Anda di halaman 1dari 12

Ya Tuhan semoga tidak mendapat halangan.

Ong pranamyam sira sang siwyam, bhukti mukti hitarratam,prawaksye tatwa


wijnevah, wisnwangsa patayo swaram.Sira ghranestyam patyam, rajasityam
mahabalam,sawangsanira mangjawam, bhuphalakarn patyam loke.
Ong nama dewa ya.

Sembah hamba ke hadapan Batara junjungan, daulat paduka leluhur yang telah
menjadi batara, Engkau yang menganugerahi kehidupan (makanan) dan
kebahagiaan, keberhasilan dalam segala kehendak, senantiasa bersemayam dalam
perasaan dan pikiran, dipuja agar merestui, para bijak di lingkungan keluarga
memohon untuk menyebarkan cerita ( sejarah ) ini, yang berkenaan dengan
kewajiban seorang raja, menerangi dan menjadi contoh di dunia, akan diuraikan
tentang silsilah keturunan oleh beliau junjungan utama yang telah sempurna. Pada
awalnya dimulai. Selamat dan panjang usia, terhindar dari kutuk celaan fitnah
bagaikan terkena racun, semoga terus dijunjung di dunia. Ya Tuhan semoga
menemukan keberhasilan.
Entah berapa lama hyang Batara Maharaja Manu, bertahta menjadi pemimpin di
sana, bagaikan dewa dalam kenyataan, beliau tetap mempertahankan kemuliaan,
sampai ke seluruh negeri, disegani oleh rakyat maupun bangsawan, orang pertama
dalam keturunan Manu, di kerajaan, Medangkamulan.
Awiji ekam sastito.
Awalnya beliau Maharaja Manu, menurunkan keturunan utama seorang laki-laki,
bergelar Sri Jaya Langit. Adapun Sri Jaya langit, menurunkan Sri Wrttikandayun.
Adapun Sri Wrttikandayun, menurunkan Sri Kameswara Paradewasikan. Adapun Sri
Kameswara Paradewasikan, menurunkan Sri Dharmawangsa Teguh Ananta
Wikrama Tungga Dewa, beliau sebagai pemimpin utama, perencana unggul, raja di
antara para yogi dan penguasa tertinggi, menjabarkan tujuh formasi ilmu Sanskrit
dalam tata bahasa, oleh dilampaui orang. Hasil karya Bagawan Byasa, digubah
dalam palawakya, memahami seluk beluk cerita prosa dari Astadasa Parwa. Beliau
bagaikan Raja yang unggul di dunia, pikiran beliau mengutamakan kebenaran, tidak
diperdaya sebagai raja, menjaga daerah kekuasaan, mengutamakan kejujuran dan
kesetiaan, sungguh beliau menjadi pelindung dunia.
Prawaktayan sri gotrabih. Beliau raja penguasa pertama, pada waktu beliau
memerintah negeri itu makmur, para pernuka tidak ada yang berani menentang
beliau. Demikian keistimewaan beliau Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama
Tunggadewa. Beberapa lama beliau dijunjung menjadi penguasa negeri, berhasil
mempunyai keturunan, beliau berputra laki-laki yang utama, bernama Sri
Kameswara, seperti nama buyut beliau. Adapun Sri Kameswara, memiliki keturunan
tiga laki-laki, dan seorang perempuan, Semuanya ada empat, rinciannya adalah,
yang tertua bernama Sri Krtta Dharma, beliau yang wafat di Jirah. Adapun adik
beliau, Sri Tunggul Ametung, beliau wafat di Tumapel, saudara yang perempuan,
bernama Dewi Ghori Puspatha, disunting oleh Mpu Widha, saudara dari Medhawati,
telah menyatu ke alam baka, berkedudukan di kuburan. Adapun yang keempat,
adalah Sri Airlangga, yang diangkat dari Sri Udayana Warmadewa, raja Bali,
beserta Sri Guna Priya Dharmapatni, keturunan dari Mpu Sendok.
Adapun Sri Airlangga menjadi raja penguasa berkedudukan di negara Daha.
Memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di luar istana. Putra tertua
itu bernama Sri Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu permaisuri. Semuanya
keturunan Wisnuwangsa Kediri. Adapun yang di luar istana (puspa capa), bergelar
Sri Arya Buru, sama-sama keturunan orang dusun, cikal bakal lurah Tutwan, Si
Gunaraksa yang datang ke Bali.
Silsilah raja Sri Jayabhaya yang diuraikan terlebih dahulu, raja Sri Jayabhaya,
berputra tiga orang laki-laki, yang tertua bernama raja Sri Dandang Gendis, Sri Siwa
Wandhira, Sri Jaya Kusuma, demikian keturunan beliau Sri Jayabhaya. Adapun raja
Sri Dandang Gendis, memiliki keturunan Sri Jaya Katong, dia wafat dalam
peperangan, Sri Jaya Katong, berputra Sri Jaya Katha, adapun Sri Siwa Wandhira
berputra Sri Jaya Waringin, Sri Jaya Waringin berputra Sri Kuta Wandhira berputra
bernama Arya Kutawaringin, dia pergi ke Bali, diutus oleh beliau Patih Mada,
berkembang keturunannya menjadi keluarga Kubon Tubuh, Kuta Waringin, sampai
di sana diceritakan.
Adapun Sri Jaya Kusuma, memiliki keturunan Sri Wira Kusuma, tidak mengikuti
aturan kata krama keluarga, melahirkan keturunan berada di Pulau Jawa, tidak
diceritakan lagi kelanjutannya.
Kembali Sri Jayasabha yang diceritakan, memiliki keturunan seorang laki-laki,
bernama Sirarya Kediri, memiliki keturunan bernama Arya Kapakisan, beliau dikirim
oleh keturunan dua orang semua laki-laki, beliau Pangeran Nyuhaya, dan Pangeran
Asak, sama-sama mengembangkan keturunan di Bali, cerita disudahi.
Kembali diceritakan yang terdahulu, Jaya Waringin dan Jaya Katha, keturunan
beliau Sri Siwa Wandhira dan Jaya Katong beliau berdua yang gugur dalam
pertempuran, beliau berdua yaitu Jaya Waringin dan Jaya Katha, yang menyerah ke
Tumapel, waktu ayah beliau hancur dalam peperangan negara Daha menjadi
kacau, akhirnya berlanjut sampai cucu terkena kehancuran, kutuk beliau pendeta
Çiwa maupun golongan Budha.
Apa yang menyebabkan terjadinya perang itu? Menyebabkan Keraton menjadi
hancur ?
Dengarkan tambahan cerita ini, pada tahun Çaka yang lalu 1144 ( 1222 M ), bulan
Palguna (sekitar Pebruari), hari ketiga belas setelah bulan Purnama, hari sepekan
Watu Gunung, pada saat itu perintah beliau raja Ken Angrok, beliau yang bertahta di
Tumapel, menyerang kerajaan Galuh, atas desakan beliau para pendeta Çiwa
maupun golongan Budha. Bahwasanya raja Sri Dangdang Gendis, durhaka pada
para pendeta, menghina kewajiban sang Brahmana, ibaratnya seperti maharaja
Nahusa, yang berkeinginan menguasai Surga. Demikian perbuatan raja Sri
Dangdang Gendis, menyebabkan semua pendeta menjadi bingung mengungsi ke
Tumapel, sekarang kerajaan Daha, ibaratnya seperti segunung rumput kering,
hancur lebur terbakar oleh api, siap dibakar?, itulah kemarahan sang pertapa,
berkobar dalam pikirannya, ditiup angin tak henti-hentinya Raja Sri Ken Angrok
menghembus, semakin menyala tak ada tandingnya.

