Anda di halaman 1dari 34

Penyidikan Kasus Korupsi

Jiwasraya, Kejagung Sita


Aset Senilai Rp 18,4 Triliun
Kamis, 2 Juli 2020 | 17:22 WIB
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus Ali Mukartono (tengah) ketika
ditemui di Kompleks Kejagung, Jakarta
Selatan, Selasa (3/3/2020
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengungkapan
kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya
(Persero) terus bergulir.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali
Mukartono mengatakan, hingga saat ini tim
penyidik telah melakukan penyitaan aset
Jiwasraya senilai Rp 18,4 triliun.
"Penyidik telah melakukan penyitaan aset
senilai Rp 18,4 triliun, melebihi kerugian
keuangan negara sebesar Rp 16,8 triliun,"
kata Ali dalam rapat bersama Komisi III DPR,
Kamis (2/7/2020).
Ia mengatakan, penyitaan aset itu
merupakan bentuk upaya Kejagung dalam
memenuhi hak nasabah atau pemegang
polis Asuransi Jiwasraya.
"Upaya tersebut merupakan bentuk upaya
kejaksaan dalam memenuhi hak-hak para
nasabah," ucap Ali.
Kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya
disebutkan menyebabkan kerugian negara
hingga Rp 16,81 triliun.
Kerugian negara itu terdiri atas kerugian
akibat investasi saham sebesar Rp 4,65
triliun dan kerugian akibat investasi
reksadana Rp 12,16 triliun.
7 Orang & 13 MI Tersangka,
Ada Korupsi Berjamaah
Jiwasraya?
dob, CNBC Indonesia
MARKET
 
