Anda di halaman 1dari 11

RANGKUMAN CONFERENCE

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Keperawatan Anak

Pembimbing Akademik : Ns. Elsa Naviati, M. Kep., Sp. Kep. An


Pembimbing Klinik : Ns. Intani Friska Marterasari., S. Kep

Disusun oleh:
Rizki Marwa Putri
22020120210015

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVI


DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
RANGKUMAN CONFERENCE

A. Penyakit Jantung Bawaan (PJB)


1. Definisi
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan struktur dan fungsi dari
sirkulasi jantung yang dapat tampak saat lahir atau saat kehidupan selanjutnya.
(Mulyadi & Madiyono, 2000)
2. Klasifikasi (Mulyadi & Madiyono, 2000)
a. Penyakit jantung bawaan asianotik
Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi
jantung yang dibawa sejak lahir dimana tidak ditandai dengan sianosis.
b. Penyakit jantung bawaan sianotik
Penyakit jantung bawaan sianotik menunjukkan gejala sianosis akibat
hipoksia, dengan atau tanpa gagal jantung. Sianosis yang terjadi yaitu sianosis
sentral dimana terdapat warna kebiruan pada mukosa disebabkan oleh
hemoglobin tereduksi lebih dari 5 g/dL dalam sirkulasi.
3. Perbedaan sianosis pada pasien penyakit jantung bawaan dengan pasien hipotermi
Sianosis pada penyakit jantung bawaan timbul akibat saturasi darah yang
menuju sistemik rendah. Sianosis mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di
sekitar mulut. Sianosis akibat kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan
pada sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis
perifer lebih jelas terlihat pada ujung-ujung jari (Mulyadi & Madiyono, 2000).
Selain melakukan pemeriksaan fisik, cara untuk membedakan antara sianosis perifer
dan sentral adalah dengan melakukan pemeriksaan PO2 arterial yang disebut dengan
tes hiperoxia. (Garina, 2013)
4. Pemeriksaan penunjang (Mulyadi & Madiyono, 2000)
a. Foto x-ray toraks
Foto x-ray toraks dapat digunakan untuk evaluasi penyebab kongenital lain atas
distres napas pada neonatus, dimana penyebab kongenital tersebut akan
mengarah pada diagnosa PJB tertentu.
b. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi dapat membantu menegakkan diagnosis PJB, seperti adanya
deviasi aksis ke kiri, gelombang P pulmonal yang besar yang nantinya
mengarah pada diagnosa PJB tertentu.
Selain itu, terdapat pemeriksaan lanjutan mencakup ekokardiografi dan
kateterisasi jantung. Pemeriksaan tersebut untuk visualisasi dan konfirmasi
morfologi dan pato-anatomi masing-masing jenis penyakit jantung bawaan.
5. Penatalaksanaan
Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang
harus dilakukan adalah: (Mulyadi & Madiyono, 2000)
a. Mempertahankan suhu lingkungan yang netral yaitu dengan menempatkan
pasien pada inkubator
b. Kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada neonatus
dipertahankan di atas 15 g/dl
c. Memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa. Pemberian
cairan pada pasien PJB dibatasi sesuai berat badan masing masing dan perlu
dimonitor secara ketat terkait balance cairan dan diuresis. Hari pertama
diperlukan cairan sebanyak 60 ml/kg/hari. Pemeriksaan analisa gas darah arteri
perlu diulang sesuai dengan indikasi.
d. Memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah
aliran darah ke paru. Pada sindrom sianosis pemberian oksigen 40% dapat
memperbaiki kondisi. Namun, saturasi oksigen dengan pemberian oksigen tidak
boleh lebih dari 95% pada PJB asianotik pada anak karena adanya penurunan
resistensi paru, dengan pemberian oksigen yang tidak terlalu tinggi harapannya
dapat meningkatkan aliran ke paru, karena semakin tinggi jumlah aliran yang
masuk ke paru melalui oksigen yang diberikan akan menyebabkan sebuah
compliance dari PJB tersebut.
e. Berikan prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka dengan dosis
permulaan 0,1 mg/kg/menit dan bila sudah terjadi perbaikan maka dosis dapat
diturunkan menjadi 0,05 mg/kg/menit.
Pada pasien PJB dengan gagal jantung juga perlu diberikan intervensi yang
bertujuan untuk memperbaiki perubahan hemodinamik. Pengobatan gagal jantung
