Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Leukemia Limfoblastik Akut

2.1.1 Definisi

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum

tulang yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih secara tidak teratur dan

tidak terkendali dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi

(Permono dan Ugrasena, 2010). Leukimia limfoblastik akut merupakan leukemia

yang berasal dari sel induk limfoid dimana terjadi proliferasi monoklonal dan

ekspansi progresif dari progenitor limfosit B dan T yang imatur dalam sumsum

tulang dan beredar secara sistemik. Proliferasi dan akumulasi dari sel leukemia

menyebabkan penekanan dari hematopoesis normal (Piatkowska dan Styczynski,

2010).

2.1.2 Epidemiologi

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada

anak yaitu 25-30% dari seluruh kanker pada anak dan merupakan 78% dari

seluruh leukemia pada anak. Insidens LLA semakin meningkat setiap tahun dan

ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Howlander dkk., 2013; Siegel dkk., 2013; Ward

dkk., 2014).
Gambar 2.1
Insidens keganasan pada anak di Amerika Serikat (Ward dkk., 2014)

Insidens LLA di Eropa Barat adalah 4/100.000 anak dan 3-3,5/100.000 anak

di Eropa timur (Coebergh, 2006). Insidens LLA di Amerika Serikat mencapai

3/100.000 anak usia kurang dari 20 tahun, dengan puncak insidens pada usia 3-5

tahun (Hunger dan Mullighan, 2015). Leukimia limfoblastik akut lebih banyak

terjadi pada anak di Asia dibandingkan di Eropa Timur dan Amerika Serikat,

dengan insidens di Jepang mencapai 4/100.000 anak dan 1000 kasus baru setiap

tahunnya (Permono dan Ugrasena, 2010). Penelitian yang dilakukan pada unit

kanker di RS dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 1998 sampai 2009 diperoleh data

bahwa dari seluruh pasien anak yang dirawat dengan keganasan, sebanyak 720

kasus atau 59% merupakan leukemia dan sebanyak 68,9% dari kasus leukemia

tersebut adalah LLA (Widjajanto, 2012). Pada tahun 2011 sampai 2015

didapatkan
bahwa LLA merupakan 87% dari seluruh kasus leukemia yang terdiagnosis di

RSUP Sanglah Denpasar (Tarigan dkk., 2016).

2.1.3 Etiologi

Etiologi terjadinya leukemia belum diketahui hingga saat ini, namun ada beberapa

faktor risiko yang berperan dalam patogenesis leukemia. Beberapa faktor risiko

tersebut antara lain faktor lingkungan seperti radiasi ion, radiasi non-ion,

hidrokarbon, zat-zat kimia, alkohol, rokok maupun obat-obatan (Belson dkk.,

2007). Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor genetik yaitu riwayat

keluarga, kelainan gen, dan translokasi kromosom. Leukemia juga dipengaruhi

Human T-cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu

saat melahirkan, serta karakteristik saat lahir seperti berat lahir dan urutan lahir

(Ross dkk., 1994). Pemakaian insektisida selama periode kehamilan dan masa

anak-anak, pestisida, fungisida serta sampo insektisida juga merupakan faktor

risiko terjadinya LLA (Menegaux dkk., 2006). Gangguan regulasi sitem imun

sebagai respon dari infeksi saat beberapa bulan pertama kehidupan juga dapat

menginduksi terjadinya LLA pada masa anak-anak (Roman dkk., 2007). Beberapa

faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya leukemia yaitu medan magnet,

pemakaian marijuana, dan diet (Belson dkk., 2007; Lanzcowsky, 2011).

2.1.4 Patofisiologi

Pada leukemia terjadi kelainan pada gugus sel (klonal), kelainan proliferasi,

kelainan sitogenetik, kelainan morfologi dan kegagalan diferensiasi. Sebagian

besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap

pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel

tunggal
yang berproliferasi hingga mencapai jumlah populasi sel yang dapat terdeteksi.

Etiologi leukemia pada manusia belum diketahui, namun pada penelitian

mengenai proses leukemiogenesis pada binatang percobaan ditemukan bahwa

penyebabnya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA.

Kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi atau suatu kelainan genetik

tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler. Hal ini

menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang

mengakibatkan terbentuknya suatu klonal yang abnormal (Permono dan

Ugrasena, 2010; Lanzcowsky, 2011).

Populasi sel leukima yang semakin lama semakin banyak akan menyebabkan

dampak buruk bagi produksi sel normal dan mengganggu fungsi organ tubuh

akibat infiltasi sel leukemia. Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat

yang sering terjadi pada leukemia akut. Pansitopenia pada pasien leukemia terjadi

akibat desakan populasi sel leukemia. Pada sebagian kasus LLA juga dapat

ditemukan gambaran sumsum tulang yang hiposeluler. Kematian pada leukemia

akut umumnya terjadi akibat penekanan sumsum tulang atau akibat infiltasi sel

leukemia ke organ tubuh pasien (Permono dan Ugrasena, 2010; Lanzcowsky,

2011).

2.1.5 Manifestasi klinis

Gambaran klinis pada LLA bervariasi. Awitan biasanya mendadak dan progresif

seperti penderita merasa lemah, pucat, sesak, pusing hingga gagal jantung akibat

anemia. Pada LLA sering terjadi neutropenia yang menyebabkan infeksi dan

demam. Trombositopenia dapat menyebabkan perdarahan seperti ptekie, ekimosis

atau manifestasi perdarahan lainnya. Keluhan pada sistem saraf pusat (SSP)
ditimbulkan oleh infiltrasi sel leukemia dengan gejala sakit kepala, kejang, mual

dan muntah. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya limfadenopati,

hepatomegali, dan atau splenomegali (Gaynon, 2005; Lanzcowsky, 2011; Pui

dkk., 2012).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

a. Pemeriksaan darah tepi.

