Anda di halaman 1dari 108

THE BLACK DEATH

AND THREE HELT

Chapter I

Hamparan padang rumput hijau berubah


menjadi hitam. Domba-domba berkumpul
di dekat pagar kandang mereka, terus
mengembik resah. Lelaki tua dan seorang
bocah yang memakai topi jerami
mendongak ke langit.
Menyaksikan dengan takjub saat langit biru
yang bersih dan terik berubah menghitam.

“Kek, apa awan mendung memang sehitam


arang?” tanya si bocah.

“Entahlah, Cu. Kau tahu sendiri


penglihatanku sudah mulai rabun. Mana
kutahu seperti apa warna awan sekarang?
Yang kulihat hanya kegelapan saja,” jawab
sang kakek sembari menggiring domba-
domba yang berisik untuk kembali
1
merumput.

Si bocah topi jerami masih setia


memandang langit. Dia berteriak detik
berikutnya karena sebuah petir hadir
menyambar tepat di atas rumahnya. Rumah
tua itu habis dilalap oleh api hitam.

“Oh, astaga! Sepertinya akan terjadi hujan


badai! Cu, cepat kau padamkan apinya!”
perintah sang kakek panik. Cucunya hanya
mengangguk, berjalan ke sumur terdekat.
Namun, kilatan petir lain jatuh bertubi-tubi
menyebabkan bocah itu tersambar. Dia
langsung terbakar oleh api hitam.

“TIDAK! CUCUKU!”
Lelaki tua susah payah menghampiri
cucunya yang berguling dan berteriak
kesakitan di rumput hitam. Di tengah jalan,
dia dihadang oleh sosok berjubah hitam
yang memakai topeng merah darah. Gelak
tawa keluar dari mulutnya.

“Halo, Kakek! Apa kedatanganku kemari


begitu manis? Oh! Tolong buatkan aku teh
dari daun Syned!”

“Kau ... siapa! Daun Syned? Daun apa itu?


2
Aku sama sekali tidak tahu.”

“Biar kuberitahu padamu, Kek. Daun Syned


adalah tumbuhan sangat beracun di
negeriku. Baik daun, batang, bunga, dan
akarnya berwarna hitam. Itu adalah bahan
favorit teh kesukaanku.”

“Panas! Kakek! Tolong aku!” Teriakan sang


cucu mengalihkan mereka berdua. Si Kakek
pun berucap meminta, “Tuan! Tolonglah
cucuku! Dia ... keluargaku satu-satunya
yang akan meneruskan usaha menggembala
domba-domba milikku!”

“Memang kau siapa?” tanyanya acuh tak


acuh.

Si Kakek ternganga menatap sosok itu. “A-


aku ... bukan siapa-siapa ... tapi! Tapi tolong
cucuku, Tuan!”

“Hah ... oke. Aku akan

menolong cucumu yang

berharga.” “Terima kasih,

Tuan!”

Sosok itu menyeringai dari balik topeng.


3
Lelaki tua tidak tahu apa yang ada di
pikiran sosok tersebut. Bukannya
menolong, dia malah merapalkan bahasa
asing yang tidak dimengerti si lelaki tua.

“Water Black!”

Air hitam muncul dari kedua telapak


tangannya. Mengguyur si bocah yang
sekarat. Lelaki tua di belakang sudah
menangis bahagia, tetapi kemudian berubah
menjadi teriakan. Seluruh tubuh bocah itu
berubah menjadi abu hitam.

“Tidak! Apa yang kau lakukan pada


cucuku, brengsek!” geram si lelaki tua.

“Menyelamatkan cucumu dari penderitaan.


Memang seperti itu caraku. Dan
... sekarang kau!” Sosok itu menjentikkan
jari, lalu petir datang tepat di atas kepala si
lelaki tua. Menyambarnya hingga terbakar.
Jeritan hanya membuat sosok itu
mengeraskan volume tawanya.

Begitu si kakek dan cucunya mati, dia


beralih menatap kumpulan domba yang
mengembik takut. Sosok itu berjalan ke
arah mereka, mengeluarkan benda mirip

4
bola berlubang warna hitam. Cincin
bermata merah darah di atas benda itu
ditarik sampai menimbulkan bunyi desisan.
Asap hitam pekat muncul perlahan,
membentuk bayangan raksasa. Mata merah
memincing, air liur jatuh menetes ke
rumput hitam. Bayangan raksasa melirik
tuannya.

“Ya, makan saja. Anggap itu adalah sarapan


pagimu dari Tuanmu Yang Dermawan.”

“Woaarrr!”

Benda mirip kain hitam panjang keluar dari


mulut sang raksasa. Dia menggulung
kumpulan domba menuju tenggorokan. Dia
kembali berkoar puas, kemudian berubah
kembali menjadi asap. Masuk ke lubang
kecil bola yang ada di tangan kanan sosok
bertopeng.
“Dear, sejauh ini aku belum menemukan
mereka. Haah ... sangat membosankan terus
membuat kekacauan, tapi tidak ada yang
menghentikan.”

“Nyaa~ mari kita kembali saja!”

“Oke!”
5
***

Slav merupakan sebuah desa yang ada di


Tenggara negara Matilda. Hanya desa kecil
dengan rata-rata penduduknya mempunyai
sihir windmind. Sihir yang memudahkan
mereka berkomunikasi lewat angin dengan
hewan, tumbuhan, bahkan orang.
Singkatnya, sihir itu cukup berguna untuk
pekerjaan yang ringan, bukan untuk
pertarungan.

Namun, ada satu orang yang berpikiran


lain. Dia sangat percaya kalau sihir turun-
temurun nenek moyangnya ini bisa dipakai
untuk pertarungan. Namanya Daenrys
Rick, gadis 17 tahun dari keluarga miskin
Rick, Si Penangkap Tikus Tanah. Gadis itu
sebenarnya tipe ceria dan mudah bergaul.
Akan tetapi, keyakinannya yang kuat itu
membuat dia perlahan ditinggalkan oleh
semua teman-temannya. Gadis itu sekarang
kesepian. Dia hanya punya teman seekor
burung Bluetumb yang didapat dari hutan.

“Fura, ada kabar apa hari ini?” tanya


Daenrys pada si burung.

6
“Kuku~ Fura dengar dari kawanan gagak
katanya, di desa Avar ada ‘DIA’!” jawab Fura.

“Dia? Maksudmu ... DIA! THE BLACK


DEATH?!”

“Fufu~ ya! Jangan berteriak, Rys! Nanti ayah


dan ibumu mendengarnya. Dia pasti akan
melarangmu pergi ke tempat itu.”
Daenrys mendesah lesu. “Aku tahu, Fura.
Tapi tetap, aku akan menyelinap pergi ke
desa Avar.”

“Fufu~ semangat! Oiya, aku lapar, Rys!


Mau Ruchberry! Ruchberry!” Fura terus
berkicau pada pemiliknya.

“Oke, oke, tunggu di sini!” Daenrys pergi


ke dapur. Situasi yang sepi
memudahkannya mengambil buah
Ruchberry yang ada di lemari
penyimpanan. Fura semakin tinggi
berkicau pada Daenrys saat gadis itu
membuka telapak tangan kanannya.
Butiran buah berwarna pink terlihat, Fura
langsung hinggap di pergelangan tangan
Daenrys. Mematuk penuh semangat
makanan favoritnya.

7
“Daenrys! Bantu ibu mengangkat kapur tikus
ke kebun Sir Manca! Ayah sedang
membutuhkannya!”

Daenrys panik, segera menutup jendela


dan menyuruh Fura pergi. Teriakan sang
ibu di balik pintu dijawab. “Aku akan
pergi, Bu! Tunggu aku lima menit lagi!”
“Oke. Ibu tunggu di ruang makan. Setelah
sarapan, kita berangkat.”

***

“Pak Trogi, di mana tikusnya?”


“Sepertinya tikus itu tambah masuk ke
bagian dalam tanah, Sir Manca. Tolong
tunggu beberapa menit lagi. Istri saya
sedang membawa racun tikusnya.”

“Saya akan menunggu. Tapi kalau tidak


berhasil juga, kau tidak akan mendapat
bayaran.”

“Aah ... begitu....”


Pria berkumis tipis tersenyum cerah
melihat dua wanita datang dengan satu
keranjang penuh gelondongan kapur tikus.
Wanita yang lebih tua melambai padanya.

8
“Sayang! Ini kapurnya. Maaf kalau lama,”
ucapnya.

“Tidak apa-apa, Sayang. Eh? Tumben kau


mau membantu ibumu, Rys?” Trogi
menelengkan kepala menatap putrinya.

Daenrys cemberut sambil membuang muka.


“Memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh
membantu kedua orang tuaku sendiri?”

“Bukannya kau itu--”

“Sayang, lebih baik segera


lanjutkanpenangkapan tikusnya. Kasihan
Sir
Manca menunggu dari tadi.”

Trogi mulai bekerja. Menggerus lima belas


gelondong kapur tikus, lalu menaburinya
ke lima belas lubang yang ada di kebun
tersebut. Trogi memejamkan mata sambil
merentangkan kedua tangan ke samping.
Mantra pembasmi diucapkan.

“Semua tikus yang ada di lubang! Lompat


keluar menuju cahaya putih! Jangan
kembali ke tempat ini lagi!— Scent Wrap
Out!”

Puluhan tikus keluar berbondong-bondong


9
dari lubang yang ditaburi serbuk

10
kapur. Cicitan memenuhi perkebunan,
mereka lari menuju satu tempat. Hutan.
Pekerjaan mengusir tikus selesai. Trogi pun
tinggal menunggu bayaran.

“Ini! Dua puluh keping emas!” Manca


menyerahkan dengan wajah kecut. “Eh?
Bukannya lima puluh keping emas, Sir?”
tanya Trogi bingung.

“Itu karena kau tidak menangkap tikus-


tikus itu, tapi kau hanya mengusirnya!
Bukan tidak mungkin mereka akan kembali
lagi ke sini! Belum lagi, kau menyuruhku
menunggu selama sepuluh menit!” bentak
Manca marah.

Trogi tersenyum sambil membungkuk di


hadapan Manca. “Maaf, Sir! Aku ... tidak
tega membunuh mereka.”

“Selalu saja begitu! Aku sudah


mendengarnya dari semua warga tentang
ini. Kau bukanlah penangkap tikus! Kau
hanya seorang pawang tikus!”

“Aku terima uangnya, Sir Manca. Terima


kasih sudah menggunakan jasaku!” Manca
meninggalkan Trogi bersama istri dan
putrinya. Tanpa ucapan terima kasih atau
11
hal lain. Namun begitu, Trogi tetap
tersenyum dan berperilaku ramah melayani
pelanggannya.

Ketika sampai di rumah, Daenrys


menggebrak meja ruang tamu. Trogi tetap
tersenyum, sedang Elsa—sang ibu—
mendesah lelah.

“Aku benci para pelanggan Ayah!”

“Tapi kalau kita membenci mereka, tidak


ada yang bisa kita hasilkan, Rys.”

Daenrys berdecih. “Ayah selalu begitu.


Lemah di hadapan para pelangganmu.
Sampai kapan, Ayah? Sampai aku jadi
ksatria, huh?”

“Daenrys!” Trogi memasang wajah garang.

“Kenapa? Apa salahnya warga desa Slav,


keluarga Rick, Si Penangkap Tikus Tanah
menjadi ksatria? Aku sudah menguasai
sihir yang sangat bagus untuk pertarungan,
Ayah! Aku ingin sang Raja tahu kalau orang
Slav itu punya sihir yang kuat!”

“Tidak,” balas Trogi, “orang Slav tidak ikut


bertarung. Mereka hanya cocok untuk

12
bekerja dan berkebun di desa ini. Kau tidak
akan Ayah izinkan untuk menjadi ksatria.”

“Tapi--”

“Masuk ke kamar sekarang juga, Daenrys!”

Daenrys menunduk, berlari ke kamarnya


sambil menangis. Sudah sangat sering dia
dan ayahnya bertolak belakang. Namun
kali ini, hati Daenrys sudah tidak bisa
ditambal lagi. Gadis itu tidak percaya sang
ayah mengubur impian terbesarnya.
Padahal sedari kecil, pria itu selalu
mendukung dan mewujudkan apa pun
keinginan Daenrys.

“Kuku~ Rys! Kenapa kau menangis? Ada


apa?” Fura bertengger di jendela yang
tertutup rapat. Mengetuk-ketuk kaca dengan
paruh.

Daenrys membuka jendela, menangkap


Fura ke dalam pelukan erat. “Fura ... ayah
melarangku untuk yang keseribu kali ...
dia ... dia tidak ingin aku menjadi ksatria
…………….”

13
“Pyurrr~ ayahmu jahat sekali. Sekarang
bagaimana? Apa Rys tetap ingin menyelinap
pergi ke desa Avar?”

Daenrys merenung sejenak, dia


mengangguk mantap. Sehabis makan
malam, Daenrys mengepak pakaian, roti
kering simpanan, sekantung air, dan 40
keping koin emas. Ketika semua orang
tertidur pulas, dia menyelinap keluar
menggandeng kuda cokelat
kesayangannya. Berkuda menjauh dari desa
Slav menuju desa Avar.

Malam suntuk berakhir sudah. Daenrys


telah sampai di bukit perbatasan antara
desa Slav dan desa Avar. Cuaca tidak
berkabut memudahkan Daenrys menjelajah
lebih cepat ke tempat tujuan. Peternakan
domba yang dua hari lalu dilenyapkan
badai Black Death.

Daenrys meneguk saliva susah. Dia turun


dari kuda dan melangkah menginjak
rumput hitam. Kengerian datang
menerobos jiwa. Dari warna hitam pada
puing rumah, sisa abu, dan bau gosong
yang masih tercium. Sungguh, Daenrys
merinding melihatnya. Gadis itu sempat
14
merasa takut dan ingin mundur
mencalonkan diri menjadi ksatria, tetapi
rasa benci terhadap sang Pengendali Black
Death lebih besar. Dia semakin ambisius
untuk mengalahkan sang Pengendali Black
Death.

