Anda di halaman 1dari 42

JOURNAL READING

META-ANALYSIS ON THE EFFECT OF ASPIRIN USE FOR


PREVENTION OF PREECLAMPSIA ON PLACENTAL ABRUPTION AND
ANTEPARTUM HEMORRHAGE

Disusun oleh:
Mahesa Kurniati Putri (1102016108)
Marinda Batuul Rifdah Anugrah S. (1102016110)
Masayuki Hamada (1102016111)
Maydina Sifa Fauziah (1102016114)

Pembimbing:
dr. Rafiyandi, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU


DEPARTEMEN KEDOKTERAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 4 JANUARI - 31 JANUARI 2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………………………..ii


Journal Reading ………………………………………………………………...1
Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………….13
Daftar Pustaka ………………………………………………………………….36

2
Meta-Analisis tentang Pengaruh Penggunaan Aspirin untuk Pencegahan
Preeklamsia pada Solusio Plasenta dan Perdarahan Antepartum

DATA TUJUAN : Gangguan plasenta pada 16 minggu pertama kehamilan


dihubungkan dengan meningkatnya risiko perkembangan selanjutnya dari
preeklamsia, kelahiran neonatus pada usia kehamilan muda, dan solusio plasenta.
Penelitian sebelumnya melaporkan penggunaan profilaksis aspirin mengurangi
risiko preeklamsia dan kelahiran neonatus pada usia kehamilan muda dengan
tidak adanya efek yang signifikan pada solusio plasenta. Akan tetapi meta-analisis
pada uji acak terkontrol (randomized controlled trials) yang menguji efek
aspirin dalam kaitannya dengan usia kehamilan pada saat
pemberian aspirin dan dosis obat yang diberikan
dilaporkan bahwa terdapat penurunan risiko yang
signifikan pada preeklamsia dan kelahiran neonatus pada
usia kehamilan muda didapatkan hanya jika waktu
pengobatan pada ≤16 minggu kehamilan dan dosis harian
obat yang diberikan ≥100 mg.
STUDI : Kami bertujuan untuk memperkirakan efek aspirin pada risiko terjadinya
solusio plasenta atau perdarahan antepartum berdasarkan usia kehamilan saat
dimulainya terapi dan dosis dari obat yang diberikan.
PENILAIAN STUDI DAN METODE SINTESIS : Untuk menunjukkan
tinjauan sistematis dan meta-analisis pada uji acak terkontrol (randomized
controlled trials) yang mengevaluasi efek profilaksis dari aspirin selama
kehamilan, kami menggunakan PubMed, Cinhal, Embase, Web of Science dan
Cochrance library dari 1985 hingga September 2017. Relative risk dari solusio
plasenta atau perdarahan antepartum dengan confidence interval 95% yang
dihitung dengan menggunakan model efek acak (random effect models).
Analisis dikelompokkan berdasarkan dosis harian aspirin
(<100 dan ≥100 mg) dan usia kehamilan pada saat
dimulainya terapi (≤16 dan >16 minggu kehamilan) dan

1
dibandingkan dengan penggunaan analisis perbedaan
subkelompok.
HASIL : Yang termasuk kedalam kriteria dipenuhi oleh 20
penelitian dengan total gabungan peserta sebanyak 12.585.
Aspirin dengan dosis <100 mg per hari tidak berdampak
pada risiko terjadinya solusio plasenta dan perdarahan
antepartum, terlepas dari apakah itu dimulai pada ≤16
minggu kehamilan (relative risk, 1,11; confidence interval 95%, 0,52-2,36)
atau pada >16 minggu kehamilan (relative risk, 1,32; confidence interval 95%,
0,73-2,39). Pada dosis ≥100 mg per hari, aspirin tidak
berhubungan dengan perubahan yang signifikan pada risiko
terjadinya solusio plasenta atau perdarahan antepartum,
baik pengobatan yang dimulai pada ≤16 minggu kehamilan
(relative risk, 0,62; confidence interval 95%, 0,31-1,26), atau pada >16 minggu
kehamilan (relative risk, 2,08; confidence interval 95%, 0,86-5,06), tetapi
perbedaan antara subkelompok signifikan (P= 0,04).
KESIMPULAN : Aspirin dengan dosis harian ≥100 mg untuk
mencegah preeklamsia yang dimulai pada ≤16 minggu
kehamilan, dibandingkan dengan >16 minggu, dapat
menurunkan risiko solusio plasenta atau perdarahan
antepartum.

Kata Kunci : aspirin, solusio plasenta, preeklamsia, kehamilan

Gangguan plasenta pada 16 minggu pertama kehamilan dihubungkan


dengan meningkatnya risiko perkembangan selanjutnya dari preeklamsia,
kelahiran neonatus pada usia kehamilan muda, dan solusio plasenta. Banyak
sekali uji acak terkontrol yang menyelidiki nilai potensial dari penggunaan
profilaksis dari aspirin dosis rendah dalam pencegahan preeklamsia; sebuah meta-
analisis awal dilaporkan bahwa risiko preeklamsia dan SGA (small for gestational
age) berkurang sekitar 10%. Sebuah meta-analisis pada

2
pasien indivual baru-baru ini oleh grup yang sama
dilaporkan bahwa penurunan risiko yang sedikit ini tidak
berhubungan dengan usia kehamilan dimulainya terapi (<16
vs ≥16 minggu kehamilan) atau dosis harian aspirin (≤75 vs
>75 mg). Sebaliknya, meta-analisis lainnya dilaporkan
bahwa penggunaan aspirin memiliki efek yang besar pada
preeklamsia dan SGA (small for gestational age) dengan penurunan
risiko lebih dari 50%, asalkan waktu pemberian terapi ≤16
minggu kehamilan dan dosis harian obat ≥100 mg; waktu
pemberian terapi >16 minggu dan dosis harian <100 mg
tidak memiliki efek yang signifikan. Hasil ini dikonfirmasi
dengan penemuan baru-baru ini oleh multisenter besar
dengan uji coba acak (ASPRE) yang menunjukkan bahwa
pemberian aspirin (150 mg per hari) dari 11-14 minggu
hingga 36 minggu kehamilan berhubungan dengan >60%
berkurangnya risiko preeklamsia pada preterm.
Solusio plasenta merupakan penyebab utama kematian perinatal dan
morbiditas maternal. Sebuah uji acak awal pada penggunaan aspirin (60 mg per
hari) untuk pencegahan preeklamsia dilaporkan bahwa penggunaan aspirin
dihubungkan dengan meningkatnya secara signifikan risiko solusio plasenta, yang
dikaitkan dengan efek antiplatelet dari obat. Meta-analisis selanjutnya melaporkan
bahwa penggunaan aspirin untuk pencegahan preeklamsia tidak berhubungan
dengan meningkatnya solusio plasenta; akan tetapi, pada meta-analisis tersebut
tidak diteliti efek aspirin terhadap hubungan usia kehamilan pada saat pemberian
terapi dan dosis harian yang diberikan.
Tujuan dari tinjauan sistematis dan meta-analisis ini untuk memperkirakan
efek aspirin terhadap risiko terjadinya solusio plasenta dan perdarahan
antepartum, dilihat dari hubungan dengan usia kehamilan pada saat dilakukan
terapi dan dosis dari obat yang diberikan.

