Anda di halaman 1dari 114

MAKALAH

TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT 2

Dosen Pengampu : Dhian Luluh Rohmawati, S.Kep.Ns., M.Kep., Sp., KMB.

TINGKAT 3A :

ARGA PRAMUDYA SAMPITA

015.19.17.324

YAYASAN PENDIDIKAN KESEHATAN KETONGGO


AKADEMI KEPERAWATAN PEMKAB NGAWI
2019
1. Pengkajian Pada Sistem Pernapasan

1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau
peningkatan frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran
secara menyeluruh apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan apakah
tampak mengalami kesukaran bernafas. Perlu diperhatikan juga apakah klien
berubah menjadi sensitif dan cepat marah (iritability), tanpak binggung
(confusion), atau mengantuk (somnolen). Yang tak kalah penting ialah
kemampuan orientasi klien terhadap tempat dan waktu. Hal ini perlu
diperhatikan karena gangguan funngsi paru akut dan berat sering direfeksikan
dalam bentuk perubahan status mental. Selain itu, gangguan keadaan sering
pula dihubungkan dengan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidemia karena gas
beracun. Selain itu kaji riwayat penyakit masa lalu, riwayat penyakit keluarga,
lingkungan serta habits/ kebiasaan.
2. Pengkajian Primer
a. Airway (Jalan nafas)
Kaji suara nafas, adakah suara nafas tambahan abnormal, kaji adakah
sumbatan jalan napas.
b. Breathing (pernapasan)
Kaji frekuensi napas, sesak/tidak, adakah otot bantu pernapasan, irama
napas, kedalaman dan batuk.
c. Circulation (sirkulasi)
Kaji nadi, irama, denyut, TD, akral pada ekstremitas, warna kulit, adakah
nyeri dada, CRT dan kaji adakah edema.
d. Disability
- Alert : pasien mengalami penurunan kesadaran
- Voice respon : pasien masih berespon terhadap suara
- Pain respon : pasien berespon terhadap nyeri
- Unrespon : pasien masih dapat berespon
- Reaksi pupil : membesar saat diberi rangsangan

1
e. Exposure (Environtment/Event)
- Pemeriksaan seluruh bagian tubuh : Terdapat jejas pada regio dada
kanan lateral bawah dan diarah kepada bagian belakang
- Penyebab kejadian : Kecelakaan Lalu Lintas

2
2. Pengkajian Pada Sistem Perkemihan

Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam


nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka
trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan
prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka
dan bersihkan jalan napas.
a. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,
periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas.
Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
b. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk
memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan
status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
c. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal
dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-
tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada
dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali
bantuan napas).
d. Disability
- Alert : pasien mengalami penurunan kesadaran
- Voice respon : pasien masih berespon terhadap suara
- Pain respon : pasien berespon terhadap nyeri
- Unrespon : pasien masih dapat berespon
- Reaksi pupil : membesar saat diberi rangsangan

3
e. Exposure (Environtment/Event)
- Pemeriksaan seluruh bagian tubuh : terdapat trauma tumpul maupun
non tumpul
- Penyebab kejadian : Kecelakaan Lalu Lintas, ditusuk, ditembak dll

Penanganan awal trauma non-penetrasi (trauma tumpul)

1)      Stop makanan dan minuman

2)      Imobilisasi

3)      Kirim ke rumah sakit

4)      Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)

Penanganan awal trauma penetrasi (trauma tajam)

1)      Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.

2)      Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan


kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak
memperparah luka.

3)      Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.

4
4)      Imobilisasi pasien

5)      Tidak dianjurkan memberi makan dan minum

6)      Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.

7)      Kirim kerumah sakit

5
3. Pengkajian Pada Sistem Pencernaan
Pengkajian kegawatdaruratan pada sistem pencernaan dapat dilakukan dengan
ABCDE sebagai berikut :

1. Airway
Menjaga airway dengan kontrol servikal (cervikal spine control)
2. Breathing
Menjaga pernafasan dengan ventilasi control (ventilation control)
3. Circulation
Dengan mengontrol pendarahan (bleeding control) dimana nadi
biasanya lemah, kecil dan cepat. Tekanan darah sistolik dan diastole
menunjukan adanya tanda syok hipovolemik, hitung MAP dan CRT
kurang atau lebih dari 3 detik.
4. Disability
Status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, respon pupil) dapat dinilai
menggunakan skala AVPU yaitu
Alert : klien masih sadar
Verbal : klien berespon dengan adanya suara
Pain : klien berespon dengan adanya rangsangan nyeri
Unrespon : klien tidak berespon baik dengan adanya suara maupun
rangsangan nyeri
5. Exposure
Buka baju penderita tetapi cegah hipotermia, lihat adanya jejas,
pendarahan dan bila adanya pendarahan segera ditangani dengan balut
tekan atau segera masuk ke kamar operasi untuk dilakukan laparotomy
eksplorasi.

6
4. Pengkajian Pada Sistem Integumen
Terjadinya luka pada sistem integumen seperti luka bakar dapat dilakukan
pengkajian dengan ABCDE sebagai berikut :

1. Airway
Pada kasus sistem integumen seperti luka bakar salah satunya kaji jalan
pernafasan apakah terdapat cilia pada saluran pernafasan mengalami
kerusakan yang disebabkan oleh inhalasi. Tanda-tanda adanya trauma
inhalasi antara lain riwayat terkurung dalam api, likaakar pada wajah, bulu
hidung yang terbakar dan sputum yang hitam. Kaji apakah terjadi
obstruksi jalan nafas pada pasien dengan look, listen, chin lift and jaw
thrust. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cidera tulang belakang.
2. Breathing
Look, listen and feel terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien. Kaji
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien dan masalah pernafasan
yang mengancam jiwa lainnya dan beri terapi sesuai kebutuhan.
3. Circulaation
Luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan
edema. Pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolemik karena
kebocoran plasma yang luas. Manajemen cairan pada pasien luka bakar
ada 2 cara yang lazim dapat diberikan yaitu dengan Formula Baxter dan
Evans. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan sampai defibrilasi
siap digunakan.
4. Disability
Cek tingkat kesadaran pasien GCS dan respon pupil. Dapat juga dinilai
dengan skala AVPU yaitu :
Alert : klien masih sadar
Verbal : klien berespon dengan adanya suara
Pain : klien berespon dengan adanya rangsangan nyeri

7
Unrespon : klien tidak berespon baik dengan adanya suara maupun
rangsangan nyeri

5. Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien, jika
memiliki luka bakar derajad tinggi maka imobilisasi in-line penting
dilakukan. Lakukan log roll ketika pemeriksaan pada punggung pasien.
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill). Kontrol pendarahan dengan memberikan penekanan
secara langsung.

6. Bantuan Pernafasan Melalui Bag Valve Mask

1. Pengertian

BVM atau Bag Valve merupakan alat bantu pernafasaan yang terdiri dari bag
yang berfungsi untuk memompa oksigen udara bebas, valve/pipa berkatup dan
masker yang menutupi mulut dan hidung. Ambubag ini biasanya digunakan untuk
memberikan tekanan pada sistem pernafasaan pasien yang henti nafas atau yang
nafasnya tidak ang tidak adekuat. Alat ini umumnya merupakan bagian dari
peralatan resusitasi untuk tenaga ahli, seperti pekerja ambulans. Alat ini
digunakan secara ekstensif diruang operasi untuk bantuan pernafasan pasien
pasien yang tidak sadar pada saat sebelum diberikan bantuan pernafasan mekanik.

2. Fungsi

Untuk memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memperbaiki pernafasan


buatan untuk menjamin kebutuhan adanya oksigen, dan untuk menjamin
pertukaran antara oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) yang terjadi di paru-
paru secara normal.

3. Indikasi dan Kontraindikasi bantuan nafas dengan Bag Valve Mask

Indikasi bantuan napas dengan Bag Valve Mask yaitu sebagai berikut.

8
a. Pasien dengan gangguan sistem pernapasan dan memerlukan bantuan
pernapasan.
b. Pasien dengan henti nafas.
c. Pasien dengan cardiac arrest.
d. Pasien dengan respiratory failure.
e. Pasien yang sebelum, selama atau sesudah menjalani suction.

Kontraindikasi dilakukan bantuan napas dengan Bag Valve Mask yaitu


sebagai berikut :

a. Trauma wajah parah.


b. Cedera mata terbuka
c. Pemakaian benda asing dalam rongga mulut (Contoh: pemakaian kawat
gigi, pemakaian gigi palsu).
4. Cara kerja
a) Persiapan tempat dan alat
1) Persiapan alat Ambubag.
2) Persiapan tempat Tempat yang aman, datar, dan keras.

Persiapan Pasien

1) Memperkenalkan diri sebagai petugas kesehatan.


2) Menjelaskan maksud dan tujuan.
3) Menyiapkan posisi pasien terlentang di tempat yang aman, datar
dan keras.
b) Persiapan Lingkungan Mengatur lingkungan yang aman dan nyaman dan
cukup penerangan.
c) Pelaksanaan
1) Perawat memeriksa pernapasan dengan cara :
o Look (Lihat) : Gerak dada, gerak cuping hidung (flaring
nostril), retraksi sela iga
o Listen (Dengar) : Suara nafas, suara tambahan

9
o Feel Rasakan : Udara nafas keluar hidung-mulut
2) Perawat menilai pernapasan.
3) Menilai tanda-tanda distress nafas, jika tanda-tanda muncul lakukan
pemberian nafas buatan menggunakan ambubag.
4) Mengangkat rahang bawah pasien untuk mempertahankan jalan
nafas terbuka.
5) Menekan sungkup pada muka pasien secara kuat.
6) Memompa udara dengan cara tangan satu memegang bag sambil
memompa udara dan yang satunya memegang dan memfiksasi
masker, pada saat memegang masker ibu jari dan jari telunjuk
membentuk huruf C sedangkan jari-jari lainnya memegang rahang
bawah sekaligus membuka jalan napas dengan membentuk huruf E.
7) Lakukan sebanyak 10-12 kali/menit sampai dada nampak terangkat.
8) Evaluasi pernapasan.
9) Bereskan alat-alat.
d) Sikap selama pelaksanaan Cepat, tepat, dan hati-hati.
e) Dokumentasi
1) Pastikan pernapasan pasien tetap stabil
2) Observasi pasien, bila terjadi henti nafas dan henti jantung dilakukan
resusitasi.

7. Pemasangan Opa (Oropharyngeal Airway)


A. Pengertian

Oropharyngeal tube adalah sebuah tabung / pipa yang


dipasang antara mulut dan pharynx pada orang yang tidak sadar
yang berfungsi untuk membebaskan jalan nafas. (Medical
Dictionary)
Pembebasan jalan nafas dengan oropharyngeal tube adalah cara
yang ideal untuk mengembalikan sebuah kepatenan jalan nafas yang
menjadi terhambat oleh lidah pasien yang tidak sadar atau untuk
membantu ventilasi (Sally Betty,2005)

10
Oropharyngeal tube adalah alat yang terbuat dari karet bengkok
atau plastik yang dimasukkan pada mulut ke pharynx posterior untuk
menetapkan atau memelihara kepatenan jalan nafas. (William dan
Wilkins).

Pada pasien tidak sadar, lidah biasanya jatuh ke bagian


pharynx posterior sehingga menghalangi jalan nafas, sehingga
pemasangan oropharyngeal tube yang bentuknya telah disesuaikan
dengan palatum / langit-langit mulut mampu membebaskan dan
mengedarkan jalan nafas melalui tabung / lubang pipa. Dapat juga
berfungsi untuk memfasilitasi pelaksanaan suction. Pembebasan jalan
nafas dengan oropharingeal tube digunakan dalam jangka waktu pendek
pada post anastesi atau langkah postictal. Penggunaan jangka panjang
dimungkinkan pada pasien yang terpasang endotracheal tube untuk
menghindari gigitan pada selang endotraceal. trakea. Pada penderita
dengan bantuan jalan nafas oropharyngeal ini merupakan benda asing
dalam tubuh pasien sehingga sering menjadi tempat ditemukan berbagai
koloni bakteri, yang sering ialah Pseudomonas aeruginosa dan kokus
gram positif. Pada fiksasi oropharyngeal tube juga sering kali
menimbulkan penekanan pada salah satu sisi bibir pasien sehingga bisa
menyebabkan luka/nekrotik sebagai penyebab masuknya kuman ke
dalam tubuh pasien.

B. Organ-organ yang terlibat dalam oropharyngeal airway

1. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)

2.Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan


faring,terdapat pangkal lidah)
3. Laringofaring(terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran
makan

11
C. Indikasi dan Kontra Indikasi

1. Indikasi

Adapun indikasi pemasangan oropharyngeal tube adalah sebagai berikut :

a. Pemeliharaan jalan nafas pasien dalam ketidaksadaran,

b. Melindungi endotracheal tube dari gigitan,

c. Memfasilitasi suction pada jalan nafas

2. Kontra indikasi

Tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan sadar ataupun semi sadar
karena dapat merangsang muntah, spasme laring.
Harus berhati-hati bila terdapat trauma oral.

D. Konsep Fisiologi / Pengaruh Terhadap Tubuh

Pemasangan oropharengeal tube meniadakan proses pemanasan dan


pelembaban udara inspirasi kecuali pasien dipasang ventilasi mekanik dengan
humidifikasi yang baik. Perubahan ini menyebabkan gagalnya silia mukosa
bronkus mengeluarkan partikel-partikel tertentu dari paru. Discharge trakea
berkurang dan menjadi kental, akhirnya terjadi metaplasia skuamosa pada epite

E. Prinsip Pencegahan Infeksi

Untuk pencegahan infeksi, digunakan prosedur yang bersih baik itu dari
peralatan dan juga lingkungan bersih dalam melakukan prosedur tindakan. Untuk
perawatan, jaga kebersihan mulut setiap 2 sampai 4 jam jika dibutuhkan.
Oropharyngeal tube dapat direndam di baskom yang telah diisi air kemudian
dibilas dengan larutan hydrogen peroxida dan air.

F. Prinsip / Hal Lain Untuk Pemasangan Oropharyngeal tube

12
− Cara pemasangan yang tidak tepat dapat mendorong lidah ke belakang
atau apabila ukuran terlampau panjang, epiglotis akan tertekan sehingga
menyebabkan jalan nafas tersumbat
− Hindarkan terjepitnya lidah dan bibir antara gigi dan alat

− Jangan gunakan alat ini pada pasien dimana refleks faring masih ada
karena dapat menyebabkan muntah dan spasme laring.

G. Hal Yang Dikaji Sebelum Tindakan

Hal yang dikaji sebelum tindakan pemasangan oropharyngeal tube

Pastikan pasien dalam keadaan tidak sadar. Pemaksaan pemasangan alat ini akan
menimbulkan “gag reflek” atau muntah yang mungkin menyebabkan aspirasi.
Perhatikan dan ukur besarnya oropharyngeal tube yang akan dipakai

H. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

1) Kerusakan pertukaran gas spontan

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

3) Kerusakan menelan

4) Resiko infeksi

I. Outcome Yang Ingin Dicapai Dari Pemasangan Oropharingeal Tube Tujuan


pemasangan oropharyngeal tube adalah :

13
Menjaga kepatenan jalan nafas pasien,
Tujuan perawatan orupharyngeal tube adalah :

Menjaga jalan nafas tetap paten


Mencegah terjadinya infeksi

J. Persiapan Alat, Lingkungan dan Pasien Sebelum Terapi Oksigen Diberikan

1. Persiapan Alat

− Mayo / Guidel / oropharyngeal tube berbagai ukuran

− Sarung tangan

− Plaster

− Bengkok

− Tounge spatel

− Kasa

− Suction

− Selang penghisap

2. Persiapan Lingkungan

− Ciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman serta

kooperatif
− Siapkan sampiran atau sketsel

3. Persiapan Pasien

14
− Informasikan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan

− Posisikan klien terlentang, upayakan sedekat mungkun dengan bagian

atas empat tidur

− Pastikan pasien dalm keadaan aman untuk dilakukan tindakan

− Pastikan tidak terdapat reflek faring


Prosedur Tindakan Pemasangan oropharyngeal tube

1) cuci tangan, gunakan sarung tangan.

2) pilihlah ukuran airway yang sesuai dengan pasien. Hal ini mungkin dilakukan
dengan menempatkan jalan napas di pipi pasien dengan bagian datar di bibir.
Ujung dari jalan napas harus ada di dagu pasien.
3) Masukkan jalan napas dengan mengikuti salah satu cara dibawah ini.

Balik jalan napas sehingga bagian atasnya menghadap kemuka. Mulai untuk
memasukkan jalan napas ke mulut. Sebagaimana jalan napas mendekati
dinding posterior Faring dekat lidah belakang, putar jalan napas pada posisi
yang seharusnya (180 º) Gunakan penekan lidah , gerakkan lidah keluar untuk
menghindari terdorong ke belakangmasuk faring posterior. Masukkan jalan
napas oral ke dalam posisi yang seharusnya dengan bagian atas masuk
kebawah dan tidak perlu diputar.

15
4) Jika reflek cegukan pasien terangsang, cabut jalan nafas dengan
segera dan masukkan kembali.
5) Fiksasi jalan napas dengan plester dan letakkan di pipi dan melintasi
bagian datar dari jalan napas, pada bibir pasien. Jangan menutupi
bagian terbuka dari jalan napas. Harus berhati- hati untuk menjamin
pasien tidak cegukan terhadap jalan napas ketika direkatkan pada
tempatnya. Perekatan dapat mencegah pasien dari dislokasi jalan
napas dan karena itu pasien muntah segera setelah ia sadar kembali

Prosedur perawatan oropharyngeal tube

1.cuci tangan , gunakan sarung tangan, lakuka perawatan oral pada sisi
rongga mulut yang tidak terhalang oleh pipa
2. Perhatikan tanda panjang pipa dalam sentimeter dengan acuan bibir pasien

3.Pegang pipa dalam tanda tersebutdan dengan hati-hati dan cermat


gerakkan pipa kesisi lain dari mulut pasien.
4.Pastikan bahwa tanda acuan
tetap sama. 5.Gunakan penghisap
oral sesuai kebutuhan

16
Evaluasi

4. Kaji status neurologi pasien secara berkala. Jalan napas dapat


menyebabkan muntah-muntah pada pasien yang sensitif dan karenanya
harus digunakan hanya pada pasien sadar.
5. Monitor pasien dari penumpukan sekresi oral dan penghisapan
rongga mulut

6. Jika keadaan pasien memungkinkan, pemakaian jangka


panjang memerlukanpelepasan jalan napas untuk memberikan
perawatan oral.

