Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT HERNIA

A. Konsep Teori Penyakit


1. Definisi
Hernia adalah protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah
dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melaui defek
atau bagian lemah dari lapisan muskulo apeneurotik dinding perut. Hernia terdiri atas
cincin, kantong, dan isi hernia. Semua hernia melalui celah lemah atau kelemahan yang
potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkat tekanan intra abdomen
yang berulang atau berkelanjutan.
2. Etiologi
Etiologi hernia Inguinalis menurut Hidayat (2006) dalam adalah:
a) Batuk
b) Adanya presesus vaginalis yang terbuka
c) Tekanan intra abdomen yang meningkatkan secara kronis seperti batuk kronik,
hipertrofi prostat, konstipasi dan asites.
d) Kelemahan otot dinding perut dan degenerasi jaringan ikat karena usia lanjut.
e) Kehamilan multi para dan obesitas
3. Tanda dan gejala
Menurut Heather Herdman (2012), tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien
hernia adalah :
a) Berupa benjolan keluar masuk/ keras dan yang tersering tampak benjolan dilipat paha.
b) Adanya rasa nyeri pada daerah benjolan bila isinya terjepit disertai perasaan mual.
c) Terdapat gejala mual dan muntah atau distensi bila lelah ada komplikasi
d) Bila terjadi hernia inguinalis strangulata kulit diatasnya menjadi merah dan panas serta
terasa sakit yang bertambah hebat.
e) Hernia femoralis kecil mungkin berisi dinding kandung kencing sehingga
menimbulkan gejala sakit kencing disertai hematuria.
Sedangkan menurut Long (1996),gejala klinis yang mungkin timbul setelah dilakukan
operasi :
a) Nyeri
b) Peradangan
c) Edema
d) Pendarahan
e) Pembengkakan skrotum setelah perbaikan hernia inguinalis indirek
f) Retensi urin
g) Ekimosis pada dinding abdomen bawah atau bagian atas paha