1. Kadar Hb menunjukkan penurunan ringan hingga berat dengan morfologi

normokromik normositer. Kadar Hb yang rendah menunjukkan durasi

leukemia yang lebih panjang, sedangkan kadar Hb yang tinggi

menunjukkan leukemia dengan proliferasi yang lebih cepat (Permono dan

Ugrasena, 2010; Lanzkowsky, 2011).

2. Sel darah putih dapat normal, menurun atau meningkat (Lanzkowsky, 2011).

3. Sebanyak 92% dengan kadar trombosit dibawah normal (Lanzkowsky,

2011).

4. Pada hapusan darah tepi dapat ditemukan adanya sel blas. Sel blas pada

pasien dengan leukopenia umumnya hanya sedikit atau bahkan tidak

tampak. Sel blas banyak ditemukan pada pasien dengan jumlah leukosit

lebih dari 10 x 103/µL (Permono dan Ugrasena, 2010; Lanzkowsky, 2011).

b. Sumsum tulang

Jumlah normal sel blas pada sumsum tulang adalah kurang dari 5%. Sediaan

hapusan sumsum tulang pada LLA menunjukkan peningkatan kepadatan sel


dengan trombopoesis, eritropoesis dan granulopoesis yang tertekan, disertai

jumlah sel blas >25% (Pui dkk., 2012; Vikramijit, 2014; Gupta dkk., 2015).

Berdasarkan morfologi blas pada hapusan sumsum tulang, French-American-

British (FAB) membedakan LLA menjadi (Permono dan Ugrasena, 2010;

Lanzcowsky, 2011):

1. L1 : terdiri dari sel-sel limfoblast kecil serupa, dengan kromatin homogen,

anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.

2. L2 : terdiri dari sel-sel limfoblas yang lebih besar tetapi ukurannya

bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.

3. L3 : terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,

banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan

bervakuolisasi.

Sebanyak 90% kasus dapat didiagnosis dengan cara tersebut, namum

sebagian kasus memerlukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu imunologi, sitokimia,

sitogenetika ataupun biologi molekuler (Permono dan Ugrasena, 2010).

Pemeriksaan imunologi atau sering disebut dengan imunophenotyping digunakan

untuk identifikasi dan kuantifikasi antigen seluler. Pemeriksaan ini dilakukan

dengan menggunakan sampel darah perifer dan sumsum tulang untuk

membedakan leukemia sel T atau sel B (Rowan dkk., 1994; Lanzcowsky, 2011;

Gupta dkk., 2015).

2.1.7 Tata Laksana

Penanganan leukemia meliputi terapi kuratif dan suportif. Penanganan suportif

meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan komplikasi yang
menyertai leukemia seperti pemberian transfusi darah, pemberian antibiotik, obat

anti jamur, pendekatan nutrisi yang baik dan terapi psikososial. Terapi kuratif

bertujuan untuk membunuh sel-sel leukemia melalui kemoterapi dengan

menggunakan kombinasi beberapa obat sitostatiska. Prinsip kerjanya adalah

melalui efek sitostatik obat kemoterapi dengan cara memengaruhi sintesis atau

fungsi DNA sel leukemia (Permono dan Ugrasena, 2010).

Berdasarkan risiko relapsnya pengobatan LLA dibagi menjadi 2 yaitu

pengobatan untuk risiko standar dan risiko tinggi. Pasien digolongkan kedalam

risiko standar apabila terdiagnosis saat berusia 1-10 tahun dengan jumlah leukosit

<50 x 103/L sedangkan digolongkan risiko tinggi apabila berusia >10 tahun,

jumlah leukosit >50 x 103/L, terdapat massa di mediastinum, terdapat

keterlibatan SSP dan testis atau jumlah limfoblast absolut pada sirkulasi

1000/mm3. Klasifikasi risiko standar dan risiko tinggi menentukan protokol

kemoterapi yang dipergunakan (Permono dan Ugrasena, 2010).

Protokol kemoterapi yang digunakan di Bagian Hemato-onkologi SMF Ilmu

Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar adalah protokol Indonesia 2006.

Protokol ini terdiri atas 2 macam yaitu protokol kemoterapi risiko standar dan

protokol kemoterapi risiko tinggi. Protokol kemoterapi risiko standar terdiri atas

fase induksi yang berlangsung selama 6 minggu dan fase konsolidasi yang

berlangsung selama 5 minggu, kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan.

Sedangkan protokol kemoterapi risiko tinggi terdiri dari fase induksi selama 6

minggu, fase konsolidasi selama 6 minggu dan fase reinduksi selama 4 minggu,

kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan. Pada protokol risiko tinggi, jenis obat
sitostatiska yang dipergunakan lebih banyak dengan fase kemoterapi lebih lama

(Permono dan Ugrasena, 2010).

Leukemia limfoblastik akut pada anak usia <1 tahun disebut dengan infant

leukemia yang memiliki karakteristik biologis limfoblas yang berbeda sehingga

memberikan respon pada protokol kemoterapi yang berbeda dibandingkan anak

dengan usia yang lebih tua. Leukemia dengan morfologi L3 digolongkan sebagai

Burkitt limfoma. Leukemia ini dapat menginfiltrasi sum-sum tulang dan memiliki

kecepatan proliferasi limfoblas yang tinggi sehingga memberikan respon pada

protokol kemoterapi yang berbeda (Margolin dkk., 2002).

2.2 Faktor Prognosis yang Memengaruhi Angka Kesintasan Leukemia

Limfoblastik Akut

Faktor prognosis adalah faktor yang memprediksi hasil akhir suatu penyakit.

Hasil akhir yang dimaksud dapat berupa kematian atau kesembuhan. Faktor-faktor

prognosis LLA yang telah diamati hingga saat ini dijelaskan dalam Tabel 2.1.

Terdapat beberapa faktor prognosis lain yang tidak secara universal diterapkan

untuk stratifikasi risiko seperti Hb dan trombosit. Faktor-faktor ini digunakan oleh

kelompok uji klinis ketika menentukan intensitas dan durasi terapi, serta

dikatakan memengaruhi angka kesintasan pada LLA (Magrath dkk., 2005;

Muwakkit dkk., 2012).


Tabel 2.1
Faktor prognosis pada penderita LLA (Permono dan Ugrasena, 2010)

Faktor Prognosis Buruk Prognosis Baik


Usia <1,5 tahun atau >10 tahun 1,5 sampai 10 tahun
Jenis Kelamin Lelaki Perempuan
Jumlah Leukosit Awal >50 x 103/L <50 x 103/L
Imunofenotipe T B
Ploidi non Hiperploidi Hiperploidi
Sitogenetik t(4;11), t(9;22) t(12;21)
Blas darah tepi hari ke-8 >1000/mm3 <1000/mm3
Remisi setelah Induksi Tidak terjadi remisi Terjadi remisi

2.2.1 Usia

Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau

mahluk, baik yang hidup atau mati. Usia pada manusia diukur dengan menghitung

waktu sejak dilahirkan hingga suatu waktu (Kumala dkk., 1998).

Bertambahnya usia diikuti oleh perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau

dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat

dan ukuran panjang. Bertambahnya usia juga diikuti dengan perubahan

keseimbangan metabolisme serta mengakibatkan penurunan laju metabolisme

basal hingga sebesar 1,5 sampai 2 kali lipat (Son’Kin dan Tambovtseva, 2012).

Kesintasan pasien LLA dipengaruhi oleh usia saat diagnosis. Kesintasan 5

tahun anak dengan LLA pada 4 dekade terakhir meningkat dengan dramatis

hingga mencapai 90% (Robinson, 2011). Data dari SEER menunjukkan bahwa

usia merupakan faktor prognosis signifikan yang memengaruhi luaran klinis

pasien LLA. Data SEER 9 menunjukkan angka kesintasan 5 tahun pada pasien

usia kurang dari 15 tahun meningkat dari 61,0% pada tahun 1975-1978 menjadi

88,5% pada
tahun 1999-2002. Remaja dengan usia 15-19 tahun juga menunjukkan

peningkatan kesintasan pada periode yang sama namun dengan hasil yang lebih

rendah dibandingkan anak usia kurang dari 15 tahun yaitu 50,1% pada tahun

1999-2002. Penelitian tahun 1991-2006 di St. Jude Children’s Research Hospital

menyatakan EFS (Event Free Survival) 5 tahun anak dengan LLA adalah 88%

pada usia 1-10 tahun, 73% pada usia 10-15 tahun dan 69% pada usia lebih dari 15

(Hilden dkk., 2006; Pieters dkk., 2007).

Pasien LLA berusia 1-10 tahun dikelompokkan sebagai risiko standar

sedangkan usia >10 tahun dikelompokkan sebagai kelompok risiko tinggi pada

beberapa protokol kemoterapi seperti protokol Indonesia 2006 yang digunakan di

RSUP Sanglah (Permono dan Ugrasena, 2010). Leukemia limfoblastik akut pada

bayi dan remaja memiliki prognosis yang buruk dibandingkan dengan pasien yang

berusia 1-10 tahun (Pieters dkk., 2007). Perbedaan ini disebabkan oleh:

a. Kelainan kromosom yaitu hiperdiploidi, fusi TEL/AML1 [t(12;21)], dan

leukemia sel B yang dikaitkan dengan prognosis yang lebih menguntungkan

lebih sering terjadi pada anak usia 1-10 tahun. Sebanyak 80% dari anak-anak

dengan leukemia sel B didiagnosis antara usia 2-7 tahun dan memiliki

hiperdiploidi tinggi atau fusi TEL/AML1, namun keduanya tidak pernah

muncul bersamaan karena kedua kelainan kromosom tersebut tampak saling

eksklusi (Melo, 1996; Schrappe dkk., 1998; Pieters, 2007).

b. Perbedaan metabolisme akibat bertambahnya usia yang menyebabkan

penurunan laju metabolisme basal hingga sebesar 1,5 sampai 2 kali lipat (Pui

dan Evan, 2006; Son’Kin dan Tambovtseva, 2012).


c. Pasien usia 1-10 tahun digolongkan sebagai pasien dengan risiko standar.