Dokumentasi

1. Catat ukuran dari jalan napas yang digunakan

2. Catat waktu prosedur dilakukan dan toleransi pasien

3. Catat setiap perubahan dalam status pasien dan atau setiap komplikasi

4. Catat kecepatan dan sifat dari pernapasan.

Pendidikan yang Perlu Diberikan pada Pasien dan Keluarga

Instruksikan klien dan keluarga untuk tidak menggerakkan


Oropharyngeal tube, plester, atau pemegang oropharyngeal tube. Jika
klien mengeluh atau nampak tidak nyaman, instruksikan keluarga
bertanya pada perawat.

Informasikan pada klien dan keluarga bahwa jika tube


menyebabkan sumbatan, untuk segera memberitahukan kepada perawat
dan intervensi akan dilakukan untuk mengurangi sumbatan.

PERAWATAN PASIEN YANG TERPASANG


ENDOTRACHEAL TUBE

A. Pengertian

Perawatan Endotracheal tube adalah perawatan rutin yang


membutuhkan perawatan posisi dari selang yang benar dan

17
memelihara hygiene dengan baik pada pasien yang terpasang
endotracheal tube.

a. Organ-organ yang terlibat dalam tindakan

Organ-organ yang terlibat dalam tindakan perawatan pasien


tersebut antara lain mulut, orofaring dan trachea.

b. Indikasi perawatan

- Indikasi

Pasien yang terpasang endotracheal tube.

- Kontraindikasi

Tidak terdapat kontra indikasi yang absolute pada


perawatan pasien yang terpasang endotracheal tube.

c. Konsep Fisiologi tindakan terhadap tubuh


Suatu selang endotrakeal biasanya dimasukkan dengan
bantuan laringoskop oleh tenaga medis, keperawatan, atau
terapi pernafasan yang secara khusus dilatih dalam teknik ini.
Bila selang telah dipasang, cuff di sekeliling selang
dikembangkan untuk mencegah kebocoran udara sekitar
bagian selang dan untuk meminimalkan kemungkinan akibat
aspirasi dan mencegah gerakan selang.

Hampir semua ETT memiliki cuff berupa balon yang bisa

18
dikembangkan dari luar menggunakan spuit kecuali ETT bayi,
tekanan balon pada dinding trakea dapat menyebabkan hipoksi
epitel mukosa trakea. Epitel ini mudah terinfeksi hingga terjadi erosi
mukosa trakea.
Di samping efek pada pangkal lidah, laring dan trachea,
pemasangan ETT juga meniadakan proses pemanasan dan
pelembaban udara inspirasi kecuali pasien dipasang ventilasi
mekanik dengan humidifikasi yang baik. Perubahan ini
menyebabkan gagalnya silia mukosa bronkus mengeluarkan
partikel-partikel tertentu dari paru. Discharge trakea berkurang dan
menjadi kental, akhirnya terjadi metaplasia skuamosa pada epitel
trakea.
Penumpukan sekresi mucus dapat terjadi pada jalan nafas
setelah terpasangnya ETT. jika tidak mendapat perhatian, maka akan
dapat menyumbat bersihan jalan nafas kemudian berpengaruh pada
pola nafas pasien. Nafas pasien terdengar stridor dan dispneu. Oleh
karena itu persiapan alat penghisap atau suction sangat dibutuhkan
pada permasalahan tersebut.
Pengisapan sekresi endotrakeal dilakukan melalui selang.
Oksigen yang dihangatkan, dilembabkan harus selalu dimasukkan
melalui selang, apakah pasien bernafas secara spontan maupun
dalam ventilator. Intubasi endotrakeal dapat digunakan sampai 3
minggu, yang pada waktu tersebut trakeostomi harus dianggap dapat
menurunkan iritasi dan trauma pada lapisan trakea, untuk
mengurangi angka kejadian paralisis pita suara (sekunder terhadap
kerusakan saraf laring), dan untuk mengurangi ruang rugi mekanis.
Kerugian yang terdapat pada selang endotrakeal atau
trakeostomi sama halnya seperti kerugian yang terdapat pada
modalitas pengobatan lainnya. Satu yang paling nyata adalah, bahwa
selang menyebabkan rasa tidak nyaman. Selain itu, refleks batuk
ditekan karena penutupan glotis dihambat. Sekresi cenderung untuk
lebih mengental karena efek penghangatan dan pelembaban saluran
pernafasan atas telah dipintas. Refleks-refleks menelan, yang terdiri
atas refleks glotis, faring, dan laring tertekan karena tidak digunakan

19
dalam waktu lama dan trauma mekanis akibat selang endotrakeal
atau trakeostomi, yang membuat klien semakin berisiko aspirasi.
Ulserasi dan striktur laring

20
atau trakea dapat terjadi. Kekhawatiran pasien yang paling besar adalah
ketidakmampuan untuk berbicara dan mengkomunikasikan kebutuhan.

d. Prinsip pencegahan infeksi

Pada penderita dengan intubasi di mana ETT merupakan benda asing


dalam tubuh pasien sehingga sering menjadi tempat ditemukan berbagai
koloni bakteri, yang sering ialah Pseudomonas aeruginosa dan kokus gram
positif.
Pada fiksasi ETT juga sering kali menimbulkan penekanan pada salah
satu sisi bibir pasien sehingga bisa menyebabkan luka/nekrotik sebagai
penyebab masuknya kuman ke dalam tubuh pasien.
Mengingat besarnya pengaruh tidak baik pemasangan ETT terhadap
tubuh pasien maka diperlukan perawatan ETT yaitu:
1) Fiksasi harus baik, plester jangan terlalu tegang.

2) Pipa ET sebaiknya ditandai pada ujung mulut tercabut.

3) Pantau tekanan balon, jangan lebih dari 30 cm H2O.

4) Jaga patensi jalan napas dengan humidifikasi yang atau hidung


sehingga bisa untuk mengetahui secara dini pipa kedalaman atau baik
dan adekuat udara inspirasi.
5) Lakukan penghisapan lendir jika berlebih dan jika diperlukan lakukan
bronchiale toilet untuk mencegah penumpukan slym.
6) Reposisi atau pindah-pindahkan penempatan pipa ET dari satu sisi
mulut pasien ke sisi lainnya sesuai kebutuhan.

21
e. Prinsip / hal lain untuk tindakan tersebut

Perawatan intubasi

1) Fiksasi harus baik

2) Gunakan oropharing air way (guedel) pada pasien yang tidak


kooperatif
3) Hati-hati pada waktu mengganti posisi pasien.

4) Jaga kebersihan mulut dan hidung

5) Jaga patensi jalan napas

6) Humidifikasi yang adekuat

7) Pantau tekanan balon

8) Observasi tanda-tanda vital dan suara paru-paru

9) Lakukan fisioterapi napas tiap 4 jam

10) Lakukan suction setiap fisioterapi napas dan sewaktu-waktu bila ada
suara lender
11) Yakinkan bahwa posisi konektor dalam kondisi baik

12) Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan.

13) Lakukan foto thorax segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu
tertentu.
14) Observasi terjadinya empisema kutis

15) Air dalam water trap harus sering terbuang

22
16) Pipa endotracheal tube ditandai diujung mulut / hidung.

f. Hal yang perlu dikaji sebelum tindakan


- Kaji tanda-tanda vital
- Kaji adanya suara stridor pada pasien dan adanya secret yang menyumbat
jalan nafas
- Kaji sumber oksigen atau ventilator
- Kaji tekanan pada balon
- Kaji adanya lecet ataupun nekrosis pada mulut atau mukosa membrane
- Kaji letak ET tube dari rontgen dada

8. Perawatan Trakeostomi
Trakeostomi adalah insisi bedah di trakea melalui kulit dan otot yang terletak di
atasnya untuk tata laksana jalan napas. Trakeostomi adalah pembentukan lubang bedah
(stoma) ke dalam trakea melalui kulit. Terdapat banyak indikasi untuk prosedur ini, termasuk
hal-hal berikut.
1. Menghilangkan obstruksi jalan napas akut atau kronis seperti apnea obstruktif waktu
tidur, trauma perdarahan, tumor, pembengkakan jaringan, infeksi atau luka bakar
(kimiawi atau inhalasi)
2. Akses untuk ventilasi mekanis kontinu, dengan tidak mampu disapih (didefinisikan
secara luas dengan waktu lebih dari 2 minggu ventilasi
3. Mendorong hygiene paru dengan mengakses jalan napas untuk membuang secret
4. Paralisis pita suara (plika vokalis) bilateral
5. Ketidakmampuan melindungi jalan napas sendiri.

Trakeostomi sampai saat ini masih menjadi saluran pernapasan buatan yang paling
memuaskan. Metode ini membuat jalan pintas pada saluran pernapasan atas dan glottis,
membuat perlekatan perlengkapan pernapasan lebih stabil dan mudah untuk pengisapan jika
dibandingkan tipe jalan napas buatan lain. Klien tetap dapat makan dan berbicara (bergantung
tipe slang yang digunakan) dan dapat meningkatkan kualitas hidup kelebihan pemasangan
trakeostomi pada klien dengan sakit kritis meliputi lebih sedikit membutuhkan sedasi
meningkatkan mobilitas dan mengurangi komplikasi dari imobilitas.
1. Indikasi dan Kontraindikasi Trakeostomi

23
Indikasi dari trakeostomi antara lain:
a. Terjadinya obstruksi jalan nafas atas
b. Sekret pada bronkus yang tidak dapat dikeluarkan secara fisiologis, misalnya
pada pasien dalam keadaan koma.
c. Untuk memasang alat bantu pernafasan (respirator).
d. Apabila terdapat benda asing di subglotis
e. Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui
mekanisme serupa.
f. Obstruksi laring
1) karena radang akut, misalnya pada laryngitis akut, laryngitis difterika,
laryngitis membranosa, laringo-trakheobronkhitis akut, dan abses laring
2) karena radang kronis, misalnya perikondritis, neoplasma jinak dan ganas,
trauma laring, benda asing, spasme pita suara, dan paralise Nerus
Rekurens
g. Sumbatan saluran napas atas karena kelainan kongenital, traumaeksterna dan
interna, infeksi, tumor.
h. Cedera parah pada wajah dan leher
i. Setelah pembedahan wajah dan leher
j. Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi
k. Penimbunan sekret di saluran pernafasan. Terjadi pada tetanus, trauma kapitis
berat, Cerebro Vascular Disease (CVD), keracunan obat, serta selama dan
sesudah operasi laring

Kontraindikasi dari trakheostomi antara lain :


Infeksi pada tempat pemasangan, dan gangguan pembekuan darah yang tidak
terkontrol, seperti hemofili.

2. Slang Trakeostomi
Lubang trakeostomi dibuat pas dengan selang untk mempertahankan kepatenan
saluran napas. Slang trakeostomi bervariasi dalam komposisi jumlah bagian terpisah,

24
bentuk, dan ukuran. Slang trakeostomi dipilih secara spesifik untuk setiap klien. Slang
yang tidak pas dapat mencetuskan kerusakan yang dapat mengancam jiwa.
Diameter slang trakeostomi harus lebih kecil dibandingkan trakea sehingga dapat
terletak dengan nyaman di dalam lumen trakea udara sebaiknya dapat melewati dinding
luar slang trakeostomi dan mukosa trakea dan memungkinkan perfusi adekuat ke jaringan
trakea. Walaupun tidak ada standar system pengukuran slang trakeostomi, semua
kemasan mengindikasikan diameter bagian dalam dan luar dalam millimeter. Ukuran
yang umum untuk slang trakestomi dewasa berkisar antar 6-8 mm. Slang trakeostomi
terbuat dari beragam substansi seperti plastic nonreaktif, stainless steel, sterling silver,
atau silicon. Slang plastic bersifat sekali pakai dan hanya digunakan untuk satu orang.
Slang metal/logam dapat digunakan lagi setelah disterilkan. Suatu slang arus memiliki
hub berukuran 15mm untuk melekatkan pada sirkulasi ventilasi mekanik atau kantong
resusitasi manual.
Panang dan kelengkungan slang trakeostomi penting untuk diperhatiakan. Slang
trakeostomi dapat panjang atau pendek. Dapat bersudut, denagn sudut antara 50 sampai
90 derajat. Slang pendek atau slang yang agak pendek dengan sudut sekitar 60 derajat
adalah slang yang paling banyak digunakan. Suatu selang harus cukup panjang untuk
mencega lepasnya slang ke jaringan paratrakeal ketika klien batuk atau berubah posisi
kepala. Ujung bawa slang trakeostomi sebaiknya terletak di atas carina. Kelengkungan
slang harus memungkinkan ujung pada posisi lurus dengan trakea dan bukan menekan
dinding anterior atau posterior trakea. Slang bervariasi dalam material dan perusahaan
pembuat menghasilkan produk standar serta slang buatan khusus untuk memenuhi
kebutuhan klien. Ahli bedah telinga, hidung, tenggorok memilih slang berdasarkan
kebutuhan tetapi seiring perkembangan waktu, pemilihan ini dapat juga ditentukan oleh
perawat tempat tidur, tim perawat, terapi pernapasan, dan penyedia layanan kesehatan
yang menentukan slang mana yang paling baik untuk klien. Slang dapat memilki kanula
tunggal atau dapat memiliki kanula di bagian dalam. Kanula di bagian harus dilepaskan
secara berkala untuk dibersihkan kemudian dapat digunakan kembali atau dibuang.
Slang trakeostomi dapat menggunakan manset atau tidak. Manset yang
dikembangkan memungkinkan ventilasi mekanis. Manset yang mengembang mencegah
secret dari jalan napas atas mengalir ke jalan napas bawah, tetapi tidak membuat barier
yang absolute. Manset trakeostomi tidak menahan slang pada tempatnya. Manset dapat
dikembangkan denagn udara, air steril, atau busa.

25
3. Jenis-Jenis Kanula

4. Pengisapan Trakeostomi
a. Peralatan
1) Kateter pengisap
2) Sarung tangan
3) Goggles untuk pelindung mata
4) Spuit 5-10 ml
5) Normal saline steril yang dituangkan ke dalam cangkir untuk irigasi
6) Bag yang dapat mengembang sendiri milik pasien(resusitator
tangan)dengan oksigen supplemental(kantung diganti setiap hari untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi)
7) Mesin pengisap

b. Prosedur

26
1) Jelaskan prosedur pada pasien sebelum memulai dan berikan ketenangan
selama pengisapan,karena pasien mungkin gelisah berkenaan dengan
tersedak dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
2) Mulai dengan mencuci tangan secara menyeluruh
3) Hidupkan sumber mesin pengisap (tekanan tidak boleh melebihi 120 mm
Hg)
4) Buka kit kateter pengisap
5) Isi basin dengan normal salin steril
6) Ventilasi pasien dengan bag resusitasi manual dan aliran oksigen yang
tinggi
7) Kenakan sarung tangan pada tangan yang dominan
8) Ambil kateter pengisap dengan tangan yang mengenakan sarung tangan
dan hubungkan ke pengisap
9) Hiperinflimasi hiperoksigenasikan paru-paru pasien selama beberapa kali
bernapas dalam dengan kantung yang dapat mengembang sendiri
10) Masukkan kateter sejauh mungkin sampai ujung selang tanpa memberikan
isapan, cukup untuk menstimulus reflex batuk.
11) Beri isapan sambil menarik kateter, memutar kateter dengan perlahan 360
derajat (tidak lebih dari 10 detik sampai 15 detik,karena pasien dapat
menjadi hipoksik dan mengalami distritmia,yang dapat mengarah pada
henti jantung)
12) Reoksigenasiakan dan inflasikan paru-paru pasien selama beberapa kali
nafas.
13) Masukkan 3-5 ml normal saline ke dalam jalan nafas hanya jika reflex
batuk tertekan.
14) Ulangi empat langkah sebelumnya sampai jalan nafas bersih.
15) Bilas kateter dalam basin dengan normal saline steril antara tindakan
pengisapan bila perlu.
16) Hisap kavitas orofaring setelah menyelesaikan pengisapan trakeal.
17) Bilas selang pengisap.
18) Buang kateter,sarung tangan,dan basin.

1. Perawatan Trakeostomi

27
Prosedur Rasional

Cuff Trakeostomi
b. Selang Balon (udara Tujuan dari penggunaan selang balon adalah
disuntikkkan ke dalam cuff ) untuk mencegah kebocoran udara selama
diperlukan selama ventilasi ventilasi tekanan-positif dan untuk mencegah
mekanis yang lama. aspirasi trakea dan kandungan lambung.Seal
yang adekuat diperlukan karena kebocoran
udara dari mulut atau trakeostomi yang tidak
tampak atau halus,bunyi gurgling.udara yang
datang dari tenggorok yang tidak tampak.

Cuff tekanan rendah mengeluarkan tekanan


minimal ada mukosa trakea dan dengan
c. Cuff tekanan rendah.
demikian mengurangi bahaya ulserasi trakea
dan striktura.

Selang Trakeostomi dan perawatan


Balutan trakeostomi diganti ssesuai kebutuhan
kulit.
untuk menjaga kulit tetap bersih dan
1. Inspeksi balutan trakeostomi
kering.Jangan biarkan balutan basah tetap
terhadap kelembaban atau
terpasang datas kulit.
drainase.

Pencucian tangan mengurangi bakteri pada


tangan.
2. Cuci tangan.

Pasien dengan trakeostomi tampak gelisah dan


membutuhkan penenangan dan dukungan terus-
3. Jelaskan prosedur pada pasien.
menerus.

Dengan mengamati isolasi subtansi tubuh


dengan balutan yang terkontaminasi

28
4. Kenakan sarung tangan,lepaskan mengurangi kontaminasi-silang.
balutan yang basah dan buang.
Dengan menyiapkan bahan dan peralatan yang
diperlukan memungkinkan prosedur
5. Siapkan peralatan steril,termasuk diselesaikan dengan efektif.
hydrogen peroksida,normal saline
atau air steril,aplikator berujung
kapas,balutan.
Meminimalkan transmisi flora permukaan pada
6. Kenakan sarung tangan steril. saluran pernafasan yang steril.

Hydrogen peroksida efektif untuk mencairkan


sekresi yang mongering . pembilasan mencegah
residu kulit.

7. Bersihkan luka dan lempeng


selang trakeostomi dengan
hydrogen peroksida.Bilas dengan
Memberikan perlindungan bakteriostatik
saline steril.
topikal.