4. Pemeriksaan diagnostik/pemeriksaan penunjang terkait


a) Lab darah : hematologi urine, BUN, kreatinin dan elektrolit
b) Radiologi, foto abdomen dengan kontras barium, flouroskopi
5. Penatalaksaan medis
a) Penatalaksaan Terapi
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian
penyangga yaitu untuk mempertahankan isi hernia yang telah di reposisi
(pengembalian kembali organ pada posisi normal). Reposisi ini tidak dilakukan pada
hernia stranggulata , pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan
hernia yang telah direposisi dan tidak pernah menyembuhkan sehingga harus dipakai
seumur hidup. Sebaiknya cara ini tidak dilanjutkan karena mempunyai komplikasi
antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding di didaerah yang tertekan sedangkan
strangulasi tetap mengancam.
b) Penatalaksaan Operatif
Tindakan operatif yaitu dengan jalan operasi.cara yang paling efektif mengatasi
hernia adalah pembadahan.untuk mengembalikan lagi organ dan menutup lubang
hernia agar tidak terjadi lagi. Ada dua prinsip pembedaahan yaitu:
1. Hernioraphy
Hernioraphy merupakan tindakan menjepit kantung hernia.
2. Herniotomi
Pada Herniotomy di lakukan pembedahan kantong hernia sampai lehernya,
kantong di buka dan diisi hernia dibebaskan kalau ada perlengketan kemudian
direposisi kantong hernia dijahit ikat setinggi mungkin kalau di potong.
Penatalaksanaan hermia yang terbaik adalah operasi dengan jalan menutup
lubang hernianya.
B. Pertimbangan anestesi
1. Definisi anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
2. Jenis anestesi
a. Regional anestesi
Anestesi regional dapat mengahambat impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara terhadap impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh dibloki runtuk sementara (reversible),fungsi motoric dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap sadar. Anestesi
regional terdiri dari blok sentral (blokneuroaksial) dan blok perifer (bloksaraf).
3. Tehnik anestesi
Spinal Anestesi
1. Pre Block Preparations :
Karena induksi spinal anestesia seringkali menimbulkan perubahan
hemodinamik yang cukup bermakna, pasien harus dimonitor kontinyu, obat-
obat resusitasi dan peralatan harus dapat disediakan dengan segera.Sedasi
(analgetik dan anxiolitik) seringkali diberikan sebelum melakukan anestesi
spinal untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan anxietas.Obat-obat ini dapat
menyebabkan gangguan yang signifikan pada kardiorespirasi dan dapat
menutupi nyeri / parastesia akibat injeksi intraneural. Penting untuk mengingat
bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan spinal anestesia itu sendiri bisa
mengakibatkan gangguan respirasi.Sehingga, setiap anestesia spinal potensial
memerlukan perubahan yang cepat ke general anestesia.Obat-obat dan
peralatan untuk airway management yang tepat harus bisa disediakan dengan
cepat.
2. Patient Positioning
Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan
untuk melakukan anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan
kekurangan. Lateral dekubitus adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien
biasanya merasa nyaman dengan posisi ini dan lebih sedikit menelungkup
dalam bergerak, dibandingkan posisi duduk.Sinkop lebih jarang terjadi
daripada posisi duduk.Pasien diposisikan pada pinggir meja operasi (gb. 10-6)
dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal. Posisi duduk, rutin dipilih oleh
beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat dilakukan pada pasien obese.Pada
populasi obese, palpasi dimidline processus spinosus seringkali sulit / tidak
memungkinkan.Pada kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan dengan
menghubungkan garis imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol
(C7) dan cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien
duduk.
Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia
pada pasien yang akan dilakukan anal surgery dengan posis jack-knife (gb. 10-
9). Pasien diposisikan sesuai pembedahan lalu dilakukan lumbal
punksi.Anestesi lokal hipobarik dipergunakan untuk membatasi efek anestesi
pada dermatom sakral dan lumbal bawah.
3. Puncture Site
Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal
cord yang berakhir pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari masing-masing
individu, sebuah garis yang melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang
diantara L4-L5 (gb. 10-7). Teknik aseptik yang baik adalah penting.Hal ini
termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine dan atau larutan alkohol dan
memakai penutup steril.
