Bab Ii Kajian Pustaka
Bab Ii Kajian Pustaka
KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum
tulang yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih secara tidak teratur dan
tidak terkendali dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi
yang berasal dari sel induk limfoid dimana terjadi proliferasi monoklonal dan
ekspansi progresif dari progenitor limfosit B dan T yang imatur dalam sumsum
tulang dan beredar secara sistemik. Proliferasi dan akumulasi dari sel leukemia
2010).
2.1.2 Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada
anak yaitu 25-30% dari seluruh kanker pada anak dan merupakan 78% dari
seluruh leukemia pada anak. Insidens LLA semakin meningkat setiap tahun dan
ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Howlander dkk., 2013; Siegel dkk., 2013; Ward
dkk., 2014).
Gambar 2.1
Insidens keganasan pada anak di Amerika Serikat (Ward dkk., 2014)
Insidens LLA di Eropa Barat adalah 4/100.000 anak dan 3-3,5/100.000 anak
3/100.000 anak usia kurang dari 20 tahun, dengan puncak insidens pada usia 3-5
tahun (Hunger dan Mullighan, 2015). Leukimia limfoblastik akut lebih banyak
terjadi pada anak di Asia dibandingkan di Eropa Timur dan Amerika Serikat,
dengan insidens di Jepang mencapai 4/100.000 anak dan 1000 kasus baru setiap
tahunnya (Permono dan Ugrasena, 2010). Penelitian yang dilakukan pada unit
kanker di RS dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 1998 sampai 2009 diperoleh data
bahwa dari seluruh pasien anak yang dirawat dengan keganasan, sebanyak 720
kasus atau 59% merupakan leukemia dan sebanyak 68,9% dari kasus leukemia
tersebut adalah LLA (Widjajanto, 2012). Pada tahun 2011 sampai 2015
didapatkan
bahwa LLA merupakan 87% dari seluruh kasus leukemia yang terdiagnosis di
2.1.3 Etiologi
Etiologi terjadinya leukemia belum diketahui hingga saat ini, namun ada beberapa
faktor risiko yang berperan dalam patogenesis leukemia. Beberapa faktor risiko
tersebut antara lain faktor lingkungan seperti radiasi ion, radiasi non-ion,
2007). Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor genetik yaitu riwayat
Human T-cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu
saat melahirkan, serta karakteristik saat lahir seperti berat lahir dan urutan lahir
(Ross dkk., 1994). Pemakaian insektisida selama periode kehamilan dan masa
risiko terjadinya LLA (Menegaux dkk., 2006). Gangguan regulasi sitem imun
sebagai respon dari infeksi saat beberapa bulan pertama kehidupan juga dapat
menginduksi terjadinya LLA pada masa anak-anak (Roman dkk., 2007). Beberapa
faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya leukemia yaitu medan magnet,
2.1.4 Patofisiologi
Pada leukemia terjadi kelainan pada gugus sel (klonal), kelainan proliferasi,
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap
pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel
tunggal
yang berproliferasi hingga mencapai jumlah populasi sel yang dapat terdeteksi.
Kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi atau suatu kelainan genetik
tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler. Hal ini
menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang
Populasi sel leukima yang semakin lama semakin banyak akan menyebabkan
dampak buruk bagi produksi sel normal dan mengganggu fungsi organ tubuh
yang sering terjadi pada leukemia akut. Pansitopenia pada pasien leukemia terjadi
akibat desakan populasi sel leukemia. Pada sebagian kasus LLA juga dapat
akut umumnya terjadi akibat penekanan sumsum tulang atau akibat infiltasi sel
2011).
Gambaran klinis pada LLA bervariasi. Awitan biasanya mendadak dan progresif
seperti penderita merasa lemah, pucat, sesak, pusing hingga gagal jantung akibat
anemia. Pada LLA sering terjadi neutropenia yang menyebabkan infeksi dan
atau manifestasi perdarahan lainnya. Keluhan pada sistem saraf pusat (SSP)
ditimbulkan oleh infiltrasi sel leukemia dengan gejala sakit kepala, kejang, mual
dkk., 2012).