8. Gunakan salep bakteriostatik pada


pinggiran luka trakeostomi jika Ini akan memberikan ketebalan ganda pada tali
diresepkan. sekitar leher.Selang trakeostomi dapat terlepas
dengan gerakan atau batuk yang kuat jika
9. Jika tali yang lama telah dibiarkan tidak diikat.Akan sulit untuk
basah,letakkan tali twill dalam memasukkan selang trakeostomi kembali,dan
posisinya untuk mengamankan gawat nafas dapat terjaid jika selang
selang trakeostomi.Masukkan trakesotomi terlepas.
satu ujung tali melalui lubang
samping kanula
terluar.Lingkarkan tali tersebut
sekeliling leher pasien dan
ikatkan tali tersebut melalui

29
lubang yang berlawanan dari
kanula terluar.kumpulkan kedua
ujungnya sehingga keduanya
bertemu pada satu sisi
leher.Amankan dengan
simpulan.Kencangkan sampai
hanya dua jari yang dapat
menyusup diantara tali tersebut.
Balutan yang terlepas-lepas benangya tidak
10. Lepaskan tali yang lama dan digunakan disekitar trakeostomi Karena bahaya
buang. dari material , kain tiras , atau beenang yang
dapat masuk ke Dallam sselang, dan akhirnya
11. Gunakan balutan trakeostomi tersangkut ke dalam trakea, sehingga
steril,dan paskan dengan baik di menyebabkan obstruksi atau pembentukan
bawah tali twill dan flange selang abses . Balutan khusus yang tidak mempunyai
trakeostomi sehingga insisi kecenderungan terlepas-lepas benangnya
tertutup. digunakan untuk keperluan ini.

30
9. Nebulizer
A. Definisi
Nebulizer adalah alat untuk memproduksi aerosol yang mengandung larutan obat
(Ikawati, 2007). Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara inhalasi (hirupan)
kedalam saluran respiratori (Supriyatno dan Rahajoe, 2008). Cara ini bisa
memberikan obat dalam konsentrasi tinggi pada tempat aksinya dan menghilangkan
atau mengurangi efek samping sistemik yang terjadi jika obat diberikan secara peroral
(Ikawati, 2007).

B. Prinsip Dasar Terapi Inhalasi

Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang tepat untuk penyakit respiratori


adalah : obat dapat mencapai organ target dengan menghasilkan partikel aerosol
optimal agar terdeposisi di paru- paru, awitan kerja cepat, dosis kecil, efek samping
minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah
digunakan dan efek terapeutik segera tercapai yang ditunjukkan dengan adanya
perbaikan klinis (Supriyatno dan Rahajoe, 2008).

C. Indikasi Inhalasi Uap


     Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk :
- pasien sesak nafas dan batuk
- broncho pnemonia
- ppom (bronchitis, emfisema
- asma bronchial
- rhinitis dan sinusitis
- paska tracheostomi
- pilek dengan hidung sesak dan berlendir
- selaput lendir mengering
- iritasi kerongkongan, radang selaput lendir saluran pernafasan bagian atas

        
D. Prosedur Kerja
Persiapan Alat

31
 Nebulizer
 Tissue
 selang/kanul udara
 sarung tangan
 stetoskop
 obat inhalasi
 kapas alcohol
 masker, nasal canule, mouthpiece
 neirbeken
 kasa lembab
 nacl 0,9 %

Persiapan pasien
1. Pasien diinstruksikan untuk napas melalui mulut, ambil napas lambat, dalam
dan kemudian menahan napas selama beberapa detik pada akhir inspirasi untuk
meningkatkan tekanan intrapleural dan membuka kembali alveoli yang kolaps,
dengan demikian meningkatkan kapasitas residual fungsional.
2. Pasien didorong untuk batuk dan untuk mengevaluasi seberapa baik terapi
bekerja.
3. Peralatan harus dibersihkan dan disimpan dengan baik bila digunakan di
rumah.

Persiapan lingkungan
Terapi inhalasi dengan nebulizer dapat diberikan:
1.      Di rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan yang telah memenuhi
persyaratan.
2.      Di rumah dengan aturan yang sudah dimengerti dengan baik dan benar

Tahap pre interaksi

- siapkan alat

- baca status pasien

32
- cuci tangan

Tahap orientasi

- berikan salam, panggil klien dengan namanya

- jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien dan keluarga

Tahap kerja

1.      Alat didekatkan, pakai sarung tangan


2.      Mendengarkan suara napas dengan stetoskop
3.      Ambil tempat obat kemudian masukkan obat kedalam tempat obat pada mesin
nebulizer.
4.      Memasang tutup adaptor, kemudian menyalakan dengan menekan tombol ON
5.      Atur posisi fowler
6.      Jalan nafas dibersihkan, hidung dibersihkan dengan kapas lembab, kapas yg
kotor buang ke neirbeken
7.    Hubungkan masker/nasal canule/mouthpiece pada klien sehingga uap dan obat
tidak keluar
8.    Klien dianjurkan nafas dalam secara teratur
9.    Bila klien merasa lelah, matikan nebulizer sebentar, berikan kesempatan klien
istirahat
10.  Mematikan nebulizer dan melakukan clapping untuk mempermudah
mengeluarkan secret.
11.  Melepaskan masker, menganjurkan klien untuk batuk dan mengeluarkan
dahaknya.
12.  Mengulangi Prosedur 2
13.   Perhatikan keadaan umum
14.  Membersihkan area mulut dengan tissue
15.  Alat dibersihkan dan dirapikan, sarung tangan dilepas
16.  Cuci tangan

Tahap terminasi
- evaluasi perasaan klien

33
- simpulkan hasil kegiatan
- lakukan kontak utk kegiatan selanjutnya
- akhiri kegiatan

Dokumentasi
- catat tindakan yang telah dilakukan

E. Hal Yang Perlu Diperhatikan


1.      Gunakan tubing, nebulizer cup, mouthpiece/masker untuk masing-masing pasien
(single use).
2.      Lindungi mata dari uap.
3.      Berikan obat yang sesuai dengan resep yang dianjurkan oleh dokter.
4.      Jangan mencampur obat tanpa seijin dokter.
5.      Jika memungkinkan, selama terapi, atur nafas dengan menarik nafas dalam melalui
hidung dan tiup melalui mulut.
6.      Perhatikan perubahan yang terjadi, seperti kebiruan (sianosis), batuk
berkepanjangan, gemetar (tremor), berdebar-debar, mual, muntah dan lain-lain.
7.      Lakukan penepukan dada atau punggung pada saat atau setelah selesai terapi
inhalasi.
8.      Segera setelah selesai melakukan terapi inhalasi, basuh wajah dengan air.

34
10. Perawatan Luka Bakar
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFINISI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya
bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka
bakar dan menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam menyebabkan
kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan
yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan
sumber panas menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama
waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi (Moenadjat,
2007).
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit
dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun
jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber
panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/ gangguan
integritas kulit dan kematian sel-sel (Yepta, 2006).
Luka bakar yaitu luka yang disebabkan oleh suhu tinggi, dan disebabkan
banyak faktor, yaitu fisik seperti api, air panas, listrik seperti kabel listrik yang
mengelupas, petir, atau bahan kimia seperti asam atau basa kuat (Triana, 2007).
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik bahan
kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam.
Luka bakar bisa berasal dari berbagai sumber, dari api, matahari, uap, listrik,
bahan kimia, dan cairan atau benda panas. Luka bakar bisa saja hanya berupa luka
ringan yang bisa diobati sendiri atau kondisi berat yang mengancam nyawa yang
membutuhkan perawatan medis yang intensif.

2. ETIOLOGI

35
Luka bakar (Combustio) dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun
bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab
terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1. Paparan api
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian
terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk
terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan
menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya
antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau
peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama
waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang
disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu
sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka
umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan
garis yang menandai permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap
panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta
dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat
menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi
jalan nafas akibat edema.
5. Aliran listrik

36
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya
luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api
dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

3. KLASIFIKASI
Berdasarkan berat ringannya luka bakar maka dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Luka bakar berat (major burn)
 Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas
usia 50 tahun.
 Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama.
 Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum.
 Adanya cedera inhalasi tanpa memperhitungkan luas luka bakar.
 Luka bakar listrik tegangan tinggi.
 Disertai trauma lainnya.
 Pasien-pasien dengan resiko tinggi
b. Luka bakar sedang (moderate burn)
 Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat
III kurang dari 10 %.
 Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa >
40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %.
 Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak
mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.
c. Luka bakar ringan (minor burn)
 Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa.
 Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut.
 Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum.

37
Luka bakar juga dapat dibagi berdasarkan kedalaman lukanya. Kedalaman
luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi
resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju
yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman
adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron,
selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket
sehingga memperberat kedalaman luka bakar. Klasifikasi luka bakar menurut
kedalamannya, yaitu:

Pembagian Zona Kerusakan Jaringan

Gambar 1: Zona kerusakan jaringan

a. Zona koagulasi
Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh panas.

b. Zona statis
Daerah yang berada lansgsung di luar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trobosit dan leukosit,
sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan
permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama
12-24 jam pasca cedera, dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.

38
c. Zona hiperemi
Daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa
banyak melibatkan reaksi seluler.

Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan terapi dan perawatan,


luka bakar diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kedalaman luka, dan keseriusan luka serta
waktu penyembuhannya, yakni :

Kedalaman dan Bagian


Penampilan Perjalanan
Penyebab Luka Kulit yang Gejala
Luka Kesembuhan
bakar terkena

Derajat Satu Epidermis Kesemutan Memerah; Kesembuhan


(Superfisial) Hiperestesia menjadi putih lengkap dalam
Tersengat matahari (supersensitivitas) ketika ditekan waktu satu minggu
Terkena api dengan akibat iritasi dari Minimal atau Pengelupasan kulit
intensitas rendah saraf sensorik tanpa edema,
Rasa nyeri mereda tidak dijumpai
jika didinginkan bullae

- Kulit kemerahan - tidak ditemukan bula - terasa nyeri


Gambar 2: Luka bakar derajat I

Derajat Dua Epidermis Nyeri Melepuh; dasar Kesembuhan


(Partial Thickness) dan bagian Hiperestesia luka berbintik- dalam waktu dua

39
Tersiram air dermis Sensitif terhadap bintik merah; hingga tiga
mendidih udara yang dingin epidermis retak; minggu
Terbakar oleh nyala permukaan luka Pembentuka parut
api basah dan depigmentasi
Edema, dijumpia Infeksi dapat
adanya bullae mengubahnya
menjadi derajat
tiga

- Tampak bula – Dasar luka kemerahan (derajat IIA) – Dasar luka pucat keputihan (derajat IIB) –
Nyeri hebat terutama pada derajat IIA
Gambar 3: Luka bakar derajat II

Derajat IIa Kerusakan Gejala luka bakar Penampilan luka Penyembuhan


(superficial) mengenai derajat II bakar derajat II terjadi secara
bagian spontan dalam
superfisial waktu 10-14 hari,
dari dermis. tanpa operasi
Organ-organ penambalan kulit
kulit seperti (skin graft).
folikel

40
rambut,
kelenjar
keringat,
kelenjar
sebasea
masih utuh.

Gambar 4. Luka bakar derajat II superficial

Derajat IIb (deep) Kerusakan Gejala luka bakar Penampilan luka Penyembuhan
mengenai derajat II bakar derajat II terjadi lebih lama,
hampir tergantung biji
seluruh epitel yang tersisa.
bagian Biasanya
dermis. penyembuhan
Organ-organ terjadi dalam
kulit seperti waktu lebih dari
folikel satu bulan. Bahkan
rambut, perlu dengan
kelenjar operasi
keringat, penambalan kulit
kelenjar (skin graft).
sebasea
sebagian
besar masih
utuh.

41
Gambar 5. Luka bakar derajat II dalam

Derajat tiga (Full Epidermis, Tidak terasa nyeri, Kering, luka Penyembuhan
Thickness) keseluruhan syok, hematuria bakar berwarna terjadi lama karena
Terbakar nyala api dermis dan dan kemungkinan putih seperti tidak ada proses
Terkena cairan kadang- hemolisis, bahan kulit atau epitelisasi spontan
mendidih dalam kadang kemungkinan gosong, kulit dari dasar luka.
waktu yang lama jaringan terdapat luka retak dengan Pembentukan
Tersengat arus listrik subkutan masuk dan keluar bagian lemak eskar (koagulasi
(pada luka bakar yang tampak, protein pada
listrik) edema epidermis dan
dermis),
diperlukan
pencangkokan,
pembentukan parut
dan hilangnya
kontour serta
fungsi kulit,
hilangnya satu jari
tangan atau
ekstremitas bisa
terjadi

42
Gambar : 4. Luka Bakar derajat 3

Sumber : Smeltzer, 2002

Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, kemungkinan morbiditas, dan


mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas
luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa
metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar
hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan’The Rule of Nines’ yang dikembangkan oleh Wallace
(1940), dimana setiap anggota badan dihitung berdasarkan kelipatan sembilan ini,
yaitu:kepala 9%, tubuh bagian depan 18%, tubuh bagian belakang 18%,
ekstremitas atas 18%, ekstremitas bawah kanan 18%, ekstremitas bawah kiri
18%, organ genital 1%.

43
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala
anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena
perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10
untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

Korban harus dibawa ke gawat darurat apabila:derajat 1 dengan luas luka lebih dari
15%, derajat 2 lebih dari 10%, derajat 3 lebih dari 2%, derajat 4, mengenai wajah,
alat kelamin, persendian, tangan, kaki, luka bakar dengan komplikasi patah tulang,
gangguan jalan nafas, luka bakar akibat tegangan listrik, terjadi pada anak anak dan
manula.

 Metode Lund and Browder


Metode ini diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala
pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan luka

44
bakar pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan
tubuh pada anak dapat menggunakan rumus 9 dan disesuaikan dengan usia:
a. Pada anak di bawah usia 1 tahun : kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso
dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
b. Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0,5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

45
Klasifikasi berdasarkan Fase Penyembuhan Luka

No Fase dan Fisiologi Durasi Implikasi Penatalaksanaan


Fase Luka

1 Respon Inflamasi Akut Terhadap Cidera

Hemostasis 0-3 hari Adanya jaringan yang mengalami


Fase Konstriksi sementara devitalisasi secara terus menerus,
dari pembuluh darah yang adanya benda asing,
rusak, terjadi pada saat pengelupasan jaringan yang luas,
sumbatan trombosit dibentuk trauma kekambuhan, atau
dan diperkuat juga oleh penggunaan yang tidak tepat,
serabut fibrin untuk preparat topical untuk luka
membentuk sebuah bekuan. sehingga penyembuhan
Respon Jaringan yang diperlambat dan kekuatan regang
rusak : luka tetap rendah.

46
Jaringan yang rusak dan sel
mast melepaskan histamine
dan mediator lain sehingga
menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah sehingga
kulit menjadi merah dan
hangat. Permiabilitas kapiler
darah menyebabkan edema
local.

2 Fase Dekstruktif

Pembersihan terhadap 1-6 hari Polimorf& makrofag sangat


jaringan mati/yang dipengaruhi oleh turunnya suhu
mengalami devitalisasi dan tempat luka, dihambat agen
bakteri oleh polimorf kimia, hipoksia, dan perluasan
(menelan dan limbah metabolic yang
menghancurkan bakteri) dan disebabkan oleh buruknya perfusi
makrofag (menghancurkan jar.
bakteri & mengeluarkan jar.
Yang mengalami devitalisai
serta fibrin yang berlebih,
membentuk fibroblast &
menghasilkan factor
perangsang angiogenesis
(Fase 3)

3 Fase Proliferatif

Fibroblast meletakkan 3-24 hari Gelung kapiler baru jumlahnya


substansi dasar dan serabut- sangat banyak dan rapuh serta
serabut kolagen serta mudah sekali ruasak karena
pembuluh darah baru mulai penekanan yang kasar sehingga
infiltrasi luka. Kapiler perlu vitamin C yang cukup.
dibentuk oleh tunas Factor sistemik yang
endothelial, suatu proses memperlambat penyembuhan
yang disebut angiogenesis. adalah defisiensi besi,

47
Jar yang dibentuk dari hipoproteinemia dan hipoksia.
gelung kapiler baru, yang
menopang kolagen dan
substansi dasar disebut
jar.granulasi.

4 Fase Maturasi (Remodeling)

Epitelisasi, Kontraksi, dan 24-356 Epitelisasi terjadi 3x lebih cepat


Reorganisasi jar.ikat hari dilingkungan yang lembab
Sel-sel epitel pada pinggir (dibawah balutan yang oklusif
luka dan dari sisa-sisa folikel atau balutan semipermiable)
rambut, serta granula sebasea daripada dilingkungan yang
dan granula sudorifera kering. Kadang jar. Fibrosa pada
membelah dan mulai dermis menjadi sangat hipertropi,
bermigrasi diatas jar. kemerahan dan menonjol yang
Granula baru. Kontraksi luka pada kasus ekstrem menyebabkan
disebabkan karena jar. Parut, koloid tidak sedap
miofibroblast kontraktil yang dipandang.
membantu menyatukan tepi-
tepi luka. Terjadi suatu
penurunan progresif dalam
vaskularisasi jar. Parut,
penampilan yang merah
kehitaman menjadi putih.
Serabut kolagen mengadakan
reorganisasi dan kekuatan
regang luka meningkat.