Gadis Rick memasuki puing rumah yang


terbakar. Mengedarkan pandangan demi
mendapatkan petunjuk tentang si
Pengendali Black Death. Dia tersentak
mendengar suara rintihan seseorang. Suara
itu berasal dari belakang puing bangunan
yang terbakar. Daenrys sudah mencari dari
mana sumbernya, tetapi tidak ketemu.
Akhirnya, dia mencoba mencarinya lewat
bantuan sihir.

“Search Wind!”

Angin berbentuk tornado sebesar sulur


tanaman berpencar mencari lokasi suara.
Satu di antara lima angin berbisik mengode.
Ia menemukan sesuatu di balik pohon
berkambium besar. Daenrys melepas sihir,
melangkah menuju pohon. Dia terbelalak
melihat pemuda berpakaian hitam yang
tertelungkup di tanah.

15
“Tuan! Tuan! Anda tidak apa-apa?”
Daenrys mengguncang tubuh pemuda itu.

Lenguhan terdengar, pemuda itu bangkit dan


duduk perlahan di tanah. Sambil memegang
kepalanya yang berdenyut, dia menatap
lemah Daenrys. “Siapa kau? Ini ... di mana?”

“Aku Daenrys. Kau ada di peternakan


domba desa Avar. Namamu sendiri siapa?”

Pemuda itu memandang buram Daenrys


yang duduk di depannya. Jawaban itu
keluar nyaris tidak bisa didengar. Daenrys
harus lebih dekat demi mendengar jelas.
Sayang, pemuda itu langsung jatuh pingsan
ke arah Daenrys. Tidak ada kesiapan
menangkap, gadis itu dipaksa jatuh
berbaring di tanah dengan pemuda asing di
atasnya.

•TBC•

16
17
Chapter II

“Jadi ... kau tidak ingat asalmu dari mana,


Tobias?”

“Aku hanya ingat ada dua orang berjubah


hitam yang mengejarku.” “Lalu, di mana
mereka sekarang?”

“Aku tidak tahu. Mereka tiba-tiba


menghilang.”

Daenrys merasa kasihan melihat pemuda


asing yang ditolongnya. Dia pun
mengajaknya ikut bergabung mendaftar
menjadi ksatria di ibukota. Ini adalah
pengalaman pertamanya mendapat teman
pria. Rasa canggung tidak pernah bisa
hilang dari Daenrys.

Menjelang malam, mereka memutuskan


bermalam di hutan perbatasan desa Avar
dan ibukota Honourius. Mereka sepakat
ingin mendaftarkan diri sebagai ksatria
yang akan membunuh Black Death.

Tidur Daenrys terganggu oleh sesuatu.


Hawa panas itu membuatnya bermandikan

18
keringat. Gadis itu sudah membuka mata,
tetapi tidak ada yang bisa dia lihat. Di
depannya hanya ada warna hitam pekat.
Ingin beranjak dari posisinya pun Daenrys
tidak mampu. Seperti ada yang menyihir
tubuhnya untuk tetap terbaring di tanah.
Alunan melodi misterius datang menerpa
pendengaran Daenrys. Lagu itu bak mantra
hingga membuatnya kembali tertidur.

Keesokan pagi, Daenrys bangun menjerit,


menyentakkan Tobias yang menahan
kantuk bersandar di pohon seberangnya.
Pemuda itu berlari menghampiri Daenrys.

“Kau tidak apa-apa?” Daenrys menoleh ke


samping kiri tempat Tobias berjongkok.

“Ya ... kurasa aku bermimpi buruk. Mimpi


yang sangat menyeramkan,” ucapnya.

“Sejujurnya, aku juga bermimpi buruk


semalam. Pas subuh, aku jadi terjaga dan
tidak bisa tidur lagi,” aku Tobias lesu.

“Oh ... sepertinya kita harus menjauh dari


desa ini secepatnya. Bisa saja sisa-sisa sihir
si Pengendali Black Death masih ada di
desa ini dan menyebabkan kita bermimpi
buruk.”
19
“Mari kita lanjutkan perjalanan!”

Tidak butuh waktu lama, mereka akhirnya


sampai di ibukota negara Matilda,
Hounorius. Kota besar memang selalu
sibuk apalagi di siang hari seperti ini.
Puluhan dokar mondar-mandir membawa
barang-barang untuk dijual ataupun
diberikan ke pihak istana.

Daenrys takjub melihat gaya berbusana


orang kota yang modis. Jika dibanding
dengannya, tentu saja pakaian Daenrys
sangat kumuh. Bahkan pakaian teman
asingnya terlihat lebih modis dari
Daenrys. Apakah Tobias ini orang kaya?
Daenrys belum bisa menebak kasta
pemuda ini. Tobias tipe pria yang dingin,
cuek, dan super tidak peka.

“Ayo kita mendaftar, Daenrys!”

“Anu ... tapi………”

“Tapi apa?”

“Kita belum sarapan, Tobias! Apa


telingamu tidak bisa mendengar cacing-
cacing di perutku sedang berdemo?!”

20
Tobias mengernyit, tiba-tiba beringsut
mendekap pinggang ramping Daenrys.
Pemuda itu berlutut, menaruh daun telinga
sebelah kiri untuk mendengarkan. Tatapan
disertai bisik-bisik orang-orang di sekitar
mereka terdengar, membuat wajah Daenrys
bersemu malu. “Tobias! Hentikan! Menjauh
dariku!”

“Diam dulu! Aku sedang berusaha


mendengar cacing-cacing itu! Tapi ...
sepertinya tidak ada apa-apa di dalam
perutmu.”

Daenrys kesal, terpaksa mengucapkan


mantra sihir untuk menjauhkan Tobias
darinya.

“Wind Kick!”

Tobias terpental cukup jauh ke aspal.


Semua orang menatap takjub, tetapi bukan
pujian yang datang untuk Daenrys. Semua
orang mulai mencibir, tahu kalau Daenrys
berasal dari desa Slav yang sangat dikenal
dengan kekuatan anginnya. Kumpulan
orang lainnya terus berdatangan menonton.
Daenrys terpaksa menahan emosi dan

21
malu, lalu menarik paksa Tobias untuk
mengikutinya masuk ke kedai makanan.

“Pelan-pelan, Daenrys! Seorang gadis itu


harusnya lemah lembut!” “Kalau padamu
akan percuma! Duduk! Kita akan memesan!”

Pelayan datang mencatat pesanan


keduanya. Sekitar sepuluh menit, pelayan
itu datang membawa bubur pakchoy dan
sup asparagus.Daenrys makan dengan
lahap, beda halnya dengan Tobias. Pemuda
itu meringis jijik saat memandangi bubur
pakchoy yang berwarna hijau pekat, mirip
ingus oger.

“Makan!”

“Ini sangat menjijikan, Daenrys! Pokoknya


aku mau pesan yang lain!”

“Benarkah? Apa kau punya uang, Tobias?


Kau harusnya bersyukur karena kubelikan
sarapan pagi. Oh, ya, nanti kalau kau diberi
uang perjalanan oleh Raja, jangan lupa
bayar hutangmu padaku!”

“Kupikir kau ikhlas membelikanku ini,


ternyata ... huft! Ya sudah, aku akan
memakannya.”
22
Daenrys terus-terusan mendesah melihat
temannya melangkah gemetaran di
belakang. Wajah Tobias tampak sepucat
mayat karena sehabis sarapan, dia muntah-
muntah.

“Kau yakin sanggup mengantri untuk


mendaftar di istana? Aku ragu kau akan
diterima, Tobias.”

“Aku ... pasti diterima menjadi ksatria.”

Ketika mereka memasuki pintu gerbang


utama istana, mereka digiring memasuki aula
utama yang berisi sekitar ratusan orang.
Daenrys tidak percaya ternyata banyak orang
yang bersedia mempertaruhkan nyawa
mereka demi membunuh si Pengendali Black
Death.

“PERHATIAN SEMUANYA! UJI COBA


KELAYAKAN KSATRIA AKAN DIMULAI!
MOHON MEMPERSIAPKAN DIRI!”

Teriakan bergemuruh menggema di aula.


Semua orang berbaris membentuk persegi.
Enam terdepan maju menunjukan
kebolehan mereka. Di tahap ini, yang
dinilai hanya kelenturan tubuh dengan

23
mengangkat beban, push up mengangkat
kuda, dll.

Tobias melirik Daenrys khawatir. “Apa kau


bisa melakukannya?” “Jangan pernah
meremehkan seorang Daenrys, Tobias! Lihat
saja nanti!”

Semua terbukti, Daenrys itu gadis


perkasa. Dia mampu melewati uji coba
tahap pertama. Pun dengan Tobias yang
berhasil lolos ke tahap selanjutnya.
Sekarang, tinggal tiga tahap lagi yang
akan mereka jalani.

Pada tahap kedua mulai sedikit berat. Para


peserta dikurung di sel sihir. Hanya sekitar
10% sihir yang bisa mereka gunakan untuk
membebaskan diri. Setengah jam berjalan,
tatap kedua sudah menggugurkan sekitar
60 peserta. Beruntung, Daenrys mampu
mengatasi uji coba tahap ini walau dengan
susah payah. Akan tetapi, yang membuat
semua orang dan Daenrys terkejut adalah
Tobias. Pemuda itu bahkan bisa membuka
gembok sihir yang terpasang di jeruji sihir.
Padahal, gembok sel penjara sihir itu tidak
mempunyai kunci, seperti yang dikatakan

24
pihak penyelenggara. Daenrys semakin
ingin tahu siapa sebenarnya Tobias.

Tahap ketiga dimulai, lalu satu orang asing


muncul tiba-tiba menaiki arena uji coba.
Daenrys dan Tobias yakin mereka tidak
melihat sosok pemuda ini dari tahap awal.
Dibarengi kebingungan dan bisik-bisik
peserta lain, pihak penyelenggara berdiri
mengumumkan.

“Harap tenang semuanya! Sebelum tahap


ketiga dimulai, saya akan memperkenalkan
tambahan calon partisipan!” Dia beralih
membungkuk hormat di samping si
pemuda berambut pirang sepunggung,
“Silakan memperkenalkan diri Anda, Yang
Mulia!”

“Salam kenal semuanya! Perkenalkan,


nama saya Virgoun Vandal, Pangeran
Mahkota dari negera Vandal. Saya ingin
bergabung menjadi ksatria untuk
membasmi Black Death!” sapanya dengan
senyuman menawan.

“Pangeran Mahkota?! Apa yang dia cari


dari ikut kompetisi ini? Bukankah dia
punya negara sendiri? Kenapa tidak

25
mengajukan perang dan ikut langsung
berperang dengan Black Death!” seru
Tobias tidak habis pikir.

“Hoi, hoi, hoi, kau tidak tahu sejarahnya?


Astaga! Dengar, Bung! Black Death muncul
tidak menentu dan sering berpindah-
pindah lokasi. Seluruh kerajaan tidak ada
yang tahu kapan dan di mana Black Death
muncul. Dan
... Pangeran Sok Keren itu kemari ingin
menjelajah Matilda. Menemukan Black
Death, membunuh si Pengendali, kemudian
pulang membawa penghargaan. Intinya,
dia ingin dipuja sebagai pahlawan oleh
negara ini dan juga negaranya.”

Tobias memokuskan pandangan pada lelaki


tinggi berotot berambut hitam runcing.
“Begitu. Omong-omong, kau siapa?”

Lelaki itu balas menyeringai pada Tobias.


“Aku Granyof. Musuhmu selanjutnya.”

Lelaki itu pergi ke ujung arena


meninggalkan Tobias dalam tanda tanya.
Daenrys datang menghampiri sambil
menyodorkan segelas air mineral untuk
Tobias. Pemuda itu menceritakan apa yang
26
dia dengar dari Granyof. Daenrys hanya
memasang wajah datar. Gadis itu sudah
tahu cerita tersebut. Dia sering mengikuti
perkembangan Black Death.

Tobias mengerti apa maksud Granyof.


Tahap ketiga adalah tahap pertarungan
satu lawan satu. Empat puluh peserta
dibagi dua kelompok. Dua puluh melawan
dua puluh peserta. Arena dipindah ke
halaman istana. Aba-aba dimulai, pihak
penyelenggara membuat dua babak. Babak
dibagi menjadi sepuluh orang lawan
sepuluh orang. Daenrys ada di babak
pertama. Gadis itu mendapatkan lawan
yang sangat sombong. Dari awal, pria
berumur lebih tua tiga tahun darinya sudah
meremehkan Daenrys.

“Siap! Bersedia! Mulai!”

Pria itu masih pada posisi, sedang Daenrys


berlari ke arahnya untuk menyerang. Tanpa
diduga, pria itu mengeluarkan boomerang
dan melemparkannya ke arah Daenrys.
Gadis itu merunduk, boomerang
melewatinya.

“Aku akan mengalahkanmu sekarang!”

27
“Oh, ya? Coba lihat di belakangmu, Slave
Bitch!”

Dari belakang, boomerang datang dengan


cepat ke wajah Daenrys yang menoleh.
Tidak sempat menghindar, Daenrys pun
tersungkur jatuh.

Boomerang berhasil menggores pipi kanan


gadis itu. Lawannya tertawa riang sambil
menangkap kembali boomerangnya.

“Bagaimana? Apa kau bisa melawan


boomerang sihirku? Slave Bitch
sepertimu tidak pantas menjadi seorang
ksatria!”

“Tidak! Aku tidak akan menyerah sampai


kapan pun!”

Pria berkumis memincing tajam.


Boomerang dilempar kembali ke arah
Daenrys. Gadis itu menghindar lagi, lalu
berbalik menghadap ke boomerang.

Pria itu merapal sihir untuk menggandakan


boomerang-nya. Seribu boomerang
mendekat ke arah Daenrys. Semakin dekat
sampai boomerang tersebut menyebar,
melewati tempat Daenrys berdiri.