4. Midline Atau Paramedian Approach
Dua pendekatan ke ruang subarachnoid seringkali dipakai yaitu midline
dan paramedian (gb. 10-10).Keduanya simpel dan efektif.Praktisi harus
familiar dengan kedua pendekatan ini, sehingga mereka memiliki teknik
alternatif pada saat pendekatan pertama gagal dilakukan.
4. Rumatan anestesi
a. Anestesi Lokal Lidokain & bupivakaine semuanya umum dipakai untuk spinal
anestesia.
1). Lidokain (durasi sedang spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100 mg seringkali
dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu sekitar 90 – 200
menit. Lidokain sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil. Tidak iritatif
terhadap jaringan walaupun diberikan dalam konsentrasi larutan 88%.
Toksisitasnya 1.5 kali prokain. Diperlukan waktu 2 jam untuk hilang sama sekali
dari tempat suntikan. Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan anestesia
15 – 40 menit, tergantung dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan
dengan blok motoris yang memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 – 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi
substansial pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan
insiden transient neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri
torniquet pada ekstremitas bawah.
2). Bupivakain (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 5 – 15 mg adalah
sesuai untuk pembedahan selama 180 – 600 menit. Ikatan dengan HCl mudah larut
dalam air, sangat stabil. Potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5
kali dari lidokain. Sifat hambatan sensorisnya lebih dominan dibandingkan dengan
hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih banyak
dibandingkan dengan yang bebas dalam tubuh. Dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui ginjal. Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75% bupivacaine
dalam 8,25 % dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik
atau sedikit hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas
bawah. Epinephrine memanjangkan blok sensoris dan motoris kira-kira 30 – 45
menit saat ditambahkan pada bupivakain dosis kecil (7,5 mg). Fentanyl juga
dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain (sehingga hipotensi
lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia.
b. Aditif Pada Spinal Anestesia
1). Vasokontriktor
Vasokontriktor seringkali ditambahkan pada lokal anestetik intrathecal untuk
menghambat uptake vaskuler sehingga memanjangkan blok. Epinephrine dan lebih
jarang phenylephrine adalah agen yang dipakai untuk tujuan ini. Selain
vasokontriksi, epinephrine juga menimbulkan analgesia lewat stimulasi, 2 receptor.
Klonidine,2 agonis memperpanjang blok motoris dan sensoris pada tetracaine, lebih
besar daripada epinephrine. Selain memanjangkan blok sensoris, penambahan
epinephrine pada spinal anestetik lokal juga memanjangkan blok motoris dan
memperlambat miksi. Dua faktor ini menghambat pulih dari anestesi spinal. Untuk
outpatient surgery, kebanyakan center menghindari epinephrine intrathecal.
Sesungguhnya, pemakaian opoid lipofilik intratekal akan meningkatkan dan
memanjangkan anestesia tanpa menghambat pemulihan.
2). Opioids Analgesik
Opioid dapat ditambahkan pada spinal anestesia. Opioid nampaknya
menimbulkan supra-aditif (sinergistik) anestesia saat ditambahkan pada intratekal
lokal anestetik. Efek sinergis ini tampak menonjol terutama pada nyeri visceral.
Opioid spinal memblok pathway nyeri dengan tambahan minimal pada blok serat
motoris dan simpatis. Dua klas opioid dipakai pada spinal anestesia dan analgesia.
Opioid hidrofilik biasanya ditambahkan untuk prolong postop analgesia. Morphine
sulfat 0,1 – 0,3 mg adalah yang umum dipilih. Agen ini memiliki efek analgesik
dalam 45 menit pada pemberian lumbal dan mengurangi kebutuhan tambahan
analgesia postop selama 12 – 24 jam. Morphin spinal memiliki beberapa efek lain
yang tidak diinginkan. Nausea dan vomiting tampaknya lebih banyak daripada
opioid sistemik. Pruritus yang umum (60 – 80 %) dan yang parah (20 %). Miksi
secara substansial dihambat, mungkin karena hambatan pada mekanisme detrusor.
Karena adanya sedikit resiko dari depres nafas yang delayed dan gangguan fungsi
kencing, obat ini tidak sesuai untuk bedah pada outpatient. Opioid Lipofilik
(fentanyl dan sulfentanyl) populer pada spinal anestesia. Fentanyl 10-25 g atau
sulfentanyl 2,5 – 10 gr dapat ditambahkan pada anestesia spinal untuk mencapai
beberapa tujuan. Agen ini memiliki onset cepat terhadap sinergis anestetik dan
meningkatkan anestesia intraoperatif.