Metode

3
Penelitian ini adalah tinjauan sistematis dan meta-analisis dari uji acak
terkontrol yang mencakup penelitian yang merekrut wanita untuk mencegah
preeklamsia dengan menggunakan aspirin. Pengobatan termasuk aspirin atau
dipiridamol dibandingkan dengan plasebo atau tidak dilakukannya pengobatan.
Penelitian dieksklusi jika wanita hamil memulai pengobatan sebelum kehamilan
atau mengalami preeklamsia atau hambatan pertumbuhan janin pada saat
pengacakan.
Strategi Pencarian
Kata kunci dan terminologi MeSH (Medical Subject Headings) yang
berhubungan dengan aspirin untuk preeklamsia dilakukan pencarian di Embase,
Pubmed, Cinahl, Web of science, Cochrance CENTRAL library dari tahun 1985
hingga September 2017. Tidak ada penerapan batasan bahasa.

Penyeleksian Artikel
Pemilihan judul dilakukan pada penyaringan pertama, dan abstrak ditinjau
oleh 2 peninjau independen (S.R., E.B.). Seluruh penelitian yang memenuhi syarat
kemudian dievaluasi secara keseluruhan oleh peninjau yang sama; perselisihan
diselesaikan dengan pendapat pihak ketiga (K.N.). Penelitian yang melaporkan
solusio plasenta atau perdarahan antepartum dimasukkan pada analisis akhir.
Kualitas Evaluasi
Kualitas dari meta-analisis ini dinilai dengan alat Preffered Reporting
Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA), dan kualitas dari
setiap uji coba yang disertakan dinilai oleh Cochrance Handbook.
Analisis
Analisis subkelompok dilakukan sehubungan dengan
dosis aspirin (<100 dan ≥100 mg) dan usia kehamilan pada
saat dilakukan pengobatan (≤16 dan >16 minggu). Karena
hanya terdapat 2 grup yang dibandingkan, analisis
subkelompok dilakukan dengan efek acak. Batas waktu 16
minggu kehamilan dan 100 mg obat dipilih karena pada

4
meta-analisis sebelumnya dilaporkan bahwa aspirin
efektif dalam pencegahan preeklamsia hanya jika waktu
pemberian terapi ≤16 minggu kehamilan dan dosis harian
obat ≥100 mg. Hasil dilaporkan dengan relative risks (RR), dihitung
dengan confidence intervals (CI) 95%, dengan menggunakan efek random.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengevaluasi efek dari aspirin itu sendiri.
Bias publikasi dinilai dengan funnel plots. Higgins I2 dihitung untuk
heterogenitas dan dianggap tinggi jika nilainya ≥50%.
Analasis dilakukan dengan aplikasi Review Manager (versi 5.3;
Nordic Cochrane Center, Cochrane Collaboration, Copenhagen, Denmark).

5
HASIL
Tabel 1. Karakteristik Uji Coba yang Masuk ke Dalam Meta-Analisis

Gambar 1. Penyeleksian Artikel yang Dimasukkan

6
Pencarian literatur ditemukan 7143 sitasi; 161
dianalisa, dan 20 uji coba dengan kombinasi total
partisipan 12.585 yang masuk kedalam kriteria inklusi
(Tabel 1; Gambar 1). Dalam 2 uji coba yang dimasukkan, data
waktu dilakukannya terapi (≤16 dan >16 minggu kehamilan)
tidak dimasukkan kedalam publikasi asli, tetapi disediakan
oleh penulis. Pada 15 dari 20 penelitian, dilaporkan hasil
solusio plasenta, dan pada 5 penelitian, hasilnya
perdarahan antepartum.

Gambar 2. Grafik Risiko Bias

7
Gambar 3. Funnel Plot Efek Aspirin pada Solusio Plasenta atau Perdarahan
Antepartum

Semua penelitian yang dimasukkan dianggap baik atau tidak jelas


kualitasnya; tetapi terdapat 1 penelitian dianggap memiliki risiko bias yang tinggi
karena, dalam 20% kasus, terjadi berhentinya evaluasi lanjutan (loss to follow-up)
(Gambar 2). Heterogenitas antara penelitian-penelitian yang ada rendah (I 2=0-
29%). Meskipun distribusi penelitian pada funnel plots menunjukkan baik,
sedikitnya jumlah penelitian tidak dapat mengeksklusi kemungkinan adanya bias
publikasi (Gambar 3).
Tabel 2. Risiko Terjadinya Solusio Plasenta atau Perdarahan Antepartum
Berdasarkan Dosis Aspirin dan Usia Kehamilan Saat Pengobatan

8
Gambar 4. Forest Plot Efek Aspirin dengan Dosis Harian <100 mg terhadap
Solusio Plasenta atau Perdarahan Antepartum

Pada kasus aspirin dengan dosis harian <100 mg (Tabel


2; Gambar 4), tidak terdapat efek yang signifikan terhadap
risiko terjadinya solusio plasenta dan perdarahan
antepartum, tidak peduli usia kehamilan pada saat
pemberian obat, dan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara subkelompok dalam waktu pemberian terapi ≤16
minggu dan >16 minggu (P=0,72).

Gambar 5. Forest Plot Efek Aspirin dengan Dosis Harian ≥100 mg


terhadap Solusio Plasenta atau Perdarahan Antepartum

Pada kasus aspirin dengan dosis ≥100 mg (Tabel 2;


Gambar 5), waktu pemberian terapi pada ≤16 minggu
kehamilan dihubungkan dengan penurunan yang tidak

9
signifikan terhadap risiko terjadinya solusio plasenta
atau perdarahan antepartum (RR, 0,62; CI 95%, 0,31-1,26),
sedangkan pada saat >16 minggu kehamilan dihubungkan
dengan peningkatan yang tidak signifikan terhadap risiko
terjadinya solusio plasenta atau perdarahan antepartum
(RR, 2,08; CI 95%, 0,86-5,06); perbedaan pada subkelompok
signifikan (P=0,04). Setelah mengeksklusi penelitian yang
menggunakan dipiridamol, ditemukan kecenderungan yang
sama (aspirin ≥100 mg per hari; ≤16 minggu : RR, 0,71; CI
95%, 0,34-1,47; vs aspirin ≥100 mg per hari; >16 minggu : RR,
2,08; CI 95% 0,86-5,06), tetapi perbedaan pada subkelompok
tidak signifikan (P=0,07).