28
“Jelas, akulah yang akan menang, bukan?—
Wind Turnout!”

Angin yang menyebarkan boomerang


tergabung lagi, kemudian meluncur cepat
ke arah si pemilik boomerang. Pria itu
buru-buru membatalkan sihirnya.
Boomerang berakhir tertancang di ujung
sepatu pria itu. Jeritan dan tangisan
terdengar menerbitkan senyum
kemenangan untuk Daenrys. Di seberang
kiri, Tobias memberikan tepuk tangan
paling keras, mencoba menghalau suara
tepuk tangan semua orang untuk semua
peserta yang berhasil memenangkan
pertandingan.

Lima dari sepuluh orang berhasil masuk ke


tahap akhir uji coba. Kali ini, giliran dua
puluh peserta lain yang akan bertarung.
Posisi Tobias ada di deret kelima dari kanan
ke kiri. Di hadapannya ada Granyof.
Keinginan pria berotot sepertinya menjadi
kenyataan. Tobias harus bertarung dengan
Granyof. Semua peserta mulai beraksi.
Tobias masih berdiri di tempatnya, terus
melirik ke kanan dan kiri. Dia meringis
menyaksikan peserta lain yang jatuh

29
berdarah, memiliki luka lebam di bagian
wajah, dan jari tangan mereka putus. Tobias
ingin pertarungan yang tidak kejam tanpa
kerusakan di tubuhnya.

“Hoi! Ayo maju, Kucing Hitam!” tantang


Granyof.

“Kucing Hitam? Siapa?” Tobias meneleng


bingung.

“Itu kau! Gasper hitammu mirip buntut


kucing, kau tahu!”

“Hah?! Sembarangan! Gasper ini lebih


berharga daripada pedang arangmu!”
“Sialan!”

Granyof yang tersinggung sekarang


menyerang Tobias. Dia melesat sambil
mengayunkan pedang hitam itu ke arah
Tobias. Pemuda yang tidak mengeluarkan
senjata atau sihir apa pun berhasil
menghindar. Tobias

30
nyatanya sangat ahli menghindari tebasan
Granyof. “LAWAN AKU KEPARAT!”

“Aku sudah melawanmu. Apalagi yang kau


harapkan?”

“Tebas aku! Pukul aku! Serang aku dengan


sihir atau apa pun yang kau miliki!”

“Kamu masokis. Dengar, aku tidak punya


senjata dan sihir. Aku tidak bisa
menyerangmu balik. Aku tidak ingin
disakiti dan menyakiti.”

Granyof berlutut menancapkan ujung


pedang ke tanah. Dia bernapas terengah.
“Jika itu maumu ... kau ... tidak akan bisa
lulus menjadi ksatria!”

Tobias menopang dagu. “Benarkah? Ah!


Apa perlu kutanyakan lagi syarat- syarat
seseorang bisa menjadi ksatria?”

“Silakan tanya sendiri sana, Pussy!” umpat


Granyof.

Pria yang bertumpu pada pedang di tanah


menatal ke depan. Tobias menghilang. Dia
panik, mengedarkan mata ke seluruh
penjuru dan menemukan pemuda itu

31
sedang berbicara dengan pihak
penyelenggara, bahkan tiga juri yang ada di
pinggir halaman.

“Hoi! Hoi, Pussy! Kemari dan selesaikan


pertarungan kita!”

“Ah! Granyof!” Tobias tersenyum cerah.


Dia kembali ke arena sambil membawa
selembar kertas. “Lihat! Ini syarat-syarat
menjadi ksatria! Di sini, tidak ada syarat
yang mewajibkan kita untuk menyakiti
seseorang dan orang lain diharuskan
menyakiti kita. Poin utamanya adalah kita
bisa melenyapkan Black Death dengan cara
apa pun itu!”

“A-p--APA?!”

“Pendengaran mu terganggu, huh? Aku


juga lumayan terganggu. Suara
pertarungan mereka semua terlalu keras.”

“Bukan, Idiot! Tapi--”

“TIME OUT!”

Pertandingan sudah berakhir, tetapi


Granyof menolak untuk mengakhiri
pertandingan. Pemuda berotot

32
memberontak ketika dipaksa keluar arena.
Tobias mendesah, tersenyum sambil
membungkuk di depan Granyof dan para
penonton.

Daenrys tidak percaya akan semalu ini.


Mempunyai teman yang hanya pandai
membuat lelucon. Anehnya, Tobias tetap
maju ke tahap berikutnya tanpa
menggunakan senjata dan sihir. Daenrys
mulai curiga kalau pemuda itu punya suatu
keahlian yang masih dalam kategori sihir.
Hipnotis.

Setelah istirahat selama tiga puluh menit,


para peserta tiba di puncak acara. Ada tamu
yang datang lagi untuk melihat jalannya
kompetisi. Tamu yang sangat agung,
pemilik negara Matilda. Raja Honourius
XV, Raja Oscar.

“Karena ini adalah kompetisi tahap akhir,


maka yang mendapat nilai khusus dari
Yang Mulia Raja Oscar akan mendapatkan
uang tambahan sebesar 200 keping emas!
Ayo semangat dan menangkan hati sang
Raja!”

33
Sorakan antusias terdengar, tetapi Daenrys
dan Tobias tidak. Mereka terlambat
mendengar pengumuman itu karena gadis
Slav harus menceramahi tingkah tidak
berguna Tobias di tahap tadi. Tidak ada
satu pun yang mau memberitahu mereka
apa isi pengumuman. Tentunya karena
dengan demikian, pesaing mereka akan
berkurang.

“Oke! Di bakak terakhir, kita memiliki


sembilan peserta yang lolos ke final. Babak
battle akan dibagi menjadi dua. Battle satu
diisi tiga lawan tiga dan battle dua ... maaf
karena merepotkan Anda semua ... battle
tersisa diisi tiga orang. Dua lawan satu.”

“Apa?! Itu tidak adil!” “Iya, benar!”

Pihak penyelenggara dan tiga juri saling


pandang dan mengangguk. “Oke, tahan
semuanya! Untuk battle yang ini, kalian
bebas menjadi pihak

mana pun. Mau itu pihak lawan atau


kawan, yang terpenting harus bekerjasama.
Dengar ... kusarankan secara pribadi, Anda
lebih baik menjadi pihak lawan. Anda tahu
pasti maksudku, bukan?”

34
Granyof, Virgoun, dan lainnya
menyeringai. Daenrys menunduk sambil
terus berdo‘a. Dia berharap masuk ke battle
satu. Sementara itu, Tobias tidak lagi
memasang wajah linglung atau bodoh. Kali
ini, dia akan serius untuk bertarung demi
gelar ksatria. Seperti yang diumumkan
penyelenggara, hanya ada empat orang
ksatria yang mendapatkan dukungan dari
sang Raja.

•TBC•

35
Chapter III

Raja Oscar mengamati seksama para calon


ksatria yang sedang bertarung. Sedari acara
battle pertama berlangsung, hanya satu
orang yang membuatnya kagum. Seorang
gadis berambut biru pucat yang bertarung
dengan lincah tanpa dapat disentuh sang
lawan. Dia malah membantu timnya—dua
orang yang lain—mengalahkan musuh
mereka.

Sihir gadis itu luar biasa. Sang Raja belum


pernah menemukan ahli sihir seperti
gadis itu. Pangeran Vandal saja tidak bisa
menguasai berbagai sihir. Sang Pangeran
cuma punya senjata sihir tombak lava.

“Move!”

“Attack!”

“Iron Jail!”

Para penonton dibuat melongo melihat


banyaknya sihir yang dipakai gadis
tersebut. Dua kawan setim jatuh terduduk
dan melotot hampa melihat tiga musuhnya

36
terkurung dalam penjara besi berbentuk
bola. Satu di antara dua orang itu adalah
Daenrys. Bukannya senang karena lolos
tanpa banyak bekerja, gadis itu malah
murka. Dia bangkit, melangkah maju ke
hadapan gadis berambut biru pucat.

“Ini tidak seperti rencana kita, Fixtra! Kita


seharusnya bekerjasama untuk
mengalahkan mereka! Jangan maju
duluan!” omel Daenrys.

Fixtra bertelak pinggang menatap dingin


Daenrys. “Rencana itu hanya formalitas,
Nona Slav. Kau bilang aku tidak
bekerjasama dengan kalian? Apa kau buta?
Tadi aku membantu kalian mengalahkan
lawan yang tersisa. Kalian saja yang lamban
dalam menjatuhkan lawan.”

“Ap--”

“Ya ... itu benar. Aku sedari awal memang


tidak punya kepercayaan diri untuk bisa
menang melawan mereka. Aku merasa ...
belum pantas menjadi seorang ksatria.
Untuk itu, aku ... aku memutuskan untuk
mengundurkan diri dari kompetisi ini.
Terima kasih bantuannya, Fixtra.”

37
Pemuda yang satu tim dengan Daenrys dan
Fixtra pergi dari arena. Wajahnya murung,
seperti tidak punya lagi harapan hidup.
Daenrys benci mengatakan ini, tetapi
pemuda itu lebih baik daripada Fixtra.
Setidaknya di pertengahan battle dia
membantu Daenrys mengecoh musuh.
Tidak seperti Fixtra yang egois.
Mementingkan kemenangan sendiri dan
mencari muka di depan sang Raja. Rasanya
percuma gadis itu mempunyai banyak sihir
kalau tidak mau bekerjasama dengan teman
setim.

“Bravo! Beri tepuk tangan yang meriah


untuk dua pemenang battle pertama kita!
Daenrys dari desa Slav dan ... Fixtra dari
Bizantin!”

Raja Oscar melakukan standing applause


untuk mereka, khususnya Fixtra. Gadis itu
melontarkan senyum persis ke arah sang
Raja, lalu membungkuk cukup lama. Dia
kembali berdiri tegak dan melambai pada
semua orang yang menonton pertandingan.
Daenrys merasa jijik. Ingin cepat-cepat
pergi dari tempatnya berdiri.

38
“Babak battle final selanjutnya! Yang Mulia
Pangeran Virgoun Vandal dan Granyof,
melawan Tobias!”

Daenrys sudah menyiapkan kertas dan


pena kalau-kalau Tobias ingin menulis
surat wasiat terakhir nanti. Dia tidak yakin
temannya bisa menang mengalahkan dua
petarung tangguh itu. Dalam hati, Daenrys
hanya bisa berdo‘a agar jasad Tobias
nantinya tetap utuh agar bisa dikebumikan.

Tobias bete. Sebelum pertandingan, dia


telah ditolak mentah-mentah oleh sang
Pangeran Vandal. Alasannya sangat sepele.
Si Pangeran tidak membutuhkan seorang
badut. Tentu saja Tobias merasa
tersinggung. Dia itu calon ksatria, bukan
badut. Lalu, Tobias mendekati Granyof
untuk membuat tim. Akan tetapi, pemuda
berotot itu malah menertawakannya. Dia
juga mengancam akan membunuh Tobias
di arena nanti. Terpaksa, pemuda
berpakaian serba hitam harus bersolo tim.

“Lihat saja, Pussy! Aku akan


membunuhmu! Memajang kepalamu di
dinding kamarku ... hahaha!” seru Granyof
sambil tertawa.
39
“Tobias, sebaiknya kau menyerah saja
sebelum menyesal. Kami tidak akan segan
untuk melukaimu. Anggap saja aku sedang
bermurah hati padamu! Sekarang,
sekarang, buatlah keputusan!” Virgoun
tersenyum lembut.

Mengikat untaian rambut panjangnya ke


belakang. Gerakan itu menggoda, mampu
membuat para penonton wanita terpesona.

“Aku paling benci bila menyakiti dan


disakiti ... huft!” gerutu Tobias.

Battle dimulai, Tobias mengambil ancang-


ancang. Virgoun melesat maju sambil
melemparkan tombak berwarna merah
yang mengeluarkan asap. Tobias entah
bagaimana bisa bergeser cepat menghindari
tombak.

Mengambil kelengahan Tobias, Granyof


muncul dari belakang menusuk
punggungnya. Yang membingungkan ialah
hanya bagian mantel hitam kulit Tobias lah
yang bolong terkena tusukan. Punggung
pemuda itu bersih dari goresan.

“Kau!”

40
“Ah, sial! Ini mantelku satu-satunya, tahu!
Aku tidak punya uang untuk

41
membeli yang lain!”

“Peduli setan!” Usai berteriak, Virgoun


maju lagi. Dia mengincar kaki Tobias, tetapi
yang terkena malah tanah. Tanah yang
terkena tusukan tombak meleleh, berubah
jadi cairan merah pekat bergelembung.

“Iih! Senjata sihirmu menjijikan, Pangeran.


Kau lebih cocok dengan panah kristal atau
es seperti di dongeng kuno. Percayalah.”
Tobias menyarankan.

“Lihat sekitarmu, Pussy!” Pedang hitam


Granyof hampir menebas leher Tobias,
tetapi lagi-lagi bisa ditahan. Pemuda itu
menggunakan lengan kanan untuk
menghalau pedang. Granyof menyeringai
lebar, puas karena bisa melihat ekspresi lain
dari Tobias. Pemuda serba hitam menyipit
dan menggeram ke arah Granyof.

Tobias punya batas kesabaran. Kali ini,


Granyof yang sudah menghilangkan batas
tersebut. Seringai Granyof menghilang kala
dia mendongak ke langit. Biru berubah
menjadi hitam pekat. Fokus semua orang
terbagi antara pertarungan dan cuaca yang
tiba-tiba berganti. Sang Raja sudah bangkit

42
dari singgasana, berniat menyelamatkan
diri dikawal oleh kedua pengawalnya.

Iris Tobias yang hitam berubah menjadi


merah darah. Dia mendorong Granyof
terjatuh ke tanah, tidak jauh dari tempat
Virgoun berdiri menopang tubuh dengan
tombaknya. Angin Tornado muncul dari
dalam tanah membuat dua pemuda
berteriak ketakutan. Tanah yang mereka
pijak amblas seiring terlihatnya sebuah
black hole. Bertahan hanya dengan
menancapkan pedang dan tombak pun
percuma. Perlahan, tanah mulai terkikis.
Masuk dan terhisap ke dalam black hole.

“Hoi, hoi! Kau mau membunuh kami,


Pussy!” teriak Granyof. “Hentikan, Tobias!
Kami ... kami mengaku kalah!” jerit
Virgoun. Granyof memprotes, “Apa
katamu?! Tidak! Aku masih bisa--”

“Akui saja, Landak! Kau ingin terhisap dan


hilang selama-lamanya di black

43
hole itu, hah!”

“Cih! Oke! Kami mengaku kalah,


Shitpussy! Tutup lubangnya sekarang!”

Tobias masih diam, berdiri melayang di


atas mereka. Dia berteriak keras, semakin
menambah daya sedot black hole.
Sebelum Virgoun dan Granyof terbunuh,
teriakan seorang gadis membatalkan
kekuatan Tobias.

“Tobias! Tolong hentikan! Kau sudah


menang! Kau adalah ksatria!”

Tobias melihatnya. Sadar atau tidak,


pemuda itu melihat dengan jelas wajah
Daenrys yang tersenyum sambil
menangis. Teriakan itu mampu
melenyapkan black hole. Tobias jatuh ke
tanah yang kembali seperti semula. Tidak
ada kerusakan di sana.

Pemuda itu tersenyum lemah sambil


berlutut. Tangan direntangkan
menyambut sosok gadis yang berlari ke
pelukannya. Daenrys menangis terisak,
berulang kali memukul kepala Tobias
tanpa bersalah. Masih menatap sekeliling

44
dengan buram, Tobias tidak tahu apa
yang akan terjadi. Semua orang kini terus
berteriak keras, menudingnya sebagai si
Pengendali Black Death. Dia tidak
mengerti akan hal ini.

“Bunuh dia! Dia pasti si Pengendali Black


Death!”

“Tuhan! Selamatkan kami dari


kematian!”

Pihak penyelenggara dan tiga juri


berbisik berdiskusi. Penasihat Raja
datang pada mereka untuk
memberitahukan sesuatu. Keputusan
yang diambil oleh Raja Oscar untuk
ketiga pemuda.

“Sial. Kakiku mati rasa,” umpat Granyof


pelan sambil mencoba untuk berdiri.

“Tidak ... ketampananku sudah ... rusak.


Aku ... tidak suci lagi, Ayahanda!
Ibunda!” jerit Virgoun menangis.

“Bacot! Berhenti menangis! Suaramu


mirip dugong!” umpat Granyof. “Ehem!
Ehem! Perhatian semuanya! Dari battle

45
terakhir, kami dan Yang Mulia Raja
memutuskan bahwa ... peserta dari desa
Avor, Tobias! Kami diskualifikasi!”

Virgoun terdiam dan Granyof ternganga.


Semua orang bersorak seolah gembira
dengan keputusan sang Raja. Ada
beberapa di antara mereka yang masih
bersikukuh agar Tobias dieksekusi. Saat
itu, Daenrys satu- satunya orang yang
berdiri menolak keputusan sang Raja.

“Tidak bisa, Yang Mulia! Tobias menang


melawan mereka berdua! Dia berhak
menjadi ksatria! Semua jelas ada di
peraturan--”

“Lancang sekali Anda menolak


keputusan Yang Mulia Raja Oscar!”
potong sang Penasihat kerajaan.

“Tenang, Penasihat!” Raja mengangkat


sebelah tangan, lalu menatap Daenrys
lekat. “Nona Daenrys Rick dari desa Slav,
keputusanku tidak bisa diganggu gugat.
Anda lihat apa yang pemuda itu perbuat?
Dia melepas sihir yang mungkin bukan
sihir. Itu seperti si Pengendali Black

46
Death. Aku hanya ingin kerajaan dan
rakyatku aman dari si Pengendali.
Tadinya, aku berniat untuk
mengeksekusi dia di tempat.”

“Tapi dia bukan si Pengendali Black


Death! Aku mengenalnya dengan baik!
Mungkin ... sihirnya hanya mirip dengan
si Pengendali saja. Aku bisa
membuktikan--”

“Membuktikan apalagi, Nona Slav? Oh,


ya. Orang dari desa pekerja sepertimu
tidak pantas menjadi seorang ksatria. Kau
pasti akan merepotkan ksatria lain
nantinya. Mengapa tidak sekalian saja
kau mengundurkan dari dari kompetisi
ini?” Fixtra maju masuk ke arena.
Menatap remeh Daenrys.

Sebagian penonton terpancing provokasi


Fixtra. Mereka ikut membuli Daenrys dan
menyuruhnya untuk mengundurkan diri.
Keadaan yang semakin sulit, memaksa
tubuh lemah Tobias untuk bangkit.

“Yang Mulia ..., tolong ... biarkan


Daenrys menjadi ksatria. Aku ... tidak

47
bisa mengingat apa yang baru saja
terjadi. Tapi ... aku bukanlah si
Pengendali Black Death! Aku bersumpah,
Yang Mulia! Beri aku kesempatan untuk
membuktikannya!” teriak Tobias.

Granyof ikut menimpali. “Beri dia


kesempatan, Yang Mulia. Jika dia terbukti
adalah si Pengendali Black Death, maka
aku akan membunuhnya.” Pemuda
berotot melirik tajam Tobias.

“Haah~ untuk apa membela dia,


Granyof? Tidak berguna!” ujar Fixtra.
Gadis itu dibalas dengan geraman
rendah.

Raja Oscar menimang kembali


keputusannya. Bisikan dari penasihat
tidak dia dengarkan. Sang Raja berdiri,
mantap mengumumkan.

“Dengar semuanya! Sedari awal, yang


kubutuhkan adalah lima orang ksatria!
Jadi, dengan berat hati kuputuskan bahwa
Tobias tidak didiskualifikasi. Dia lolos
menjadi seorang ksatria!”

48
Semua orang berseru melayangkan
protes sampai suasana kembali tenang
karena teriakan sang Raja.

“Aku sangat tahu perasaan kalian. Tapi


sebagai seorang Raja yang berbelas kasih,
tidak ada salahnya Tobias diberikan
kesempatan kedua. Kalian tidak perlu
khawatir! Jika Tobias berulah lagi,” Raja
Oscar menoleh ke arah Fixtra, “Nona
Fixtra yang akan menghentikan dan
membunuhnya! Bisa kupercayakan
tanggung jawab yang besar ini padamu,
Nona Fixtra?”

“Suatu kehormatan untuk Hamba,


Yang Mulia! Dengan senang hati,
Hamba akan mengambil tanggung
jawab tersebut.” Fixtra membungkuk
hormat.
Jelas sudah, Daenrys sangat tahu siapa
yang akan mendapatkan tambahan 200
keping emas perbekalan.

“Sekarang, apa kau masih merasa


keberatan dengan keputusanku, Nona
Daenrys?” tanya Raja Oscar.

49
Daenrys baru ingin mendebat, tetapi
sudah dihalangi Tobias. “Ya. Daenrys
dan aku menerima keputusanmu, Yang
Mulia Raja Oscar.”

***

Perjalanan di hari pertama dimulai.


Kelima ksatria akan mengunjungi desa
paling utara, yang berbatasan langsung
dengan negara Vandal. Desa Visigoth.

Dari sini, Daenrys mulai tahu sifat


sebenarnya rekan satu timnya. Tetap saja,
gadis itu tahu kalau Fixtra adalah jalang
penggoda tukang cari muka. Fixtra terus
menempel pada Pangeran Vandal.
Mereka persis seperti sepasang entok
yang kasmaran. Granyof sendiri lebih
diam dari sebelumnya. Daenrys tidak
tahu sebenarnya pemuda itu tipe
pemarah atau pendiam. Sejak final battle,
pemuda itu selalu memperhatikan gerak-
gerik Tobias. Namun, sungguh kasihan
bagi Granyof. Tobias itu tidak peka. Dia
beraktivitas normal seperti biasa. Seolah
tidak ada yang memperhatikannya.

50
“Menurutmu, di mana kita akan
bermalam? Hutan atau penginapan?”
tanya Tobias yang sayangnya tidak
dibalas.

Daenrys merangkul pundak Tobias untuk


menghibur. “Tobias, kita kan mendapat
uang perbekalan. Tentu saja kita akan
bermalam di penginapan! Walaupun
uang kita sedikit, kita nanti bisa pinjam
ke rekan lain di perjalanan berikutnya!”

“Tidak sudi aku mengutangi Slav Bitch!”


celetuk Fixtra.

“Siapa juga yang mau menerima uang


hasil cari muka! Cih!” balas Daenrys.

“Kau!” Virgoun mengusap pundak Fixtra.


“Sudahlah, Fixtra Bee~ ayo kita memesan
kamar!” lerainya.

“Keh! Bee? Persis! Menghisap


keuntungan dari si Pangeran!” seru
Daenrys.

“Menghisap keuntungan? Memangnya


Virgoun itu sejenis sapi perah?”
Pertanyaan konyol Tobias ditanggapi

51
tawa oleh Granyof. Pangeran Virgoun
balas mengumpati Tobias bahkan
mengeluarkan tombak lava, hendak
melelehkan mulutnya. Daenrys tertawa
terbahak-bahak setelah menerima kunci
kamar. Menarik lengan Tobias untuk
mengikutinya.

Ada tiga kamar yang mereka sewa.


Kamar 1 berisi Pangeran Virgoun dan
Granyof, kamar 2 —yang paling mewah
— diisi Fixtra, dan kamar 3 terakhir
sekaligus sederhana dan hanya ada dua
tempat tidur kapas ditempati Tobias dan
Daenrys.

Malam itu, Daenrys merasakan kembali


hawa kelam dalam kamar yang gelap.
Dia mendengar ada sesuatu yang
merayap dari tempat tidur Tobias.
Prasangka buruk datang di hati Daenrys.
Mengira itu adalah kekuatan sihir Tobias
yang jebol lagi. Akan tetapi, dia sadar
kalau itu bukan dari Tobias.

Desisan mirip ular menerpa


pendengaran, lalu sekujur tubuh Daenrys
dibelit makhluk tersebut.

52
“Makan malam yang lezat……..”

“Tobi-as ... to ... long…..”

Suara Daenrys terbatas karena pasokan


udara yang menipis. Gadis itu sudah
mencoba merapal mantra angin, tetapi
tidak berguna. Makhluk yang melilitnya
malah semakin ketat meremukan seluruh
tubuh Daenrys.

Berdo‘a sambil memejamkan mata,


Daenrys sudah tidak merasakan lagi
lilitan. Ketika mata terbuka lebar, kamar
menjadi terang benderang. Wajah Tobias
yang panik memenuhi pandangan.

“Tobias! Tadi ada makhluk yang


melilitku! Ke mana perginya itu!”

“Tenang, Daenrys. Aku sudah


membunuhnya. Anehnya, tidak ada
bangkai dari makhluk itu. Mereka lenyap
seketika setelah dibunuh. Apa kau tahu
sesuatu dari mereka?”

Daenrys bercetus, “Ah! Aku sempat


mendengar makhluk itu berbisik kalau
aku ini makanan lezat.”

53
“Sepertinya aku tahu makhluk apa itu.
Sekarang, kita pergi ke kamar ksatria lain!”

•TBC•

Chapter IV

“BERSAMA!— FIGHTTT!”

54
Granyof dan Virgoun segera bertarung
melawan makhluk aneh bertubuh ular
berkepala banteng. Mereka sangat
kuwalahan membalas serangan belitan
dan tanduk petir hitam itu.

“Granyof! Virgoun!” panggil Tobias.

“Hei! Panggil aku Pangeran!” protes


Virgoun di sela pertarungan.

“Berisik, Pangeran Manja!” Granyof


melirik Tobias, “Kau! Jangan ikut
membantuku! Aku tidak sudi dibantu
olehmu!”

“Jadi kau memilih mati konyol di sini,


hah?! Ayo, Tobias! Kita bantu si Sapi
Perah saja!” Daenrys menarik Tobias ke
sudut kamar tempat Virgoun.

“Wind Scar!”

Daenrys mencoba mencakar tubuh si


monster. Sempat terpotong beberapa
bagian, tetapi bagian-bagian itu melayang
di udara dan tersambung kembali.

“Sial! Dia sangat kuat!”

55
Tobias masih bergeming menatap si
monster. Entah kenapa, dia merasa
familiar dengan sosok tersebut.
Kepalanya berdenyut, sepotong memori
yang hilang muncul. Tobias mengingat
monster itu ada di suatu istana berbatu
hitam. Monster itu mengendus seorang
anak kecil hingga membuatnya tertawa.

“Arrgghh!” Tobias menjerit memegangi


kepalanya yang tambah sakit.

Sang monster kini memokuskan


pandangan ke arah Tobias.
Pergerakannya terhenti, iris kuning
berkerudung, air mata tumpah dibarengi
suara yang bergetar.

“Prince Aku terpaksa melakukan ini


karena--”

Blash! Crash!

Ucapan sang monster terputus. Sekejap


mata, tubuh itu hancur berkeping-
keping, lalu menghilang dari kamar.
Pelaku berdecak, mata memelototi Tobias
dan Daenrys.

56
“Dasar tidak berguna! Jika aku tidak
datang tepat waktu, kalian pasti akan
terbunuh! Dan namaku akan jelek di
hadapan Yang Mulia Raja Oscar!”
umpat Fixtra.

“Apa kau bilang?! Kau tidak lihat kami


berusaha membunuh monster itu! Dan
tadi, kami melihat monster itu menangis
dan berhenti menyerang!

Pekerjaan Ksatria tidak melulu untuk


membunuh lawan! Aku yakin kita bisa
berdiskusi dengannya tadi tapi. .KAU
MALAH SEENAKNYA
MEMBANTAINYA!” tunjuk Daenrys
geram.