Pada akhirnya menyerah Sri Aji Dangdang Gendis, sadar akan ajalnya tiba, karena
raja Sri Ken Angrok sungguh seorang keturunan Brahmana dari Waisnawa, beliau
juga dijuluki Hyang Guru, nah itu sebabnya Sri Raja Dangdang Gendis,
memusatkan pikiran, menggelar rahasia batin, segera moksa tanpa jasad turut pula
kandang kuda beserta pembawa puan, payung, terlihat samar bayangan beliau,
melambai di angkasa, menuju Wisnuloka. Demikian jelas Sri raja telah menyatu di
alam sana.
Ada lagi yang diceritakan yaitu para prajurit dan menteri lebih-lebih para keluarga
utama ( dekat ), rakyat yang masih hidup, semua cerai-berai, mencari tempat
berlindung, mencari tempat persembunyian, agar selamat, sebab pemimpin perang
adalah Siwa Wandhira, beserta Misawalungan, Semuanya telah gugur, dengan
penuh keberanian.

Masih ada dua orang keluarga keturunan utama, Jaya Katha, dan Jaya Waringin
yang terkenal, keturunan Jaya Katong, beserta Siwa Wandhira, yang gugur dalam
medan perang.
Mereka berdua dendam, atas tewas ayahnya dalam pertempuran, maju menyerang
seperti harimau galak, lalu ditangkap bersama-sama oleh empat orang gagah berani
yang masing-masing bernama , Arya Wang Bang, Misa Rangdi, Bango Samparan,
Cucupu Rantya, di sana Jaya Katha dan Jaya Waringin, keduanya ditangkap. Tidak
mampu melawan ikut pula istri Jaya Katha dibawa berlari beliau sedang hamil,
sedang mengidam. Adapun Jaya Waringin, masih perjaka, belum mempunyai istri.
Keempat menteri tersebut semua belas kasihan terhadap beliau Jaya Katha, dan
pula terhadap Siwa Wandhira, itulah sebabnya lepas tidak terkena senjata.

Adapun setibanya beliau di Tumapel, disayang oleh yang mendirikan memerintah


Tumapel, diasuh oleh orang Japara, masih merupakan keturunan istri Mpu Sendok,
dan Kebo ljo, di sana dipelihara, tidak mendapat kekuasaan. Beberapa lama mereka
berada di Tumapel, setelah tiba masanya, akhirnya Jaya Katha berputra tiga orang
laki-laki, yang sulung bernama Arya Wayahan Dalem Manyeneng, ketika ibunya
dibawa lari janin itu berada dengan selamat di rahim ibunya, itulah sebabnya diberi
nama Dalem Manyeneng.