Sumber : Marison (2003:2), Manajemen Luka

4. PATOFISIOLOGI
Luka bakar  (Combustio)  disebabkan oleh pengalihan energy dari suatu sumber
panas kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi
elektromagnetik. Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau
ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi

48
jaringan. Jaringan yang dalam termasuk organ visceral dapat mengalami kerusakan
karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama dengan burning agent. Nekrosis dan
keganasan organ dapat terjadi.
Kedalaman luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan
lamanya kontak dengan agen tersebut. Pajanan selama 15 menit dengan air panas
dengan suhu sebesar 56.10 C mengakibatkan cidera full thickness yang serupa.
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal
periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang
terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar yang
berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler dan
kemudian terjadi perpindahan cairan, natrium serta protein dari ruang intravaskuler ke
dalam ruangan interstisial.
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume
darah terlihat dengan jelas. Karena berlanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya
volume vaskuler, maka curah jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan
darah. Sebagai respon, sistem saraf simpatik akan melepaskan ketokelamin yang
meningkatkan vasokontriksi dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokonstriksi
pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung.
Umumnya jumlah kebocoran cairan yang tersebar terjadi dalam 24 hingga 36
jam pertama sesudah luka bakar dan mencapai puncaknya dalam tempo 6-8 jam.
Dengan terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka bakar akan menghilang dan
cairan mengalir kembali kedalam kompartemen vaskuler, volume darah akan
meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar.
Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal
menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen.
Volume darah yang beredar akan menurun secara drastis pada saat terjadi syok
luka bakar. Kehilangan cairan dapat mencapai 3-5 liter per 24 jam sebelum luka bakar
ditutup. Selama syok luka bakar, respon luka bakar respon kadar natrium serum
terhadap resusitasi cairan bervariasi. Biasanya hipnatremia terjadi segera setelah
terjadinya luka bakar, hiperkalemia akan dijumpai sebagai akibat destruksi sel massif.
Hipokalemia dapat terjadi kemudian dengan berpindahnya cairan dan tidak

49
memadainya asupan cairan. Selain itu juga terjadi anemia akibat kerusakan sel darah
merah mengakibatkan nilai hematokrit meninggi karena kehilangan plasma.
Abnormalitas koagulasi yang mencakup trombositopenia dan masa pembekuan serta
waktu protrombin memanjang juga ditemui pada kasus luka bakar.
Kasus luka bakar dapat dijumpai hipoksia. Pada luka bakar berat, konsumsi
oksigen oleh jaringan meningkat 2 kali lipat sebagai akibat hipermetabolisme dan
respon lokal. Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume
darah. Destruksi sel-sel darah merah pada lokasi cidera akan menghasilkan
hemoglobin bebas dalam urin. Bila aliran darah lewat tubulus renal tidak memadai,
hemoglobin dan mioglobin menyumbat tubulus renal sehingga timbul nekrosis akut
tubuler dan gagal ginjal.
Kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor
inflamasi yang abnormal, perubahan immunoglobulin serta komplemen serum,
gangguan fungsi neutrofil, limfositopenia. Imunosupresi membuat pasien luka bakar
berisiko tinggi untuk mengalami sepsis. Hilangnya kulit menyebabkan
ketidakmampuan pengaturan suhunya. Beberapa jam pertama pasca luka bakar
menyebabkan suhu tubuh rendah, tetapi pada jam-jam berikutnya menyebabkan
hipertermi yang diakibatkan hipermetabolisme. (Crowin.2013)

5. KOMPLIKASI
 Syok hipovolemik
 Kekurangan cairan dan elektrolit
 Hypermetabolisme
 Infeksi
 Gagal ginjal akut
 Masalah pernapasan akut; injury inhalasi, aspirasi gastric, pneumonia bakteri,
edema.
 Paru dan emboli
 Sepsis pada luka
 Ilius paralitik
 SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome) bervariasi tergantung
etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas,

50
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial,
gagal ginjal, perdarahan saluran cerna, dan stres gastritis, anemia, trombosis
vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated
intravascular coagulation (DIC).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya
pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15%
mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat
menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi
sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh
darah.
2. Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau
inflamasi.
3. GDA (Gas Darah Arteri): Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera inhalasi.
Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan karbon dioksida
(PaCO2) mungkin terlihat pada retensi karbon monoksida.
4. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera
jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin menurun
karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan
hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
5. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan ,
kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan
6. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan cairan
interstisial atau gangguan pompa, natrium
7. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
8. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema
cairan.
9. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi
ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
10. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau
luasnya cedera.
11. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau distritmia.

51
12. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar.
13. Foto rontgen dada : untuk memastikan cedera inhalasI
14. Scan paru : untuk menentukan luasnya cedera inhalasi
15. Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi.
16. Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap

7. INDIKASI RAWAT INAP


Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap
bila:

1. Luka bakar derajat III > 5%


2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki,
genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama)  risiko signifikan untuk masalah
kosmetik dan kecacatan fungsi.
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas.
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor
lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya.
6. Adanya trauma inhalasi.

8. PENATALAKSANAAN
Secara sistematik dapat dilakukan 6c: clothing, cooling, cleaning,
chemoprophylaxis, covering, dan comforting (contoh pengurang nyeri). Untuk
pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling, baru selanjutnya
dilakukan pada fasilitas kesehatan

 Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian
yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada
fase cleaning.
 Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah
normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif sampai dengan 3
jam setelah kejadian luka bakar. Kompres dengan air dingin (air sering diganti
agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa

52
nyeri) untuk luka yang terlokalisasi. Jangan pergunakan es karena es
menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru
akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia. Untuk luka bakar karena
zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir yang
banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar berupa bubuk,
maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang mengalir.
 Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa
sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan
lebih cepat dan risiko infeksi berkurang.
 Chemoprophylaxis: Pemberian anti tetanus, dapat diberikan pada luka yang
lebih dalam dari superficial partial thickness. Pemberian krim silver
sulvadiazin untuk penanganan infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar
superfisial. Tidak boleh diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan
hamil, bayi baru lahir, ibu menyususi dengan bayi kurang dari 2 bulan
 Covering: Penutupan luka bakar dengan kasa. Dilakukan sesuai dengan derajat
luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan
lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan
untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan
kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau larutan
lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
 Comforting: Dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri, berupa
1. Paracetamol dan codein (PO-per oral) 20-30mg/kg
2. Morphine (IV-intra vena) 0,1mg/kg diberikan dengan dosis titrasi bolus
3. Morphine (I.M-intramuskular) 0,2mg/kg
(Rosfanty, 2009)

Selanjutnya pertolongan diarahkan untuk mengawasi tanda-tanda bahaya dari ABC


yaitu

 Airway and breathing


Perhatikan adanya stridor (mengorok), suara serak, dahak berwana jelaga
(black sputum), gagal napas, bulu hidung yang terbakar, bengkak pada wajah.
Luka bakar pada daerah orofaring dan leher membutuhkan tatalaksana intubasi

53
(pemasangan pipa saluran napas ke dalam trakea/batang tenggorok) untuk
menjaga jalan napas yang adekuat/tetap terbuka. Intubasi dilakukan di fasilitas
kesehatan yang lengkap.

 Circulation
Penilaian terhadap keadaan cairan harus dilakukan. Pastikan luas luka bakar
untuk perhitungan pemberian cairan. Pemberian cairan intravena (melalui
infus) diberikan bila luas luka bakar >10%. Bila kurang dari itu dapat
diberikan cairan melalui mulut. Cairan merupakan komponen penting karena
pada luka bakar terjadi kehilangan cairan baik melalui penguapan karena kulit
yang berfungsi sebagai proteksi sudah rusak dan mekanisme dimana terjadi
perembesan cairan dari pembuluh darah ke jaringan sekitar pembuluh darah
yang mengakibatkan timbulnya pembengkakan (edema). Bila hal ini terjadi
dalam jumlah yang banyak dan tidak tergantikan maka volume cairan dalam
pembuluh darah dapat berkurang dan mengakibatkan kekurangan cairan yang
berat dan mengganggu fungsi organ-organ tubuh. Cairan infus yang diberikan
adalah cairan kristaloid (ringer laktat, NaCl 0,9%/normal Saline). Kristaloid
dengan dekstrosa (gula) di dalamnya dipertimbangkan untuk diberikan pada
bayi dengan luka bakar. Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan formula
dari Parkland : 3-4 cc/kgBB/%TBSA + cairan rumatan (maintenance per 24
jam). Cairan rumatan adalah 4cc/kgBB dalam 10 kg pertama, 2cc/kgBB dalam
10 kg ke 2 (11-20kg) dan 1cc/kgBB untuk tiap kg diatas 20 kg. Cairan formula
parkland (3-4cc/kgBB/%TBSA) diberikan setengahnya dalam 8 jam pertama
dan setengah sisanya dalam 16 jam berikutnya. Pengawasan kecukupan cairan
yang diberikan dapat dilihat dari produksi urin yaitu 1cc/kgBB/jam (Rosfanty,
2009).

Menurut Grace dan Borley (2006) penatalaksanaan penting untuk luka bakar dibagi
menjadi tiga penangananan:

54
a. Penanganan luka bakar umum
1) Mulai resusitasi (ABC, buat jalur intravena, berikan O2).
2) Nilai ukuran luka bakar (aturan 9 dari wallen).
b. Penanganan luka bakar berat (luka bakar > 20% pada orang dewasa dan
> 10% pada anak)
1) Pantau nadi, TD, suhu, keluaran urin. Berikan analgesia adekuat melalui IV.
Pertimbangkan selang nasogastrik (nasogastric tube, NGT), berikan
profilaksis tetanus.
2) Berikan cairan melalui IV berdasarkan formula Muir-Barclay: % luka bakar
x berat badan dalam Kg/2 = satu aliquot cairan. Berikan 6 aliquot cairan
selama 36 jam pertama dengan urutan 4, 4, 4, 6, 6, 12 jam dari waktu
terjadinya luka bakar. Biasanya menggunakan larutan koloid, albumin atau
plasma.
3) Pertimbangkan untuk merujuk ke pusat luka bakar.
c. Luka bakar ringan (luka bakar < 20% pada orang dewasa dan < 10%
pada anak).
1) Tatalaksana luka bakar minor
 Pemberian pengurang rasa nyeri harus adekuat. Pada anak-anak dapat
membutuhkan morfin sebelum penilaian luka bakar dan pembalutan
awal.
 Pada luka bakar mengenai anggota gerak atas disarankan imobilisasi
denga balut dan bidai
 Pemeriksaan status tetanus pasien
 Pembalutan tertutup disarankan untuk luka bakar partial thickness.
Cairan yang keluar dari luka bakar menentukan frekuensi penggantian
balutan
Gelembung cairan (blister) memiliki fungsi untuk proteksi dan mengurangi
rasa sakit bila tetap dibiarkan utuh selama beberapa hari. Jika gelembung
cairan kecil, tidak berada di dekat sendi dan tidak menghalangi pembalutan
maka dapat tidak perlu dipecahkan. Gelembung cairan yang besar dan yang
meliputi daerah persendian harus dipecah dan dibersihkan. Gelembung
cairan yang berubah menjadi opak/keruh setelah beberapa hari menandakan
proses infeksi sehingga perlu untuk dibuka dan dibalut.

55
2) Tatalaksana luka bakar superfisial / dangkal
Dapat dibiarkan terbuka. Pada bayi yang menunjukakan kecenderungan
terbentuknya gelembung cairan atau penggarukan dapat ditutup perban
untuk proteksi.

3) Tatalaksana luka bakar sebagian (partial thicknes)


 Dilakukan pembersihan luka dan sekelilingnya dengan salin (larutan yang
mengandung garam-steril). Jika luka kotor dapat dibersihkan dengan
clorhexidine 0,1% lalu dengan salin.
 Luka bakar superfisial partial thickness dapat ditutup dengan kasa yang
tidak menempel lalu dibalut atau di plester
 Luka bakar deep partial thickness dilakukan penutupan dengan kasa yang
tidak lengket dan diberikan antimikroba krim silverdiazin
4) Follow up
Bila luka bakar dangkal tidak menyembuh dalam 7-10 hari, atau
menunjukkan tanda-tanda terinfeksi atau ternyata lebih dalam maka rujukan
sebaiknya dilakukan. Kemungkinan timbulnya jaringan parut yang
berlebihan (scar hipertrofik) harus dipikirkan apabila dalam waktu 3
minggu luka bakar belum juga menyembuh.

d. Terapi Pengantian Cairan


Kebutuhan cairan yang diproyeksikan dalan 24 jam pertama dihitung
berdasarkan luas luka bakar. Resusitasi cairan yang adekuat menghasilkan
sedikit penurunan volume darah selama 24 jam pertama pasca luka bakar dan
mengembalikan kadar plasma pada nilai yang normal pada akhir periode 48
jam. Beberapa rumus telah dikembangkan untuk memperbaiki kehilangan
cairan berdasarkan estimasi persentase luas permukaan tubuh yang terbakar
dan berat badan pasien.

 Rumus Konsesus
Lartutan ringer laktat (atau larutan saline seimbang lainnya): 2-4 ml x kg berat
badan x % luas luka bakar. Separuh diberikan dalam 8 jam pertama: sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya.

56
 Rumus Evans
1. Koloid : 1ml x kg berat badan x % luas luka bakar
2. Elektrolit (Salin) : 1ml x kg berat badan x % luas luka bakar
3. Glukosa (5%dalam air) : 2000 ml untuk kehilangan insensible
Hari 1 : separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh diberikan dalam 8
jam pertama: separuh sisanya dalam 16 jam berikutnya

Hari 2 : separuh dari cairan elektrolit dan kolid yang diberikan pada hari
sebelumnya: seluruh penggantian cairan insesibel

Maksimum 10.000 ml selama 24 jam. Luka bakar derajat dua dan tiga yang
melebihi 50% luas permukaan tubuh dhitung berdasarkan 50% luas permukaan
tubuh.

 Rumus Brooke Army


1. Koliod : 0,5ml x kg berat badan x % luas luka bakar
2. Elektrolit (RL) : 1,5 ml x kg berat badan x % luas luka bakar
3. Glukosa (5%dalam air): 2000 ml untuk kehilangan insensible
Hari 1 : separuh diberikan dalam 8 jam pertam: separuh sisanya dalam 16 jam
berikutnya

Hari 2 : separuh dari cairan kolid: separuh dari cairan elektrolit: seluruh
penggantian cairan insesibel

Luka bakar derajat dua dan tiga yang melebihi 50% luas permukaan tubuh
dhitungberdasarkan 50% luas permukaan tubuh

 Rumus Parkland/Baxter
Larutan Ringer Laktat: 4 ml kg berat badan x % luas luka bakar

Hari 1 : Separuh diberikan dalam 8 jam pertama: separuh sisanya dalam 16


jam berikutnya

Hari 2 : Bervariasi. Ditambahkan koloid

 Larutan Salin Hipertonik

57
Larutan pekat natrium klorida (NaCl) dan laktat dengan konsentrasi 250-
300mEq natrium perliter yang diberikan pada kecepatan yang cukup untuk
mempertahankan volume keluaran urine yang diinginkan. Jangan
meningkatkan kecepatan intfus selama 8 jam pertama pasca luka bakar. Kadar
natrium serum harus dipantau ketat.

Tujuan: meningkatkan kadar natrium serum dan osmolalitas untuk mengurangi


edema dan mencegah komplikasi paru.

e. Pemindahan ke Unit Luka Bakar


Kriteria Perhimpunan Luka Bakar Amerika untuk Rujukan ke Pusat Luka Bakar :

- Luka bakar derajat 3 yang melebihi 5% luas permukaan tubuh pada segala
kelompok usia
- Luka bakar derajat 2 dan 3 yang melebihi 10% luas permukaan tubuh pada
pasien < 10 tahun atau < 50 tahun
- Luka bakar derajat 2 dan 3 yang melebihi 20% luas permukaan tubuh pada
segala kelompok usia yang lain.
- Luka bakar derajat 2 dan 3 yang mengenai muka, tangan, kaki, genetalia,
perineum, serta persendian yang besar.
- Luka bakar listrik yang mencakup luka bakar tersambar petir
- Luka bakar kimia dengan ancaman ganguan fungsional atau kosmetik yang
serius
- Cedera inhalasi dengan luka bakar
- Luka bakar yang melingkar pada ektremitas dan dada
- Luka bakar pada pasien yang sebelumnya sudah menderita sakit dapat
memperumit penanganan
- Luka bakar dengan trauma dimana luka bakar tersebut menghadapi risiko yang
terbesar.
Fase Akut atau Intermediet Perawatan Luka Bakar

Pada fase akut ini dilakukan perawatan luka umum seperti :

Pada fase ini diperlukan perhatian khusus pada pengkajian dan pemeliharaan yang
berkesinambungan pada status respirasi, dan sirkulasi, keseimbangan cairan dan
elektrolit, serta fungsi gastrointestinal. Perawatan luka dan pengendalian nyeri

58
menjadi prioritas dalam fase ini. Untuk pengendalian nyeri biasanya diberikan
NSAID atau golongan narkotik jika terdapat nyeri hebat pada luka bakar yang luas.
Selain itu, meminimalkan rasa nyeri juga dapat dilakukan dengan teknik non
farmakologi seperti Guidetimageri, teknik relaksasi, dan distraksi, terapi music dan
lainnya. Pemberian obat anlgetik 30 menit sebelum perawatan luka juga sangat
penting menigkatkan rasa nyaman pasien selama perawatan luka bakar. Luka bakar
meliputi sejumlah besar jaringan mati ( eskar) yang tetap berada pada tempatnya
untuk jangka waktu yang lama. Eskar pada luka bakar merupakan krusta yang
nonviable tanpa memiliki suplai aliran darah sehingga leukosit PMN atau antibody
tidak dapat menjangkau daerah tersebut. Maka dari itu, luka bakar rentan terinfeksi
oleh bakteri dan dapat terjadi sepsis. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan
pemberian antibiotic topical, perawatan luka dan penggantian balutan yang khusus
dengan teknik steril. Perawatan luka dapat dilakukan dengan tekni tertutup atau
terbka sesuai dengan kebijakan masing-masing rumah sakit. Pada prinsipnya,
perawatan luka dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi. Pemilihan terapi
antibiotic topical berfungsi untuk mengurangi jumlah bakteri agar keseluruhan
populasi mikroba dapat dikendalikan oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien
sendiri bukan untuk mensterilkan luka bakar.( Smeltzer, 2002).

1. Pembersihan Luka
Hidroterapi dengan perendaman total dan bedside bath adalah terapi rendaman
disamping tempat tidur. Selama berendam, pasien didorong agar sedapat
mungkin bergerak aktif. Hidroterapi merupakan media yang sangat baik untuk
melatih ekstremitas dan membersihkan luka seluruh tubuh. Pembersihan luka
dapat dilakukan degan perendaman total atau disebut hidroterapi. Selama
berendam pasien didorong bergerak aktif untuk melatih ekstremitas dan
membersihkan seluruh tubuh. Hidroterapi hars dibatasi dalam periode 20 -30
menit untuk mencegah gejala menggigil dan stress metabolic tambahan.
Pembersihan luka biasanya dilakukan sehari sekali pada daerah luka yang tidak
menjalani tindakan pembedahan. Jika ada eskar yang mulai terpish dengan
jaringan viable dibawahnya yang terjadi kurang lebih 11/2 sampai 2 minggu
paska luka bakar, maka diperlukan tindakan pembersihan dan debridement
secara berturut-turut harus lebih sering dilakukan.

59
2. Terapi Antibiotik Topikal
Ada tiga preparat topikal yang sering digunakan yaitu silver sulfadiazin, silver
nitrat, dan mafenide asetat.

3. Penggantian Balutan
Dalam mengganti balutan, perawat harus menggunakan APD. Balutan atau kasa
yang menempel pada luka dapat dilepas tanpa menimbulkan sakit jika
sebelumnya dibasahi dengan larutan salin atau bial pasien dibiarkan berandam
selama beberapa saat dalam bak rendaman. Pembalut sisanya dapat dilepas
dengan hati-hati memakai forseps atau tangan yang menggunakan sarung tangan
steril. Kemudian luka dibersihkan dan didebridemen untuk menghilangkan
debris, setiap preparat topikal yang tersisa, eksudat, dan kulit yang mati. Selama
penggantian balutan ini, harus dicatat mengenai warna, bau, ukuran, dan
karakteristik lain dari luka.

4. Debridemen
Tujuannya adalah untuk menghilangkan jaringan yang terkontaminasi oleh
bakteri dan benda asing sehingga pasien dilindungi dari invasi bakteri dan untuk
menghilangkan jaringan yang sudah mati.

Debridemen ada 3 yaitu

- Alami : jaringan mati akan memisahkan diri secara spontan


-Mekanis : penggunaan gunting bedah dan forsep untuk memisahkan dan
mengangkat jaringan mati.
-Bedah : tindakan operasi dengan melibatkan eksisi primer seluruh tebal kulit
sampai mengupas kulit yang terbakar.
5. Graft Pada Luka Bakar
Adalah pencacokan kulit. Selama proses penyembuhan luka akan terbentuk
jaringan granulasi. Jarinagn ini akan mengisi ruangan ditimbulkan oleh luka,
membentuk barier yang merintangi bakteri dan berfungsi sebagai dasar untk
pertumbuhan sel epitel.

6. Dukungan Nutrisi
Nutrisi yang diberikan adalah TKTP untuk membantu mempercepat
penyembuhan luka.

60
Manajemen Luka Bakar

Flowchart Manajemen Luka Bakar, (NSW Health Departement)

Kaji keadaan luka Pertimbangkan >10% TBSA pd orang dewasa


bakar ukuran luka bakar >5% TBSA pd anak-anak (Total
Body Surface Area)

Pertimbangkan
lokasi/tipe luka bakar Luka bakar pada wajah, tangan, kaki,
perineum, permukaan tulang atau cedera
yang terjadi bersamaan misalnya
frakturatau lainnya
Luka bakar akibat elektrik dan bahan kimia
Pertimbangkan
kedalaman luka
bakar

Luka Bakar Partial Luka Bakar Full


Thickness Thickness

Luka bakar Luka Bakar Deep <48 jam


Superficial Partial Partial Thickness
Gunakan balutan seperti pada luka bakar
Thickness
partial thickness
Berikan obat penurun rasa nyeri
<48 jam <48 jam
Bersihkan dengan Bersihkan dengan
Chlorhexidine/NS Chlorhexidine/NS 3-6 hari
Berikan balutan AIVG Berikan Silvazene dan Kaji ulang warna,
(Antibacterial Impregnated balutan kedalaman, infeksi,
Vaselin Gauze) Berikan obat penurun dan nyeri
Berikan obat penurun rasa rasa nyeri Jika ada
sakit Lanjutkan dengan penyembuhan,
Biarkan secara utuh selama 48 perawatan luka tiap hari lanjtkan perawatan
jam Fase RehabilitasiTinggikan
luka dengan silvazine
extremitas/tungkai jika
Meskipun edema
aspek jangka panjang pada perawatan luka bakar berada pada tahap
Monitor warna luka dan
akhir, tetapi proses
3-6 hari rehabilitasi harus segera dimulai segera setelah terjadinya12-14
infeksi lukahari
Setelah 6 hari
Kaji ulang warna, kedalaman, Jika ada beberapa
Jika ada
infeksi dan nyeri potongan kecil luka
penyembuhan,
Jika ada penyembuhan, tidak sembuh >1cm,
lanjutkan dengan perawatan
61 gunakan balutan AIVG
7-10 hari (jika tidak tersedia konsultasikan
luka, ganti balutan 2-3 hari dengan spesialis
Jika ada penyembuhan, gunakan kassa vaselin)
sekali unit luka bakar.
lanjtkan dengan perawatan Jika tidak sembuh,
Jika ada infeksi, konsultasi ke
luka, ganti balutan 3hari lanjutkan dengan
spesialis unit luka bakar
Gunakan sorbolene ketika
sembuh

bakar sama seperti periode darurat. Fase ini difokuskan pada perubahan citra diri dan
gaya hidup yang dapat terjadi. Kesembuhan luka, dukungan psikososial dan
pemulihan aktifitas fungsional tetap menjadi prioritas. Fokus perhatian terus berlanjut
pada pemeliharaan keseimbangan cairan dan elekrolit serta perbaikan status nutrisi.
Pembedahan rekonstruksi pada bagian anggota tubuh dan fungsinya yang terganggu
mungkin diperlukan. Untuk perawatan lanjutan dapat bekerjasama dengan fisioterapi
agar dapat melatih rentang gerak (Smeltzer, 2002).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
a) Pengkajian Luas Luka Bakar
Metode Rule of Nine’s

Gambar 4: Pengkajian Rule of Nine’s


Sistem ini menggunakan prosentase kelipatan sembilan terhadap luas permukaan
tubuh.
- Adult: kepala = 9 %, tangan kanan-kiri = 18%, dada dan perut = 18%, genetalia =
1%, kaki kanan-kiri = 36%, dan punggung = 18%

62
- Child: kepala = 18%, tangan kanan-kiri = 18% , dada dan perut = 18%, kaki
kanan-kiri = 28%, dan punggung = 18%
- Infant: kepala = 18%, tangan kanan-kiri =18%, dada dan perut = 18%, kaki
kanan-kiri = 28%, dan punggung = 18%

b) Pengkajian Awal
Pengkajian ini dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama dengan pasien yang
meliputi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)
 Airway
- Data subjektif
pasien mengeluh sesak , pasien mengeluh nyeri .
- Data objektif
terdengar suara krekels dan stridor , terdapat edema pada laring
 Breathing
- Data subjektif
Pasien mengeluh sesak .
- Data objektif
terdapat adanya gerakan otot bantu nafas , RR lebih dari 20 kali permenit,
nampak pernafasan cuping hidung
 Circulation
- Data subjektif
pasien mengeluh pusing
- Data objektif
nadi klien meningkat > 100 x permenit .

c) Pengkajian Berdasarkan 6B
 Breathing
- Data subjektif
Pasien mengatakan susah untuk bernafas.
- Data objektif
Pasien telihat sesak (RR> 20 x/menit), pernafasan cuping hidung,
menggunakan otot bantu pernafasan
 Blood

63
- Data subjektif
Klien mengeluh pusing .
- Data objektif
Nadi klien meningkat > 100 x permenit , hematokrit meningkat , leukosit
meningkat , trombosit menurun.
 Brain
- Data subjektif
Pasien merasa pusing, pasien mengeluh nyeri kepala.
- Data objektif
Pasien mungkin disorientasi.
 Bladder
- Data subjektif
Pasien mengatakan sedikit kencing
- Data objektif
Haluaran urin menurun.
 Bowel
- Data subjektif
Pasien mengeluh susah BAB .
- Data objektif
Pasien mungkin mengalami penurunan berat badan dan konstipasi.
 Bone
- Data subjektif
Pasien mengeluh letih dan pegal-pegal.
- Data objektif

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas ditandai
dengan irama napas cepat dan dangkal, dispnea, penggunaan otot bantu
pernapasan, RR : >20x/mnt, terdapat bunyi napas tambahan berupa snoring
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
(evaporasi melalui luka bakar) ditandai dengan pasien mengeluh haus, wajah
pasien tampak pucat, adanya penurunan turgor kulit, penurunan haluaran urin (<

64
0,5-1cc/kgBB/jam), peningkatan frekuensi nadi (> 100 x/menit), dan adanya luka
bakar pada kulit pasien.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka bakar dan luka post
operasi skin graft) ditandai dengan Pasien mengeluh nyeri pada luka bakar yang
terletak di kedua lengan atas sehingga susah untuk digerakkan, dan nyeri pada
luka post skin graft, nyeri skala 7 dari 0-10
4) Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat; kerusakan
perlindungan kulit; jaringan traumatik, pertahanan sekunder tidak adekuat;
penurunan Hb, penekanan respons inflamasi.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
status hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih besar dari proporsi normal pada
cedera berat) atau katabolisme protein.
6) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan suhu ekstrem (air panas)
ditandai dengan kerusakan pada lapisan kulit, gangguan pada permukaan kulit.
7) Keletihan berhubungan dengan anemia ditandai dengan ketidakmampuan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari
8) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (mengalami luka bakar)
ditandai dengan pasien mengeluh khawatir dengan kondisinya
9) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi ditandai
dengan prilaku tidak tepat dan tidak mengikuti arahan tenaga kesehatan
10) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan pada preload ditandai
dengan perubahan dalam bacaan EKG, perubahan dalam tekanan darah
11) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri ditandai dengan keterbatasan
dalam ROM dan ambulasi
12) Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan
ketidakmampuan dalam membasuh, mengeringkan, dan mengambil peralatan
mandi
13) Defisit perawatan diri: eliminasi berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan
ketidakmampuan dalam menuju toileting, dan membersihkan perineum secara
mandiri
14) Defisit perawatan diri: berpakaian berhubungan dengan kelemahan ditandai
dengan mengenakan, mengambil pakaian secara mandiri
15) PK Syok hipovolemik

65
16) PK Anemia
17) PK Hiponatremia

Diagnosa Prioritas:
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas ditandai
dengan irama napas cepat dan dangkal, dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan,
RR : >20x/mnt, terdapat bunyi napas tambahan berupa snoring
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (evaporasi
melalui luka bakar) ditandai dengan pasien mengeluh haus, wajah pasien tampak
pucat, adanya penurunan turgor kulit, penurunan haluaran urin (< 0,5-1cc/kgBB/jam),
peningkatan frekuensi nadi (> 100 x/menit), dan adanya luka bakar pada kulit pasien.
c. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan suhu ekstrem (air panas) ditandai
dengan kerusakan pada lapisan epidermis dan dermis
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka bakar dan luka post operasi
skin graft) ditandai dengan Pasien mengeluh nyeri pada luka bakar yang terletak di
kedua lengan atas sehingga susah untuk digerakkan, dan nyeri pada luka post skin
graft, nyeri skala 7 dari 0-10

66
3. INTERVENSI

No Diagnosa Tujuan (Outcome) Intervensi Keperawatan

1 Ketidakefektifan pola Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … 1. Auskultasi bunyi


napas berhubungan x… jam, diharapkan pola napas pasien efektif nafas tambahan; ronchi, wheezing.
dengan obstruksi jalan dengan kriteria hasil: 2. Berikan posisi
napas ditandai dengan yang nyaman untuk mengurangi dispnea.
NOC Label >> Respiratory Status: Airway
irama napas cepat dan 3. Bersihkan sekret
patency
dangkal, dispnea, dari mulut dan trakea; lakukan penghisapan sesuai
penggunaan otot bantu  Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien keperluan.
pernapasan, RR : tidak merasa tercekik, irama nafas reguler, 4. Bantu klien untuk
>20x/mnt, terdapat bunyi frekuensi pernafasan dalam rentang normal, batuk dan nafas dalam.
napas tambahan berupa tidak ada suara nafas abnormal) 5. Ajarkan batuk
snoring  Tidak terdengar suara napas tambahan: snoring efektif.
NOC Label >> Vital Signs 6. Anjurkan asupan
cairan adekuat.
 Frekuensi napas normal (16 – 20 x/ menit)
7. Berikan terapi
NOC Label >> Respiratory status : Ventilation
nebulizer pada klien.
 Tidak ada sianosis dan dyspnea 8. Lakukan suction

 Tidak tampak penggunaan otot bantu napas sesuai indikasi jika diperlukan.
9. Kolaborasi
pemasangan trakeostomi

67
10. Kolaborasi
pemberian oksigen
11. Kolaborasi
pemberian broncodilator sesuai indikasi.

NIC Label >> Respiratory Monitoring

1. Monitor kecepatan, ritme, kedalaman dan usaha


pasien saat bernapas
2. Catat pergerakan dada, simetris atau tidak,
menggunakan otot bantu pernapasan atau tidak
3. Monitor pola napas: bradypnea, tachypnea,
hiperventilasi, respirasi kussmaul, respirasi cheyne-
stokes.
NIC Label >> Oxygen Therapy

 Bersihkan area mulut, hidung, jika diperlukan


 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Monitor jumlah aliran oksigen
 Monitor efektivitas terapi oksigen
2 Kekurangan volume Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x NIC Label >> Fluid/Electrolyte Management
cairan berhubungan … jam diharapkan ketidakseimbangan volume
 Monitor keabnormalitas tingkat elektrolit serum

68
dengan kehilangan cairan cairan tidak terjadi dengan outcome :  Monitor hasil pemeriksaan laboratorium yang
aktif (evaporasi melalui terkait perubahan cairan atau tingkat elektrolit
NOC Label >> Fluid Balance
luka bakar) ditandai  Berikan cairan yang adekuat
dengan pasien mengeluh  Tekanan darah dalam batas normal (sistolic  Berikan intake oral
haus, wajah pasien 100-130 dan diastolic 70-89 mmHg)  Monitor status hemodinamik klien
tampak pucat, adanya  HR dalam batas normal (60-100 x/menit)  Kaji membran mukosa klien untuk
penurunan turgor kulit, NOC Label >> Burn Recovery mengindikasikan adanya perubahan keseimbangan
penurunan haluaran urin cairan dan elektrolit
 Granulasi Jaringan baik
(< 0,5-1cc/kgBB/jam),
 Monitor kehilangan cairan
 Persen dari luas luka bakar berkurang
peningkatan frekuensi
NIC Labels >>> Fluid Monitoring
nadi (> 100 x/menit), dan  Suhu tubuh stabil
1. Kaji riwayat intake & output (eliminasi) cairan
adanya luka bakar pada  Edema di area luka bakar berkurang
pada pasien.
kulit pasien.  Balance cairan pasien baik
2. Kaji faktor risiko yang memungkinkan
NOC Label >> Hydration
terjadinya ketidakseimbangn cairan pada pasien,
 Urin output 0,5-1 cc/kgBB misalnya adanya peningkatan suhu tubuh,
 Mukosa membran lembab adanya infeksi, pasca tindakan operasi, dll.
NOC Label >> Keseimbangan Asam Basa dan 3. Monitor intake & output cairan.
Elektrolit 4. Monitor albumin darah & protein total.
NIC Labels >>> Vital Sign Monitoring
 RR dalam batas normal (16 – 20 x/menit)
1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan
 Hematokrit dalam batas normal frekuensi pernapasan jika diperlukan.

69
 BUN dan Kreatinin dalam batas normal 2. Monitor tanda dan gejala terjadinya peningkatan
 Elektrolit Serum dalam batas normal atau penurunan suhu tubuh

 Albumin serum dalam batas normal 3. Monitor tekanan dan kualitas nadi pasien.
4. Monitor warna kulit, suhu, dan kelembaban
kulit pasien.
5. Monitor adanya sianosis perifer.

NIC Labels >>> Feeding


1. Identifikasi pola diet pasien.
2. Ciptakan lingkungan yang nyaman saat pasien
makan, misalnya pindahkan alat-alat seperti
urinal, alat suction, dll.
3. Lakukan oral hygiene sebelum pasien makan.
4. Catat dan pantau intake makanan jika
diperlukan
5. Berikan makanan yang hangat untuk mencegah
mual dan meningkatkan nafsu makan
6. Anjurkan pihak keluarga untuk memberikan
makanan kepada pasien.
3 Kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x NIC Label >> Bathing
jaringan berhubungan ...jam diharapkan integritas kulit klien mengalami
 Siapkan peralatan yang dibutuhkan untuk
dengan suhu ekstrem (air peningkatan dengan kriteria hasil :

70
panas) ditandai dengan NOC Label >> Wound Healing : Secondary memandikan pasien seperti peralatan mandi, air
kerusakan pada lapisan Intention untuk mandi dengan suhu yang optimal
epidermis dan dermis  Gunakan teknik memandikan yang tepat sesuai
 Ukuran lesi pada kulit klien berkurang.
dengan usia dan kondisi tubuh pasien
 Inflamasi pada luka berkurang.
 Bersihkan seluruh badan pasien untuk memutuskan
 Granulasi dalam jaringan subkutan klien
rantai perjalanan luka dan panas serta mencegah
meningkat.
terjadinya infeksi pada luka
 Eritema kulit sekitarnya berkurang
 Gunakan pelumas untuk menlubrikasi kulit pasien
 Tidak ada blister pada daerah luka bakar
 Monitor kondisi kulit setiap memandikan pasien
NOC Label >> Tissue Integrity : Skin &
NIC Label >> Wound Care
Mucous Membranes
 Lakukan monitor terhadap karakteristik luka,
 Suhu kulit normal
termasuk drainase, warna, ukuran, dan aroma.
 Jaringan parut tidak ada
 Bersihkan luka dengan normal saline secara tepat.
 Integritas kulit normal
 Lakukan wound dressing sesuai tipe luka.
 Lesi kulit tidak ada
 Pertahankan teknik steril selama melakukan
 Eritema tidak ada
perawatan luka, secara tepat.
 Lakukan penggantian dressing secara tepat
 Jelaskan pada klien dan keluarga tentang tanda dan
gejala infeksi

71
NIC Label >> Skin Care : Topical Treatments

 Beri antibiotic topikal pada area yang terkena


 Beri antiinflamasi topical pada area yang terkena
 Memeriksa kulit setiap hari untuk yang berisiko
mengalami kerusakan
 Catat derajat kerusakan kulit

NIC Label >> Skin surveillance

 Periksa kulit dan membrane mukosa terkait adanya


kemerahan, hangat, edema, atau drainase
 Pantau warna dan suhu kulit
 Catat perubahan kondisi kulit dan membrane
mukosa
4 Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama NIC Label >> Pain Management
dengan agen cedera fisik …..x …. jam diharapkan nyeri klien berkurang
 Lakukan pengkajian komprehensif nyeri termasuk
(luka bakar dan luka post dengan kriteria hasil :
lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekwensi,
operasi skin graft)
NOC Label >> Pain Level kwalitas, intensitas atau derajat nyeri, dan faktor
ditandai dengan Pasien
yang menimbulkan.
mengeluh nyeri pada luka  Klien melaporkan adanya rasa nyeri yang
 Observasi reaksi non verbal terhdapat nyeri
bakar yang terletak di ringan

72
kedua lengan atas  Klien tidak mengerang atau menangis  Pastikan pasien mendapat perhatian mengenai
sehingga susah untuk terhadap rasa sakitnya perawatan dengan analgesic
digerakkan, dan nyeri  Klien tidak menunjukkan rasa sakit akibat  Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
pada luka post skin graft, nyerinya menggai informasi terhadap pengalaman nyeri dan
nyeri skala 7 dari 0-10 NOC Label >> Pain Control cara pasien merespon terjadinya nyeri
 Gali pengetahuan dan kepercayaan klien mengenai
 Klien menyadari onset terjadinya nyeri
nyeri
dengan baik
 Tanyakan pada klien kapan nyeri menjadi lebih
 Klien dapat menjelaskan faktor penyebab
buruk dan apa yang dilakukan untuk
timbulnya nyeri dengan sering
menguranginya
 Klien sering menggunakan tindakan
 Ajarkan prinsip dari manajemen nyeri
pencegahan
 Ajari pasien untuk menggunakan medikasi nyeri
 Sering menggunakan pengobatan non
yang adekuat
farmakologis untuk meredakan rasa sakit
NIC Label >> Analgesic Administration
 Kadang-kadang menggunakan analgesic jika
dianjurkan  Ketahui lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
 Klien mengatakatn nyerinya terkontrol nyeri sebelum memberikan pasien medikasi
 Lakukan pengecekan terhadap riwayat alergi
 Pilih analgesic yang sesuai atau kombinasikan
analgesic saat di resepkan anagesik lebih dari
 Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah
diberikan analgesic dengan satu kali dosis atau