c) Resiko anestesi
a. Tekanan darah turun
b. Hight spinal/total blok
C. WOC (Web Of Causion)

Hernia

Tekanan intra abdomen ( batuk Kelemahan otot dinding abdomen


mengejam,mengangkat benda berat ) (obesitas , kehamilan ,trauma)

Masalah Pre anestesi :


1. Nyeri akut
2. Hipertermi
3. Ansietas

Jenis Anestesi : Teknik Anestesi :


Regional Anestesi Blok Spinal Anestesi

Masalah intra anestesi :

1. Risiko
perdarahan

Masalah Post anestesi : Resiko anestesi :

1. Risiko Infeksi a. Tekanan darah turun


2. Hambatan b. Hight spinal/total blok
mobilitas fisik
D. Tinjauan Teori Askan Pre Intra Pasca Anestesi dan Pembedahan Umum
1. Pengkajian
a. Data Subjektif :
Data yang didapat oleh pencatat dan pasien atau keluarga dan dapat diukur
dengan menggunakan standar yang diakui.

b. Data Objektif :
Data yang didapat oleh pencatat dari pemeriksaan dan dapat diukur dengan
menggunakan standar yang diakui.
2. Masalah Kesehatan Anestesi
a. PRE
1. Nyeri akut
2. Hipertermi
3. Ansietas
b. INTRA
1. Risiko perdarahan
c. POST
1. Risiko Infeksi
2. Hambatan mobilitas fisik

3.Rencana Intervensi
PRE
a. Nyeri akut
1. Tujuannya adalah nyeri hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2. Kriteria hasil : nyeri hilang atau terkontrol, klien tampak rileks, klien mampu
tidur atau istirahat.
3. Rencana tinadakan:
- Observasi tanda-tanda vital
- Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
- Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam
- Delegasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
b. Hipertermi
1. Tujuan : suhu tubuh pasien menurun
2. Kriteria hasil : pasien tidak mengeluh demam dan suhu tubuh pasien dalam
batas normal
3. Recana tindakan:
- Monitoring suhu tubuh pasien
- Beri kompres hangat
- Pertahankan intake cairan
- Delegasi pemberian antipiretik
c. Ansietas
1. Tujuan: kecemasan pasien berkurang
2. kriteria hasil: Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat teratasi, pasien
tampak rileks
3. rencana tindakan:
- kaji tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.
- Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan
- Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.
- Anjurkan keluarga untuk menemani disamping klien
- Delegasi pemberian sedatif (midazolam)

INTRA

a. Risiko perdarahan
1. Tujuan : tidak terjadi perdarahan pada saat pembedahan
2. Kriteria hasil : tidak ada tanda tanda perdarahan, tekanan darah dalam batas
normal, tidak ada kehilngan darah yang terlihat
3. Rencana tindakan :
- Monitor ketat tanda tanda perdarahan
- Monitor TTV
- Monitor status cairan (intake dan output)
- Delegasi pemberian transfusi darah

POST

a. Resiko infeksi
1. Tujuannya adalah meningkatkan penyembuhan luka dengan benar,
bebas tanda infeksi.
2. Kriteri hasil tanda-tanda infeksi tidak terjadi (kalor, dolor, rubor,
tumor, fungsiolesa), suhu tubuh normal (36-37 derajat Celcius).
3. Rencana tindakan :
- observasi tanda-tanda vital
- lakukan perawatan luka dengan teknik septik dan antiseptic
- KIE pasien untuk menjaga lukanya agar tetap
- Delegasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
b. Hambatan mobilitas fisik
1. Tujuannya adalah diharapkan hambatan mobilitas fisik teratasi
2. Kriteria hasil : Pasien dapat menggerakkan kaki berangsur-angsur dan
menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
3. Rencana tindakan :
- Pantau kemampuan pasien dalam ADL
- Lakukan mobilisasi progresif
- Ajarkan latihan kaki
- Kaji Aldrete Score

4. Evaluasi
PRE:
a. Nyeri akut
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang
O : skala nyeri ringan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
b. Hipertermi
S : pasien mengatakan tidak demam lagi
O : suhu 36,5°C
A; masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
c. Ansietas
S : pasien mengatakan tidak cemas lagi
O : pasien tampak tidak gelisah lagi
A : masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
INTRA
a. Risiko perdarahan
S:-
O : tidak ada tanda tanda perdarahan
A : masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
POST
a. Risiko infeksi
S : pasien mengatakan badannya tidak panas
O: Tidak terjadi tanda tanda infeksi
A : masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
b. Hambatan mobilitas fisik
S : pasien mengatakan kakinya sudah bisa digerakkan
O : bromage score 1
A : masalah teratasi
P : pertahankan intervensi

E. Daftar Pustaka

R. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi I. penerit buku kedokteran
EGC Jakarta. 1997. Hal 700-718
A. Mansjoer, Suprohaita, W.K Wardhani, W. Setiowulan. Kapita Selekta Media
Kedokteran.Edisi III, Jilid II. Penerbit Media Aescuulapius, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2000. Hal 313-317
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai