PET) mungkin

bermanfaat karena prosedur ini dapat mengidentifikasi seberapa besar

suatu daerah diotak menerima dan memetabolisme glukosa serta luas

11
cedera. Dengan demikian, daerah-daerah yang perfusinya berkurang dapat

diidentifikasi.

j. Ekokardiogram transesofagu s (TEE ) sangat sensitif dalam mendeteksi

sumber kardioembolus potensial. Ekokardiogram telah menjadi komponen

rutin dalam evaluasi stroke iskemik apabila dicurigai kausa stroke adalah

kardioembolus tetapi fibrilasi atrium sudah disingkirkan sebagai penyebab

embolisasi. Defek struktural yang dapat diungkapkan oleh TEE dan yang

berkaitan dengan trombus jantung dan embolisasi, adalah vegetasi katup

aorta dan mitralis, defek septum atrium, foramen ovale paten, plak aorta

yang menonjol, dan kelainan katup mitralis. (Dipiro, 2009; Wittenauer,

2012; Price dan Wilson, 2006).

2.1.7 Penatalaksanaan Terapi Stroke

Farmakoterapi penanganan stroke terdiri dari :

a. Prevensi Primer : mencegah stroke yang mempunyai faktorresiko stroke

tapi belum mengalami stroke

b. Penatalaksanaan Akut : penanganan pada pasien baru yang terkena

serangan stroke selama 72 jam atau 3 hari

c. Prevensi Sekunder : penanganan stroke untuk mencegah stroke berulang

pada pasien yang sudah pernah mengalami stroke

d. Rehabilitasi : dilakukan untuk pemulihan pada pasien stroke seperti

fisioterapi, terapi wicara dan okupasi.

2.1.7.1 Terapi Non farmakologi Stroke Iskemik

Pada kurang dari 10% pasien dengan infark besar di tengah teritori arteri

serebral, pembedahan dekompresif untuk mengurangi tekanan intracranial telah

12
terbukti secara signifikan mengurangi kematian. Namun, operasi harus dilakukan

dalam waktu 48 jam setelah serangan stroke pada pasien yang lebih muda dari 60

tahun untuk meningkatkan fungsional secara signifikan hasil dan ini dengan biaya

peningkatan jumlah yang bertahan hidup pasien dengan kecacatan parah.12

Dalam kasus pembengkakan yang signifikan terkait dengan infark serebelar,

dekompresi bedah bisa menyelamatkan nyawa. Di luar intervensi bedah,

pendekatan multidisiplin untuk perawatan stroke yang mencakup rehabilitasi dini

terbukti sangat efektif dalam mengurangi cacat utama akibat stroke iskemik.

Faktanya, penggunaan "Unit stroke" telah dikaitkan dengan hasil yang serupa

dengan itu dicapai dengan trombolisis dini jika dibandingkan dengan perawatan

biasa.

Pada pencegahan sekunder, endarterektomi karotis dari suatu ulserasi dan /

atau arteri karotis stenotik adalah cara yang sangat efektif untuk mengurangi

kejadian stroke dan kekambuhan pada pasien yang sesuai dan di pusat-pusat di

mana morbiditas dan mortalitas operasi berada rendah. Faktanya, pada penderita

stroke iskemik dengan stenosis 70% sampai 99% dari arteri karotis interna

ipsilateral, risiko stroke berulang dapat terjadi berkurang hingga 48%

dibandingkan dengan terapi medis saja dikombinasikan dengan aspirin 325 mg

setiap hari. 13 Pada pasien yang lebih muda dari 70 tahun, stenting karotis adalah

alternatif yang tidak terlalu invasif dan bisa jadi efektif dalam mengurangi risiko

stroke berulang. 14 Namun, pada pasien dengan stenosis intrakranial, manajemen

medis agresif adalah terbukti lebih unggul dari pemasangan stent dalam

mengurangi stroke berulang (Dipiro, 2017)

13
2.1.7.2 Farmakologi Stroke Iskemik

A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis Oleh karena jendela terapi dalam

pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus

dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas

penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa

berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan

kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).

b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan

suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat

jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada

gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen,

kulit dan ekstremitas.

c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis

terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem

motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi

kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National

Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of evidence

B).

2. Terapi Umum

a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan

14
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan

darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada

pasien dengan defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).

 Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <

95% (ESO, Class V, GCP).

 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang

tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami

penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).

 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level

of evidence C).

 Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi

oksigen (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).

 Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)

diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 50 mmHg), atau syok, atau

pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.

 Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa

terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.

b. Stabilisasi Hemodinamik

 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan

hipotonik seperti glukosa).

 Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan

untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan

cairan dan nutrisi.

15
 Usahakan CVC 5 -12 mmHg.

 Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik >120 mmHg dan

cairan sudah mencukupi maka obat-obat vasopressor dapat diberikan

secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau

epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.

 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam

pertama setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B).

 Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi

Kardiologi).

 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia

harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang

mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)

c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum

 Tekanan darah

 Pemeriksaan jantung

 Pemeriksaan neurologi umum awal: Derajat kesadaran, pemeriksaan pupil

dan oculomotor, dan keparahan hemiparesis

d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)

 Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus

dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis

pada hari-hari pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level

of evidence B).

16
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita

yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA,

Class V, Level of evidence C).

 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.

Penata laksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial

meliputi :

 Tinggikan posisi kepala 200 – 300, posisi pasien hendaklah

menghindari tekanan vena jugular.

 Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik, hindari

hipertermia, jaga normovolernia, osmoterapi atas indikasi: Manitol

0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam

dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of

evidence C).

 Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama

pemberian osmoterapi. Kalau perlu, berikan furosemide dengan

dosis inisial 1 mg/kgBB i.v,

 Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg),

 Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan

operatif,

 Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang

adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi

naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk,

suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of

evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau

17
pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada

ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of

evidence C).

 Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan

otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.

 Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema

otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi

dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

 Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat

stroke iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence

B).

 Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang

menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat

menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

e. Penanganan Transformasi Hemoragik

Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan

asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi

perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan

memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara

hati-hati.

f. Pengendalian Kejang

18
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti

oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan

maksimum 50 mg/menit.

 Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

 Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa

kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).

 Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat

diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak

ada kejang selama pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

g. Pengendalian Suhu Tubuh

 Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan

antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence C).

 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA

Guideline)1 atau 37,5 oC (ESO Guideline).

 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan

hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai

kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk

mendeteksi meningitis.

 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic

(AHA/ASA Guideline).3

h. Pemeriksaan Penunjang

 EKG

19
 Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis,

kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)

 Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi

lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal

 Pemeriksaan radiologi

B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat

1. Cairan

a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga

euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.

b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun

enteral).

c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari

ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin

sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan

ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas).

d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu

diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.

e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas

darah.

f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari

kecuali pada keadaan hipoglikemia.

2. Nutrisi

a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi

oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.

20
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi

diberikan melalui pipa nasogastrik.

c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan

komposisi:

 Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;

 Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %);

 Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0

g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).

d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6

minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.

e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak

memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.

f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang

diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung

vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.

3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi

a. mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut

(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru,

dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan

(AHA/ASA, Level of evidence B and C).

b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur

dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola

kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).

21
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai kasur

antidekubitus.

d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.

e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam,

heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid

perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence A).5 Resiko perdarahan

sistemik dan perdarahan intraserebral perlu diperhatikan.6 Pada pasien

imobilisasi yang tidak bias menerima antikoagulan, penggunaan stocking

eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena

dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).

4. Penatalaksanaan Medis Lain

a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar

glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi

insulin (AHA/ASA,Class I, Level of evidence C).1 Target yang harus

dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus

diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-20%.

b. jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor

tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bias

digunakan.

c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.

d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).

e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan

pasien karena dapat mempengaruhi TTIK.

f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.

22
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi

intermiten.

h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI,

Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-

lain sesuai dengan indikasi.

i. Rehabilitasi.

j. Edukasi.

k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit.