“Diam! Kau ke mana saja, Bitch! Kami


sedang dalam kesulitan, tapi kau baru
datang sekarang! Percuma saja kau
mendapat nilai tinggi dan sanjungan
Raja! Kau itu tidak berguna!” teriak
Granyof.

“Kau pikir aku santai-santai di kamar,


hah! Aku juga bertarung dengan musuh
yang sangat kuat bahkan melebihi

57
monster yang tadi kubunuh! Aku gagal
membunuhnya! Dia sudah kabur!” balas
Fixtra keras.

“Fixtra Bee~ kamu tidak terluka?”


Virgoun datang memeluk ksatria wanita
terhebat. Fixtra tersenyum lembut, balas
memeluk hangat si Pangeran Vandal.
“Aku baik-baik saja, Honey,” kata Fixtra.

“Cih! Sekarang, ke arah mana monster


yang satunya pergi?” tanya Granyof.

Fixtra melepas pelukan, memasang wajah


cemberut. “Aku tidak tahu. Yang pasti,
dia bukan monster mengerikan seperti
yang kubunuh tadi. Dia manusia, hanya
saja tubuhnya sepucat mayat dan pria itu
memakai jubah hitam bersisik putih.”

“Sisik ... putih?” Tobias mulai bersuara.


Mencoba mengingat tentang sosok yang
dikatakan Fixtra. Namun, tidak berhasil.
Kepala pemuda itu justru semakin sakit.

“Tobias, jangan memaksakan diri! Aku


tidak ingin kau terluka.”

“Slav Bitch, dia kenapa?”

58
“Tobias ... sepertinya tidak asing
dengan monster tadi. Lalu sebenarnya,
monster tadi berhenti menyerang dan
menangis saat melihat Tobias. Dia
juga ... memanggilnya Prince.”

Fixtra, Granyof, dan Virgoun terbelalak


mendengar penjelasan dari Daenrys.
Virgoun maju ke hadapan Daenrys dan
Tobias. Ujung runcing tombak terjulur ke
leher.

“Jadi ... tadi aku tidak salah dengar. Kau!


Kau punya hubungan dengan monster itu,
Tobias! Siapa kamu sebenarnya!” bentak
Virgoun. Ketakutan jelas terpampar di
wajahnya.

“Tobias tetaplah Tobias, Virgoun! Dia


adalah ksatria!” bela Daenrys.

Granyof melangkah kuat dengan wajah


tertunduk ke arah Tobias. Dia berhenti,
menarik kerah mantel sampai wajah
mereka cukup dekat. Iris hazel menyipit
menatap langsung mata Tobias.

“Katakan, kau itu kawan atau lawan.”

59
“Aku kawan! Bukankah aku berjanji akan
membuktikannya padamu? Pada kalian
semua? Percayalah padaku!”

Granyof berdecih, melepas cengkeraman.


Sepatah kata keluar dari mulutnya
dengan keras. “Aku percaya padamu,
Tobias! Jangan membuatku menyesali
keputusanku!”

Tobias tersenyum, begitu juga dengan


Daenrys. Virgoun hanya menatap tidak
percaya pada pernyataan Granyof,
sedang Fixtra diam tidak berkomentar.

***

Tengah hari di hari kedua, mereka


sampai di desa Visgoth. Desa yang bisa
dibilang lebih maju dibanding desa lain
di negara Matilda. Semua karena desa
ini penuh dengan para pandai besi dan
para pedagang jirah kualitas terbaik.
Baru selangkah masuk saja kelima
ksatria sudah disuguhi puluhan kios
pembuatan pedang dan pedagang jirah
serta aksesorisnya.

60
Virgoun bercerita sepanjang jalan kepada
teman-temannya tentang bantuan
finansial dari kerajaannya. Kalau para
prajurit dan orang istana sering
memborong jirah buatan desa Visgoth. Di
bulan ke-7, orang istana khususnya
pejabat tinggi akan datang ke pandai besi
untuk memperbarui pedang mereka.

“Ah! Kerajaan kamu memang dermawan,


Honey!” puji Fixtra, menggandeng terus
lengan kiri si Pangeran Vandal.

“Hahaha! Terima kasih, Bee. Sayangnya,


hanya aku dan ayahku yang tidak
membuat dan membeli barang dari desa
ini. Karena apa?”

“Kau tidak punya uang,” celetuk Tobias.

Virgoun berbalik mengomel, “Enak saja!


Uangku berlimpah, tidak sepertimu,
Ksatria Buangan!”

“Ha? Kau mengatai dirimu sendiri, huh?


Pangeran Buangan?” sahut Granyof.

“Aku tidak membutuhkan pendapat dari


seekor Landak!” balas Virgoun. “Asal

61
kalian tahu! Aku dan ayahku
mendapatkan jirah dan senjata sihir dari
surga. Senjata tersebut diberikan turun-
temurun dari buyut kami terdahulu,
pembentuk negara Vandal!”

“Ya, ya, aku paham. Bisakah kita


berpencar? Aku ingin ke pandai besi di
ujung sana untuk memperbarui
pedangku,” ujar Granyof malas.

“Terserah saja! Aku juga mau membeli


jirah baru!” Virgoun mematung, sadar
telah kelepasan bicara.

“He~ katanya kau tidak membeli barang


dari desa ini?” ledek Daenrys
menyeringai.

“Kau salah, Slav Bitch! Honey-ku ingin


membeli murah untukku. Ya, ‘kan,
Honey?” elak Fixtra bergelayut manja.

“I-ya! Itu benar! Ah, kau selalu bisa


membaca pikiranku, Bee~ aku bertambah
yakin kalau kau adalah calon ratu masa
depanku~” Virgoun memeluk erat gadis
pengguna sihir unlimited.

62
“Hueek! Memuakkan! Tobias, ayo kita—
Tobias! Tobi--”

Alis Daenrys berkedut melihat pemuda


serba hitam berhenti di depan sebuah
kios. Dia sedang menatap berbinar seekor
ikan arwana putih.

“Tobias! Sedang apa kau di situ!” panggil


Daenrys.

“Daenrys! Aku mau makan ini!” seru


Tobias sambil menunjuk akuarium.

Tawa pecah di mulut ksatria lain.


Granyof berteriak pada Tobias. “Hey,
idiot! Ikan itu untuk dipelihara, bukan
untuk dimakan. Kau hidup di zaman apa,
sih? Dah, lah! Bisa ikut korslet otakku
kalau terus sama kalian semua! Bye!”
Pemuda berotot melangkah melewati
kelompoknya menuju kios paling ujung.

“Bitch, sana urusi pacar idiotmu!


Kuharap, kau bisa membagi otakmu
sedikit untuknya. Ya ... jika kau juga
punya otak ... hahaha!” ledek Fixtra.

63
Daenrys menggeram, memelototi
sepasang kekasih alay yang tertawa
pergi. Dia mengembuskan napas
mencoba bersabar. Memilih mengurusi
Tobias yang adu mulut dengan si pemilik
kios White Animal.

Sekarang, hanya Daenrys dan Tobias


yang ada di kedai untuk makan malam.
Mereka masih menunggu Granyof,
Virgoun, dan Fixtra untuk berembug
menentukan penginapan mana yang
akan dipilih di sekitar desa. Cukup lama,
akhirnya satu orang ksatria datang
duduk di bangku ujung depan Daenrys.

“Kenapa lama sekali memperbarui


pedangmu, Granyof?”

“Aku sekalian menambah esensi sihir ke


dalam pedangku. Kau lihat?” Granyof
memamerkan pedang barunya di atas
meja. “Pedangku semakin gagah
seperti--”

“Seperti hamsterku! Woow! Lihat, WB!


Pedang itu mirip warna bulumu!
Setengah hitam, setengah putih!” potong

64
Tobias, mengelus hewan peliharaan
barunya yang dibeli dari toko tadi.

Darah Granyof naik ke ubun-ubun. Dia


menggebrak meja. “Keparat! Beraninya
tikus bau itu meniru pedang agungku!
Akan kubunuh dia!”

“Hamsterku sudah dari lahir berwarna


ganda! Yang meniru warnanya justru kau,
Granyof!” balas Tobias.

“APA--”

“Hey! Hey! Hentikan! Kalian berdua


sekarang sudah menjadi pusat perhatian,
tahu! Dasar! Ditinggal sebentar saja
sudah membuat kekacauan!” Fixtra
datang diikuti Virgoun yang menenteng
aneka tas belanjaan di belakangnya.

“Bee~ mau ditaruh di mana barang-


barang ini?” tanya Virgoun terus
tersenyum.

“Di ujung dekat si Landak saja, Honey~”


jawab Fixtra mendayu.

Barang-barang itu membuat Granyof


tertimbun. Ingin bergerak saja dia tidak

65
bisa. Hanya kepala saja yang bisa terlihat.
Pemuda itu meradang, siap berkoar
sampai Virgoun mengalihkannya.

“Kalian tahu, tadi aku bertemu dengan


penasihat ayahku, loh. Dia bilang, kita
semua diundang ke Istana Vandal untuk
perjamuan.”

“Perjamuan?”

“Ya. Besok adalah hari kemerdekaan


negaraku yang tercinta! Sekali-kali, ksatria
harus bersenang-senang, bukan?”

Daenrys menginterupsi. “Tapi tujuan kita


menjadi ksatria adalah untuk membunuh
si Pengendali Black Death. Perjamuan
boleh kita nikmati kalau kita sudah
mencapai tujuan kita!”

“Yeah. Aku setuju dengan gadis angin.


Bagaimana kalau saat kita ke sana dan
bersenang-senang, si Pengendali Black
Death malah menyerang kita semua dan
negaramu? Atau bahkan menyerang
negara Matilda?” sahut Granyof.

66
Virgoun melipat lengan menatap angkuh.
“Kalian meragukan sistem keamanan
negaraku? Oh, betapa tidak sopannya!
Dengar! Negaraku secara turun-temurun
sudah menerapkan sistem buka tutup
barrier. Sudah seribu tahun negaraku tidak
pernah diserang Black Death!”

“Wooh! Hebat sekali! Kalau negaramu


adalah negara teraman di dunia, mengapa
negaramu tidak menjadi tempat
pengungsian untuk warga negara
Matilda?” tanya Tobias.

“Tentu saja tempatnya tidak akan muat,


idiot! Bukan begitu ... Honey?” sela Fixtra,
bersandar manja di bahu Virgoun.

“Ya, Bee~ kau memang ratu masa


depanku yang cerdas! Jadi ... mau ikut
atau tidak, kalian tetap akan pergi ke
negaraku. Ksatria itu harus menjelajah ke
tempat asing. Aku tahu, kalian belum
pernah ke negaraku, bukan? Ke Kerajaan
Vandal?”

Ksatria yang menolak berpikir lagi, lalu


akhirnya dipaksa menyerah. Mereka akan

67
ikut pergi ke perjamuan kemerdekaan
negara Vandal.

***

“Kabar gembira, Master! Kelima Helt


sekarang bergerak ke Kerajaan Vandal!
Kudengar, kerajaan itu mengundang
mereka dalam perjamuan kemerdekaan.
Apakah kita akan ke sana juga?”

Sang Master yang duduk malas di ujung


menara batu melirik seekor monster gagak
yang mengepakkan sayap di samping
kirinya. Dia menyeringai dan berkata,
“Tentu saja, Crown! Mari kita tunjukan
kehebatan calon penguasa dunia!
Hahaha!”

Awan biru berubah menjadi hitam pekat.


Petir hitam bersambaran di langit seiring
tawa sosok berjubah hitam dan koran sang
monster gagak. Mereka menghilang
menjadi dua kepulan kecil asap hitam
pekat. Asap itu bergerak melawan mata
angin menuju ke negara Vandal.

***

68
Tengah malam, Tobias terbangun dengan
keringat mengucur deras di dahi. Dia
bermimpi buruk, bahkan sangat buruk.
Dia seperti terdampar dalam kastil yang
gelap gulita. Kedua tangannya diselimuti
asap hitam yang aneh. Dia melihat seorang
pria bermahkota black diamond dan
wanita bergaun hitam yang juga memakai
mahkota yang sama hanya lebih kecil,
tersenyum padanya. Mereka mendekat
dengan sebelah tangan terjulur ke arah
Tobias. Akan tetapi, dia malah
mengarahkan semacam dua tombak dari
asap hitam ke arah mereka. Saat itu, dia
melihat keduanya menjadi abu.

Tobias tidak mengerti dari mana asal


mimpi aneh itu. Setelah berpikir cukup
lama, pemuda itu berasumsi bahwa
mungkin saja mimpi itu adalah bagian
dari ingatannya.

“Tobias, ada apa?” Daenrys di ranjang


seberang kanan menguap, mengusap mata
memandangi rekan sekamarnya.

“Tidak. Hanya ... mimpi buruk lagi,”


jawab Tobias ragu-ragu.

69
Daenrys memilih bangun dan duduk
menghadap Tobias. “Lagi? Tobias, kupikir,
mungkin itu adalah bagian dari
ingatanmu. Ingin berbagi denganku? Siapa
tahu aku bisa membantumu.”

Tobias terhenyak menatap Daenrys. Dia


tidak percaya gadis yang belum ada
sebulan mengenalinya tahu apa yang ada
dipikirannya. Ada yang aneh pada
jantungnya saat gadis itu memberikan
senyuman hangat dalam cahaya temaram.
Tobias tahu, dia bisa mempercayakan
semuanya pada Daenrys.

Pemuda penyuka hewan menceritakan


mimpinya pada Daenrys. Dari mimpi
tersebut, Daenrys mengumpulkan sebuah
kata kunci yang menjadi dasar ingatan
Tobias. Dia juga menggabungkan apa
yang sempat dikatakan monster banteng
ular waktu itu.

“Tobias, aku sudah mendapatkan


kesimpulan. Kau adalah ... seorang
pangeran mahkota dari sebuah negara.”