Adapun adiknya bernama Arya Katanggaran, itu yang menurunkan Kebo Anabrang,
orang tua dari Arya Kanuruhan, yang dikirim ke Bali, mengembangkan keturunan,
yaitu Arya Brangsinga, Tangkas, Pagatepan, sampai di sana diceritakan.
Putra yang bungsu bernama Arya Nuddhata, seorang Arya yang menetap berdiam
di Tumapel mengembangkan keturunan di kerajaan di Jawa, tidak diceritakan lebih
lanjut.

Adapun beliau Arya Wayahan Dalem Manyeneng, berputra dua orang laki-laki, yang
sulung bernama Arya Gajah Para, adik beliau bernama Arya Getas, Mereka berdua
itu diutus oleh Gajah Mada ke Bali, demikian uraiannya pada zaman dahulu.
Ya Tuhan yang bersemayam dalam kalbu dan pikiran, yang diwujudkan dengan
Ongkara dalam kesucian Batara junjungan hamba, para leluhur yang telah suci,
hamba menghaturkan sembah suci agar berhasil, oleh karena semua para anggota
keluarga, keturunan, karena beliau yang pertama mengembangkan keluarga hamba
sendiri, tiada lain beliau itu yang menetap di Tumapel. Beliau itu adalah Arya
Wayahan Dalem Manyeneng, gelar beliau yang terkenal. Beliau yang pertama
menurunkan keluarga hamba, maafkan agar tidak kena kutukan, para keluarga
hamba mohon ijin untuk menguraikan cerita ini, semoga selamat dan panjang umur,
menemui kesempurnaan, sampai anggota keluarga dan keturunan, berhasil dalam
segala tujuan, tidak kekurangan pangan, kekayaan, semoga tetap disegani di bumi.
Ya Tuhan semoga sukses, berhasil selalu.

Permulaan cerita disusun dalam silsilah, berkat jasa beliau seorang brahmana
pendeta sakti, beliau bergelar Wayahan Tianyar, yang berasrama di Griya Punia,
atas dorongan Kyayi I Gusti Ngurah Tianyar, pemimpin di utara gunung, keturunan
beliau Jaya Katong dari Kediri, itulah sebabnya sang pendeta sakti, menulis tentang
silsilah , telah dimuat dalam tulisan sesuai dengan bahasa dalam babad Jawa.
Adapula diceritakan, bernama Kriyan Patih Gajah Mada, memanggil Arya Damar,
atas titah dari maha raja Pulau Jawa, melaksanakan empat daya upaya, menyerang
kerajaan Bali, setelah siap perbekalan dan kendaraan, segeralah beliau berangkat
ikut pula para Arya semua, para perwira dan menteri berkelompok-kelompok
menaiki perahu, disertai pula prajurit beliau, tepi laut Bali dikelilingi oleh musuh, para
Arya itu dibagi-bagi oleh Kriyan Patih Mada, utara, timur, barat selatan semuanya
penuh, penuh sesak di pantai laut, yang masing-masing menempati posisinya,
ditambatkan perahunya.

Adapun beliau Arya Gajah Para, beserta saudara beliau Arya Getas, disertai oleh
Arya Kutawaringin yang cekatan, diikuti oleh Jahaweddhya, para gusti dari
Majapahit, seperti tiga patih bersaudara, yang bernama Tan Kawur, Tan Mundur,
dan Tan Kober. Beliau tiga bersaudara menambatkan perahu layarnya di pelabuhan
Tejakula, yang menyerang dari barat Toya Anyar.
Desa-desa menjadi kacau balau, semuanya yang ada di kerajaan Bali, sangat ramai
pergulatan perang itu, memarang diparang, kacau balau, banyak rakyat yang tewas,
dan menderita, karena keperkasaannya serangan dan Pulau Jawa. Dengan sekejap
kalah pasukan Maharaja Sri Bhedamuka (Bedahulu), amat panjang tidak diceritakan
dalam buku ini.

Sementara setelah gugurnya maharaja Bhedamuka, para Arya itu semua kembali,
menuju Majapahit, keadaan Pulau Bali menjadi sunyi senyap, karena belum ada
yang memimpin Bali, demikian. Setelah sekian lama datanglah Sri Kresna
Kepakisan, dinobatkan menjadi raja di Pulau Bali. Diikuti oleh semua Arya, Arya
Kepakisan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya
Kanuruhan, lagi beliau Arya Wang Bang, Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur, yang
terakhir Arya Kutawaringin semua mengiringi sebagai para perwira menteri, Beliau
Arya Kutawaringin, menjadi kepala penasehat pasukan tinggi tersebut.
Sesampainya Sri Maharaja Kapakisan, dinobatkan menjadi raja Pulau Bali, orang-
orang dusun ada yang tidak mau menghormati ( tunduk ), yang di sebelah utara
gunung Agung, oleh karena tidak ada pemimpin yang disegani yang datang di sana.
Demikian cerita berakhir.

Kemudian kembali diceritakan, beliau Arya Gajahpara, bersama saudara beliau


Arya Getas didesak oleh raja, sebagai mahapatih raja yang ada di Bali. Beliau
menurut ( menyerah ), karena ingat dengan kewajiban sebagai seorang anak, tidak
pantas melawan perintah orang tua, demikian motto kepemimpinan beliau, dengan
tetap pula melaksanakan keperwiraan utama dan keadilan, kedua Arya tersebut
diberikan istri, juga merupakan putra Arya. Tetapi di sana para Arya itu segera diajar
tentang kewajiban dan tingkah laku seorang kesatria, oleh ayah beliau, untuk tetap
melaksanakan cita-cita kewajiban seorang pahlawan (pemberani).

Setelah demikian, kedua Arya itu menyembah dan mohon pamit, berdiri dan segera
berangkat. Sekejap telah sampai di pantai laut, segera beliau naik ke perahu,
perahu berlayar hilir mudik, setelah melewati pertengahan laut, selanjutnya,
berlabuhlah beliau di daerah Pulaki, barat daya Pulau Bali, beliau menumpang di
rumah I Gusti Bendesa Pulaki, yang merupakan keluarga keturunan Bendesa Mas.
Sangat senang hati I Gusti Bendesa, tulus hatinya dan sangat ramahtamah
sambutannya, hormat terhadap kedua Arya itu, seperti berbunga-bunga hati sang
tuan rumah, lengkap dengan jamuan penyambutan I Gusti Bendesa Pulaki. Di sana
beliau menginap dua malam.

Pagi-pagi pergilah kedua Arya tersebut, diantar oleh I Gusti Bendesa, tujuannya
untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di Samprangan. Tidak habis jika
diceritakan perjalanan kedua Arya tersebut, diantar oleh beliau I Gusti Bendesa.
Segera tiba di penghadapan, beliau langsung mendekat dan menghadap pada
baginda raja. Tak lama antaranya kedua Arya tersebut dipandang oleh sang raja,
dengan sopan dan tulus sembah kedua Arya tersebut, demikian pula I Gusti
Bendesa, menimbulkan kekaguman setiap yang melihat, orang yang berada di
tempat penghadapan, oleh tingkah laku yang baik kedua Arya itu.

Ada petunjuk dari sang raja, terhadap kedua Arya, dinobatkan menjadi patih oleh
beliau raja penguasa, bertempat di sana di sebelah utara Tohlangkir, bermukim di
Sukangeneb penyerangan beliau Mada untuk membunuh raja Bedha Murdhi
( Bedahulu ), kalahnya Pulau Bali oleh Majapahit. Menjadi patuhlah Arya itu, dengan
segera ditutuplah penghadapan raja. Setelah itu mohon pamitlah beliau pada Sri
Maharaja, dan permohonannya dikabulkan, kedua Arya itu berjalan menuju ke
utara, diiringkan oleh rakyat sebanyak lima puluh orang, menuju Sukangeneb Toya
Anyar. Setibanya di sana, segera beliau membangun rumah, tenanglah penduduk
sebelah utara gunung Agung itu, batas sebelah timurnya adalah Basang Alas,
sebelah baratnya sampai di Tejakula, sebelah utaranya sampai di desa Got,
demikian batas wilayah kerja beliau, wilayah pemerintahan Arya Gajah Para, berdua
beserta saudara beliau.

Beberapa lama kemudian beliau Arya Gajahpara berdua bersama saudara beliau,
hidup di Sukangeneb Toya Anyar, beliau berdua sama-sama memiliki putra. Adapun
putra beliau Gajah Para tiga orang laki-laki dan perempuan, laki-laki yang sulung I
Gusti Ngurah Toya Anyar, adiknya ( bernama ) I Gusti Ngurah Sukangeneb, yang
perempuan Ni Gusti Luh Raras, diambil dijadikan istri oleh beliau Sri Raja Wawu
Rawuh, untuk sementara tidak diceritakan.

Beliau Arya Getas yang diceritakan sekarang, berputra dua orang laki-laki, yang
tertua bernama I Gusti Ngurah Getas, adiknya diberi nama I Gusti Kekeran Getas.
Adapun beliau Arya Getas, setelah berputra dua orang diadu oleh Sri Maharaja,
disuruh menyerang daerah Selaparang, karena beliau menguasai empat daya
upaya yang licin, diikuti oleh seribu enam ratus orang bawahannya, setelah semua
lengkap dengan perbekalan dan kendaraan, menjadi penuhlah desa-desa pesisir di
sepanjang pantai, beliau bersama semua rakyatnya hilir mudik menaiki perahu.
Setelah itu berhasillah beliau berlabuh di tepi pantai Selaparang, turun dari perahu,
berjalan beliau Arya Getas. Rakyat Selaparang menjadi terdiam, oleh karena beliau
( Arya Getas ) berhasil memasang empat daya upaya yang licin, beliau langsung
menerobos memasuki semua desa, orang-orang yang berada di Praya semua diam,
semua memberi hormat kepada Arya Getas, itu sebabnya ( beliau ) tinggal di Praya
sampai sekarang dan mengembangkan keturunan.
Diceritakan kedua putra beliau yang tinggal di Sukangeneb Toya Anyar, sama-sama
mengembangkan keturunan, telah tercatat. Kembali diceritakan, tersebut I Gusti
Ngurah Sukangeneb, pindah ke arah barat, diikuti oleh rakyat dengan tiba-tiba,
terlunta-lunta perjalanan beliau, sampai tiba di desa Pegametan, bergegas
penduduk di sana, disambut oleh I Gusti Bendesa Pegametan, keturunan dari
Bendesa Mas, senang hati I Gusti Bendesa sama-sama memohon maaf dengan
tulus dan sopan, tidak beberapa lama masuklah di sana I Gusti Ngurah
Sukangeneb, bergandeng tangan dengan I Gusti Bendesa, yang menjadi penguasa
di Pegametan, masuk ke dalam Puri, duduk di beranda rumah, beliau sama-sama
senang saling bertukar pikiran dan berunding, tidak diceritakan jamuan beliau I
Gusti Bendesa. Karena saling mengasihi dari dulu.

Waktu telah berlalu, sekarang I Gusti Ngurah Sukangeneb, beliau berdiam di


Pegametan, menyebabkan I Gusti Bendesa menjadi akrab, dengan I Gusti
Sukangeneb. Oleh karena itu dijadikan menantu laki oleh I Gusti Bendesa. I Gusti
Ngurah Sukangeneb. Permintaan I Gusti Bendesa agar I Gusti Ngurah Sukangeneb
dikawinkan dengan I Gusti ……………………………..Kekeran, I Gusti Getas,
dinikahkan pada hari, Senin Umanis, Wuku Tolu, tanggal empat belas hari terang
bulan, sasih kelima ( sekitar Nopember ) pada tahun Saka 1560 ( 1638 M). Tidak
diceritakan perkawinan beliau, pada akhirnya beliau mempunyai dua orang putra,
laki-laki, yang sulung I Gusti Gede Pulaki, adiknya I Gusti Ngurah Pegametan.
Cerita selesai sampai di sini.

Selanjutnya kembali diceritakan, tersebutlah I Gusti Ngurah Toya Anyar, ada


saudara beliau, laki-laki dua orang dan perempuan seorang. Adapun yang tertua I
Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menggantikan ayah beliau Arya
Gajah Para, yang ketiga mengambil istri I Gusti Ayu Diah Wwesukia, adiknya I Gusti
Ngurah Kaler, kawin dengan I Gusti Diah Lor. Adiknya yang bernama I Gusti Luh
Tianyar, dijadikan istri oleh Pendeta Sakti Manuaba. Adapun I Gusti Ngurah Getas,
dan I Gusti Ngurah Kekeran Getas, beliau tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar,
beliau sama-sama mengembangkan keturunan.

Kemudian kembali dikisahkan, diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang


dinobatkan menjadi tetua di Toya Anyar, generasi ketiga, putra beliau yang seibu
yaitu I Gusti Ayu Diah Wwesukia. Putra tertua ( bernama ) I Gusti Gede Tianyar,
yang selanjutnya berdiam dan memiliki keturunan di Kebon Culik, putra kedua ( juga
) laki-laki bernama I Gusti Made Tianyar, yang kemudian tinggal dan berkembang di
Sukangeneb Toya Anyar. Putra yang bungsu I Gusti Nyoman Tianyar, beliau
( yang ) lahir di Desa Pamuhugan, tidak berbeda seperti leluhur beliau dahulu, janin
itu selamat dalam rahim ibunya yang sangat setia kepada suaminya, berkat
anugerah beliau sang raja penguasa di Gelgel, ketiganya itu diijinkan kembali ke
Toya Anyar.
Sekarang kembali diceritakan I Gusti Ngurah Kaler, mempunyai empat orang putra
dari seorang ibu lahir dari I Gusti Ayu Diah Lor, putra tertua bernama I Gusti Gede
Kaler, pindah menuju desa Antiga, berdiam di sana dan mengembangkan
keturunan, putra kedua I Gusti Made Kekeran, pindah menuju Desa Kubu,
berkembang di sana. Putra ketiga I Gusti Nyoman Jambeng Campara, pindah ke
Desa Sukadana Tigaron, menetap dan mengembangkan keturunan di sana. Adapun
yang bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, beliau dijuluki Ubuh,
karena ayahnya meninggal pada saat masih dalam kandungan ibunya Sang Diah
yang setia terhadap suami, akhirnya tinggal dan mengembangkan keturunan di
Tanggawisia, dihentikan penuturannya sebentar. Cerita kembali lagi, pada I Gusti
Gede Pulaki, diambil anaknya I Gusti Bendesa Pulaki, dikawinkan menjadi istri
bernama I Gusti Luh Mas. Selanjutnya I Gusti Ngurah Pegametan, beliau tinggal di
desa Pegametan. Adapun saudara beliau I Gusti Gede Pulaki, tinggal di desa
Pulaki, putra beliau laki-laki, terlanjur sudah, beliau meninggal. Sedih hatinya I Gusti
Gede Pulaki.