73
tanda yang tidak biasa dicatat perawat
 Evaluasi keefektian dari analgesic

4. EVALUASI

No Diagnosa Keperawatan Evaluasi

1 Ketidakefektifan pola napas NOC Label >> Respiratory Status: Airway patency
berhubungan dengan obstruksi
 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas reguler,
jalan napas ditandai dengan irama
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
napas cepat dan dangkal, dispnea,
 Tidak terdengar suara napas tambahan: snoring
penggunaan otot bantu
NOC Label >> Vital Signs
pernapasan, RR : >20x/mnt,
terdapat bunyi napas tambahan  Frekuensi napas normal (16 – 20 x/ menit)
berupa snoring NOC Label >> Respiratory status : Ventilation

 Tidak ada sianosis dan dyspnea


 Tidak tampak penggunaan otot bantu napas

2 Kekurangan volume cairan NOC Label >> Fluid Balance


berhubungan dengan kehilangan
 Tekanan darah dalam batas normal (sistolic 100-130 dan diastolic 70-89 mmHg)
cairan aktif (evaporasi melalui
 HR dalam batas normal (60-100 x/menit)
luka bakar) ditandai dengan

74
pasien mengeluh haus, wajah NOC Label >> Burn Recovery
pasien tampak pucat, adanya
 Granulasi Jaringan baik
penurunan turgor kulit, penurunan
 Persen dari luas luka bakar berkurang
haluaran urin (< 0,5-
 Suhu tubuh stabil
1cc/kgBB/jam), peningkatan
frekuensi nadi (> 100 x/menit),  Edema di area luka bakar berkurang

dan adanya luka bakar pada kulit  Balance cairan pasien baik

pasien. NOC Label >> Hydration

 Urin output 0,5-1 cc/kgBB


 Mukosa membran lembab
NOC Label >> Keseimbangan Asam Basa dan Elektrolit

 RR dalam batas normal (16 – 20 x/menit)


 Hematokrit dalam batas normal
 BUN dan Kreatinin dalam batas normal
 Elektrolit Serum dalam batas normal
 Albumin serum dalam batas normal

3 Kerusakan integritas jaringan NOC Label >> Wound Healing : Secondary Intention
berhubungan dengan suhu
 Ukuran lesi pada kulit klien berkurang.
ekstrem (air panas) ditandai
 Inflamasi pada luka berkurang.
dengan kerusakan pada lapisan

75
epidermis dan dermis  Granulasi dalam jaringan subkutan klien meningkat.
 Eritema kulit sekitarnya berkurang
 Tidak ada blister pada daerah luka bakar
NOC Label >> Tissue Integrity : Skin & Mucous Membranes

 Suhu kulit normal


 Jaringan parut tidak ada
 Integritas kulit normal
 Lesi kulit tidak ada
 Eritema tidak ada
4 Nyeri akut berhubungan dengan NOC Label >> Pain Level
agen cedera fisik (luka bakar dan
 Klien melaporkan adanya rasa nyeri yang ringan
luka post operasi skin graft)
 Klien tidak mengerang atau menangis terhadap rasa sakitnya
ditandai dengan Pasien mengeluh
 Klien tidak menunjukkan rasa sakit akibat nyerinya
nyeri pada luka bakar yang
NOC Label >> Pain Control
terletak di kedua lengan atas
sehingga susah untuk digerakkan,  Klien menyadari onset terjadinya nyeri dengan baik
dan nyeri pada luka post skin  Klien dapat menjelaskan faktor penyebab timbulnya nyeri dengan sering
graft, nyeri skala 7 dari 0-10  Klien sering menggunakan tindakan pencegahan
 Sering menggunakan pengobatan non farmakologis untuk meredakan rasa sakit
 Kadang-kadang menggunakan analgesic jika dianjurkan
 Klien mengatakatn nyerinya terkontrol

76
77
12. Pemasangan NGT

A. Pemasangan Pipa Lambung (NGT)


1. Pemasangan NGT
Melakukan pemasangan selang dari rongga hidung ke lambung
yang dilakukan pada pasien tidak sadar (coma), pasien dengan
masalahsaluran pencernaan atas (stenosis esophagus, tumor
mulut/faring/esophagus, dll), pasien yang tidak mampu menelan,
pasien pasca operasi pada mulut/faring/esofagus.

2. Tujuan
1. Memasukkan makanan cair atau obat-obatan cair atau padat yang
dicairkan
2. Mengeluarkan cairan atau isi lambung dan gas yang ada dalam
lambung
3. Mengirigasi karena perdarahan/keracunan dalam lambung
4. Mencegah atau mengurangi mual dan muntah setelah pembedahan
atau trauma
5. Mengambil specimen pada lambung untuk studi laboratorium.

78
3. Persiapan alat
1. NGT No.14 atau 16 (untuk lebih kecil)
2. Jeli
3. Klem
4. Stetoskop
5. Pinset
6. Handuk, tissue, dan bengkok
7. Segelas air putih dan sedotan
8. Plester
9. Spuit 20 cc atau 50 cc
10. Stetoscope
11. Spatel lidah
12. Senter
13. Sepasang sarung tangan
4. Prosedur kerja
1. Dekatkan alat disamping klien
2. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan tujuannya
3. Cuci tangan
4. Bantu klien pada posisi high fowler, meningkatkan klien untuk
menelan
5. Pasang handuk pada dada klien, dekatkan tisu wajah. Agar tidak
mengotori pakaian klien. Pemasangan selang dapat menyebabkan
keluarga air mata.
6. Memakai sarung tangan
7. Untuk menentukan insersi NGT, minta klien untuk rileks dan
bernafas normal dengan menutup satu hidung kemudiann
mengulanginya dengan menutup hidung yang lain ( bila klien
sadar), selang mudah masuk melalui selang hidung yang lebih
paten.
8. Mengukur panjang selang yang akan masuk dengan
menggunakan :

79
a. Metode tradisional : Ukur jarak dari puncak hidung kedaun
telinga bawah dan ke prosesus xifoideus disternum
b. Metode Hanson : Mula-mula tandai 50 cm pada selang
kemudian lakukan pengukuran dengan metoode tradisional.
Selang yang akan dimasukkan pertengahan antara 50 cm dan
tanda tradisional
9. Beri tanda pada panjang selang yang sudah diukur dengan
menggunakan plester
10. Oleskan jeli pada NGT sepanjang 10-20 cm. Pelumasan
menurunkan friksi anatar membrane mukosa dan selang.
11. Ingatkan klien bahwa selang akan segera dimasukkan dan
instruksikan klien untuk mengatur posisi kepala ekstensi,
masukkan selang melalui hidung dan memelihara agar jalan nafas
tetap terbuka
12. Lanjutkan memasukkan selang sepanjang rongga hidung. Jika
terasa agak tertahan, putarlah selang dan jangan dipaksakan untuk
dimasukkan selang dengan cara memutar dan sedikit menaruk
ujung selang akan mudah masuk kefaring.
13. Lanjutkan memasang selang sampai melewati nasofaring. Setelah
melewati nasofaring (3-4 cm) anjurkan klien untuk menekuk leher
dan menelan
14. Dorong klien untuk menelan dengan memberikan sedikit air
minum (jika perlu tekankan pentingnya bernnafas lewat mulut)
menelan memudahakn lewatnya selang melalui orofaring
15. Jangan memasakkan selang untuk masak. Jika ada hambatan atau
klien tersedak, sianosis, hentikan mendorong selang. Periksa posisi
selang dibelakang tenggorok dengan menggunakan sudip
lidah/spatel dan senter. Selang mungkin terlipat, menggulung
diofaring atau masuk ke trakea
16. Jika telah selesai memasang NGT sampai ujung yang telah di
tentukan, anjurkan klien rileks dan bernafas normal. Memberi
kenyamanan dan mengurangi kesemasan.

80
17. Periksa letak selang dengan :
a. Memasang spuit pada ujung NGT, memasang bagian diafragma
stetoskop pada perut di kuadran kiri atas klien (lambung)
kemudian suntikkan 10-20 cc udara bersamaan auskultasi
abdomen.
b. Mengaspirasi pelan-pelan untuk mendapatkan isi lambung
c. Memasukkan ujung bagian luar selang NGT kedalam mangkuk
yang berisi air . Jika terdapat gelembung udara. Selang masuk
ke dalam paru-paru. Jika tidak ada gelembung udara selang
masuk kedalam lambung
18. Oleskan alkohol pada ujung hidung klien dan biarkan sampai
kering. Membantu merekatkan plester lebih baik
19. Fiksasi selang dengan plester dan hindari penekankan pada
hidung :
a. Potong plester 10 cm, belah menjadi dua sepanjang 5 cm pada
salah satu ujungnya. Pasang ujung yang tidak dibelah pada
batang hidung klien dan silangkan pada selang yang keluar dari
hidung
b. Tempelkan ujung NGT pada klien dengan memasang plester
pada ujungnya dan peniti pada baju
20. Evaluasi klien setelah terpasang NGT
21. Rapikan alat-alat
22. Cuci tangan
23. Dokumentasikan hasil tindakan pada catatan keperawatan
 Keterampilan Pemasangan NGT
I. Tahap Pra Interaksi
1. Cek catatan pasien.
2. Siapkan pasien.
3. Siapkan alat :
a. Peralatan makan : piring, sendok, garpu, gelas minum, serbet,
pisau (jika perlu), dan mangkok untuk cuci tangan
b. Makanan dan minuman disiapkan dan dibawa ketempat pasien

81
c. Lingkungan di sekitar pasien dirapikan
II. Tahap orientasi
1. Beri salam, panggil pasien dengan namanya.
2. Beritahukan tujuan tindakan.
3. Beritahukan prosedur kerja dan lama bekerja.
III. Tahap kerja
1. Dekatkan alat disamping klien.
2. Cuci tangan.
3. Bantu klien pada posisi high fowler.
4. Pasang handuk pada dada klien, dekatkan tisu wajah.
5. Memakai sarung tangan.
6. Minta klien untuk rileks dan bernafas normal dengan menutup satu
hidung kemudian mengulanginya dengan menutup hidung yang
lain (bila klien sadar).
7. Mengukur panjang selang yang akan masuk dengan
menggunakan :
a. Metode tradisional : Ukur jarak dari puncak hidung ke daun
telinga bawah dan ke prosesus xifoideus disternum
b. Metode hanson : Mula-mula tandai 50 cm pada selang
kemudian lakukan pengukuran dengan metode tradisional.
Selang yang akan di masukkan pertengahan antara 50 cm dan
tanda tradisional.
8. Beri tanda pada panjang selang yang sudah di ukur dengan
menggunakan plester.
9. Oleskan jeli pada NGT sepanjang 10-20 cm.
10. Informasikan pada klien selang akan segera dimasukkan,
intruksikan klien untuk mengatur posisi kepala ekstensi, masukkan
selang melalui lobang hidung yang telah di tentukan.
11. Lanjutkan memasukkan selang sepanjang rongga hidung. Jika
terasa agak tertahan, putarlah selang dan jangan di paksakan untuk
dimasukkan.

82
12. Lanjutkan memasang selang sampai melewati nasofaring. Setelah
melewati nasofaring (3-4 cm) anjurkan klien untuk menekuk leher
dan menelan.
13. Dorong klien untuk menelan dengan memberi sedikit air minum
(jika perlu). Tekankan pentingnya bernafas lewat mulut.
14. Jangan memaksakan selang untuk masuk. Jika ada hambatan atau
klien tersedak, sianosis, hentikan mendorong selang. Periksa posisi
selang di belakang tenggorok dengan menggunakan sudip
lidah/spatel dan senter.
15. Jika telah selesai memasang NGT sampai ujung yang telah di
tentukan, anjurkan klien rileks dan bernafas normal.
16. Periksa letak selang dengan :
a. Memasang spuit pada ujung NGT, memasang bagian diafragma
stetoskop pada perut di kuadran kiri atas klien (lambung)
kemudian suntikkan 10 20 cc udara bersamaan auskultasi
abdomen.
b. Mengaspirasi pelan-pelan untuk mendapatkan isi lambung
c. Memasukkan ujung bagian luar selang NGT kedalam mangkuk
yang brisi air. Jika terdapat gelembung udara, selang masuk
kedalam paru-paru. Jika terdapat gelmbung udara selang masuk
kedala lambung.
17. Oleskan alkohol pada ujung hidung klien dan biarkan sampai
kering. Membantu merekatkan plester lebih baik.
18. Fiksasi selang dengan plester dan hindari penekanan pada hidung :
a. Potong plester 10 cm, belah menjadi 2 sepanjang 5 cm pada
salah satu ujungnya. Pasang ujung yang tidak dibelah pada
batang hidung klien dan silangkan pada selang yang keluar dari
hidung
b. Tempelkan ujung NGT pada baju klien dengan memasang
plester pada ujungnya dan peniti pada baju
19. Evaluasi klien setelah terpasang NGT.
20. Rapikan alat-alat.

83
21. Cuci tangan.
IV. Tahap terminasi
1. Evaluasi kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
2. Dokumentasikan :
a. Catat jenis makanan yang diberikan, diet sesuai dengan
indikasi.
b. Catat setiap keluhan yang ditemukan saat klien pemasangan.

84
b. BILAS LAMBUNG / KUMBAH LAMBUNG

A. Definisi
Bilas lambung (gastric lavage) adalah membersihkan lambung
dengan cara memasukan dan mengeluarkan air ke/dari lambung dengan
menggunakan NGT (Naso Gastric Tube). Menurut Smelltzer dan Bare
(2001:2487), lavase lambung adalah aspirasi isi lambung dan pencucian
lambung dengan menggunakan selang lambung.
Bilas lambung, atau disebut juga pompa perut dan irigasi lambung
merupakan suatu prosedur yang dilakukan untuk membersihkan isi perut
dengan cara mengurasnya.
Lavase lambung dikontraindikasikan setelah mencerna asam atau
alkali, pada adanya kejang, atau setelah mencerna hidrokarbon atau
petroleum disuling. Hal ini terutama berbahaya setelah mencerna agen
korosif kuat. Kumbah lambung merupakan metode alternatif yang umum
pengosongan lambung, dimana cairan dimasukkan kedalam lambung
melalui orogastrik atau nasogastrik dengan diameter besar dan kemudian
dibuang dalam upaya untuk membuang bagian agen yang mengandung
toksik. Selama lavage, isi lambung dapat dikumpulkan untuk
mengidentifikasi toksin atau obat. Selama dilakukan bilas lambung, cairan
yang dikeluarkan akan ditampung untuk selanjutnya diteliti racun apa
yang terkandung.

B. Tujuan :
Menurut Smelltzer dan Bare (2001:2487), tujuan lavase lambung
yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengeliminasi racun yang masuk kedalam lambung.
2. Untuk mengambil sample cairan dan bahan-bahan yang ada
dalam lambung untuk menentukan diagnosa medis.
3. Untuk pembuangan urgen substansi dalam upaya menurunkan
absorpsi sistemik;

85
4. Untuk mengosongkan lambung sebelum prosedur endoskopik.
5. Untuk mendiagnosis hemoragi lambung dan menghentikan
hemoragi.
C. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut


sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk
menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi,
menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari
tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran
pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
D. Indikasi :
1. Pasien yang keracunan makanan atau obat tertentu.
2. Persiapan operasi lambung.
3. Persiapan tindakan pemeriksaan lambung.
4. Tidak ada refleks muntah.
5. Gagal dengan terapi emesis.
6. Pasien dalam keadaan sadar.
7. Persiapan untuk pembedahan.

86
8. Perdarahan gastrointestinal.
9. Kelebihan dosis obat-obatan(Krisanty, Paula.2009. Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat .hlm : 89)

E. Kontraindikasi :
1. Kumbah lambung tidak dilakukan secara rutin dalam penatalaksanaan
pasien dengan keracunan. Kumbah lambung dilakuakan ketika
pasienmenelan substansi toksik yang dapat mengancam nyawa, dan
prosedurdilakukan dalak 60 menit setelah tertelan.
2. Kumbang lambung dapat mendorong tablet ke dalam duodenum
selainmengeluarkan tablet tersebut.
3. Kumbah lambung dikontraindikasikan untuk bahan-bahan toksik
yangtajam dan terasa membakar (risiko perforasi esophageal).
Kumbahlakukan tidak dilakukan untuk bahan toksik hidrokarbon
(risikorespirasi), misalnya: camphor, hidrokarbon, halogen,
hidrokarbonaromatik, pestisida.
4. Kumbah lambung dikontrindikasikan untuk pasien yang menelan
benda tajam dan besar.
5. Pasien tanpa gerak refleks atau pasien dengan pingsan (tidak
sadar)membutuhkan intubasi sebelum kumbah lambung untuk
mecegahinspirasi.
6. Pasien kejang
7. Tumor paru-paru
8. Menginsersi tube melalui nasal bila ada fraktur
9. Menelan alkali kat (rosyadi, khlid.2013.Buku Saku Keperaatan
Medikal Bedah. Hal 348)
F. Persiapan Alat & Bahan
Persiapan Alat :
Alat dan bahan yang digunakan dalam prosedur bilas lambung yaitu
sebagai berikut:

87
1. selang nasogastrik/ diameter besar atau selang Ewald diameter besar;
2. spuit pengirigasi besar dengan adapter;
3. saluran plastic besar dengan adapter;
4. pelumas larut air;
5. air biasa atau antidote yang tepat (susu, larutan salin, larutan
bikarbonat natrium, jus jeruk, karbon teraktivasi);
6. wadah untuk aspirat;
7. gag mulut, selang nasotrakea atau endotrakea dengan cuv yang dapat
dikembungkan;
8. wadah untuk spesimen.

G. Persiapan pasien
Pada keadaan darurat, misalnya pada pasien yang keracunan, tidak
ada persiapan khusus yang dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan
Bilas lambung (gastric lavage), akan tetapi pada waktu tindakan dilakukan
untuk mengambil specimen lambung sebagai persiapan operasi, biasanya
dokter akan menyarankan akan pasien puasa terlebih dahulu atau berhenti
dalam meminum obat sementara.
H. Prosedur kerja Prosedur bilas lambung pada kasus keracunan
1. Bisa dilakukan pada klien yang tidak sadar / stupor atau jika induksi
muntah dengan sirup ipekak tidak berhasil.
2. Bila klien setengah sadar dan masih ada refleks muntah, maka
posisikan klien miring pada satu sisi untuk memudahkan irigasi dan
mencegah aspirasi.
3. Bila klien tidak sadar dan refleks muntah tidak ada, maka klien harus
dilakukan intubasi trachea sebelum dilakukan bilas lambung.
4. Gunakan pipa nasogastrik berdiameter besar (>28Fr) untuk
memudahkan aliranirigasi cairan.
5. Gunakan larutan garam fisiologis untuk pembilasan, suhu cairan yang
digunakansebaiknya sesuai suhu tubuh.
6. Lakukan irigasi dan aspirasi cairan garam faal sebanyak +/- 200 ml
beberapa kalisampai terpakai 2-4 liter.

88
7. Lakukan pencatatan setelah tindakan yang meliputi jumlah,
karakteristik, bau cairan yang dilakukan irigasi serta reaksi klien.
I. Prosedur Bilas lambung (gastric lavage) pada kasus perdarahan
lambung
1. Sebelumnya pasang NGT berukuran besar, jenis yang biasanya
digunakan adalah selang Ewald. Selang dengan diameter kecil tidak
cukup efektif untuk mengeluarkan bekuan darah dan dapat
menyebabkan kesalahan penegakan diagnosa karena bila ada bekuan
darah yang menyumbat selang, akan sulit mendeteksi masih terjadinya
perdarahan.
2. Lakukan irigasi dengan menggunakan cairan garam faal dengan cara
memasukkan sejumlah cairan secara bertahap dan kemudian
mengeluarkannya dengan cara mengalirkan atau diaspirasi
menggunakan tekanan rendah.
3. Alirkan cairan yang dikeluarkan ke dalam kantong (collection bag)
yang diletakkan dengan posisi lebih rendah dari tubuh klien atau
tempat tidur klien.
4. Cairan irigasi yang digunakan bisa berjumlah +/- 500-700 ml.
5. Pastikan bahwa aliran cairan lancar, begitu juga dengan system
drainasenya.
6. Waspada terhadap potensial terjadinya sumbatan bekuan darah pada
selangatau perubahan posisi selang.
7. Gunakan cairan dengan suhu ruangan, karena akan lebih efektif dalam
tindakan gastric lavage. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa penggunaan cairan dengan suhu rendah (dingin) akan
menggeser kurva disosiasi hemoglobin kearah kiri dan dapat berakibat
langsung seperti : penurunan aliran oksigen ke organ-organ vital serta
memperpanjang waktu perdarahan dan protrombin time.
J. Komplikasi
1. Perforasi esophagus

89
Perforasi esophagus adalah sebuah lubang melalui mana isi
kerongkongan dapat masuk ke mediastinum, daerah sekitarnya
payudara. Hal ini dapat menyebabkan infeksi mediastinum.
2. Aspirasi pulmonal
Pneumonia Aspirasi merupakan infeksi paru-paru yang diakibatkan
oleh terhirupnya seseuatu ke dalam saluran pernapasan.
3. Ketidakseimbangan elektrolit (Hiponatremi, Hipokloremi)
Ketidak seimbangan elektrolit adalah ketika jumlah natrium dan
kalium dalam tubuh terlalu banyak atau terlalu sedikit.
4. Hipotermia
Hiptermia adalah suatu kondisi dimana mekanisme tubuh untuk
pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin.
5. Laringospasme
Laringpasme adalah kejang singkat dari pita suara yang sementara
membuat sulit untuk berbicara dan bernafas. Seringkali penyebabnya
tidak dapat diketahui. Tapi laringopasme dapat dikaitkan dengan
penyakit reluks gastroesofagus.
6. Hipoksia
Hipoksia adalah suatu kondisi dimana jaringan tubuh kekurangan
oksigen. Kondisi ini disebabkan oleh hipoksemia, yaitu tingkat oksigen
dalam darah lebih rendah dari normal.
7. Bradikardi
Bradikardi adalah kondisi dimana jantung penderita berdetak lebih
lambat dari kondisi normal. Umumnya detak jantung normal pada
orang dewasa saat beristirahat adalah 60-100 kali/menit. Sedangkan
jantung penderita bradikardi berdetak dibawah 60 kali/menit.
8. Epistaksi
Epistasi atau mimisan adalah suatu keadaan pendarahan dari
hidung. Sering ditemukan sehari-hari hampir sebagian besar dapat
berhenti sendiri.

90
c. SUCCTION
A. Pengertian :

Suction (Pengisapan Lendir) merupakan tindakan pengisapan yang


bertujuan untuk mempertahankan jalan napas, sehingga memungkinkan
terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara mengeluarkan
secret dari jalan nafas, pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya
sendiri.
Suction merupakan suatu metode untuk mengeluarkan secret jalan
nafas dengan menggunakan alat via mulut, nasofaring atau trakeal.

B. Tujuan :
1. Mempertahankan kepatenan jalan nafas
2. Membebaskan jalan nafas dari secret/ lendir yang menumpuk
3. Mendapatkan sampel/sekret untuk tujuan diagnosa.

C. Prinsip:
Tekhnik steril, agar mikroorganisme tidak mudah masuk ke faring,
trakeal dan bronki.

D. Komplikasi:
1. Hipoksia
2. Trauma jaringan
3. Meningkatkan resiko infeksi
4. Stimulasi vagal dan bronkospasme

E. Kriteria :
1. Kelengkapan alat penghisap lender dengan ukuran slang yang tepat
2. Menggunakan satu selang penghisap lendir steril untuk satu klien
3. Menggunkan slang penghisap lendir yang lembut
4. Penghisapan dilakukan dengan gerakan memutar dan intermitten
5. Observasi tanda-tanda vital

F. Indikasai :
1. Klien mampu batuk secara efektif tetapi tidak mampu membersihkan
sekret dengan mengeluarkan atau menelan
2. Ada atau tidaknya secret yang menyumbat jalan nafas, dengan
ditandai terdengar suara pada jalan nafas, hasil auskultasi yaitu
ditemukannya suara crakels atau ronchi, kelelahan pada pasien. Nadi

91
dan laju pernafasan meningkat, ditemukannya mucus pada alat bantu
nafas.
3. Klien yang kurang responsive atau koma yang memerlukan
pembuangan secret oral

G. Persiapan :
a. Lingkungan
1. Penjelasan pada keluarga
2. Pasang skerem/ tabir
3. Pencahayaan yang baik
b. Klien
1. Penjelasan terhadap tindakan yang akan dilakukan
2. Atur posisi klien :
Klien sadar : posisi semi fowler kepala miring ke satu sisi (oral
suction) dan posisi fowler dengan leher ekstensi (nasal suction)
Klien tidak sadar : baringkan klien dengan posisi lateral menghadap
pelaksana tindakan (oral/nasal suction)

c. Alat – alat
1. Regulator vakum set
2. Kateter penghiap steril sesuai ukuran
3. Air steril/ normal salin
4. Hanscoon steril
5. Pelumas larut dalam air
6. Selimut/ handuk
7. Masker wajah
8. Tong spatel k/p

H. Pelaksanaan :
Fase orientasi
1. Salam terapeutik
2. Evaluasi/ validasi
3. Kontrak
Fase kerja

I. Suction Orofaringeal
Digunakan saat klien mampu batuk efektif tetapi tidak mampu
mengeluarkan sekresi dengan mencairkan sputum atau menelannya.
Prosedur digunakan setelah klien batuk.
1. Siapkan peralatan disamping tempat tidur klien
2. Cuci tangan dan memakai sarung tangan
3. Mengatur posisi klien (perhatikan keadaan umum klien)

92
4. Pasang handuk pada bantal atau di bawah dagu klien
5. Pilih tekanan dan tipe unit vakum yang tepat
6. Tuangkan air steril/ normal salin dalam wadah steril
7. Ambungkan kateter penghisap steril ke regulator vakum
8. Ukur jarak antara daun telinga dan ujung hidung klien
9. Basahi ujung kateter dengan larutan steril
10. Penghisapan, masukkan ke satu sisi mulut klien dan arahkan ke
orofaring dengan perlahan
11. Sumbat “port” penghisap dengan ibu jari. Dengan perlahan rotasi
kateter saat menariknya, tidak boleh lebih dari 15 detik.
12. Bilas kateter dengan larutan steril. Bila klien tidak mengalami
disteress pernafasan, istirahat 20-30 detik, sebelum memasukkan
ulang kateter.
13. Bila diperlukan penghisapan ulang, ulang langkah 9 -11
14. Bila klien mampu minta untuk nafas dalam dan batuk efektif
diantara penghisapan
15. Hisap secret pada mulut atau bawah lidah setelah penghisapan
orofaringeal.
16. Buang kateter penghisap bersamaan dengn pelepasan hanscoon
17. Cuci tangan

II. Suction ETT


1. Kaji adanya tanda dan gejala yang mengindikasikan gejala adanya
sekresi jalan nafas bagian atas
2. Jelaskan pada klien prosedur yang akan dilakukan
3. Persiapkan alat dan bahan
4. Tutup pintu atau tarik gorden
5. Berikan pasien posisi yang benar
6. Tempatkan handuk di atas bantal atau di bawah dagu klien
7. Pilih tipe tekanan pengisap yang tepat untuk klien. Misalnya
tekanan 110- 150 mmHg untuk dewasa, 95-110 mmHg untuk anak-
anak, dan 50-95 untuk bayi.
8. Cuci tangan
9. Untuk pengisapan dengan kateter yankauer
 Kenakan sarung tangan bersih
 Hubungkan satu ujung selang penghubung dengan mesin
pengisap dan ujung lain dengan kateter pengisap yankauer. Isi
mangkuk dengna air.
 Periksa apakah peralatan berfungsi dengan baik dengan
mengisap sejumlah air dari mangkuk
 Pindahkan masker oksigen jika terpasang

93
 Masukkan kateter ke dalam mulut sepanjang garis gusi ke
faring. Gerakkan kateter mengelilingi lubang mulut sampai
sekresi terangkat.
 Dorong klien untuk batuk. Angkat masker oksigen
 Bersihkan kateter dengan air di dalam mangkuk atau Waskom
sampai selang penghubung bersih dari sekresi. Matikan
pengisap.
 Kaji kembali status pernafasan klien
 Angkat handuk, letakkan di kantong kotor untuk dicuci.
Lepaskan sarung tangan dan buang di wadah.
 Reposisikan klien, posisi sims mendorong drainase dan harus
digunakan jika klien mengalami penurunan tingkat kesadaran.
 Buang air yang tersisa ke dalam wadah yang tersedia
 Tempatkan selang penghubung di daerah kering dan bersih
 Cuci tangan

III. Suction tracheostomy


1. Nyalakan peralatan pengisap dan atur regulator vakum pada
tekanan negative yang sesuai
2. Jika diindikasikan tingkatkan oksigen tambahan sampai 100%
atau sesuai program dokter
3. Gunakan peralatan pengisap dengan membuka bungkusan dengan
tetap menjaga kesterilan pengisap tersebut.
4. Buka pelumas. Tekan dalam bungkusan kateter steril yang
terbuka tersebut tanpa menyentuh bungkusannya.
5. Kenakan masker dan pelindung mata
Kenakan sarung tangan steril pada kedua tangan atau kenakan
sarung
6. tangan bersih pada tangan tidak dominan dan sarung tangan steril
pada tangan dominan.
7. Angkat kateter pengisap dengan tangan dominan tanpa
menyentuh permukaaan yang tidak steril. Angkat selang
penghubung dengan tangan tidak dominan. Masukkan kateter ke
dalam selang.
8. Periksa apakah peralatan berfungi dengan baik dengan mengisap
sejumlah normal saline dari Waskom
9. Lumasi 6-8 cm kateter distal dengna pelumas larut air
10. Angkat peralatan pemberian oksigen, jika terpasang dengan
tangan tidak dominan. Tanpa melakukan pengisapan, dengan
perlahan tetapi cepat, insersikan kateter dengan ibu jari dan jari

94
telunjuk dominan ke dalam hidung dengan gerakan sedikit
mirimg ke arah bawah atau melalui mulut saat klien menghirup
nafas.
11. Lakukan pengisapan secara intermitten sampai selam 10 detik
dengan meletakkan dan mengangkat ibu jari tidak dominan dari
lubang ventilasi kateter sambil memutarnya ke dalam dan keluar
di antara ibu jari dan jari telunjuk dominan.
12. Bilas kateter dengan selang penghubung dengan normal saline
sampai bersih.\
13. Fase Terminasi
14. Evaluasi terhadap tindakan yanmg telah dilakukan
15. Rencana tindak lanjut
16. Kontrak yang akan datang

I. Pendokumentasian :

Pengkajian sebelum dan sesudah suction, ukuran kateter, lama


tindakan, secret (warna,bau,jumlah dan konsistensi), toleransi klien
terhadap tindakan yang dilakukan.

95
d. PEMASANGAN KATETER URIN

1. Pengertian tindakan
Kateter merupakan suatu selang untuk memasukkan dan mengeluarkan
cairan. Kateterisasi urinarius adalah memasukkan kateter melalui utetra ke
dalam kandung kemih dengan tujuan untuk mengeluarkan urin. Kateter urin
dapat dipasang untuk jangka waktu pendek seperti di lingkungan rawat inap
atau kronis dan lingkungan rumah.

2. Tujuan Tindakan
a. Menghilangkan distensi kandung kemih
b. Mendapatkan spesimen urine
c. Mengkaji jumlah residu urine, jika kandung kemih tidak mampu
sepenuhnya dikosongkan

3. Indikasi, kontrainsikasi, dan komplikasi Indikasi:


a. Inkontinensia urin
b. Retensi urin
c. Mengukur jumlah produksi urin oleh ginjal secara akurat
d. Mengosongkan kandung kemih sebelum dan selama operasi dan sebelum
suatu pemeriksaan diagnostic
e. Memperoleh bahan urin steril
f. Mengukur jumlah residu urin dalam kandung kemih
g. Membantu melatih kembali atau memulihkan pengendalian kandung
kemih secara normal
h. Menjaga agar pasien yang inkontinen tetap kering pada daerah perineum,
agar kulit tetap utuh dan tidak infeksi

Komplikasi:

a. Trauma
b. Infeksi

96
c. Sepsis
d. Bola pecah atau tidak dapat kempis
e. Alergi atau sensitive terhadap latex

4. Kompetensi dasar yang harus dimiliki


a. Saat melakukan kateterisasi ada beberapa pengetahuan dasar tentang
system urinarius bagian bawah yang harus dimiliki, yaitu
1) Kandung kemih secara normal merupakan kantong yang steril
2) Spincter uretra bagian luar tidak steril
3) Kandung kemih mempunyai mekanisme pertahanan sendiri
dapat mengosongkan urin sendiri secara teratur dan
mempertahankan keasaman lingkungannya
4) Kuman pathogen yang masuk ke dalam uretra dapat menyebabkan
infeksi kandung kemih dan ginjal
5) Kandung kemih yang normal tidak mudah terkena infeksi kecuali
cedera.
b. Tipe, ukuran, bahan kateter Tipe:
1) Nelaton kateter/straight catheter/kateter sementara
2) Folley kateter/kateter tetap

Foley kateter Nelaton Kateter

97
Ukuran

Wanit Pria
a
Panjang 3,7 - 7 14 -
kateter 20
Kateter 5 – 7,5 15 –
yang 22,5
masuk
Yang 3-4 5–
diberi 7,5
jelly
Ukuran kateter
Wanit Katete
a r no
Dewas 14/16
a
Laki- Katete
laki r no
dewas 18/20
a
Anak- Katete
anak r no
8/10

5. Alat dan bahan


a. Sarung tangan steril
b. Kateter sesuai ukuran dan tipe
c. Jelly
d. Urine bag
e. Perlak
f. Bengkok
g. Spuit isi aquadest
h. Kapas dan cairan sublimat
i. Lampu senter atau lampu gooseneck
j. Selimut mandi

98
6. Anatomi daerah tindakan
Uretra

Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui
meatus utetra. Membran mukosa melapisi uretra dan kelenjar uretra
mensekresi lendir ke dalam saluran uretra. Lendir bersifat bakteriostatis dan
membentuk plak mukosa untuk mencegah masuknya bakteri. Lapisan otot
polos yang tebal mengelilingi uretra. Panjang uretra pada wanita yaitu 4
sampai 6,5 cm. Sfingter uretra eksterna yang terletak disekitar setengah bagian
bawah uretra memungkinkan aliran volunteer. Uretra pada pria yang
merupakan saluran perkemihan dan jalan keluar sel serta sekresi dari organ
reproduksi memiliki panjang 20 cm. Pada wanita meatus urinarius terletak di
labia minora di atas vagina dan di bawah klitoris sedangkan pada pria terletak
pada ujung distal penis.

7. Aspek keamanan dan keselamatan

8. Prosedur Tindakan

99
a. Kaji status klien: waktu terakhir berkemih, tingkat kesadaran, keterbatasan
mobilisasi dan fisik, usia, alergi, kondisi patologis yang dapat merusak
jalan masuk kateter
b. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
c. Jelaskan prosedur
d. Pertahankan privasi klien
e. Tinggikan tempat tidur sampai posisi yang nyaman untuk melakukan
tindakan f. Cuci tangan
g. Atur posisi klien

1) Wanita : bantu untuk mengambil posisi dorsal rekumben (telentang


dengan lutut ditekuk) atau posisikan klien dalam posisi berbaring
miring (Sims) dengan menekuk lututnya.
2) Pria : bantu untuk mengambil posisi dengan paha sedikit diabduksi
h. Pasang sarung tangan
i. Lakukan vulva hygiene atau perineal hygiene
j. Buka set kateter da berikan jelly di ujung kateter
k. Masukkan kateter sampai urin mengalir. Ketika urin mengalir pindahkan
tangan yang dominan dari labia atau dari penis ke kateter, 2 cm dari
meatus untuk menahan kateter agar tidak terdorong ke luar. Tangan yang
dominan menghubungkan ujung kateter dengan urine bag
l. Jika menggunakan indwelling kateter, isi balon kemudian tarik kateter
kira-kira
2,5 cm

m. Lepas sarung tangan steril


n. Plester kateter
1) Pria : ke abdomen bagian bawah
2) Wanita : kea rah paha
o. Bantu klien pada posisi nyaman
p. Cuci tangan

9. Hal-hal yang harus diperhatikan

100
a. Bila pemasangan dilakukan tidak hati-hati bisa menyebabkan luka dan
perdarahan uretra yang berakhir dengan striktur uretra seumur hidup
b. Balon yang dikembangkan sebelum memasuki buli-buli juga dapat
menimbulkan luka pada uretra. Karenanya, balon dikembangkan bila yakin
balon akan mengembnag dalam buli-buli dengan mendorong kateter
sampai ke pangkalnya

10. Hal-hal yang dicatat


a. Tanggal dan waktu tindakan
b. Tipe dan ukuran kateter
c. Specimen atau bahan urin yang didapat
d. Jumlah urin
e. Deskripsi urin
f. Respon pasien terhadap prosedur

101
e. BLADDER TRAINING

1. DEFINISI BLADDER TRAINING

Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi


kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi
optimal neurogenik (Potter dan Perry, 2005). Bladder training digunakan untuk
mencegah atau mengurangi buang air kecil yang sering atau mendesak dan
inkontinensia urin (tidak bisa menahan pengeluaran urin).