70
“Pangeran ... mahkota?! A-ku?! Tapi ...
hmm ... aku tidak tampan dan berwibawa
seperti Virgoun.”

“Pangeran mahkota tidak dilihat dari ciri-


ciri itu, Tobias. Ya ... meskipun kau benar
kalau kau tidak tampan dan berwibawa,
bahkan kau sangat idiot.”

“Hey! Jangan mengataiku idiot! Aku tidak


terima jika kata itu kau yang ucapkan!”

“Oke, fine. Intinya, kau adalah seorang


pangeran mahkota. Aku yakin, cepat atau
lambat, orang-orang istanamu akan datang
mencarimu.”

***

Mereka disambut meriah dan mewah oleh


warga Vandal. Daenrys sedikit canggung
berjalan di karpet merah. Dia merasa bagai
seorang putri raja atau ratu saja. Keadaan
berbeda ada di belakang Daenrys dan
Tobias.

Granyof dengan berani menyewa kuda


dari seorang pedagang, lalu
mengendarainya di atas karpet merah. Hal

71
itu tentu saja membuat marah para
pengawal istana, termasuk sang pangeran
sendiri. Tindakan Granyof tidak sopan
menurut norma di negara Vandal.

“Ksatria Granyof, tolong turun dari kuda!


Dalam karpet merah, tidak boleh ada kaki
kuda! Anda harus berjalan dengan kedua
kaki Anda sendiri!”

“Tidak! Aku hanya akan berjalan dengan


kedua kakiku di karpet merah setelah
berhasil membunuh si Pengendali Black
Death! Minggir atau kutebas kepala kalian
semua!”

Semua pengawal istana menelan ludah


takut. Mereka membiarkan Granyof pergi
bersama kudanya. Sebuah ide biadab
terlintas di otaknya. Granyof berbisik di
telinga kuda, memegang tali dengan erat.
Hitungan ketiga, kuda itu berlari cepat,
hampir menginjak Tobias dan Daenrys.
Untung saja Daenrys menarik Tobias ke
sisinya, lalu memasang wind barrier.
Mereka selamat dari injakan kuda
Granyof.

72
Senyum Pangeran Virgoun berubah jadi
jeritan. Punggungnya diinjak kuda
Granyof. Fixtra sendiri selamat karena dia
berteleportasi ke tempat yang aman.
Insiden itu membuat para warga marah,
ada juga yang terkikik geli. Fixtra tidak
mau dianggap jahat. Bagaimanapun, dia
harus membantu menyelamatkan wajah
sang Pangeran Vandal. Siapa tahu para
warga memuji tindakan mulianya dan
merestuinya menjadi calon ratu negara ini,
begitu pikir Fixtra.

Setelah mereka mencapai halaman istana,


para pelayan muncul memberikan mereka
kalung bunga. Hanya Granyof yang
menolak menerima karena dia tidak suka
bunga. Tidak manly katanya. Lalu, mereka
digiring ke aula tempat raja dan ratu
Vandal. Baru membuka pintu saja,
Virgoun langsung berlari tertatih memeluk
ibunya. Dia merintih, menangis, dan
mengadu kalau dia diinjak kuda yang
dikendarai Granyof.

“Sayang, tapi itu rekanmu, loh. Mungkin


saja dia hanya ingin mencoba sensasi
baru,” ujar sang Ratu.

73
“Tapi Bu--”

“Aku juga yakin, ksatria Granyof punya


alasan kenapa mengendarai kuda di atas
karpet merah,” potong sang Raja.
Tersenyum kikuk pada Granyof.

Dalam hati, dia maupun sang istri juga


sangat murka dengan perilaku Granyof.
Akan tetapi, mereka harus sabar dan
beramah-tamah pada tamu penting dari
kerajaan tetangga. Tidak ingin dianggap
raja dan ratu yang bertindak karena
putranya.

“Ah, Honey~ apa punggungmu masih


sakit? Biar kuobati dengan sihirku.” Fixtra
mulai cari muka di depan raja dan ratu.
Mengumbar wajah khawatir sambil
mengelus punggung Virgoun.

“Boleh, Bee~ terima kasih ”

“Sayang, siapa gadis cantik ini?” tanya


sang Ratu.

“Dia adalah ratu masa depanku, Bu!


Namanya Fixtra, dari Bizantin!” Virgoun

74
memperkenalkan kekasihnya dengan
bangga.

Fixtra tersenyum lemah lembut,


membungkuk di hadapan sang Ratu.
“Salam, Yang Mulia Ratu Vandal! Hamba
Fixtra, ksatria yang mendapat nilai
tertinggi dari Raja Oscar, ksatria dengan
sihir unlimited dari desa Bizantin.”

“Bangunlah, Nak! Tidak perlu


membungkuk di depan calon mertuamu,”
kata sang Ratu, tersenyum mengangkat
tubuh Fixtra.

Sang Raja yang sedari tadi duduk di


singgasana, kini turun berjalan ke arah
mereka bertiga. “Kau dari desa Bizantin
yang terkenal dengan Ksatria Velvet itu?
Oh! Luar biasa! Virgoun, kau tidak salah
pilih, Nak!”

“Terima kasih banyak, Yang Mulia Raja


Vandal.” Fixtra lagi-lagi membungkuk dan
tersenyum lembut. Adegan itu membuat
sebal Daenrys dan Granyof. Sedang Tobias
masih terdiam, merenungi sebuah kilatan
di kepala yang tiba-tiba muncul sejak dia

75
bertemu dengan raja dan ratu Vandal.
Tobias akhirnya tahu apa yang membuat
bagian dari memorinya muncul. Semua
berasal saat dia menatap tombak emas
bertahtakan kristal merah delima.

“Yang Mulia, dari mana asal kristal merah


delima itu?” tanya Tobias tiba- tiba.

Baik raja dan ratu kini menoleh ke sumber


suara. Mereka menatap lekat sosok Tobias
yang terlihat berbeda dari ksatria lain.

“Siapa namamu, Ksatria?” tanya sang


Raja. “Tobias,”

jawabnya.

“Asal?” Pertanyaan ini membuat Tobias


meragu untuk menjawab. Daenrys melihat
gerak-gerik itu. Gadis itu menyela untuk
menjawab, “Desa Avar, Yang Mulia.”

Wajah ngeri ditampilkan sepasang


penguasa Vandal. “Kau berasal dari desa
... tempat Black Death muncul?!”

“Black Death? Maaf, tapi aku--”

76
Fixtra memotong sambil menyeringai
licik. “Yang Mulia, Tobias berasal dari
desa Avar. Tapi ... dia muncul setelah
berakhirnya Black Death. Dia hanya
mengingat namanya saja saat ditemukan
oleh gadis di sebelahnya. Belum lagi
sewaktu kompetisi, dia menggunakan
komponen yang bukan sihir. Dia
membuat lubang hitam besar di tanah
dan hampir membunuh My Honey
Virgoun. Semua orang menganggapnya
sebagai si Pengendali Black Death. Raja
bahkan sempat ingin mengeksekusinya
kalau saja aku tidak mengajukan
banding. Walaupun aku tahu ini salah,
tetapi aku masih punya hati nurani. Aku
meminta Raja Oscar meluluskannya
menjadi ksatria dan aku yang bertugas
mengawasinya.”

“Apa?! Tapi ... itu sangat berbahaya,


Fixtra! Aku tidak ingin calon menantuku
terluka karena ... DIA.” Raja menatap
dingin Tobias. Ratu sendiri juga
memandang sangar pemuda itu. Tobias
tahu, hanya Daenrys yang bisa
mempercayainya dengan penuh. Tidak

77
ada di dunia ini yang percaya pada
pemuda asing lupa ingatan dengan
kekuatan yang mengerikan.

“Ya, itu benar. Aku tidak akan


menyangkal kalau kekuatanku itu aneh
dan mengerikan. Aku memang tidak tahu
siapa dan dari mana diriku berasal. Tapi,
Yang Mulia harus tahu. Aku tetaplah
ksatria yang akan membunuh si
Pengendali Black Death. Permisi.”

Langkah tegas sakit hati Tobias membuat


bungkam semua orang yang ada di aula.
Pemuda itu keluar dari sana. Daenrys
menatapi semua orang dengan murka,
sebelum akhirnya menyusul Tobias.

“Tobias! Tunggu!”

Pemuda itu berhenti di tempat tanpa


menoleh ke belakang. Daenrys
menghampiri, syok melihat pemuda itu
menangis. Selama ini, Daenrys belum
pernah melihat Tobias rapuh apalagi
menangis. Biasanya pemuda itu hanya
memasang wajah datar dan wajah idiot.

78
“Apakah aku tidak pantas dipercaya,
Daenrys? Apakah aku memang pantas
menjadi si Pengendali sialan itu sampai
mereka menuduhku! Mengapa mereka
terus memojokkanku! Mengapa……….”

Tobias terkesiap. Daenrys memeluknya


erat. Dia berbisik lirih. “Tobias ... kau
pantas dipercaya. Kau adalah ksatria
sejati. Selamanya aku akan terus ada di
sampingmu. Aku akan terus
mempercayaimu.”

“Terima kasih Daenrys.”

•TBC•

Chapter V

Para bangsawan, pejabat, dan ksatria


berkumpul menjadi satu di malam
menjelang hari kemerdekaan negara
Vandal. Fixtra dan Virgoun memakai
pakaian yang mewah, berbeda dengan
Daenrys, Tobias, dan Granyof.

Mereka mengenakan pakaian seadanya,

79
tetapi cukup modis dan tidak memalukan.
Setelah acara pengenalan kelima ksatria,
Tobias dan Granyof menghilang dari
pesta. Daenrys yang sedang mengambil
minuman untuk Tobias ditinggalkan
sendirian. Gadis itu terus mencari di
sekitar para bangsawan dan pejabat yang
sedang berbincang. Sampai tepukan
datang di bahunya.

“Ah! Tobi--” Bukan, Daenrys tidak


menyangka yang menepuknya adalah
Fixtra.

“Sedang apa kau di sini, Slav Bitch?”

“Aku tidak ada urusan dengan tukang cari


muka!”

Fixtra membuat drama tua. Menyelengkat


kaki Daenrys hingga minuman yang
dipegang gadis itu tumpah ke gaunnya
yang mewah Fixtra.

“Arrgh! Gaunku yang cantik!"

Teriakan Fixtra membuat Virgoun


menghampiri. Semua mata memandang
mereka berdua sambil berbisik.

“Ada apa—oh ... astaga. .” Virgoun


melongo melihat gaun cantik
pemberiannya sudah basah kuyup.

80
Honey~ dia merusak gaun pemberianmu.

Aku....................................aku malu dilihat


semua orang!” Fixtra pura-pura menangis
di dada Virgoun. “Aku tidak--”

“Kau! Jalang sialan! Kalau kau cemburu


melihat kecantikan gaun kekasihku,
jangan merusaknya seperti ini! Beli saja
sendiri! Atau.....................apa kau tidak
mampu membelinya, hmm? Oh, iya, aku
lupa! Kau pasti tidak punya uang untuk
membeli gaun secantik ini. Bukankah
keluarga Rick di desa Slav itu sangat
miskin?”

“Tidak! Aku tidak sengaja merusak gaun


itu! Dan lagi, jangan pernah merendahkan
keluargaku!”

Daenrys mungkin tegar, tetapi gadis itu


tidak yakin akan sampai kapan.
Ketegarannya juga punya batas. Dia
sekarang berharap Tobias ada di sini.
Datang dan membelanya.

***

Kelam malam mengingatkan dia pada


identitasnya. Tobias memandangi sekujur
tubuh yang terbalut kemeja hitam dan
celana bahan hitam. Dia sangat menyukai
warna hitam entah kenapa. Tidak hanya

81
tampilan luar, kekuatannya pun berbau
warna hitam. Black hole, Black Punch,
dan sulur hitam tombak yang dia tahu
dari mimpi. Dia mendengkus, bersandar
di bangku taman.

“Pantas saja semua orang menganggapku


si Pengendali Black Death.”

“Ha? Orang idiot sepertimu tidak


mungkin adalah si Pengendali Black
Death!”

Suara khas muncul dari balik pohon.


Pemuda yang memakai jubah hijau
mendatangi Tobias.

“Kau di sini juga, Granyof? Kupikir kau


adalah tipe penyuka pesta. Bernyanyi di
atas meja sambil menendang pantat
Virgoun.”

“Oh, itu ide yang bagus. Aku semakin


suka denganmu.” “Maaf, aku masih suka
dada dan vagina.”

“Cih! Maksudku sebagai teman, idiot!”


“Oh.”

Mereka diam. Hening itu aneh. Angin


tidak terasa lagi. Pantulan cahaya merah
dari arah aula sang Raja Vandal terlihat
dari kaca jendela. Granyof dan Tobias

82
terkejut melihatnya. Mereka segera pergi
menuju aula. Sialnya, pintu megah itu
terkunci. Mau tak mau, Granyof menusuk
lubang kunci dengan pedang hitam
putihnya. Pintu itu dibuka, lalu muncul
asap hitam dari kristal merah delima di
ujung tombak Raja Vandal di singgasana.

“Apa itu?”

“Entahlah..............................”

Tobias hanya bisa menjawab demikian.


Lama-kelamaan, asap itu berubah
menjadi sesosok pria yang memakai jubah
hitam. Sisik putih bertebaran di jubahnya,
mengingatkan Granyof dan Tobias pada
sesuatu.

“Kau! Yang menyerang Fixtra!” tunjuk


Granyof.

Sosok itu menyeringai, melangkah


perlahan menuju mereka. “Oh, kau rekan
si Helt Unlimited?”

“Helt?” beo Tobias gagal paham. Granyof


tidak peduli. Dia memilih mengeluarkan
pedangnya.

“Helt adalah sebutan dari kami untuk


para ksatria dunia ini. Dan kau,” pria itu
menatap lama Tobias, “bukan bagian dari

83
Helt. Kau tidak ingat siapa dirimu ...
Prince of Skotadi.”

“Skotadi?”

“Hoi, hoi! Kau bajingan berisik! Aku tahu,


kau pasti si Pengendali Black Death! Ayo
maju hadapi aku!” tantang Granyof.

“Yah! Aku suka semangat muda!


Sejujurnya, kau lebih pantas disebut Helt

daripada si Jalang Unlimited itu,”


ujarnya. “Siapa kau sebenarnya!” sentak
Tobias marah.

“Aku ... kakakmu, Tobias. Namaku


Illiyos,” ungkapnya.

“Tidak ... itu tidak mungkin! Aku ... tidak


ada hubungannya dengan si Pengendali
Black Death!” tolak Tobias.

“Terserah. Aku akan menurutmu nanti.


Sekarang, hanya satu tujuanku.
Menghancurkan negara sialan ini!”
Bersamaan dengan itu, bunyi gagak
terdengar. Bermacam-macam suara
hewan hadir di sekitar istana.

“Sial!” Granyof melirik Tobias, “Idiot!


Pergi kasih tahu semua orang kalau kita
diserang!” suruhnya.

84
“Tapi ... mereka pasti tidak akan
mempercayaiku. Dan--”

“Jika kau tidak bisa dipercaya, mengapa


aku mempercayaimu sekarang, idiot!
Cepat pergi sana! Biar aku yang
menangani keparat ini!”

Tobias merasa terharu dalam hati. Dia


mengangguk, keluar dari aula untuk
pergi ke ruang perjamuan. Dalam
perjalanan, sejumlah hewan berwarna
hitam lekat menghadang. Akan tetapi,
Tobias tetap maju dan mengalahkan
mereka demi mencapai tujuan. Dia juga
melihat di kejauhan sejumlah prajurit
sedang bertarung dengan seekor Griffin
berwarna hitam. Banyak di antara mereka
yang terluka parah.

Tobias tetap maju walau hati ingin


bergerak membantu para prajurit yang
sumbang kematian. Pintu megah cokelat
muda dibuka lebar-lebar. Dia berdiri di
ambang, terengah-engah melihat
sekeliling. Semua orang memandangnya
bingung.

Mengambil napas sebanyak mungkin,


pemuda itu berteriak lantang. “Yang
Mulia Raja! Kita diserang oleh si
Pengendali Black Death!”

85
Diam. Semua orang masih terdiam, lalu
terdengar tawa keras dari Fixtra. Disusul
tawa lain dari beberapa orang. Raja dan
Ratu memandang para tamu antara malu
dan gelisah.

“Kau ingin dapat perhatian Mulia Raja


dengan berita bohong, huh, Tobias?
Hahaha! Lucu sekali!”

“Tapi aku benar-benar--”

“Aku percaya pada Tobias! Sekarang,


Yang Mulia! Sebaiknya Anda
mengungsikan diri dari tempat ini
bersama para tamu undangan!” potong
Daenrys. Dia berdiri di samping kiri
Tobias.

“Kau tidak ber--”

“Rooaarrr!”

Auman monster membuat Raja tidak


bergerak. Mulutnya sulit berkata. Detik
berikutnya, sebuah kepala terpental jatuh
masuk ke dalam ruang perjamuan. Itu
kepala dari sang Jenderal Istana. Teriakan
histeris menggema dalam ruangan.
Semua orang sibuk menyelamatkan diri,
keluar dari pintu belakang yang ada di
sudut ruangan. Raja Vandal memerintah
dengan panik para prajurit yang ada

86
dalam ruangan untuk membantu
mengevakuasi para tamu undangan.

“Sial! Aku yakin ini pasti ulahmu!” tuduh


Fixtra, bersiaga menghadapi musuh yang
akan datang.

“Bisakah kau tidak terus menuduh


Tobias!” seru Daenrys kesal.

“Hentikan! Dengar, sebaiknya kau, Fixtra,


dan Virgoun melindungi Raja dan Ratu!
Aku akan membantu Granyof di luar!”
pinta Tobias pada Daenrys.

“Tapi Tobias--”

“Aku percaya padamu.”

Tobias tersenyum lembut pada Daenrys.


Setelah mengatakan itu, dia pergi keluar
ruang perjamuan. Untuk kali ini, Daenrys
tahu apa yang terjadi pada hatinya. Apa
yang ingin dia capai selain menjadi
ksatria. Daenrys ingin memiliki Tobias.
Mencintainya selamanya.

***

“Uhuk! Sialan!”

“Kau bukan tandinganku, Helt Sword.”

Granyof salah perhitungan. Pria asing

87
yang mengaku kakak dari Tobias ini
ternyata sangat kuat. Sulur hitam kini
membelit seluruh tubuhnya.

Berusaha meremukan tulang belulang si


ksatria pedang monokrom. Granyof
sudah pasrah menutup mata, siap untuk
mati di medan pertarungan. Tentu saja itu
tidak akan pernah terjadi selama masih
ada Tobias. Pemuda itu datang
menyentuh sulur yang membelit Granyof.

Benda itu pun menghilang dalam sekejap.


“Granyof, kau baik-baik saja?”

“Uhuk! Ya ... tapi sepertinya pergelangan


kaki kananku patah. Aku tidak yakin bisa
melawannya lagi.”

“Sebaiknya kau--”

“Tidak! Meskipun aku terluka, tapi aku


masih mampu bertarung! Aku akan
mengalahkan beberapa monster yang
berusaha masuk ke ruang perjamuan.
Kuserahkan saudaramu padamu!”

“Dia bukan saudaraku!”

Granyof tidak peduli. Dia segera berlari


mendekati pelataran dekat pintu ruang
perjamuan. Kembali mengacungkan
pedang monokrom kepada dua monster

88
Black Wolf.

Tobias menyipitkan mata ke arah Illiyos.


Namun, pria itu membalas dengan
seringai.

“Apa maumu! Mengapa kau menyerang


negara ini!” sentak Tobias.

“Adikku yang manis, kau benar-benar


tidak tahu apa pun, ya? Sepertinya apa
yang dikatakan master benar. Kau
amnesia. Yah ..., harusnya kau mati saja
waktu itu! Mengapa ayah dan ibu
memilih memberikan kekuatan itu
padamu, bukan padaku! Mereka pilih
kasih! Tidak adil!” Kemarahan itu
membingungkan. Tobias tidak mengerti
apa yang dimaksud Illyos.

“Aku sama sekali tidak mengenalmu dan


ayah juga ibumu itu! Jawab
pertanyaanku, sialan!” umpat Tobias.

Illiyos menjelaskan dengan nada dingin.


“Dengar, Adik. Alasanku menyerang
negara busuk ini karena ingin mengambil
apa yang dulu mereka ambil. Kristal
merah delima.”

“Tapi ... itu warisan turun-temurun negara


Vandal! Tidak mungkin--”

89
“Cih! Kau bodoh karena percaya ucapan
mereka. Mungkin kau tidak ingat karena
kau masih bayi. Kristal itu adalah salah
satu koleksi ayah.

Kekuatannya cukup dahsyat, walau tidak


sebanding dengan kekuatan yang ada di
dirinya. Dahulu, ayah berkata ingin
memberikan kristal itu padaku tapi ... raja
Vandal sialan itu malah mencurinya! Dan
selang beberapa tahun, kerajaan Skotadi
diserang oleh para manusia yang haus
kekuasaan!

Untungnya master menyelamatkanku


dari maut dan kau ... melarikan diri
setelah membunuh ... ayah dan ibu! Aku
tidak akan pernah memaafkanmu!”

Tobias ternganga. Dia sekarang tahu


kalau wanita dan pria bermahkota itu
adalah ayah dan ibu Illiyos. Namun, dia
masih menyangkal kalau mereka adalah
orang tuanya. Tobias tidak mungkin tega
membunuh kedua orang tuanya sendiri.

“Jadi ... yang ada di mimpiku ... mereka ...


orang tuaku ...........................”

“Berhenti menyebut mereka orang tuamu,


Anak Pembawa Sial! Pembunuh!”

“TIDAK! AKU BUKAN PEMBUNUH! AKU

90
ADALAH KSATRIA!”

***

Fixtra di dalam sana sudah memasang


puluhan barrier di seluruh pintu dan
jendela. Setelah itu, dia malah santai,
memilih bermesraan dengan Virgoun.
Daenrys sungguh membenci tindakan si
jalang. Semua rencana dan arahan untuk
bekerjasama ditolak mentah-mentah oleh
Fixtra. Padahal sudah sepatutnya mereka
bertiga harus bekerjasama dan menjaga
kekompakan demi melindungi raja dan
ratu Vandal. Bukankah itu dasar dari
seorang ksatria?

“Hei, Bitch! Sebaiknya kau keluar saja


dari sini! Kami tidak butuh bantuanmu!
Aku bisa mengatasi musuh berdua
dengan My Honey Virgoun.
Kehadiranmu sama sekali tidak berguna,
tahu!” celetuk Fixtra.

“Hei, Bitch! Sebaiknya kau keluar saja


dari sini! Kami tidak butuh bantuanmu!
Aku bisa mengatasi musuh berdua
dengan My Honey Virgoun.
Kehadiranmu sama sekali tidak berguna,
tahu!” celetuk Fixtra.

“Ya! Kau mungkin berguna untuk si Idiot

91
Tobias atau si Landak. Keluar saja sana!”
sahut Virgoun.

Daenrys menggeram. Marah pun akan


percuma. Kedua temannya itu tidak akan
pernah menganggap dia sebagai ksatria.
Raja dan ratu Vandal sama sekali tidak
bersikap acuh tak acuh padanya. Ada
sedikit keinginan untuk

melanggar janji Tobias. Daenrys ingin


keluar dari ruang perjamuan, tetapi
sebuah guncangan dari lantai menerpa.
Sekitar dua puluh lubang kecil muncul di
lantai, berderet mengelilingi Daenrys,
Fixtra, Virgoun, dan kedua orang tuanya.
Cicitan terdengar dibarengi kemunculan
ratusan tikus tanah berwarna hitam
bermata merah darah.

“Kyaa~ ti-tikus!” Fixtra menjerit,


menerkam Virgoun dalam pelukan erat.
Wajahn pucat pasi dan tubuh gemetar
hebat.

“A-da apa, Bee? Itu hanya tikus tanah.”

“Tidak! Tidak! Tidak! Aku benci tikus


tanah! Mereka menjijikan!” “Terus
bagaimana kita bisa memusnahkan
mereka semua?!” “Tenang, semuanya!”
seru Daenrys. “Aku tahu harus

92
melakukan apa.”

“Keh! Jangan sok pahlawan, deh, Bitch!


Ilmu sihirmu itu tidak berguna!” ejek
Fixtra.

“Kau sendiri bagaimana?! Aku yakin kau


tidak akan mau melawan mereka karena
kau takut tikus!” tuding Daenrys.

“Ti-tidak! Aku hanya ... hanya ” Fixtra


tidak mampu mengelak. Dia memang
sangat takut pada hewan pengerat satu
itu.

“Dengar! Aku akan memusnahkan


mereka semua dengan bantuan Virgoun,
lalu setelahnya, tolong pasang barrier di
lantai ini.............................Bee~” Daenrys
mengejek di akhir.

“Tidak boleh! Yang bisa memerintah


Virgoun hanya aku! Kekasihnya!” tolak
Fixtra keras. Saat itu, raja dan ratu Vandal
terbelalak kaget. Mereka mulai curiga
kalau selama ini putranya hanya
dimanfaatkan oleh gadis Unlimited.

“Benar itu! Aku tidak mau kau suruh-


suruh! Kau bukan kekasihku!” balas
Virgoun dengan bodohnya.

Raja Vandal maju selangkah menepuk

93
bahu kiri sang putra. “Nak, untuk kali ini,
aku setuju dengan rencana ksatria Wind.
Kau dan juga kekasihku harus
membantunya agar kita semua selamat
dari para monster tikus itu.”

“Tapi Ayah--” Ucapan Virgoun diputus


sang Ibu. “Virgoun, ini demi kebaikan
kita semua. Tidak ada jalan lain. Kita
semua tahu, hanya Nona Daenrys bisa
berkomunikasi dengan hewan itu.”

“Arrgh! Baiklah! Sekarang, apa yang


harus aku lakukan?” tanya Virgoun
setengah kesal. Daenrys tersenyum,
menunjuk area lantai di sebelah kirinya.

“Tancapkan tombakmu di sana!”

Sambil berdecih, Virgoun menancapkan


ujung tajam tombak ke lantai porselen.
Lantai mewah retak, memunculkan
kubangan merah berisi lava panas.
Selanjutnya, Daenrys memejamkan kedua
mata, membacakan bait- bait mantra.
Mantra yang baru pertama kali dia
gunakan.

“Atas nama roh Slav Yang Agung! Aku


perintahkan semua monster untuk
menceburkan diri ke kubangan lava!—
Hypno Death Wind!”

94
Ribuan angin menerpa, berembus kuat
membuat para tikus tanah mematung di
tempat. Kemudian, mereka berjalan
perlahan membentuk barisan yang
mengarah ke kubangan lava. Satu per
satu tikus mati terlalap cairan lava panas.

Waktu menjadi taruhan untuk tenaga


Daenrys. Dia sudah tidak sanggup untuk
mempertahankan sihirnya. Hidung gadis
itu mulai mimisan.

Kepalanya terasa begitu sakit seperti


dihantam ribuan batu granit. Namun
berkat tekad dan motivasi dengan
mengingat Tobias, Daenrys mampu
menyelesaikan rencananya. Teriakan
terakhir menggema, Fixtra bergerak
antara takut dan panik menutup seluruh
lantai dengan barrier.

“Hey, Bitch! Sadarlah!” Fixtra memapah


Daenrys sambil mencoba
membangunkannya. Nampaknya, semua
itu tidak berhasil. Fixtra memang ahli
dalam berbagai macam sihir, tetapi dia
masih pengecut untuk berjuang sendiri.
Melawan para monster yang nantinya
akan menjebol barrier-nya.

Dia juga tahu, si Pangeran Vandal tidak


bisa diharapkan.

95
***

Granyof merasa dejavu. Dalam kondisi


setengah pingsan, dia melihat black hole
tercipta di tanah dekat arena bertarung
Tobias dan Illiyos. Apa yang terjadi?
Hanya itu yang ada di benak Granyof.

“Hahaha! Itu dia! Itu dia Adik Manisku


Tobias! Keluarkan semua kekuatanmu! Ayo
bunuh aku! BUNUH AKU!”

Tobias tidak tahu apa yang terjadi


sekarang. Yang ada diingatannya hanya
terakhir dia sumbang kematian setelah
punggungnya ditusuk puluhan panah
hitam oleh Illiyos.

Pria berjubah hitam sisik putih masih


tegak berdiri di hadapan Tobias. Tubuh
Illiyos tidak bereaksi pada black hole
yang ada tepat di tengah tempatnya
berdiri. Itu terjadi berkat kemampuan
kristal merah delima yang dia ambil dari
tombak raja Vandal.

Tobias berteriak murka. Secara


mengejutkan, dia menciptakan black hole
baru tepat di atas kepala Illiyos. Pria itu
panik, dia tidak pernah
memperhitungkan adik manisnya bisa
menciptakan dua black hole.

96
Mengingatkan dia pada kekuatan
mendiang sang ayah. “Sial!”

Illiyos tidak bisa bertahan karena kristal


yang dia miliki hanya sebagian. Pecahan
lain ada pada tombak Virgoun. Illiyos
mengubah diri menjadi asap hitam, lalu
meluncur pergi ke dalam ruang
perjamuan. Tempat Virgoun berada.

“Jangan lari!” Suara Tobias terdengar


sangat tinggi dan menakutkan. Dua black
hole menghilang sekejap mata. Pemuda
yang dalam pengaruh kekuatannya itu
melangkah menuju pintu tersebut. Akan
tetapi, Granyof menahan pergerakannya.
Sang Ksatria Sword tahu kalau Tobias
sedang hilang kendali. Dia tidak ingin
nantinya Daenrys, Fixtra, Virgoun, Raja
dan Ratu Vandal menjadi korban black
hole.

“Sadarlah, idiot! Kendalikan kekuatanmu!


Aku tidak akan membiarkanmu menyesal
karena membunuh orang tak bersalah!”

Tobias menatap nyalang. Mata yang


bersinar putih berubah memancarkan
cahaya merah darah. Urat-urat hitam
mengakar dari wajah sampai ke tangan.
Dengan mudah, Tobias melempar Granyof
dari sisinya. Tubuh pemuda berotot

97
terseret beberapa meter sampai terantuk
ke pohon.

Tobias melesat cepat, mencekik leher


Granyof yang sekarat. Cekikan itu tambah
kuat, tangan kiri Tobias memunculkan
asap hitam dan membentuk sebuah
tombak. Granyof ingin meronta, tetapi
tenaganya sudah terkuras.

Hanya satu kalimat yang berhasil dia


ucapkan untuk Tobias. “Aku

temanmu ... aku ... percaya


padamu…………”

Sorot tajam merah memudar, tangan yang


mencengkeram di leher Granyof
mengendur, dan tombak hitam di tangan
kiri lenyap. Tobias kembali normal.
Pemuda itu melihat Granyof bersandar di
batang pohon dengan mata tertutup.
Kepanikan segera menyerbu.

“Tidak ... apa ... yang baru saja aku


lakukan…….”

“Granyof! Hey! Sadarlah! Granyof! Katakan


kalau aku tidak sengaja membunuhmu!
Granyof!”

Tetap saja, tidak ada sahutan maupun


pergerakan dari Granyof. Tobias benci

98
pada diri sendiri. Kesalahan yang dia buat
sangat fatal sampai menyebabkan
temannya kehilangan nyawa. Ketika
kebencian hadir pada takdir, Tobias tahu
masih ada harapan lain yang tersisa. Dia
harus menyelamatkan sisa teman
ksatrianya, terutama Daenrys.

***

“Kau! Jadi ini semua ulahmu!”

“Oh? Memangnya kenapa? Mau


melanjutkan yang kemarin, Jalang?”

“Sialan! Tentu saja aku--”

“Wof! No, no, no! Aku tidak ingin


bermain-main denganmu lagi! Karena aku
ingin ... membunuh semua anggota
kerajaan busuk ini!”

Petir merah menyambar di sekitar tempat


Virgoun dan kedua orang tuanya berdiri.
Fixtra terpaksa memapah Daenrys,
berteleportasi ke tempat yang aman.
Lantai yang tersambar berubah menjadi
pasir hisap merah (red quicksand).
Ketiganya perlahan terbenam ke pasir.
Mereka sama sekali tidak bisa keluar dari
sana.

“Tolong, Fixtra!” teriak Virgoun.

99
“Aku ... aku. .” Fixtra panik. Tidak tahu
harus mengeluarkan sihir apa. Dia ingin
menolong mereka, tetapi tidak mau
mengorbankan nyawanya sendiri.

“Hahaha! Dasar Pangeran Bodoh! Jalang


itu tidak mencintaimu! Dia hanya
mencintai harta dan tahtamu! Dia tentu
saja tidak ingin mempertaruhkan nyawa
demi dirimu dan keluargamu!” tawa
Illiyos keras.

Virgoun menatap tak percaya. Ada rasa


sakit hati dan marah pada kekasihnya. Dia
berteriak, bersumpah akan menyeret
Fixtra ke neraka juga. Pertunjukan itu
berakhir. Illiyos mendapatkan pecahan
kristal lain, sedang tiga anggota kerajaan
telah hilang ditelan red quicksand.

Fixtra menangis menyesali semuanya.


Ternyata, dia salah memilih menjadi
seorang ksatria. Karena dia telah
dibutakan oleh ketamakan akan
kekuasaan dan harta benda dunia. Padahal
sejak kecil, dia ingin menjadi ksatria hebat
dan rela berkorban seperti Velvet,
neneknya.

“Air mata itu tidak berguna, kau tahu?


Dari awal pun aku sudah bisa menilai
siapa kau sebenarnya. Kau bukanlah

100
seorang Helt,” ucap Illiyos.

“Helt?” Fixtra mengernyit tidak paham.

“Ya....kau bukan seorang ksatria! Kau tidak


pantas hidup! Akan kukabulkan
permintaan si Pangeran Bodoh
untukmu!”

Illiyos melesatkan anak panah hitam ke


arah Fixtra. Gadis itu belum siap untuk
melawan ataupun membuat barrier sihir.
Yang dia lakukan hanya mematung
dengan mulut terbuka. Lalu, tiba-tiba saja
ada seseorang yang berdiri di
hadapannya. Dia tidak percaya siapa
yang akan menyelamatkan nyawanya.

“Daen ... rys........................”

“Syukurlah aku bisa ... membalas


kebaikanmu ... Fixtra.......”

Daenrys jatuh tangkurap di lantai. Panah


hitam menghilang dari punggung yang
berlubang penuh darah. Fixtra ikut jatuh
berlutut menatapi Daenrys yang terengah
di lantai. Tangan hendak terulur, tetapi
rasa bersalah hadir menariknya kembali.
Fixtra sekali lagi hanya bisa menangis.

Illiyos yang terlalu muak mendengar isak


tangis Fixtra, kembali mengarahkan anak

101
panahnya pada Fixtra. Akan tetapi, panah
berhasil diblokir oleh Tobias.

“Daenrys ... tidak. .TIDAK! APA YANG


KAU LAKUKAN, SIALAN!”

Pandangan Tobias menggelap. Dia terlalu


marah pada sang kakak.

Illiyos memutar malas kedua bola


matanya. “Terserah apa yang ingin kau
katakan. Asal kau tahu saja, ini semua
karena si Jalang Unlimited. Helt itu
melindunginya dari seranganku. Ya kalau
dia sekarat pun bukan sepenuhnya
salahku.”

“Kau!” Tobias beralih memincing tajam


ke arah Fixtra. Gadis itu hanya menunduk
pasrah terhadap takdir. Mati atau hidup,
dia tidak peduli lagi.

Tobias kali ini mampu mengendalikan


kekuatannya. Dua black hole kembali
muncul menghimpit tubuh Illiyos. Sang
kakak menyeringai, dia mengeluarkan
supermassive red hole. Dua black hole
hilang ditelan supermassive red hole itu.
Tobias mulai berpikir kembali. Dia lalu
ikut mengeluarkan supermassive black
hole. Kedua lubang jumbo berbeda warna

102
saling tarik menarik. Sayang, lubang
tersebut malah meledak.

Kekuatan mereka ternyata imbang.

Cara licik dipakai Illiyos dengan


membelit kedua kaki dan tangan Tobias.

Senyum kemenangan terbit kala pria itu


membidikan panah hitam ke arah jantung
Tobias. Namun, sebuah kejutan hadir.
Langit yang hitam pekat berganti menjadi
abu-abu. Dari celah langit, ratusan
tombak hitam jatuh menghujani tubuh
Illiyos. Pria itu segera membuat barrier
dengan kekuatan kristal merah, tetapi
tidak berefek. Barrier hancur menjadi abu
merah.

Tubuh Illiyos perlahan terkikis menjadi


abu. Tobias masih menatap lekat
kematian tragis yang mendera sang
kakak. Tidak. Dia sama sekali tidak
sedih, apalagi berniat menolongnya.

Perlahan, hujan tombak hitam berangsur


menghilang. Meninggalkan kekacauan di
mana-mana. Tobias telah kembali normal.
Dia langsung melesat, memeluk Daenrys
ke pangkuan.

“Daenrys, bertahanlah! Aku akan


menyelamatkanmu dengan bantuan sihir

103
— hah! Apa-apaan! Ke mana jalang itu
pergi?!”

Tobias mulai panik. Fixtra menghilang


secara misterius ketika hujan tombak
hitam berakhir. Kalau tidak ada Fixtra,
Daenrys tidak akan bisa selamat. Tobias
tidak mau kehilangan lagi. Tidak akan
pernah.

“Tolong bertahanlah, Daenrys! Aku akan


membawamu ke desa Visgoth--”

“Tobias.....” Daenrys menyentuh lemah


wajah Tobias. “Aku tidak akan

bertahan. Aku ... ingin mengatakan


sesuatu. Aku ... mencintaimu ”

Dalam tangis deras, Tobias membalas,


“Aku juga! Aku juga mencintaimu,
Daenrys. Kau...hanya kau yang aku
punya dan percaya. Kau juga harus
percaya padaku! Kau pasti akan
bertahan hidup!”

Daenrys tersenyum lembut. “Tidak.


Aku tahu umurku tinggal beberapa
detik lagi. Jangan cemas , Tobias.
Aku akan tetap mempercayaimu. Kau

104
pasti bisa ... menemukan teman yang
bisa dipercaya. Kuharap kau bisa
menjadi seorang Helt yang tangguh
..., Tobias..........”

“Aku berjanji, Daenrys.”

Ciuman terakhir di bawah cahaya


jingga menjadi saksi kepergian ksatria

terakhir. Ksatria yang pantas disebut


Helt dari yang lainnya. Bagi Tobias,
yang pantas menjadi Helt hanya ada
tiga orang. Granyof, Daenrys, dan ...
dia sendiri. Suka atau tidak, dunia ini
harus tahu kalau Tobias adalah
seorang Helt juga. Karena dia sudah
berjanji pada Daenrys untuk menjadi
seorang Helt yang tangguh, yang
akan melenyapkan si Pengendali
Black Death.

★THE END★

105
Epilog

Sejatinya tidak ada yang benar - benar


abadi didunia ini. Kita tak pernah terlepas
dari yang namanya perpisahan. Entah
sementara ataupun baka. Kita pasti akan
merasakan. Entah ditinggalkan ataupun
meninggalkan. Jangan pernah
menggenggam sesuatu dengan begitu erat,
karena ketika kamu dipaksa untuk
mengakhiri sebuah cerita yang seharusnya
tamat, maka kamu akan merasakan sakit
yang begitu hebat.

Menangislah jika itu membuatmu merasa


lega. Bersedihlah jika kamu tak bisa
mendeskripsikan bagaimana perasaanmu
sekarang. Kadang kala tak mengapa,
untuk tak baik - baik saja. Hanya saja,
percayalah pada dirimu sendiri bahwa
kamu akan mampu melewati semua ini.

106
Kehilangan bukanlah sesuatu hal yang
harus terus menerus diratapi, adakalanya
kita harus bangkit untuk melanjutkan
mimpi. Tak mudah memang, tapi kelak
kau akan menjadi pemenang.

Rutinitasnya untuk selalu berkunjung


telah banyak memakan waktu. Hilang
harapan juga asa. Mata sayunya tak
pernah luput dari nisan didepannya.
Tangan kasarnya tak pernah lepas
membelai pelan batu nisan, yang
bertuliskan nama seseorang yang berarti
baginya. Tak ada ucapan yang keluar dari
mulutnya. Hanya begitu saja yang ia
lakukan ketika berkunjung. Tubuh
ringkihnya bergetar seiring kenangan
datang silih berganti. Mata sayunya itu
berkaca - kaca.

Buliran air mata mulai berjatuhan.


Dibawah langit senja dirinya menangis
tergugu. Kicauan burung terdengar seakan
ikut merasakan kesedihan yang dirasakan
pemuda itu. Angin bertiup pelan, luruh
menyapu keheningan. Membawa suara
yang begitu asing ditelinganya.

107
"Menangis tidak menandakan kamu
lemah, selama kamu tahu cara untuk
bangkit lagi."

***

"Aku tak pernah meminta mereka yang


pergi untuk pulang, yang meninggalkan
untuk kembali dan yang selalu ada untuk
selalu disamping. Karena bagiku hidup
bukan untuk bertahan, tapi untuk bersiap.
Bersiap untuk berpisah."

108

Anda mungkin juga menyukai