meliputi: (Mulyadi & Madiyono, 2000)
a. Penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian
oksigen, pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam
basa dan gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas,
perlu dilakukan ventilasi mekanis.
b. Pengobatan medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obat-obat yang
digunakan pada gagal jantung antara lain
1) Obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin
atau dopamin. Digoksin untuk neonatus, dosis pertama diberikan setengah
dosis, dosis kedua diberikan 8 jam kemudian sebesar seperempat dosis
sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya sebesar seperempat
dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam pemberian dosis terakhir
dengan dosis seperempat. Bila pasien mengalami bradikardi berikan obat
inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1 mg/kg/menit, sedangkan bila
terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 mg/kg/menit atau dopamin
dengan dosis 2-5 mg/kg/menit. Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien
dengan perfusi sistemik yang buruk dan jika ada penurunan fungsi ginjal,
karena akan memperbesar kemungkinan intoksikasi digitalis.
2) Vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5
mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral.
3) Diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2
mg/kg/hari per oral atau intravena.
Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan
oksigen harus segera diberikan dengan memakai sungkup atau kanula hidung. Bila
ventilasi kurang adekuat harus dilakukan intubasi endotrakeal dan bila perlu dibantu
dengan ventilasi mekanis. Prostaglandin E1 0,1 mg/kg/menit dapat diberikan untuk
melebarkan kembali dan menjaga duktus arteriosus tetap terbuka. Obat-obatan lain
seperti inotropik, vasodilator dan furosemid diberikan dengan dosis dan cara yang
sama dengan tata laksana gagal jantung.
B. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
1. Definisi
Dengue Hemmorhagic Fever adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue melalui gigitan nyamuk. (Hadinegoro, dkk, 2012)
2. Grade
Menurut WHO 1997, DHF dibagi dalam 4 grade yaitu: (Hadinegoro, dkk, 2012)
a. Grade I : Demam disertai gejala klinik khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan dalam uji tourniquet positif, trombositopenia, himokonsentrasi.
b. Grade II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau tempat
lain.
c. Grade III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat dan
lemah, tekanan darah turun (20 mm Hg) atau hipotensi disertai dengan kulit
dingin dan gelisah.
d. Grade IV : Kegagalan sirkulasi, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak
Terukur.
Namun, terdapat kesulitan saat menentukan klasifikasi dengue berat (severe dengue)
karena tidak tercakup di dalam kriteria diagnosis WHO 1997. Sehingga klasifikasi
tersebut dinilai kembali dan menghasilkan klasifikasi baru WHO 2009 yaitu:
(Hadinegoro, dkk, 2012)
a. Dengue without warning signs (probable dengue)
Dengue without warning signs disebut juga sebagai probable dengue
ditegakkan apabila terdapat demam ditambah minimal dua gejala berikut: mual
disertai muntah ruam (skin rash) nyeri pada tulang, sendi, atau retro-orbital uji
torniket positif, leukopenia, dan gejala lain yang termasuk dalam warning signs.
Penatalaksanaan berupa pemantauan yang cermat untuk mendeteksi keadaan
kritis.
b. Dengue with warning signs
Dengue with warning signs, secara klinis terdapat gejala nyeri perut,
muntah terus-menerus, perdarahan mukosa, letargi/gelisah, pembesaran hati
≥2cm, disertai kelainan parameter laboratorium, yaitu peningkatan kadar
hematokrit yang terjadi bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit dan
leukopenia. Apabila dijumpai leukopenia, maka diagnosis lebih mengarah
kepada infeksi dengue.
c. Severe dengue
Infeksi dengue diklasifikasikan sebagai severe dengue apabila terdapat
severe plasma leakage (perembesan plasma hebat), severe bleeding (perdarahan
hebat seperti hematemesis, melena, dll), atau severe organ impairment