23
2.2 Diabetes Melitus
2.2.1 Definisi

Diabetes mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan

klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi

karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus

ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit

vaskular mikroangiopati.1,7

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat

insensivitas sel terhadap insulin.Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau

berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta

pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent

diabetes mellitus.6,9 Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan

metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi

insulin).3

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
Insulin
Tipe lain  Defek genetik fungsi selbeta
 Defek genetik kerjainsulin
 Penyakit eksokrinpankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zatkimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yangjarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan denganDM

Diabetes mellitus
gestasional

24
2.2.3 Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya

kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi

melalui 3 jalan, yaitu:

1. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat

kimia,dll)

2. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas

3. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.2

2.2.4 Faktor Resiko


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,

berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah,

faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American

DiabetesAssociation (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak

dapat diubah meliputiriwayat keluarga dengan DM (first degree relative), umur

≥45 tahun, etnik, riwayatmelahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000

gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan

beratbadan rendah (<2,5 kg).1,9 Faktor risiko yang dapatdiubah meliputi obesitas

berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm

pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak

sehat.

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic

ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolikmemiliki riwatyat toleransi

glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)

sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau

25
peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan

merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein.

1. Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,

pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar

glukosa darah menjadi 200mg%.

2. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak

tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam

tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.

3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus

Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes.

Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat

homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.

4. Dislipedimia

Suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah

(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin

dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.

5. Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus

adalah > 45 tahun.

6. Riwayat persalinan

Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >

4000gram

26
7. Faktor Genetik

DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental

Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko

emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali

lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakitini.

8. Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan

frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan

peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-faktor lain

yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional kelingkungan

kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan

rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu

metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit

regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat

tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara

dengan 100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml.

Faktor resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2, dibedakan

menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat berubah

misalnya umur, faktor genetik, pola makan yang tidak seimbang jenis kelamin,

status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan

merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh.

27
2.2.5 Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan

yaitu :

1. Resistensi insulin

2. Disfungsi sel B pancreas

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,

namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin

secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. (1,8)

Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik

serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi

glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B

langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi

insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak

absolut.

Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan

gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal

mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada

perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan

sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan

defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada

penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor

tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

2.2.6 Manifestasi klinis


Penyandang DM tipe 2 mengalami awitan manifestasi yang lambat dan

sering kali tidak menyadari penyakit sampai mencari perawatan kesehatan untuk

28
beberapa masalah lain. Manifestasi yang biasa muncul yaitu poliuria dan

polidipsia, polifagia jarang dijumpai dan penurunan berat badan tidak terjadi.

Manifestasi lain juga akibat hiperglikemia: penglihatan buram, keletihan,

parastesia, dan infeksi kulit

2.2.7 Terapi
2.2.7.1 Tujuan terpai
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM,

memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi

akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati danmakroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan

mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan

pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan

profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

2.2.7.2 Terapi non farmakologi

Hal yang paling penting pada terapi non farmakologis adalah monitor

sendiri kadar glukosa darah dan pendidikan berkelanjutan tentang

penatalaksanaan diabetes pada pasien. Latihan jasmani secara teratur (3-4

kali seminggu selama 30 menit/kali), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah berupa

29
latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,

joging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur

dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas

latihan jasmani bisa ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah

mengalami komplikasi DM, intensitas latihan jasmani dapat

dikurangi.Terapi nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap.

Pengenalan sumber dan jenis karbohidrat, pencegahan dan

penatalaksanaan hipoglikemia harus dilakukan terhadap pasien.

Terapi nutrisi medis ini bersifat bersifat individu. Secara umum, terapi

nutrisi medis meliputi upaya-upaya untuk mendorong pola hidup sehat,

membantu kontrol gula darah, dan membantu pengaturan berat badan.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang

dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya

keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama

pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin

atau terapi insulin itu sendiri.

2.2.7.3 Terapi farmakologi 


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan

makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis

terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

A. Obat AntihiperglikemiaOral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti- hiperglikemia oral dibagi

30
menjadi 5 golongan:

1. Pemacu Sekresi Insulin(Insulin Secretagogue)

a. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan

sekresi insulinoleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah

hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan

sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang

tua,gangguan faal hati, danginjal).

b. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase

pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid

(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini

diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi

secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post

prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.

2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

a. Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di

jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian

besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m 2). Metformin tidak

boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73

31
m2 , adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan

kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,

renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang

mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala

dispepsia.

b. Tiazolidindion(TZD).

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome

Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor

inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini

mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan

jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan

glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan

tubuh sehingga dikontraindikasikan padapasien dengan gagal jantung

(NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.

Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan

faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah

Pioglitazone.

3. Penghambat Absorpsi Glukosa disaluran pencernaan:

a. Penghambat Alfa Glukosidase.

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa

dalam usushalus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa

darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan

pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,

irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa

32
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan

flatus. Guna mengurangi efek samping padaawalnya diberikan

dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.

4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim

DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam

konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk

meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung

kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini

adalah Sitagliptin dan Linagliptin.

5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes

oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli

distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-

2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,

Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja

mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

33
Table . Profil Obat Antihiperlikemia Oral Yang TersediaDi Indonesia

Golongan Cara Kerja Efek Samping Penurunan


Obat Utama Utama HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan BB naik 1,0-2,0%
sekresi hipoglikemia
Insulin
Glinid Meningkatkan BB naik 0,5-1,5%
sekresi hipoglikemia
Insulin
Menekan
Metformin produksi glukosa Dispepsia, diare, 1,0-2,0%
hati & asidosis laktat
menambah
sensitifitas
terhadap
Insulin
Penghambat Menghambat Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Alfa- absorpsi glukosa lembek
Glukosidase
Menambah
Tiazolidindion sensitifitas Edema 0,5-1,4%
terhadap insulin
Penghambat Meningkatkan Sebah,
sekresi insulin, 0,5-0,8%
DPP-IV muntah
menghambat
sekresi glukagon
Menghambat Dehidrasi, infeksi
Penghambat penyerapan saluran kemih 0,8-1,0%
SGLT-2 kembali glukosa
di tubuli distal
ginjal

34
B. Obat AntihiperglikemiaSuntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1

dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

1. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

a. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic

b. Penurunan berat badan yangcepat

c. Hiperglikemia berat yang disertaiketosis

d. Krisis Hiperglikemi

e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

f. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard

akut,stroke)

g. Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang

tidak terkendali dengan perencanaanmakan

h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

j. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

35
Table . Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time Course Of Action)

Awitan (onset) Puncak Efek Lama Kerja


Jenis Insulin Kemasan
Insulin analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro (Humalog®)
Insulin Aspart (Novorapid®) Pen /cartridge
Insulin Glulisin 5-15 1-2 jam 4-6 jam Pen, vial
(Apidra®) menit Pen

Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)


Humulin® R Actrapid® 30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial, pen /
menit cartridge
Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)
Humulin N® Vial, pen /
Insulatard® Insuman Basal® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam cartridge
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)
Insulin Glargine (Lantus®)
Insulin Detemir (Levemir®) 1–3 jam Hampir tanpa puncak 12-24
Lantus 300 jam Pen

Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)


Degludec 30-60 Hampir tanpa Sampai
(Tresiba®)* menit puncak 48jam
Insulin manusia campuran (Human Premixed)
70/30 Humulin® (70% NPH,

25
30% reguler) 30-60
menit 3–12 jam
70/30 Mixtard® (70% NPH,
30%
reguler)
Insulin analog campuran (Human Premixed)
75/25 Humalogmix® (75%
protamin lispro, 25% lispro)
70/30 Novomix® (70%
protamine aspart, 30% aspart) 12-30 1-4 jam
50/50 Premix menit

26
2. Agonis GLP-1/IncretinMimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan

baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapatbekerja pada sel-beta

sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan

beratbadan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan.

Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi

menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan

binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek

samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan

muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide,

Albiglutide, dan Lixisenatide.

Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di

Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6

mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk

mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai

dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa

kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan

28
Bagan 1. Algoritma Pengelolaan Diabetes Melitus

29
2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan

sistolik ≥ 140 mmhg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmhg (JNC ,2003).

Hipertensi menurut WHO merupakan peningkatan tekanan darah sistolik diatas

batas normal yaitu lebih dari 140 mmhg dan tekanan darah diastolic lebih dari 90

mmHg.

2.3.2 Hipertensi Krisis dan Klasifikasinya


Hipertensi krisis adalah peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi,

dimana tekanan diastolic melebihi 120-130 mmHg.Hipertensi krisis terdiri dari

hipertensi emergensi dan urgensi.

Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC-7 untuk tekanan darah pada orang

dewasa (usia ≥18 tahun) didasarkan padarata-rata dari dua atau lebih pembacaan

tekanan darah yang diukur dengan benar, dua atau lebih pertemuan klinis. Ini

mencakup empatkategori: normal, prehipertensi, hipertensi stadium 1, dan

stadium2 hipertensi. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit, tetapi

mengidentifikasi pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat

menjadiklasifikasi hipertensi di masa depan. Hipertensi krisis adalah situasi klinis

di mana nilai tekanan darah sangat tinggi, biasanya lebih besar dari 180/120 mm

Hg. Hipertensi ini dikategorikan sebagai hipertensi emergency dan hipertensi

urgensi. Hipertensi Emergency adalah peningkatan tekanan darah yang ekstrem

disertai dengan kerusakan organ target yang akut atau terus berlanjut.Hipertensi

urgensi adalah peningkatan TD yang tinggi tanpa cedera organ target yang akut

atau berlanjut.

15
1) Hipertensi Urgency

Kesalahan umum dalam mengobati urgensi hipertensi dimulai terapi

antihipertensi yang terlalu agresif.Terapi yang dberikan tersebut disebabkan

oleh terminologi klasifikasi "urgensi".Urgensi hipertensi idealnya dikelola

dengan menyesuaikan terapi pemeliharaan dengan menambahkan

antihipertensi baru dan / atau meningkatkan dosis obat sekarang (yang sedang

digunakan).Hal ini merupakan pendekatan yang tepat untuk pasien karena

memberikan penurunan TD yang lebih bertahap.Penurunan tekanan darah

secara cepat ke nilai tujuan dapat mengakibatkan risiko potensial.Karena

autoregulasi aliran darah pada pasien hipertensi terjadi pada kisaran tekanan

yang jauh lebih tinggi daripada pasien risiko bawaan dimana penurunan TD

terlalu cepat termasuk kecelakaan serebrovaskular, MI, dan gagal ginjal akut.

Urgensi hipertensi membutuhkan penurunan TD dengan oral agen

antihipertensi ke nilai tahap 1 selama beberapa periode jam sampai beberapa

hari. Pasien dengan urgensi hipertensi harus melakukannya dievaluasi ulang

dalam 7 hari (sebaiknya setelah 1 sampai 3 hari). Pemberian akut

antihipertensi oral kerja pendek (kaptopril, klonidin atau labetalol) diikuti

16
dengan observasi yang cermat untuk beberapa jam untuk memastikan

penurunan tekanan darah secara bertahap adalah suatu pilihan urgensi

hipertensi. Namun, tidak ada data yang mendukung hal tersebut pendekatan

sebagai yang mutlak dibutuhkan.

Kaptopril oral adalah salah satunya agen pilihan dan dapat digunakan

dalam dosis 25 sampai 50 mg pada 1 sampai 2 interval jam. Onset kerja

kaptopril oral adalah 15 sampai 30 menit, dan penurunan TD yang nyata tidak

mungkin terjadi jika tidak ada respons hipotensi yang diamati dalam 30

hingga 60 menit. Untuk pasien dengan peningkatan hipertensi setelah

penghentian clonidine, 0,2 mg clonidine dapat diberikan pada awalnya, diikuti

dengan 0,2 mg setiap jam sampai DBP turun di bawah 110 mm Hg atau

klonidin total 0,7 mg dikelola. Mungkin hanya satu dosis yang diperlukan.

Labetalol bisa diberikan dalam dosis 200 sampai 400 mg, diikuti dengan dosis

tambahan setiap 2 sampai 3 jam. Nifedipine lepas - langsung oral atau

sublingual untuk TD akut menurunkan berbahaya. Pendekatan ini

menghasilkan pengurangan yang cepat BP. Penggunaan segera - rilis dan tidak

boleh digunakan untuk hipertensi urgensi karena laporan kejadian buruk yang

parah tersebut nifedipine sebagai MI dan stroke.

Hipertensi urgensi adalah keadaan dimana tidak terdapat tanda-tanda

kerusakan organ target.Penurunan tekanan darah dilakukan bertahap, dengan

terapi oral dalam 24 – 48 jam. Keadaan yang dapat menyertai hipertensi

urgensi :

- Accelerated and malignant hypertension

- Hipertensi pasca bedah

17
- Hipertensi yang tidak terkontrol (pada penderita yang

membutuhkan operasi akut)

- Hipertensi yang disertai penyakit coroner.

2) Hipertensi Emergency

Hipertensi emergency adalah situasi langka yang membutuhkan penurunan

tekanan darah segera untuk membatasi target-organ baru atau yang

kerusakannya sedang berkembang. Keadaan hipertensi emergency

membutuhkan terapi parenteral, setidaknya pada awalnya, dengan salah satu

agen yang tercantum dalam Tabel 15–8. Tujuannya adalah tidak menurunkan

tekanan darah hingga kurang dari 140/90 mm Hg; lebih tepatnya, penurunan

tekanan arteri rata-rata hingga 25% dalam beberapa menit/jam adalah target

awal. Jika kemudian stabil, BP dapat dikurangi menjadi 160 /100–110 mm Hg

dalam 2 hingga 6 jam berikutnya. Curah hujan turun TD dapat menyebabkan

iskemia atau infark organ akhir.Jika pasien mentolerir pengurangan ini,

pengurangan bertahap tambahan menuju nilai BP tujuan dapat dicoba setelah

24 hingga 48 jam.

Hipertensi ermegensi adalah keadaan dimana terdapat tanda-tanda

kerusakan organ target, yang memerlukan penurunan tekanan darah sesegera

mungkin untuk membatasi atau menghindari kerusakan organ target lebih

lanjut. Keadaan yang dapat menyertai hipertensi emergensi adalah sebagai

berikut :

- Hipertensi ensefalopati

- Kejadian intracranial akut

- Gagal jantung kiri akut

18
- Sindroma coroner akut (angina tidak stabil/infark miokard akut)

- Diseksi aorta akut

- Krisis feokromositoma

- Eklamsia

Penanganan pertama hipertensi emergensi seharusnya dilakukan di rumah

sakit dan idealnya diruang rawat intensif dengan pemberian obat antihipertensi

intravena.Pengobatan ditujukan untuk menurunkan tekanan arteri rerata (mean

arterial pressure) tidak lebih dari 25% (dalam waktu beberapa menit sampai 2

jam), atau menurunkan tekanan darah sampai kira-kira 160/100 mmHg dalam 2-6

jam.

2.3.3. Hipertensi Resistensi


Hipertensi resisten adalah kegagalan mencapai tujuan terapi tekanan darah

pada pasien yang mengikuti dosis penuh dari regimen tiga obat yang sesuai yang

termasuk diuretik.Pasien dengan hipertensi yang baru didiagnosis atau yang tidak

menerima terapi obat sebaiknya tidak dipertimbangkan memiliki hipertensi

resisten.Hipertensi yang sulit dikendalikan dengan tekanan darah terus-menerus

meningkat meskipun diobati dengan dua atau tiga obat yang tidak memenuhi

kriteria untuk hipertensi resisten (misalnya, dosis maksimum yang termasuk

diuretik).Tabel 15-10 mencantumkan beberapa penyebab hipertensi

resisten.Volume kelebihan beban adalah penyebab umum, sehingga menyoroti

pentingnya terapi diuretik dalam pengelolaan hipertensi. Tambahan,

ketidakpatuhan terhadap terapi obat dan modifikasi gaya hidup berperan penting

peran penting. Pasien harus dievaluasi dengan cermat untuk melihat apakah ada

penyebab ini bisa dibalik.Jika tidak ada yang diidentifikasi, prinsip pemilihan

19
terapi obat dari pedoman JNC7 dan AHA harus masih berlaku.Indikasi yang

meyakinkan, jika ada, harus memandu pemilihan dengan asumsi pasien-pasien ini

berada dalam kondisi diuretik.Obat yang memiliki efek aditif atau sinergis bila

diberikan dalam kombinasi idealnya digunakan. Pada penderita yang parah

penyakit ginjal kronis (misalnya, perkiraan GFR <30 mL / menit 1,73 m2), loop

diuretik dapat dipertimbangkan daripada tiazid.

Tabel Penyebab Hipertensi Resistant


Pengukuran tekanan darah yang tidak tepat
Kelebihan volume
 Asupan natrium berlebih
 Retensi volume akibat penyakit ginjal
 Terapi diuretik yang tidak adekuat
Diinduksi obat atau penyebab lainnya
 Ketidakpatuhan
 Dosis tidak adekuat
Kondisi terkait
 Obesitas, asupan alkohol berlebih
Hipertensi sekunder

2.3.4 Patofisiologi Hipertensi


Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh

penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang

tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer/essensial).Hipertensi sekunder

bernilai < 10 % kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh

penyakit ginjal kronik atau renovaskular. Kondisi lain yang dapat menyebabkan

hipertensi sekunder antara lain pheocrhromocytoma, sindrom cushing, hipertiroid,

hiperparatiroid, aldosterone primer, kehamilan, obstruktif sleep apnea, dan

kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah

kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amphotamine,

sibutramin, siklosporin, tacrolimus, erythropoietin dan venlafaxine.

20
Multifactor yang dapat menimbulkan hipertensi primer adalah :

1. Ketidaknormalan humoral meliputi system renin – angiontensi – aldosterone,

hormone natriuretic atau hiperinsulinemia.

2. Masalah patologi pada system saraf pusat, serabut saraf otonom, volume

plasma dan kontriksi arteriol.

3. Defisiensi senyawa sistesis local vasodilator pada endothelium vascular,

misalnya prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau terjadinya peningkatan

produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin ii dan endotelin i.

4. Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormone natriuretic yang

menginhibisi transport natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan reaktifitas

vascular dan tekanan darah.

5. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vascular,

fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vascular verifer.

Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah serebrovaskular,

kardiovaskular, dan gagal ginjal.Kemungkinan kematian premature ada

korelasinya dengan meningkatnya tekanan darah.

21
2.3.5. Terapi

2.3.5.1 Terapi Non Farmakologi

Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk

memodifikasi gaya hidup, termasuk :

1. Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan.

2. Melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to

Stop Hypertension).

3. Mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/hari (6

g/hari NaCl)

4. Melakukan aktivitas fisik seperti aerobic.

5. Mengurangi konsumsi alcohol.

6. Menghentikan kebiasaan merokok.

Penderita yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya ditempatkan

pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.

2.3.5.2 Terapi Farmakologi

Algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai

guidelines memiliki persamaan prinsip, dan berikut adalah algoritme tatalaksana

hipertensi menurut A Statement by the American Society of Hypertension and the

International Society of Hypertension 2013.

22
23
24
25
26
Pada tabel berikut merupakan daftar obat-obat untuk terapi hipertensi emergensi :

Berikut daftar terapi obat hipertensi urgensi :

27
Diuretic

Lini pertama dari diuretic adalah thiazide.Diuretik adalah meningkatkan

ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan

cairan ekstraseluler.Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan

darah.Diuretic terdiri atas 4 golongan yaitu thiazide, loop diuretic, agen hemat

kalium, dan aldosterone.

Diuretik hemat kalium lemah agen antihipertensi tetapi memberikan

efek aditif bila digunakan dalam kombinasi dengan tiazid atau diuretik loop.

Apalagi mereka melawan sifat kehilangan kalium dan magnesium dari agen

diuretik lain dan kemungkinan intoleransi glukosa. Aldosteron antagonis

(spironolakton dan eplerenon) mungkin secara teknis dianggap sebagai agen

hemat kalium, tetapi merupakan antihipertensi yang lebih manjur.Namun,

mereka dipandang oleh JNC7 sebagai kelas independen karena bukti yang

mendukung indikasi yang meyakinkan.

Mekanisme kerja hipotensif yang tepat dari diuretik adalah beraneka

segi.Penurunan TD terlihat saat diuretik pertama kali dimulai disebabkan oleh

28
diuresis awal.Diuresis menyebabkan penurunan plasma dan stroke volume,

yang menurunkan curah jantung dan tekanan darah.Ini penurunan awal curah

jantung menyebabkan peningkatan kompensasi resistensi pembuluh darah

perifer.Dengan terapi diuretik kronis, cairan ekstraseluler dan volume plasma

kembali mendekati nilai sebelum perawatan.

Namun, resistensi vaskuler perifer menurun ke nilai-nilai tersebut lebih

rendah dari baseline pretreatment.Penurunan perifer ini resistensi vaskular

bertanggung jawab atas efek antihipertensi kronis.

Diuretik tipe thiazide memiliki tindakan tambahan yang mungkin lebih

jauh menjelaskan efek antihipertensi.Tiazid memobilisasi natrium dan air dari

dinding arteriol. Efek ini akan mengurangi jumlah perambahan fisik pada

lumen yang dibuat secara berlebihan akumulasi cairan intraseluler. Seperti

diameter lumen rileks dan meningkat, ada lebih sedikit resistensi terhadap

aliran darah dan resistensi vaskular perifer semakin menurun.Natrium makanan

tinggi asupan dapat menumpulkan efek ini dan asupan garam yang rendah

dapat meningkatkan ini efek.Tiazid juga menyebabkan relaksasi langsung otot

polos pembuluh darah.Tiazida adalah jenis diuretik yang disukai untuk,

mengobati hipertensi. Pada pasien yang membutuhkan diuresis untuk

mengobati edema yang terjadi bersamaan, seperti pada gagal jantung, loop

diuretik harus dipertimbangkan. Diuretik idealnya harus diberikan di pagi hari

jika diberikan sekali sehari, dan di pagi dan sore bila diberikan dua kali sehari

untuk meminimalkan risiko diuresis nokturnal.Namun, dengan penggunaan

kronis, tipe tiazid diuretik, diuretik hemat kalium, dan antagonis aldosterone

jarang menyebabkan diuresis yang jelas.

29
Perbedaan farmakokinetik utama antara berbagai diuretik tipe tiazid

adalah waktu paruh serum dan durasi efek diuretik.Relevansi klinis dari

perbedaan ini tidak diketahui karena paruh serum dari sebagian besar agen

antihipertensi tidak berkorelasi dengan durasi aksi hipotensif.Apalagi diuretik

lebih rendah TD terutama melalui mekanisme ekstrarenal.Hydrochlorothiazide

dan chlorthalidone adalah dua diuretik tiazid yang paling sering digunakan

dalam uji klinis penting yang menunjukkan penurunan morbiditas dan

mortalitas. Agen ini tidak ekuipoten pada abasis miligram per miligram;

chlorthalidone adalah 1,5 hingga 2,0 kali lebih kuat dari pada

hidroklorotiazid.95 Hal ini disebabkan waktu paruh yang lebih lama (45 hingga

60 jam vs. 8 hingga 15 jam) dan durasi yang lebih lama efek (48 hingga 72 jam

vs. 16 hingga 24 jam) dengan chlorthalidone.

Perbedaan dalam penurunan TD ini tampaknya tidak menghasilkan

perbedaan hasil CV. Sebuah meta-analisis kecil dari lima berbasis hasil Uji

klinis yang mengevaluasi kejadian CV menunjukkan tidak ada perbedaan hasil

CV jangka panjang dengan chlorthalidone dibandingkan dengan yang lain

diuretik tipe tiazid, termasuk hidroklorotiazid. Baik menerima bahwa manfaat

CV pada hipertensi berlaku untuk semua tipe tiazid diuretik, dan manfaat

dianggap sebagai efek kelas Diuretik sangat efektif dalam menurunkan TD bila

digunakan dalam kombinasi dengan sebagian besar antihipertensi lain. Respon

aditif ini adalah dijelaskan oleh dua efek farmakodinamik independen.

Pertama, ketika dua obat menyebabkan efek farmakologis keseluruhan yang

sama (BP menurunkan) melalui mekanisme kerja yang berbeda, kombinasi

keduanya biasanya menghasilkan efek aditif atau sinergis. Ini adalah sangat

30
relevan ketika penyekat β, penghambat ACE, atau ARB digunakan

diindikasikan dalam bahasa Amerika Afrika, tetapi tidak cukup efek

antihipertensi.Menambahkan diuretik dalam situasi ini seringkali bisa

menurunkan BP secara signifikan.Kedua, peningkatan kompensasi natrium dan

retensi cairan dapat dilihat dengan agen antihipertensi.Ini masalah ini diatasi

dengan penggunaan diuretik secara bersamaan.