KOMENTAR
Temuan Utama Penelitian ini
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa aspirin
dengan dosis <100 mg per hari tidak mempengaruhi risiko
solusio plasenta atau perdarahan antepartum, tanpa
memperhatikan usia kehamilan saat dimulainya terapi.
Namun, dalam kasus aspirin dengan dosis ≥100 mg per hari,
dapat diamati perbedaan yang signifikan dalam risiko
solusio plasenta atau perdarahan antepartum antara
wanita yang memulai pengobatan pada usia kehamilan ≤16
minggu dan wanita yang memulai pada > 16 minggu.
Ditemukan hasil menguntungkan bagi usia kehamilan ≤16
minggu dan hasil merugikan pada wanita yang memulai pada
> 16 minggu.
Keterbatasan Penelitian
Data untuk solusio plasenta atau perdarahan antepartum dalam kaitannya
dengan dosis dan waktu penggunaan aspirin dilaporkan hanya dalam 20 dari 65
percobaan yang meneliti efek aspirin pada pencegahan preeklamsia; akibatnya,

10
dalam meta-analisis ini, ada potensi risiko bias seleksi. Hasil juga terbatas karena
rendahnya prevalensi solusio plasenta atau perdarahan antepartum, yang
dilaporkan hanya 173 dari 11.585 peserta (1,5%) dalam uji coba yang disertakan.
Solusio plasenta atau perdarahan antepartum adalah hasil sekunder pada
semua uji. Didapatkan hasil aspirin tidak memiliki efek signifikan pada risiko
solusio plasenta atau perdarahan antepartum, namun tidak ada uji coba memadai
yang mendukung hasil tersebut. Pendekatan untuk subdivisi lebih lanjut dari
populasi penelitian sesuai dengan dosis dan waktu onset terapi menghasilkan
pengurangan kekuatan untuk menunjukkan efek yang signifikan. Namun, dalam
konteks penggunaan aspirin untuk pencegahan preeklamsia, analisis subkelompok
sebelumnya telah menunjukkan pentingnya pengelompokan populasi menurut
dosis dan waktu dimulainya terapi.
Dalam uji coba ASPRE, efek menguntungkan dari aspirin dalam
pencegahan preeklamsia prematur tampaknya tergantung pada compliance. Dalam
metaanalisis, tidak dilakukan untuk mengevaluasi efek compliance terhadap risiko
solusio plasenta atau perdarahan antepartum. Dalam 8 dari 20 uji coba compliance
tidak dilaporkan dan 10 dari 12 uji coba yang tersisa tidak melaporkan hasil secara
terpisah sesuai compliance.

Implikasi Klinis dari Penelitian Ini


Pedoman nasional merekomendasikan bahwa wanita
yang diidentifikasi berisiko tinggi mengalami preeklamsia
berdasarkan karakteristik demografis dan riwayat medis
disarankan untuk mengonsumsi aspirin dengan dosis harian
yang bervariasi antara 75 dan 80 mg, tergantung negaranya.
Namun, berdasarkan hasil meta-analisis, bahwa aspirin
efektif dalam mengurangi risiko preeklamsia hanya jika
dosis harian ≥100 mg. Pada hasil uji ASPRE, dosis harian
aspirin yang direkomendasikan 150 mg. Penting untuk
ditekankan bahwa terapi tersebut bermanfaat jika
pengobatan dimulai sebelum usia kehamilan 16 minggu. Jika

11
pengobatan dimulai setelah 16 minggu kehamilan. terapi ini
dapat meningkatkan risiko solusio atau perdarahan
antepartum tanpa mengurangi risiko preeklamsia.
Solusio plasenta yang disertai dengan preeklamsia
dianggap sebagai konsekuensi dari gangguan plasentasi.
Dalam poin ini, pemberian aspirin pada wanita dengan
peningkaran risiko gangguan plasentasi dengan dosis ≥100
mg dan usia kehamilan saat permulaan pengobatan ≤ 16
minggu kehamilan dapat menurunkan risiko solusio seperti
preeklamsia. Plasentasi selesai pada usia kehamilan 18
minggu; Jika mekanisme di mana aspirin mengurangi risiko
preeklamsia dimediasi dengan memperbaiki plasentasi,
maka dapat dinyatakan bahwa terapi aspirin yang dimulai
pada usia kehamilan > 16 minggu tidak bermanfaat. Dalam
kasus plasentasi abnormal yang persisten, penggunaan
aspirin pada ≥100 mg per hari, melalui sifat
antiplateletnya, dapat meningkatkan risiko perdarahan dan
solusio. Oleh karena itu diragukan bahwa penggunaan
aspirin secara universal bermanfaat bahkan dapat
berbahaya.

KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan
profilaksis aspirin dengan dosis harian > 100 mg memiliki
efek yang berbeda pada risiko solusio plasenta atau
perdarahan antepartum, tergantung pada usia kehamilan
saat permulaan pengobatan; jika permulaan pengobatan
adalah pada usia kehamilan ≤16 minggu risikonya menurun.

12
TINJAUAN PUSTAKA

PERDARAHAN ANTEPARTUM
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi sebelum partus, atau
kelahiran anak, dengan merujuk pada ibunya (Dorland, 2010).
Perdarahan antepartum (PAP) didefinisikan sebagai perdarahan dari atau ke
dalam saluran genital, yang terjadi dari kehamilan minggu ke 24 dan sebelum bayi
lahir (Thomson AJ and Ramsey JE, 2011).
Penyebab PAP yang perlu diketahui adalah plasenta previa dan solusio
plasenta, meskipun bukan yang paling umum. Penyebab lain yaitu persalinan
prematur dan gangguan pada leher rahim (Thomson AJ and Ramsey JE, 2011).

1. ABLASIO PLASENTA
a. DEFINISI
Ablatio Plasenta dapat disebut perdarahan tersembunyi adalah
keadaan darah tersimpan dalam kavum uteri. Hal ini disebabkan
karena lepasnya plasenta.
Plasenta dapat terlepas secara komplit dan inkomplit. Apabila
terlepas secara inkomplit, darah mengalir melalui serviks (Tanto C
dan Kayika IPG, 2014).
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh
permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal
pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum
anak lahir. (Prawirohardjo S, 2010)

b. EPIDEMIOLOGI
PAP mempersulit 3–5% kehamilan dan merupakan penyebab
utama kematian perinatal dan ibu di seluruh dunia (Thomson AJ and
Ramsey JE, 2011).