Terdapat perbedaan protokol terapi pada pasien dengan risiko standar dan

pasien dengan risiko tinggi. Pasien risiko tinggi mendapatkan terapi yang

lebih intensif sehingga memiliki potensi toksisitas obat yang lebih tinggi

(Melo, 1993; Schrappe dkk., 1998; Hunault-Berger dkk., 2008).

d. Leukemia limfoblastik akut pada anak usia kurang dari 12 bulan pada saat

terdiagnosa berhubungan dengan tingginya jumlah leukosit serta sistim

pengaturan ulang gen Mixed Lineage Leukimia (MLL) yang tinggi hingga

80% pada kromosom 11q23. Tingginya jumlah leukosit dan tingginya sistem

pengaturan ulang gen MLL ini memengaruhi luaran pasien menjadi lebih

buruk. Bayi dengan gen pengaturan MLL dengan usia muda (<6 bulan) atau

dengan jumlah leukosit sangat tinggi (>30 x 103/µL) tampaknya memiliki

prognosis yang paling buruk. Bayi dengan gen pengaturan ulang MLL

biasanya diberikan terapi yang lebih intensif dibandingkan dengan anak

berusia 1-10 tahun, bahkan sering dengan agen yang tidak biasanya diberikan

untuk anak yang lebih tua, seperti sitarabin dosis tinggi (Pieters, 2007;

Silverman, 2007).

e. Bayi memiliki insidens yang lebih tinggi untuk leukemia SSP. Status SSP

pada saat diagnosis memiliki korelasi kuat dengan luaran yang lebih buruk,

dan digunakan oleh sebagian besar kelompok uji klinis untuk menentukan

intensitas terapi (Burger dkk., 2003; Hilden dkk., 2006).

f. Remaja usia 10-12 tahun dengan LLA lebih sering datang dengan leukemia

sel T, jumlah leukosit yang tinggi, insidens kelainan kromosom

menguntungkan
(hiperdiploidi tinggi dan fusi TEL/AML1) lebih rendah dan insidens yang

lebih tinggi untuk kromosom Philadelphia [t(9;22)]. Remaja juga memiliki

risiko tinggi untuk mengalami komplikasi akibat terapi seperti osteonekrosis,

pankreatitis dan trombosis vena dalam yang juga dapat memengaruhi

prognosis. Pada kebanyakan protokol anak, remaja dianggap berisiko tinggi,

terlepas dari gambaran klinis yang muncul. Sejumlah penelitian retrospektif

yang diterbitkan dalam dekade terakhir menunjukkan bahwa remaja memiliki

luaran yang lebih baik jika dirawat menggunakan protokol anak dengan LLA

risiko tinggi dibandingkan dengan protokol dewasa (Hilden dkk., 2006;

Pieters dkk., 2007).

2.2.2 Jenis kelamin

Perbedaan kesintasan berdasarkan jenis kelamin telah diamati sejak tahun 1960.

Sebagian besar penelitian menyatakan prognosis untuk anak lelaki lebih buruk

dibandingkan anak perempuan. Perbedaan prognosis ini menyebabkan perbedaan

pada beberapa regimen seperti pada Children’s Oncology Group yang

memberikan fase pemeliharaan lebih lama pada anak lelaki dibandingkan anak

perempuan. Oxford hazard score yang digunakan untuk stratifikasi menurut risiko

pada protokol LLA 97 di Amerika juga memakai jenis kelamin (Hann dkk.,

2000). Namun pada banyak regimen lain, anak lelaki dan perempuan menerima

durasi pengobatan yang sama (Stephen dkk., 2012). Beberapa penelitian

selanjutnya juga menunjukkan kesintasan perempuan lebih baik dibandingkan

lelaki (Organista- Nava dkk., 2013). Perbedaan kesintasan ini diperkirakan

karena:
a. Anak lelaki lebih sering mengalami leukemia sel T dibandingkan perempuan

yaitu 20,9% dibandingkan 10,7%. Leukimia sel T telah diketahui memiliki

prognosis yang lebih buruk dibandingkan sel B. Saat ini, karena pemberian

kemoterapi intensifikasi, luaran leukemia sel T saat ini hampir meyerupai

leukemia sel B (Pui dkk., 1999; Schrappe dkk., 2000).

b. Akibat instabilitas kromosom XY yang memberikan kontribusi terhadap

proliferasi sel yang abnormal yang menghasilkan leukemia yang agresif

secara biologis pada pasien lelaki (Schrappe dkk., 2000).

c. Testosteron atau estrogen mungkin memegang peranan kecil pada leukemia

anak yang berhubungan dengan risiko kanker testis pada anak lelaki (Holmes

dkk., 2012b). Keterlibatan testis yang jelas pada saat diagnosis didapatkan

pada sekitar 2% dari anak lelaki. Keterlibatan testis pada saat diagnosis

awalnya diidentifikasi sebagai faktor prognostis buruk, tetapi hubungannya

menjadi kurang jelas pada penelitian yang lebih baru. Keterlibatan testis pada

saat diagnosis masih dianggap sebagai faktor risiko tinggi pada beberapa

protokol pengobatan LLA (Stephen dkk., 2012; Ma dkk., 2014).

2.2.3 Hemoglobin

Hemoglobin adalah kompleks protein yang terdiri dari heme yang mengandung

besi dan globin. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat di dalam

eritrosit. Seluruh sel darah memiliki sel dasar yang sama yaitu sel pluripotent. Sel

pluripoten bersifat multipoten yaitu memiliki kemampuan untuk membelah dan

dapat berdiferensiasi menjadi sel jenis lain. Sel pluripoten membentuk dua jenis

sel yang juga memiliki sifat multipoten yaitu limpoid dan mieloid. Kelompok

limpoid
merupakan kelompok yang bermigrasi ke organ limpa, sedang kelompok mieloid

berada tetap di dalam sumsum tulang. Kelompok mieloid membelah dan

berdiferensiasi menjadi sel-sel baru. Proses pembentukan darah secara umum

ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Kiswari, 2014).

Gambar 2.2
Pembentukan sel darah secara umum (Kiswari, 2014)
Eritroblas merupakan sel bakal pembentuk sel darah merah (eritrosit) yang

memiliki ukuran besar dan masih memiliki inti sel. Eritrosit mengandung Hb yang

berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan

karbondioksida dari jaringan dan paru-paru. Sejak masa embrio, janin, anak dan

dewasa, eritrosit mempunyai 6 jenis Hb antara lain (Lubis, 2010):

a. Hemoglobin embrional yaitu Gower-1, Gower-2 dan Portland. Hemoglobin

ini terbentuk selama 2 minggu pertama masa gestasi dan akan menghilang

pada masa gestasi 3 bulan.

b. Hemoglobin Fetal atau Hb-F merupakan Hb yang paling dominan pada usia

gestasi 8 minggu dan merupakan 90% dari keseluruhan Hb setelah janin


berusia 6 bulan yang kemudian berkurang secara bertahap. Pada saat lahir

ditemukan kira-kira 70% Hb-F. Sintesis Hb-F menurun secara cepat setelah

bayi lahir dan hanya sedikit ditemukan pada usia 6-12 bulan.

c. Hemoglobin dewasa yaitu Hb-A1 dan Hb-A2. Pada masa embrio Hb-A telah

dapat dideteksi. Pada usia gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% Hb-A, mencapai

30% pada saat lahir dan sudah menunjukkan gambaran Hb dewasa pada usia

6-12 bulan. Perubahan Hb janin ke dewasa merupakan proses biologi berupa

diferensiasi sel induk eritroid, sel stem pluripotent, gen dan reseptor yang

memengaruhi eritroid dan dikontrol oleh faktor humoral.

Batas normal nilai Hb untuk seseorang sulit ditentukan karena Hb bervariasi

diantara setiap suku bangsa (Evelyn, 2009). World Health Organization (WHO)

telah menetapkan batas Hb normal berdasarkan usia dan jenis kelamin seperti

ditunjukkan dalam Tabel 2.2 (WHO, 2001).

Tabel 2.2
Kriteria anemia (WHO, 2001)

Usia Batas Nilai Hb (g/dl)


6 bulan hingga <5 tahun <11
>5 tahun hingga 14 tahun <12
Perempuan sehat <12
Perempuan hamil <11
Lelaki dewasa <13

Anemia merupakan salah satu kelainan darah yang sering ditemukan pada

pasien LLA. Anemia adalah berkurangnya kadar eritrosit (sel darah merah) dan

kadar Hb dalam setiap mm3 darah dalam tubuh manusia. Anemia pada penyakit

keganasan dapat terjadi sebagai akibat efek langsung dari keganasan dan sebagai

akibat terapi sitostatik atau radioterapi.


Anemia terjadi akibat interaksi antara sel tumor dengan sistem imun yang

memicu sekresi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), interferon gamma (IFN-γ) dan

faktor nekrosis tumor (TNF-α). Peningkatan kadar sitokin ini akan menekan

progenitor burst-forming unit erythroid (BFU-E) dan colony-forming unit

erythroid (CFU-E) di sumsum tulang, mengganggu metabolisme besi dan

mengurangi produksi eritropoietin (EPO). Kerusakan ginjal termasuk disfungsi

renal oleh zat yang nefrotoksik akan menurunkan respons eritropoetin terhadap

anemia terutama saat pemberian kemoterapi. Usia eritrosit menjadi pendek

sedangkan jumlah produksi sel yang baru tidak dapat mengkompensasi.

Patogenesis anemia akibat efek langsung keganasan dijelaskan pada Gambar 2.3

(Rouli dan Amalia, 2005).

Gambar 2.3
Patogenesis anemia pada penyakit keganasan (Rouli dan Amalia, 2005)
Kadar Hb awal pada pasien leukemia tidak terjadi secara acak. Tipe leukemia

berhubungan dengan derajat anemia. Perbedaan prognosis berdasarkan kadar Hb

diperkirakan terjadi karena Hb yang lebih rendah (Hb<80 g/dl) lebih sering

ditemukan pada tipe leukemia dengan luaran yang lebih baik (TEL/AML1,

hiperdiploidi). Tipe leukemia yang lebih agresif (leukemia sel T dan BCR-ABL)

berhubungan dengan Hb yang lebih tinggi (Teuffel dkk., 2008). Pasien leukemia

sel T dengan Hb yang lebih rendah memiliki luaran yang lebih baik. Remaja

memiliki Hb yang lebih tinggi dibandingkan dengan prepubertas yang

dipengaruhi oleh proses pertumbuhan. Pada pasien subgroup TEL/AML1, anemia

lebih sering ditemukan pada anak yang lebih muda dengan usia kurang dari 10

tahun yang memiliki prognosis lebih baik (Teuffel dkk., 2008). Hal tersebut

mengindikasikan bahwa Hb dan usia merupakan faktor yang saling berkaitan dan

menjelaskan kesintasan yang lebih baik pada pasien dengan Hb yang lebih rendah

(Shuster dkk, 1990).

2.2.4 Trombosit

Trombosit merupakan komponen penting dalam homeostasis. Trombosit tidak

memiliki inti dan diproduksi dari sitoplasma megakariosit. Megakariosit

merupakan sel terbesar yang terdapat dalam sumsum tulang. Fase

megakariositopoesis ditandai dengan pembelahan secara mitosis dari sel

progenitor, kemudian diikuti oleh endoreduplikasi inti sel. Terdapat hormon yang

berperan merangsang produksi dan pematangan megakariosit yang disebut

trombopoetin, yang pada akhirnya menghasilkan trombosit (Kiswari, 2014).


Trombosit berkontribusi dalam pengaturan aliran darah ke pembuluh darah

yang rusak dengan menginduksi vasokonstriksi (vasospasme), melakukan

interaksi platelet yang kemudian mengakibatkan pembentukan sumbat trombosit

untuk menghentikan perdarahan lebih lanjut. Trombosit juga mengaktifkan

kaskade koagulasi untuk menstabilkan sumbat trombosit, dan menginisiasi proses

repair termasuk penghancuran klot atau fibrinolisis (Rote dan Mc.Cance, 2014).

Trombosit beredar dalam aliran darah selama 8 sampai 10 hari, kemudian

akan kehilangan kemampuannya dalam proses trombogenik dan akan dihancurkan

di limpa oleh fagositosis sel mononuklear. Jumlah trombosit normal berkisar 150-

400 x 103/µL (Lubis dan Rosdiana, 2010; Rote dan Mc.Cance, 2014).

Trombositopenia merupakan penyebab tersering perdarahan pada leukemia.

Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 150 x

103/L. Trombositopenia pada leukemia dapat disebabkan oleh infiltrasi sel

leukemi di sumsum tulang, kerusakan sumsum tulang oleh kemoterapi, koagulasi

intravaskuler diseminata, proses imunologis ataupun karena hipersplenisme.

Selain trombositopenia perdarahan juga bisa terjadi akibat disfungsi trombosit,

kelainan hepar dan fibrinolis. Kadar trombosit kurang dari 30 x 103/L dikatakan

memiliki prognosis yang lebih buruk (Wirawan dkk., 2003). Kadar trombosit

antara 30 sampai 50 x 103/L jarang mengalami perdarahan kecuali didahului

dengan trauma. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali kadar trombosit di

bawah 10 x 103/L seperti dijelaskan dalam Tabel 2.3 (Buchanan, 2005).


Tabel 2.3
Hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian perdarahan (Buchanan, 2005)

Jumlah trombosit (103/L) Gejala dan tanda klinis


>100 Tidak ada
50-100 Pendarahan minimal (setelah trauma berat atau
tindakan operasi)
20-50 Perdarahan ringan ( perdarahan kulit)
5-20 Perdarahan sedang (perdarahan kulit dan
mukosa)
<5 Perdarahan berat ( perdarahan mukosa dan
susunan saraf pusat)

Kematian dini pada pasien leukemia umumnya disebabkan karena

perdarahan. Komplikasi perdarahan mengakibatkan kematian pada 7-10% pasien

leukemia akut yang terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu pertama

setelah diagnosis (Dalimoenthe, 2005; Slats dkk., 2005; Rofinda, 2012).

2.2.5 Leukosit

Leukosit atau disebut juga dengan sel darah putih atau white blood cell (WBC)

merupakan salah satu produk darah yang terdiri dari fagosit dan limfosit. Fagosit

terdiri dari granulosit dan monosit. Granulosit terdiri dari tiga jenis sel yaitu

neutrofil, eosinofil dan basofil. Pada keadaan normal hanya sel fagosit matang dan

limfosit yang ditemukan dalam darah tepi (Mudita, 2010).

Jumlah leukosit menjadi faktor prognosis independen dari hampir semua

penelitian terbaru dan merupakan komponen penentu kelompok risiko tinggi yang

paling banyak dipakai untuk berbagai regimen. Sejak tahun 1996, berdasarkan

pedoman yang dikembangkan oleh The Cancer Therapy Evaluation Program

(CTEP) dari National Cancer Institute (NCI), hitung leukosit 50 x 103/L biasanya
digunakan sebagai batas untuk mengklasifikasikan pasien sebagai berisiko tinggi

atau risiko standar (Hilden dkk., 2003).

Kesintasan 5 tahun pasien LLA dengan hiperleukositosis atau jumlah leukosit

>50 x 103/L adalah 61%, sedangkan pasien dengan jumlah leukosit <50 x 10 3/L

adalah 94% (Friedmann dan Weinstein, 2000). Penelitian di Jepang menyatakan

kesintasan 7 tahun pada pasien dengan jumlah leukosit <10 x 103/µL adalah

71,5%, dan semakin menurun seiring dengan bertambahnya jumlah leukosit yaitu

62,7% pada jumlah leukosit 10-49 x 103/µL, 52,9% pada jumlah leukosit 50-99 x

103/µL, dan hanya 19,3% pada jumlah leukosit >100 x 10 3/µL (Horibe dkk.,

2000).

2.2.6 Tipe leukemia

World Health Organization membagi LLA menjadi leukemia sel T dan leukemia

sel B (Swerdlow dkk., 2011). Leukemia sel T memiliki prognosis lebih buruk,

frekuensi relaps yang lebih besar dan menunjukkan EFS yang lebih kecil

dibandingkan dengan leukemia sel B (Goldberg dkk., 2003; Zhang dkk., 2011).

Kesintasan pada pasien leukemia sel T adalah 78% dan pada leukemia sel B

adalah 86% (Goldberg dkk., 2003).

Klasifikasi FAB membedakan LLA berdasarkan gambaran morfologinya

menjadi L1, L2, dan L3 (Lanzcowsky, 2011). Sebagian besar kasus LLA adalah

L1 (85%), sedangkan sebanyak 14% adalah L2 dan L3 sebanyak 1%. Leukemia

dengan morfologi L-2 memiliki insidens relaps yang lebih tinggi dibandingkan

morfologi lainnya dan memiliki prognosis yang lebih buruk (Chiaretti dkk.,

2014).
2.2.7 Ploidi

Ploidi adalah istilah untuk menunjukkan banyaknya genom atau himpunan

kromosom dasar yang dimiliki oleh sel makhluk hidup (Carroll, 2013).

Hiperploidi yaitu jumlah kromosom yang lebih dari 50, muncul sebanyak 25-

30% anak LLA dengan prekursor sel B. Sel kanker sering menyebabkan

kerusakan pada jalur yang mengatur stabilitas genom, sehingga hiperdiploidi

lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari keganasan, bukan sebagai penyebab

keganasan. Anak LLA dengan hiperdipoidi memiliki luaran yang lebih baik

dengan EFS 8 tahun adalah 89%. Luaran yang baik pada pasien dengan

hiperdiploidi tinggi dikaitkan dengan adanya trisomi kromosom 4,10 dan 17

(Lanzcowsky, 2011; Hunger dan Mullighan, 2015). Hipodiploidi yaitu jumlah

kromosom yang kurang dari 45, hanya muncul sebanyak 2-3% kasus dan

memiliki luaran yang lebih buruk. Hipodiploidi yang paling sering adalah near-

haploid (NH, 24-31 chromosomes) dan low-hypodiploid (LH, 32-39

chromosomes) (Hunger dan Mullighan, 2015). Even free survival rate

5 tahun pada kasus hipodiploidi adalah 39% (Lanzcowsky, 2011).

2.2.8 Sitogenetik

Leukemia limfoblastik akut terdiri dari beberapa subtipe berdasarkan perubahan

struktur kromosom yang memiliki implikasi klinis yang penting. Translokasi

t(12;21)(p13;q22) adalah perubahan kromosom yang paling sering ditemukan

pada leukemia sel B, yang melibatkan fusi gen ETV6(TEL) pada kromosom 12

dengan gen RUNX1 pada kromosom 21 (Forestier dkk., 2007). Perubahan

kromosom ini didapatkan pada 20-25% kasus leukemia sel B dan jarang

ditemukan pada leukemia sel T (Nachman dkk., 2007). Translokasi t(12;21)

paling sering ditemukan pada


anak usia 2 sampai 9 tahun (Rubnitz dkk., 2008). Kesintasan pada anak LLA

dengan translokasi t(12;21) di negara maju seperti Amerika Serikat adalah 93,7%

dan di negara berkembang seperti Brazil adalah 77,6% (Zen dkk., 2009; Bhojwani

dkk., 2012).

Kromosom Philadelphia (Ph) merupakan hasil dari translokasi timbal balik

antara kromosom 9 dan 22 (t[9,22] [q34;q11]) yang terjadi sekitar 3-5% anak-

anak dengan LLA. Kromosom Philadelphia menghasilkan fusi gen yang disebut

dengan The Breakpoint Cluster Region Abelson Leukemia Virus Proto-onkogen

atau disebut dengan BCR-ABL (Melo 1996; Schlieben dkk., 1996; Gleibner dkk.,

2002). Pasien dengan leukemia dengan kromosom Ph memiliki prognosis yang

buruk dengan EFS di Amerika Serikat dan Eropa adalah 35,5-46,3% (Arico dkk.,

2000). Insidens translokasi t(4;11)(q21;q23) atau MLL-AF4 terjadi pada lebih

dari 50% kasus LLA bayi berusia kurang dari 6 bulan, 10-20% pada bayi yang

lebih besar, 2% pada anak-anak, dan hampir 10% pada orang dewasa (Pui dkk.,

1991). Translokasi t(4;11)(q21;q23) atau MLL-AF4 terdeteksi pada hampir 10%

dari leukemia sel B dan 30-40% pada LLA subtipe pro-B (Cimino dkk., 2003).

Translokasi kromosom ini memiliki prognosis buruk dengan kesintasan di

Spanyol adalah 36% (Cimino dkk., 2003).

2.2.9 Protokol terapi

Protokol terapi LLA dibagi menjadi 2 yaitu risiko standar dan risiko tinggi. Pasien

digolongkan kedalam risiko standar apabila terdiagnosis saat berusia 1-10 tahun

dengan jumlah leukosit <50 x 103/L sedangkan digolongkan risiko tinggi apabila

berusia >10 tahun, jumlah leukosit >50 x 103/L, terdapat massa di mediastinum,
terdapat keterlibatan SSP dan testis atau jumlah limfoblast absolut pada sirkulasi

1000/mm3 (Permono dan Ugrasena, 2010).

Protokol kemoterapi yang digunakan di Bagian Hemato-onkologi SMF Ilmu

Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar adalah protokol Indonesia 2006.

Protokol kemoterapi risiko standar terdiri atas fase induksi yang berlangsung

selama 6 minggu dan fase konsolidasi yang berlangsung selama 5 minggu,

kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan. Sedangkan protokol kemoterapi

risiko tinggi terdiri dari fase induksi selama 6 minggu, fase konsolidasi selama 6

minggu dan fase reinduksi selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan ke fase

pemeliharaan. Pada protokol risiko tinggi, jenis obat sitostatiska yang

dipergunakan lebih banyak dengan fase kemoterapi lebih lama sehingga memiliki

potensi toksisitas obat yang lebih tinggi dan diduga memengaruhi prognosis

(Melo, 1993; Schrappe dkk., 1998; Hunault-Berger dkk., 2008; Permono dan

Ugrasena, 2010).

2.2.10 Blast hari ke-8

Persentase sel blast pada darah tepi dapat menjadi faktor prognosis kegagalan

terapi. Setelah 7 hari kemoterapi dengan menggunakan prednison, satu dosis

kemoterapi intratekal atau 1 dosis vincristine intravena dilakukan pemeriksaan

hapusan sel darah tepi. Adanya sel blas pada darah tepi telah terbukti memiliki

hubungan dengan keberhasilan terapi. Even free survival rate 2 tahun pada pasien

dengan jumlah blas hari ke-8 <1000/mm3 adalah 76,1%, sedangkan pasien dengan

jumlah blas >1000/mm3 adalah 53,3% (Vaghela dkk., 2014).


2.2.11 Respon terapi

Tujuan terapi LLA adalah untuk mencapai remisi baik klinis dan hematologi,

mempertahankan remisi dengan kemoterapi sistemik dan profilaksis SSP, serta

mengatasi komplikasi dari terapi dan penyakitnya. Menurut Lanzcowsky (2011),

definisi remisi komplit adalah :

a. Tidak ada gejala yang berhubungan dengan penyakit seperti demam dan nyeri

tulang.

b. Tidak ada hepatosplenomegali, limpadenopati, atau bukti infiltrasi sel leukemik

lainnya. Tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinal.

c. Pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal, dengan jumlah granulosit

minimal 500/mm3, trombosit 75 x 103/µL, Hb 12 g/dl, tanpa disertai sel blas

pada hapusan darah tepi.

d. Prekursor granulosit dan erithroid sumsum tulang dalam batas normal dengan

megakariosit yang adekuat dan jumlah sel blas <5%.

Leukemia limfoblastik akut dikatakan relaps atau kambuh apabila terdapat

salah satu dari gejala sebagai berikut (Lanzcowsky, 2011):

a. Terdapat >50% sel blas pada satu kali aspirasi sumsum tulang.

b. Peningkatan sel blas secara progresif melebihi 5%, hingga mencapai > 25%

pada dua atau lebih aspirasi sumsum tulang yang dilakukan dengan jarak 1

minggu atau lebih.

c. Terdapat lebih dari 25% sel blas pada aspirasi sumsum tulang dan >2%
limfoblas

dalam sirkulasi.

d. Infiltrasi sel leukemi di organ ekstramedular seperti SSP atau gonad.


e. Terdapat sel blas di cairan serebrospinal >5 WBC/mm3.

Angka kesembuhan pada pasien LLA yang baru terdiagnosis dengan terapi

saat ini adalah 80% (Jemal dkk., 2006). Meskipun sudah menggunakan terapi

berdasarkan stratifikasi risiko, relaps masih terjadi sebanyak 20-25% (Pui dkk.,

2005). Penelitian sebelumnya menunjukkan keberhasilan terapi LLA berhubungan

dengan lama remisi pertama dan lokasi relaps (Chessells dkk., 2003). Kesintasan

pada relaps sumsum tulang pada 17 bulan pertama setelah terdiagnosis adalah 0-

15% dan 14-50% setelah 17 bulan. Relaps pada lokasi selain sumsum tulang

memiliki prognosis yang lebih baik yaitu 51% pada relaps SSP dan 53-84% pada

relaps testis (Wofford dkk., 1992; Grundy dkk., 1997; Chessells dkk., 1998;

Barredo dkk., 2006).

2.2.12 Status gizi

Status gizi ditentukan dengan menentukan proporsi berat badan menurut panjang

badan atau tinggi badan. Status gizi diperoleh dengan perhitungan persentase

berat badan aktual terhadap berat badan ideal dan diklasifikasikan menurut

Waterlow menjadi obesitas, gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk

(Sjarif, 2011).

Malnutrisi dapat menjadi akibat dari keganasan itu sendiri atau akibat dari

terapinya. Malnutrisi pada pasien leukemia dapat terjadi akibat proses inflamasi,

pemecahan masa otot, kehilangan protein tubuh dan oksidasi lipid. Terapi kanker

yang agresif dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi gastrointestinal,

gangguan absorpsi dan metabolisme. Nyeri, mukositis, napsu makan menurun,

mual dan muntah dapat meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi (Owens dkk.,

2013).
Malnutrisi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan sistem

imun, gangguan metabolisme obat, meningkatkan risiko toksisitas obat dan

gangguan penyembuhan luka sehingga memengaruhi kualitas hidup serta luaran

pada pasien dengan keganasan (Owens dkk., 2013).

Kematian dan relaps lebih sering terjadi pada pasien LLA dengan malnutrisi

(Viana dkk., 1994; Ringwald-Smith dkk., 1998). Pasien LLA dengan malnutrisi

memiliki kesintasan 5 tahun lebih rendah yaitu 26% dibandingkan pasien LLA

dengan gizi baik yaitu 83% (Viana dkk., 1994). Angka kesintasan 3 tahun pada

pasien obesitas adalah 68% dan pada pasien tanpa obesitas adalah 80% (Butturini

dkk., 2007). Beberapa penelitian lain mendapatkan tidak ada hubungan antara

status nutrisi dengan kesintasan (Hijiya dkk., 2006; Permatasari dkk., 2009).

Pemberian nutrisi yang adekuat dan efek kortikosteroid selama fase induksi dapat

meningkatkan status nutrisi pada pasien LLA dengan malnutrisi sehingga

memperbaiki toleransi terhadap kemoterapi dan meningkatkan kesintasan

(Gômez- Almaguer dkk., 1998).

Anda mungkin juga menyukai