25 June 2020 21:51
beberapa pekan terakhir, akhir Kejaksaan
Agung (Kejagung) mengumumkan tersangka
baru dalam dugaan korupsi dan tindak
pidana pencucian uang skandal PT Asuransi
Jiwasraya.
Pengumuman ini merupakan gebrakan
sekaligus babak baru dalam penyidikan
kasus Jiwasraya yang telah berjalan
berbulan-bulan. Tak tanggung-tanggung,
Kejagung menetapkan seorang pejabat
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan 13
perusahaan yang merupakan manajer
investasi sebagai tersangka.
Pejabat OJK tersebut adalah Fakhri Hilmi
yang saat ini menjabat sebagai Deputi
Komisioner Pengawasan Pasar Modal II OJK.
Adapun 13 tersangka korporasi adalah PT.
Dhanawibawa Manajemen Investasi / PT
Pan Arcadia Capital (DMI/PAC), PT OSO
Manajemen Investasi (OMI), PT
Pinnacle Persada Investama (PPI), PT
Millenium Danatama Indonesia/PT.
Millenium Capital Management
(MDI/MCM), dan PT Prospera Asset
Management (PAM).
Berikutnya, PT MNC Asset Management
(MNCAM), PT Maybank Asset Management
(MAM), PT GAP Capital (GAPC), PT Jasa
Capital Asset Management (JCAM), PT Pool
Advista Asset Management (PAAA), PT
Corfina Capital (CC), PT Treasure Fund
Investama Indonesia (TFII), dan PT Sinarmas
Asset Management (SAM).
Para tersangka ini menyusul 6 orang yang
telah duduk di kursi pesakitan terlebih
dahulu. Mereka adalah Dirut PT Hanson
International Tbk (MYRX) Benny
Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada
Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat,
Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono
Tirto, Mantan Direktur Keuangan Jiwasraya
Hary
Prasetyo, mantan Direktur Utama Jiwasraya
Hendrisman Rahim, dan mantan Kepala
Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya
Syahmirwan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung
Hari Setiyono mengatakan Fakhri Hilmi dan
13 Manajer Investasi yang menjadi
tersangka hari ini, disangkakan pasal dugaan
korupsi yakni Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999
juncto (jo) UU 20/2001 jo Pasal 56 KUHP.
Adapun pasal subsidair yakni
Pasal 3 UU 31/1999 jo UU No 20/2001 jo
Pasal 56 KUHP.
Selain itu, 13 manajer investasi tersebut
juga dikenakan perkara tambahan, yakni
dugaan tindak pidana pencucian uang
(TPPU). Adapun pasal yang disangkakan
adalah Pasal 3 UU 8/2010 jo Pasal 55 Ayat
(1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sementara pasal subsidair adalah Pasal 4
UU 8/2010 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Melihat banyaknya para tersangka,
kronologi kasus serta pasal-pasal yang
disangkakan tercermin bahwa perkara ini
merupakan diduga merupakan tindak
pidana korupsi berjamaah. Namun, apakah
mereka semua terlibat atau tidak bersalah,
kita tunggu saja!
Begini Kronologi Kasus
Jiwasraya dari 2004 Versi
OJK
28 Januari 2020 - 13:07 WIB, Oleh : Wibi
Pangestu Pratama
Harianjogja.com, JAKARTA -- Kasus yang
membelit PT Jiwasraya telah
membuat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
angkat bicara.  Presiden keenam RI ini
menulis panjang catatan tentang kasus
tersebut.
Menurutnya permasalahan gagal bayar
Jiwasraya berakar dari merosotnya kondisi
keuangan perusahaan 3 tahun terakhir.
Tidak seharusnya dibelokan menjadi
permasalahan semenjak dirinya memimpin.
SBY juga mempertanyakan kenapa dengan
cepat dan mudah menyalahkan Kabinet
Indonesia Bersatu 2004-2009 dan 2009-
2014. Padahal, SBY mengklaim krisis besar,
atau
jebolnya keuangan Jiwasraya itu terjadi tiga
tahun terakhir.
"Karenanya, di hadapan staf dan beberapa
tamu saya di rumah yang merasa tidak
terima jika lagi-lagi saya yang disalahkan,
saya sampaikan komentar ringan saya.
Intinya, kalau memang tak satupun di negeri
ini yang merasa bersalah, dan tak ada pula
yang mau bertanggung jawab, ya salahkan
saja masa lampau," kata SBY dalam
keterangan tertulisnya dikutip
Selasa (28/1/2020).
Lalu bagaimana kronologis kasus ini
sehingga SBY merasa seharusnya fokus
penelusuran keuangan seharusnya dalam 3
tahun terakhir? Otoritas Jasa Keuangan
sebagai wasit Industri Keuangan Non Bank
(IKNB) dalam kesempatan terpisah telah
merilis kronologis kasus Jiwasraya.
Deputi Komisioner Humas dan Manajemen
Strategis OJK Anto
Prabowo menyampaikan permasalahan
Jiwasraya memang telah terlihat semenjak
2004. Kala itu, Jiwasraya melaporkan ke
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK) -- yang kemudian
bersalin rupa menjadi bagian dari OJK --
Perusahaan melaporkan cadangan yang
lebih kecil daripada seharusnya.
Insolvency atau defisit yang ditanggung
Jiwasraya mencapai Rp 2,769 T. Dua tahun
kemudian
atau pada 2006 laporan keuangan
menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif
Rp3,29 Triliiun karena asset yang dimiliki
jauh lebih kecil dibandingkan dengan
kewajiban.
Atas kondisi ini, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) memberi opini disclaimer atas laporan
keuangan Jiwasraya 2006 dan 2007.
Pada 2008-2009, kondisi defisit semakin
dalam yakni Rp5,7 T
(2008) dan Rp6,3 T (2009). Pada 2009 ini
untuk memeberikan ruang bertahan, direksi
melakukan langkah penyelamatan jangka
pendek dengan re-asuransi.
Selanjutnya pada 2010-2011 skema re-
asuransi membuat perusahaan mencatatkan
surplus sebesar Rp1,3 T akhir 2011.
Bapepam-LK meminta Jiwasraya
menyampaikan alternatif
penyelesaian komprehensif dan
fundamental yang sifatnya jangka panjang.
Selanjutnya, 2012, Bapepam-LK yang berada
di bawah Kementerian Keuangan
memberikan ijin produk JS Proteksi Plan (18
Desember 2012 ). Produk ini kemudian
dijual oleh Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD
Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY.
Model bisnis re-asuransi
membuat laporan keuangan Per 31
Desember 2012 makin kuat. Jiwasraya
mencatatkan surplus sebesar Rp1,6 T.
OJK mencatat, jika skema reasuransi
diabaikan sejatinya Jiwasraya telah
menanggung defisit Rp3,2 triliun.
Model bisnis ini sederhananya, Jiwasraya
mengalihkan beban risiko klaim ke
perusahaan reasuransi. Model ini jamak
dijalankan oleh perusahaan
asuransi untuk membagi risiko. Meski begitu
perusahaan asuransi masih menanggung
risiko sendiri hingga persentase tertentu.
Pada 2013, di bawah rezim OJK maka
pemegang saham Jiwasraya yakni
Kementerian BUMN diminta menyiapkan
langkah alternatif penyelamatan.
Perusahaan tercatat memiliki solvabilitas
yang kurang dari 120%.
Solvabilitas merupakan rasio
kemampuan perusahaan menyelesaikan
seluruh kewajiban klaim jika perusahaan
harus mengalami kondisi terburuk dan
tutup. OJK menetapkan perusahaan harus
memiliki rasio kekayaan 120 persen di atas
kewajiban.
Anto menyebutkan, direksi Jiwasraya
menyampaikan alternatif penyehatan
berupa penilaian kembali asset tanah dan
bangunan sesuai dengan standar akuntansi
keuangan
konvergen IFRS. Sebelum dinilai maka aset
ini tercatat sebesar Rp278,2 miliar. Setelah,
direvaluasi menjadi Rp6,56 T. Meski rasio
aset membesar, tidak ada uang tunai masuk
ke kas perusahaan.