13
Perdarahan obstetrik tetap menjadi salah satu penyebab utama
kematian ibu di negara berkembang dan merupakan penyebab hingga
50% dari perkiraan 500.000 kematian ibu yang terjadi secara global
setiap tahun. Dalam laporan 2006-08 dari UK Confidential Enquiries
in Maternal Deaths, perdarahan merupakan tertinggi keenam dari
penyebab langsung kematian ibu.
Ablasio plasenta terjadi pada 3-10 per 1000 kehamilan di seluruh
dunia. Prevalensi abrupsio plasenta di negara Eropa ditemukan
sebesar 3-6 per 1000 kehamilan. Prevalensi di Amerika Utara
ditemukan lebih tinggi dua kali lipat, yaitu sebesar 7-12 per 1000
kehamilan.
Melihat latar belakang yang sering dianggap sebagai faktor
risiko diyakini bahwa insidensi solusio plasenta semakin menurun
dengan semakin baiknya perawatan antenatal sejalan dengan semakin
menurunnya jumlah ibu hamil usia dan paritas tinggi dan membaiknya
kesadaran masyarakat berperilaku lebih higienis. Dalam kepustakaan
dilaporkan insidensi solusio plasenta 1 dalam 155 sampai 1 dalam 225
persalinan (yang berarti < 0,5 %) di negara-negara Eropa untuk
solusio plasenta yang tidak sampai mematikan janin. Untuk solusio
yang lebih berat sampai mematikan janin insidensinya lebih rendah 1
dalam 830 persalinan (1974 - 1989) dan turun menjadi 1 dalam 1.550
persalinan (1988 – 1999). Namun, insidensi solusio plasenta diyakini
masih lebih tinggi di tanah air dibanding dengan negara maju.
(Prawirohardjo S, 2010)

14
c. ETIOLOGI
Penyebab utamanya belum diketahui. Faktor resiko dari ablasio
plasenta adalah riwayat ablatio plasenta sebelumnya, hipertensi pada
kehamilan, usia ibu yang tua dan multiparitas, distensi uterus,
penyakit vaskular, merokok, konsumsi alkohol, menderita
preeklamsia/eklamsia dan penggunaan kokain. (Tanto C dan Kayika
IPG, 2014).

d. KLASIFIKASI
● Revealed : Setelah pemisahan plasenta, darah masuk ke bawah di
antara membrane dan desidua. Darah yang keluar dari saluran
serviks akan terlihat secara ekternal. Ini adalah tipe paling umum.
● Concealed : Darah terkumpul di belakang plasenta yang terpisah
atau terkumpul di antara selaput dan desidua. Darah yang
terkumpul dicegah keluar dari serviks dengan bagian presentasi
yang menekan segmen bawah. Kadang-kadang, darah bisa meresap
ke dalam kantung ketuban setelah pecah selaput. Dalam keadaan
apapun, darah tidak terlihat di luar. Jenis ini jarang terjadi.
● Mixed : Pada tipe ini, sebagian darah terkumpul di dalam
(tersembunyi) dan sebagian lagi dikeluarkan (mengungkapkan).
Biasanya satu varietas mendominasi yang lain. Ini sangat umum.

(Konar, 2015)

Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura


sinus marginalis), terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis),
atau bisa seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio
plasenta totalis).
Klasifikasi lainnya :

15
● Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25% atau ada
yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah
yang keluar biasanya kurang dari 250 mL.
● Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi
belum mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang
keluar lebih banyak dari 250 mL tetapi belum mencapai
1.000 mL.
● Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50% dan
jumlah darah yang keluar telah mencapai 1.000 mL atau
lebih.
(Prawirohardjo, 2010)

16
e. PATOFISIOLOGI
Solusio plasenta terjadi ketika pembuluh darah ibu terlepas dari
plasenta dan perdarahan terjadi di antara lapisan rahim dan sisi ibu
dari plasenta. perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang
disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Perdarahan tersebut
menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan tipis yang
tetap melekar pada miometrium. Dengan demikian, pada permulaan
telah terjadi proses pembentukan hematom yang menyebabkan
pelepasan secara luas, mendorong dinding rahim dan plasenta
terpisah. Plasenta adalah sumber oksigen dan nutrisi janin serta cara
janin mengeluarkan produk limbah. Difusi ke dan dari sistem
peredaran darah ibu sangat penting untuk mempertahankan fungsi
plasenta yang menopang kehidupan ini. Ketika penumpukan darah
menyebabkan pemisahan plasenta dari jaringan vaskular ibu, darah
yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium untuk
selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrage).
Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi mengandung
tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis
yang terputus. Jika janin tidak menerima oksigen dan nutrisi yang
cukup, ia akan mati.
Implikasi klinis dari solusio plasenta bervariasi berdasarkan
luasnya pemisahan dan lokasi pemisahan. Solusio plasenta bisa
lengkap atau parsial dan marginal atau sentral (Prawirohardjo, 2010;
Schmidt P, 2020).

17
f. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran Klinik bervariasi sesuai dengan derajat berat ringannya.
Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah
terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80 %
kasus), rasa nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his
partus prematurs. (Prawirohardjo, 2010).

Kelas 0: Asimtomatik
● Penemuan bekuan darah di sisi ibu dari plasenta yang
dilahirkan
● Diagnosis dibuat secara retrospektif
Kelas 1: Ringan
● Tidak ada tanda-tanda perdarahan vagina atau sedikit
perdarahan vagina.
● Nyeri uterus ringan.
● Tekanan darah ibu dan WNL denyut jantung.
● Tidak ada tanda-tanda gawat janin
Kelas 2: Sedang
● Tidak ada tanda-tanda perdarahan vagina sampai
perdarahan vagina dalam jumlah sedang.
● Nyeri uterus yang signifikan dengan kontraksi tetanik.
● Perubahan tanda-tanda vital: takikardia ibu, perubahan
ortostatik pada tekanan darah.
● Gawat janin.
● Perubahan profil pembekuan: hipofibrinogenemia
Kelas 3: Parah
● Tidak ada tanda-tanda perdarahan vagina hingga perdarahan
vagina yang berat.
● Uterus tetanik / konsistensi seperti papan pada palpasi.
● Syok ibu.