Efek samping diuretik tipe tiazid meliputi hipokalemia,

hipomagnesemia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglikemia, dislipidemia,

dan disfungsi seksual. Banyak dari efek samping ini diidentifikasi ketika tiazid

dosis tinggi digunakan di masa lalu (misalnya, hydrochlorothiazide 100 mg /

hari). Rekomendasi pedoman saat ini membatasi dosis hydrochlorothiazide

atau chlorthalidone menjadi 12,5 sampai 25 mg / hari, yang secara nyata

mengurangi risiko sebagian besar sisi metabolic efek. Loop diuretik dapat

menyebabkan efek samping yang sama, meskipun efek pada lipid serum dan

glukosa tidak terlalu signifikan, dan hipokalsemia dapat terjadi.

Hipokalemia dan hipomagnesemia dapat menyebabkan kelelahan otot

atau kram.Namun, aritmia jantung yang serius dapat terjadi pada pasien dengan

hipokalemia berat dan hipomagnesemia.Pasien paling banter risiko untuk ini

adalah pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, coroner penyakit, pasca-MI,

riwayat aritmia, atau yang bersamaan menerima digoxin. Terapi dosis rendah

(mis., 25 mg hidroklorotiazid atau 12,5 mg chlorthalidone setiap hari) jarang

menyebabkan gejala yang signifikan gangguan elektrolit. Upaya harus

dilakukan untuk menjaga kalium dalam kisaran terapeutik dengan pemantauan

yang cermat.

31
Hiperurisemia yang diinduksi diuretik dapat memicu gout.Sisi ini efek

mungkin sangat bermasalah pada pasien dengan sebelumnya riwayat gout dan

dengan diuretik tipe tiazid.Namun, akut gout jarang terjadi pada pasien yang

tidak memiliki riwayat gout sebelumnya. Jika asam urat tidak terjadi pada

pasien yang membutuhkan terapi diuretik, allopurinol dapat diberikan untuk

mencegah asam urat dan tidak akan mengganggu efek antihipertensi diuretik.

Dosis tinggi tipe tiazid dan loop diuretik dapat meningkatkan glukosa puasa

dan kolesterol serum nilai-nilai. Pemantauan dan pengobatan yang rajin

terhadap diuretic hipokalemia, bahkan jika subklinis, akan mengurangi

peningkatan terkait dalam glukosa puasa, dan mungkin onset diabetes tipe 2.

Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada

pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien menerima

pengobatan bersamaan dengan inhibitor ACE, nonsteroid obat antiinflamasi,

atau suplemen kalium.Hiperkalemia sangat bermasalah untuk antagonis

aldosteron terbaru eplerenone. Agen ini adalah antagonis aldosteron yang

sangat selektif, dan kecenderungannya menyebabkan hiperkalemia lebih besar

dibandingkan dengan yang lain agen hemat kalium, dan bahkan spironolakton.

Karena ini peningkatan risiko hiperkalemia, eplerenon merupakan

kontraindikasi pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2

dengan proteinuria (lihat Tabel 15-5).Meskipun spironolakton dapat

menyebabkan ginekomastia hingga 10% pasien, hal ini jarang terjadi pada

eplerenon.

Diuretik dapat digunakan secara aman dengan sebagian besar agen lain.

Namun, administrasi bersamaan dengan lithium dapat menyebabkan

32
peningkatan konsentrasi serum lithium.Interaksi ini dapat mempengaruhi

pasien terhadap toksisitas litium.

33
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas pasien
a. Data pasien

No RM 137xxx

Nama Pasien Ny. JN

Jenis kelamin Perempuan

Umur 53 Tahun

Agama Islam

Alamat JORONG PASAR. Kab. Solok

Berat Badan -Kg

Tinggi Badan -Cm

Ruangan Neurologi lantai 3

Mulai perawatan 19 Februari 2021

Keluar RS Februari 2021

b. Ilustrasi Kasus

Seorang pesien perempuan berusia 53 tahun masuk ke IGD RSOMH pada


tanggal 19 Februari 2021 jam 13.00 WIB dengan keluhan bicara pelo sejak tadi
pagi, mulut mencong, sakit kepala dan kelopak mata sebelah kanan tertutup.
Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi. Dari pemeriksaan fisik pasien,
pasien memiliki suhu tubuh 36 °C, tekanan darah pasien 170/100 mmHg, laju
pernfasan 20x/menit, dan dengan kesadaran compos mentis.

c. Riwayat penyakit sekarang

- Kelopak mata sebelah tertutup

- Bicara Pelo

34
d. Riwayat penyakit dahulu

- DM

- Hipertensi

e. Riwayat penyakit dalam keluarga

- Tidak ada

3.2 Pemeriksaan fisik


a. Tanda vital

Keadaan umum Sedang


Kesadaran CM
Tekanan darah 170/100 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernafasan 20x/menit
Suhu 36 ͦ C
SpO2 95 %

b. Status generalis

No Pemeriksaan Hasil

1 Kepala Tidak terdapat kelainan


2 Mata Tidak terdapat kelainan
3 THT Tidak terdapat kelainan

4 Mulut Bicara pelo

5 Leher Tidak terdapat kelainan

6 Dada Tidak terdapat kelainan


7 Thorax Tidak terdapat kelainan

35
8 Abdomen Tidak terdapat kelainan
9 Punggung Tidak terdapat kelainan

10 Kulit Tidak terdapat kelainan

3.3 Pemeriksaan laboratorim


No Data Tanggal
Laboratorium 19/2/21 20/2/21 21/2/21 22/2/21 23/02/21 24/02/21
1 Hb (11,7 – 14,7
g/dL)
2 Leukosit (4000- /cmm
11000/cmm)
3 Kalium (3,8 – 5 3,4
mmol/L) mmol.L
4 Natrium (135 – 145 140
mmol/L) mmol/L
5 Klorida (97 – 106 103
mmol/L) mmol/L
6 SCr (0,6 – 1,3 mg/dL
mg/dL)
7 Ureum (10-5- mg/dL) 12 mg/dL

8 Trombosit (150000- /cmm


450000/cmm)
9 Hematokrit (45-55 %) %

10 GDN ( 70-110
mg/dl)
11 GD 2 jam PP (<200
mg/dL)
12 Asam Urat (Lk: 3-7
mg/dl)
13 Total Kolesterol (< 220
mg/dl)
14 HDL (< 65
mg/dl)
15 LDL (< 150
mg/dl)

36
Trigliserida (< 150
16 mg/dl)
17 SGOT (<38 u/L)

18 SGPT (<41 u/L)

19 Bilirubin total (0,3-1


mg/dL)
- Bilirubin direc
(<0,2 mg/dL)
- Bilirubin indirec
(<0,8 mg/dL)

3.4 Pemeriksaan penunjang


- Pemeriksaan labor lengkap (GDR, Ureum, Creatinin, DL, Elektrolit)

- EKG

3.5 Diagnosa

- Diagnosa Primer :

CVD Stroke Iskemik / Stroke Non Hemoragik

- Diagnosa sekunder :

Diabetes melitus tipe II, Hipertensi

3.6 Terapi
1. Terapi IGD
- O2 2 liter/menit
- IVFD NaCl 0,9% per 12 jam
- Ranitidin inj 2 x 1
- Citicolin inj 2 x 500mg
- Simvastatin 1x 20mg
- Neurodex
- Amlodipin 10 mg

37
- Insulin (Neurodex) 20 U

2. Terapi rawat inap


- O2 2 liter/menit
- IVFD NaCl 0,9% per 12 jam
- Ranitidin inj 2 x 1
- Citicolin inj 2 x 500mg
- Simvastatin 1x 20mg
- Neurodex
- Amlodipin 10 mg
3. Terapi pulang
-

38
3.7 Lembanr penggunaan obat
Regimen Tanggal Pemberian Obat Masuk
19-02-21 20-02-21 21-02-21 22-02-21 23-02-21 24-02-21 25-02-21 26-02-21
P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M
1 O2 2 L √ STOP
2 NaCl 0,9% / 12 √ √ √ STOP
jam infuse
3 Ranitidin injeksi √ √ √ √ √ STOP
2x1 (IV)
4 Simvastatin 20 √ √ √ √ √ √ √ √
mg 1x1 (PO)
5 Citicolin 1x250 √ √ √ √ √ STOP
mg
6 Neurodex 1x1 √ √ √ √ √ √
7 Amlodipin 10 √ √ √ √ √ √ √ √
mg
8

39
3.8 Follow up pemakaian obat

Nama : Ny JN Diagnosa Primer : CVD SI Dokter : dr. Andi


Diagnosa
Sekunder :Hipertensi + DM
Umur : 53 tahun Ruangan : Neurologi Apoteker : apt. Rina, S.Farm

