Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

Benign Prostat Hyperplasia (BPH)

ANESTESI B
TINGKAT III/SMT V

D-IV ANESTESIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2019/2020

i
DAFTAR ISI
A. Konsep Teori Penyakit.................................................................................................................. 1
1. Definisi ...................................................................................................................................... 1
2. Etiologi ...................................................................................................................................... 1
3. Tanda dan Gejala ...................................................................................................................... 2
4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait ....................................................... 3
5. Penatalaksanaan Medis ............................................................................................................ 4
1) Penatalaksanaan Terapi ........................................................................................................ 4
2) Penatalaksanaan Operatif ..................................................................................................... 4
B. Pertimbangan Anestesi ................................................................................................................ 7
1. Definisi Anestesi ........................................................................................................................ 7
2. Jenis Anestesi ............................................................................................................................ 8
Regional Anestesi .......................................................................................................................... 8
3. Teknik Anestesi ......................................................................................................................... 9
4. Rumatan Anestesi ................................................................................................................... 11
5. Resiko...................................................................................................................................... 11
C. Web of caution (WOC) ............................................................................................................... 12
D. Tinjauan teori Askan Pre Intra Pasca Anestesi dan Pembedahan Umum ................................. 17
1. Pengkajian ............................................................................................................................... 17
a. Data Subjektif ...................................................................................................................... 17
b. Data Objektif ....................................................................................................................... 17
2. Masalah Kesehatan Anestesi................................................................................................... 17
3. Rencana Anestesi .................................................................................................................... 17
a. Masalah Kesehatan Anestesi I ............................................................................................. 17
b. Masalah Kesehatan Anastesi II ............................................................................................ 17
c. Masalah Kesehatan Anastesi III ........................................................................................... 18
d. Masalah Kesehatan Anastesi IV........................................................................................... 18
e. Masalah Kesehatan Anestesi V ........................................................................................... 18
f. Masalah Kesehatan Anastesi VI........................................................................................... 19
4. Evaluasi ................................................................................................................................... 19
E. Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 20

ii
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994:193).

2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang
belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut. Karena etiologi yang belum
jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benign Prostatic
Hyperplasia antara lain:
1) Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2) Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan
terjadinya hyperplasia stroma.
3) Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan
transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4) Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.

1
5) Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.(Roger Kirby, 1994
:38).
3. Tanda dan Gejala
1) Gejala iritatif meliputi :
a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)
2) Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia
karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume
residu yang besar.
i. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik.
3) Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
a. Derajat I: penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak
puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b. Derajat II: adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah
hebat.
c. Derajat III: timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan
dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

2
4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait
1) Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisa: warna mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum
menunjukkan SDM, SDP, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan,
mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam (meningkatkan magnesium, fosfat
amonium atau batu kalsium fosfat).
b. Urine (24 jam): kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin
mungkin meningkat.
c. Kultur urine: mungkin menunjukkan ISK (Staphilococcus aureus, proteus,
klebseila, pseudomonas).
d. Survei biokimia: peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,
protein, elektrolit.
e. BUN/kreatinin serum dan urine: abnormal (tinggi pada serum/rendah pada
urine) sekunder tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan
iskemia/nekrosis.
f. Kadar klorida dan bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan penurunan
kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
g. Hitung darah lengkap: Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,
golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum, SDP mungkin
meningkat menunjukkan infeksi/septikemia.
h. Pada persiapan fisik, perlu diinformasikan kepada pasien untuk menghentikan
kebiasaan-kebiasaan seperti merokok minimal dua minggu sebelum anestesia
atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik dan melakukan
puasa makan berat untuk selama 8 jam sebelum operasi.
2) Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos abdomen: bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio-
opak disaluran kemih. Batu –batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat
bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat non radio-opak (radio-lusen).
b. Foto ronsen KUB : menunjukkan adanya kalkuli dan atau perubahan anatomik
pada area ginjal dan sepanjang ureter
c. Pielografi intra vena (IVU): pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan
anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu IVU dapat mendeteksi adanya batu semi
opak ataupun batu non opak yang tidak bias dilihat dengan foto polos perut.
3
d. IVP: memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri
abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik
(distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli.
e. Sistouterkopi: visualisasi langsung kandung kemih dapat menunjukkan batu dan
atau efek obstruksi.
f. USG: dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP,yaitu
keadaaan –keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal menuruun,
sedang hamil. Pemeriksaan usg dapat menilai adanya batu di ginjal atau dibuli-
buli (yang ditunjukkan sebagai echoic sahdow), hidronefrosis, pionefrosis, atau
pengkerutan ginjal

5. Penatalaksanaan Medis
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi
pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat berkemih
maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter
logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung
kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.
1) Penatalaksanaan Terapi
a. Observasi (watchfull waiting) Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan
ringan. Nasehat yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan
malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan,
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak
terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan
pemeriksaan colok dubur.
b. Terapi medikamentosa
a) Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin): menghambat reseptor pada
otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran
air seni dan gejala-gejala berkurang.
b) Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
2) Penatalaksanaan Operatif
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi
bedah yaitu:
4
a. Retensi urin berulang
b. Hematuri
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f. Ada batu saluran kemih.
Indikasi relative lain:
a. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan
optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang
kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil
dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan
disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena
pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan
cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan
melalui uretra.
b. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas.
c. Prostatektomi Perineal
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin
terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum
dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
d. Prostatektomi retropubik
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan
spingter kandung kemih lebih sedikit. Pembedahan seperti prostatektomi
dilakukan untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan,
infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan
5
disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi,
meskipun pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat
kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat
dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah
sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung
kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrogard.
e. Insisi Prostat Transuretral (TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.
Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang)
dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di
klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding
cara lainnya.
f. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra


menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat
yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi.
Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama

6
prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan
reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam
bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai
cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus
sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup
sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah
perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah.
Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi
retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati
penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun
kemudian.

B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani, an-“tidak, tanpa” dan
aesthētos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Trias anestesi yaitu Hipnotik atau tidak sadarkan diri, Analgesia atau bebas
nyeri, dan Relaksasi otot atau mati gerak. Untuk mencapai trias anestesi, dapat
digunakan hanya satu obat atau menggunakan kombinasi beberapa obat yang
mempunyai efek khusus (misalnya oba hipnotik dikombinasikan dengan obat
relaksan).
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Regional anestesi
terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok perifer. Spinal & anestesi
epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi, obstetri dan anggota tubuh bagian
bawah operasi abdomen bagian bawah.

7
2. Jenis Anestesi
Regional Anestesi

Penggunaan obat analgetik lokal untuk mengangkut hantaran saraf sensorik,


sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat dipengaruhi sebagaian/seluruhnya. Pasien tetap sadar, cara
pemberiannya dibagi dalam infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, analgesia
permukaan, dan analgesia regional intravena. Obat analgetikya terdiri dari
golongan amide (Lignokain, bupivakain) dan golongan eter (prokain, tetrakain).
Komplikasi obat analgetik lokal bisa komplikasi lokal edema, infeksi, nekrosis dll)
dan komplikasi sistemik (depresi, penurunan tekanan darah). Menurut tekbik cara
pemeberian dibagi dalam; 1) infiltrasi lokal, 2) blok lapangan, 3) Blok saraf, 4)
analgesia pernukaan, 5) analgesia regional intravena.
Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik anestesi
pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien untuk tetap
terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom TUR atau
ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan penurunan
hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi
regional dan anestesi umum.
Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan dengan
anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan dengan control
nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri postoperatif. Bowman dkk
menemukan bahwa hanya 15 % dari pasien yang mendapatkan anestesi spinal pada
TURP membutuhkan pengobatan nyeri selain daripada acetaminophen tetapi
kebutuhan analgesik meningkat empat kali lipat setelah anestesi umum.
Studi prospektif yang membandingkan efek dari anestesi umum versus anestesi
spinal pada fungsi kognitif setelah TURP ditemukan penurunan yang signifikan
pada status mental pada kedua kelompok pada 6 jam setelah pembedahan, tetapi
tidak memiliki perbedaan pada fungsi mental postoperatif pada kapan saja pada 30
hari pertama setelah pembedahan. Ghoneim dkk juga menemukan tipe anestesi
(regional versus umum) tidak mempengaruhi keadaan pasien yang mengalami
prostatektomi, histerektomi, atau penggantian sendi.
Morbiditas dan mortalitas pada pasien yang berusia lebih dari 90 tahun yang
mengalami TURP tidak bergantung dari tipe anestesi yang digunakan. Sebuah studi

8
dari kejadian iskemik miokardial perioperatif pada pasien yang mengalami
pembedahan transuretral, ditentukan bahwa kedua insidens dan durasi dari iskemik
miokardial meningkat mengikuti pembedahan TUR tetapi tidak memiliki
perbedaan antara anestesi umum atau anestesi spinal. Studi kedua membuktikan
bahwa penemuan-penemuan ini dan disimpulkan bahwa adanya durasi yang
singkat atas iskemik miokardial tidak berhubungan dengan efek samping pada
pasien berusia lanjut yang mengalami prosedur TURP.
Bila anestesi regional digunakan pada prosedur, tingkat dermatom anestesi T10
dibutuhkan untuk memblok nyeri dari saluran kemih dengan irigasi cairan.
Bagaimanapun, tingkat S3 dilaporkan adekuat pada 25 % pasien jika saluran kemih
tidak diijinkan untuk terisi penuh. Anestesi spinal merupakan pilihan utama jika
dibandingkan anestesi epidural karena tulang-tulang sakral tidak terblok
sepenuhnya dengan teknik epidural.
Anestesi lokal juga digunakan sebagai prosedural TURP pada pasien dengan
kelenjar prostat stadium ringan hingga sedang. Teknik anestesi ini melibatkan
infiltrasi dari 1-3 ml enceran anestesi lokal (0.25% bupivacaine, 1% lidocaine) ke
dalam kandung kemih dan lobus lateral dari prostat untuk memblok pleksus saraf
hipogastrik inferior kemudian dengan injeksi anestesi lokal transuretral ke dalam
glandula di sekitar uretra prostatikus. Dengan tipe anestesi ini, dokter bedah dapat
memindahkan sejumlah kecil dari jaringan prostat dengan ketidaknyamanan pasien
yang seminimal mungkin. Meskipun penulis melaporkan bahwa teknik ini sulit
dilaksanakan dalam skala besar, mereka meyakini bahwa teknik ini dapat berguna
pada pasien dengan resiko tinggi yang tidak dapat ditoleransi dengan anestesi
umum maupun spinal.
3. Teknik Anestesi
Teknik Analgesia Spinal

9
1) Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas neja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan mneyebabkan
menyebarnya obat.
2) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi decubitus lateral. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain
ialah duduk.
3) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau
L4-5. tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
4) Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
5) Beri Anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1,2% 2-3 ml.
6) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau
25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G,
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoducer), yaitu jarum suntik biasa
sepmrit 10 cc. tusukkan introdusr sedalam kirakira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat durameter, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau
ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi mengilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan
pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan
likuor tidak keluar, putar arah jarum 90° biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.

10
7) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik, jarak kulit ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.
4. Rumatan Anestesi
1) Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgBB/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8jam.
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari
obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan
selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini
yaitu 6x maintenance.
2) Pemberian cairan
Cairan irigasi yang ideal adalah isotonik, inert elektrik, tidak beracun dan
transparan. Sayangnya, jenis larutan ini tidak ada. Biasanya, air suling digunakan.
Namun, penyerapan air suling menyebabkan hiponatremia dan hemolisis sel darah
merah. Komplikasi yang parah ini menyebabkan penggunaan solusi iso-osmotik
seperti larutan Ringer saline atau laktat. Namun, karena solusi ini sangat terionisasi,
mereka menyebabkan dispersi arus frekuensi tinggi dari resectoscope. Generasi ini
cairan irigasi adalah lembam secara elektrik dan juga isotonik. Solusi ini termasuk
glisin dan Cytal (yang paling umum digunakan) serta glukosa, manitol, urea, dan
sorbitol.
5. Resiko
a) system saraf
- Sakit kepala
- Kegelisahan
- Agitasi
- Kebingungan

11
- Kejang
- Koma
- Postur dekerebrasi
- Clonus
- Tanda Babinski
- Papilledema
b) system kardiovaskuler
hipertensi dan bradikardi
c) Perforasi kandung kemih Extraperitoneal atau intraperitoneal
d) Pendarahan Terkait dengan ukuran kelenjar dan waktu reseksi
e) Koagulopati Dilusi faktor koagulasi Fibrinolisis primer Koagulopati intravaskular
diseminata
f) Bakteremia sementara dan septikemia
g) Toksisitas cairan irigasi Hypervolemia Hyponatremia
h) Hipotermia

12
C. of caution (WOC)

DEFINISI

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan
oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994:193)..

ETIOLOGI

Hipotesis Tidak seimbang


Usia lanjut Jenis kelamin Dihidrotestosteron testosteron-
(DHT) esterogen

Interaksi Penurunan sel yg


Teori stem cell
stoma epitel mati

TANDA DAN GEJALA :

Gejala iritatif meliputi :

a. Peningkatan frekuensi berkemih


b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

Gejala obstruktif meliputi :

a. Pancaran urin melemah


b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama

13
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena
penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
i. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Lengkap Ultrasonografi (USG) Urinalisa

warna mungkin kuning,


Untuk : coklat gelap, berdarah;
Hb, leukosit, eritrosit, hitung
jenis leukosit, CT, BT, golongan 1. Melakukan Diagnostik secara umum menunjukkan
darah, Hmt, trombosit, BUN, SDM, SDP, kristal (sistin,
2. Ukuran
kreatinin serum, SDP mungkin asam urat, kalsium oksalat),
3. Bentuk
meningkat menunjukkan serpihan, mineral, bakteri,
4. Gambaran mikronodular
infeksi/septikemia. pus; pH mungkin asam
(meningkatkan magnesium,
fosfat amonium atau batu
kalsium fosfat).

14
PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan Terapi Penatalaksanaan Operatif :

1) Observasi (watchfull waiting)


Biasa dilakukan pada pasien Penatalaksanaan Operatif pada
dengan keluhan ringan. ringan.
2) Penghambat adrenergik a a. Prostatektomi
(prazosin, tetrazosin):
b. Prostatektomi Supra pubis.
menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat c. Prostatektomi Perineal.
sehingga terjadi relaksasi. Hal ini
d. Prostatektomi retropubik
akan menurunkan tekanan pada
uretra pars prostatika sehingga e. Insisi Prostat Transuretral
gangguan aliran air seni dan
(TUIP).
gejala-gejala berkurang.
3) Penghambat enzim 5-a-reduktase, f. TURP (TransUretral Reseksi
menghambat pembentukan DHT
Prostat)
sehingga prostat yang membesar
akan mengecil.

15
PERTIMBANGAN ANESTESI

Anestesi, tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan


prosedur lain yang menyebabkan rasa sakit.
Regional anestesi : Penggunaan obat analgetik lokal untuk mengangkut hantaran saraf
sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara.

JENIS ANASTESI : TEKHNIK ANASTESI :

Menggunakan Regional Anestesi Menggunakan Teknik regional


Spinal Anestesi

RESIKO : RUMATAN ANASTESI :

a) system saraf Cairan irigasi yang ideal adalah isotonik,

Sakit kepala, Kegelisahan, Agitasi, Kebingungan, inert elektrik, tidak beracun dan

Kejang, Koma, Postur dekerebrasi, Clonus, Tanda transparan. Sayangnya, jenis larutan ini

Babinski, Papilledema tidak ada. Biasanya, air suling digunakan.

b) system kardiovaskuler Namun, penyerapan air suling

hipertensi dan bradikardi menyebabkan hiponatremia dan hemolisis

c) Perforasi kandung kemih Extraperitoneal atau sel darah merah. Solusi ini termasuk glisin
dan Cytal (yang paling umum digunakan)
intraperitoneal
serta glukosa, manitol, urea, dan sorbitol.
d) Pendarahan Terkait dengan ukuran kelenjar
dan waktu reseksi
Premedikasi : ondansetron (4-8 mg/iv)
e) Koagulopati Dilusi faktor koagulasi
Fibrinolisis primer Koagulopati intravaskular Teknik anestesi ini melibatkan infiltrasi
dari 1-3 ml enceran anestesi lokal (0.25%
diseminata bupivacaine, 1% lidocaine)
f) Bakteremia sementara dan septikemia
g) Toksisitas cairan irigasi Hypervolemia
Hyponatremia
h) Hipotermia

16
D. Tinjauan teori Askan Pre Intra Pasca Anestesi dan Pembedahan Umum
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
- Klien Mengatakan Nyeri Pada Perut Bagian Bawah Bekas Luka
Operasi,
- Nyeri Saat BAK
- Nyeri Seperti Tertusuk-Tusuk
- Skala Nyeri 6
- Terus-Menerus
- Klien Mengatakan Hanya Dapat Tiduran Ditempat Tidur Setelah
Operasi
- Klien Mengatakan Terdapat Luka Bekas Operasi Pada Perut Bagian
Bawah.
b. Data Objektif
- Wajah klien tampak tegang menahan sakit.
- Urine klien tampak kemerahan serta keruh dan ada sedikit stosel.
- Tekanan Darah meningkat dari batas normal (>120/90 mmhg)
2. Masalah Kesehatan Anestesi
I. Nyeri
II. Ansietas
III. Hipertensi
IV. Gangguan Mobillitas fisik
V. Resiko Perdarahan
VI. Resiko Infeksi
3. Rencana Anestesi
a. Masalah Kesehatan Anestesi I
1) Tujuan
- Mengurangi skala Nyeri pada klien.
2) Kriteria Hasil
- Diharapkan Setelah diberikan asuhan keperawatan anastesi 1 x 30 menit
dengan kriteria hasil :
• Skala nyeri klien berkurang.
• Klien tampak tenang dan tidak meringis kesakitan.
3) Rencana Intervensi
- Kaji status nyeri PQRST
- Delegasi pemberian analgesic sesuai indikasi.
- Ajarkan klien teknik menejemen nyeri relaksasi nafas dalam.
- Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab nyeri.
- Atur posisi pasien senyaman mungkin
b. Masalah Kesehatan Anastesi II
1) Tujuan
- Mengurangi Ansietas klien.
2) Kriteria Hasil
- Diharapkan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 x 15 menit dengan
kriteria hasil :
• Klien tampak tenang.

17
• Klien Nampak siap menjalani operasi.

3) Rencana Intervensi
- Observasi Vital Sign klien
- Observasi Skala cemas pasien
- Jelaskan prosedur yang akan dilakukan terhadap pasien dan apa yang
dirasakan pasien saat menajalani prosedur.
- Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk mengurangi ansietas.
- Kolaborasi pemberian anti anxiety

c. Masalah Kesehatan Anastesi III


1) Tujuan
- Menjaga Tekanan Darah klien dalam batas normal.
2) Kriteria Hasil
- Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan anastesi 1 x 30
menit dengan kriteria hasil:
• Tekanan Darah klien kembali normal.
3) Rencana Intervensi
- Observasi Vital Sign Klien 3-5 menit sekali.
- Pertahankan tirah baring pasien selama fase akut.
- Ajarkan pasien teknik relaksasi.
- Berikan tindakan nonfarmakologik untuk menghilangkan rasa nyeri,
misalnya : kompres dingin, pijat punggung atau leher.
- Bantu pasien untuk ambulasi sesuai kebutuhan
- Delegatif pemberian terapi untuk menurunkan tekanan darah klien.