18
● Perubahan profil pembekuan: hipofibrinogenemia dan
koagulopati.
● Kematian janin

Klasifikasi 0 atau 1 biasanya dikaitkan dengan pemisahan parsial


dan marginal; sedangkan, klasifikasi 2 atau 3 dikaitkan dengan
pemisahan lengkap atau pusat (Schmidt P, 2020).

g. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


DIAGNOSIS
Anamnesis :
Riwayat dimulai dengan tinjauan perjalanan pranatal, terutama
lokasi plasenta pada sonogram sebelumnya dan jika ada riwayat
solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya. Kebiasaan pasien,
khususnya apakah merokok atau menggunakan kokain. Menanyakan
adanya trauma, terutama di area perut perlu dilakukan (Schmidt P,
2020).
Pemeriksaan Fisik :
Dengan palpasi uterus. Rahim diraba untuk mencari nyeri tekan,
konsistensi, dan frekuensi serta durasi kontraksi uterus, jika ada. Area
vagina diperiksa apakah ada perdarahan. Namun, pemeriksaan digital
serviks harus ditunda sampai sonogram diperoleh untuk lokasi
plasenta dan untuk menyingkirkan plasenta previa. Jika ada
perdarahan, kuantitas dan karakteristik darah, serta keberadaan
gumpalan, dievaluasi. Ingat, tidak adanya perdarahan vagina tidak
menghilangkan diagnosis solusio plasenta (Prawirohardjo, 2010).
Pemeriksaan Penunjang :
1. Ultrasonografi berguna untuk membedakannya dengan plasenta
previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG
tidak memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran

19
retroplasena yang normal mirip dengan gambaran perdarahan
retroplasenta pada solusio plasenta.
2. Color Doppler: Untuk menegakan diagnosis di mana tidak
terdapat sirkulasi darah yang aktif.
3. MRI bisa mendeteksi darah melalui deteksi methemogiobin,
tetapi dalam situasi darurat sepeni pada kasus solusio plasenta
tidaklah merupakan perangkat diagnosis yang tepat.
4. Laboratorium: Peningkatan Alfa-feto-protein serum ibu (MSAFP)
dan hCG serum ibu. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan
pembekuan darah (fibrinogen dan PT / a-PTT), dan BUN
memberikan parameter dasar untuk mengevaluasi perubahan
status pasien.
5. Tes Kleihauer-Betke untuk mendeteksi darah atau hemoglobin
janin dalam darah ibu tidak merupakan uji-coba yang berguna
pada diagnosis solusio plasenta karena perdarahan pada solusio
plasenta kebanyakan berasal dari belakang plasenta.

Evaluasi janin dengan auskultasi bunyi jantung janin dan tanyakan


tentang gerakan janin, khususnya perubahan pola aktivitas terkini.
Pemantauan janin elektronik secara terus menerus dimulai untuk
mengidentifikasi bradikardia yang berkepanjangan, penurunan
variabilitas dan adanya deselerasi lambat (Prawirohardjo, 2010).

DIAGNOSIS BANDING
Pendarahan selama paruh kedua kehamilan biasanya disebabkan
oleh solusio plasenta atau plasenta previa. Perbedaannya yakni
(Schmidt P, 2020) :
● Timbulnya gejala mendadak dan intens untuk solusio plasenta
tetapi tenang dan berbahaya untuk plasenta previa.
● Perdarahan dapat terlihat atau disembunyikan dengan solusio
plasenta dan eksternal dan terlihat dengan plasenta previa.

20
● Derajat anemia atau syok lebih besar dari kehilangan darah yang
terlihat pada solusio plasenta dan sama dengan kehilangan darah
di plasenta previa.
● Nyeri hebat dan akut pada solusio plasenta dan tidak berhubungan
dengan plasenta previa.
● Nada uterus tegas dan seperti papan di solusio plasenta dan
lembut dan rileks di plasenta previa.

21
h. TATALAKSANA
Semua pasien yang dicurigai menderita solusio plasenta harus
dirawat inap di rumah sakit yang berfasilitas cukup. Segera lakukan
pemeriksaan darah lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah
serta gambaran pembekuan darah dengan memeriksa waktu
pembekuan, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, kadar
fibrinogen, dan kadar hancuran fibrin dan hancuran fibrinogen dalam
plasma. Pemeriksaan dengan USG berguna untuk membedakannya
dengan plasenta previa dan memastikan janin masih hidup. Ketika
evaluasi status fetus, perlu konfirmasi dengan sonografik dari aktivitas
jantung fetus karena terkadang penggunaan elektroda pada fetus yang
sudah meninggal dapat disalahartikan karena merekam denyut jantung
maternal.
Tatalaksana pada wanita dengan solusio plasenta berbeda
tergantung kondisi klinis, usia kehamilan dan berapa banyak
perdarahan yang dialami. Selain itu perlu dilihat apakah sudah ada
tanda-tanda persalinan spontan atau belum dan tanda-tanda gawat
janin. Dengan fetus hidup berukuran viabel, dan kelahiran vaginal
belum ada tanda-tandanya, kelahiran darurat secara caesar yang
dipilih. Pada perdarahan yang cukup banyak segera lakukan
pemberian transfusi darah dan kristaloid yang cukup diikuti persalinan
yang dipercepat untuk mengendalikan perdarahan dan menyelamatkan
ibu sambil mengharapkan semoga janin juga bisa terselamatkan.
Umumnya kehamilan diakhiri dengan induksi atau stimulasi partus
pada kasus yang ringan atau janin telah mati, atau langsung dengan
bedah sesar pada kasus berat atau telah terjadi gawat janin.

22
Jika fetus sudah mati atau dipertimbangkan belum bisa hidup di
luar uterus, maka pelahiran vaginal yang menjadi pilihan, kecuali ada
perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi darah yang
banyak atau ada indikasi obstetrik lain yang menghendaki persalinan
dilakukan perabdominam. Hemostasis pada tempat implantasi
plasenta bergantung pada kekuatan kontraksi miometrium. Karenanya
persalinan pervaginam perlu diupayakan stimulasi miometrium secara
farmakologi atau masase agar kontraksi miometrium diperkuat dan
mencegah perdarahan yang hebat pasca salin sekalipun pada keadaan
masih ada gangguan koagulasi. Jika diagnosis solusio belum pasti
dan janin masih hidup dan tanpa bukti kompromi, maka observasi
ketat diperlukan dan adanya penanganan segera.
Bahaya utama untuk kelahiran sesar adalah koagulopati. Hal ini
mungkin berkurang jika janin masih hidup, sehingga solusio ‘kurang
parah’. Persiapan termasuk penilaian koagulabilitas -terutama
fibrinogen- dan rencana untuk penggantian darah dan komponennya
(Cunningham et al, 2014 ; Prawirohardjo, 2010).

Keadaan Emergensi :
● Darah diperiksa untuk melihat hemoglobin dan hematokrit, profil
koagulasi (level fibrinogen, FDP, protrombin time, APTT dan
platelet), ABO dan Rh, serta urin diperiksa untuk melihat protein.
● Berikan drip RL dan transfusi darah
● Monitoring ketat keadaan materal dan fetal.