Tanggal S O A P
19 februari Bicara Pelo sejak pagi , mulut IVFD Nacl Cek Laboratorium Rawat
2021 mencong kanan, kelopak mata 0,9% /12 jam Rontgen Thorax CH
00.45 tertutup seblah kanan Inj. Ranitidin 2x1 CT Scant CH
Inj. Insulin 20 u Sleding /6 jam
19 februari Mulut mencong, mata sebelah GCS = 15 Perfusi jaringan tidak efektif Perfusi jaringan secara efekstif
2021 tertutup TD = 170/100 Terapi :
17.00 N = 86 Pantau TTV
S = 36 Pantau PTIV
DKO = 5/5 Elevasi 30º
MIKA-MIKI/2jam
19 februari Bicara pelo, mata sebelah SNH OH 1 hr Gangguan perfusi jaringan Perfusi jaringan cerebral
2021 tertutup DKO = 5/5 cerebral efektif
20.00 GCS = 15 Terapi :
Pantau TTV
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam

40
20 februari Mulut mencong, bicara pelo, SNH OH 2hr Gangguan perfusi jaringan Perfusi jaringan cerebral
2021 mata sebelah tertutup GCS = 15 cerebral
8.00 KES= CM Terapi :
Pantau TTV
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam
20 februari Mulut mencong, bicara pelo, TD = 170/100 Perubahana nilai laboratorium Diet diabetes rendah garam
2021 mata sebelah tertutup GDR = 407 dan bnetuk makanan lunak
09.15
20 februari Mulut mencong, bicara pelo, SNH OH :2 Hr Gangguan perfusi jaringan Perfusi jaringan cerebral
2021 mata sebelah tertutup GCS = 15 cerebral adekuat
14.30 KES = CM Terapi:
DKO = 5/5 Monitor TTV, status neurologi
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam
20 februari Mulut mencong, bicara pelo, SNH OH :2 Hr Gangguan perfusi jaringan Masalah keperawatan teratasi
2021 mata sebelah tertutup GCS = 15 cerebral secara bertahap
22.00 DKO = 5/5 Terapi:
Kontrol TTV, monitor status
neurologi
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam

41
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam
21 februari Mulut mencong, bicara pelo, SNH OH :2 Hr Resiko perfusi cerebral tidak Perfusi cerebral kembali
2021 mata sebelah tertutup GCS = 15 efektif adekuat
08.00 DKO = 5/5 Terapi:
TD = 110/70 Kontrol TTV, monitor status
neurologi
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam
20 ferbruari Mulut mencong, bicara pelo, SNH OH : 3 Hr Resiko perfusi cerebral tidak Perfusi jaringan cerebral
2021 mata sebelah tertutup GCS = 15 kembali efektif
efektif
15.00 DKO = 5/5
Terapi:
Kontrol TTV, monitor status
neurologi
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam
20 ferbruari Mulut mencong, bicara pelo, SNH OH : 3 Hr Gangguan perfusi jaringan Masalah keperawatan teratasi
2021 mata sebelah tertutup GCS = 15 cerebral secara bertahap
22.00 DKO = 5/5 Terapi:
Kontrol TTV, monitor status

42
neurologi
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam
21 ferbruari Mulut mencong, bicara pelo, GCS = 15 SNH Tindakan lanjut
2021 mata sebelah tertutup TD = 110/90
08.00
21 ferbruari Mulut mencong, bicara pelo, SNH OH : 4 Hr Gangguan perfusi jaringan Masalah keperawatan teratasi
2021 mata sebelah tertutup GCS = 15 cerebral secara bertahap
15.00 KES = CM Terapi:
DKO = 5/5 Kontrol TTV, monitor status
neurologi
Elevasi kepala 15 - 30º
MIKA-MIKI /2jam
IVFD NaCl 0,9%/12jam
O2 3 liter
Sliding /6 jam

43
3.9 Analisis Drug Related Problem
Jenis DRP DRP Keterangan Rekomendasi
Indikasi Tidak Ada Obat yang diberikan sesuai indikasi klinis pasien :
1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam : Memenuhi cairan
masalah
tubuh
2. Ranitidin 2x1 : Stress ulcer
3. Amlodipin 10 mg 1x1 : Antihipertensi
4. Simvastatin 1x 20 mg : Preventif sekunder
5. Neurodex 1x1 : Neuroprotektor
6. Citicolin 2x250 mg : Neuroprotektor

Pemilihan Obat Tidak Ada Pemilihan obat untuk pasien sudah tepat
Masalah 1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
2. Ranitidin inj 2x1
3. Amlodipin 10 mg 1x1
4. Simvastatin 1x 20 mg
5. Neurodex 1x1
6. Citicolin 2x250 mg

Dosis Obat Tidak Ada


1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
Masalah

44
2. Ranitidin inj 2x50 mg
3. Amlodipin 10 mg 1x1
4. Simvastatin 1x 20 mg
5. Neurodex 1x1
6. Citicolin 2x250 mg
Interval Tidak ada
1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
pemberian masalah
2. Ranitidin injeksi 50 mg 2x1/12 jam
3. Citicolin 2x250 mg/12 jam
4. Amlodipin 10 mg 1x1/24 jam
5. Simvastatin 1x 20 mg/ 24 jam
6. Neurodex 1x1/24
Cara dan waktu Tidak ada
1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam infuse
pemberian masalah
2. Ranitidin injeksi 2x50 mg (IV)
3. Amlodipin 1x10 mg (Pagi)
4. Simvastatin 1x 20 mg (Malam)
5. Neurodex 1x1 (Pagi)
6. Citicolin 2x250 mg (Pagi, Malam)
Rute Pemberian Tidak ada
1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam (IV)
Obat masalah
2. Ranitidin injeksi 50 mg 2x1 (IV)
3. Citicolin 2x250 mg (IV)
4. Amlodipin 10 mg 1x1(Oral)
5. Simvastatin 1x 20 mg (Oral))
6. Neurodex 1x1 (Oral)

45
Lama pemberian Tidak A
1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
d
masalah 2. Ranitidin 2x50 mg/ 12 jam
a
3. Amlodipin 1x10 mg/ 24 jam
4. Simvastatin 1x 20 mg/ 24 jam
5. Neurodex 1x1/ 24 jam
6. Citicolin 2x250 mg/ 12 jam

Interaksi obat Tidak masalah


1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
ada 2. Ranitidin 2x50 mg
3. Amlodipin 1x 10 mg
4. Simvastatin 1x 20 mg
5. Neurodex 1x1
6. Citicolin 2x250 mg

46
ESO/ADR/Alergi Ada Pasien tidak mengalami efek
1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
masalah 2. Ranitidin 2x1 samping
3. Amlodipin 10 mg 1x1
4. Simvastatin 1x 20 mg
5. Neurodex 1x1
6. Citicolin 2x250 mg

Ketidaksesuaian Tidak ada RM sudah sesuai


RM
masalah

Stabilitas sediaan Tidak ada Semua obat memiliki kompatibilitas yang baik
Injeksi
masalah
Ketersediaan Tidak ada Pasien mendapatkan semua obat
Obat
masalah
Kepatuhan Tidak ada Karena obat diberikan berdasarkan unit dose PIO dan konseling
masalah sehingga pasien meminum obat secara teratur

47
Duplikasi terapi Tidak ada
1. IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
masalah 2. Ranitidin 2x50 mg
3. Amlodipin 1x 10 mg
4. Simvastatin 1x 20 mg
5. Neurodex 1x1
6. Citicolin 2x250 mg

Lain-lain

48
3.10 Lembar pengkajian obat

Mulai Jenis obat Rute Dosis B Indikasi obat Ketepatan Komentar dan Alasan
er Indikasi
h
e
nt
i
NaCl IVFD Per 2 Memenuhi Tepat Pasien mengalami ketidak efektifan
19/2/21
2/ kebutuhan cairan indika perfusi jaringan serebral sehingga
0,9% 12
0 si diberikan cairan untuk menjaga
jam 2/ perfusinya
2
1
19/2/21 Raniti IV 2x1 2 Menghambat sekresi Tepat Mencegah stress ulcer pada pasien
din 2/ Asam lambung indika
50 mg 0 si
2/
2
1
19/2/21 Amlodipin PO 1x1 Tepat
Antihipertensi
indika
10 mg
si

49
19/2/21 Simvastatin PO 1x1 Terapi profilaksis Tepat Pasien diberikan sebagi terapi preventif
sekunder stroke indika
20 mg sekunder stroke isemik
iskemik si

19/2/21 Neurodex PO 1x1 Terapi untuk Tepat


antikolesterol indika
si

19/2/21 Citicoline PO 2x1 2 Neurprotektor Tepat Pasien mengalami stroke iskemik


2/ indika
250 mg sehingge membutuhkan neuroprotektor
0 si
2/ untuk meningkatkan pemulihan
2
kerusakan otak dan
1
pemulihan fungsional

50
3.11 Lembar Monitoring Efek Samping Obat

No Nama Obat Manifestasi Regimen Cara Mengatasi ESO Evaluasi


ESO Dosis Tgl Uraian
1 NaCl Infus Kerusakan 0,9% / 12 Jika pasien mengalami retensi 19/02/21 – Pasien tidak
ginjal Jam cairan diberikan diuretik 22/02/21 mengalami efek
hemat kalium sembari samping
Retensi cairan dilakukan monitoring nilai
kalium
2 Ranitidin Diare 2 x 50 Jika pasien mengalamani 19/02/21- Pasien tidak
Injeksi mg/hari diare, anjurkan kepada pasien 22/02/21 mengalami efek
untuk meminum teh pahit samping
Mual dan
muntah Jika pasien mengalami mual
dan muntah, anjurkan kepada
pasien untuk minum air
hangat

Sakit kepala Jika pasien mengalami sakit


kepala, anjurkan kepada
pasien untuk beristirahat
3 Citicolin Diare 2 x 250 Jika pasien mengalamani 19/02/21 – Pasien tidak
Injeksi mg/hari diare, anjurkan kepada pasien 22/02/21 mengalami efek
untuk meminum teh pahit samping
Konstipasi
Jika pasien mengalami
konstipasi, anjurkan kepada
pasien untuk minum air putih
Sakit kepala dan makan makanan kaya
serat

Jika pasien mengalami sakit


kepala, anjurkan kepada

51
pasien untuk beristirahat
4 Simvastatin Ruam dan 1 x 20 mg Jika pasien mengalami ruam 19/02/2021- Pasien tidak
reaksi alergi dan reaksi alergi lainnya, mengalami efek
anjurkan pemberian bedak samping
salisil talk
Pusing
Jika pasien mengalami sakit
kepala, anjurkan kepada
pasien untuk beristirahat
5 Neurodex Mual muntah 2 x 500 mcg Jika pasien mengalami mual 19/02/2021- Pasien tidak
dan muntah, anjurkan kepada mengalami efek
pasien untuk minum air samping
hangat
Sakit kepala Jika pasien mengalami sakit
kepala, anjurkan kepada
pasien untuk beristirahat
6 Amlodipin Mual 1 x 8 mg Jika pasien mengalami mual 19/02/2021- Pasien tidak
10 mg dan muntah, anjurkan kepada mengalami efek
pasien untuk minum air samping
Pusing hangat
Jika pasien mengalami sakit
Merasa lelah kepala, anjurkan kepada pasien
untuk beristirahat

52
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Seorang pesien perempuan berusia 53 tahun masuk ke IGD RSOMH
pada tanggal 19 Februari 2021 jam 13.00 WIB dengan keluhan bicara pelo sejak
tadi pagi, mulut mencong, sakit kepala dan kelopak mata sebelah kanan tertutup.
Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi. Dari pemeriksaan fisik pasien,
pasien memiliki suhu tubuh 36 °C, tekanan darah pasien 170/100 mmHg, laju
pernfasan 20x/menit, dan dengan kesadaran compos mentis.
Pasien didiagnosa stroke non hemoragik / stroke iskemik dengan
diagnosa sekunder hipertensi tinkat 2 dan diabetes melitus yang diperoleh dari
hasil anamnesa dan pemeriksaan penunjang berupa EKG (elektrokardiogram),
DL (Darah Lengkap), GDR (Gula Darah Rerata), ureum, kreatinin serta
elektrolit. Sebelumnya pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi.
Pasien mendapatkan terapi awal di IGD yaitu O2 2 liter/menit diberikan
untuk stabilisasi jalan nafas dan pasien tidak mengalami hipoksia, IFVD NaCl
0,9% per 12 jam diberikan agar volume darah pasien tidak turun karna jika
volume darah turun mengakibatkan terjadinya gangguan pada perfusi serebral.
Memperbaiki keseimbangan asam basa, untuk memudahkan jalan masuk
pemberian obat-obatan kedalam tubuh pasien serta untuk memonitoring tekanan
vena central dan memberikan nutrisi pada sistem pencernaan pada saat istirahat.
Ranitidin inj 2x1 untuk mengatasi mual muntah dan sebagai stress ulcer
profilaksis. Dimana keadaan stress pada pasien dapat memicu seksresi asam
lambung yang berlebihan
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak
terganggu atau berkurang akibat penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya
pembuluh darah (stroke hemoragik). Stroke adalah penurunan sistem syaraf
utama secara tiba-tiba yang berlangsung selama 24 jam dan diperkirakan berasal
dari pembuluh darah. Serangan iskemia syaraf utama menurun selama kurang
dari 24 jam dan biasanya kurang dari 30 menit. Tujuan terapi stroke adalah

67
mengurangi luka system syaraf yang sedang berlangsung dan menurunkan
kematian dan cacat jangka panjang, mencegah komplikasi sekunder untuk
imobilitas dan disfungsi sistem syaraf dan mencegah kekambuhan stroke.
Penatalaksanaan untuk stroke iskemik dengan onset 3 jam diberikan alteplase 0,9
mg/kg IV (Dipiro, 2009). Menurut Dipiro penatalaksanaan prevensi sekunder
pada pasien stroke iskemik noncardioemboli dapat diberikan antiplatelet,
antihipertensi 120 mmHg dan pemberian golongan statin.
Pasien pun diberikan Citicolin inj 2x 500mg untuk sebagai
neuroprotektor pada iskemik yang memiliki sifat sebagai bahan pengadaan
kardiolipin dan sfingomielin, sumber fosfatidikholin serta stimulasi sintesis
glutation sebagai antioksidan endogen dan menjamin keseimbangan aktivitas
neurotransmisi Na+ K+ APTase antar sel di sistem syaraf pusat (SSP) serta
memiliki potensi untuk mengurangi kerusakan otak akut dan meningkatkan
pemulihan fungsional pada pasien stroke. Simvastatin 1 x 20mg, Simvastatin
diberikan sebagai terapi profilaksis sekunder stroke iskemik untuk mencegah
pecahnya plat arterosklerosis yang dapat menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah dengan mekanisme kerjanya inhibitor reduktase HMG-CoA,
menghambat langkah pembatan kadar dalam biosintesis kolesterol dengan cara
kompetitif menghambat HMG-CoA reduktase. Dosis usual yaitu 20-40 mg/hari
(AHFS, 2011). Dosis yang digunakan pada pasien 20 mg 1x1, dengan demikian
penggunaan dosis simvastatin terhadap pasien sudah tepat.
Pasien lalu dipindahkan ke ruangan rawat inap pada tangga 19 Februari
2021 pukul 16;35 wib. Pasien mendapatkan terapi tambahan yaitu amlodipin 1x10
mg yang berkhasiat sebagai antihipertensi. Amlodipine merupakan suatu
penghambat influx ion kalsium (slow channel blocker atau antagonis ion kalsium)
dan menghambat influx transmembran dari ion-ion kalsium ke dalam jantung dan
otot halus vaskular. Mekanisme kerja antihipertensi dari amlodipine didasarkan
pada efek relaksan langsung pada otot-otot halus vaskular. Amlodipn memiliki
efek samping diantarnya sakit kepala, merasa letih dan mual.
Pemberian neurodex 1x1 pada pasien. Neurodex merupakan obat yang
mengandung vitamin B1, vitamin B6, vitamin B12. Neurodex digunakan untuk

68
mengatasi kekurangan vitamin B kompleks, mengatasi mual dan muntah saat pagi
hari pada wanita hamil, membantu proses penyembuhan penyakit, dan membantu
mengatasi anemia hingga gangguan saraf tepi akibat kekurangan vitamin B.
Secara keseluruhan, vitamin B kompleks memiliki manfaat yang sangat besar
dalam proses pembentukan sel-sel tubuh, sel darah merah, dan memberikan nutrisi
bagi sel saraf. Tak hanya itu, vitamin B juga penting untuk merangsang produksi
neurotransmiter, yaitu zat yang menjadi perantara antar sel-sel saraf. Pada
umumnya neurodex tidak menimbulkan efek samping dan relative aman. Namun
beberapa orang dapat menimbulkan efek samping seperti gatal kulit, bento-bentol.
Dosis yang digunakan pasien diberikan dengan dosis 1 x sehari 1 tablet, diminum
sebelum atau sesudah makan, dengan demikia penggunaan sudah tepat.
Pasien diberikan simvastatin 20 mg 1x1 sehari. Simvastatin diberikan
sebagai terapi profilaksis sekunder stroke iskemik untuk mencegah pecahnya plat
arterosklerosis yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
dengan mekanisme kerjanya inhibitor reduktase HMG-CoA, menghambat
langkah pembatan kadar dalam biosintesis kolesterol dengan cara kompetitif
menghambat HMG-CoA reduktase. Dosis usual yaitu 20-40 mg/hari (AHFS,
2011). Dosis yang digunakan pada pasien 20 mg 1x1, dengan demikian
penggunaan dosis simvastatin terhadap pasien sudah tepat.