Diceritakan sekarang Batara Nirartha, adik dari Mpu Angsoka, putra dari Hyang
Danghyang Asmaranatha, beliau menemukan kemurahan batin, datang di Bali,
menaiki buah labu (waluh kele), dan sampan yang bocor, mendarat di tepi pantai
Purancak, mampir di pondok I Gusti Gede Pulaki, beserta putra beliau semua. Ada
putra Batara Nirartha, laki perempuan lahir dari golongan Brahmana Keturunan
Daha, yang sulung sangat cantik dan parasnya menawan, tidak ada yang menyamai
di dunia, harum semerbak baunya. Adiknya bernama Pedanda Kemenuh, lagi pula
ada saudara beliau seorang perempuan, menikah dengan Mpu Astamala beliau dari
Aliran Budha

Ada pula anak beliau yang lahir dari putri Brahmana dari Pasuruhan, empat orang
laki-laki, tertua Pedanda Kulwan, Pedanda Lor, Pedanda Ler. Ada lagi putra dari
Pedanda Batara Nirartha, laki perempuan, ibunya dari golongan Kesatria saudara
dari Dalem Keniten Blambangan, bernama Patni Keniten. Istri Pedanda Rai,
pendeta perempuan tidak bersuami, Pedanda Telaga, Pedanda Keniten.

Kembali lagi pada cerita, Batara Nirartha, berada di pondok I Gusti Gede Pulaki,
disambut dan diterima oleh I Gusti Gede Pulaki, beliau berucap "Aum-aum hamba
sangat bahagia atas kedatangan sang pendeta, apa tujuan tuan pendeta, katakan
yang sebenarnya", Danghyang Nirartha menjawab, "Aum Ngurah Gede Pulaki,
tujuan saya datang padamu, maksud saya untuk menyembunyikan putraku
sekarang, takut saya jika ia datang di kerajaan menghadap pada raja, karena harum
semerbak bau tubuhnya, juga sangat cantik paras mukanya, maksud saya sekarang
untuk menyatukan kembali ke alam sepi (alam gaib), I Gusti Gede Pulaki menyetujui
dan berkenan mengantar, seraya memohon ikut ke alam gaib ia bersedih dan
berduka karena terputus keturunannya, tidak ada lagi putranya, diam ( lah ) Batara
Nirartha, memikirkan perasaan hati I Gusti Gede Pulaki. Maka bersabdalah Batara
Nirartha, sabdanya, "Duhai Ngurah Pulaki, apa sebabnya demikian, menjadi sangat
sedih perasaan hatimu, janganlah engkau demikian". Bersikeras I Gusti Gede
Pulaki, memohon restu, agar ia mengiringkan menuju alam gaib. Dengan demikian
dikabulkan semua perkataan I Gusti Gede Pulaki, bersama putra beliau, beserta
semua prajuritnya mengiringkan putra beliau (Batara Nirartha) tidaklah nampak lagi
di alam nyata oleh semua orang.

Diceritakan sekarang berhubung dipenuhinya permintaan I Gusti Ngurah Pulaki,


senanglah hati beliau, maka menyiapkan prajurit, kemudian disuruh membuat
upacara selamat, di Pura Dalem, lengkap dengan sanggar cucuk, masing-masing
pasukannya disuruh untuk memasang di pintu masing-masing, pada had Kamis
Kliwon, lengkap dengan sesajennya. Dengan sekuat tenaga Batara Nirartha,
melakukan yoga smertti, terhadap Batara Berawa, beserta penghormatan dan
permohonan, kemudian dianugerahi beliau oleh Batara sarana untuk tidak tampak di
alam ini, oleh semua orang.

Segera setelah itu ada terlihat tabung bambu kuning bergelayutan, tanpa
gantungan, dari dalam sebuah tempat pemujaan di kahyangan ( pura ), tidak lama
kemudian keluar baju loreng, dari lubang tabung bambu kuning tersebut. Segera
diambil baju itu oleh semua orang. Demikian pula I Gusti Ngurah Pulaki, sama-sama
disuruh mengenakan pakaian itu, masing-masing sebuah, di sana orang-orang itu
semua dan I Gusti Ngurah Pulaki, segera berubah wujud, menjadi harimau, desa
tempat tinggal itu, hilang tidak tampak di alam ini. Adapun putra beliau Batara
Nirartha, secara gaib menyatu di alam tidak tampak, berdiam di Mlanting, di puja
oleh orang yang tidak kelihatan (samar), sampai sekarang.