(keterlibatan organ yang berat seperti gagal hati, miokarditis, dll).
3. Pemeriksaan penunjang (Centers for Disease Control and Prevention, 2009)
a. Uji Tourniquet
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan pada vena sehingga darah menekan kepada dinding
kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu penyebab kurang kuat akan rusak oleh
pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan
merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga Nampak sebagai bercak kecil
pada permukaan kulit.
b. Pemeriksaan darah
1) Hemoglobin
Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit
menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan
hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi paling awal yang
dapat ditemukan pada pasien DHF.
2) Hematokrit
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga dari perjalanan
penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit
demam berdarah. Peningkatan nilai hematokrit merupakan manifestasi
hemokonsentrasi yang terjadi akibat kebocoran plasma.
3) Trombosit
Jumlah trombosit mulai menurun pada hari ke-3 dan mencapai titik
terendah pada hari sakit ke-5. Trombosit akan mulai meningkat pada fase
penyembuhan serta mencapai nilai normal pada hari ke-7.
c. Pemeriksaan serologi
Saat ini uji serologi Dengue, IgM dan IgG seringkali dilakukan. Pada
infeksi primer, IgM akan muncul dalam darah pada hari ke-3, mencapai
puncaknya pada hari ke-5. IgG muncul setelah IgM dan terus ada di dalam
darah. Apabila ditemukan hasil IgM dan IgG negatif tetapi gejala tetap
menunjukkan kecurigaan DBD, dianjurkan untuk mengambil sampel kedua
dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer dan 2-3 hari bagi infeksi sekunder.
4. Penatalaksanaan (Hadinegoro, dkk, 2012)
Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan
suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis
10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >380 C. Pemberian aspirin dan ibuprofen
merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang membantu apabila anak merasa
nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian kompres dapat dilakukan oleh
keluarga, sebelumnya keluarga diberikan edukasi terkait cara pemberian kompres
yaitu dengan air hangat dan dilakukan pada bagian yang terdapat pembuluh darah
besar seperti bagian ketiak, paha dan lain sebagainya.
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan pasien memasuki
fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak dapat minum
oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan berdasarkan usia
dan berat badan. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer laktat dan
ringer asetat). Tetesan intravena harus disesuaikan berkala dengan
mempertimbangkan tanda vital, kondisi klinis (penampilan umum, pengisian
kapiler), laboratoris (hemoglobin, hematokrit, lekosit, trombosit), serta luaran cairan
harus dicatat dalam lembar khusus.
5. Bagaimana identifikasi pre syok? (Pangaribuan, Prawirohartono & Laksanawati,
2014)
a. Tekanan darah menurun
b. Napas cepat
c. Sianosis sekitar mulut
d. Nadi teraba lemah
e. Kulit teraba lembab dan akral dingin
f. CRT >3 detik
g. Diuresis menurun
h. Tampak lesu, gelisah, sampai penurunan kesadaran
i. Perdarahan baik yang terlihat seperti petekie maupun perdarahan pada
gastrointestinal, dll
6. Apa saja yang perlu dimonitoring saat pre syok? (Pangaribuan, Prawirohartono &
Laksanawati, 2014)
a. Monitor tanda vital sign pasien
b. Monitor nilai laboratorium yang meliputi Hematokrit, Trombosit, Protein
Plasma
c. Monitor ada tidaknya tanda-tanda perdarahan
7. Apa saja yang harus dilakukan pada saat pre syok? (Pangaribuan, Prawirohartono &
Laksanawati, 2014)
a. Pasien DHF dengan perdarahan dan hemokonsentrasi akan mengalami tanda
syok lebih dini, tetapi dengan manajemen cairan yang tepat dan adekuat akan
mengisi cairan intravaskular untuk mempertahankan hemodinamik yang stabil
sehingga dapat mencegah perkembangan ke arah syok.
b. Terjadi pada DHF berat karena asupan kurang dan muntah dan pada pasien