2.1.6 Diagnosis
2. Sel darah putih dapat normal, menurun atau meningkat (Lanzkowsky, 2011).
2011).
4. Pada hapusan darah tepi dapat ditemukan adanya sel blas. Sel blas pada
tampak. Sel blas banyak ditemukan pada pasien dengan jumlah leukosit
b. Sumsum tulang
Jumlah normal sel blas pada sumsum tulang adalah kurang dari 5%. Sediaan
jumlah sel blas >25% (Pui dkk., 2012; Vikramijit, 2014; Gupta dkk., 2015).
Lanzcowsky, 2011):
bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
bervakuolisasi.
membedakan leukemia sel T atau sel B (Rowan dkk., 1994; Lanzcowsky, 2011;
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan komplikasi yang
menyertai leukemia seperti pemberian transfusi darah, pemberian antibiotik, obat
anti jamur, pendekatan nutrisi yang baik dan terapi psikososial. Terapi kuratif
melalui efek sitostatik obat kemoterapi dengan cara memengaruhi sintesis atau
pengobatan untuk risiko standar dan risiko tinggi. Pasien digolongkan kedalam
risiko standar apabila terdiagnosis saat berusia 1-10 tahun dengan jumlah leukosit
<50 x 103/L sedangkan digolongkan risiko tinggi apabila berusia >10 tahun,
keterlibatan SSP dan testis atau jumlah limfoblast absolut pada sirkulasi
Protokol ini terdiri atas 2 macam yaitu protokol kemoterapi risiko standar dan
protokol kemoterapi risiko tinggi. Protokol kemoterapi risiko standar terdiri atas
fase induksi yang berlangsung selama 6 minggu dan fase konsolidasi yang
Sedangkan protokol kemoterapi risiko tinggi terdiri dari fase induksi selama 6
minggu, fase konsolidasi selama 6 minggu dan fase reinduksi selama 4 minggu,
kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan. Pada protokol risiko tinggi, jenis obat
sitostatiska yang dipergunakan lebih banyak dengan fase kemoterapi lebih lama
Leukemia limfoblastik akut pada anak usia <1 tahun disebut dengan infant
dengan usia yang lebih tua. Leukemia dengan morfologi L3 digolongkan sebagai
Burkitt limfoma. Leukemia ini dapat menginfiltrasi sum-sum tulang dan memiliki
Limfoblastik Akut
Faktor prognosis adalah faktor yang memprediksi hasil akhir suatu penyakit.
Hasil akhir yang dimaksud dapat berupa kematian atau kesembuhan. Faktor-faktor
prognosis LLA yang telah diamati hingga saat ini dijelaskan dalam Tabel 2.1.
Terdapat beberapa faktor prognosis lain yang tidak secara universal diterapkan
untuk stratifikasi risiko seperti Hb dan trombosit. Faktor-faktor ini digunakan oleh
kelompok uji klinis ketika menentukan intensitas dan durasi terapi, serta
2.2.1 Usia
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau
mahluk, baik yang hidup atau mati. Usia pada manusia diukur dengan menghitung
Bertambahnya usia diikuti oleh perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau
dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat
basal hingga sebesar 1,5 sampai 2 kali lipat (Son’Kin dan Tambovtseva, 2012).
tahun anak dengan LLA pada 4 dekade terakhir meningkat dengan dramatis
hingga mencapai 90% (Robinson, 2011). Data dari SEER menunjukkan bahwa
pasien LLA. Data SEER 9 menunjukkan angka kesintasan 5 tahun pada pasien
usia kurang dari 15 tahun meningkat dari 61,0% pada tahun 1975-1978 menjadi
88,5% pada
tahun 1999-2002. Remaja dengan usia 15-19 tahun juga menunjukkan
peningkatan kesintasan pada periode yang sama namun dengan hasil yang lebih
rendah dibandingkan anak usia kurang dari 15 tahun yaitu 50,1% pada tahun
menyatakan EFS (Event Free Survival) 5 tahun anak dengan LLA adalah 88%
pada usia 1-10 tahun, 73% pada usia 10-15 tahun dan 69% pada usia lebih dari 15
sedangkan usia >10 tahun dikelompokkan sebagai kelompok risiko tinggi pada
RSUP Sanglah (Permono dan Ugrasena, 2010). Leukemia limfoblastik akut pada
bayi dan remaja memiliki prognosis yang buruk dibandingkan dengan pasien yang
berusia 1-10 tahun (Pieters dkk., 2007). Perbedaan ini disebabkan oleh:
lebih sering terjadi pada anak usia 1-10 tahun. Sebanyak 80% dari anak-anak
dengan leukemia sel B didiagnosis antara usia 2-7 tahun dan memiliki
penurunan laju metabolisme basal hingga sebesar 1,5 sampai 2 kali lipat (Pui
Terdapat perbedaan protokol terapi pada pasien dengan risiko standar dan
pasien dengan risiko tinggi. Pasien risiko tinggi mendapatkan terapi yang
lebih intensif sehingga memiliki potensi toksisitas obat yang lebih tinggi
d. Leukemia limfoblastik akut pada anak usia kurang dari 12 bulan pada saat
pengaturan ulang gen Mixed Lineage Leukimia (MLL) yang tinggi hingga
80% pada kromosom 11q23. Tingginya jumlah leukosit dan tingginya sistem
pengaturan ulang gen MLL ini memengaruhi luaran pasien menjadi lebih
buruk. Bayi dengan gen pengaturan MLL dengan usia muda (<6 bulan) atau
prognosis yang paling buruk. Bayi dengan gen pengaturan ulang MLL
berusia 1-10 tahun, bahkan sering dengan agen yang tidak biasanya diberikan
untuk anak yang lebih tua, seperti sitarabin dosis tinggi (Pieters, 2007;
Silverman, 2007).
e. Bayi memiliki insidens yang lebih tinggi untuk leukemia SSP. Status SSP
pada saat diagnosis memiliki korelasi kuat dengan luaran yang lebih buruk,
dan digunakan oleh sebagian besar kelompok uji klinis untuk menentukan
f. Remaja usia 10-12 tahun dengan LLA lebih sering datang dengan leukemia
menguntungkan
(hiperdiploidi tinggi dan fusi TEL/AML1) lebih rendah dan insidens yang
luaran yang lebih baik jika dirawat menggunakan protokol anak dengan LLA
Perbedaan kesintasan berdasarkan jenis kelamin telah diamati sejak tahun 1960.
Sebagian besar penelitian menyatakan prognosis untuk anak lelaki lebih buruk
memberikan fase pemeliharaan lebih lama pada anak lelaki dibandingkan anak
perempuan. Oxford hazard score yang digunakan untuk stratifikasi menurut risiko
pada protokol LLA 97 di Amerika juga memakai jenis kelamin (Hann dkk.,
2000). Namun pada banyak regimen lain, anak lelaki dan perempuan menerima
karena:
a. Anak lelaki lebih sering mengalami leukemia sel T dibandingkan perempuan
prognosis yang lebih buruk dibandingkan sel B. Saat ini, karena pemberian
anak yang berhubungan dengan risiko kanker testis pada anak lelaki (Holmes
dkk., 2012b). Keterlibatan testis yang jelas pada saat diagnosis didapatkan
pada sekitar 2% dari anak lelaki. Keterlibatan testis pada saat diagnosis
menjadi kurang jelas pada penelitian yang lebih baru. Keterlibatan testis pada
saat diagnosis masih dianggap sebagai faktor risiko tinggi pada beberapa
2.2.3 Hemoglobin
Hemoglobin adalah kompleks protein yang terdiri dari heme yang mengandung
besi dan globin. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat di dalam
eritrosit. Seluruh sel darah memiliki sel dasar yang sama yaitu sel pluripotent. Sel
dapat berdiferensiasi menjadi sel jenis lain. Sel pluripoten membentuk dua jenis
sel yang juga memiliki sifat multipoten yaitu limpoid dan mieloid. Kelompok
limpoid
merupakan kelompok yang bermigrasi ke organ limpa, sedang kelompok mieloid
Gambar 2.2
Pembentukan sel darah secara umum (Kiswari, 2014)
Eritroblas merupakan sel bakal pembentuk sel darah merah (eritrosit) yang
memiliki ukuran besar dan masih memiliki inti sel. Eritrosit mengandung Hb yang
karbondioksida dari jaringan dan paru-paru. Sejak masa embrio, janin, anak dan
ini terbentuk selama 2 minggu pertama masa gestasi dan akan menghilang
b. Hemoglobin Fetal atau Hb-F merupakan Hb yang paling dominan pada usia
ditemukan kira-kira 70% Hb-F. Sintesis Hb-F menurun secara cepat setelah
bayi lahir dan hanya sedikit ditemukan pada usia 6-12 bulan.
c. Hemoglobin dewasa yaitu Hb-A1 dan Hb-A2. Pada masa embrio Hb-A telah
dapat dideteksi. Pada usia gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% Hb-A, mencapai
30% pada saat lahir dan sudah menunjukkan gambaran Hb dewasa pada usia
diferensiasi sel induk eritroid, sel stem pluripotent, gen dan reseptor yang
diantara setiap suku bangsa (Evelyn, 2009). World Health Organization (WHO)
telah menetapkan batas Hb normal berdasarkan usia dan jenis kelamin seperti
Tabel 2.2
Kriteria anemia (WHO, 2001)
Anemia merupakan salah satu kelainan darah yang sering ditemukan pada
pasien LLA. Anemia adalah berkurangnya kadar eritrosit (sel darah merah) dan
kadar Hb dalam setiap mm3 darah dalam tubuh manusia. Anemia pada penyakit
keganasan dapat terjadi sebagai akibat efek langsung dari keganasan dan sebagai
memicu sekresi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), interferon gamma (IFN-γ) dan
faktor nekrosis tumor (TNF-α). Peningkatan kadar sitokin ini akan menekan
renal oleh zat yang nefrotoksik akan menurunkan respons eritropoetin terhadap
Patogenesis anemia akibat efek langsung keganasan dijelaskan pada Gambar 2.3
Gambar 2.3
Patogenesis anemia pada penyakit keganasan (Rouli dan Amalia, 2005)
Kadar Hb awal pada pasien leukemia tidak terjadi secara acak. Tipe leukemia
diperkirakan terjadi karena Hb yang lebih rendah (Hb<80 g/dl) lebih sering
ditemukan pada tipe leukemia dengan luaran yang lebih baik (TEL/AML1,
hiperdiploidi). Tipe leukemia yang lebih agresif (leukemia sel T dan BCR-ABL)
berhubungan dengan Hb yang lebih tinggi (Teuffel dkk., 2008). Pasien leukemia
sel T dengan Hb yang lebih rendah memiliki luaran yang lebih baik. Remaja
lebih sering ditemukan pada anak yang lebih muda dengan usia kurang dari 10
tahun yang memiliki prognosis lebih baik (Teuffel dkk., 2008). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa Hb dan usia merupakan faktor yang saling berkaitan dan
menjelaskan kesintasan yang lebih baik pada pasien dengan Hb yang lebih rendah
2.2.4 Trombosit
progenitor, kemudian diikuti oleh endoreduplikasi inti sel. Terdapat hormon yang
repair termasuk penghancuran klot atau fibrinolisis (Rote dan Mc.Cance, 2014).
di limpa oleh fagositosis sel mononuklear. Jumlah trombosit normal berkisar 150-
400 x 103/µL (Lubis dan Rosdiana, 2010; Rote dan Mc.Cance, 2014).
kelainan hepar dan fibrinolis. Kadar trombosit kurang dari 30 x 103/L dikatakan
memiliki prognosis yang lebih buruk (Wirawan dkk., 2003). Kadar trombosit
dengan trauma. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali kadar trombosit di
leukemia akut yang terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu pertama
2.2.5 Leukosit
Leukosit atau disebut juga dengan sel darah putih atau white blood cell (WBC)
merupakan salah satu produk darah yang terdiri dari fagosit dan limfosit. Fagosit
terdiri dari granulosit dan monosit. Granulosit terdiri dari tiga jenis sel yaitu
neutrofil, eosinofil dan basofil. Pada keadaan normal hanya sel fagosit matang dan
penelitian terbaru dan merupakan komponen penentu kelompok risiko tinggi yang
paling banyak dipakai untuk berbagai regimen. Sejak tahun 1996, berdasarkan
(CTEP) dari National Cancer Institute (NCI), hitung leukosit 50 x 103/L biasanya
digunakan sebagai batas untuk mengklasifikasikan pasien sebagai berisiko tinggi
>50 x 103/L adalah 61%, sedangkan pasien dengan jumlah leukosit <50 x 10 3/L
kesintasan 7 tahun pada pasien dengan jumlah leukosit <10 x 103/µL adalah
71,5%, dan semakin menurun seiring dengan bertambahnya jumlah leukosit yaitu
62,7% pada jumlah leukosit 10-49 x 103/µL, 52,9% pada jumlah leukosit 50-99 x
103/µL, dan hanya 19,3% pada jumlah leukosit >100 x 10 3/µL (Horibe dkk.,
2000).
World Health Organization membagi LLA menjadi leukemia sel T dan leukemia
sel B (Swerdlow dkk., 2011). Leukemia sel T memiliki prognosis lebih buruk,
frekuensi relaps yang lebih besar dan menunjukkan EFS yang lebih kecil
dibandingkan dengan leukemia sel B (Goldberg dkk., 2003; Zhang dkk., 2011).
Kesintasan pada pasien leukemia sel T adalah 78% dan pada leukemia sel B
menjadi L1, L2, dan L3 (Lanzcowsky, 2011). Sebagian besar kasus LLA adalah
dengan morfologi L-2 memiliki insidens relaps yang lebih tinggi dibandingkan
morfologi lainnya dan memiliki prognosis yang lebih buruk (Chiaretti dkk.,
2014).
2.2.7 Ploidi
kromosom dasar yang dimiliki oleh sel makhluk hidup (Carroll, 2013).
Hiperploidi yaitu jumlah kromosom yang lebih dari 50, muncul sebanyak 25-
30% anak LLA dengan prekursor sel B. Sel kanker sering menyebabkan
lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari keganasan, bukan sebagai penyebab
keganasan. Anak LLA dengan hiperdipoidi memiliki luaran yang lebih baik
dengan EFS 8 tahun adalah 89%. Luaran yang baik pada pasien dengan
kromosom yang kurang dari 45, hanya muncul sebanyak 2-3% kasus dan
memiliki luaran yang lebih buruk. Hipodiploidi yang paling sering adalah near-
2.2.8 Sitogenetik
pada leukemia sel B, yang melibatkan fusi gen ETV6(TEL) pada kromosom 12
kromosom ini didapatkan pada 20-25% kasus leukemia sel B dan jarang
dengan translokasi t(12;21) di negara maju seperti Amerika Serikat adalah 93,7%
dan di negara berkembang seperti Brazil adalah 77,6% (Zen dkk., 2009; Bhojwani
dkk., 2012).
antara kromosom 9 dan 22 (t[9,22] [q34;q11]) yang terjadi sekitar 3-5% anak-
anak dengan LLA. Kromosom Philadelphia menghasilkan fusi gen yang disebut
atau disebut dengan BCR-ABL (Melo 1996; Schlieben dkk., 1996; Gleibner dkk.,
buruk dengan EFS di Amerika Serikat dan Eropa adalah 35,5-46,3% (Arico dkk.,
dari 50% kasus LLA bayi berusia kurang dari 6 bulan, 10-20% pada bayi yang
lebih besar, 2% pada anak-anak, dan hampir 10% pada orang dewasa (Pui dkk.,
dari leukemia sel B dan 30-40% pada LLA subtipe pro-B (Cimino dkk., 2003).
Protokol terapi LLA dibagi menjadi 2 yaitu risiko standar dan risiko tinggi. Pasien
digolongkan kedalam risiko standar apabila terdiagnosis saat berusia 1-10 tahun
dengan jumlah leukosit <50 x 103/L sedangkan digolongkan risiko tinggi apabila
berusia >10 tahun, jumlah leukosit >50 x 103/L, terdapat massa di mediastinum,
terdapat keterlibatan SSP dan testis atau jumlah limfoblast absolut pada sirkulasi
Protokol kemoterapi risiko standar terdiri atas fase induksi yang berlangsung
risiko tinggi terdiri dari fase induksi selama 6 minggu, fase konsolidasi selama 6
dipergunakan lebih banyak dengan fase kemoterapi lebih lama sehingga memiliki
potensi toksisitas obat yang lebih tinggi dan diduga memengaruhi prognosis
(Melo, 1993; Schrappe dkk., 1998; Hunault-Berger dkk., 2008; Permono dan
Ugrasena, 2010).
Persentase sel blast pada darah tepi dapat menjadi faktor prognosis kegagalan
hapusan sel darah tepi. Adanya sel blas pada darah tepi telah terbukti memiliki
hubungan dengan keberhasilan terapi. Even free survival rate 2 tahun pada pasien
dengan jumlah blas hari ke-8 <1000/mm3 adalah 76,1%, sedangkan pasien dengan
Tujuan terapi LLA adalah untuk mencapai remisi baik klinis dan hematologi,
a. Tidak ada gejala yang berhubungan dengan penyakit seperti demam dan nyeri
tulang.
d. Prekursor granulosit dan erithroid sumsum tulang dalam batas normal dengan
a. Terdapat >50% sel blas pada satu kali aspirasi sumsum tulang.
b. Peningkatan sel blas secara progresif melebihi 5%, hingga mencapai > 25%
pada dua atau lebih aspirasi sumsum tulang yang dilakukan dengan jarak 1
c. Terdapat lebih dari 25% sel blas pada aspirasi sumsum tulang dan >2%
limfoblas
dalam sirkulasi.
Angka kesembuhan pada pasien LLA yang baru terdiagnosis dengan terapi
saat ini adalah 80% (Jemal dkk., 2006). Meskipun sudah menggunakan terapi
berdasarkan stratifikasi risiko, relaps masih terjadi sebanyak 20-25% (Pui dkk.,
dengan lama remisi pertama dan lokasi relaps (Chessells dkk., 2003). Kesintasan
pada relaps sumsum tulang pada 17 bulan pertama setelah terdiagnosis adalah 0-
15% dan 14-50% setelah 17 bulan. Relaps pada lokasi selain sumsum tulang
memiliki prognosis yang lebih baik yaitu 51% pada relaps SSP dan 53-84% pada
relaps testis (Wofford dkk., 1992; Grundy dkk., 1997; Chessells dkk., 1998;
Status gizi ditentukan dengan menentukan proporsi berat badan menurut panjang
badan atau tinggi badan. Status gizi diperoleh dengan perhitungan persentase
berat badan aktual terhadap berat badan ideal dan diklasifikasikan menurut
Waterlow menjadi obesitas, gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk
(Sjarif, 2011).
Malnutrisi dapat menjadi akibat dari keganasan itu sendiri atau akibat dari
terapinya. Malnutrisi pada pasien leukemia dapat terjadi akibat proses inflamasi,
pemecahan masa otot, kehilangan protein tubuh dan oksidasi lipid. Terapi kanker
mual dan muntah dapat meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi (Owens dkk.,
2013).
Malnutrisi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan sistem
Kematian dan relaps lebih sering terjadi pada pasien LLA dengan malnutrisi
(Viana dkk., 1994; Ringwald-Smith dkk., 1998). Pasien LLA dengan malnutrisi
memiliki kesintasan 5 tahun lebih rendah yaitu 26% dibandingkan pasien LLA
dengan gizi baik yaitu 83% (Viana dkk., 1994). Angka kesintasan 3 tahun pada
pasien obesitas adalah 68% dan pada pasien tanpa obesitas adalah 80% (Butturini
dkk., 2007). Beberapa penelitian lain mendapatkan tidak ada hubungan antara
status nutrisi dengan kesintasan (Hijiya dkk., 2006; Permatasari dkk., 2009).
Pemberian nutrisi yang adekuat dan efek kortikosteroid selama fase induksi dapat