Pilihan tatalaksana :
● Pada pasien yang sedang dalam persalinan
1) Persalinan pervaginam
Persalinan pervaginam dapat dipilih pada kasus :
★ Solusio plasenta terbatas
★ Terdapat fasilitas yang dapat memonitoring keadaan janin
★ Adanya tanda-tanda kelahiran segera
★ Solusio plasenta dengan janin yang sudah meninggal

23
Hemostasis di tempat implantasi plasentasi bergantung pada
kontraksi miometrium bukan pada koagulabilitas darah.
Sehingga, setelah persalinan pervaginam, agen uterotonik dan
pijat uterus digunakan untuk stimulasi kontraksi miometrium.
Ada kondisi dimana persalinan pervaginam tidak dipilih
walaupun janin telah meninggal. Contohnya adalah perdarahan
hebat yang tidak bisa ditatalaksana dengan penggantian darah.
Komplikasi obstetrik juga mencegah dilakukan persalinan
pervaginan seperti janin aterm dengan posisi melintang.
Pemecahan ketuban secepat mungkin menjadi andalan
dalam tatalaksana solusio plasenta. Keuntungan dilakukan
amniotomi adalah :
❖ Menginisiasi kontraksi miometrium dan proses persalinan
❖ Mempercepat persalinan
❖ Mengompresi arteri spiralis untuk menghentikan perdarahan
❖ Mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi
maternal
❖ Mengurangi risiko nekrosis korteks renal dan DIC.
Jika janin cukup matur, pemecahan ketuban dapat
mempercepat pelahiran. Jika janin masih imatur, kantong utuh
mungkin lebih efisien dalam membuka serviks. Jika kontraksi
ritmik uterus tidak diiringi dengan hipertonus dasar, maka dapat
diberikan oksitoksin dosis standar. Tidak ada data
mengindikasikan oksitoksin meningkatkan kemungkinan
tromboplastin ke sirkulasi maternal untuk memperburuk
koagulopati.
(Cunningham et al, 2014).
● Pada pasien yang tidak dalam masa persalinan
Bila terjadi perdarahan berlanjut, dan grade solusio lebih dari
grade I, maka tatalaksananya dapat dilakukan induksi persalinan
atau bedah sesar.
A. Induksi persalinan
Induksi persalinan sudah dilakukan oleh rupturnya membran
bawah. Oksitoksin dapat ditambahkan untuk mempercepat
persalinan. Persalinan umumnya berlangsung segera dan

24
persalinan komplit berlangsung cepat. Injeksi oksitoksin 10
IU IV (lambat) atau IM atau injeksi methergine 0,2 mg IV
diberikan untuk meminimalisir kehilangan darah post partum.
Oksitoksin dapat digunakan untuk meningkatkan tonus uterus
bersamaan dengan transfusi darah.

B. Bedah sesar
Indikasi adalah :
❏ Solusio plasenta dengan perdarahan berat, janin masih
hidup
❏ Amniotomi tidak dapat dilakukan
❏ Tidak adanya tanda persalinan segera
❏ Amniotomi gagal menghentikan abrupsi
❏ Amniotomi gagal menghentikan perdarahan
❏ Adanya komplikasi atau tanda gawat janin (fetal distress,
level fibrinogen turun, oliguria, dll)

(Cunningham et al, 2014 ; Konar, 2015)

25
i. KOMPLIKASI
● Perdarahan retroplasenta yang terus berlangsung sehingga
menimbulkan sebagai akibat pada ibu seperti anemia, syok
hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan
darah, gagal ginjal mendadak dan uterus Couvelaire.
● Sindrom Sheehan dapat terjadi pada penderita yang terhindar dari
kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang
menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis akibat solusio
plasenta.
● Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal paling
sering terjadi pada solusio plasenta.
● Komplikasi koagulopati.
● Kegagalan fungsi ginjal.
● Uterus couvelaire yaitu keadaan miometrium yang telah
mengalami infiltrasi darah jarang mengganggu kontraksinya
sampai menjadi atonia yang menyebabkan perdarahan berat pasca
persalinan. Uterus Couvelaire yang tidak sangat berat masih
dapat berkontraksi dengan baik jika isinya telah keluar dan akan
berkontraksi jika diberik oksitosin.
● Dapat terjadi rekurensi 4-12 %
● Atoni uterus
● DIC
● Perdarahan postpartum
● Sindroma insufisiensi fungsi plasenta yang mengakibatkan gawat
janin dan kematian janin. Gawat janin dikarenakan hipoksia
disebabkan oleh insufisiensi fungsi plasenta yang umumnya
sudah terjadi pada solusio plasenta sedang dan solusio plasenta
berat umumnya telah terjadi kematian janin.

(Schmidt, 2020 ; Prawirohardjo, 2010, Konar 2015)

26
j. PENCEGAHAN
● Deteksi dini dan beri terapi efektif dari preeklampsia dan
gangguan hipertensi pada kehamilan lainnya.
● Hindari trauma.
● Hindari hipotensi supine, pasien disarankan untuk berbaring pada
posisi lateral kiri pada kehamilan lanjut.
(Prawirohardjo, 2010; Konar, 2015)

k. PROGNOSIS
Prognosisnya tergantung pada saat pasien datang ke rumah sakit.
Jika pendarahan berlanjut, nyawa ibu dan janin dipertaruhkan.
Pemisahan plasenta parsial dikaitkan dengan mortalitas yang rendah
dibandingkan dengan pemisahan penuh; namun dalam kedua kasus,
tanpa operasi caesar darurat, kematian janin dapat terjadi. Saat ini,
kondisi tersebut menyebabkan 5-8% kematian ibu (Schmidt P, 2020).

2. PLASENTA PREVIA
a. DEFINISI
Plasenta Previa adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
plasenta yang terimplantasi dekat atau pada ostium serviks interna
(Tanto C dan Kayika IPG, 2014).
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau
sebagian dari ostium uteri internum. (Prawirohardjo S, 2010)

27
b. EPIDEMIOLOGI
Sebuah tinjauan sistematik melaporkan bahwa prevalensi plasenta
previa secara umum sebesar 5,2 per 1000 kehamilan per tahun. Angka
kejadian tertinggi dilaporkan pada studi di Asia dengan angka
prevalensi 12.2 per 1000 kehamilan, dan terendah pada studi di Sub
Sahara Afrika dengan prevalensi 2,7 per 1000 kehamilan (Cresswell
JA, Ronsmans C, Calvert C, Filippi V. 2013).
Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas
tinggi dan pada usia di atas 30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada
kehamilan ganda daripada kehamilan tunggal. Uterus bercacat ikut
mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum
Pemerintah dilaporkan insidennya berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9
%. Di negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1%
mungkin disebabkan berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi.
Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang
memungkinkan deteksi lebih dini, insiden plasenta previa bisa lebih
tinggi. (Prawirohardjo S, 2010)

c. ETIOLOGI
Faktor resiko dari plasenta previa adalah usia tua, multiparitas,
riwayat seksio sesarea sebelumnya, serta kebiasaan merokok (Tanto C
dan Kayika IPG, 2014).
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim
belum diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja
blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa
latar belakang lain. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai,
sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas ringgi, usia
lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi,
dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi
di endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor risiko