d. Masalah Kesehatan Anastesi IV


1) Tujuan
- Klien dapat melakukan aktivitas seperti biasa tanpa bantuan.
2) Kriteria hasil
- Diharapkan Setelah dilakukan tindakan keperawatan anastesi 1 x 30
menit dengan kriteria hasil:
• Klien meningkat dalam aktivitas fisik.
• Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3) Rencana Intervensi
- Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
- Tentukan tingkat motivasi klien dalam melakukan aktivitas.
- Ajarkan dan pantau dalam penggunaan alat bantu.
- Ajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
- Kolaborasi dalam ahli terapi fisik.

e. Masalah Kesehatan Anestesi V


1) Tujuan
- Mengurangi resiko perdarahan pada klien intra Operasi.
2) Kriteria Hasil

18
- Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan anastesi 1 x 60
menit dengan kriteria hasil :
• Tidak ada tanda-tanda perdarahan pada klien.
• Tanda-tanda vital klien dalam batas normal
3) Rencana Intervensi
- Pantau tanda-tanda perdarahan pada klien.
- Pantau tanda-tanda vital klien setiap 3-5 menit sekali.
- Pantau jumlah darah yang keluar pada saat operasi.
- Kolaborasi pemberian koagulan apabila terjadi perdarahan.

f. Masalah Kesehatan Anastesi VI


1) Tujuan
- Mencegah terjadinya resiko infeksi post operasi.
2) Kriteria Hasil
- Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan anastesi 1 x 5 menit
dengan kriteria hasil :
• Tidak ada tanda-tanda infeksi
• Vital sign klien dalam batas normal.
3) Rencana Intervensi
- Observasi tanda-tanda infeksi
- Bersihkan lingkungan sekitar klien
- Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
anstesi terhadap klien.
- Ajarkan klien cara merawat luka untuk mecegah terjadinya infeksi
- Jelaskan pada klien tanda-tanda infeksi.

4. Evaluasi
I. Masalah Kesehatan Anastesi I
S : Klien mengatakan skala nyeri klien berkurang.
O : Klien tampak tenang dan tidak meringis kesakitan.
A : Intervensi tercapai sebagian
P : lanjutkan Intervensi ajarkan pasien teknik relaksasi nafas dalam.
II. Masalah Kesehatan Anastesi II
S : Klien mengatakan siap menjalani Operasi
O : Klien tampak tenang dan siap menjalani operasi
A : Intervensi Tercapai.
P : Hentikan Intervensi
III. Masalah Kesehatan Anastesi III
S:-
O : Tekanan darah pasien stabil dalam batas normal.
A : Intervensi Tercapai sebagian
P : Lanjutkan Intervensi pantau tanda-tanda hipertensi 3-5 menit sekali.

IV. Masalah Kesehatan Anastesi IV


S : Klien mengatakan bisa melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang
lain atau alat.
O : Klien tampak mandiri dalam aktivitas fisik.
A : Intervensi tercapai
19
P : Pertahankan Intervensi
V. Masalah Kesehatan Anastesi V
S:-
O : Tidak ada tanda-tanda perdarahan pada klien.
A : Intervensi Tercapai sebagian.
P : Lanjutkan Intervensi pantau tanda-tanda perdarahan pasien intra operasi.
VI. Masalah Kesehatan Anastesi VI
S:-
O : Klien tidak menunjukan adanya tanda-tanda resiko infeksi.
A : Masalah resiko infeksi teratasi.
P : Pertahankan Intervensi

E. Daftar Pustaka

Manivannan R. 2017. “Tatalaksana Anestesia Dan Reanimasi Pada Tindakan Endoskopi


Saluran Kemih”. Smf Ilmu Anestesi Dan Reanimasi. Fk Unud/Rsup Sanglah. Denpasar.

Allan. P, Yudokwitz.F.S. 2005. Clinical Cases in Anesthesia edisi 3.


Philadelphia,Pennsylvania: Elsevier Inc.

20

Anda mungkin juga menyukai