Bladder training adalah suatu terapi yang sering digunakan, terutama pada
pasien yang baru saja terlepas dari kateter urin, namun bisa juga dilakukan oleh
semua orang untuk lebih melatih kekuatan otot sfingter eksterna dalam menahan
pengeluran urin. Bladder training merupakan terapi yang sangat sederhana dan
tidak memiliki efek samping. Latihan ini juga dapat dikombinasikan dengan terapi
pengobatan lain. Penelitian menunjukkan adanya peningakatan 50% pasien
dengan inkontinensia urin yang menggunakan bladder training.

Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda
berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih) Suhariyanto (2008).
Latihan kegel (kegel exercises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam
suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan
kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih
dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi
urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul
untuk memperkuat penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi
kandung kemih. (Kane, 1996 dalam Nursalam 2006).

Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda


untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat
dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag (Hariyati, 2000). Bladder
training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat

102
dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas
setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian
dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin
dan otot destrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan
kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Smeltzer, 2001).

2. TUJUAN BLADDER TRAINING

Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran air kemih (potter&perry, 2005). Terapi ini bertujuan memperpanjang
interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik
relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari
atau 3-4 jam sekali. Melalui latihan, penderita diharapkan dapat menahan sensasi
berkemih. Latihan ini dilakukan pada pasien anak pasca bedah yang di pasang
kateter (Suharyanto, 2008).

1. Mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan ke


keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (Potter dan Perry,
2005).
2. Memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik
distraksi atau teknik relaksasi.
3. Dapat menahan sensasi berkemih.
4. Untuk mengurangi gejala dari:
- Frekuensi urin: mengeluarkan urin lebih dari 6-7 kali per hari.
- Nokturia: sering kencing di malam hari.
- Inkontinensia urge.
5. Mengembalikan tonus otot dari kandung kemih yang sementara waktu
tidak ada karena pemasangan kateter.
6. Mempersiapkan klien sebelum pelepasan kateter yang terpasang lama
7. Melatih klie untuk melakukan BAK secara mandiri
8. Mempersiapkan pelepasan kateter yang sdah terpasang lama
9. Mengembalikan tonus otot dari kandung kemih yang sementara waktu
tidak ada karena pemasangan kateter

103
10. Klien dapat mengontrol berkemih
11. Klien dapat mengontrol buang air besar
12. Menghindari kelembapan dan iritasi pada kulit lansia
13. Menghindari isolasi social bagi klien

3. INDIKASI BLADDER TRAINING


1. Pasien yang mengalami retensi urin.
2. Pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi
sfingter kandung kemih terganggu.
3. Pasien yang menderita inkontinensia urin (inkontinensia urin stres,
inkontinensia urin urge, atau kombinasi keduanya).
4. Klien post operasi pada daerah pelvik (Nababan, 2011).
5. Klien yang pemasangan kateter dengan cukup lama
6. Klien yang akan dilakukan pelepasan dower kateter
7. Klien yang mengalami inkontenesia urin
8. Klien post operasi
9. Orang yang mengalami masalah dalam hal perkemihan
10. Klien dengan kesulitan memulai atau menghentikan aliran urin.

4. KONTRA INDIKASI BLADDER TRAINING


1. Sistitis (infeksi kandung kemih yang paling sering disebabkan oleh
menyebarnya infeksi dari uretra) berat.
2. Pielonefritis (inflamasi pada pelvis ginjal dan parenkim ginjal yang
disebabkan karena adanya infeksi oleh bakteri).
3. Gangguan atau kelainan pada uretra.
4. Hidronefrosis (pembengkakan ginjal yang terjadi sebagai akibat akumulasi
urin di saluran kemih bagian atas).
5. Vesicourethral reflux.
6. Batu traktus urinarius (Maulida, 2011).
7. Gagal ginjal

5. PERAN PERAWAT DALAM BLADDER TRAINING

104
Peran Perawat (termasuk pengkajian yang dilakukan saat bladder training)
Saat melepas kateter urin, perawat mengobservasi mengkaji dengan teliti
apakah ada tanda-tanda infeksi atau cidera pada meatus uretra pasien.
Perawat perlu melakukan pengkajian dan pemantauan pola berkemih setelah
selesai bladder training dan pelepasan kateter urin. Perawat medikal bedah
juga harus responsif terhadap keluhan yang mungkin timbul setelah kateter
urin dilepas. Pasien diminta untuk segera melaporkan pada perawat atau dokter
jika ada keluhan yang dirasakan pasien saat berkemih (Bayhakki. dkk,
2008).

Pengkajian yang dilakukan antara lain:


 Pola berkemih
Info ini memungkinkan perawat merencanakan sebuah program yang
sering memakan waktu 2 minggu atau lebih untuk di pelajari
 Ada tidaknya ISK atau penyakit penyebab
Bila terdapat ISK atau penyakit yang lainnya maka harus diobati dalam
waktu yang sama (Bayyhaki, 2008).
 Kebutuhan klien akan baldder training
Pastikan bahwa pasien benar-benar membutuhkan bladder training

6. PROSEDUR BLADDER TRAINING

Prosedur kerja dalam melakukan bladder training, yaitu:

1. Mengucapkan salam.
2. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan.
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai
ruangan (ciptakan privasi bagi klien).
4. Pelaksanaan.
a. Klien masih menggunakan kateter.
Prosedur 1 jam:
- Cuci tangan.

105
- Klien diberi mium setiap 1 jam sebanyak 200 cc dari pukul 07.00-
19.00. Setiap kali klien diberi minum, kateter diklem.
- Kemudian, setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai pukul
08.00-20.00 dengan cara klem kateter dibuka.
- Pada malam hari (setelah pukul 20.00) buka klem kateter dan klien
boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang hari.
- Prosedur terus diulang sampai berhasil.

Prosedur 2 jam:

- Cuci tangan.
- Klien diberi minum setiap 2 jam sebanyak 200 cc dari pukul 07.00-
19.00. Setiap kali diberi minum, kateter diklem.
- Kemudian, setiap jam kandung kemih dikosongkan mulai pukul
08.00-21.00 dengan cara klem kateter dibuka.
- Pada malam hari (setelah pukul 21.00) buka klem kateter dan klien
boleh minum tanpa ketentuan seperti pada siang hari.
- Prosedur terus diulang sampai berhasil.
b. Pada klien yang tidak menggunakan kateter.
- Cuci tangan.
- Klien diberi minum setiap 1 jam sebanyak 200 cc dari pukul 07.00-
19.00, lalu kandung kemih dikosongkan.
- Kateter dilepas.
- Monitor pengeluaran urin klien setiap 8 jam selama 1-2 hari setelah
pelepasan kateter.
- Atur posisi yang nyaman untuk klien, bantu klien untuk konsentrasi
BAK, kemudian lakukan penekanan pada area kandung kemih dan
lakukan pengosongan kandung kemih setiap 2 jam secara urinal.
- Berikan minum terakhir pukul 19.00, selanjutnya klien tidak boleh
diberi minum sampai pukul 07.00 pagi untuk menghindari klien
berkemih pada malam hari.

106
- Beritahu klien bahwa pengosongan kandung kemih selanjutnya
dijadwalkan setiap 2 jam sekali, apabila ada rangsangan BAK
sebelum 2 jam klien diharuskan untuk menahannya.
- Buatlah sebuah jadwal bagi pasien untuk mencoba mengosongkan
kandung kemih secara urinal.
- Anjurkan klien untuk menggunakan Kegel exercise dan teknik
pengosongan kandung kemih.
5. Alat-alat dibereskan.
6. Akhiri interaksi dengan mengucapkan salam.
7. Dokumentasi (http://www.anvita.info).

Prosedur bladder training yang dapat dilakukan secara mandiri, yaitu :

1. Cobalah untuk buang air kecil pada waktu yang teratur. Mulailah dengan
memilih interval waktu (jumlah waktu), seperti satu jam.
2. Selama satu hari, pergilah ke kamr mandi setiap jam toileting yang telah
dijadwalkan, terlepas dari apakah toileting atau tidak. Hal ini untuk
melatih kandung kemih mematuhi jadwal yang telah dibuat. Jumlah urin
yang dikeluarkan tidaklah penting.
3. Jika selama 4 hari metode per jam ini berhasil, maka tingkatkan interval
toileting 15-30 menit selama 4 hari berikutnya.
4. Jangan menambah interval waktu sampai interval waktu awal dipenuhi.
Tingkatkan interval waktu 15-30 menit sampai dapat menahan kencing
selama 3-4 jam.
5. Buatlah jadwal khusus untuk toileting dan jangan melanggar jadwal
tersebut.
6. Jika merasa ingin sekali toileting, maka cobalah tahan dan gunakan teknik
relaksasi (napas dalam). Jika terpaksa, maka diperbolehkan untuk toileting,
namun tetap mengikuti jadwal toileting yang dibuat sebelumnya
(http://www.womensbladderhealth.com/).

Cara untuk mengurangi urgensi:

107
1. Lakukan Kegel exercise selama 10 detik dan ulangi selama beberapa kali.
2. Beberapa macam teknik Kegel exercise yang dapat dilakukan:
a. Elevator
Bayangkan bahwa panggul Anda adalah lift. Ketika otot-otot rileks,
Anda berada di lantai dasar. Perlahan-lahan tarik otot Anda sampai
lantai kedua, kemudian berhenti. Kemudian tarik sekuat mungkin
untuk mencapai lantai tiga, berhenti. Kembali ke lantai dua, berhenti.
Kemudian rileks sepenuhnya dan kembali ke lantai dasar. Ambil napas
dalam dan ulangi selama beberapa kali.
b. Teknik Cepat
Kontraksikan dan relaksasikan otot-otot pelvik secepat mungkin 5 kali
secara beraturan. Relaksasi 10 detik, kemudian ulangi.
c. Long Haul
Kontraksikan otot-otot pelvik sekuat yang klien bisa. Lakukan teknik
ini 1 kali/hari untuk menghindari kelelahan otot.
3. Aktivitas mental juga dapat digunakan untuk menarik perhatian dari
keinginan untuk buang air kecil. Hal ini dapat digunakan sendiri atau
bersama dengan latihan otot panggul. Sebagai contoh, cobalah menghitung
mundur dari seratus, melakukan latihan pernapasan dalam, membaca puisi,
atau menonton program televisi untuk mengalihkan perhatian diri dari
dorongan untuk berkemih (http://www.womensbladderhealth.com/).

Cara untuk Mengoptimalkan Kerja Bladder Training

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membantu


mengoptimalkan kerja dari bladder training, yaitu:

1. Batasi konsumsi kafein (kopi, teh, soda, dan cokelat) karena kafein
bersifat diuretik serta batasi atau hindari konsumsi alkohol.
2. Batasi atau hindari konsumsi makanan yang mengandung pemanis buatan
yang dapat membuat penyakit pada kandung kemih bertambah parah.
3. Jagalah IMT dalam batas normal (http://kemh.health.wa.gov.au/).
4. Jangan mengurangi dengan drastis intake cairan untuk menghindari
toileting, minimal intake cairan adalah 5-6 gelas per hari.

108
5. Minum hanya volume moderat cairan. Anjurkan klien untuk intake cairan
minimum (5-6 cangkir) non-kafein, non-karbonasi setiap hari. Pengurangi
cairan setelah pukul 18:00 harus dilakukan apabila klien bangun lebih dari
sekali di malam hari untuk buang air kecil. Cara Jangan minum dalam
jumlah banyak sekaligus (lebih dari 8-10 gelas) karena dapat membanjiri
kandung kemih dan membuatnya lebih sulit untuk menahan urin.
6. Kosongkan kandung kemih sebelum tidur. Hal ini bisa dilakukan dengan
tidak minum selama 2-3 jam sebelum tidur. Metode ini dilakukan untuk
menghindari toileting pada malam hari. Hal ini juga dapat membantu agar
bisa toileting tepat waktu pada pagi hari.
7. Selalu kosongkan kandung kemih secara komplit. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara memberikan kontraksi ektra pada akhir setiap kali berkemih.
8. Kosongkan kandung kemih sebelum dan sesudah melakukan hubungan
seksual.
9. Konsumsi jus apel, anggur, dan cranberry satu sampai dua gelas sehari
untuk membantu meningkatkan kerja kandung kemih.

Schedule bathroom trips

1. Beritahu klien untuk memulai jadwal berkemih pada bangun tidur, setiap
2-3 jam sepanjang siang dan sore hari sebelum tidur dan 4 jam sekali pada
malam hari.
2. Beritahu klien minum yang banyak sekitar 30 menit sebelum waktu jadwal
untuk berkemih
3. Beritahu klien untuk menahan berkemih dan memberitahu perawat jika
rangsangan berkemihnya tidak dapat ditahan
4. Klien di suruh menunggu atau menahan berkemih dalam rentang waktu
yang telah ditentukan 2-3 jam sekali
5. 30 menit kemudian, tepat pada jadwal berkemih yang telah ditentukan,
mintalah klien untuk memulai berkemih dengan teknik latihan dasar
panggul.

Kegel Exercise

109
1. Minta kllien untuk mengembil posisi duduk atau berdiri
2. Instruksikan klien untuk mengencangkan otot-otot di sekitar anus
3. Minta klien mengencangkan otot bagian posterior dan kemudian
kontraksikan otot anterior secara perlahan sampai hitungan ke empat
4. Kemudian minta klien untuk merelaksasikan otot secara keseluruhan
5. Ulangi latihan 4 jam sekali, saat bangun tidur sealam 3 bulan
6. Apabila memungkinkan, anjurkan Sit-Up yang dimodifikasi (lutut di
tekuk) kepada klien

Delay Urination

1. Instruksikan klien untuk berkonsentrasi pada otot panggul


2. Minta klien berupaya menghentikan aliran urine selama berkemih
kemudian memulainya kembali
3. Praktikan setiap kali berkemih

110
DAFTAR PUSTAKA

.2014. Bladder Training Protocol. Anvita


Heatlh: Actionable Health Inteligence. Online
(http://www.anvita.info/wiki/Bladder_Retraining_Protocol).

Admin. 2007. Luka Bakar, (online), http://www.sehatgroup.web.id/

Anonim. 2009. Askep Combustio (Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan


Luka Bakar/Combustio. (online) http://nursingbegin.com/askep-
combustio/

Anonim. 2009. Luka Bakar, (online) http://id.wikipedia.org/wiki/Luka_bakar

Arixs. 2008. Simulasi Rutin di RSUP Sanglah, (online),


http://www.cybertokoh.com/

Barbara, K, dkk. (2002). Kozier and Erb’s Technique In Clinical Nursing. New
Jersey: Pearsson Education.

Bayhakki, dkk. 2008. Jurnal Keperawatan Indonesia: BLADDER TRAINING


MODIFIKASI CARA KOZIER PADA PASIEN PASCABEDAH
ORTOPEDI YANG TERPASANG KATETER URIN. Vol 12 No 1, Hal
7-13.

Carpenito L.J, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Jakarta :


EGC. Direktorat Keperawatan dan Keteknisian Medik, 2005,
Standar Pelayanan Keperawatan di ICU, Jakarta : Dir Jen
Pelayanan Medik Dep.Kes RI

Dikrullah, A. 2013. Bantuan Napas dengan Ambubag,


https://www.scribd.com/doc/%20175285285/Bantuan-Napas-Dengan-
Ambubag , diakses pada 2 Desember 2019.

Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions


Classifications (NIC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Doenges, M E. 200. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Haryana, I. 2009. Pengelolaan Fungsi Pernapasan (Breathing Management),


http://doktermedis.blogspot.com/2009/06/pengelolaan-fungsi-
pernapasan-breathing.html , diakses pada 2 Desember 2019.

111
http://www.womensbladderhealth.com/pdf/bladdertraining.pdf

Hudak & Gallo, 1997, Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik, Volume 1,


Edisi VI, Jakarta : EGC.

Instalasi Rawat Intensif & Reanimasi, SMF Anestesiologi dan Reanimasi


RSUP Dr. Soetomo, 2007, Materi Pelatihan Intensif Care Unit (ICU),
Surabaya : Bidang Diklit RSUP Dr. Soetomo.

Johnson, Kimball. 2012. Bladder Training. Incontinence & Overactive Bladder


Health. Online (http://www.webmd.com/urinary-incontinence-
oab/bladder-training-techniques).

Linelle N.B.Pierce, 1995, Mechanical Ventilation and Intensive Respiratory


Care,Philadelpia : W.B.Saunders

Loyd Y , 2006, Terapi Oksigen, Jakarta : Instalasi Rawat Intensif RSUP


Fatmawati

Mancini E, 1994, Seri pedoman Praktis .Prosedur Perawatan Darurat.. Jakarta


: EGC

Maulida, Ana. 2011. Bladder Training.


Online(http://www.docstoc.com/docs/79963287/BLADDER-
TRAINING---DOC#).

Moorhead, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson.


2008. Nursing Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.

Nababan, TJ. 2011. Pengaruh Bladder Retention Training terhadap Kemampuan


Mandiri Berkemih pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan. Skripsi. Online
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24523/7/Cover.pdf).

NANDA International. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta:EGC

Phisiotherapy Department. 2009. Bladder Training Information Sheet. Women


and Newborn Health Service. King Edward Memorial Hospital. Online
(http://kemh.health.wa.gov.au/brochures/consumers/wnhs0427.pdf).

112
Potter & Perry, 2002, Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,
dan Praktik Volume 2, Edisi 4, Jakarta: EGC

Potter, P. A., dan Perry, A. G. (2005). Fundamental of Nursing: Concept,


Process, an Practice. (Terj). Asih, Y., et al. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Potter, Patricia A. dan Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Prasetyo, Budi. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Luka Bakar
(combustio), (online), http://nurse-community.socialgo.com/

Rosfanty. 2009. Luka Bakar. (online)


http://dokterrosfanty.blogspot.com/2009/03/luka-bakar.html

Smeltzer, S.C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8. Vol 3.
Jakarta: EGC.

Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Jakarta : EGC.

Teguh, M. 2010. Bekajar di rumah Sakit itu Asyik!,


http://teguhsukabumi.blogspot.com/%202010/03/belajar-dirumah-
sakit-itu-asyik.html , diakses pada 2 Desember 2019.

113

Anda mungkin juga menyukai