28
bagi terjadinya plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berperan
menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada perempuan perokok
dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat.
Hipoksemia akibat karbon mono-oksida hasil pembakaran rokok
menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi.
Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan
eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta
melebar ke segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau
seluruh ostium uteri internum. (Prawirohardjo S, 2010)

d. KLASIFIKASI
● Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang
menutupi seluruh ostium uteri internum.
● Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian
ostium uteri internum.
● Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada
pada pinggir ostium uteri internum.
● Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim sehingga bawahnya berada pada jarak lebih
kurang 2 cm dari ostium uteri.
(Konar, 2015)

29
(Sumber gambar : Konar, 2007)

30
e. PATOFISIOLOGI
Plasenta yang melekat pada segmen bawah rahim tidak dapat
mengikuti pembukaan serviks dan peregangan segmen bawah rahim
yang semakin membesar sesuai dengan pertambahan usia kehamilan.
Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim,
maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan
mengalami laserasi. Segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu
berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat
minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan
tertutup dengan sempurna. Semakin rendah letak plasenta, makin dini
pendarahan terjadi. Pembentukan segmen bawah rahim itu akan
berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan
mengulang keiadian perdarahan.
Perlu diperhatikan adaiah dinding segmen bawah rahim yang ripis
mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofobias, akibatnya
plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus (Prawirohardjo,
2010).
f. MANIFESTASI KLINIS
● Perdarahan terjadi di akhir trisemester kedua ke atas dengan
kondisi pendarahan uterus keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri.
● Plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen
sering ditemui bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis
dengan letak janin tidak dalam letak memanjang. Palpasi
abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak
regang.
(Prawirohardjo, 2010)
g. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
DIAGNOSIS
● Pemeriksaan fisik, posisi litotomi di atas meja operasi dilakukan
periksa dalam (vaginal toucher) untuk mendapat kesan ada atau

31
tidak ada bantalan antara jari dengan bagian terbawah janin untuk
mengetahui derajat klasifikasi plasenta.
● Jika plasenta lateralis atau marginalis dilanjutkan dengan
amniotomi dan diberi oksitosin drip untuk mempercepat
persalinan.
● Perdarahan banyak atau ternyata plasenta previa totalis, langsung
dilanjutkan dengan seksio sesarea.
● Pemeriksaan Penunjang:
- Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung
kemih yang dikosongkan akan memberi kepastian diagnosis
plasenta previa dengan ketepatan tinggi sampai 96 % - 98 %.
- Transvaginal ultrasonografi untuk medeteksi keadaan ostium
uteri internum dapat memprovokasi pendarahan lebih banyak.
- Magnetic Resonance Imagrng (MRI) juga dapat
dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta
termasuk plasenta previa terutama pada plasenta previa
posterior.
(Prawirohardjo, 2010)
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dapat sangat bervariasi. Pada trimester pertama
dan kedua, perdarahan vagina dapat terjadi akibat hematoma
subkorionik, servisitis, kanker serviks, aborsi mengancam, kehamilan
ektopik, atau kehamilan mola. Pada trimester ketiga, perdarahan
vagina bisa disebabkan oleh persalinan, solusio plasenta, vasa previa,
atau plasenta previa (Anderson, 2020).

32
h. TATALAKSANA
Tatalaksana pada pasien dengan plasenta previa bergantung dari
keadaan klinis masing-masing pasien. 3 faktor yang perlu
dipertimbangkan adalah usia janin dan kematangannya, kelahiran, dan
perdarahan serta keparahannya.
Jika fetus preterm dan tidak memiliki perdarahan aktif menetap,
tatalaksananya adalah observasi. Dapat diberikan tokolitik untuk
kontraksi uterus. Bose dan rekannya (2011) merekomendasikan
tokolitik dapat diberikan, tapi tidak lebih dari 48 jam administrasi.
Pada kehamilan antara 24 minggu sampai 34 minggu dapat diberikan
steroid dalam perawatan antenatal untuk pematangan paru.
Hal yang perlu dipertimbangkan adalah adaptasi fisiologis pasien
yang memperlihatkan keadaan klinis dengan tanda-tanda vital dan
hasil pemeriksaan laboratorium yang masih normal padahal bisa tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Jika perdarahan terjadi
dalam trisemester kedua, perlu diwaspadai karena perdarahan ulangan
biasanya lebih banyak. Jika ada gejala hipovolemia seperti hipotensi
dan takikardia, pasien tersebut mungkin telah mengalami perdarahan
yang cukup beat, lebih berat daripada penampakan klinisnya.
Transfusi darah yang banyak perlu segera diberikan.

33
Pada keadaan stabil dalam rawat jalan, hubungan suami istri dan
pekerjaan rumah dihindari kecuali jika setelah memeriksa USG
ulangan, dianjurkan minimal setelah 4 minggu, memperlihatkan
adanya migrasi plasenta menjauhi ostium uteri internum. Bila hasil
USG tidak demikian, pasien tetap diedukasi untuk mengurangi
kegiatan fisiknya dan dilarang pergi ke tempat jauh sebagai antipasi
terhadap terjadinya perdarahan ulangan. Dalam keadaan janin masih
prematur, dipertimbangkan pemberian sulfas magnetikus untuk
menekan his sementara waktu sembari memberi steroid untuk
mempercepat pematangan paru janin. Setelah perdarahan sudah
berhenti selama 2 hari dan fetus dinilai dalam keadaan sehat, pasien
diperbolehkan untuk pulang. Namun perlu diedukasi mengenai
kemungkinan kembali adanya perdarahan dan cepat kembali ke rumah
sakit bila perdarahan terjadi. Dalam kasus lain, pemanjangan rawat
inap adalah idealnya. Tidak ada perbedaan hasil antara pasien yang
dirawat inap dengan pasien rawat jalan. Perawatan di rumah lebih
ekonomis, dan pasien lebih bebas. Rawat inap kembali diberlakukan
bila keadaan menjadi lebih serius.
Pasien yang mendekati aterm dan tidak dalam perdarahan,
dibuatkan jadwal untuk persalinan saesar. Waktu sangat penting untuk
maksimalkan pertumbuhan fetus namun minimalkan kemungkinan
perdarahan antepartum. Serangan perdarahan ulang yang banyak,
perlu segera dilakukan terminasi bila keadaan janin sudah viabel. Bila
perdarahan tidak banyak, pasien dapat diistirahatkan sampai
kehamilan 36 minggu dan bila pada amniosentesis menunjukkan paru-
paru janin telah matang, terminasi dapat dilakukan. Dalam pelatihan
Institusi Kesehatan Nasional, wanita dengan plasenta previa dilakukan
persalinan terbaik pada 36 - 37 minggu kehamilan. Pasien dengan
diduga sindrom plasenta akreta, persalinan direkomendasi pada 34-35
minggu. Pada Rumah Sakit Parkland, menunggu sampai 37-38
minggu sebelum pelahiran.