OJK pada 2015 melakukan pemeriksaan


langsung terhadap Jiwasraya dengan aspek
pemeriksaan investasi dan pertanggungan.
Dasarnya audit BPK di 2015 menunjukkan
terdapat dugaan penyalahgunaan
wewenang dan laporan asset investasi
keuangan yang melebihi dari realita. BPK
juga menyoroti pencatatan kewajiban di
bawah nilai sebenarnya.
Selama 2013-2017 ini, pendapatan premi
Jiwasraya meningkat karena penjualan
produk JS Saving Plan dengan periode
pencairan setiap tahun terus membesar.
Asuransi dwiguna satu tahun ini
memberikan arus kas yang besar kepada
Jiwasraya karena menawarkan imbal hasil
tinggi serta masa perlindungan asuransi
yang panjang.
OJK pada periode ini, kata Anto, telah
meminta Jiwasraya mengevaluasi JS Saving
Plan agar sesuai kemampuan pengelolaan
investasi oleh perusahaan.
Pada 2017, gejala permasalahan mulai
muncul di Jiwasraya. OJK
kemudian memberikan sanksi peringatan
pertama karena perusahaan terlambat
menyampaikan laporan aktuaris 2017.
Meski begitu, OJK menerima bahwa laporan
keuangan Jiwasraya 2017 masih positif.
Pendapatan premi JS Saving Plan mencapai
Rp21 T, laba Rp2,4 T atau naik 37,64% dari
2016. Ekuitas perseroan surplus Rp5,6 T
tetapi kekurangan cadangan premi Rp7,7 T
karena belum
memperhitungkan penurunan asset.
Pada April 2018, OJK bersama dengan
direksi membahas adanya pendapatan
premi yang turun cukup signifikan akibat
diturunkannya imbal hasi atas produk JS
Saving Plan setelah dilakukan evaluasi atas
produk tersebut.
Selanjutnya Kementerian BUMN mengganti
Direksi Jiwasraya pada Mei 2018. Direksi
baru
melaporkan terdapat ketidakberesan
laporan keuangan di perusahaan kepada
Kementrian BUMN.
Hasil audit KAP atas laporan keuangan
Jiwasraya 2017 antara lain mengoreksi
laporan keuangan interim yang semula
mencatatkan laba sebesar Rp2,4 T menjadi
Rp428 miliar.
Kantor akuntan publik PWC sendiri telah
mengaudit Jiwasraya sejak 2016. Pada 10
Oktober 2018 direksi baru Jiwasraya
mengumumkan tidak dapat membayar
klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo
sebesar Rp802 miliar
OJK kemudian memanggil direksi Jiwasraya
pada 23 November 2018 dengan agenda
pembahasan kondisi perusahaan pada
triwulan III 2018 dan upaya yang telah
dilakukan oleh manajemen Perusahaan.
Kemudian dalam Laporan Audit
BPK 2018 diketahui Jiwasraya melakukan
investasi pada asset berisiko untuk
mengejar imbal hasil tinggi. Langkah ini
mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Memasuki 2019, Jiwasraya kembali
terlambat menyampaikan Laporan
keuangan 2018. Atas kondisi ini OJK
mengenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pada tahun ini juga sebagai
bagian dari skenario pengembalian uang
nasabah yang dirancang pemegang saham,
OJK mengeluarkan ijin pembentukan anak
usaha JS yaitu Jiwasraya Putra.
Manajemen Jiwasraya menyebutkan
membutuhkan suntikan modal Rp32,89
triliun untuk memenuhi rasio kecukupan
solvabilitas atau modal berbasis risiko (RBC)
120%.
Pasalnya, aset perusahaan
tercatat hanya sebesar Rp23,26 T sedangkan
kewajiban sebesar Rp50,5 T. Terjadi defisit
Rp27,24 T. Sedangkan kewajiban yang harus
dibayar pada produk JS Saving Plan sebesar
Rp15,75 T

Anda mungkin juga menyukai