dengan gangguan hati dapat terjadi hipoglikemia. Maka perlu diberikan
dextrose.
c. Monitor secara ketat balance cairan dan diuresis.
C. Kejang Demam Kompleks
1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38oC) akibat suatu proses ekstra kranial. (Arief, R. F, 2015)
2. Klasifikasi (Arief, R. F, 2015)
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal dan pulih dengan spontan. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam.
b. Kejang demam kompleks
Kejang demam yang berlangsung lama > 15 menit, kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. Kejang dapat
berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
3. Pemeriksaan penunjang (Arief, R. F, 2015)
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis.
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak
usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dilakukan, tidak rutin dan
hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
4. Penatalaksanaan
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal
5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3
tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian
diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis
yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit (Arief, R. F, 2015). Maka
penting untuk mengedukasi orang tua terkait penanganan awal kejang demam di
rumah. Selain itu, penting juga untuk memberikan edukasi kepada orang tua terkait
mengenali kejang dan awitan kejang.
Apabila datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, berikan diazepam
secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan
dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal
20 mg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan
dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12
jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif. (Arief, R. F, 2015)
Selain pemberian antikonvulsan, perlu diberikan antipiretik berupa
paracetamol. Dosis paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari
dan tidak boleh lebih dari 5 kali. Selain itu Kompres hangat kadang membantu
apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian kompres dapat
dilakukan oleh keluarga, sebelumnya keluarga diberikan edukasi terkait cara
pemberian kompres yaitu dengan air hangat dan dilakukan pada bagian yang
terdapat pembuluh darah besar seperti bagian ketiak, paha dan lain sebagainya.
D. Balance Cairan Pada Anak
Menurut Oktiawati, dkk (2017), menghitung balance cairan anak tergantung tahap umur
untuk menentukan Air Metabolisme.
Balance cairan = Intake - Output
Yang termasuk dalam cairan masuk (intake) diantaranya adalah :
1. Makan, minum, NGT
2. Cairan eflex, injeksi
3. Air metabolisme
Usia balita (1-3 tahun) : 8 cc/kgBB/hari
Usia 5- 7 tahun : 8 – 8,5 cc/kgBB/hari
Usia 7 – 11 tahun : 6 – 7 cc /kgBB/hari
Usia 12 – 14 tahun: 5 – 6 cc/kgBB/hari
Sedangkan untuk cairan keluar output yaitu:
1. Muntah, urine, feses. Apabila anak mengompol, maka dihitung urin yang keluar
sebanyak 0,5-1 ml/KgBB/hari.
2. IWL (Insensible water loss ) yaitu kehilangan cairan yang menguap melalui paru
paru dan kulit. Rumus untuk menghitung IWL pada anak yaitu : IWL: (30-Usia anak
dalam tahun) x Berat badan/kg.
E. Diuresis pada anak
Rumus diuresis
Jumlah urin/KgBB/Jam= .......cc/KgBB/Jam
Menghitung jumlah urine pampers bayi/anak
1. Menggunakan gelas ukur (diperas)
2. Berat pampers yang tertampung urine-berat pampers bersih= ....gr= ....cc
Daftar Pustaka

Mulyadi & Madiyono. 2000. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari Pediatri. Vol.
2, No. 3: 155 – 162.
Garina. 2013. Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Sianosis
Pada Neonatus. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
Hadinegoro, dkk. 2012. Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal
Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever.
Pangaribuan, Prawirohartono & Laksanawati. 2014. Faktor Prognosis Kematian Sindrom
Syok Dengue. Sari Pediatri. Vol. 15, No. 5: 332-340.
Arief, R. F. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. CKD. Vol. 42 No. 9: 658-661.

Anda mungkin juga menyukai