Cerita kembali lagi, waktu I Gusti Ngurah Pulaki, memohon berubah wujud menyatu
dalam alam tidak tampak mengikuti Batara di Mlanting, I Gusti Ngurah Pegametan,
sedang tidak ada di rumah, beliau pergi mengunjungi Bendesa Kelab, yang berada
di Jembrana. Beberapa hari berada di sana, kembali pulang dia ke Pulaki, bersama
semua pengiringnya, tidak diceriterakan dalam perjalanan, segera sampai di
perbatasan desa, kaget perasaannya I Gusti Ngurah Pegametan, karena tidak
seperti sedia kala, bingung perasaan I Gusti Ngurah Pegametan ………………….
"Wahai saudaraku, apa sebabnya tidak tampak olehku penduduk desa itu, tidak
seperti sedia kala tempat tinggal desaku saat ini ".

Kemudian terdengarlah suara-suara binatang bercampur dengan suara harimau,


mengaum ribut tiada tara. Terkejut perasaan I Gusti Ngurah Pegametan, tidak
kepalang tanggung hati I Gusti Ngurah Pegametan, ingin mengadu keberaniannya,
beliau marah dan mengumpat-umpat, ujarnya " Hai engkau harimau semua,
tampakkanlah wujudmu, hadapi keberanianku sekarang.
Segera I Gusti Ngurah Pegametan melangkah, tidak kelihatan yang bersuara
gemuruh itu, kemudian beliau berjalan hendak meninjau Toya Anyar. Berjalan beliau
bersama prajurit, sampai tiba di Rajatama, perjalanannya diikuti oleh wujud yang
maya itu, sekilas tampak berupa harimau, semua pengikut itu perasaannya menjadi
takut, semakin mendekat harimau itu, perilakunya seperti orang menghormat,
menunduk pada I Gusti Ngurah Pegametan, kemudian mengumpat serta
menghunus keris. Jadi hilang rupa bayangan itu, segeralah beliau melanjutkan
perjalanan. Tidak diceritakan desa yang telah dilewati, orang-orang yang
mengiringinya, diceritakan sekarang telah sampai di desa Wana Wangi, banyak
pengiring itu berlarian teringat para pengiring yang hilang sebanyak lima puluh
orang, karena jurangnya menyulitkan berbahaya dan terjal diliputi oleh gelap, tidak
terlihat keberadaan di dalam hutan.

Tidak terpikir oleh I Gusti Ngurah Pegametan, tidak menghiraukan lembah terjal
perjalanan beliau, segera sampai di Samirenteng. Menuju ke timur perjalanan
beliau, sampailah beliau di hutan sekitar Sukangeneb Toya Anyar. Beristirahatlah
beliau di sana, dihitung prajuritnya, dulu diiringi oleh dua ratus prajurit, telah hilang
tersesat lima puluh orang, sekarang pengiringnya tinggal seratus lima puluh orang,
itulah sebabnya ( tempat itu ), bernama Desa Karobelahan sampai sekarang.
Adapun lima puluh orang pengikut yang tersesat, dikumpulkan bertempat di
Bengkala. Adapun beliau I Gusti Ngurah Pegametan, beserta pengikut menuju
keluarganya di Sukangeneb Toya Anyar. Tidak diceritakan sekarang untuk
sementara.

Cerita kembali lagi, sekarang diceritakan beliau Arya Gajah Para, setelah lama
beliau berada di Sukangeneb, Toya Anyar. Karena masa tuanya, pada saatnya
akan dijemput oleh Kala Mrtyu ( Kematian ), sudah tampak tanda-tanda
kematiannya. Sudah diyakini oleh beliau, tidak boleh tidak beliau pasti akan
meninggal.
Ada pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya "
Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung
jasadku, di sana di puncak gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari), dihias
dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh dan tari-tarian, karena ibuku dulu
bidadari". Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah
Kaler, cucu beliau mematuhi, tidak berani menolak pesan kakeknya.
Tidak diceritakan lagi telah tiba saatnya maka wafatlah beliau Arya Gajah Para.
Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti Ngurah Tianyar, tidak mengetahui wasiat
tersebut, karena ( pada saat itu ) beliau tidak berada di rumah, beliau pergi ke
Gelgel, menghadap pada Sri Maharaja, bersama-sama dengan I Gusti Ngurah
Pegametan, sama-sama berada di Gelgel.

Tidak diceritakan lagi, setibanya kembali I Gusti Ngurah Tianyar, beserta


saudaranya, dijumpai orang-orang di pun, semua menyongsong I Gusti Ngurah
Tianyar, memberitahukan tentang wafatnya Arya Gajah Para. Kaget dan terhenyak
hati yang baru tiba, berpikir-pikir tentang wafatnya, segera datang I Gusti Ngurah
Kaler, diberitahukan ada pesan beliau (Arya Gajah Para), bahwa disuruh untuk
membuatkan panggung jasad beliau di puncak gunung Mangun. Demikian
perkataan beliau I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya. Diam I Gusti Ngurah
Tianyar, berpikir-pikir beliau. Tidak disetujui semua ucapan yang disampaikan I
Gusti Ngurah Kaler, bersikeras pula I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh semua
rakyat, untuk membantu bersama-sama mengerjakan bade ( tempat usungan mayat
) bertumpang sembilan, pancaksahe, taman agung cakranti tatrawangen, beserta
segala upakara ngaben seperti lazimnya orang-orang berwibawa bernama anyawa
wedhana, harapan beliau agar segera jasad leluhurnya dikremasi. Karena hari baik
sudah dekat, itu sebabnya masyarakat itu beserta tamu semua segera membantu
bekerja baik laki maupun perempuan, membuat upakara ngaben (pitra yadnya).

Diceritakan sekarang I Gusti Ngurah Kaler, kembali ingat dengan wasiat pesan
leluhurnya dahulu, tidak berani menolak setia pada perintah, semakin khawatir I
Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya I Gusti Ngurah Tianyar. Diceritakan I Gusti
Ngurah Tianyar, menyuruh rakyat beliau memulai mengerjakan terhadap upacara
pengabenan, setelah beliau tentukan, saat pelaksanaannya, tidak diceritakan
upacara tersebut. Tersebutlah sekarang I Gusti Ngurah Kaler, semakin besar
dendam hatinya, banyak alasannya, marah, terhadap I Gusti Ngurah Tianyar. Itu
Sebabnya I Gusti Ngurah tidak ingat terhadap kakaknya, terikat oleh kesetiaan
beliau, yakin terhadap kebenaran ucapan wasiat leluhur beliau, perasaan hatinya
yang marah tidak dapat dikendalikan, segera kakaknya ditantang berperang, marah
I Gusti Ngurah Tianyar, memuncak kemarahannya, sama-sama tidak mau surut
kejantanannya, sebagai seorang kesatria untuk mendapatkan kemashuran di ujung
senjata utama, lagi pula prajurit sama-sama prajurit, semua setia membela
kehendak tuannya, sama-sama beringas, saling parang memarang, terus
menerjang berbenturan. Lagi pula peperangan beliau I Gusti Ngurah Tianyar,
dengan I Gusti Ngurah Kaler, sama-sama gagah berani, sangat hebat peperangan
itu, bagaikan perang kelompok raksasa, banyak rakyat hancur menjadi korban,
darah bercucuran, dan mayat para prajurit menggunung, itu sebabnya diberi nama
Tukad Luwah sampai sekarang. Adapun peperangan I Gusti Ngurah Kaler, dengan I
Gusti Ngurah Tianyar, sama-sama tidak berkurang keberaniannya, sama-sama
saling menikam. I Gusti Ngurah Kaler menikam dengan keris Si Tan Pasirik, tembus
dada I Gusti Ngurah Tianyar, membalaslah ia menikam dengan keris " I Baru
Pangesan ", sekejap sama-sama meninggal beliau berdua.

Kemudian datang I Gusti Abyan Tubuh, bersama I Gusti Pagatepan, yang


merupakan utusan dari Sri Raja penguasa di suruh untuk melerai pertikaian mereka
berdua. Agar tidak terjadi perkelahian, karena dia bersaudara, sekarang keduanya
ditemukan telah meninggal, terhenyak I Gusti Abyan Tubuh, demikian pula I Gusti
Pagatepan, memikirkan tentang kematiannya berdua, juga tentang
ketidakberhasilan tugasnya, diutus oleh Sri Raja penguasa. Beliau segera kembali
untuk menghadap Baginda Raja, tidak diceritakan perjalanannya I Gusti Abyan
Tubuh, beserta I Gusti Pagatepan, tibalah mereka di Sweca Negara (Gelgel),
segera mereka menghadap sang raja memberitahukan tentang meninggalnya
mereka berdua karena berkelahi katanya. " Baiklah paduka Sri Prameswara, tidak
membuahkan hasil yang baik tugas yang hamba emban dari paduka, hamba
temukan keduanya telah meninggal. Melongo gundah hati sang raja, berpikir-pikir
beliau, bahwa sungguh merupakan takdir Yang Maha Esa.

Sekarang diceritakan, putra I Gusti Ngurah Kaler, dan I Gusti Ngurah Tianyar,
keturunannya sama-sama pria. Adapun putra I Gusti Ngurah Tianyar, yang sulung
bernama I Gusti Gede Tianyar, adiknya bernama I Gusti Made Tianyar, yang
bungsu bernama I Gusti Nyoman Tianyar, lahir di desa Pamuhugan, semua
bijaksana, paham dengan segala ilmu pengetahuan. Diceritakan pula putra I Gusti
Ngurah Kaler, empat orang laki-laki, yang tertua I Gusti Gede Kaler seperti nama
ayahnya. Adiknya bernama I Gusti Made Kekeran, yang muda bernama I Gusti
Nyoman Jambeng Campara, yang bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di
Tanggawisia, karena di antara dua orang yang meninggal ( ayahnya ) sama-sama
meninggalkan isterinya yang sedang hamil, itu sebabnya tidak ada yang melakukan
satya, "menceburkan diri dalam api pembakaran mayat " kemudian setelah sama-
sama kandungan mencapai usianya, pada saatnya lahirlah bayi itu sama-sama pria,
ada di Desa Pamuhugan di Tanggawisia, hentikan ceritanya
Diposting oleh Lanang Dawan di 23.59

Anda mungkin juga menyukai