4.2 Edukasi
1. Menjelaskan pada keluarga pasien cara pemakaian obat dan aturan
pemakaiannya
2. Menjelaskan kepada pasien untuk rutin minum obat setiap harinya
3. Menjelaskan pada keluarga pasien untuk menyimpan obat pada
tempat yang terhindar dari sinar matahari langsung dan lembab
4. Menjelaskan agar pasien selalu melakukan latihan ringan pada
anggota gerak yang lemah
5. Hindari stress
6. Kontrol tekanan darah dan gula darah secara berkala
7. Menjaga pola makan yang sehat dan teratur, hindari makanan yang

69
berlemak dan asin.

70
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil diagnosis, pasien mengalami stroke iskemik


dengan diagnosa sekunder diabetes mellitus tipe II, asma,
hiponatremia, dan hipokalimie ringan
2. Terapi untuk mengatasi stroke iskemik,diabetes mellitus, mellitus
sudah tepat

5.2 Saran
1. Disarankan kepada keluarga pasien untuk memberikan dukungan
psikologis dan moral
2. Disarankan kepada keluarga pasien untuk menemani pasien saat
beraktivitas untuk menghindari resiko jatuh

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Bennett,P. Epidemiology of Type 2 Diabetes Millitus. In LeRoithet. al,


Diabetes Millitusa Fundamental and Clinical Text. Philadelphia :
Lippincott William & Wilkin s. 2008 ; 43 (1) : 544 - 7.
2. Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di
Puskesmas Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional ; 2010
[cited 2010 feb 17].
3. Davis SN. Insulin, oral hypoglycemic agents, and the pharmacology of the
endocrine pancreas. Dalam: Goodman LS, Gilman A, editor. The
pharmacological basis of theraupetic. Edisi 11. California: Mc Grawhill
Medical Publishing Division; 2006. hlm.1613
4. Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes
Melitus. 2005.

5. Departemen Kesehatan RI. (2009). Pedoman Pengendalian Asma:


AsthmaGuidelines. Jakarta: Kemenkes RI
6. Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita
Diabetes Melitus Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
[dissertation]. Universitas Diponegoro (Semarang). 2008.
7. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes.
A,erican Journal of Epidemiology. 2003 ; 15 (1) ; 150 - 9.
8. Kennedy MSN. Pancreatic drugs and antidiabetic drugs. Dalam: Katzung
BG, editor. Farmakologi dasar dan klinik edisi 12. Jakarta: EGC; 2012.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2003.Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI.
10. PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia,PERKENI, Jakarta.
PERKENI, 2019, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia,PERKENI, Jakarta.

72
11. Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FK – ill ; 2008.
12. Sujaya, I Nyoman. “Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai
Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan.” Jurnal Skala Husada”.
2009 ; 6 (1) ; 75 - 81.
13. Wild S , Roglic G, GreenA, Sicree R, king H.Global prevalence of
diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetic
care. 2004;27(3);1047-53.
14. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, edisi kelima. Jakarta: Interna publishing, 2009. hal.1961.
15. Warrington S. Purpose and design of clinical trial. Dalam: Griffin JP,
editor. The textbook of pharmaceutical medicine. Edisi: 6. London:
Blackwell Publishing Ltd; 2009. (hlm : 185)

DAFTAR PUSTAKA

Adams H, Adams R, Del Zoppo G, Goldstein LB; Stroke Council of the American
Heart Association; American Stroke Assocation. Guidelines for the early
management of patients with ischemic stroke: 2005 guidelines update: a scientific
statement from the Stroke Council of the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke. 2005;36:916 –923.
American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistics—2004 Update.
Dallas, Tex: American Heart Association; 2003.
Anthoni, R & Charles, W. 2002. Aetiology and pathology of stroke.
www.pharmj.com/pdf/hp/200202/hp_200202_stroke1.pdf
Bonow RO, et al. ACC/AHA guidelines for the management of patients with
valvular heart disease: a report of the American College of Cardiology/American
Heart Asso¬ciation Task Force on Practice Guidelines (Committee on
Management of Patients With Valvular Heart Disease).       J Am Coll Cardiol.
1998;32(5):1486 –1588.
Broderick J, Brott T, Kothari R, Miller R, Khoury J, Pancioli A, Gebel J, Mills D,

73
Minneci L, Shukla R. The Greater Cincinnati/Northern Kentucky Stroke Study:
preliminary first-ever and total incidence rates of stroke among blacks. Stroke.
1998;29:415– 421.
Cappuccio FP, Oakeshott P, Strazzullo P, Kerry SM. Application of Framingham
risk estimates to ethnic minorities in United Kingdom and implications for
primary prevention of heart disease in general practice: cross sectional population
based study [published correction appears in BMJ. 2003;327:919]. BMJ.
2002;325:1271.
Chobanian AV, et al; National Heart, Lung, and Blood Institute Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure; National High Blood Pressure Education Program Coordinating
Committee. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report.
JAMA. 2003;289:2560 –2572
Davies DP, Rodgers H, Walshaw D, James OF, Gibson GJ. Snoring, daytime
sleepiness and stroke: a case-control study of first-ever stroke.J Sleep Res.
2003;12:313–318.
Fang J, Alderman MH. Trend of stroke hospitalization, United States, 1988–1997.
Stroke. 2001;32:2221–2226
Gerai. 2008. Peran Statin Dalam Global Risk Reduction, Bukan Sekedar Penurun
LDL. Majalah Farmacia vol 7 No.7 hal.58
Gillum RF, Mussolino ME, Ingram DD. Physical activity and stroke incidence in
women and men. The NHANES I Epidemiologic Follow-up Study. Am J
Epidemiol. 1996; 143:860–869.
Gordon T, Kannel WB, Castelli WP, Dawber TR. Lipoproteins, cardiovascular
disease, and death. The Framingham Study. Arch Intern Med. 2001;141:1128 –
1131.
Grau AJ, Buggle F, Becher H, Zimmermann E, Spiel M, Fent T, Maiwald M,
Werle E, Zorn M, Hengel H, Hacke W. Recent bacterial and viral infection is a
risk factor for cerebro¬vascular ischemia: clinical and biochemical studies.
Neurology. 1998;50:196 –203.

Grundy SM, Pasternak R, Greenland P, Smith S Jr, Fuster V. AHA/ACC


scientific statement: assessment of cardio¬vascular risk by use of multiple-risk-
factor assessment equations: a statement for healthcare professionals from the
American Heart Association and the American College of Cardiology. J Am Coll
Cardiol. 1999;34:1348 –1359.
Guyton JR, Blazing MA, Hagar J, Kashyap ML, Knopp RH, McK

NB :

1. Dapus yg merah ni ntuk dapus yg pendahuluan ,, belum oni piih


mana aja yg dapusnya ..
2. Dan dapus kita nib lm yg terbarunya
3. untuk follow up terbaru blm buat

74
4. monitoring efk smpingnya blmm buat bagaimna cara
mengatasinya
5. teori dm sam hipertensi blm di ringkas . kita buat piñata
laksanaan hipertensi dan dm aja , gk usah di jelasin smuanya .
tpi bagian dm yang tabel penggunaan insulin dan algoritmanya
dimasukkan .
6. pemeriksaan labor belum oni masukkan , lupaaa

75

Anda mungkin juga menyukai