34
Persalinan preterm dapat dilakukan dalam kondisi, seperti :
● Rekurensi perdarahan berat dan terus berlanjut
● Janin sudah meninggal
● Ditemukan adanya malformasi kongenital pada janin.
Persalinan
Persalinan caesar diperlukan pada semua wanita dengan plasenta
previa. Direkomendasikan untuk melakukan insisi vertikal dengan
pemberian anestesi regional. Pertimbangan ini dilakukan mengingat
perdarahan intraoperasi dengan anestesia regional tidak sebanyak
perdarahan pada pemakaian anestesia umum. Namun, pada pasien
dengan perdarahan berat sebelumnya, anestesia umum lebih baik
mengingat anestesia regional bisa menambah berat hipotensi yang
biasanya telah ada dan memblokir respons normal simpatetik terhadap
hipovolemia.
Pada pengangkatan plasenta, dapat ada kemungkinan perdarahan
tidak terkontrol akibat buruknya kontraksi otot dari segmen bawah
uterus. Ketika hemostasis di tempat implantasi plasenta tidak bisa
ditangani dengan tekanan, tempat implantasi dapat dijahit dengan
penjahitan 0-chromic. Selain itu beberapa penelitian yang berhasil
menggunakan cara penjahitan sirkular, penjahitan kompresi, Bakri
Balloon, kombinasi antara Bakri Ballon dengan penjahitan kompresi,
tamponade Foley Balloon, pemasangan kain kasa (pada kain kasa
akan diambil lagi setelah 12 jam kemudian secara transvaginal), dan
gel hemostasis serta embolisasi arteri pelvis.
Jika metode yang lebih konservatif ini gagal dan perdarahan cepat,
maka histerektomi diperlukan. Plasenta previa -terutama dengan
variasi plasenta yang melekat secara tidak normal- adalah yang paling
banyak menjadi indikasi yang sering untuk histerektomi peripartum di
Rumah Sakit Parkland dan dari laporan lain (Cunningham et al, 2014 ;
Prawirohardjo, 2010).

35
i. KOMPLIKASI
● Risiko perdarahan sering terjadi dan sulit dicegah sehingga
penderita menjadi anemia, bahkan syok.
● Plasenta mampu invasi menerobos ke dalam miometrium bahkan
sampai perimetrium dan menjadi sebab kejadian plasenta inkreta
dan bahkan plasenta perkreta. Paling ringan adalah plasenta
akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum
masuk ke dalam miometrium. Plasenta akreta dan inkreta berisiko
terjadinya retensio plasenta dan perdarahan dalam kala tiga.
● Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh
darah sangat potensial untuk robek disertai perdarahan yang
banyak.
● Berat badan lahir rendah
● Berisiko sering terjadi kelainan letak anak.
● Berisiko kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak
terhindarkan, sehingga sering dilakukan tindakan terminasi
kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan yang belum
aterm.
● Berisiko masa rawat lebih lama, solusio plasenta, seksio sesarea,
kelainan letak janin, perdarahan pasca persalinan, kematian
maternal akibat perdarahan, disseminated intravascular
coagulation (DIC).
(Prawirohardjo, 2010; Schmidt, 2020; Konar 2015)

36
(Sumber : Almnabri et al, 2017)

37
j. PENCEGAHAN
● Peningkatan fasilitas semua perangkat keras maupun perangkat
lunak di setiap rumah sakit, walaupun hal tersebut belum
menurunkan angka kematian maternal dan perinatal. Seperti
pengadaan alat color Doppler blood flow enhancement yang dapat
membantu diagnosis dari plasenta previa, invasi plasenta ke
miometrium uterus, dan vasa previa.
● Adanya kesetaraan gender dan hak perempuan menentukan apa
yang baik bagi dirinya, berapa kali berencana hamil dan
melahirkan, perlu direalisasikan di masyarakat.
● Pasien risiko tinggi harus dikenal dan dirujuk sedini mungkin.
● Setiap perdarahan bila terjadi dalam kehamilan lanjut atau dalam
persalinan haruslah tidak boleh diabaikan.
(Prawirohardjo, 2010, Konar 2015)
k. PROGNOSIS
● Prognosis Neonatal
Ada peningkatan mortalitas dan morbiditas neonatal tiga kali
lipat hingga empat kali lipat dengan plasenta previa terutama dari
persalinan prematur. Neonatus berada pada peningkatan risiko
kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, skor APGAR lebih
rendah, dan peningkatan risiko sindrom gangguan pernapasan.
● Prognosis Ibu
Sekitar 90% kasus plasenta previa sembuh melalui
persalinan menunjukan bahwa wanita dengan plasenta anterior
memiliki faktor prognostik yang lebih buruk dan lebih mungkin
mengalami kehilangan darah masif dan tingkat histerektomi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain.

38
Hasil ini terjadi setelah plasenta menempel pada insisi
uterus sebelumnya yang menyebabkan PAS dan insisi melewati
plasenta. Pasien dengan plasenta previa yang dikonfirmasi
berisiko mengalami transfusi darah, cedera pada organ terdekat,
histerektomi sesar (0,2%), masuk perawatan intensif, dan
kematian. Ada juga peningkatan risiko pada kehamilan berikutnya
(Anderson, 2020).

39
DAFTAR PUSTAKA

Almnabri AA, Al Ansari A, Abdulmane MM, Saadawi DW, Almarshad TA,


Banoun AA, Mufti NS, Bati BS, Almarwanie MS, Alahdal LA, Ebrahim
AMM, Al-Hasani SM, Alghamdi MA. 2017. Management of Placenta
Previa During Pregnancy. The Egyptian Journal of Hospital Medicine. Vol.
68. No. 3. Available at http://egyptianjournal.xyz/683_37.pdf [diakses pada
10 Januari 2021].
Anderson Bagga FM, Sze A. Placenta Previa. NCBI 2020. Available:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539818/
Cresswell JA, Ronsmans C, Calvert C, Filippi V. 2013. Prevalence of placenta
praevia by world region: a systematic review and meta-analysis. Trop Med
Int Health. 18 (6) : 712-24
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL,
Casey BM, Sheffield JS. 2015. Williams Obstetric. Ed. 24. Mc-Graw Hill
Education
Dorland NWA. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Tanto C dan Kayika IPG. 2014. Perdarahan pada Kehamilan Tua dalam buku
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Asclepius
Thomson AJ and Ramsey JE. 2011. Antepartum Haemorrhage. Royal College of
Obstetrician & Gynaecologists: London. NICE
Tsen L. 2007. Antepartum Hemorrhage - Complication in Anesthesia. Ed. 2.
Elsevier
Prawirohardjo S. 2010. Ilmu Kebidanan. Ed. 4. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Schmidt P, Skelly CL, Raines DA. Placental Abruption. NCBI 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482335/
Konar H. 2015. DC Dutt’s Textbook of Obstetric. Ed. 8. Jaypee Brothers Medical
Publishers.

40

Anda mungkin juga menyukai